Anda di halaman 1dari 32

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA

DENGAN MASALAH ELIMINASI URINE


(INKONTINENSIA)
Disusun untuk memenuhi tugas Keperawata Gerontik

Disusun Oleh :

Kurnia Hariani

Putri Widyastuti

KELOMPOK 6
KELAS : 1C

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN MATARAM


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
MATARAM
2017

KATA PENGANTAR

1
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan kekuatan dan kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat
pada waktunya. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Gerontik tentang “Asuhan
Keperawatan pada Lansia dengan Masalah Eliminasi Urine (Inkontinensia)”.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan
mendukung dalam penyusunan makalah ini.

Kami sadar makalah ini belum sempurna dan memerlukan berbagai perbaikan,
oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua
pihak.

Mataram, Desember 2017

Penyusun

BAB I

PENDAHULUAN

2
A. Latar Belakang
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secara perlahan–lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap
infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua
merupakan proses yang terus menerus berlanjut secara alamiah. Dimulai
sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup.
Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia,
merupakan bagian dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat
dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Penuaan adalah
normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan
terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap
perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang
kompleks dan multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel
dan berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada
tingkat kecepatan yang berbeda, di dalam parameter yang cukup sempit,
proses tersebut tidak tertandingi.
Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses
berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam
maupun luar tubuh. Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada
berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut usia. Proses
menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa,
misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf,
dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga
pada sistem pencernaan.
Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara
fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan
kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai
bagian dari proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman
panca indera, menurunnya daya tahan tubuh , lebih mudah terkena
konstipasi merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum
lagi mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri,
kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.

3
Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada
organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat
irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu.
Proses alami yang disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik,
psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama lain . Proses
menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat digambarkan melalui
tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment), keterbatasan fungsional
(functional limitations), ketidakmampuan (disability), dan keterhambatan
(handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduran.
Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik
maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan
kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai
bagian dari proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman
panca indera, menurunnya daya tahan tubuh, dan adanya inkontinensia
baik urine maupun tinja merupakan ancaman bagi integritas orang usia
lanjut. Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan
peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang
dicintai.
Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang
sering ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi
inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia lanjut di masyarakat dan
20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami
inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia
urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.
Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau inkontinensia
jarang dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang
biasa, malu atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada
dokter, dianggap sesuatu yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia
urine bukan penyakit, tetapi merupakan gejala yang menimbulkan
gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas
hidup (Rochani, 2002).
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan
dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan
karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang

4
tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien.
Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit
rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).

B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi inkontinensia urin?
2. Bagaimana etiologi inkontinensia urin pada lanjut usia?
3. Apa sajakah faktor predisposisi atau faktor pencetus inkontinensia
urin pada lanjut usia?
4. Bagaimana patofisiologi inkontinensia urin pada lanjut usia?
5. Apa sajakah tanda dan gejala inkontinensia urin pada lanjut usia?
6. Apa sajakah pemeriksaan penunjang inkontinensia urine pada
lanjut usia?
7. Bagaimana asuhan keperawatan inkontinensia urin pada lanjut
usia.

C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami mengenai definisi inkontinensia urin
pada lanjut usia.
2. Mengetahui dan memahami mengenai etiologi inkontinensia urin
pada lanjut usia.
3. Mengetahui dan memahami mengenai faktor predisposisi atau
faktor pencetus inkontinensia urin pada lanjut usia.

4. Mengetahui dan memahami mengenai patofisiologi inkontinensia


urin pada lanjut usia.
5. Mengetahui dan memahami mengenai tanda dan gejala
inkontinensia urin pada lanjut usia.
6. Mengetahui dan memahami mengenai pemeriksaan penunjang
inkontinensia urine pada lanjut usia.
7. Mengetahui dan memahami mengenai asuhan keperawatan
inkontinensia urin pada lanjut usia.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang
bersifat sementara atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter
uretra eksterna. Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus
atau sedikit sedikit (Potter dan Perry, 2005). Menurut Hidayat (2006),
inkontinensia urin merupakan ketidakmampuan otot sfingter eksternal
sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin. Secara umum
penyebab inkontinensia dapat berupa proses penuaan, pembesaran
kelenjar prostat, penurunan kesadaran, dan penggunaan obat narkotik
atau sedative.
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan
dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan
karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah
yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien.
Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit
rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).
Adapun tipe-tipe inkontinensia urin menurut Hidayat, 2006
1. Inkontinensia dorongan

6
Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa
sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat setelah
berkemih. Inkontinensia dorongan ditandai dengan seringnya
terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan spame kandung
kemih (Hidayat, 2006). Pasien Inkontinensia dorongan
mengeluh tidak dapat menahan kencing segera setelah timbul
sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor
sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat kapasitas
kandung kemih belum terpenuhi.

