Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

ILMU PENYAKIT DALAM

ANEMIA DEFISIENSI BESI, ASAM FOLAT, VITAMIN B12

Pembimbing :
Prof. dr. Soebandiri, Sp.PD-KHOM

Penyusun :
Gargarin Nabalah 2016.04.2.0075
Gordon Jaya Pranata 2016.04.2.0076

FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM


UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2016
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................ i


BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 3
2.1. Eritrosit dan Hemoglobin ...................................................... 3
2.2. Pembentukan Eritrosit dan Hemoglobin ............................... 3
2.3. Anemia ................................................................................. 10
2.4. Prevalensi Anemia ............................................................... 10
2.5. Klasifikasi Anemia ................................................................ 11
2.6. Faktor-faktor yang Menyebabkan Anemia ........................... 13
2.7. Anemia Defisiensi Besi ........................................................ 17
2.7.1. Pengertian .................................................................. 17
2.7.2. Tanda & Gejala .......................................................... 19
2.7.3. Diagnosa .................................................................... 19
2.7.4. Penatalaksanaan ........................................................ 19
2.7.5. Pencegahan ............................................................... 20
2.8. Anemia Defisiensi Asam Folat ............................................. 20
2.8.1. Asam Folat ................................................................. 20
2.8.2. Sumber dan Kebutuhan Asam Folat .......................... 21
2.8.3. Metabolisme Asam Folat ............................................ 21
2.8.4. Etiologi Defisiensi Asam Folat .................................... 22
2.8.5. Anemia Megaloblastik Defisiensi Asam Folat ............. 22
2.8.6. Gejala Klinis ............................................................... 23
2.8.7. Pemeriksaan Laboratorium ........................................ 23
2.8.8. Diagnosa .................................................................... 24
2.8.9. Diagnosa Banding ...................................................... 24
2.8.10. Pengobatan dan Pencegahan .................................. 24
2.9. Anemia Defisiensi Vitamin B12 ............................................ 25
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 27

i
BAB 1
PENDAHULUAN

Anemia di dunia masih merupakan masalah kesehatan. Kelompok


yang mempunyai prevalensi anemia tinggi adalah ibu hamil dan usia lanjut
(50%), bayi dan anak < 2 tahun (48%), anak sekolah (40%), wanita tidak
hamil (35%) dan anak-anak pra sekolah (25%) (Ramakrishnan, 2001).
Anemia masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia yang
berakibat buruk bagi penderita terutama golongan rawan gizi yaitu anak
balita, anak sekolah, remaja, ibu hamil dan menyusui serta pekerja
terutama yang berpenghasilan rendah. Pada anak dan remaja yang
terkena anemia akan terganggu pertumbuhan fisik dan
perkembangannya, di samping aktivitas fisiknya akan menurun
(Wirakusumah, 1999).
Anemia dapat menurunkan produktivitas kerja, sehingga pekerja
yang menderita anemia produktivitas kerja 20% lebih rendah
dibandingkan dengan pekerja yang sehat dengan gizi baik (Suharno,
1990).
Penyebab langsung terjadinya anemia beraneka ragam antara lain
: defisiensi asupan gizi dari makanan (zat besi, asam folat, protein, vitamin
C, ribovlavin, vitamin A, seng dan vitamin B12), konsumsi zat-zat
penghambat penyerapan besi, penyakit infeksi, malabsorpsi, perdarahan
dan peningkatan kebutuhan (Ramakrishnan, 2001). Zat gizi seperti
protein, besi, asam folat danvitamin B12 dll diperlukan dalam
pembentukan sel darah merah. Pembentukan sel darah merah akan
terganggu apabila zat gizi yang diperlukan tidakmencukupi. Umur sel
darah merah hanya 120 hari dan jumlah sel darah merah harus selalu
dipertahankan. Zat-zat yang diperlukan oleh sumsum tulang untuk
pembentukan hemoglobin antara lain : logam (besi,mangan, kobalt, seng,
,tembaga) , vitamin (B12, B6, C, E, asam folat, tiamin, riboflavin, asam
pantotenat), protein, dan hormon (eritropoetin, androgen, tiroksin)
(Hoffbranddan Pettit, 1993).

1
Di negara berkembang, meskipun pemberian suplemen besi juga
mengandung asam folat namun defisiensi vitamin seperti vitamin A,
riboflavin, asam folat dan vitamin B 12 dapat menyebabkan anemia
(Ramakrishnan,2001). Asam folat dan vitamin B12 diperlukan dalam
pembentukan sel darahmerah. Asam folat dan vitamin B12 penting dalam
pematangan akhir sel darahmerah. Keduanya penting untuk sintesis DNA
(Deoksiribo Nukleat Acid) karena masing-masing vitamin dengan cara
yang berbeda dibutuhkan untuk pembentukan timidin trifosfat, yaitu salah
satu zat pembangun esensial DNA kekurangan vitamin B12 atau asam
folat dapat menyebabkan abnormalitas dan pengurangan DNA dan
akibatnya adalah kegagalan pematangan inti dan pembelahan sel
(Guyton, dan Hall, 2008). Di samping itu kekurangan folat menghambat
pertumbuhan, menyebabkan anemia megaloblastik dangangguan darah
lain, peradangan lidah dan gangguan saluran cerna. Vitamin B12
diperlukan untuk mengubah folat menjadi bentuk aktif dan dalam fungsi
normal metabolisme semua sel, terutama sel-sel saluran cerna,
sumsumtulang, dan jaringan saraf (Almatsier, 2001).

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Eritrosit dan Hemoglobin

Eritrosit atau sel darah merah merupakan salah satu komponen sel
yang terdapat dalam darah, fungsi utamanya adalah sebagai pengangkut
hemoglobin yang akan membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan
(Guyton, 2008). Eritrosit merupakan suatu sel yang kompleks,
membrannya terdiri dari lipid dan protein, sedangkan bagian dalam sel
merupakan mekanisme yang mempertahankan sel selama 120 hari masa
hidupnya serta menjaga fungsi hemoglobin selama masa hidup sel
tersebut. Eritrosit berbentu bikonkaf dengan diameter sekitar 7,5 μm, dan
tebal 2 μm namun dapat berubah bentuk sesuai diameter kapiler yang
akan dilaluinya, selain itu setiap eritrosit mengandung kurang lebih 29 pg
hemoglobin, maka pada pria dewasa dengan jumlah eritrosit normal
sekitar 5,4jt/ μl didapati kadar hemoglobin sekitar 15,6 mg/dl (Ganong,
2010).

