Anda di halaman 1dari 64

TUGAS ILMU PENYAKIT DALAM

CASE REPORT
”Congestif Heart Failure+ Anemia e.c Melena+Gastroenteritis ”

Perceptor:
dr. Rina Kriswiastiny, Sp.Pd.

Oleh:
Annisa Mardhiyyah, S.Ked

KEPANITERAAN KLINIK SMF PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT DR.H. ABDUL MOELOEK LAMPUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2017
LAPORAN KASUS

IDENTIFIKASI PASIEN

MR : 00.51.36.63
Nama : Ny. H
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 45 tahun
Alamat : Blambangan Umpu
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Masuk IGD RSAM : Senin, 24 Juli 2017, pukul : 22.34 WIB
Masuk Rawat Inap : Selasa, 25 Juli 2017,pukul : 08.00 WIB

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 25 Juli
2017.
Keluhan Utama

Sesak Nafas ± 2 hari SMRS dirasakan semakin memberat

Keluhan Tambahan

Bab Hitam (+) sejak 5 hari SMRS, Demam (+), Kepala terasa berat (+), Keringat dingin (+),

Penurunan Nafsu Makan (+)

Riwayat Perjalanan Penyakit

Os memiliki riwayat sakit jantung sejak 6 tahun yang lalu,pernah dirawat dengan

keluhan sesak nafas namun setelahnya tidak pernah kontrol dan tidak berobat.Sekarang

Os mengeluh sesak nafas. Sesak nafas bertambah berat sejak ± 2 hari SMRS terutama saat tidur di
malam hari tanpa bantal yang tinggi. Os merasa membaik saat tidur menggunakan lebih dari 1 bantal.

Os mengeluh kedua kakinya bengkak sejak beberapa hari sebelum masuk rumah sakit. Os juga

mersakan mudah mudah capek, keluhan ini disertai BAB seperti bubur warna

kehitaman sejak ± 5 hari SMRS, darah segar (-), lendir (-), bau seperti tinja, os BAB ± 5x/ hari.

Namun 2 hari ini BAB berwarna kehijauan tanpa disertai darah dan lendir, BAB ± 3x/ hari. Keesokan

harinya os mengeluh BAB seperti bubur warna kehitaman bercampur hijau, darah segar (-

), lendir (-), bau seperti tinja, os BAB ± 5x/ hari setiap os BAK. Sudah seminggu yang lalu os demam

(+) demam dirasakan naik turun tidak bergantung dengan waktu, kepala terasa berat (+), keringat

dingin (+), mengigil (-), berkeringat dingin (+), Nyeri ulu hati (+), BAK lancar ,sinkop (-).

Os pernah dibawa ke salah satu rumah sakit yang ada di Way Kanan kemudian dirujuk

ke salah satu rumah sakit yang ada di Kotabumi dan akhirnya di rujuk ke RSAM.

Riwayat penyakit dahulu


(-) Cacar (-) Malaria (-) Batu Ginjal /Sal.
Kemih
(-) Cacar Air (-) Disentri (-) Burut (Hernia)
(-) Difteri (-) Hepatitis (-) Penyakit Prpasientat
(-) Batuk Rejan (-) Tifus Abdominalis (-) Wasir
(-) Campak (-) Skirofula (-) Diabetes
(√) Influenza (-) Sifilis (-) Alergi
(-) Tonsilitis (-) Gonore (-) Tumor
(-) Kholera (√) Hipertensi (-) Penyakit Pembuluh
Darah
(-) Demam Rematik (-) Ulkus Ventrikuli (-) CRF
Akut
(-) Pneumonia (-) Ulkus Duodeni (-) Operasi
(-) Pleuritis (√) Gastritis (-) Kecelakaan
(-) TB-MDR (-) Batu Empedu (√) Penyakit jantung

Riwayat penyakit keluarga

Hubungan Diagnosa Keadaan kesehatan Penyebab Meninggal

Kakek - - -
Nenek - - -
Ayah Hipertensi - Stroke
Ibu TBC - TBC
Saudara - - -
Anak-anak - - -

Adakah Kerabat yang Menderita

Penyakit Ya Tidak Hubungan


Alergi √
Asma √
Tuberkulosa √ Ibu
Artritis √
Rematisme √
Hipertensi √ Ayah
Jantung √
Ginjal √
Lambung

Riwayat Pribadi

Pasien sudah menikah dan mempunyai anak. Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga.

Status sosial ekonomi kurang, Pasien mengaku sering makan yang berminyak seperti gorengan,

dan kurang berolahraga.


A. ANAMNESIS SISTEM

Kulit

(-) Bisul (-) Rambut (+) Keringat malam


(-) Kuku (-) Kuning / Ikterus (-) Sianpasienis
(-) Lain-lain

Kepala
(-) Trauma (+) Sakit kepala
(-) Sinkop (-) Nyeri pada sinus

Mata (tidak ada keluhan)


(-) Nyeri (-) Mata merah
(-) Sekret (-) Gangguan penglihatan
(-) Kuning / Ikterus (-) Ketajaman penglihatan

Telinga (tidak ada keluhan)


(-) Nyeri (-) Tinitus
(-) Sekret (-) Gangguan pendengaran
(-) Kehilangan pendengaran

Hidung(tidak ada keluhan)


(-) Trauma (-) Gejala penyumbatan
(-) Nyeri (-) Gangguan penciuman
(-) Sekret (-) Pilek
(-) Epistaksis

Mulut
(-) Bibir (-) Lidah (kotor)
(-) Perdarahan Gusi (-) Gangguan pengecap
(-) Selaput (-) Stomatitis

Tenggorokan
(-) Nyeri tenggorokan (-) Perubahan suara

Leher
(-) Benjolan (-) Nyeri leher

Jantung / Paru-Paru
(-) Nyeri dada (+) Sesak nafas
(-) Berdebar (-) Batuk darah
(+) Ortopnoe (-) Batuk

Abdomen (Lambung / Usus)


(-) Rasa kembung (-) Perut membesar
(-) Mual (-) Wasir
(-) Muntah (-) Mencret
(-) Muntah darah (-) Tinja berdarah
(-) Sukar menelan (-) Tinja berwarna dempul
(+) Nyeri perut (+) Tinja berwarna hitam
(-) Benjolan

Saluran Kemih / Alat Kelamin(tidak ada keluhan)


(-) Disuria (-) Kencing nanah
(-) Stranguri (-) Kolik
(-) Poliuria (-) Oliguria
(-) Polakisuria (-) Anuria
(-) Hematuria (-) Retensi urin
(-) Kencing batu (-) Kencing menetes
(-) Ngompol (tidak disadari) (-) Penyakit prpasientat

Katamenis (tidak ada keluhan)


(-) Leukore (-) Perdarahan
( -) Lain-lain

Haid
(-) Haid terakhir (-) Jumlah dan lamanya (-) Menarche
(-) Teratur (-) Nyeri (-) Gejala
klimakterium
(-) Gangguan haid (-) Pasca menopause

Saraf dan Otot(tidak ada keluhan)


(-) Anestesi (-) Sukar menggigit
(-) Parestesi (-) Ataksia
(+) Otot lemah (-) Hipo/hiper-estesi
(-) Kejang (-) Pingsan
(-) Afasia (-) Kedutan (tick)
(-) Amnesis (-) Pusing (Vertigo)
(-) Nyeri otot (-) Gangguan bicara (disartri)

Ekstremitas
(+) Bengkak (-) Deformitas
(-) Nyeri sendi (-) Sianpasienis

Berat Badan
Berat badan rata-rata (kg) : 70 kg
Tinggi Badan (cm) : 160 cm
Berat badan sekarang (kg) : 70 kg
(Bila pasien tidak tahu dengan pasti)
Tetap (√ )
Turun ( )
Naik ()

Riwayat Hidup

Tempat lahir : ( ) Di rumah (√ ) Rumah Bersalin ( ) RS Bersalin


Ditolong oleh : ( ) Dokter (√ ) Bidan ( ) Dukun
( )Lain-lain

Riwayat Imunisasi (pasien tidak ingat)


( -) Hepatitis ( -) BCG (- ) Campak (- ) DPT (- ) Polio (- )Tetanus

Riwayat Makanan
Frekuensi /hari : ± 1-2 x sehari
Jumlah /hari : ± 1-2 piring sehari
Variasi /hari : Bervariasi
Nafsu makan : Kurang Baik

Pendidikan
() SD (√) SLTP ( ) SLTA ( ) Sekolah Kejuruan ( ) Akademi
( ) Kursus ( ) Tidak sekolah

Kesulitan
Keuangan : tidak ada
Pekerjaan : tidak ada
Keluarga : tidak ada
Lain-lain : -
B. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan Umum

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis
Tinggi badan : 160 cm
Berat Badan : 70 kg
IMT : 27,34 (Overweight)
Tekanan darah : 130/100 mmHg
Nadi : 118 x/menit isi tegangan cukup.
Pernafasan : 38 x/menit
Suhu : 38.2˚C
Edema umum : Kedua kaki

Aspek Kejiwaan

Tingkah laku : wajar/gelisah/tenang/hipoaktif/hiperaktif


Alam perasaan : Biasa/sedih/gembira/cemas/takut/marah
Proses pikir : wajar/cepat/gangguan waham/fobia/obsesi

Status generalisata
 Kulit
Warna : Sawo matang Efloresensi :-
Jaringan parut : Tidak ditemukan Pigmentasi :-
Pertumbuhan rambut : Merata Pembuluh darah : Normal
Suhu raba : Hangat Lembab/kering : Kering
Lapisan lemak : Cukup Ikterus :-
Keringat, umum : Normal Turgor : Normal
Edema : Tidak ditemukan
 Kelenjar getah bening
Submandibula : Tidak teraba benjolan Leher : Tidak teraba
Supraklavikula : Tidak teraba benjolan Ketiak : Tidak teraba
Lipat paha : Tidak teraba benjolan
 Kepala
Ekspresi wajah : Wajar Simetris muka : Simetris
Rambut : Normal
 Mata
Eksolftalmus : Tidak ada Enoftalmus : Tidak ada
Kelopak : Normal Lensa : Normal
Konjungtiva : Anemis Visus : Normal
Sklera : Normal Gerakan mata : Normal
Lap.penglihatan : Normal Tekanan bola mata : Normal
Deviatio konjungtiva : Tidak ada Nistagmus : Tidak ada
 Telinga
Tuli : Tidak tuli Selaput pendengaran : Intak
Lubang : Normal Penyumbatan : Tidak ada
Serumen : Tidak ada Perdarahan : Tidak ada
 Mulut
Bibir : Kering Tonsil : Normal
Langit-langit : Normal Bau nafas : Bau keton (-)
Trismus : Tidak ada Lidah : Normal
Faring : Tidak hiperemis
 Leher
Tekanan vena jugularis : JVP 5+2 cm H2O
Kelenjar tiroid : Normal, tidak ada pembesaran
Kelenjar limfe : Normal, tidak ada pembesaran
 Dada
Bentuk : Normochest
Pembuluh darah : Normal
Paru-Paru