2. Inkontinensia total
Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin yang
terus menerus dan tidak dapat diperkirakan. Kemungkinan
penyebab inkontinensia total antara lain: disfungsi neorologis,
kontraksi independen dan refleks detrusor karena pembedahan,
trauma atau penyakit yang mempengaruhi saraf medulla
spinalis, fistula, neuropati.
3. Inkontinensia stress
tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes dengan
peningkatan tekanan abdomen, adanya dorongan berkemih, dan
sering miksi. Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot
spingter uretra tidak dapat menahan keluarnya urin yang
disebabkan meningkatnya tekanan di abdomen secara tiba-tiba.
Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu batuk,
bersin, mengangkat benda yang berat, tertawa (Panker, 2007).
4. Inkontinensia reflex
Keadaan di mana seseorang mengalami pengeluaran urin yang
tidak dirasakan. Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan
oleh adanya kerusakan neurologis (lesi medulla spinalis).
Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak adanya dorongan
untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, dan
kontraksi atau spasme kandung kemih tidak dihambat pada
interval teratur
5. Inkontinensia fungsional

7
keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran urin secara
tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan. Keadaan
inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk
berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, kontraksi
kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.

B. Etiologi

Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan


pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot
dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang
salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat
menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari
dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi
sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab
Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di
saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin
meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi.
Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi
antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka
dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika
pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses,
maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat,
mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan
laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin
berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti
diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan
cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan
cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.

8
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab
produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai.
Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik,
trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus
diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet.
Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus
disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang
tepat.
Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena
penyakit yang dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka
penghentian atau penggantian obat jika memungkinkan, penurunan
dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat. Golongan obat yang
berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik,
narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE
inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti
antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil
dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya
mengompol. Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine
juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan,
pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut,
kurang aktivitas dan operasi vagina.
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat
menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama
sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar
panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta
robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya
inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada
wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan
tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga
menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain
adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan
lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua

9
seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine,
karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar
panggul (Darmojo, 2009).

C. Faktor Predisposisi atau Faktor Pencetus


1. Usia
Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja,
tetapi juga berpengaruh terhadap kontrol eliminasi itu sendiri.
Anak-anak masih belum mampu untuk mengontrol buang air besar
maupun buang air kecil karena sistem neuromuskulernya belum
berkembang dengan baik. Manusia usia lanjut juga akan
mengalami perubahan dalam eliminasi tersebut. Biasanya terjadi
penurunan tonus otot, sehingga peristaltik menjadi lambat. Hal
tersebut menyebabkan kesulitan dalam pengontrolan eliminasi
feses, sehingga pada manusia usia lanjut berisiko mengalami
konstipasi. Begitu pula pada eliminasi urine, terjadi penurunan
kontrol otot sfingter sehingga terjadi inkontinensia (Asmadi, 2008).
2. Diet
Pemilihan makanan yang kurang memerhatikan unsur manfaatnya,
misalnya jengkol, dapat menghambat proses miksi. Jengkol dapat
menghambat miksi karena kandungan pada jengkol yaitu asam
jengkolat, dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan
terbentuknya kristal asam jengkolat yang akan menyumbat saluran
kemih sehingga pengeluaran utine menjadi terganggu. Selain itu,
urine juga dapat menjadi bau jengkol. Malnutrisi menjadi dasar
terjadinya penurunan tonus otot, sehingga mengurangi kemampuan
seseorang untuk mengeluarkan feses maupun urine. Selain itu
malnutrisi menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap
infeksi yang menyerang pada organ pencernaan maupun organ
perkemihan(Asmadi, 2008).
3. Cairan
Kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang masuk
ke ginjal untuk difiltrasi menjadi berkurang sehingga urine menjadi
berkurang dan lebih pekat(Asmadi, 2008).
4. Latihan fisik

10
Latihan fisik membantu seseorang untuk mempertahankan tonus
otot. Tonus otot yang baik dati otot-otot abdominal, otol pelvis, dan
diagfragma sangat penting bagi miksi (Asmadi, 2008).