Hemoglobin merupakan protein yang berperan paling besar dalam


transpor oksigen ke jaringan dan karbondioksida ke paru-paru.
Hemoglobin merupakan protein heme sama seperti myoglobin, myoglobin
yang bersifat monomerik (mengandung satu subunit) banyak ditemukan di
otot, sedangkan hemoglobin yang ditemukan di darah memiliki empat
subunit polipeptida maka disebut tetramerik (Harper, 2003). Masing-
masing subunit dari hemoglobin mengandung satu bagian heme dan
suatu polipeptida yang secara kolektif disebut globin, terdapat dua pasang
polipeptida dalam setiap molekul hemoglobin dimana 2 dari subunit
tersebut mengandung satu jenis polipeptida dan 2 lainnya mengandung
poipeptida jenis lain. Pada orang dewasa normal 2 subunit mengandung
polipeptida rantai α sedangkan subunit lainnya mengandung polipeptida β,
sehingga hemoglobin jenis ini disebut hemoglobin A dengan kode 22.

3
Namun, pada darah orang dewasa ditemukan sekitar 2,5% haemoglobin
dengan polipeptida rantai  yang disubsitusikan polipeptida rantai 
(Ganong, 2010).Heme yang terkandung dalam hemoglobin merupakan
tertrapirol siklik dengan empat molekul pirol yang terhubung oleh jembatan
α-metilen. Stuktur ikatan ganda pada heme menyerap spektrum warna
tertentu dan memberi warna merah gelap khas pada hemoglobin maupun
myoglobin (Harper, 2003).

Tiap hemoglobin dapat mengikat empat molekul oksigen, satu


molekul untuk tiap subunit/hemenya. Pada proses pengikatan oksigen ini
terjadi fenomena yang disebut cooperative binding, yaitu molekul oksigen
dalam satu struktur tetramer hemoglobin akan mudah berikatan bila sudah
ada molekul oksigen yang telah berikatan. Fenomena ini memungkinkan
pengikatan oksigen dari paru-paru dan pelepasan oksigen yang maksimal
ke jaringan (Harper, 2003). Selain mengangkut oksigen ke jaringan,
hemoglobin juga berperan dalam mengangkut karbon dioksida yang
merupakan hasil sampingan respirasi dan proton hydrogen dari jaringan
perifer. Namun afinitas ikatan karbon dioksida lebih tinggi daripada
oksigen sehingga tingginya kadar karbon dioksida dapat menurunkan
kemampuan transpor oksigen dari hemoglobin (Ganong, 2010).

Pengikatan karbon dioksidaterjadi pada ujung terminal polipeptida


hemoglobin, ikatan ini membentuk karbamat yang merupakan 15% dari

4
keseluruhan dari karbon dioksidadalam darah vena, sisa karbon dioksida
dalam darah vena berbentuk bikarbonat yang merupakan hasil reaksi
antara karbon dioksida dengan asam karbonat) yang terjadi dalam
eritrosit. Hemoglobin yang telah mengalami deoksigenasi akan mengikat
satu proton untuk dua molekul oksigen yang dilepas, reaksi ini menambah
sifat buffer darah. Penurunan pH ini ditambah reaksi karbamasi menjaga
keseimbangan pH darah dan membantu pelepasan oksigen (Harper,
2003).

2.2. Pembentukan Eritrosit dan Hemoglobin

Proses pembentukan eritrosit yang disebut sebagai eritropoiesis


merupakan proses yang diregulasi ketat melalui kendali umpan balik.
Pembentukan eritrosit dihambat oleh kadar hemoglobin diatas normal dan
dirangsang oleh keadaan anemia dan hipoksia. Eritropoiesis pada masa
awal janin terjadi dalam yolk sac, pada bulan kedua kehamilan
eritropoiesis berpindah ke liver dan saat bayi lahir eritropoiesis di liver
berhenti dan pusat pembentukan eritrosit berpindah ke sumsum tulang.
Pada masa anak-anak dan remaja semua sumsum tulang terlibat dalam
hematopoiesis, namun pada usia dewasa hanya tulang-tulang tertentu
seperti tulang panggul, sternum, vertebra, costa, ujung proksimal femur
dan beberapa tulang lain yang terlibat eritropoiesis. Bahkan pada tulang-
tulang seperti disebut diatas beberapa bagiannya terdiri dari jaringan
adiposit. Pada periode stress hematopoietik tubuh dapat melakukan
reaktivasi pada limpa, hepar dan sumsum berisi lemak untuk
memproduksi sel darah, keadaan ini disebut sebagai hematopoiesis
ekstramedular (Munker, 2006).

Proses eritropoiesis diatur oleh glikoprotein bernama eritropoietin


yang diproduksi ginjal (85%) dan hati (15%). Pada janin dan neonatus
pembentukan eritropoietin berpusat pada hati sebelum diambil alih oleh
ginjal (Ganong, 2010). Eritropoietin bersirkulasi di darah dan menunjukkan
peningkatan menetap pada penderita anemia, regulasi kadar eritropoietin

5
ini berhubungan eksklusif dengan keadaan hipoksia. Sistem regulasi ini
berkaitan erat dengan faktor transkripsi yang dinamai hypoxia induced
factor-1 (HIF-1) yang berkaitan dengan proses aktivasi transkripsi gen
eritropoeitin. HIF-1 termasuk dalam sistem detektor kadar oksigen yang
tersebar luas di tubuh dengan efek relatif luas (cth: vasculogenesis,
meningkatkan reuptake glukosa, dll), namun perannya dalam regulasi
eritropoiesis hanya ditemui pada ginjal dan hati. Eritropoeitin ini dibentuk
oleh sel-sel endotel peritubulus di korteks ginjal, sedangkan pada hati
hormon ini diproduksi sel Kupffer dan hepatosit. Selain keadaan hipoksia
beberapa zat yang dapat merangsang eritropoiesis adalah garam-garam
kobalt, androgen, adenosin dan katekolamin melalui sistem β-adrenergik.
Namun perangsangannya relatif singkat dan tidak signifikan dibandingkan
keadaan hipoksia (Harper,2003).

Eritropoietin yang meningkat dalam darah akan mengikuti sirkulasi


sampai bertemu dengan reseptornya pada sel hematopoietik yaitu sel
bakal/stem cell beserta turunannya dalam jalur eritropoiesis. Ikatan
eritropoietin dengan reseptornya ini menimbulkan beberapa efek seperti :

1. Stimulasi pembelahan sel eritroid (prekursor eritrosit).


2. Memicu ekspresi protein spesifik eritroid yang akan menginduksi
diferensiasi sel-sel eritroid.
3. Menghambat apoptosis sel progenitor eritroid.

Eritropoietin bersama-sama dengan stem cell factor, interleukin-3,


interleukin-11, granulocyte-macrophage colony stimulating factor dan
trombopoietin akan mempercepat proses maturasi stem cell eritroid
menjadi eritrosit (Hoffman,2005). Secara umum proses pematangan
eritosit dijabarkan sebagai berikut :

1. Stem cell : eritrosit berasal dari sel induk pluripoten yang dapat
memperbaharui diri dan berdiferensiasi menjadi limfosit, granulosit,
monosit dan megakariosit (bakal platelet).

