Kelompok 5
Nama Anggota:
Ummul Aulia
UNIVERSITAS ANDALAS
2017
MODUL 1
MANAJEMEN BENCANA
SKENARIO 1
Gempa bumin berkekuatan 7,9 SR menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang
banyak di Kota Raja. Drg Resti dan Ali pertugas dari Dinas Kesehatan Propinsi di bagian
penangulangan bencana ikut bergabung dengan tim yang ada di posko penaggulangan
bencana. Tampak kesibukan petugan mengumpulkan data-datakorban yang masuk. Drg Resti
melihat berbagai macam Satuan Tugas seperti SAR, TAGANA, Tim URC,dll. Semua bekerja
dan bergerak begitu cekatan tertib dan teratur dibawah satu komando. Ali menjelaskan bahwa
hal ini terjadi karena sudah disiapkannya mitigasi dan rencana kontijensi bencana disertai
kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dan pusat pelaksanaannya. Semuanya ditata dan
dilaksanakan dalam suatu manajemen bencana yang terpadu dan telah disiapkan sejak lama
mulai dari pra bencana, saat bencana dan pasca bencana.
I. Terminologi
1. Mitigasi : aktivitas atau upaya yang berperan mengurangi korban dalam
bencana,baik upaya secara fisik maupun pembekalan kemampuan menghadapi resiko
2. SAR : tim kegiatan kemanusiaan secara sukarela oleh indivdu yang terlatih
untuk memberikan pertolongan terhadap korban musibah secara cepat,tepat, dan
efisien.
3. Kontijensi : proses manajemen (perencanaan) untuk menganalisa suatu
keadaan dalam menghadapi bencana yang kejadiannya tidak terduga atau
perubahannya cepat.
4. TAGANA : wadah generasi muda di lingkungan masyarakat yang
bergerak dalam bidang sosial terutama dalam menghadapi bencana.
5. Tim URC : tim reaksi cepat untuk menanggulangi bencana sehingga
mengurangi dampak bencana.
Gempa 7,9 SR
Kerusakan dan
korban jiwa
Drg. Resty
Tim SAR, Pengumpulan
DINKES TAGANA, data korban
Petugas Ali Tim URC
Kebijakan Mitigasi
Manajemen dan Kontijensi
Bencana Bencana
Tagana
Tagana adalah relawan dari masyarakat yang memiliki kepedulian dan aktif
dalam penanggulangan bencana bidang bantuan sosial
Tagana merupakan perwujudan dari penanggulangan bencana bidang bantuan
sosial berbasis masyarakat
Anggota TAGANA:
1. Anggota Tagana adalah seluruh warga negara Indonesia pria dan wanita yang
berumur 18 s.d 45 tahun disebut anggota aktif TAGANA serta terhimpun atau
berasal dari kelompok masyarakat atau organisasi tertentu
2. Untuk anggota TAGANA yang berumur di atas 45 tahun diorganisir dalam
LEGIUN TAGANA
3. Seorang anggota Tagana dinyatakan sah sebagai anggota resmi jika telah
mendapat surat keterangan dari dirjen Banjamsos setelah melalui proses
pelatihan baik yang diadakan oleh Depsos Pusat, Dinas/Institusi Sosial
Provinsi dan Kab/Kota serta Institusi lain yang mendapat pengakuan dari
Depsos
4. Setiap anggota Tagana akan mendapat Nomor Induk Anggota (NIA)
TAGANA melalui seleksi yang dilakukan oleh yang berwenang berdasarkan
ketentuan dan pedoman yang berlaku
Cara Perekrutan Anggota TAGANA
Perekrutan anggota Tagana berdasarkan :
1. Usulan dari organisasi atau kelompok perhimpunan komunitas tertentu
2. Perorangan (atas kemauan sendiri)
3. Kehormatan (khusus untuk pembina)
2. MITIGASI BENCANA
Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 Tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana). Bencana sendiri adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana dapat berupa
kebakaran, tsunami, gempa bumi, letusan gunung api, banjir, longsor, badai tropis,
dan lainnya. Kegiatan mitigasi bencana di antaranya:
a. pengenalan dan pemantauan risiko bencana;
b. perencanaan partisipatif penanggulangan bencana;
c. pengembangan budaya sadar bencana;
d. penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana;
e. identifikasi dan pengenalan terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana;
f. pemantauan terhadap pengelolaan sumber daya alam;
g. pemantauan terhadap penggunaan teknologi tinggi;
h. pengawasan terhadap pelaksanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup
i. kegiatan mitigasi bencana lainnya. Robot sebagai perangkat bantu manusia, dapat
dikembangkan untuk turut melakukan mitigasi bencana. Robot mitigasi bencana
bekerja untuk mengurangi resiko terjadinya bencana.