Depan Belakang

Inspeksi Hemithoraks simetris Hemithoraks simetris


kiri dan kanan kiri dan kanan

Palpasi Kiri Fremitus taktil terasa Fremitus taktil terasa


pergerakan dinding pergerakan dinding
thorax (normal) thorax (normal)

Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Fremitus taktil terasa


Fremitus taktil terasa
Kanan pergerakan dinding
pergerakan dinding
thorax (normal)
thorax (normal)

Perkusi Kiri Sonor pada seluruh Sonor pada seluruh


lapang paru (normal) lapang paru (normal)

Auskultasi : Vesikuler

(+) normal, ronkhi


basah halus (-) di kedua

basal paru, wheezing (-)

Sonor pada seluruh


Kanan Sonor pada seluruh
lapang paru (normal)
lapang paru (normal)

Auskultasi Kiri Vesikuler (+), Vesikuler (+),

Ronkhi (-), Ronkhi (-),

Wheezing(-) Wheezing(-)

Kanan Vesikuler (+), Vesikuler (+),

Ronkhi (-) Ronkhi (-),

Wheezing(-) (normal) Wheezing(-) (normal)

Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba pulsasi di ICS V mid axilaris sinistra
Perkusi : Batas atas jantung ICS II Batas kanan jantung linea sternalis

dextra ICS VI Batas kiri jantung linea aksilaris sinistra ICS VI

Auskultasi : BJ I dan II normal reguler, murmur (-), gallop (-)

Pembuluh darah
Arteri temporalis : Teraba
Arteri karotis : Teraba
Arteri brakhialis : Teraba
Arteri radialis : Teraba
Arteri femoralis : Teraba
Arteri poplitea : Teraba
Arteri tibialis posterior : Teraba

Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi Dinding perut : Nyeri tekan (+) di region epigastrium
Hati : Tidak teraba ada pembesaran
Limpa : Tidak teraba ada pembesaran
Ginjal : Ballotement (-)
Perkusi : Timpani , Shifting dullness (-)

Genetalia : Normal

Anggota Gerak
Kanan Kiri
Lengan Normal Normal
Otot Normal Normal
Tonus Normal Normal
Massa Tidak ada Tidak ada
Sendi Normal Normal
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan 5/5 5/5

Tungkai dan kaki


- Luka : Tidak ada
- Varises : Tidak ada
- Otot (tonus dan massa) : Normal
- Sendi : Normal
- Gerakan : Aktif
- Kekuatan : 5/5
- Edema : Ada
- Lain-lain :-

Pemeriksaan Penunjang (24 Juli 2017)


Laboratorium

Hemoglobin: 7,0 g/dl


Hemotokrit: 23%
Trombosit: 75.000 x 10 3/ µL

Pemeriksaan Penunjang (25 Juli 2017)

Bilirubin total : 0,6 mg/dl


Bilirubin direk : 0,2 mg/dl
Bilirubin indirek : 0,4 mg/dl
Dengue Fever IgM : Negatif
Dengue Fever IgG : Negatif
HBs Ag : Non Reaktif
Anti HCV : Non Reaktif
PT : 14,2 sec
Kontrol PT : 14,8 detik
INR : 1,12 INR
Kontrol INR : 1,26
APTT : 33,6 sec.
Kontrol APTT : 40,0 detik
Pemeriksaan Rontgen

Kesan: Kardiomegali

RINGKASAN

Os memiliki riwayat sakit jantung sejak 6 tahun yang lalu,pernah dirawat dengan

keluhan sesak nafas namun setelahnya tidak pernah kontrol dan tidak berobat.Sekarang

Os mengeluh sesak nafas. Sesak nafas bertambah berat sejak ± 2 hari SMRS terutama saat tidur di

malam hari tanpa bantal yang tinggi. Os merasa membaik saat tidur menggunakan lebih dari 1 bantal.

Os mengeluh kedua kakinya bengkak sejak beberapa hari sebelum masuk rumah sakit. Os juga

mersakan mudah mudah capek, keluhan ini disertai BAB seperti bubur warna

kehitaman sejak ± 5 hari SMRS, darah segar (-), lendir (-), bau seperti tinja, os BAB ± 5x/ hari.

Namun 2 hari ini BAB berwarna kehijauan tanpa disertai darah dan lendir, BAB ± 3x/ hari. Keesokan
harinya os mengeluh BAB seperti bubur warna kehitaman bercampur hijau, darah segar (-

), lendir (-), bau seperti tinja, os BAB ± 5x/ hari setiap os BAK. Sudah seminggu yang lalu os demam

(+) demam dirasakan naik turun tidak bergantung dengan waktu, kepala terasa berat (+), keringat

dingin (+), mengigil (-), berkeringat dingin (+), Nyeri ulu hati (+), BAK lancar ,sinkop (-).

Os pernah dibawa ke salah satu rumah sakit yang ada di Way Kanan kemudian dirujuk

ke salah satu rumah sakit yang ada di Kotabumi dan akhirnya di rujuk ke RSAM.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 130/100 mmHg, pernapasan

38x/menit tanpa oksigen, nadi 188x/menit, dan suhu 38,25 C. Pada pemeriksaan fisik

kepala tidak didapatkan kelainan, mata konjungtiva anemis. Pada pemeriksaan fisik

paru didapatkan Inspeksi : Statis, dinamis simetris. Palpasi : Nyeri tekan (-), fremitus

kiri normal, fremitus kanan normal. Perkusi: sonor di semua lapangan paru. Auskultasi

: Vesikuler (+) normal, ronkhi basah halus (-) di kedua basal paru, wheezing (-). Pada

pemeriksaan fisik jantung Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat, Palpasi : Iktus kordis

teraba pada linea aksilaris anterior sinistra ICS V. Perkusi : Batas atas jantung ICS II

Batas kanan jantung linea sternalis dextra ICS VI Batas kiri jantung linea aksilaris

sinistra ICS VI. Auskultasi:BI I dan II normal reguler, murmur (-), gallop (-). Pada

pemeriksaan fisik abdomen abdomen dalam nyeri tekan di regio epigastrium. Pada pemeriksaan

fisik ekstremitas bawah , nyeri otot dan sendi (-), kekuatan +5, pigmentasi dalam batas

normal, turgor cukup, edema pretibial (+).


C. DIAGNOSIS KERJA DAN DASAR DIAGNOSIS PASIEN

1. Diagnosis Kerja
CHF + Anemia e.c Melena dan Gastroenteritis

2. Dasar Diagnosis
Anamnesis : Sesak nafas yang memberat 2 hari smrs, bab hitam 5 hari
smrs, lemas
Pemeriksaan Fisik : konjungtiva anemis, nyeri tekan pada regio epigastrium
(+), edema pada kedua tungkai bawah (kaki)

Pemeriksaan Penunjang: Rontgen Thoraks didapatkan kardiomegali.


EKG sinus takikardi

D. DIAGNOSIS DIFFERENSIAL
1. Diagnosis Deferensial
Sirosis Kardiak
Disentri
PPCM
Ulkus Gaster

E. RENCANA PENGELOLA

Non Farmakologis :

Istirahat

Oksigen 2-3 liter

Tetap menjaga intake cairan setiap hari

Diet bubur saring 1500/hari

Farmakologis:
IVFD Asering 20 gtt x/m. Mikro.

Cefotaxim 3 x 1 gram iv

Paracetamon 3 x 500 mg p.o

Furosemid 2 x 20 g iv

F. PROGNOSIS

Qua ad vitam : dubia ad bonam


Qua ad sanationam : dubia ad bonam
Qua ad fungsionam : dubia ad bonam

FOLLOW UP

Selasa, 25 Juli 2017 pukul 19.00 WIB

S S/ pasien mengeluh seska nafas yang makin memberat, BAB masih kehitaman namun
tidak ada, lendir - , kepala sakit+, demam +
O Keadaan umum:

Kesadaran : tampak sakit sedang

Tekanna darah: 130/100mm Hg


T 38,2
N 114x regular
Rr : 38x/menit
Cjt anemis +/+

Kepala:

Cjt anemis +/+


Leher:

JVP (5+2) cm H2O, pembesaran KGB -

Paru:

I: Bentuk dada simetris statis dan dinamis

P: Vokal fremitus paru kanan = kiri

P: Sonor kanan dan kiri

A: Vesikuler +/+ Ronkhi paru -/-

Jantung:

- Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak

- Palpasi : Iktus cordis tidak teraba

- Perkusi : Batas jantung atas : ICS II linea parasternalis dextra

Batas jantung kanan : ICS IV linea sternalis dextra

Batas jantung kiri : ICS V lateral dari midklavikula sinistra

- Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 normal, reguler. Murmur (-)

Gallop (-)

Abdomen:

I: Dinding perut datar

A: Bising usus (+) normal

P: Nyeri tekan epigastrium (+),

P: timpani

Extremitas:
Extremitas : capillary refill >2 detik

A CHF + Anemia e.c Melena dan Gastroenteritis

P - IVFD Asering gtt 10 tpm


- O2 nasal 2-3 l
- Inj Cefotaxim 3x1
- Paracetamol 3x1
- Furosemide 2x2

Rabu, 26 Juli 2017 pukul 06.00 WIB

S S/ pasien mengeluh seska nafas yang makin memberat, BAB masih kehitaman namun
tidak ada, lendir - , kepala sakit+, demam +
O Keadaan umum:

Kesadaran : tampak sakit sedang

Tekanan darah: 130/100mm Hg


T 38,2
N 98x regular
Rr : 31x/menit
Cjt anemis +/+

Kepala:

Cjt anemis +/+

Leher:

JVP (5+2) cm H2O, pembesaran KGB -

Paru:

I: Bentuk dada simetris statis dan dinamis


P: Vokal fremitus paru kanan = kiri

P: Sonor kanan dan kiri

A: Vesikuler +/+ Ronkhi paru -/-

Jantung:

- Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak

- Palpasi : Iktus cordis tidak teraba

- Perkusi : Batas jantung atas : ICS II linea parasternalis dextra

Batas jantung kanan : ICS IV linea sternalis dextra

Batas jantung kiri : ICS V lateral dari midklavikula sinistra

- Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 normal, reguler. Murmur (-)

Gallop (-)

Abdomen:

I: Dinding perut datar

A: Bising usus (+) normal

P: Nyeri tekan epigastrium (+),

P: timpani

Extremitas:

Extremitas : capillary refill >2 detik

A CHF + Anemia e.c Melena dan Gastroenteritis

P - IVFD Asering gtt 10 tpm


- O2 nasal 2-3 l
- Inj Cefotaxim 3x1
- Paracetamol 3x1
- Furosemide 2x2

Kamis, 27 Juli 2017 pukul 19.00 WIB

S S/ pasien mengeluh seska nafas yang makin memberat, BAB masih kehitaman namun
tidak ada, lendir - , kepala sakit+, demam +
O Keadaan umum:

Kesadaran : tampak sakit sedang

Tekanna darah: 130/100mm Hg


T 36,2
N 114x regular
Rr : 38x/menit
Cjt anemis +/+

Kepala:

Cjt anemis +/+

Leher:

JVP (5+2) cm H2O, pembesaran KGB -

Paru:

I: Bentuk dada simetris statis dan dinamis

P: Vokal fremitus paru kanan = kiri

P: Sonor kanan dan kiri

A: Vesikuler +/+ Ronkhi paru -/-

Jantung:
- Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak

- Palpasi : Iktus cordis tidak teraba

- Perkusi : Batas jantung atas : ICS II linea parasternalis dextra

Batas jantung kanan : ICS IV linea sternalis dextra

Batas jantung kiri : ICS V lateral dari midklavikula sinistra

- Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 normal, reguler. Murmur (-)

Gallop (-)

Abdomen:

I: Dinding perut datar

A: Bising usus (+) normal

P: Nyeri tekan epigastrium (+),

P: timpani

Extremitas:

Extremitas : capillary refill >2 detik

A CHF + Anemia e.c Melena dan Gastroenteritis

P - IVFD Asering gtt 10 tpm


- O2 nasal 2-3 l
- Inj Cefotaxim 3x1
- Paracetamol 3x1
- Furosemide 2x2
ANALISIS KASUS

1. Apakah faktor penyebab terjadinya Melena + Anemia perdarahan pada kasus ini?
Melena adalah pengeluaran feses atau tinja yang berwarna hitam seperti ter yang
disebabkan oleh adanya perdarahan saluran cerna bagian atas. Perdarahan saluran
cerna bagian atas bisa disebabkan karna perdarahan variseal atau non variseal. Di
Indonesia perdarahan karena perdarahan variseal merupakan penyebab tersering
yaitu sekitar 50%-60%, disusul oleh gastritis erosifa hemoragika sekitar 25% - 30%,
tukak peptik sekitar 10% - 15% dan karena sebab lainnya <5%. Pada kasus tidak
didapatkan riwayat yang mengarah ke perdarahan variseal. Jadi perdarahan saluran
cerna bagian atas pada kasus disebabkan akibat perdarahan non variseal yaitu
gastritis erosifa.
Selain melena, diagnosis lain adalah anemia perdarahan. Pada kasus, anemia ini
disebabkan karena perdarahan yang terjadi di saluran cerna bagian atas. Hal ini
membuat kadar Hb pasien menjadi turun dan jatuh dalam anemia. Pada anamnesis
juga didapatkan gejala anemia yaitu pusing dan badan yang terasa lemas setelah
pasein mengalami melena.

2. Apakah diagnosis pada kasus ini sudah tepat?


Diagnosis pada kasus ini sudah tepat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan. Namun untuk gastritis erosifa harus
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan penunjang yaitu endoskopi. Dari anamnesis
didapatkan keluhan pasien yang mengalami muntah darah dan BAB berwarna
hitam. Keluhan juga disertai dengan pusing dan bedan yang terasa lemas. Pada
pemeriksaan fisik, didapatkan konjungtiva anemis pada kedua mata, didapatkan
nyeri tekan (+) di regio epigastrium serta edema pada kedua tungkai bawah. Pada
pemeriksaan penunjang didapatkan kadar Hb 7,0 g/dl.

Diagnosis anemia et causa gastroenteritis akut pada kasus ini ditegakkan


berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari
anamnesis didapatkan bahwa pasien adalah seorang wanita berumur 46 tahun
dengan keluhan diare >5x/ hari , demam sejak 5 hari SMRS. Pasien memiliki
riwayat makan petis dan cilok. Untuk mengurangi keluhan pasien sempat mengobati
RS D dan diare berhenti namun demam kembli muncul keesokan harinya.

Pasien dapat didiagnosis anemia et causa gastroenteritis karena penurunan kadar Hb


yang menandakan anemia. Sesuai juga terhadap klinis yang dialami pasien yaitu
diare berupa cairan dengan ampas tanpa disertai lendir, demam, pusing, dan sempat
mengalami bab warna kehitaman.

3. Apakah penanganan pada kasus sudah tepat?


Penanganan pada kasus sudah tepat karena terapi ditujukan untuk menghentikan
perdarahan saluran cerna yang sedang berlangsung dan juga meningkatkan kadar
Hb. Pada kasus dierikan terapi diet lambung 1 dan obat-obatan pelindung gaster dan
obat untuk menghentikan perdarahan lambung. Untuk meningkatkan kadar Hb
dilakukan transfusi darah PRC sebanyak 200 cc.

Tatalaksana Non Farmakologi yang dianjurkan pada pasien adalah Istirahat yang
cukup, Diet Lunak dan mengurani makana tinggi serat, Kompres hangat jika
demam, Edukasi. Kemudian anjuran tatalaksana farmakologi seperti IVFD Asering
X gtt, Paracetamol 3x1,Inj Cefotaxim 3x1, serta Furosemide 2x1.
BAB I
PENDAHULUAN

Gagal jantung (heart failure) adalah kondisi dimana fungsi jantung sebagai pompa
untuk menghantarkan darah yang kaya oksigen ke tubuh tidak cukup untuk
memenuhi keperluan tubuh. Gagal jantung akut (acute heart failure) adalah
serangan cepat dari gejala-gejala atau tanda-tanda akibat fungsi jantung yang
abnormal. Gagal jantung akut dapat berupa acute de novo (serangan baru dari gagal
jantung akut, tanpa ada kelainan jantung sebelumnya) atau dekompensasi akut dari
gagal jantung kronik. Disfungsi yang terjadi pada gagal jantung dapat berupa
disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik. Gagal jantung kronis (chronic heart
failure) juga didefinisikan sebagai sindroma klinik yang komplek yang disertai
keluhan gagal jantung berupa sesak, fatiq baik dalam keadaan istirahat maupun
beraktifitas (Ghani, 2006).
Sindroma gagal jantung ini merupakan manifestasi lanjut dari penyakit- penyakit
jantung tertentu termasuk penyakit jantung koroner, hipertensi, penyakit katup
jantung dan penyakit miokardium primer. Penyakit jantung koroner merupakan
etiologi gagal jantung akut pada pasien usia lanjut. Sedangkan pada usia muda,
gagal jantung akut sering diakibatkan oleh kardiomiopati dilatasi, aritmia, penyakit
jantung kongenital, valvular dan miokarditis.

Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan merupakan
penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung. Prevalensi yang
besar dan merata pada negara- negara maju, maupun negara yang sedang
berkembang. Dari selutruh penduduk Amerika Serikat yang berjumlah lebih dari
900 juta penduduk setidaknya tedapat 15 juta pasien mengidap gagal jantung dari
51 negara bagian. Statistik dari NHBI (National Heart and Blood Institute) bekerja
sama dengan FHS( Frammingham Heart Study) mendapatkan bahwa insidensi
gagal jantung dunia mencapai 10 per 1000 populasi setelah umur 65 tahun. Studi ini
juga mengidentifikasi riwayat hipertensi pada 75% pasien gagal jantung.

Gagal jantung memiliki outcome yang buruk. Pasien dengan diagnosa gagal jantung
memiliki angka motalitas sekitar 50% dalam jangka waktu 4 tahun dan 40% pasien
akan menjalani rehospitalisasi dalam tempo 1 tahun. NCHS (National Center For
Health Statistics) di Amerika Serikat mendapatkan bahwa dari 9 sertifikat kematian,
1 sertifikat mencantumkan gagal jantung sebagai penyebab kematian. Angka
kejadian gagal jantung semakin meningkat dari tahun ke tahun, data WHO tercatat
1,5% sampai 2% orang dewasa di Amerika Serikat menderita gagal jantung dan
700.000 diantaranya memerlukan perawatan di rumah sakit per tahun. Faktor risiko
terjadinya gagal jantung yang paling sering adalah usia lanjut, 75% pasien yang
dirawat dengan gagal jantung berusia 65-75%. Terdapat 2 juta kunjungan pasien
rawat jalan per tahun yang menderita gagal jantung. Kemudian menurut penelitian
angka kejadian gagal jantung kronik di Amerika Serikat, jumlahnya sekitar tiga juta
orang, lebih dari empat ratus ribu kasus baru dilaporkan tiap tahun (Mcphee, MD &
Ganong, MD, 2011).

Gagal jantung merupakan salah satu penyakit yang dapat mempengaruhi keadaan
sitem tubuh lainnya sehingga gagal jantung merupakan penyakit yang kompleks dan
pemberian terapi sangat diperlukan dalam mengatasi masalah tersebut. Terapi yang
diberikan pada pasien dengan gagal jantung yaitu terapi farmakologi seperti
Diuretics, Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors, Beta-blockers,
Angiotensin receptor blockers (ARB), Aldosterone antagonist, dan Digoxin (Chau,
2006).

Melena adalah pengeluaran feses atau tinja yang berwarna hitam seperti ter yang
disebabkan oleh adanya perdarahan saluran cerna bagian atas. Hematemesis melena
merupakan suatu keadaan gawat darurat di dalam bidang penyakit dalam. Insidensi
terjadinya kasus ini berkisar antara 100-150 per 100.000 di Amerika. Angka
kematian 8-10 % dan bertahan dalam 40 tahun terakhir.