6
2. BFU-E :burst-forming unit eritroid, merupakan prekursor imatur
eritrosit yang lebih fleksibel dalam ekspresi genetiknya menjadi
eritrosit dewasa maupun fetus. Sensitivitas terhadap eritropoeitin
masih relatif rendah.
3. CFU-E :colony-forming unit eritroid, merupakan prekursor eritroid
yang lebih matur dan lebih terfiksasi pada salah satu jenis eritrosit
bergantung pada subunit hemoglobinnya.
4. Proeritroblast, eritroblast dan normoblast :progenitor eritrosit ini
secara morfologis lebih mudah dibedakan dibanding sel
prekursornya, masih memiliki inti, bertambah banyak melalui
pembelahan sel dan ukurannya mengecil secara progresif seiring
dengan penambahan hemoglobin dalam sel tersebut.
5. Retikulosit : eritrosit imatur yang masih memiliki sedikit sisa nukleus
dalam bentuk poliribosom yang aktif mentranslasi mRNA,
komponen membran sisa dari sel prekursornya, dan hanya
sebagian enzim, protein serta fosfolipid yang diperlukan sel selama
masa hidupnya. Selelah proses enukleasi, retikulosit akan
memasuki sirkulasi dan menghabiskan sebagian waktu dalam 24
jam pertamanya di limpa untuk mengalami proses maturasi dimana
terjadi remodeling membran, penghilangan sisa nukleus, dan
penambahan serta pengurangan protein, enzim, dan fosfolipid.
Setelah proses ini barulah eritrosit mencapai ukuran dan fungsi
optimalnya dan menjadi matur (Munker, 2006).
6. Hemoglobin merupakan gabungan dari heme dan globin yang
membentuk struktur tetramer. Sintesis globin terjadi seperti protein
pada umumnya, mRNA dari intisel akan ditranslasi ribosom untuk
merakit rantai asam amino untuk membentuk globin. Di sisi lain
proses pembentukan heme relatif lebih kompleks, bahan dasar
heme adalah asam amino glisin dan suksinil-KoA, hasil dari siklus
asam sitrat. Pada awalnya proses ini terjadi di dalam mitokondria,
kemudian setelah terbentuk δ-aminolevulinat (ALA) reaksi terjadi di
sitoplasma sampai terbentuk coproporhyrinogen III, kemudian

7
substrat akan masuk kembali kedalam mitokondria untuk
menyelesaikan serangkaian reaksi pembentukan heme yaitu
penambahan besi ferro ke cincin protoporphyrin. Proses
pembentukan heme dapat dilihat di gambar 2.2. dan gambar 2.3.
(Harper, 2003).

8
Sintesis heme terjadi hampir pada semua sel mamalia dengan
pengecualian eritrosit matur yang tidak memiliki mitokondria, namun
hampir 85% heme dihasilkan oleh sel prekursor eritroid pada sumsum
tulang dan hepatosit. Regulasi sintesis heme terjadi melalui mekanisme
umpan balik oleh enzim δ- aminolevulinat sintase (ALAS), ALAS tipe 1
ditemukan pada hati sedangkan ALAS tipe 2 ditemukan pada sel eritroid.
Heme tampaknya bekerja melalui molekul aporepresor bekerja sebagai
regulator negatif terhadap sintesis ALAS1, pada percobaan tampak bahwa
sintesis ALAS1 tinggi saat kadar heme rendah dan hampir tidak terjadi
saat kadar heme tinggi. Selain sintesis hemoglobin, heme juga dibutuhkan
enzim hati sitokrom P450 untuk memetabolisme zat lain, keadaan ini
dapat meningkatkan kerja ALAS1 (Harper, 2003).

9
2.3 Anemia (Supandiman, 1997)

Anemia adalah keadaan berkurangnya jumlah eritrosit atau


hemoglobin (protein pembawa O2) dari nilai normal dalam darah sehingga
tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa O2 dalam jumlah yang
cukup ke jaringan perifer sehingga pengiriman O2 ke jaringan menurun.
Secara fisiologi, harga normal hemoglobin bervariasi tergantung
umur, jenis kelamin, kehamilan, dan ketinggian tempat tinggal. Oleh
karena itu, perlu ditentukan batasan kadar hemoglobin pada anemia.
Tabel 2.1 Batasan Kadar Hemoglobin

2.4 Prevalensi Anemia


Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius
karena berdampak pada perkembangan fisik dan psikis, perilaku dan
produktivitas kerja.WHO memperkirakan sekitar 40 % penduduk dunia
terkena anemia. Prevalensi tertinggi anemia pada ibu hamil dan lansia
(sekitar 50 %), bayi dan anak 1-2 tahun(48%), anak sekolah (40 %),
wanita tidak hamil (35 %) dan anak pra sekolah (25%) (Ramakrishnan,
2001).

10
Anemia yang paling banyak adalah anemia defisiensi besi.
Berdasarkan hasil penelitian WHO tahun 1998, diketahui bahwa
prevalensi anemia defisiensi besi di Asia > 75%, di Afrika timur 47%,
Afrika Barat sebesar 56%, dan Australiadan New Zealand sebesar 20%
(Ramakrishnan, 2001).
Demikian pula di Indonesia, kasus anemia gizi yang saat ini masih
menunjukkan angka prevalensi anemia gizi yang masih cukup tinggi
(63.5%). Penelitian di Malawi dan Nepal sebagai negara berkembang,
menginformasikan bahwa defisiensi besi tidak selalu menjadi penyebab
paling dominan dari anemia. Di Malawi defisiensi besi pada ibu hamil
55,3% sedangkan di Nepal 55,6 % (Broek dan Letsky, 2000).
Penelitian Ahmed F (2001) diBangladesh menunjukkan bahwa
anemia pada pekerja tidak hanya disebabkanoleh defisiensi besi saja
namun juga defisiensi asam folat dan vitamin A.Penelitian Hertanto (2002)
di Karangawen Demak, mendapatkan hasill bahwa prevalensi anemia
sebesar 77,1%, ternyata yang menderita anemia defisiensi besi murni
hanya 3,7%, dan 55,6% adalah anemia dengan disertai berkurangnya
salah satu zat gizi mikro seperti (seng, vitamin A dan vitamin B12). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa defisiensi besi bukan satu-satunya
penyebab anemia.

2.5 Klasifikasi Anemia


Klasifikasi anemia dapat didasarkan baik pada ukuran sel darah
merahmaupun konsentrasi hemoglobin. Berdasarkan ukuran sel darah
merah, anemiadiklasifikasikan menjadi tiga, yaitu makrositik (ukuran sel
besar), normositik (ukuran sel normal) dan mikrositik (ukuran sel kecil),
sedangkan berdasarkankandungan hemoglobin, anemia diklasifikasikan
menjadi dua yaitu hipokromik(berwarna pucat) dan normokromik
(berwarna normal) (Kasdan, 1996). Klasifikasianemia menurut Indeks sel
darah merah dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini.