Tujuan Mitigasi
Tujuan utama (ultimate goal) dari Mitigasi Bencana adalah sebagai berikut :
1. Mengurangi resiko/dampak yang ditimbulkan oleh bencana khususnya
bagi penduduk, seperti korban jiwa (kematian), kerugian ekonomi
(economy costs) dan kerusakan sumber daya alam.
2. Sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan.
3. Meningkatkan pengetahuan masyarakat (public awareness) dalam
menghadapi serta mengurangi dampak/resiko bencana, sehingga
masyarakat dapat hidup dan bekerja dengan aman (safe).
Jenis _ Jenis Mitigasi
Secara umum, dalam prakteknya mitigasi dapat dikelompokkan ke dalam mitigasi
struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural berhubungan dengan usaha-
usaha pembangunan konstruksi fisik, sementara mitigasi non struktural antara lain
meliputi perencanaan tata guna lahan disesuaikan dengan kerentanan wilayahnya dan
memberlakukan peraturan (law enforcement) pembangunan. Dalam kaitan itu pula,
kebijakan nasional harus lebih memberikan keleluasan secara substansial kepada
daerah-daerah untuk mengembangkan sistem mitigasi bencana yang dianggap paling
tepat dan paling efektif-efisien untuk daerahnya.
Mitigasi Struktural
Mitigsasi struktural merupakan upaya untuk meminimalkan bencana yang dilakukan
melalui pembangunan berbagai prasarana fisik dan menggunakan pendekatan
teknologi, seperti pembuatan kanal khusus untuk pencegahan banjir, alat pendeteksi
aktivitas gunung berapi, bangunan yang bersifat tahan gempa, ataupun Early Warning
System yang digunakan untuk memprediksi terjadinya gelombang tsunami.
Mitigasi struktural adalah upaya untuk mengurangi kerentanan (vulnerability)
terhadap bencana dengan cara rekayasa teknis bangunan tahan bencana. Bangunan
tahan bencana adalah bangunan dengan struktur yang direncanakan sedemikian rupa
sehingga bangunan tersebut mampu bertahan atau mengalami kerusakan yang tidak
membahayakan apabila bencana yang bersangkutan terjadi. Rekayasa teknis adalah
prosedur perancangan struktur bangunan yang telah memperhitungkan karakteristik
aksi dari bencana.
Mitigasi Non-Struktural
Mitigasi non-struktural adalah upaya mengurangi dampak bencana selain dari upaya
tersebut di atas. Bisa dalam lingkup upaya pembuatan kebijakan seperti pembuatan
suatu peraturan. Undang-Undang Penanggulangan Bencana (UU PB) adalah upaya
non-struktural di bidang kebijakan dari mitigasi ini. Contoh lainnya adalah pembuatan
tata ruang kota, capacity building masyarakat, bahkan sampai menghidupkan
berbagaia aktivitas lain yang berguna bagi penguatan kapasitas masyarakat, juga
bagian ari mitigasi ini. Ini semua dilakukan untuk, oleh dan di masyarakat yang hidup
di sekitar daerah rawan bencana.
Kebijakan non struktural meliputi legislasi, perencanaan wilayah, dan asuransi.
Kebijakan non struktural lebih berkaitan dengan kebijakan yang bertujuan untuk
menghindari risiko yang tidak perlu dan merusak. Tentu, sebelum perlu dilakukan
identifikasi risiko terlebih dahulu. Penilaian risiko fisik meliputi proses identifikasi
dan evaluasi tentang kemungkinan terjadinya bencana dan dampak yang mungkin
ditimbulkannya.