Di negara barat perdarahan karena tukak peptik menempati urutan terbanyak


sedangkan di Indonesia perdarahan karena ruptur varises gastroesofagus merupakan
penyebab tersering yaitu sekitar 50%-60%, gastritis erosifa hemoragika sekitar
25%-30%, tukak peptik sekitar 10% - 15% dan karena sebab lainnya <5%.
Kecenderungan saat ini menunjukkan bahwa perdarahan yang terjadi karena
pemakaian jamu rematik menempati urutan terbanyak sebagai penyebab perdarahan
Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) yang datang ke Unit Gawat Darurat (UGD) RS
Hasan Sadikin. Mortalitas secara keseluruhan masih tinggi yaitu sekitar 25%,
kematian pada penderita ruptur varises bisa mencapai 60% sedangkan kematian
pada perdarahan non varises sekitar 9%-12%.

Angka kematian di berbagai belahan dunia menunjukkan jumlah yang cukup tinggi,
terutama di Indonesia yang wajib menjadi perhatian khusus. Berdasarkan hasil
penelitian di Jakarta didapati bahwa jumlah kematian akibat perdarahan saluran
cerna atas berkisar 26%. Insiden perdarahan SCBA dua kali lebih sering pada pria
dari pada wanita dalam seluruh tingkatan usia; tetapi jumlah angka kematian tetap
sama pada kedua jenis kelamin. Angka kematian meningkat pada usia yang lebih
tua (>60 tahun) pada pria dan wanita.

Faktor utama yang berperan dalam tingginya angka kematian adalah kegagalan
untuk menilai masalah ini sebagai keadaan klinis yang gawat dan kesalahan
diagnostik dalam menentukan sumber perdarahan. Untuk memeriksa perdarahan
saluran cerna atas dilakukan pemeriksaan endoskopi untuk menegakkan diagnosa
tentang penyebab yang dapat menimbulkan perdarahan saluran cerna bagian atas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi

Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak
mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang
penting dari definisi ini adalah pertama, definisi gagal adalah relatif terhadap
kebutuhan metabolik tubuh. Kedua, penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi
pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik
pada fungsi miokardium; gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal
jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan
mencegah perkembangan penyakit menjadi gagal jantung.

Beberapa istilah dalam gagal jantung :


1. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari
pemeriksaan fisis, foto thoraks atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan
echocardiography.

Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa


sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, kemampuan
aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.

Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian


ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan
fraksi ejeksi lebih dari 50%. Ada 3 macam gangguan fungsi diastolik;
gangguan relaksasi, pseudo-normal, tipe restriktif.

2. Low Output dan High Output Heart Failure


Low output heart failure disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi,
kelainan katup dan perikard. High output heart failure ditemukan pada
penurunan resistensi vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia,
kehamilan, fistula A–V, beri-beri, dan penyakit Paget. Secara praktis, kedua
kelainan ini tidak dapat dibedakan.

3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan


Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena
pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea. Gagal
jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti
pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik
sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer,
hepatomegali, dan distensi vena jugularis. Tetapi karena perubahan biokimia
gagal jantung terjadi pada miokard ke-2 ventrikel, maka retensi cairan pada
gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahun tidak lagi berbeda.

4. Gagal Jantung Akut dan Kronik


Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat
endokarditis, trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun
secara tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema
perifer. Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau
kelainan multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer
sangat menyolok, namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik.

Gagal jantung akut adalah serangan cepat dari gejala-gejala atau tanda–tanda
akibat fungsi jantung yang abnormal. Gagal jantung akut dapat berupa acute
de novo (serangan baru dari gagal jantung akut, tanpa ada kelainan jantung
sebelumnya) atau dekompensasi akut dari gagal jantung kronik. Disfungsi
yang terjadi pada gagal jantung dapat berupa disfungsi sistolik atau disfungsi
diastolik. Gagal jantung akut atau disebut juga gagal jantung akut
dekompensasi adalah suatu perubahan cepat jangka pendek di mana muncul
tanda dan gejala gagal jantung yang membutuhkan penanganan segera. Gejala
dapat muncul cepat dan progresif dalam hitungan jam, hari, atau minggu,
kadang disertai kejadian iskemia regional akut atau infark miokard, fibrilasi
atrium, aritmia, atau kerusakan fungsi katup yang disebabkan oleh rupturnya
m. papillaris atau chordae tendinea.

Gagal jantung akut dibedakan dengan gagal jantung kronik di mana pada
gagal jantung kronik kondisinya lebih stabil namun terdapat gejala-gejala
gagal jantung atau disebut juga gagal jantung terkompensasi. Faktor-faktor
spesifik yang terlibat pada perubahan status terkompensasi menjadi
dekompensasi pada tiap-tiap pasien gagal jantung dapat bervariasi, tidak
sepenuhnya dipahami, dan dapat memakan waktu harian hingga mingguan.
Pada gagal jantung kronik dapat terjadi kelelahan karena menurunnya cardiac
output dan sinyal neurologis yang berasal dari otot - otot skelet yang rusak
karena kurang mendapat suplai darah. Selain itu, akumulasi cairan juga dapat
terjadi yang berujung pada kongesti paru dan edema perifer yang disebut
gagal jantung kongestif.

Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure, hampir
selalu disertai peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena (backward
failure), karena ventrikel yang lemah tidak mampu memompa darah dalam
jumlah normal, hal ini menyebabkan peningkatan volume darah di ventrikel
pada waktu diastol, peningkatan tekanan diastolik akhir di dalam jantung dan
akhirnya peningkatan tekanan vena. Gagal jantung kongestif mungkin
mengenai sisi kiri dan kanan jantung atau seluruh rongga jantung.

B. Epidemiologi
Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat pada usia yang
lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prevalensi gagal jantung di Amerika
Serikat mencapai 4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus baru per tahunnya. Di
Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi penyakit gagal jantung, di RS
Jantung Harapan Kita, setiap hari ada sekitar 400-500 pasien berobat jalan dan
sekitar 65% adalah pasien gagal jantung. Meskipun terapi gagal jantung
mengalami perkembangan yang pesat, angka kematian dalam 5-10 tahun tetap
tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit gagal jantung lanjut dan 5-10% dari
pasien dengan gejala gagal jantung yang ringan.

C. Etiologi

Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta dan


defek septum ventrikel. Dan beban akhir meningkatpada keadaan dimana terjadi
stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun
pada infark miokardium dan kardiomiopati. Faktor-faktor yang dapat memicu
perkembangan gagal jantung melalui penekanansirkulasi yang mendadak dapat
berupa: aritmia, infeksi sistemik, infeksi paru-paru dan emboli paru.

Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik, penyakit katup
mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit miokardium primer.
Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal ventrikel kiri, yang
menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan arteria pulmonalis. Gagal
jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal jantung kiri pada pasien
dengan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh paru (kor polmunale) dan pada
pasien dengan penyakit katup arteri pulmonalis atau trikuspid.

D. Klasifikasi
Gagal jantung dapat diklasifikasikan menurut beberapa faktor. The New York
Heart Association (NYHA) membagi gagal jantung menjadi 4 kelas, berdasarkan
hubungannya dengan gejala dan jumlah atau usaha yang dibutuhkan untuk
menimbulkan gejala, sebagai berikut:
1. Kelas I : Penderita dengan gagal jantung tanpa adanya pembatasan aktivitas
fisik, dimana aktivitas biasa tidak menimbulkan rasa lelah dan sesak napas.
2. Kelas II: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan, merasa lega jika beristirahat.
3. Kelas III: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan, kegiatan fisik yang lebih ringan dari
kegiatan biasa sudah memberi gejala lelah, sesak napas.
4. Kelas IV: Penderita dengan gagal jantung yang tidak sanggup melakukan
kegiatan apapun tanpa keluhan, gejala sesak napas tetap ada walaupun saat
beristirahat.

American College of Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA) heart


failure guidelines melengkapi klasifikasi NYHA untuk menggambarkan
perkembangan penyakit dan dibagi menjadi 4 stage, yaitu:
1. Stage A: pasien beresiko tinggi untuk gagal jantung tetapi tidak memiliki
penyakit jantung struktural atau gejala-gejala dari gagal jantung
2. Stage B: pasien memiliki penyakit jantung struktural tetapi tidak memiliki
gejala-gejala dari gagal jantung
3. Stage C: pasien memiliki penyakit jantung struktural dan memiliki gejala-gejala
dari gagal jantung
4. Stage D: pasien memiliki gagal jantung berat yang menuntut intervensi khusus.

E. Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana terjadi gangguan pada
jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta
perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi
gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac
output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal,
sistem Renin–Angiotensin–Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan
natriuretik peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung
sehingga aktivitas jantung dapat terjaga (Sylvia & Price, 2006).
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output
dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta
vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul
berkelanjutan dapat menyebabkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis
yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan
nekrosis miokard fokal (Kumar, 2007).
Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin, angiotensin II
plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten
(arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin
dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan
aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta
meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta
berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung (Kumar, 2007).
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng
memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial
Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap
peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatasi. Pada manusia Brain
Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel,
kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriureticpeptide terbatas pada endotel
pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi
minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap
ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin
II pada tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal.
Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian
yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan
telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung (Greenberg, 2007).
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal
jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian
diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia. Endotelin disekresikan oleh sel
endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang poten
menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung
jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin
meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan
tekanan pulmonary arterycapillary wedge pressure, perlu perawatan dan kematian.
Telah dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang
bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat
endotelin (Greenberg, 2007).
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan
kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri
menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering
adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan
kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit
jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita
gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita
gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul
bersamaan meski dapat timbul sendiri (Greenberg, 2007).
Gambar 3. Patofisiologi dan Simptomatologi CHF

F. Penegakan Diagnosis
Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan
penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto thorax,
EKG, ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium rutin, dan pemeriksaan
biomarker.
Kriteria diagnosis yang dipakai adalah kriteria Framingham untuk diagnosis gagal
jantung kongestif.
a. Kriteria mayor :
1) Paroksismal nokturnal dispneu
2) Ronki paru
3) Edema akut paru
4) Kardiomegali
5) Gallop S3
6) Distensi vena leher
7) Refluks hepatojugular
8) Peningkatan tekanan vena jugularis
b. Kriteria minor :
1) Edema ekstremitas
2) Batuk malam hari
3) Hepatomegali
4) Dispnea d’effort
5) Efusi pleura
6) Takikardi (120x/menit)
7) Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal

Diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan dua kriteria mayor atau satu
kriteria mayor dan 2 kriteria minor.