11
Tabel 2.2 Klasifikasi Anemia Menurut Indeks Sel Darah Merah

Sumber: Hoffbrand dan Pettit, 1993

Pada anemia makrositik ukuran sel darah merah bertambah besar


danjumlah hemoglobin tiap sel juga bertambah. Penyebabnya antara lain
kekuranganvitamin B12, asam folat atau gangguan sintesis DNA. Pada
anemia mikrositikukuran sel darah merah mengecil. Penyebabnya adalah
defisiensi zat besi,gangguan sintesis globin, porfirin dan hem. Pada
anemia normositik ukuran seldarah merah tidak berubah. Penyebabnya
adalah kehilangan darah yang banyak,meningkatnya volume plasma
secara berlebihan, penyakit-penyakit hemolitik,gangguan endokrin, ginjal
dan hati (Hoffbrand dan Pettit, 1993).
Sedangkan klasifikasi anemia berdasarkan penyebab adalah
sebagaiberikut:
1. Kurangnya produksi sel darah merah
Pembuatan sel darah merah akan terganggu apabila zat gizi
yangdiperlukan tidak mencukupi. Umur sel darah merah hanya 120 hari
dan jumlah seldarah merah harus selalu dipertahankan. Zat-zat yang
diperlukan oleh sumsumtulang untuk pembentukan hemoglobin antara lain
: logam (besi,mangan, kobalt,seng, , tembaga) , vitamin (B12, B6, C, E,
asam folat, tiamin, riboflavin, asampantotenat), protein, dan hormon
(eritropoetin, androgen, tiroksin). Produksi seldarah merah juga dapat

12
terganggu karena pencernaan tidak berfungsi denganbaik (malabsorbsi)
atau kelainan lambung sehingga zat-zat gizi penting tidak dapatdiserap,
apabila hal ini berlangsung lama maka tubuh akan mengalami
anemia(Hoffbrand dan Pettit, 1993)
2. Kehilangan darah
Perdarahan mengakibatkan tubuh kehilangan banyak sel darah
merah.Kehilangan darah kronis, terutama darah kronis, terutama dari
gastrointestinal(ulkus lambung, gastritis, hemoroid, angiodisplasia kolon
dan adenokarsinomakolon) merupakan anemia yang sering terjadi.Pada
remaja putri dan perempuan dewasa kehilangan darah dalamjumlah
banyak terjadi akibat menstruasi. Menstruasi menyebabkan kehilangan
zatbesi 1 mg/hari pada perempuan. Sedangkan pada kehamilan aterm,
sekitar 900mg zat besi dibutuhkan oleh janin dan plasenta yang diperoleh
dari ibu sertaperdarahan waktu partus merupakan penyebab anemia
paling sering pada periodeini. (Hoffbrand dan Pettit, 1993, de Maeyer
1995)

2.6 Faktor-faktor Yang Menyebabkan Anemia


Menurut Ramakrishnan, 2001 faktor-faktor yang menyebabkan
anemia giziadalah sebagai berikut :
1. Defisiensi besi
a. Peningkatan kebutuhan besi
Defiensi besi disebabkan karena kebutuhan akan besi
meningkat seperti pada saat pertumbuhan, menstruasi dan
kehamilan.
1) Kehamilan
Kebutuhan besi meningkat dari 1,25 mg /hari pada saat tidak
hamil menjadi 6 mg/hari selama kehamilan yang disebabkan
karena besi digunakan dalam pembentukan janin dan cadangan
dalam plasenta serta untuk sintesis Hb ibu hamil.

13
2) Menstruasi
Pada saat menstruasi wanita kehilangan kira-kira setengah
dari kebutuhan besi. Wanita dengan menstruasi yang banyak
mempunyai risiko untukterjadinya anemia. Risiko terjadinya anemia
pada wanita yang mengeluarkan banyak darah pada saat
menstruasi sebesar 1,81 kali lebih besar di banding dengan wanita
yang mengeluarkan darah sedikit (Raharjo, 2003).
3) Masa Bayi
Pada masa bayi terjadi pertumbuhan yang cepat sehingga
kebutuhan besi meningkat. Setengah dari cadangan besi
digunakan pembentukan Hb, mioglobin dan enzim. Bayi dengan
BBLR mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya anemia.
4) Masa Remaja
Prevalensi anemia pada remaja meningkat disebabkan
meningkatnya kebutuhan untuk pertumbuhan dan menstruasi.
b. Asupan dan ketersediaan dalam tubuh yang rendah
Sumber bahan makanan yang tinggi zat besi adalah
makanan yang berasal dari hewan seperti daging, ikan dan telur
yang sering disebut zat besi heme mempunyai bioavailabilitas
tinggi dibanding zat besi dalam bentuk non heme. Makanan yang
dapat menghambat absorbsi zat besiadalah tanin (pada teh),
polifenol (vegetarian), oksalat, fosfat dan fitat(serealia), albumin
pada telur dan yolk, kacang-kacangan, kalsium padasusu dan hasil
olahannya, serta mineral lain seperti Cu,Mn, Cd dan Co Teh yang
diminum bersama-sama dengan hidangan lainketika makan akan
menghambat penyerapan besi non heme sampai 50 %(Raharjo,
2003).
Berdasarkan penelitian Raharjo, 2003 diketahui bahwa risiko
responden dengan asupan zat besi tidak mencukupi sesuai AKG
(AngkaKecukupan Gizi) adalah sebesar 7 kali lebih tinggi untuk

14
menderita anemia dibandingkan dengan responden yang asupan
zat besinya sesuai AKG(CI= 1,44-36,02).

c. Infeksi dan Parasit


Infeksi dan parasit yang berkontribusi dalam peningkatan
anemia adalah malaria, infeksi HIV, dan infeksi cacing. Di daerah
tropis, infeksi parasit terutama cacing tambang dapat menyebabkan
kehilangan darah yang banyak, karena cacing tambang menghisap
darah. Menurut hasil INACG (2002) disamping defisiensi zat gizi
spesifik seperti vitamin A, B6,B12, riboflavin dan asam folat,
penyakit infeksi umum dan kronis termasukHIV/AID juga dapat
menyebabkan anemia. Malaria khususnya Plasmodiumfalciparum
juga dapat menyebabkan pecahnya sel darah merah. Cacing
seperti jenis Trichuris trichiura dan Schistosoma haematobium
dapat menyebabkan kehilangan darah.
2. Anemia defisiensi mikronutrien lain
Anemia defisiensi besi sangat berhubungan dengan
defisiensi mikronutrien lain seperti vitamin A, riboflavin, asam folat
dan vitamin B12.Infeksi parasit pada usus dapat menyebabkan
malabsorbsi zat gizi seperti vitamin A, asam folat dan vitamin B12
antara lain infestasi cacing tambang.
a) Defisiensi Vitamin A
Suplementasi vitamin A pada individu yang defisiensi vitamin
Aakan meningkatkan kadar Hb kira-kira 10 gr/l. Pada beberapa
hasil penelitian penambahan vitamin A akan meningkatkan respon
Hb pada suplementasi Fe. Suplementasi per minggu dengan
23.000 IU vitamin Asebagai retinol atau beta karoten akan
menurunkan prevalensi anemia sampai 45 % pada wanita.
b) Defisiensi Riboflavin
Asupan riboflavin dan penyerapan Fe umumnya rendah jika
mengkonsumsi produk hewani termasuk susu dalam jumlah
terbatas.Defisiensi riboflavin membuat defisiensi besi tambah buruk