5. Stres psikologi
Ketika seseorang mengalami kecemasan atau ketakutan, terkadang
ia akan mengalami diare ataupun beser (Asmadi, 2008).
6. Temperatur
Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan
cairan tubuh karena meningkatnya aktivitas metabolik. Hal tersebut
menyebabkan tubuh akan kekurangan cairan sehingga dampaknya
berpotensi terjadi konstipasi dan pengeluaran urine menjadi sedikit.
Selain itu, demam juga dapat memegaruhi nafsu makan yaitu
terjadi anoreksia, kelemahan otot, dan penurunan intake cairan
(Asmadi, 2008).
7. Nyeri
Seseorang yang berasa dalam keadaan nyeri sulit untuk makan, diet
yang seimbang, maupun nyaman. Oleh karena itu berpangaruh
pada eliminasi urine (Asmadi, 2008).
8. Sosiokultural
Adat istiadat tentang privasi berkemih berbeda-beda. Contoh saja
di masyarakat Amerika Utara mengharapkan agar fasilitas toilet
merupaka sesuatu yang pribadi , sementara budaya Eropa
menerima fasilitas toilet yang digunakan secara bersama-sama
(Potter & Perry,2006).
9. Status volume
Apabila cairan dan konsentrasi eletrolit serta solut berada dalam
keseimbangan, peningkatakan asupan cairan dapat menyebabkan
peningkatan produksi urine. Cairan yang diminum akan
meningkatakan volume filtrat glomerulus dan eksresi urina (Potter
& Perry,2006).
10. Penyakit
Adanya luka pada saraf perifer yang menuju kandung kemih
menyebabkan hilangnya tonus kandung kemih, berkurangnya
sensasi penuh kandung kemih, dan individu mengalami kesulitan
untuk mengontrol urinasi. Misalnya diabetes melitus dan sklerosis

11
multiple menyebabkan kondusi neuropatik yang mengubah
fungsikandung kemih. Artritis reumatoid, penyakit sendi
degeneratif dan parkinson, penyakit ginjal kronis atau penyakit
ginjal tahap akhir (Potter & Perry,2006).
11. Prosedur bedah
Klien bedah sering memiliki perubahan keseimbangan cairan
sebelum menjali pembedahan yang diakibatkan oleh proses
penyakit atau puasa praoperasi, yang memperburuk berkurangnya
keluaran urine. Respons stres juga meningkatkan kadar aldosteron
menyebabkan berkurangnya keluaran urine dalam upaya
mempertahankan volume sirkulasi cairan (Potter & Perry,2006).
12. Obat-obatan
Retensi urine dapat disebabkan oleh penggunaan obat
antikolinergik (atropin), antihistamin (sudafed), antihipertensi
(aldomet), dan obat penyekat beta adrenergik (inderal) (Potter &
Perry,2006).

D. Patofisiologi

Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan


anatomi dan fisiologis juga dipengaruhi oleh faktor fungsional,
psikologis dan lingkungan. Pada tingkat yang paling dasar, proses
berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat berkemih disacrum.
Jalur aferen membawa informasi mengenai volume kandung kemih di
medulla spinalis (Darmojo, 2000).
Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi
kandung kemih melalui penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan
kontraksi leher kandung kemih yang dipersarafi oleh saraf simpatis
serta saraf somatic yang mempersyarafi otot dasar panggul (Guyton,
1995).
Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik
parasimpatis yang menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan
efek simpatis kandung kemih berkurang. Jika kortek serebri menekan
pusat penghambatan, akan merangsang timbulnya berkemih.

12
Hilangnya penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan karena
usia sehingga lansia sering mengalami inkontinensia urin. Karena
dengan kerusakan dapat mengganggu kondisi antara kontraksi
kandung kemih dan relaksasi uretra yang mana gangguan kontraksi
kandung kemih akan menimbulkan inkontinensia (Setiati, 2001).

E. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin
menurut Uliyah (2008) yaitu:

1. Ketidaknyamanan daerah pubis

2. Distensi vesika urinaria

3. Ketidak sanggupan untuk berkemih

4. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine.


