Anda di halaman 1dari 34

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Head injury/trauma kepala merupakan salah satu jenis trauma yang paling
banyak dijumpai di Departemen Emergency, Amerika Serikat dengan total
perkiraan 1 juta kasus setiap tahunnya. Kebanyakan pasien dengan trauma kepala
berat meninggal sebelum sampai di Rumah Sakit dan 90% pasien meninggal
diperkirakan karena trauma kepala berat. Terdapat 70% pasien dengan trauma
kepala menerima pengobatan dan dikelompokkan menjadi cedera ringan, 15%
cedera sedang serta 15% lagi dengan cedera berat.1 Adapun menurut CDC pada
tahun 2010 berdasarkan kunjungan pasien ke Departemen Emergency pada tahun
2002-2006 terdapat 1,7 juta pasien mengalami Traumatic Brain Injury (TBI)
dimana 52.000 diantaranya meninggal, 275.000 dirawat inap, 1,365 juta telah
diterapi dan dipulangkan dari rumah sakit. TBI sendiri merupakan 3 trauma
tertinggi yang menyebabkan kematian di Amerika Serikat (30,5%).2
Insidensi TBI di Amerika Serikat sering dijumpai pada anak 0-4 tahun, remaja
15-19 tahun serta kelompok usia tua, 65 tahun keatas. Hampir setengah juta
manusia (473.947 pasien) yang mengunjugi Departemen Emergency karena TBI
adalah anak yang berusia 0-14 tahun, serta pasien dengan TBI yang berusia tua, 75
tahun atau lebih memiliki insidensi kematian yang lebih tinggi. Dimana insiden
kecelakaan sepeda motor merupakan penyebab tersering terjadinya kematian.
Paling banyak dijumpai pada kelompok dewasa muda (20-24 tahun).2
Di Inggris dan negara barat lainnya dilaporkan bahwa terdapat 8 kasus trauma
kepala berat, 18 trauma kepala sedang serta 280 trauma kepala ringan per 1000
penduduk pertahunnya, serta terdapat 100-150 pasien dewasa per 100.000 kasus
TBI. Dan paling banyak dikarenakan terjatuh (41%), diserang (20%) serta insiden
di jalan raya (13%).3
Kerusakan otak akibat TBI dapat digolongkan menjadi dua, yaitu cedera
langsung (primary brain damage) dan cedera tidak langsung akibat faktor trauma
(secondary brain damage).3 Adapaun fokus utama dalam penanganan penderita
2

dengan kecurigaan trauma kepala berat adalah untuk mencegah cedera otak
sekunder. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan
darah yang cukup untuk perfusi otak merupakan langkah yang penting untuk
menghindari trauma kepala sekunder. Adapun pemeriksaan yang penting dilakukan
setelah pemeriksaan ABCDE adalah identifikasi adanya lesi masa yang
memerlukan tindakan pembedahan, serta pemeriksaan yang terbaik adalah dengan
CT-Scan kepala.1
Adapun beberapa hal yang perlu ditanyakan serta dinilai pada pasien dengan
trauma kepala adalah umur pasien, waktu serta mekanisme cedera, vital sign serta
hemodinamik terutama tekanan darah, score GCS (Glasgow Coma Scale), cedera
penyerta serta jenis luka/cedera lainnya, hasil pemeriksaan CT-Scan jika ada, serta
penatalaksanaan hipotensi dan hipotermi.1

1.2. Tujuan
Tujuan penulisan laporan ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
senior Departemen Ilmu Kedokteran Anestesiologi dan Reanimasi RSUP H. Adam
Malik Medan, serta meningkatkan pemahaman mahasiswa mengenai:
1. Anatomi dan fisiologi kepala.
2. Penyebab, mekanisme, gejala klinis, serta penilaian diagnosis kasus
emergency, khususnya trauma kepala.
3. Penatalaksanaan awal (primary survey) serta pencegahan komplikasi lain
(secondary brain damage) yang dapat disebabkan oleh trauma kepala.