15
dengan meningkatnya kehilangan besi, menurunnya absorbsi besi,
perusakan besi interseluler, dan meningkatnya proliferasi crypt cell.

c) Defisiensi asam folat


Pemberian Asam folat berhubungan dengan penurunan 40%
risiko anemia pada wanita hamil dan 35 % menurunkan risiko
anemia megaloblastis. Defisiensi asam folat terutama
menyebabkan gangguan metabolisme DNA, akibatnya terjadi
perubahan morfologi inti sel terutama sel-sel yang sangat cepat
membelah seperti sel darah merah, sel darahputih serta sel epitel
lambung dan usus, vagina dan serviks. Kekurangan asam folat
menghambat pertumbuhan, menyebabkan anemiamegaloblastik
dan gangguan darah lainnya, peradangan lidah (glositis) dan
gangguan saluran cerna (Almatsier, 2001). Kekurangan asam folat
berkaitan dengan berat lahir rendah, ablasio plasenta dan neural
tubedefect (Arisman, 2004).
Defisiensi folat juga diduga berhubungan dengan
perkembangan beberapa kanker khususnya kanker kolon.
Defisiensi folatdalam sel dan jaringan potensial meningkatkan
perubahan neoplastik di selnormal pada tahap awal kanker (Groff,
2005)
d) Defisiensi vitamin B12
Defisiensi vitamin B12 hampir sama dengan asam folat yaitu
menyebabkan anemia makrositik. Manifestasi defisiensi vitamin
B12 terjadi pada tahap awal dengan konsentrasi serum yang
rendah kemudian ada indikasi transcobalamin II yang rendah, pada
tahap berikutnya konsentrasi vitamin dalam sel yang rendah dan
selanjutnya defisiensi secara biokimia dengan terjadinya penurunan
sintesis DNA. (Groff, et al, 2005).
Anemiapernisiosa yang disertai rasa letih yang parah
merupakan akibat dari defisiensi vitamin B12. Vitamin B12 ini
sangat penting dalam pembentukanRBC (Red Blood Cell). Di

16
negara berkembang prevalensi defisiensi vitaminB12 ditemukan
pada semua umur. Hal ini disebabkan intake makananyang rendah
(Ramakrishnan, 2001).

2.7Anemia Defisiensi Besi


2.7.1 Pengertian anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat
kekurangan cadangan zat besi. Zat besi yang tidak adekuat menyebabkan
berkurangnya sintesis hemoglobin sehingga menghambat proses
pematangan eritrosit (Permono, 2005). Zat besi yang tidak adekuat
disebabkan oleh rendahnya asupan besi total dalam makanan atau
bioavailabilitas besi yang dikonsumsi menurun (makanan banyak serat,
rendah daging, dan rendah vitamin C), kebutuhan akan zat besi yang
meningkat (pada bayi prematur, anak dalam pertumbuhan, ibu hamil dan
menyusui), perdarahan kronis, diare kronik, Malabsorbsi, serta infeksi
cacing tambang. Dilihat dari beratnya defisiensi besi dalam tubuh, dapat
dibagi menjadi 3 tahap, yaitu (Permono, 2005):

1) Tahap Pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai
dengan berkurangnya cadangan besi.
2) Tahap kedua
Tahap ini disebut dengan iron limited erythropoiesis dimana penyediaan
besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoiesis.
3) Tahap ketiga
Tahap ini disebut juga Iron Deficiency Anemia (IDA) terjadi bila besi yang
menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan
penurunan kadar Hb.

17
Gambar 2.4. Pengangkutan besi dan metabolismenya
(Guyton dan Hall, 2008)

18
2.7.2 Tanda dan gejala
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindroma anemia yang
dijumpai pada ADB apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl,
badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang serta telinga
mendenging (Lukens, 1995). Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang
pucat, terutama pada konjunctiva dan jaringan di bawah kuku.Sedangkan
gejala khas pada ADB adalah (Lukens, 1995) : Koilonychia, Atropi papil ,
dan Stomatitis angularis (cheilosis).

2.7.3 Diagnosis (Soebandiri et.al, 2007)


1. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan anemia yang hipokrom,
mikrositer, anisositosis, poikilositosis, dan retikulosit rendah.
2. Pada pemeriksaan sumsum tulang terdapat hyperplasia
normoblastik dan pengecatan besi negatif.
3. Pemeriksaan kimia darah didapatkan Serum Iron rendah (< 15-60
mcgr / 100 CC), TIBC meningkat (> 500 mcgr / 100 CC), Feritin
rendah (< 12 mcgr / 100 CC), Protoforfirin rendah (< 100-600 mcgr /
100 CC), dan Saturasi besi rendah (< 16%).
4. Pemeriksaan foto tulang terdapat tanda-tanda osteoporosis.

2.7.4 Penatalaksanaan (Soebandiri et.al, 2007)


1. Memberikan diet yang kaya kelori, protein, dan zat besi.
2. Memberikan preparat besi
a. Preparat besi oral : Sulfas ferrosus : 4 X 1 tab, Ferrous
fumarat : 4 X 1 tab dan Ferrous glukonat : 3 X 1 tab.
Pemberian preparat besi ini dilanjutkan 4-6 bulan sesudah
Hb normal. Obat ini aman digunakan, hanya kadang-kadang
dapat memberikan efek samping berupa nyeri epigastrium,
konstipasi dan diare.
b. Pemberian preparat besi parenteral : Hanya dianjurkan pada
penderita yang mengalami intoleransi gastrointestinal berupa

19
mual dan muntah. Preparat besi parenteral yang lazim
digunakan adalah Inferon, Jectofer, atau Venofer.
3. Mengatasi penyebabnya.

2.7.5 Pencegahan (Soebandiri et.al, 2007)


1. Penyuluhan intensif hygiene dan sanitasi lingkungan.
2. Program pendidikan gizi untuk masyarakat dan petugas kesehatan.
3. Peningkatan sosial ekonomi masyarakat dan penyediaan bahan
makanan yang bernilai gizi tinggi.
4. Menanamkan pengertian yang mendalam akan arti dan akibat dari
anemia gizi terhadap masyarakat dan petugas kesehatan.
5. Iron fortification (makanan kaya besi).