( 25-50 ml)

5. Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan


asupannya

6. Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih

7. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

F. Pemeriksaan Penunjang

1. Urinalisis

Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa


dalam urine.

13
2. Uroflowmeter

Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan


obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran
ketika pasien berkemih.

3. Cysometry

digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih


dengan mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan
kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap
rangsangan panas.

4. Urografi ekskretorik

Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi


struktur dan fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih.

5. Kateterisasi residu pascakemih

Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung


kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah
pasien berkemih.

Adapun penatalaksanaan medis inkontinensia urin menurut Muller


adalah mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis,
mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,medikasi,
latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas,
dapat dilakukan sebagai berikut :

1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih

Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan


jumlah urin yang keluar,baik yang keluar secara normal, maupun
yang keluar karena tak tertahan, selain itudicatat pula waktu,
jumlah dan jenis minuman yang diminum.

14
2. Terapi non farmakologi

Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari


timbulnya inkontinensia urin,seperti hiperplasia prostat, infeksi
saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain.Adapun
terapi yang dapat dilakukan adalah :

a. Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang


interval waktu berkemih)dengan teknik relaksasi dan distraksi
sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.

b. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk


berkemih bila belum waktunya.

c. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu


tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara
bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.

d. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah


ditentukan sesuai dengankebiasaan lansia.

e. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia


mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan
petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih.Teknik ini
dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif
(berpikir).

3. Terapi farmakologi

Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah:

a. antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine,


Dicylomine

b. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis,


yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.

15
c. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti
Bethanechol atau alfa kolinergik antagonis seperti prazosin
untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.

4. Terapi Pembedahan

Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan


urgensi, bila terapinon farmakologis dan farmakologis tidak
berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnyamemerlukan
tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi
inidilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia
prostat, dan prolaps pelvic(pada wanita).

5. Modalitas Lain

Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang


menyebabkaninkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa
alat bantu bagi lansia yang mengalamiinkontinensia urin,
diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet
sepertiurinal, komod dan bedpan

16
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada
lansia (usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi
tidak menutup kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.

2. Riwayat kesehatan

a. Riwayat Kesehatan Sekarang

Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan


saat ini. Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu
yang mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan),
masukan cairan, usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah
cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan
diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah
terjadi ketidakmampuan.
b. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa
sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah
terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi
saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit
serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau
keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena
respon dari terjadinya inkontinensia

17
b. Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena
suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada
perkusi.
2) B2 (Blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
3) B3 (Brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
4) B4 (bladder)

Inspeksi: periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau


menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri)
dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada
lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus
uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria
akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya.

Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis,


seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di
luar waktu kencing.

5) B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri
tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya
ketidaknormalan palpasi pada ginjal.

6) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan
ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian

c. Data penunjang

18
1) Urinalisis

2) Hematuria

3) Poliuria

4) Bakteriuria

d. Pemeriksaan Radiografi

1) IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal


dan ureter.

2) VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran,


bentuk, dan fungsi VU, melihat adanya obstruksi (terutama
obstruksi prostat), mengkaji PVR (Post Voiding Residual).

e. Kultur Urine

1) Steril.

2) Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml).

3) Organisme.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan Eliminasi Urine berhubungan dengan gangguan sensori


motorik
2. Inkontinensia urinarius Fungsional berhubungan dengan
Kelemahan struktur panggul pendukung
3. Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan kelembapan
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
4. Resiko Infeksi

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan criteria hasil Intervensi


GANGGUAN ELIMINASI NOC NIC
URINE urinary elimination Urinary Retention
Definisi : urinary Contiunence Care

19
Disfungsi pada eliminasi 1. Monitor intake
urine Kriteria Hasil : dan output
2. Monitor
1. kandung kemih kosong
penggunaan obat
Batasan Karakteristik : secara penuh
2. tidak ada residu urine antikolionergik
1. Disuria
3. Monitor derajat
2. Sering berkemih > 100-200 cc
3. anyang-anyangan 3. intake cairan dalam distensi bladder
4. inkontinensia 4. Instruksikan pada
rentang normal
5. nokturia
4. bebas dari ISK pasien dan keluarga
6. retensi
5. tidak ada spasme
7. dorongan untuk mencatat output
bladder
urine
6. balance cairan
5. Sediakan privacy
Faktor Yang Berhubungan :
seimbang
untuk eliminasi
1. obstruksi anatomic
6. Stimulasi refleks
2. penyebab multiple
3. gangguan sensori bladder dengan
motorik kompres dingin pada
4. infeksi saluran kemih
abdomen
7. Katerisasi jika
perlu
8. Monitor tanda
dan gejala ISK
(panas,hematuria,
perubahan bau dan
konsistensi urine)
Urinary Elimination
Management