G. Penatalaksanaan
Berdasarkan guideline ACC/AHA 2005 yang direvisi tahun 2009 memberikan
rekomendasi penatalaksanaan yang berbeda pada setiap stadium dari gagal jantung
yaitu:

Stage A
Tujuan utama penatalaksanaan pada stadium ini adalah untuk mencegah kelainan
struktural dari jantung. Hal ini dapat dilakukan dengan mengontrol faktor resiko
seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, hiperlipidemia,
merokok, konsumsi alkohol, dan penggunaan obat-obatan kardiotoksik, yang akan
menurunkan insidensi kejadian kardiovaskular. Evaluasi periodik terhadap gejala
dan tanda dari gagal jantung dapat dilakukan pada pasien ini. Ventricular rate
hausfi kontrol atau restorasi ke irama sinus pada pasien dengan takiaritmia
supraventrikular yang mempunyai resiko untuk menjadi gagal jantung. Kelainan
tiroid juga harus diatasi sesuai guideline yang berlaku pada psien resiko tinggi.
Penyedia kesehatan harus melakukan evaluasi nonivasif terhadap fungsi ventrikel
kiri (mis, LVEF) pada pasien dengan riwayat keluarga dengan kardiomiopati
ataupun pasien yang menerima intervensi kardiotoksik (Rekomendasi kelas I).

ACE inhibitor dapat digunakan untuk mencegah gagal jantung pada pasien dengan
resiko tinggi menjadi gagal jantung yaitu pasien dengan riwayat penyakit
aterosklerosis, DM, dan hipertensi. Angiotensin receptor II juga dapat digunakan
sebagai pengganti ACE inhibitor (Rekomendasi Kelas II).
Penggunaan suplemen nutrisi rutin terhadap pencegahan kerusakan
struktural jantung tidak direkomendasikan (Rekomendasi Kelas III)

Stage B
Pada pasien stadium ini insidensi dari gagal jantung dapat diturunkan dengan
mengurangi resiko terjadinya cedera tambahan serta menghambat evolusi
dan progresi dari remodeling ventrikel kiri. Semua rekomendasi kelas I pada
stadium A harus diaplikasikan pada semua pasien dengan stadium B. Penyekat
reseptor beta dan ACE inhibitor harus digunakan pada semua pasien dengan
riwayat penyakit sekarang atau terdahulu dari infark miokard. Beta blocker juga
diindikasikan pada pasien tanpa riwayat infark miokard. ACE inhibitor harus
digunakan pada pasien dengan penurunan fraksi ejeksi dan tidak ada gejala gagal
jantng, meskipun telah mengalami infark miokardium. Angiotensin II receptor
blocker juga harus diberikan pada pasien post-MI tanpa gagal jantung yang tidak
toleransi terhadap ACE inhibitor. Revaskularisasi koroner harus
direkomendasikan pada pasien yang tepat yang belum mengalami gejala gagal
jantung. Terapi pengganti atau perbaikan katup jantung harus direkomendasikan
pada pasien stenosis dan regurgitasi katup tanpa gejala gagal jantung
(Rekomendasi Kelas I).

ACE inhibitor ataupun ARB dapat diberikan pada pasien hipertensi dan hipertorfi
ventrikel kiri. ARB dapt diberikan pada pasien dengan fraksi ejeksi yang rendah
dan tanpa gejala dari gagal jantung yang tidak toleransi terhadap ACE inhibitor.
Penempatan ICD dapat dilakukan pada pasien dengan kardiomiopati iskemik yang
minimal lewat 40 hari post-MI, mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri< 30%,
NYHA fungsional kelas I yang telah mendapat terapi medis kronis (Rekomendasi
Kelas II).

Digoksin tidak boleh digunakan pada pasien dengan EF (ejection fraction) rendah,
irama sinus, dan riwayat gejala gagal jantung. Pemakaian suplemen nutrisi tidak
direkomendasikan. Ca channel blocker dengan efek inotrofik negatif
dapat berbahaya pada pasien asimptomatik dengan LVEF rendah dan tidak ada
gejala dari gagal jantung (Rekomendasi Kelas III).

Stage C
Semua rekomendasi kelas I pada pasien stage A dan B dapat dilakukan pada pasien
stage ZC. Pemberian diuretik dan restriksi garam diindikasikan pada pasien
dengan gejala sekarang atau terdahulu dari gagal jantung dan penurunan LVEF
yang mengalami retensi cairan. ACE inhibitor direkomendasikan pada semua
pasien dengan gejala gagal jantung dan penurunan EF, kecuali ada kontraindikasi.
Penggunaan 1 dari 3 beta blocker yaitu bisoprolol, carvediol, dan metoprolol
terbukti mengurangi mortalitas dan direkomendasikan pada pasien ini kecuali
kontraindikasi. ARB dapat digunakan pada pasien yang tidak toleransi terhadap
ACE inhibitor.

Obat-obatan yang dapat memperburuk gagal jantung harus dihentikan dan


dicegah penggunaannya jika mungkin sperti NSAID, obat antiaritmia, dan Ca
Channel blocker. Pemasangan implantable cardioverter-defibrillator
direkomendasikan sebagai pencegahan sekunder untuk memperpanjang survival
pada pasien dengan riwayat henti jantung, fibrilasi ventrikular, atau takikardia
ventrikular yang tidak stabil hemodinamiknya. Alat ini juga sebagai pencegahan
primer terhadap sudden cardiac death pada pasien kardiomiopati dilatasi iskemik
atau penyakit jantung iskemik dengan masa post-MI lebih dari 40 hari, dan LVEF
≤ 35% dengan NYHA fungsional kelas II atau III. Pasien dengan LVEF ≤35%,
irama sinus, dan NYHA fungsional kelas III dan IV dengan durasi QRS ≥0,12
detik, harus dilakukan terapi resinkronisasi jantung, dengan atau tanpa ICD.

Pemberian antagonis aldosterone direkomendasikan pada pasien dengan gejala


sedang sampai berat dan penurunan LVEF dimana kadar kreatinin harus ≤2,5
mg/dL pada pria atau ≤2,0 mg/dL pada wanita dan kadar kalium harus ≤5,0 mEq/L
. Kombinasi hidralazine dan nitrat direkomendasikan pada pasien afro-amerika
dengan gejala sedang dan berat meskipun terapi yang optimal. Pada pasien gagal
jantung dengan hipertensi sistolik dan diastolik dengan LVEF yang normal,
tekanan darah harus dikontrol sesuai dengan guideline yang berlaku.Kontrol rate
ventrikular juga dilakukan pada pasien dengan LVEF normal dan fibrilasi atrium.
Edema pulmonal dan juga perifer juga harus dikontrol dengan penggunaan diuretik
pada pasien dengan LVEF normal (Rekomendasi Kelas I).

Pada pasien dengan fibrilasi atrium dan gagal jantung dapat diatasi dengan kontrol
rate ventrikular. ARB dapat digunakan sebagai lini pertama terutama pada pasien
dengan indikasi lain penggunaan ARB. Digitalis dapat diberikan pada pasien
dengan penurunan LVEF untuk mengurangi masa rawatan. Penambahan
kombinasi hidralazin dan nitrat pada pasien dengan penurunan LVEF pada pasien
dengan gejala yang persisten dapat dilakukan.Penggunaan terapi resinkronisasi
jantung dapat digunakan pada pasien dengan indikasi yang tepat. Kombinasi
hidralazin dan nitrat dapat diberikan pada pasien dengan intoleransi terhadap ACE
inhibitor dan ARB, hipotensi ataupun insufisiensi ginjal. Revaskularisasi koroner
dapat dilakukan pada pasien tertentu yaitu pasien CAD yang simptomatik atau
iskemik miokardium. Restorasi dan maintenance terhadap irama sinus pada pasien
dengan fibrilasi atrial berguna untuk memperbaiki gejala pada gagal jantung dan
LVEF normal. Penggunaan beta blocker, ACE inhibitor, atau Ca antagonis efektif
pada pasien gagal jantung dengan LVEF normal. Penggunaan digitalis untuk
meminimalisir gejala pada pasien gagal jantung dengan LVEF normal belum
diketahui manfaatnya (Rekomendasi Kelas II).

Penggunaan kombinasi rutin ACE inhibitor, ARB, dan aldosterone antagonist


tidak direkomendasikan. Pemberian Ca chanel blocker tidak diindikasikan secara
rutin pada pasien stadium C. Infus jangka panjang dari obat inotropik positif
dapat berbahaya dan tidak direkomendasikan. Penggunaan suplemen nutrisi dan
terapi hormon tidak direkomendasikan (Rekomendasi Kelas III).

Stage D
Pada pasien dengan stadium ini identifikasi dan kontrol yang cermat terhadap
retensi cairan direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung refraktoris
tahap akhir. Transplantasi jantung terhadap pasien yang sesuai dapat
direkomendasikan pada pasien ini, selain itu penanganan khusus juga dilakukan
pada pasien ini oleh ahli-ahli yang khusus. Diskusi perawatan end-of-life harus
dilakukan bersama dengan pasien dan keluarga. Pasien dengan implantable
defibrillators harus diinformasikan untuk pilihan menginaktivasi alat tersebut
(Rekomendasi Kelas I).
Pilihan untuk menggunakan LV assist device sebagai terapi akhir pada pasien
dengan gagal jantung tahap akhir refraktoris dan mortalitas 1-tahun >50% dengan
terapi medis. Pemasangan kateter arteri pulmonal dapat juga dilakukan pada gejala
yang sangat berat. Penggantian katup mitral belum terbukti pada pasien gagal
jantung refraktoris dengan regurgitasi mitral berat sekunder. Infus
intravena berkesinambungan dari agen inotropik untuk mengatasi gejala dapat
dilakukan (Rekomendasi Kelas II).

Ventrikulektomi kiri parsial tidak direkomendasi pada pasien dengan


kardiomiopati non-iskemik dan gagal jantung tahap akhir. Infus intermiten dari
agen vassoaktif dan inotropik positif tidak direkomendasikan pada pasien dengan
gagal jantung tahap akhir refraktoris (Rekomendasi Kelas III).