2.8 Anemia Defisiensi Asam Folat

2.8.1 Asam Folat


Asam folat adalah salah satu vitamin, termasuk dalam kelompok
vitamin B, merupakansalah satu unsur penting dalam sintesis DNA
(deoxyribo nucleic acid). Unsur ini diperlukan sebagai koenzim dalam
sintesis pirimidin. Kebutuhan meningkat pada saat terjadi peningkatan
pembentukan sel seperti pada kehamilan, keganasan dan bayi prematur.
Anemia megaloblastik merupakan manifestasi paling khas untuk
defisiensiasam folat, walaupun ternyata defisiensi asam folat dapat
menyebabkan kelainan-kelainanyang berat mengenai jaringan non
hemopoetik. Kelainan ini bahkan sudah bermanifestasisebagai kelainan
kongenital yaitu neural tube defect (NTD). Defisiensi asam folat
jugamengakibatkan peningkatan homosistenin plasma
(hiperhomosisteinemia) yang dianggapsebagai salah satu faktor risiko
penyakit kardiovaskular berupa aterosklerosis. Mengingat
besarnya risiko akibat defisiensi folat, FDA (Food and Drug Administration)
menganjurkan fortifikasi folat pada makanan yang banyak dikonsumsi
sehari-hari olehmasyarakat seperti susu, dengan upaya menurunkan
angka prevalensi defisiensi folat.

20
Defisiensi asam folat apabila kadar asam folat di bawah normal
yaitu folat serum < 3 ng/ml dan folat entrosit< 130 mg/ml (Helena, 2002).

2.8.2 Sumber dan kebutuhan asam folat


Folat tersebar luas pada berbagai tumbuh-tumbuhan dan jaringan
hewan, terutama sebagai poliglutamatdalam bentuk metil atau formil
tereduksi. Sumber sumber yang paling kaya akan asam folat adalah
ragi,hati, ginjal, sayur-sayuran berwarna hijau, kembang kol, brokoli;
dalam jumlah yang cukup terdapat dalammakanan yang terbuat dari susu,
daging dan ikan, dansedikit dalam buah-buahan (Hoffbrand, 1999).
Untuk wanita hamil dan wanita menyusui dianjurkan 0,4 mg/hari
atau 400 mg /hari. Apabila kebutuhanasam folat tercukupi, tubuh
menyimpan sekitar 5-10mg folat, dan hampir setengahnya disimpan di
hati. Cadangan ini cukup untuk 3-6 bulan tanpa asupanfolat dari makanan
(McKenzie, 1995).

2.8.3 Metabolisme asam folat


Sebagian besar asam folat dari makanan masuk dalam bentuk
poliglutamat. Absorbsi terjadisepanjang usus halus, terutama di
duodenum dan jejunum proksimal dan 50-80% di antaranya dibawa ke
hati dan sumsum tulang (Mckenzie, 1995). Folat diekskresi melalui
empedu dan urin. Di mukosa usus halus, poliglutamat dari makanan akan
dihidrolisis olehenzim pteroil poliglutamathidrolase menjadi monoglutamat
yang kemudian mengalami reduksi/metilasi sempurna menjadi 5 metil
tetrahidrofolat(5-metil THF) yang kemudian masuk ke dalam sel dan
mengalami demetilasi dan konjugasi.Dengan bantuan enzim metil
transferase, 5-metilTHF akan melepaskan gugus metilnya
menjaditetrahidrofolat (THF). Metilkobalamin akan memberikan gugus
metil tersebut kepada homosisteinuntuk membentuk asam amino metionin
(Pittiglio, 1987).

21
2.8.4 Etiologi defisiensi asam folat
Penyebab defisiensi asom folat ialah sebagai berikut (Harper, 2006) :
- Diet yang inadekuat: bayi dan anak-anak, orangtua, pemanasan,
kemiskinan.
- Malabsorpsi: tropical sprue, blind loop syndrome,steatorrhea,
malabsorpsi folat kongenital, reseksijejunum, Crohn’s disease.
- Peningkatan kebutuhan: kehamilan, laktasiprematuritas, anemia
hemolitik, keganasan,inflamasi kronik, hipertiroidisme.
- Obat-obatan: fenitoin, primidon, fenobarbital,kontrasepsi oral,
methotrexate.
- Defisiensi enzim bawaan: dihidrofolat reduktase, 5-metil THF
transferase.
- Lain-lain: alkoholisme, penyakit hati

2.8.5 Anemia megaloblastik akibat defisiensi asam folat


Anemia megaloblastik adalah suatu keadaan yang ditandai oleh
adanya perubahan abnormal dalam pembentukan sel darah, sebagai
akibat adanya ketidaksesuaian antara pematangan inti dan sitoplasma
pada seluruh sel seri myeloid dan eritrosit. Anemiamegaloblastik
merupakan manifestasi yang paling khas untuk defisiensi folat (Rayburn,
1996).
Mekanisme biokimiawi yang mendasari terjadinya perubahan
megaloblastik adalah terganggunya konversidump menjadi dTMP. Dalam
keadaan normal dump dikonversi menjadi dTMP dengan adanya
enzimtimidilat sintetase yang membutuhkan koenzim folat (Pittiglio, 1987).
Pada defisiensi folat dump diubah menjadi dUTP melebihi
kapasitas kerja enzim dUTP dalam sel melalui konversi kembali menjadi
dump, akibatnya terjadi penumpukan dUTP di dalam sel, sehingga
terjadikelambatan dalam sintesis DNA. Gambaran darah tepi yang paling
sering dihubungkandengan anemia megaloblastik adalah makrositosis.
Makrositosis yang khas adalah makroovalositosis.Hipersegmentasi
neutrofil merupakan tanda pertamadari anemia megaloblastik di daerah

22
tepi; bila ditemukan 5% neutrofil dengan lobus lebih dari lima
kemungkinanadanya defisiensi asam folat meningkat menjadi 98%
(McKenzie, 1996).
Pansitopenia dapat juga ditemukan pada anemia megaloblastik
dengan derajat yang bervariasi dan merupakan atribut langsung dari
proses hemopoesis yang inefektif dari sumsum tulang. Sumsum tulang
menunjukkan gambaran hiperselular dengan hiperplasi seri eritroid.
Prekursor eritroid tampak sangat besar yang disebut megaloblas. Pada
seri mieloid dijumpai adanya sel batang dan metamielosit yang sangat
besar (giantmeta) myelocyte (Rayburn, 1996).