INKONTINENSIA NOC NIC


URINARIUS 1. Perawatan diri : Self care assistance:
FUNGSIONAL Eliminasi (toileting) toiletting
2. Inkontinensia Urin
Manajemen Eliminasi
3. Eliminasi Urine

20
Definisi : Urin
Ketidakmampuan individu Kriteria Hasil : 1. Monitor
yang biasanya kontinen untuk 1. Mengidentifikasi eliminasi urin,
mencapai toilet tepat waktu keinginan berkemih frekuensi, konsistensi,
2. Berespon tepat waktu
untuk menghindari kehilangan bau, volume, dan
terhadap dorongan
urine tanpa disengaja. warna, jika dìperlukan
berkemih 2. Monitor tanda
3. Mencapai toilet antara
dan gejala retensi urin
Batasan Karakteristik :
waktu dorongan berkemih 3. Identifikasi
1. Mampu
dan pengeluaran urin faktor yang
mengosongkan kandung 4. Melakukan eliminasi
menyebabkan episode
kemih dengan komplet secara mandiri
inkontinensia
5. Mengosongkan
jumlah waktu yang 4. Kumpulkan
kandung kemih secara
diperlukan untuk mencapai spesimen urin tengah
tuntas
toilet melebihi lama waktu untuk pemeriksaan
6. Mengkonsumsi cairan
antara merasakan dorongan urinalisis, jika
dalam jumlah adekuat
untuk berkemih dan tidak 7. Urin residu pasca diperlukan
5. Ajarkan pasien
dapat mengontrol berkemih berkemih >100-200 ml
2. Mengeluarkan urine 8. Tidak terjadi hematuri, tentang tanda dan
sebelum mencapai toilet dan partikel pada urin gejala infeksi saluran
3. Mungkin inkontinensia 9. Tidak ada rasa sakit
kemih
hanya pada dinihari pada saat berkemih 6. Ajarkan pasien
4. Merasakan perlunya
dan keluarga untuk
untuk berkemih
mencatat haluaran dan
pola urine, jika
Faktor Yang Berhubungan :
diperlukan
1. Faktor lingkungan 7. Batasi cairan
yang berubah sesuai kebutuhan
2. Gangguan kognisi
3. Gangguan penglihatan
4. Keterbatasan Perawatan
neuromuscular Inkontinensia Urin
5. Faktor psikologis
1. Identifikasi multi
6. Kelemahan struktur
faktor yang
panggul pendukung
menyebabkan

21
inkontinensia
(produksi urin, pola
berkemih, fungsi
cognitif, masalah
berkemih yang
dialami, dan
pengobatan)
2. Anjurkan pasien
untuk minum
minimum 1500 cc per
hari
3. Sediakan ruangan
yang tenang dan
privasi untuk prosedur
eliminasi
4. Tetapkan interval
jadwal eliminasi
dengan rutinitas yang
dilakukan setiap hari
5. Kurangi
konsumsi yang
menyebabkan iritasi
pada bladder (seperti
minuman bersoda,
teh, kopi dan cokelat)
6.
KERUSAKAN NOC NIC
INTEGRITAS KULIT 1. Tissue Integrity: Skin Pressure Management
Definisi: and Mucous Membrabes 1. Anjurkan pasien
2. Hemodyalis akses
Perubahan/gangguan untuk menggunakan
epidermis dan atau dermis Kriteria Hasil: pakaian yang longgar
1. Integritas kulit yang 2. Hindari kerutan
Batasan Karakteristik:
baik bisa dipertahankan pada tempat tidur
1. Kerusakan lapisan
3. Jaga kebersihan
(sensasi, elastisitas,
kulit (dermis)
kulit agar tetap bersih
2. Gangguan permukaan temperature, hidrasi,

