Anda di halaman 1dari 6

BAB 1

PENDAHULUIAN

1.1 Latar belakang

Penyakit kronik tidak menular (cronic non-communicable diseases) sudah

menggantikan penyakit menular (communicable diseases) sebagai masalah

kesehatan masyarakat di negara maju maupun berkembang (Mariyanti, 2013).

Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan penyakit yang terjadi setelah berbagai

macam penyakit yang merusak masa nefron ginjal sampai pada titik keduanya tidak

mampu untuk menjalankan fungsi regulatorik dan ekstetoriknya untuk

mempertahankan homeostatis (Lukman et al., 2013). Penyakit ginjal kronik secara

progresif kehilangan fungsi ginjal nefronnya satu persatu yang secara bertahap

menurunkan keseluruhan fungsi ginjal (Sjamsuhidajat & Jong, 2011). The Kidney

Disease Outcome Quality Initiative (K/DOQI) of the national kidney foundation

(NKF) mendefinisikan penyakit ginjal kronik sebagai kerusakan pada parenkim

ginjal dengan penurunan glomerular filtration rate (GFR) kurang dari 60

mL/min/1,73 m2 selama atau lebih dari 3 bulan dan pada umumnya berakhir dengan

gagal ginjal (Pranoto, 2010). PGK dapat dibagi lagi menjadi 5 tahap, tergantung

pada tingkat keparahan kerusakan ginjal dan tingkat penurunan fungsi ginjal. Tahap

5 PGK disebut sebagai stadium akhir penyakit ginjal (End Stage Renal Disease/End

Stage Renal Failure). Tahap ini merupakan akhir dari fungsi ginjal karena ginjal

bekerja kurang dari 15% dari normal (Corrigan 2011).

Penderita penyakit ginjal kronik (PGK) di dunia sudah mencapai 26 juta

orang dan 20 juta diantaranya sudah masuk kedalam tahap akhir atau terminal

1
2

(Collins & Herzog, 2010). Jumlah penderita PGK di Indonesia meningkat secara

signifikan dari tahun ke tahun. Insiden pasien gagal ginjal tahap akhir yang

menjalani hemodialisis pada tahun 2002 adalah sekitar 2077 pasien, dan pada tahun

2006 jumlah pasien meningkat menjadi 4344 pasien. Di Jawa Timur angka

penderita PGK mencapai 1552 pasien (Report Of Indonesia Renal Registry, 2011).

Penyebab PGK pada pasien hemodialisis baru dari data tahun 2011

didapatkan sebagai berikut, Glomerulopati Primer/GNC 14%, Nefropati Diabetika

27%, Nefropati Lupus/SLE 1%, Penyakit Ginjal Hipertensi 34%, Ginjal Polikistik

1%, Nefropati Asam Urat 2%, Nefropati obstruksi 8%, Pielonefritis kronik/PNC

6%, Lain-lain 6%, dan Tidak Diketahui 1% (Report Of Indonesia Renal Registry,

2011).

Ada beberapa treatment untuk menghadapi kasus penyakit ginjal kronik.

Saat ini ada tiga terapi modalitas pengobatan yang tersedia untuk penyakit ginjal

kronik yang telah mencapai derajat V (End Stage Renal Disease) yaitu

hemodialisis, peritoneal dialisis dan transplantasi ginjal. Terbatasnya jumlah donor

ginjal yang tersedia untuk transplantasi, dialisis (hemodialisis dan peritoneal

dialisis) cenderung menjadi metode yang paling umum dari pengobatan (Corrigan

2011).

Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan

cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu

melaksanakan proses tersebut. Metode terapi dialisis mencakup hemodialisis dan

peritoneal dialisis. Hemodialisis bertujuan untuk mengambil atau memisahkan zat-

zat nitrogen yang toksik dari dalam darah melalui membran semipermeabel dengan

proses difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Hemodialisis memungkinkan sebagian


3

penderita hidup mendekati keadaan yang normal meskipun menderita gagal ginjal

yang tanpa terapi hemodialisis akan menyebabkan kematian. Pasien PGK harus

menjalani terapi hemodialisis sepanjang hidupnya dengan waktu 10-15 jam setiap

minggunya atau dua sampai tiga kali setiap minggu dengan 4-5 jam per kali terapi

(Price & Wilson, 2006).