2.8.6 Gejala Klinis


Tanda anemia megaloblastik berupa glositis (lidah pucat dan licin),
stomatitis angularis, diare/konstipasi, anoreksia, ikterus ringan, sterilitas,
neuropati periferbilateral, pigmentasi melalui pada kulit (Mayes, 2006).
Kegagalan penutupan neural tube dapat terjadi di daerah kranial dan
spinal mengakibatkan anensefalus, meningokel,ensefalokel, spina bifida
dan hidrosefalus (Besa, 1992).

2.8.7 Pemeriksaan Laboratorium


Beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk membantu
diagnosis dan membedakan defisiensi folat dari defisiensi vitamin B12.
Kadar folat serum mencerminkan asupan asam folat selama beberapa
hariterakhir, sedangkan folat eritrosit merupakan gambaran kandungan
folat selama proses pematangan erirosit disumsum tulang. Folat eritrosit
menggambarkan cadangan folat tubuh lebih baik daripada folatserum
(McKenzie, 1996). Pemeriksaan laboratorium untuk mengukur kadar asam
folat antara lain pemeriksaan folat serumsecara mikrobiologis, competitive
protein-bindingradioassay, ion capture separation, homosistein total, tes
supresi deoksiuridin (dU), dan pemeriksaan kadarFIGlu dalam urin (Besa,
1992).

23
2.8.8 Diagnosis
Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan folat serum dan folat eritrosit. Cara pengukuran
folat plasma dan eritrosit terbaru ialah dengan menggunakan cara
microbiologicalassay atau competitive binding technique. Kadar asam folat
serum normal sekitar 9-45 nm (3-16 mg/ml).Defisiensi asam folat
ditegakkan bila kadar asam folat serum kurang dari 3 mg/ml dan asam
folat eritrosit kurang dari 100 mg/ml (Rayburn, 1986).

2.8.9 Diagnosis Banding


Di samping asam folat, untuk pematangan akhir sel darah merah
diperlukan vitamin B12; oleh karenaitu anemia megaloblastik dapat pula
disebabkan oleh defisiensi vitamin B12. Seperti halnya defisiensi
asamfolat, defisiensi vitamin B12 dapat mengakibatkan terjadinya
kerusakan jaringan non hemopoletik yaitu pada sistem saraf yang
memberikan gejala dan tanda neurologis seperti parestesia ekstremitas,
penurunan refleks tendon dalam dan pada stadium lanjut dapatterjadi
penurunan ingatan dan penurunan fungsi penglihatan (Rosalind, 1990).

2.8.10 Pengobatan dan Pencegahan


Penggunaan terapi asam folat dalam klinik terbatas pada
pencegahan dan pengobatan defisiensi vitamin.Penggunaan asam folat
secara efektif tergantung pada keakuratan diagnosis dan pemahaman
mengenai mekanisme terjadinya penyakit. Prinsip-prinsip umum yang
perlu diperhatikan pada pemberian asam folat profilaksis harus dengan
indikasiyang jelas, pada setiap pasien dengan defisiensi asam folat, harus
dicari penyebabnya dengan teliti, sebaiknyamerupakan terapi yang
spesifik, dan folat tidak dapat memperbaiki kelainan neurologis, yang

24
disebabkanoleh defisiensi vitamin B12 Folat tersedia sebagai asam folat
dalam bentuktablet 0,1, 0,4, 10, 20 dan dalam bentuk injeksi asamfolat 5
mg/cc. Selain itu terdapat pula dalam berbagaisediaan multivitamin dan
mineral (Berry, 1999). Pengobatanpasien dengan anemia megaloblastik
akut berupaasam folat 1-5 mg intra muskular dan dilanjutkandengan
maintenance 1-2 mg/hari oral selama 1-2minggu. Pemberian asam folat
secara oral dengandosis 0,5-1 mg sehari pada pasien anemia
megaloblastikumumnya memuaskan.9 Terapi profilaktikspada bayi
prematur 50 mg/hari.33 Terapi selama 4bulan biasanya cukup untuk
memperbaiki gejalaklinis dan untuk mengganti sel darah (Brattsrorn,
1996). Namun bilapenyebab defisiensi belum dapat diatasi, perlu
terapiyang lebih lama. Rekomendasi dari US PublicHealth Service
(USPHS), semua wanita usia suburharus mengkonsumsi 400mg (0,4 mg)
asam folat/hari untuk mencegah NTD. Pemberian sejak 1 bulankonsepsi
sampai kehamilan trimester pertama dapatmencegah NTD 50% atau
lebih. Pada wanita hamil yang pernah melahirkan anak dengan
NTDdianjurkan untuk diberikan asam folat 4 -5mg/harisejak 1 bulan
sebelum konsepsi sampai kehamilantrimester pertama (Hillman, 1996).

2.9 Anemia Defisiensi Vitamin B12

Merupakan gangguan autoimun karena tidak adanya intrinsik faktor


(IF) yang diproduksi di sel parietal lambung sehingga terjadi gangguan
absorbsi vit B 12 (Permono, 2005).
a. Etiologi dan fakor resiko
- Tidak adanya intrinsik faktor
- Gangguan pada mukosa lambung, ileum dan pankreas
- Tidak adekuatnya intake vit B 12, tapi asam folat banyak
- Obat- obatan yang mengganggu diabsorpsi dilambung (azothioprine, 5
FU, hidroksi urea, phenytoin, kontrasepsi oral)
- Obat- obatan yang merusak ileum (neomisin,met formin)
- Kerusakan absorpsi ( neoplasma, penyakit gastrointestinal, pembedahan
reseksi illium)

25
b. Patofisiologi
Defisiensi vit B 12 dan asam folat diyakini akan menghambat sintesis DNA
untuk reflikasi sel termasuk SDM sehingga bentuk, jumlah dan fungsinya
tidak sempurna. Instrinsik faktor (IF) berasal dari sel -sel lambung yang
dipe ngaruhi oleh pencernaan protein (glukoprotein), IF akan mengalir ke
ilium untuk membantu mengabsorpsi Vit B12. Vit B12 juga berperan dalam
pembentukan myelin pada sel saraf sehingga terjadinya defisiensi akan
menimbulkan gangguan neurologi (Permono, 2005).

c. Manifestasi Klinik
- Hb, hematokrit, SDM rendah
- Anemia
- BB menurun, nafsu makan menurun, mual, muntah
- Distensi abdomen, diare, konstipasi.
- Gangguan neurologi (parestesia tangan dan kaki, depresi, gangguan
kognitif dan hilang memori).

d. Penatalaksanaan
- Pemberian Vit B 12 oral, apabila IF kurang diberikan IM, 100 g tiap
bulan.
- Pemberian diet zat besi ( daging, hati, kacang hijau,telor, produk susu),
asam folat (Permono, 2005).