Kebijakan mitigasi baik yang bersifat struktural maupun yang bersifat non struktural
harus saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Pemanfaatan teknologi
untuk memprediksi, mengantisipasi dan mengurangi risiko terjadinya suatu bencana
harus diimbangi dengan penciptaan dan penegakan perangkat peraturan yang
memadai yang didukung oleh rencana tata ruang yang sesuai. Sering terjadinya
peristiwa banjir dan tanah longsor pada musim hujan dan kekeringan di beberapa
tempat di Indonesia pada musim kemarau sebagian besar diakibatkan oleh lemahnya
penegakan hukum dan pemanfaatan tata ruang wilayah yang tidak sesuai dengan
kondisi lingkungan sekitar. Teknologi yang digunakan untuk memprediksi,
mengantisipasi dan mengurangi risiko terjadinya suatu bencana pun harus diusahakan
agar tidak mengganggu keseimbangan lingkungan di masa depan.
3. KONTIJENSI BENCANA
Proses IASC berfokus lebih pada kolaborasi antarlembaga, baik dalam penyusunan
rencana maupun dalam penerapan. Modelnya terdiri atas enam langkah:
Proses B)PB berfokus pada kelompok kerja yang terdiri atas berbagai perwakilan
masyarakat dan pemerintah sebagai bentuk nyata akan tanggung jawab bersama
antara pemerintah dan masyarakat dalam kesiapsiagaan bencana. Modelnya terdiri
atas tujuh langkah:
1. Analisis risiko. Tahap ini melakukan pengumpulan informasi yang cukup
mengenai bahaya, risiko, dan kerentanan yang terkait dengan kejadian
kedaruratan yang diprediksikan.
2. Asumsi Kejadian. Menentukan akar penyebab kejadian, cara kejadian akan
berlangsung dan gejala yang dapat diamati yang akan mengisyaratkan
kejadian yang akan terjadi.
3. Pengembangan skenario. Beberapa skenario dikembangkan dengan
mempertimbangkan berbagai bentuk kejadian darurat yang diramalkan
menggunakan dimensi-dimensi waktu, ruang, dan magnitut sebagai parameter.
Skenario ini harus juga memproyeksikan dampak bencana pada nyawa
manusia, perumahan, harta benda, nafkah, dan infrastruktur serta kejadian
pemicu terkait dan ambang atau threshold untuk pengaktifan sistem tanggap
darurat.
4. Identifikasi Kebijakan & Strategi. Kegiatan tanggap bahaya dan kontinjensi
memerlukan sebuah visi. Pada tingkat nasional, terdapat kebijakan dasar untuk
penanggulangan bencana yang juga memberikan platform yang dibutuhkan
bagi perencanaan kontinjensi. Beberapa contoh mencakup Keputusan Presiden
Nomor 03/2001 dan Undang-Undang Nomor 24/2007.
5. Analisis Kesenjangan. Tahap ini berfokus pada analisis dan pengaturan di
antara sektor-sektor, menjawab pertanyaan tentang penampilan setiap sector
saat kedaruratan terjadi, menetapkan tujuan sektor, menentukan indikator di
antara sektor, menentukan kebutuhan dengan membandingkan sumber daya
yang ada dengan kebutuhan yang diproyeksikan, dan menggambar bagan arus
untuk kegiatan sektor dan cara tugas-tugas disebarkan kepada anggota sektor.
6. Perumusan rencana ke depan. Tahap ini merupakan rangkaian konsolidasi
mulai dari menyusun draf sampai merampungkan Rencana Kontinjensi.
Rencana kontinjensi yang baik harus membatasi tugas dan fungsi dan
memperjelasnya sedini mungkin.
7. Pengesahan dan Pengaktifan. Rencana akhir harus diserahkan kepada otoritas
yang terkait, yakni kepada Kepala BPBD, Walikota, dan DPRD. Pengesahan
sedemikian sangat penting untuk memastikan komitmen kelembagaan dari
para pihak yang terlibat dan menjadikan rencana kerja tidak sekedar bersifat
akademis tetapi menjadi rencana tindakan resmi. Sama pentingnya adalah
bahwa pengesahan ini akan memberikan pembenaran bagi otoritas local
dimana di dalam situasi kedaruratan, jumlah sumber daya yang sudah
direncanakan bisa dikeluarkan dengan segera. Pengesahan resmi juga akan
mendorong otoritas memandang rencana dengan sungguh-sungguh dan
berperan serta dalam pemantauan peringatan dini serta pernyataan keadaan
darurat nantinya, jika diperlukan.
5. MANAJEMEN BENCANA
1. http://psba.ugm.ac.id/?page_id=1003