Rekomendasi ini dapat diringkas seperti pada gambar dibawah ini:

Gambar 4. Alur Guideline ACC/AHA Tahun 2009


Adapun penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien dengan gagal jantung
meliputi:
1. Non farmakologi

Penyuluhan umum
a. Penyuluhan tentang gagal jantung kepada pasien dan keluarganya.
b. Mengontrol berat badan
c. Pengaturan diet dan kebiasaan sehari-hari
i. Diet rendah garam (<2 gr/hari)
ii. Pembatasan intake cairan (1,5-2L/hr)
iii. Hindari konsumsi alcohol
iv. Berhenti merokok
d. Pembatasan dan penyesuaian aktivitas fisik
e. Obat-obatan yang perlu mendapat perhatian khusus

2. Farmakologi
a. Diuretik
Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit diuretik
regular dosis rendah tujuan untuk mencapai tekanan vena jugularis normal dan
menghilangkan edema. Permulaan dapat digunakan loop diuretik atau tiazid.
Bila respons tidak cukup baik dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik
intravena atau kombinasi loop diuretik dantiazid. Diuretik hemat kalium,
spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada
pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat (kelas fungsional IV) yang
disebabkan gagal jantung sistolik.

b. ACE Inhibitor
ACE inhibitor bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonaldan pada
gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri.
c. Beta Blocker
Beta blocker bermanfaat sama seperti ACE inhibitor. Pemberian mulai dosis
kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom
gagal jantung.Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil.Pada gagal jantung
kelas fungsional II danIII.

d. Angiotensin II antagonis reseptor


Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada kontraindikasi
penggunaan ACE inhibitor dan diuretik.

e. Kombinasi hidralazin dengan isosorbide dinitrat


Memberi hasil yang baik pada pasien yang intoleran dengan penghambat ACE
dapat dipertimbangkan.

f. Digoksin
Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi
sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan
bersama-sama diuretik, ACE inhibitor, beta blocker.

g. Antikoagulan dan antiplatelet.


Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli serebral pada penderita dengan
fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk.

h. Antiaritmia
Aritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau aritmia
ventrikel yang tidak menetap.

i. Antagonis kalsium dihindari.


Terapi pada gagal jantung akut (GJA) ditujukan untuk memberikan oksigen yang
adekuat dalam memenuhi kebutuhan oksigen tingkat sel sehingga dapat mencegah
disfungsi end organ dan awitan kegagalan multi organ. Pemeliharaan saturasi O2
dalam batas normal (95%-98%) penting untuk memaksimalkan oksigenasi
jaringan.

Morfin diindikasikan pada tahap awal pengobatan GJA berat, khususnya pada
pasien gelisah dan dispnea. Morfin menginduksi venodilatasi, dilatasi ringan pada
arteri dan dapat mengurangi denyut jantung. Antikoagulan terbukti dapat
digunakan untuk sindrom koroner akutdengan atau tanpa gagal jantung. Namun,
tidak ada bukti manfaat heparin atau low molecular weight heparin (LMWH) pada
GJA saja.

Vasodilator diindikasikan pada kebanyakan pasien GJA sebagai terapi lini pertama
pada hipoperfusi yang berhubungan dengan tekanan darah adekuat dan tanda
kongesti dengan diuresis sedikit. Obat ini bekerja dengan membuka sirkulasi
perifer dan mengurangi preload. Beberapa vasodilator yang digunakan adalah:
a. Nitrat bekerja dengan mengurangi kongesti paru tanpa mempengaruhi stroke
volume atau meningkatkan kebutuhan oksigen oleh miokardium pada GJA
kanan, khususnya pada pasien sindrom koroner akut. Pada dosis rendah, nitrat
hanya menginduksi venodilatasi, tetapi bila dosis ditingkatkan secara bertahap
dapat menyebabkan dilatasi arteri koroner.
b. Dopamine merupakan agonis reseptor β-1 yang memiliki efek inotropik dan
kronotropik positif. Pemberian dopamine terbukti dapat meningkatkan curah
jantung dan menurunkan resistensi vaskular sistemik.
c. Dobutamin merupakan simpatomimetik amin yang mempengaruhi reseptor β-
1, β-2, dan α pada miokard dan pembuluh darah. Walaupun mempunyai efek
inotropik positif, efek peningkatan denyut jantung lebih rendah dibanding
dengan agonis β-adrenergik. Obat ini juga menurunkan Systemic Vascular
Resistance (SVR) dan tekanan pengisian ventrikel kiri.
d. Epinefrin dan norepinefrin menstimulasi reseptor adrenergik β-1 dan β-2 di
miokard sehingga menimbulkan efek inotropik kronotropik positif. Epinefrin
bermanfaat pada individu yang curah jantungnya rendah dan atau bradikardi.
e. Digoksin digunakan untuk mengendalikan denyut jantung pada pasien gagal
jantung dengan penyulit fibrilasi atrium dan atrial flutter. Amiodarone atau
ibutilide dapat ditambahkan pada pasien dengan kondisi yang lebih parah.
f. Nitropusid bekerja dengan merangsang pelepasan nitrit oxide (NO) secara
nonenzimatik. Nitroprusid juga memiliki efek yang baik terhadap perbaikan
preload dan after load. Venodilatasi akan mengurangi pengisian ventrikel
sehingga preload menurun. Obat ini juga mengurangi curah jantung dan
regurgitasi mitral yang diikuti dengan penurunan resistensi ginjal. Hal ini akan
memperbaiki aliran darah ginjal sehingga sistem RAA tidak teraktivasi secara
berlebihan. Nitroprusid tidak mempengaruhi sistem neurohormonal.

ACE-inhibitor tidak diindikasikan untuk stabilisasi awal GJA. Namun, bila stabil
48 jam boleh diberikan dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap
dengan pengawasan tekanan darah yang ketat. Diuretik diindikasikan bagi pasien
GJA dekompensasi yang disertai gejala retensi cairan. Pemberian loop diuretic
secara intravena dengan efek yang lebih kuat lebih diutamakan untuk pasien GJA.

Sementara itu, pemberian β-blocker merupakan kontraindikasi pada GJA kecuali


bila GJA sudah stabil. Obat inotropik diindikasikan apabila ada tanda-tanda
hipoperfusi perifer (hipotensi) dengan atau tanpa kongesti atau edema paru yang
refrakter terhadap diuretika dan vasodilator pada dosis optimal. Pemakaiannya
berbahaya, dapat meningkatkan kebutuhan oksigen dan calcium loading sehingga
harus diberikan secara hati-hati.
A. Definisi

Melena merupakan suatu keadaan yang mengindikasikan adanya perdarahan


pada saluran cerna bagian atas. Batas antara saluran cerna bagian atas dengan
saluran cerna bagian bawah adalah Ligamentum Treitz yang terdapat pada bagian
distal duodenum. Melena adalah keluarnya feses yang berwarna kehitaman dengan
konsistensi yang lembek. Fesesnya dapat terlihat seperti mengkilat, berbau busuk,
dan lengket.

B. Etiologi

1. Penyakit-Penyakit Ulcerativa 4,5

a. Peptic Ulcer
Di Amerika Serikat, PUD (Peptic Ulcer Disease) dijumpai pada sekitar 4,5
juta orang pada tahun 2011. Kira-kira 10% dari populasi di Amerika Serikat
memiliki PUD. Dari sebagian besar yang terinfeksi H pylori, prevalensinya pada
orang usia tua 20%. Hanya sekitar 10% dari orang muda memiliki infeksi H
pylori; proporsi orang-orang yang terinfeksi meningkat secara konstan dengan
bertambahnya usia.
Secara keseluruhan, insidensi dari duodenal ulcers telah menurun pada 3-4
dekade terkahir. Walaupun jumlah daripada simple gastric ulcer mengalami
penurunan, insidensi daripada complicated gastric ulcer dan opname tetap stabil,
sebagian dikarenakan penggunaan aspirin pada populasi usia tua. Jumlah pasien
opname karena PUD berkisar 30 pasien per 100,000 kasus.
Prevalensi kemunculan PUD berpindah dari yang predominan pada pria ke
frekuensi yang sama pada kedua jenis kelamin. Prevalensi berkisar 11-14 % pada
pria dan 8-11 % pada wanita. Sedangkan kaitan dengan usia, jumlah kemunculan
ulcer mengalami penurunan pada pria usia muda, khususnya untuk duodenal
ulcer, dan jumlah meningkat pada wanita usia tua.
b. Stress Ulcer
Hingga saat ini masih belum dipahami bagaimana terjadinya stress ulcer,
tetapi banyak dikaitkan dengan hipersekresi daripada asam pada beberapa pasien,
mucosal ischemia, dan alterasi pada mucus gastric.
c. Medication-Induced Ulcer
Berbagai macam pengobatan berperan penting dalam perkembangan
daripada penyakit peptic ulcer dan perdarahan saluran cerna bahagian atas akut.
Paling sering, aspirin dan NSAID dapat menyebabkan erosi gastroduodenal atau
ulcers, khususnya pada pasien lanjut usia.
2. Mallory-Weiss Tear 4,5
Mallory- Weiss Tear muncul pada bagian distal esophagus di bagian
gastroesophageal junction. Perdarahan muncul ketika luka sobekan telah
melibatkan esophageal venous atau arterial plexus. Pasien dengan hipertensi portal
dapat meningkatkan resiko daripada perdarahan oleh Mallory-Weiss Tear
dibandingkan dengan pasien hipertensi non-portal.
Sekitar 1000 pasien di University of California Los Angeles datang ke ICU
dengan perdarahan saluran cerna bagian atas yang berat, Mallory-Weiss Tear adalah
diagnosis keempat yang menyebabkan perdarahan saluran cerna bagian atas,
terhitung sekitar 5 % dari seluruh kasus.
3. Varises Esofagus 4,6
Esophageal varices dan gastric varices adalah vena kolateral yang berkembang
sebagai hasil dari hipertensi sistemik ataupun hipertensi segmental portal. Beberapa
penyebab dari hipertensi portal termasuk prehepatic thrombosis, penyakit hati, dan
penyakit postsinusoidal. Hepatitis B dan C serta penyakit alkoholic liver adalah
penyakit yang paling sering menimbulkan penyakit hipertensi portal intrahepatic di
Amerika Serikat.
4. Pengaruh obat NSAID 5
Penggunaan NSAID merupakan penyebab umum terjadi tukak gaster.
Penggunaan obat ini dapat mengganggu proses peresapan mukosa, proses
penghancuran mukosa, dan dapat menyebabkan cedera. Sebanyak 30% orang
dewasa yang menggunakan NSAID mempunyai organ gastrointestinal yang kurang
baik. Faktor yang menyebabkan peningkatan penyakit tukak gaster dari penggunaan
NSAID adalah usia, jenis kelamin, pengambilan dosis yang tinggi atau kombinasi
dari NSAID, penggunaan NSAID dalam jangka waktu yang lama, penggunaan
disertai antikoagulan, dan severe comorbid illness.
Penyebab lain dari hematemesis melena antara lain, gastric atau duodenal
erosions (20-30 %), erosive esophagitis (5-10 %), angioma (5-10 %), arteriovenous
malformation (< 5 %), dan gastrointestinal stromal tumor (5,6).
Penyakit usus halus: tumor jinak dan ganas, Syndrome Peutz-Jegher,
divertikulum Meckel. Penyakit kolon proksimal: tumor jinak dan ganas,
divertikulosis, ulserasi dan kolitis granulomatosa, tuberkulosis, disentri amuba,
aneurisma sirsoid. Kelainan darah: Polisitemia vera, limfoma, leukemia, anemia
pernisiosa, hemofilia, hipoprotrombinemia, multiple mieloma, trombositopenia
purpura, non-trombositopenia purpura. Penyakit pembuluh darah: telangiektasis
hemoragik herediter, hemangioma kavernosum. Penyakit sistemik : amiloidosis,
sarkoidosis, penyakit jaringan ikat, uremia. Penyakit infeksi: DHF, leptospirosis.5,6