1.3. Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini ditujukan untuk mempelajari trauma kepala
yang berlandaskan teori guna memahami pengertian, cara mendiagnosa, dan
penatalaksanaan, khususnya pada kasus-kasus gawat darurat. Hal ini diharapkan
dapat mengoptimalisasi kemampuan dan pelayanan dokter dalam menangani
kegawatdaruratan pada pasien dengan trauma kepala.
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


2.1.1. Anatomi
Anatomi kepala dibagi atas beberapa organ. Pada head injury/trauma kepala, lokasi dari
kerusakan akibat trauma tergantung dari lokasi organ yang mengalami cedera. Untuk itu
penting kiranya dibahas mengenai anatomi kepala. 1
1. Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala merupakan lapisan kepala yang paling luar, yang terdiri dari 5 lapisan
yang disebut SCALP, yaitu :
a. Skin (kulit kepala)
b. Connective Tissue
c. Galea Aponeurotika
d. Jaringan penunjang longgar, merupakan daerah yang memisahkan galea
aponeurotika dan perikardium. Daerah ini berpotensi menjadi tempat penimbunan
darah (hematoma subgaleal)
e. Perikranium
Kulit kepala kaya akan pembuluh darah, sehingga bila terjadi perdarahan akibat
laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah.1

2. Tulang tengkorak
Tulang tengkorak terdiri atas kalvaria dan basis kranii. Kalvaria terletak di regio
temporal tipis, dan dilapisi oleh otot temporal. Basis kranii berbentuk tidak rata, sehingga
dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselarasi dan deselarasi.
Rongga dasar tengkorak terdiri dari 3 fosa, yaitu: 1
a. Fosa anterior (lobus frontal)
b. Fosa media (lobus temporalis)
c. Fosa posterior (bagian bawah otak dan serebelum)
3. Meningen
Selaput meningen terdiri dari 3 lapisan yaitu:1
a. Duramater
b. Arakhnoid
c. Piamater
4

Duramater adalah selaput yang keras, terdiri dari jaringan ikat fibrosa yang melekat erat
pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat erat pada selaput arachnoid,
dibawahnya terdapat ruang subdura yang terletak diantara duramater dan arakhnoid. Daerah
ini sering terjadi perdarahan. Pada cedera otak bridging vein dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Pada daerah tertentu, duramater terbagi menjadi dua lapis
membentuk sinus venosus besar yang mengalirkan darah vena dari otak. Sinus sagitalis
posterior mengalirkan darah vena ke sinus tranversus dan sinus sigmoid. Laserasi di sinus
sigmoid menyebabkan perdarahan yang hebat. Diantara duramater dan permukaan dalam
kranium (ruang epidural) terdapat arteri-arteri meningea. Adanya laserasi pada arteri ini dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan epidural. Arteri meningea yang paling sering cedera
adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).1
Dibawah duramater terdapat lapisan meningen yang tipis dan tembus pandang yaitu
lapisan arakhnoid.1 Lapisan piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pada
lapisan arakhnoid dan lapisan piamater terdapat suatu celah yang disebut lapisan subarakhnoid.
Pada lapisan subarakhnoid sendiri terakumulasi cairan serebrospinal (CSF). Pada head injury
sering dijumpai adanya perdarahan sub arakhnoid.1

Gambar 2.1. Lapisan Meningen Otak 4

4. Otak
Otak terdiri atas serebrum, serebelum dan batang otak. Serebrum terdiri atas ua
hemisfer, kanan dan kiri dan dipisahkan oleh falks serebri. Hemisfer sendiri merupakan pusat
bahasa. 1
Serebrum terbagi atas beberapa lobus, yaitu frontal, lobus parietal, lobus temporal serta
lobus oksipital. Lobus frontal berhubungan dengan fungsi emosi, fungsi motorik serta pusat
5

ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Serta
lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan.