22
kulit (epidermis) pigmentasi) dan kering
3. Invasi struktur tubuh 2. Tidak ada luka/lesi 4. Mobilisasi pasien
Faktor yang berhubungan: pada kulit (ubah posisi pasien)
3. Perfusi jaringan baik
1. Eksternal setiap 2 jam
4. Menunjukkan
a. Zat kimia, 5. Monitor kulit
pemahaman dalam proses
radiasi akan adanya
b. Usia yang perbaikan kulit dan
kemeraham
ekstrim mencegah terjadinya 6. Oleskan lotion
c. Kelembapan
cedera berulang atau minyak/baby oil
d. Hipertermia,
5. Mampu melindungi
pada daerah yang
hipotermia
kulit dan mempertahankan
e. Faktor mekanik tertekan
f. Medikasi kelembapan kulit dan 7. Monitor aktivitas
g. Lembap
perawatan alami dan mobilisasi pasien
h. Imobilitasi
8. Monitor status
Fisik
nutrisi pasien
2. Internal
9. Memandikan
a. Perubahan
pasien dengan sabun
status cairan
b. Perubahan dan air hangat
Insision site care
pigmentasi
1. Membersihkan,
c. Perubahan
memantau dan
turgor
d. Faktor meningkatkan proses
perkembangan penyembuhan pada
e. Kondisi
luka yang ditutup
ketidakseimbangan
dengan jahitan, klip
nutris
atau streples
f. Penurunan
2. Monitor proses
imnunologis
kesembuhan area
g. Penurunan
insisi
sirkulasi
3. Monitor tanda
h. Kondisi
dan gejala infeksi
gangguan metabolik
i. Gangguan pada area insisi
4. Bersihkan area
sensasi
j. Tonjolan tulang sekitar jahitan atau
streples,
menggunakan lidi

23
kapas streil
5. Gunakan preparat
antiseptic sesuai
program
6. Ganti balutan
pada interval waktu
yang sesuai atau
biarkan luka tetap
terbuka (tidak dibalut)
sesuai program
Dialysis Acces
Maintenance
RESIKO INFEKSI NOC: NIC:
Definisi : 1. Immune Status Infection Control
2. Knowledge: Infection
Mengalami peningkatan resiko (Kontrol Infeksi)
control
terserang organisme patogenik 1. Bersihkan
3. Risk control
lingkungan setelah
Faktor-faktor resiko : Kriteria Hasil: dipakai pasien lain
2. Pertahankan
1. Penyakit Kronis 1. Klien bebas dari tanda
2. Diabetes Mellitus teknik isolasi
dan gejala infeksi
3. Obesitas 3. Batasi
2. Mendeskripsikan
4. Pengetahuan yang
pengunjung bila perlu
proses penularan penyakit,
tidak cukup untuk 4. Instruksikan
faktor yang
menghindari pemajanan pengunjung untuk
mempengaruhipenularan
pathogen mencuci tangan saat
5. Pertahanan tubuh serta tatalaksananya
berkunjung dan
3. Menunjukkan
primer yang tidak adekuat
setelah berkunjung
kemampuan untuk
: 5. Gunakan sabun
a. Gangguan mencegah timbulnya infeksi
anti mikroba untuk
4. Jumlah leukosit dalam
peritaisis
cuci tangan
b. Kerusakan batas normal
6. Cuci tangan
5. Menunjukkan perilaku
integritas kulit
sebelum dan sesudah
hidup sehat
(pemasangan kateter
tindakan keperawatan
intravena, prosedur 7. Gunakan baju,
invasif) sarung tangan sebagai
c. Perubahan

24
sekresi Ph pelindung
d. Penurunan 8. Pertahankan
kerja siliaris lingkungan aseptic
e. Pecah ketuban
selama pemasangan
dini
alat
f. Pecah ketuban
9. Ganti letak IV
lama
perifer dan line central
g. Merokok
h. Stasis cairan dan dressing sesuai
tubuh dengan petunjuk
i. Trauma
umum
jaringan ( mis, trauma 10. Gunakan kateter
destruksi jaringan) intermitten untuk
6. Ketidakadekuatan
menurunkan infeksi
pertahanan sekunder :
kandung kencing
a. Penurunan
11. Tingkatkan
hemoglobin
intake nutrisi
b. Imonusupresi
12. Berikan terapi
(mis, imunitas
antibiotika bila perlu
didapat tidak adekuat, 13. Monitor tanda
agen farmaseutikal dan gejala infeksi
termasuk sistemik dan lokal
14. Monitor hitung
imunosupresan,
granulosit, WBC
steroid, antobodi
15. Monitor
monoclonal,
kerentanan terhadap
imunomodulator)
infeksi
c. Supresi respon
16. Batasi
infamasi
pengunjung
7. Vaksinasi tidak
17. Pertahankan
adekuat
teknik asepsis pada
8. Pemajanan terhadap
pasien yang berisiko
pathogen lingkungan
18. Berikan
meningkat : wabah
perawatan kulit pada
9. Prosedur invasive
10. Malnutrisi area epidema
19. Inspeksi kulit dan
membrane mukosa