C. Diagnosis
Diagnosis dapat dibuat berdasarkan inspeksi muntahan pasien atau pemasangan
selang nasogastric (NGT, nasogastric tube) dan deteksi darah yang jelas terlihat;
cairan bercampur darah, atau “ampas kopi”’ Namun, aspirat perdarahan telah
berhenti, intermiten, atau tidak dapat dideteksi akibat spasme pilorik. 7
Pada semua pasien dengan perdarahan saluran gastrointestinal perlu
dimasukkan pipa nasogastrik dengan melakukan aspirasi isi lambung. Hal ini
terutama penting apabila perdarahan tidak jelas. Tujuan dari tindakan ini adalah: 7,8
1. Menentukan tempat perdarahan.
2. Memperkirakan jumlah perdarahan dan apakah perdarahan telah berhenti.
Angiography dapat digunakan untuk mendiagnosa dan menatalaksana
perdarahan berat, khususnya ketika penyebab perdarahan tidak dapat ditentukan
dengan menggunakan endoskopi atas maupun bawah. 7
Conventional radiographic imaging biasanya tidak terlalu dibutuhkan pada
pasien dengan perdarahan saluran cerna tetapi adakalanya dapat memberikan
beberapa informasi penting. Misalnya pada CT scan; CT Scan dapat
mengidentifikasi adanya lesi massa, seperti tumor intra-abdominal ataupun
abnormalitas pada usus yang mungkin dapat menjadi sumber perdarahan.8
Endoskopi merupakan pemeriksaan yang paling bagus untuk melihat adanya
perdarahan pada saluran pencernaan bagian atas. Namun, pemeriksaan ini termasuk
ke dalam kategori invasive.8

D. Penatalaksanaan
Pada perdarahan saluran cerna dianggap terdapat gangguan hemostasis berupa
defisiensi kompleks protrombin sehingga diberikan vitamin K 10 mg atau IV atau
IM dengan lambat, dan dapat juga diberikan plasma segar beku, seperti penderita
dengan penyakit hati kronis atau sirosis hati. Bila diduga terdapat fibrinolisis
sekunder dapat diberikan asam traneksamat parenteral. 9
Produksi asam lambung yang meningkat karena stress psikis maupun fisik
dapat ditekan dengan pemberian antasida dan antagonis reseptor H2 (ranitidine,
famotidin atau roksatidin). Antasida diharapkan dapat menekan asam lambung yang
sudah berada di lambung, sedangkan antagonis reseptor H2 diharapkan dapat
menekan produksi asam lambung. Ranitidine yang diberikan sebanyak 50 mg
dicairkan 50 ml D5W setiap 6 jam/IV, simetidin 300 mg dicairkan dalam dosis
intermitten 50 mg D5W setiap 6 jam/IV atau sebagai infus IV continue 50 mg/jam,
hasil terbaik tercapai bila pH asam lambung = 4. Selain itu, dengan pertimbangan
proses koagulasi akan terganggu oleh suasana asam, maka diberikan antisekresi
asam lambung yang berupa penghambat pompa proton (omeprazol, lanzoprazol,
pantoprazol).10
Pemberian obat yang vasoaktif akan mengurangi aliran darah splanknikus
sehingga diharapkan proses perdarahan dapat berkurang atau berhenti. Dapat
dipakai vasopressin, somatostatin atau okreotid. Vasopressin bekerja sebagai
vasokonstriktor pembuluh splanknik dengan dosis 0,2-0,6 unit/menit, serta hati-hati
karena dapat terjadi hipersensitif dan mempengaruhi urine output karena sifat
antidiuretik-nya. Sedangkan somatostatin dan okreotid melalui efek menghambat
sekresi asam lambung dan pepsin yang akan menurunkan aliran darah di lambung
dan merangsang sekresi mukus lambung. 11
Salah satu yang dikhawatirkan pada pasien sirosis hepatis yang mengalami
perdarahan varises esofagus adalah terjadinya koma hepatik akibat pencernaan
darah pasien di dalam kolon, sehingga diberikan neomisin 4x500mg untuk
mensterilisasi usus agar bakteri yang mencerna darah dapat mati, tetapi sekarang
penggunaan neomisin sudah ditinggalkan. Selain itu dapat diberikan juga pencahar
atau laksan 4x1 sendok makan agar darah yang ada dalam saluran pencernaan pasien
dapat dikeluarkan dengan segera. 9, 10
Pemasangan Sengstaken-Blakemore tube (SB tube) dapat dikerjakan pada kasus
yang diduga terdapat varises esophagus. SB tube terdiri dari 2 balon (lambung dan
esophagus). Balon lambung berfungsi sebagai jangkar agar SB tube tidak keluar saat
balon esophagus dikembangkan. Balon esophagus tersebut secara mekanik menekan
langsung pembuluh darah varises yang robek dan berdarah.10,11
Harus dipersiapkan jalur intravena yang adekuat untuk transfusi (jangan
dilakukan pada vena yang terlalu kecil). Resusitasi dapat dimulai dengan larutan
NaCl fisiologis dan bila terdapat tanda – tanda gangguan sirkulasi perifer ( pre-syok
/ syok ) dapat diberikan volume expander sebelum cairan definitif (darah) tersedia.
Pada perdarahan masif, harus terpasang monitor vena sentral (CVP). Transfusi
diberikan sesuai kebutuhan, antara lain sebagai pengganti volume intravaskuler,
perbaikan kadar hemoglobin atau suplementasi faktor koagulasi. Pada perdarahan
aktif dan masif, darah lengkap (WB) dapat merupakan pilihan utama karena masih
mengandung faktor pembekuan, di samping dapat memenuhi kebutuhan koreksi
volume intravaskuler.11
Bila kebutuhan koreksi volume sudah terpenuhi oleh resusitasi cairan fisiologis
peningkatan kadar hemoglobin dapat dipenuhi melalui transfusi PRC dan bila
masih diperlukan faktor pembekuan, dapat diberikan plasma beku segar. Pada
umumnya, indikasi melakukan transfusi jika kadar hemoglobin <10 gr/dl dan
hematokrit <30 % yang disertai dengan adanya gangguan hemodinamik. Parameter
keberhasilan resusitasi adalah terjaminnya tekanan vena sentral antara 7-10 mmHg
atau diuresis lebih dari 0,5-1 ml / kgBB / jam.
Penatalaksanaan terakhir bila pendarahan masih terus berlangsung atau masuk
ke dalam keadaan kegawatdaruratan, dan prosedur diatas sudah dijalankan semua
adalah dilakukan pembedahan seperti reseksi lambung (antrektomi), gastrektomi,
gastroentrostomi; vagotomi.

E. Komplikasi
Komplikasi yang ditimbulkan oleh hematemesis melena adalah: syok
hipovolemik, aspirasi pneumonia, gagal ginjal akut, syndrome hepatorenal, koma
hepatikum, dan anemia. 12

F. Etiologi Anemia
Menurut kriteria WHO, anemia adalah keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb)
darah <13 g/dL atau hematkrit (Ht) <39% pada pria dewasa dan Hb <12 g/dL atau Ht
<37% pada wanita dewasa.13
Penyebab anemia terbesar adalah karena defisiensi besi, namun ada berbagai
penyebab lain anemia seperti kehilangan darah dalam jumlah banyak karena
menstruasi atau karena infeksi parasit seperti infeksi cacing tambang, ascaris dan
schistosomiasis. Infeksi akut dan kronis seperti malaria, kanker, tuberculosis dan HIV
juga dapat menjadi penyebab malaria. Adanya defisiensi mikronutrien seperti vitamin
A, B12, asam folat, dan riboflavin dapat meningkatkan resiko anemia.14

G. Gejala Klinis Anemia


Gejala dan tanda anemia dapat bermacam-macam tergantung pada berat
tidaknya anemia dan waktu berlangsungnya. Anemia akut biasanya disebabkan oleh
kehilangan darah dalam jumlah besar atau hemolysis. Pada kehilangan darah akut,
gejala hipovolemia seperti hipotensi dan penurunan perfusi organ mejadi gejala klinis
yang paling terlihat. Gelaja anemia dengan onset kronis bergantung pada usia pasien
dan adekuat atau tidaknya pasokan darah ke organ-organ vital.13
Anemia sering dihubungkan dengan gejala kelelahan, sesak napas, dan
takikardi. Kulit dan membrane mukosa pasien akan terlihat pucat. Pada pasien dengan
sindrom coroner, episode angina mungkin meningkat frekuensinya.13

H. Klasifikasi Anemia
Penilaian dasar anemia meliputi indeks retikulosit (IR) dan melihat apusan
darah serta indeks RBC (MCV). Pemeriksaan laboratorium lain digunakan untuk
menilai bentuk anemia lain tergantung dengan penyebabnya. Berikut merupakan
algoritma klasifikasi anemia. 13
Gastroenteritis adalah (diare) buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk
cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari
biasanya lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi,
yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut
dapat/tanpa disertai lendir dan darah.

