Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Masjid Agung Umayyah di Damaskus, Suriah, merupakan salah satu peninggalan Dinasti Umayyah terus bertahan hingga kini.
Sampai abad ke-13, menurut sejarawan Thomas Goldstein, sebagaimana dikutip Husain
Heriyanto (2011), ada 30 rumah sakit di Damaskus sampai abad ke-13. Sebelumnya,
perpustakaan publik pertama juga berdiri di Damaskus pada 704. Inisiatornya adalah Khalifah
Khalid bin Yazid, yang tidak lain merupakan cucu pendiri Dinasti Umayyah.
Masa keemasan meliputi Damaskus begitu Sultan Nuruddin berkuasa pada 1154. Pada eranya,
banyak masjid, madrasah, dan pusat kesehatan publik dibangun untuk menunjukkan pencapaian
peradaban Islam. Demikian pula dengan peningkatan kekuatan militer negara.
Adapun aktivitas intelektual di Damaskus pada zaman itu berkembang pesat, antara lain, lantaran
kontribusi dari dua suku, yakni Bani Asakir dan Bani Qudama.
Sultan Nuruddin mendirikan pusat studi hadits pertama, Dar al-Hadits di Damaskus. Madrasah
yang khusus bagi mazhab Maliki, al-Shalahiyyah, juga dibina. Begitu pula dengan madrasah al-
‘Adiliyyah pada 1171, yang kini menjadi Arab Academy.
Salah satu pemikir yang unggul di Damaskus dalam masa keemasan Islam adalah Ibnu Taimiyah
(1263-1328). Orang tuanya membawanya hijrah dari Harran, yang diserbut tentara Mongol pada
1269, ke Damaskus ketika Ibnu Taymiyyah masih berusia tujuh tahun.
Di Damaskus, ayahnya ditunjuk menjadi kepala madrasah Sukkariyyah. Dia sempat mengajar di
madrasah yang sama mengenai ilmu hadits. Di Masjid Umayyah, Ibnu Taimiyyah juga mengajar
di zawiyah.
Hubungannya dengan rezim penguasa dalam masa itu kerap bermasalah. Bahkan, ia pernah
merasakan dinginnya penjara beberapa kali. Di dalam bui, dia tetap melanjutkan menulis karya-
karyanya.
Selain Ibnu Taimiyah, ada pula Ibnu al-Syatir (wafat 1375), seorang Muslim astronom sekaligus
pakar matematika. Pria kelahiran Damaskus ini pada setahun lamanya belajar di al-Iskandariah,
Mesir. Karyanya yang paling dikenang adalah Zij al-Jadid, Taliq al-Arsaddan Nihayat al-Sul.
Dia juga meletakkan dasar-dasar teori peredaran planet-planet serta merancang pelbagai
instrumen untuk mendukung kajian astronomi secara presisi.Pada 1337, dia menciptakan dua alat
pengukur jarak benda-benda langit (astrolabe).
Pada 1371, dia membuat jam matahari raksasa untuk Masjid Damaskus. Sebagai astronom,
rumus-rumusnya mendahului para astronom Eropa abad pencerahan, misalnya Copernicus yang
menggegerkan Gereja dengan teori matahari-sentris.
Bahkan, beberapa riwayat menyebut, perhitungan Copernicus sama persis dengan al-Syatir.
Apalagi, al-Syatir merupakan pengoreksi teori astronomi Yunani Kuno, Ptolemy, yang banyak
dipakai Gereja untuk dalih “bumi sebagai pusat semesta.”