25
terhadap kemerahan,
panas, drainase
20. Inspeksi kondisi
luka/insisi bedah
21. Dorong masukan
nutrisi yang cukup
22. Dorong masukan
cairan
23. Dorong istirahat
24. Instruksikan
pasien untuk minum
antibiotika sesuai
resep
25. Ajarkan pasien
dan keluarga tanda
dan gejala infeksi
26. Ajarkan cara
menghindari infeksi
27. Laporkan
kecurigaan infeksi
28. Laporkan kultur
positif

D. Implementasi Keperawatan
Merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai dimulai setelah rencana tindakan disusun
dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang
diharapkan. Oleh karena itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk
memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien.
Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien dalam mencapai tujuan
yang telah ditetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan,
penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping.

E. Evaluasi Keperawatan

26
Merupakan tindakan untuk melengkapi proses keperawatan yang
menandakan seberapa jauh diagnose keperawatan, rencana tindakan dan
pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Meskipun tahap evaluasi diletakkan
pada akhir proses keperawatan, evaluasi merupakan bagian integral pada setiap
tahap proses keperawatan.
Proses Evaluasi keperawatan dibagi menjadi 2 yaitu evaluasi formatif
yang merupakan hasil observasi dan analisa perawat terhadap respon pasien
segera pada saat/setelah dilakukan tindakan keperawatan dan evaluasi sumatif
yang merupakan rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status
kesehatan sesuai waktu pada tujuan.

BAB IV

ANALISA JURNAL

Judul PENGARUH SENAM KEGEL TERHADAP


FREKUENSI INKONTINENSIA URINE
PADA LANJUT USIA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS TUMPAAN
MINAHASA SELATAN
Jurnal JURNAL KEPERAWATAN
Download www.ejournal.unsrat.ac.id
Volume dan Halaman Volume V, No. 1,
Tahun 2017
Penulis Julianti Dewi Karjoyo, Damayanti Pangemanan,
Franly Onibala
Reviewer Kurnia Hariani, Putri Widyastuti

Tanggal 24 Desember 2017


Kata Kunci Senam Kegel, Inkontinensia Urine
Abstark Abstrak disini menggunakan dua bahasa yaitu bahasa
inggris dan bahasa Indonesia. Abstrak pada penelitian

27
ini mampu menggambarkan secara umum isi dari
penelitian tentang “Pengaruh Senam Kegel Terhadap
Frekuensi Inkontinensia Urine pada Lanjut Usia”.
Pendahuluan Menurut data dari WHO, 200 juta penduduk di dunia
yang mengalami inkontinensia urin. Berbagai macam
perubahan terjadi pada lanjut usia, salah satunya pada
sistem perkemihan yaitu penurunan tonus otot vagina
dan otot pintu saluran kemih (uretra) yang disebabkan
oleh penurunan hormon esterogen, sehingga
menyebabkan terjadinya inkontinensia urine, otot–otot
menjadi lemah, kapasitasnya menurun sampai 200 ml
atau menyebabkan frekuensi BAK meningkat dan
tidak dapat dikontrol. Terdapat cara yang digunakan
untuk memperbaiki ketidakmampuan berkemih yaitu
dengan latihan otot dasar panggul (pelvic muscte
exercise) atau sering disebut dengan latihan Kegel.
Latihan dasar panggul melibatkan kontraksi tulang otot
pubokoksigeus, otot yang membentuk struktur
penyokong panggul dan mengililingi pintu panggul
pada vagina, uretra, dan rectum. Tingginya angka
kejadian inkotinensia urin menyebabkan perlunya
penanganan yang sesuai, karena jika tidak segera
ditangani inkontinensia dapat menyebabkan berbagai
komplikasi.
Tujuan Penelitian Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh senam
Kegel terhadap frekuensi inkontinensia urine pada
lansia di Puskesmas Tumpaan, Minahasa Selatan.
Metodologi Penelitian Desain penelitian yang diguanakan adalah pra
eksperimental, dengan menggunakan rancangan one
group pre test post test.
Untuk mengetahui adanya perubahan frekuensi
inkontinensia urine pretest dan frekuensi inkontinensia
urine posttest, maka digunakan uji statistik, yaitu uji