Beberapa faktor epidemiologis penting dipandang untuk mendekati pasien


gastroenteritis akut yang disebabkan oleh infeksi. Makanan atau minuman
terkontaminasi, berpergian, penggunaan antibiotik, HIV positif atau AIDS,
merupakan petunjuk penting dalam mengidentifikasi pasien beresiko tinggi untuk
diare infeksi.

ETIOLOGI
Gastroenteritis akut disebabkan oleh 90 % adanya infeksi bakteri dan
penyebab lainnya antara lain obat-obatan, bahan- bahan toksik, iskemik dan
sebagainya. Bakteri penyebab diare antara lain Escheria coli, Salmonella typhi,
Salmonella paratyphi, Salmonella spp, Shigella dysentriae, Shigella flexneri, Vibrio
cholerae, Vibrio cholera non-01, Vibrio parachemolyticus, Clostridium perfringens,
Campylobacter (Helicobacter) jejuni, Staphylococcus spp, Streptococcus spp,
Yersinia intestinalis, dan Coccidosi (Parasitologi UI, 2013).

PATOFISIOLOGI

Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi
menjadi kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare
osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas
dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah
malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam magnesium.

Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang
berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang
dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu, asam lemak
rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti gastrin
vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik.
Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus
halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri
atau bersifat non infeksi. Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada
infeksi bakteri paling tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus
dan penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan
mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang
invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit dalam feses.
Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen
meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa,
invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat
menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan
mukosa usus.
DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosis pasien diare akut infeksi bakteri diperlukan pemeriksaan
yang sistematik dan cermat. Kepada pasien perlu ditanyakan riwayat penyakit, latar
belakang dan lingkungan pasien, riwayat pemakaian obat terutama antibiotik, riwayat
perjalanan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

(umar zain, 2010)


(Konsensus penatalaksanaan IBS di Indonesia, 2013)

MANIFESTASI KLINIS

Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah dan/atau


demam, tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut. Diare yang
berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang adekuat dapat
menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di badan yang mengakibatkan
renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik
yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang merasa haus, berat badan berkurang,
mata menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun serta
suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonas, perbandingan bikarbonas berkurang, yang
mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat pernapasan
sehingga frekwensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (kussmaul). Reaksi ini adalah
usaha tubuh untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH dapat naik kembali normal.
Pada keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi, bikarbonat standard juga
rendah, pCO2 normal dan base excess sangat negatif.
Gangguan kardiovaskular pada hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan
dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun sampai tidak
terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, ujung-ujung ekstremitas dingin dan kadang
sianosis. Karena fkehilangan kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun dan akan
timbul anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul penyulit berupa
nekrosis tubulus ginjal akut, yang berarti pada saat tersebut kita menghadapi gagal
ginjal akut. Bila keadaan asidosis metabolik menjadi lebih berat, akan terjadi
kepincangan pembagian darah dengan pemusatan yang lebih banyak dalam sirkulasi
paru-paru. Observasi ini penting karena dapat menyebabkan edema paru pada pasien
yang menerima rehidrasi cairan intravena tanpa alkali.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Evaluasi laboratorium pasien tersangka diare infeksi dimulai dari pemeriksaan


feses adanya leukosit. Kotoran biasanya tidak mengandung leukosit, jika ada itu
dianggap sebagai penanda inflamasi kolon baik infeksi maupun non infeksi. Karena
netrofil akan berubah, sampel harus diperiksa sesegera mungkin. Sensitifitas lekosit
feses terhadap inflamasi patogen (Salmonella, Shigella dan Campylobacter) yang
dideteksi dengan kultur feses bervariasi dari 45% - 95% tergantung dari jenis
patogennya.
Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah laktoferin. Laktoferin
adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan netrofil, keberadaannya dalam feses
menunjukkan inflamasi kolon. Positip palsu dapat terjadi pada bayi yang minum ASI.
Pada suatu studi, laktoferin feses, dideteksi dengan menggunakan uji agglutinasi lateks
yang tersedia secara komersial, sensitifitas 83 – 93 % dan spesifisitas 61 – 100 %
terhadap pasien dengan Salmonella,Campilobakter, atau Shigella spp, yang dideteksi
dengan biakan kotoran.
Biakan kotoran harus dilakukan setiap pasien tersangka atau menderita diare
inflammasi berdasarkan klinis dan epidemiologis, test lekosit feses atau latoferin
positip, atau keduanya. Pasien dengan diare berdarah yang nyata harus dilakukan kultur
feses untuk EHEC O157 : H7.
Pasien dengan diare berat, demam, nyeri abdomen, atau kehilangan cairan harus
diperiksa kimia darah, natrium, kalium, klorida, ureum, kreatinin, analisa gas darah dan
pemeriksaan darah lengkap. Pemeriksaan radiologis seperti sigmoidoskopi,
kolonoskopi dan lainnya biasanya tidak membantu untuk evaluasi diare akut infeksi.

PENATALAKSANAAN

A. Penggantian Cairan dan elektrolit


Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang adekuat dan
keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan rehidrasi oral,
dimana harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang tidak dapat minum atau yang
terkena diare hebat yang memerlukan hidrasi intavena yang membahayakan jiwa.
Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g Natrium klorida, dan 2,5 g
Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g glukosa per liter air. Cairan seperti
itu tersedia secara komersial dalam paket-paket yang mudah disiapkan dengan
mencampurkan dengan air. Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi
oral pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok teh
baking soda, dan 2 – 4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus
jeruk diberikan untuk mengganti kalium.. Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak
mungkin sejak mereka merasa haus pertama kalinya.Jika terapi intra vena diperlukan,
cairan normotonik seperti cairan saline normal atau laktat Ringer harus diberikan
dengan suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus
dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin,
dan penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi oral
sesegera mungkin.

Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari
badan. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan memakai cara :
BD plasma, dengan memakai rumus :
Kebutuhan cairan = BD Plasma – 1,025 X Berat badan (Kg) X 4 ml
0,001
B. Transfusi Darah
Pada keadaan anemia dapat dilakukan transfuse darah apabila pasien mengalami
keadaan lemas disertai penurunan kadar Hb yang diakibatkan dari faktor kompartemen
darah maupun suatu penyakit kronis pada pasien tersebut. Pada pasien dengan kadar
Hb yang rendah dapat diberikan packed red cell, PRC diperoleh dari pemisahan atau
pengeluaran plasma secara tertutup atau septik sedemikian rupa sehingga hematokrit
menjadi 70-80%. Volume tergantung kantong darah yang dipakai yaitu 150-300 ml.
Suhu simpan 4°±2°C. Packed cells merupakan komponen yang terdiri dari eritrosit
yang telah dipekatkan dengan memisahkan komponen-komponen yang lain. Pemberian
transfusi bertujuan untuk memperbaiki oksigenasi jaringan dan alat-alat tubuh.
Biasanya tercapai bila kadar Hb sudah di atas 8 g%. Untuk menaikkan kadar Hb
sebanyak 1 gr/dl diperlukan PRC 4 ml/kgBB atau 1 unit dapat menaikkan kadar
hematokrit 3-5%. Diberikan selama 2 sampai 4 jam dengan kecepatan 1-2 mL/menit,
dengan golongan darah ABO dan Rh yang diketahui.
Kebutuhan darah (ml) :

3 x ∆Hb (Hb normal -Hb pasien) x BB


Ket :
-Hb normal : Hb yang diharapkan atau Hb normal
-Hb pasien : Hb pasien saat ini
BAB III

PENUTUP

melena merupakan keadaan yang menandakan terjadinya perdarah saluran

cerna bagian atas. Hematemesis melena dapat menjadi suatu gawat darurat medik bila

tidak didiagnosis dan ditangani secara cepat dan tepat. Etiologi dari hematemesis

melena dapat berasal dari kelainan di esophagus, lambung, duodenum bagian distal,

kelainan darah, maupun kelainan sistemik.

Diagnosis hematemesis melena ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang biasa

dilakukan berupa OMD, USG abdomen, dan CT scan abdomen. Untuk mengetahui

etiologi pasti dari hematemesis melena dapat dilakukan endoskopi.

Sementara itu, dasar tatalaksana dari hematemesis melena adalah resusitasi

cairan, menghentikan perdarahan, dan mengatasi etiologi penyakit. Tatalaksana yang

baik dan benar pada hematemesis melena sangat penting untuk mencegah terjadinya

komplikasi. Komplikasi hematemesis melena, antara lain syok hipovolemik dan gagal

ginjal akut.
DAFTAR PUSTAKA

Almi DU. Hematemesis melena et causa gastritis erosive. Medula. 2013; 1:72-
78.

Anand BS. Peptic ulcer disease. Baylor college: Department of Internall


Medicine, Division of Gastroenterology, 2011.

Caestecker JD. Upper gastrointestinal bleeding clinical presentation. Hahnemann


University, 2011.

Djumhana A. Perdarahan Akut Saluran Cerna Bagian. Bandung: FK UNPAD,


2011.

Friedlander J, Mamula P: Gastrointestinal hemorrhage in Wyllie R, Hyams JS,


Kay m (eds) Pediatric gastrointestinal and liver diseases, IVth Ed. Philadelphia
PA: Elsevier, 2011.

Hadi S. Perdarahan saluran makan. Bandung: PT Alumni, 2010.

John RS. Accute upper gastrointestinal bleeding. USA: McGraw-Hill, 2009.

Katz, J. Peptic ulcer disease. Pennsylvania: Division of Gastroenterology and


Hepatology, 2011.

Longo, dkk. 2013. Harrison’s manual of medicine 18th edition. Singapore:


McGraw Hill.

Ponijan AP. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. Medan: FK USU, 2012.

Shah VH. Sleisenger and fordan’s gastrointestinal and liver disease


pathophysiology diagnosis/management 9th edition vol.2. USA: Saunder
Elsevier, 2010.

Vakil N. Dyspepsia, peptic ulcer, and H. pylori: a remembrance of thing past.


Am J Gastroenterol. 2010; 105(3):572-574.
Wanmacher L. Antacids and other untiulcer medicines. Expert Committee on the
Selection and Use of Essential medicines, 2011.

Worldwide prevalence of anemia 1993-2005 WHO global database of anemia.


World Health Organization. 2008. Geneva Switzerland.

Anda mungkin juga menyukai