Pasien PGK yang menjalani hemodialisis jangka panjang harus dihadapkan

dengan berbagai masalah yang berpengaruh terhadap kualitas hidup. Adanya

masalah yang dihadapi oleh pasien PGK dapat mengakibatkan ketidakpatuhan tata

laksana hemodialisa sehingga mengakibatkan terjadinya komplikasi pada saat

durante hemodialisa. Komplikasi terapi dialisis mencakup beberapa hal seperti

hipotensi, emboli udara, nyeri dada, gangguan keseimbangan dialisis, pruritus dan

lain lain.

Masing – masing dari point tersebut (hipotensi, emboli udara, nyeri dada,

21 gangguan keseimbangan dialisis, dan pruritus) disebabkan oleh beberapa faktor.

Hipotensi terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan. Terjadinya

hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya dialisis

natrium, penyakit jantung, aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan berat

cairan. Emboli udara terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien (Hudak &

Gallo, 2010 ).

Nyeri dada dapat terjadi karena PCO₂ menurun bersamaan dengan

terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh, sedangkan gangguan keseimbangan dialisis

terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang.

Komplikasi ini kemungkinan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang

berat. Pruritus terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
4

meninggalkan kulit (Smelzer, 2008). Terapi hemodialisis juga dapat

mengakibatkan komplikasi sindrom disekuilibirum, reaksi dializer, aritmia,

temponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, neutropenia, serta

aktivasi komplemen akibat dialisis dan hipoksemia, namun komplikasi tersebut

jarang terjadi. (Brunner & Suddarth, 2008).

Komplikasi pada pasien hemodialis merupakan adanya manifestasi klinis

terkait dengan hemodialisa yang terjadi selama sesi dialisis atau dalam 24 jam

pertama setelah dialisis. Dalam klasifikasi, komplikasi hemodialisis terbagi dalam

beberepa klasifikasi penyebab. Hemodialisis masih menyebabkan banyak

komplikasi meskipun sudah diikuti oleh kemajuan teknologi. Sangat penting untuk

mencegah terjadinya komplikasi terutama di masa awal hemodialisis dan

komplikasi yang dapat mengancam jiwa. Beberapa komplikasi mungkin tidak

mengancam kehidupan pasien tetapi memperburuk kualitas hidup pasien. Namun

perlu adanya kepatuhan dalam tatalaksana yang harus dijalani oleh pasien penyakit

ginjal kronis (PGK) agar mengurangi resiko komplikasi yang dapat terjadi selama

durante Hemodialisa.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan kepatuhan tatalaksana Hemodialisa dengan

komplikasi durante hemodialisis di RSUD Dr. Soetomo Surabaya?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


5

Mengetahui hubungan kepatuhan tatalaksana PGK dengan komplikasi

durante hemodialisis di Ruang Hemodialisa RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi kejadian penyakit ginjal kronis (PGK) di Ruang

Hemodialisa RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

2. Mengidentifikasi tatalaksana pada penderita penyakit ginjal kronis (PGK)

yang melakukan hemodialisis di Ruang Hemodialisa RSUD Dr. Soetomo

Surabaya.

3. Mengidentifikasi komplikasi durante hemodialisa pada pasien penyakit

ginjal kronis (PGK) yang melakukan hemodialisis di Ruang Hemodialisa

RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

4. Menganalisis hubungan kepatuhan tatalaksana penyakit ginjal kronis (PGK)

dengan komplikasi durante hemodialisis di Ruang Hemodialisa RSUD Dr.

Soetomo Surabaya.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Ilmu Pengetahuan

Menambah referensi pengetahuan yang dapat diaplikasikan dalam praktik

layanan keperawatan kepada klien penyakit ginjal kronik yang melakukan

terapi hemodialisis.

1.4.2 Bagi Profesi

Menambah informasi serta sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya dan

pengembangan keperawatan dimasa datang.

1.4.3 Bagi Institusi


6

Memberikan referensi sebagai kontribusi ilmiah untuk peningkatan ilmu

pengetahuan dan pembelajaran bagi institusi untuk memberikan informasi

tentang hubungan kepatuhan tatalaksana penyakit ginjal kronis (PGK)

dengan komplikasi durante hemodialisa.

Anda mungkin juga menyukai