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Almatsier, S, 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka


Utama. Jakarta

2. Arisman, MB, 2004 .Gizi dalam daur kehidupan. EGC. Jakarta

3. Besa EC, Catalono PM, Kant JA, Jerreries LC, penyunting. Anermia
associated with DNA synthesis. Dalam: Hematology. Edisi ke-1.
Baltimore: William & Wilkins; 1992. h. 79-93.

4. Berry JR, Li Z, Erickson JD, LiS, Moore CA, Wang H, dkk.


Preventation of neural tube defects with folic acid in China. N Engl.
J Med. 1999; 341:1485-90.

5. Brattsrorn L. Vitamin as homocystein-lowering agets, J Nutr 126;


1996:1276S-80S.

6. Broek ,NR. Letsky E A. (2000). Etiology of Anemia in Pregnancy in


South Malawi . Am J Clin Nutr. 72 (suppl) 247S-56S.

7. Florentino, RF., Tanchoco, CC., Rodriguez, MP., Cruz, AJ. 1996.


Interactions amongmicronutrients deficiencies and undernutritions
in the Philippines. Asia Pacific Journal Clin. Nutr., 5(3): 175-180.

8. Ganong, W. F. 2010. Review of Medical Physiology; Ganong’s 23rd


edition. New York : The McGraw-Hill Companies Inc.

9. Groff James L ,Gropper, sareen S, and Smith ,Jack L, 2005.


Advanced Nutrition andHuman Metabolism, Fourth edition.
Wadsworth,a division of Thomson Learning,Inc. USA . 301-315

27
10. Guyton Arthur C and Hall, John E, 2008, Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran, edisi 11. EGC. Jakarta ; 440-448

11. Harper, Murray, RK., Granner, DK., Robert, KM., Peter, AM., Victor,
WR. 2003. Harper’s Biochemistry (14th ed.) Appliton & Lange,
Stanford-Connecticut.

12. Hart, K.H., Herriot, A., Bishop, J.A., Truby, H. 2003. Promoting
healthy diet and exercise patterns amongst primary school children:
a qualitative investigationof parental perpectives. J. Hum. Nutr.;
16(2):89-96.

13. Helena, A and Debby, R. Defisiensi asam folat. Sari Pediatri, Vol.4
No.1, Juni 2002:21-25.

14. Hillman. Iron Deficiency Anemia. Hematology in Clinical Practice, a


Guide to Diagnosis and Management 72–85 (1995).

15. Hillman RS. Hematopietie agents. Dalam: Hardman JE, Limbird LE,
Milinoff PB, dkk,. Goodman & Gilman’s the pharmacological basis
of therapeuties. Edisi ke-9, New York. Mc Graw-Hill, 1996. h. 1326-
36.

16. Hoffbrand AV, Pettit JE, 1993. Essential Haematology, 3 rd Edition,


Carlton Blackwell Sciencific Publications, 13-51

17. Hoffbrand AV, Pettit JE. Megaloblastic anaemias andother


macrocytic anemias. Dalam: Essential haematology, edisi ke-3.
London, Blackwell science, 1999. h. 53-73.

18. Hoffman. Anemia Hematology : Basic principles and practice. 4th

28
ed. 2005. Philadelphia : Elsevier, Inc.

19. Kasdan, TS. 1996. Nutritional Care in Anemia. Food, Nutrition and
Diet Therapy. Saunders Company. Mahan LK, Escott-Stump, S
(Ed.). Pennsylvania

20. Lukens, J. Iron Metabolism and Iron Deficiency. Blood Disease of


Infancy and Childhood 193–215 (1995).

21. Mayes PA. Dalam: HarperHA, Rodwell VW, Mayes PA. penyunting.
Biokimia; edisi 21. Jakarta: EGC, 2006. h. 180-7.

22. McKenzie SB. Megaloblastic and nonmegaloblastic macrocytic


anemias. Dalam: Textbook of hematology, edisi ke-2. Baltimore,
Williams & Wilkins, 1996. h . 179-99.

23. Muslimatun, S. 2001. Nutrition of Indonesian women during


pregnancy and lactation: a focus on vitamin A and Iron.
Wageningen University. Thesis.

24. Munker R; Evhard H; Jonathan G; Ronald P. Modern


Hematology:Biology and Clinical Management; 2nd edition. New
jersey : Humana Press Inc, 2007.

25. Permono, H. B. et al. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. (Ikatan


Dokter Anak Indonesia: Jakarta, 2005).

26. Pittiglio DH, Sacher RA, penyunting. Megaloblastic anemias.


Dalam: Clinical hematology and fundamentals of hemostasis.
Philadelphia, F.A Davis Co. 1987. h. 58-72.

29
27. Raharjo, B. 2003. Faktor-Faktor Risiko yang Berhubungan dengan
Anemia Pada Pekerja Perempuan di Desa Jetis Kecamatan
Sukoharjo KabupatenSukoharjo. Universitas Diponegoro. Thesis.

28. Ramakrishnan,U. 2001. Nutritional Anemias. CRC Press, Boca


London, New York Washingon,DC.

29. Ramakrishnan, U, Gonzales T- C, Neufeld LM, Rivera J and


Martorell R. 2003. Multiple Micronutrient supplementation during
pregnancy does not lead togreater infant birth Size than does iron
only supplementation a randomizedControlled Trial in a Semirural
Community in Mexic. .Am J Clin Nutr. 2003;77:720-725

30. Rayburn WF, Stanley JR, Garret E. Periconceptional folete intake


and neutral defets. AJCN 1996; 15:121-5.

31. Rosalind SG. Assessment of the status of folate and vitamin B-12.
Dalam: Principles of nutritional assessment, New York, Oxford
university press, 1990. h. 46-56.

32. Sandstrom , B, 2001, Micronutrient Interactions : Effect, absorption


and bioavailability. British Journal of Nutrition (2001) suppl 2 : S181-
S185.

33. Prof. dr. Soebandiri, Sp.PD-KHOM, 2007. Buku Ajar Penyakit


Dalam : Anemia Defisiensi Besi. Airlangga University Press,
Kampus C Unair, Jl. Mulyorejo Surabaya 60115. Halaman 143 –
144.

34. Suharno D, 1993. Gizi Kerja Pada Masyarakat Kerja Informal dalam
Upaya Kesehatan Kerja Sektor Informal Di Indonesia, Departemen
Kesehatan RI, Jakarta, 66-157

30
35. Supandiman I, 1997. Hematologi Klinik, PT. Alumni, Bandung,
1997, 1-14

36. Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi .Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta

37. Wirakusumah. 1999. Perencaanaan Menu Anemia Gizi Besi.


Trubus Agriwidya. Jakarta

38. World Health Organization (WHO). Iron deficiency anemia


assessment, prevention and control, A guide for programme
managers. 2001.

39. Yetley, E A. 2007. Multivitamin and multimineral dietary


supplements : definitions,characterization, bioavailability and drug
interactions, Am J Clin Nutr ; 269s- 76s.

31
32

Anda mungkin juga menyukai