28
Wilcoxon Sign Rank Test dengan α = 0.05.
Hasil Penelitian Hasil penelitian dalam jurnal ini dipaparkan penulis
dalam tabel dan dua analisa hasil penelitian yang
dilampirkan dalam jurnal. Dalam penelitian ini
didapati bahwa usia responden yang mengalami
inkontinensia urine adalah mereka yang berumur 60-
74 tahun berjumlah 25 orang dan 75-90 tahun
berjumlah 5 orang. Dalam hasil yang didapat dari 3
hari sebelum diberikan intervensi yaitu, responden
yang mengalami frekuensi
inkontinensia sering sebanyak 11 orang (36.7%),
responden yang mengalami frekuensi inkontinensia
sedang sebanyak 16 orang (53.3%), sedangkan
responden yang mengalami frekuensi inkontinensia
jarang sebanyak 3 orang (10.0%). Dari hasil yang
didapat 3 hari sesudah diberikan intervensi adalah
responden yang mengalami frekuensi e-journal
Keperawatan (e-Kp) Volume 5 Nomor 1, Februari
2017inkontinensia jarang sebanyak 25 orang (83.3%),
dan responden yang mengalami frekuensi
inkontinensia sedang sebanyak 5 orang (16.7%).
Dalam penelitian ini didapatkan p-value= 0,000 (p-
value < 0,05) pada kelompok Intervensi adalah Ho
ditolak dan Ha diterima yang berarti penelitian ini
menunjukan terdapat pengaruh yang signifikan senam
Kegel terhadap frekuensi inkontinensia urine pada
pasien inkontinensia urine di Wilayah Kerja
Puskesmas Tumpaan, Minahasa Selatan.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti di
Puskesmas Tumpaan Minahasa Selatan, maka hasil
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : Sebelum
dilakukan Senam Kegel jumlah responden terbanyak
mengalami frekuensi inkontinensia sedang. Sedangkan

29
hasil setelah dilakukan Senam Kegel, frekuensi
inkontinensia pada lansia mengalami perubahan
dengan menurunnya frekuensi inkontinensia urine
menjadi jarang. Sehingga terdapat pengaruh terhadap
frekuensi inkontinensia urine sesudah diberikan Senam
Kegel.
Saran Saran untuk peneliti ,agar hasil penelitian dapat
digambarkan secara singkat padat dan jelas.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan kencing. Anamnesis


dan pemeriksaan fisik yang baik, dengan beberapa prosedur diagnostik
yang diperlukan mempunyai hasil yang baik untuk menegakkan diagnosis
gangguan ini. Jenis inkontinensia urine yang utama yaitu
inkontinensiastres, urgensi, luapan dan fungsional. Penatalaksanaan
konservatif dilakukanpada kasus inkompetem sfingter uretra sebelum
terapi bedah. Bila dasar inkontinensia neurogen atau mental maka
pengobatan disesuaikan dengan faktor penyebab.

B. Saran

Agar penderita inkontinensia urine tetap menjaga kebersihan diri agar


terhindar dari infeksi pada saluran kemih bagian bawah dan tetap menjaga
keseimbangan intake dan output cairan, agar tidak terjadi deficit volum
cairan.

30
Selain itu, penulisan makalah ini diharapkan dapat memotivasi masyarakat
atau pembaca, agar dapat menjaga kesehatan organ eliminasi sehingga
proses eliminasi di dalam tubuh manusia dapat berjalan dengan baik dan
seimbang

DAFTAR PUSTAKA

1. Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep


dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Medika.

2. Darmojo B. 2009. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut.


Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

31
3. Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantar kebutuhan dasar
manusia: aplikasi konsep dan proses keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika

4. Nurarif .A.H dan Kusuma, H (2015). APLIKASI Asuhan


Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-
NOC. Jogjakarta: MediAction

5. Potter, Patricia A. (2005). Buku ajar fundamental


keperawatan: Proses dan praktik. Ed. 4. Jakarta: EGC

32

Anda mungkin juga menyukai