Gambar 2.2. Anatomi Otak 4

5. Cairan Serebrospinal
Isi tengkorak terdiri dari jaringan otak (86%), darah (4%), dan cairan serebrospinal/
Cerebrospinal fluid (CSF). Cairan serebrospinal dibentuk dengan kecepatan konstan, dimana
80% dibentuk di pleksus khoroideus, selebihnya dibuat di parenkim otak. Fungsi cairan
serebrospinal adalah untuk proteksi, sokongan dan regulasi kimia otak. Produksi cairan
serebrospinal berkisar 0,35-0,4 mL/menit atau 20-30 mL/jam atau 500-600 mL/hari.
Absorbsinya tergantung pada perbedaan tekanan CSF dan vena.5 CSF mengalir dari ventrikel
lateral menuju foramen Monro ventrikel IV. Selanjutnya CSF keluar dari ventrikel menuju
ruang subarakhnoid dan mengisi seluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSF selanjutnya
akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena menuju gradulasio arakhnoid yang terdapat pada
sinus sagitalis posterior. Adanya darah pada gradulasio arakhnoid dapat menyebabkan
sumbatan sehingga mengganggu penyerapan CSF sehingga dapat menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial. 1

6. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga otak menjadi ruang supratentorial (fosa kranii
anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (fosa kranii posterior). Mesensefalon
(midbrain) menghubungkan hemisfer serebri dengan batang otak (pons dan medula oblongata)
dan berjalan melalui celah lebar tentorium serebeli yang disebut insisura tentorial. Di sepanjang
tentorium berjalan nervus III, dapat tertekan jika ada herniasi lobus temporal, yang umumnya
terjadi karena adanya massa supratentorial atau edema otak. Bagian batang otak yang sering
mengalami herniasi adalah sisi medial dari lobus temporal yang disebut dengan unkus. Herniasi
unkus juga menyebabkan penekanan traktus kortikospinalis (piramidalis) yang berjalan pada
6

otak tengah. Penekanan pada daerah ini akan menyebabkan paresis otot-otot sisi tubuh
kontralateral. Lesi massa yang ada akan mendorong otak tengah ke sisi berlawanan pada tepi
tentorium serebeli akan mengakibatkan hemiplagia dan dilatasi pupil pada sisi yang sama
dengan hematoma intrakranial. 1

2.1.2. Fisiologi
2.1.2.1.Tekanan Intrakranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat menyebabkan kenaikan tekanan
intrakranial (TIK). Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau
memperberat iskemia, juga akan menyebabkan herniasi uncal dan serebral. TIK normal
berkisar 5-15 mmHg. Tekanan ini tidak selalu konstan bergantung pada pulsasi arteri, respirasi
dan batuk. TIK normal pada keadaan istirahat sebesar 10 mmHg. Adapun peningkatan volume
salah satu komponen (otak, darah dan CSF) akan dikompensasi dengan penurunan volume
komponen yang lainnya. TIK lebih tinggi dari 20 mmHg, terutama bila menetap, berhubungan
langsung dengan hasil akhir yang buruk. 5 , 1
Tekanan intrakranial yang meningkat akan menyebabkan perubahan sistemik seperti
hipertensi, hipotensi, takikardi, bradikardi, perubahan irama jantung, perubahan EKG,
gangguan elektrolit, dan hipoksia. Menurut Chusing, terdapat Trias Chusing pada pasien
dengan peningkatan TIK, yaitu hipertensi, bradikardi dan melambatnya respirasi. Bradikardi
yang terjadi hanya sebentar yang selanjutnya akan terjadi adalah takikardi. 5

2.1.2.2.Doktrin Monro-Kellie
Merupakan konsep yang menerangkan kenaikan tekanan intrakranial (TIK). Dimana
konsep utamanya bahwa volume intrakranial harus selalu konstan. Hal ini dikarenakan rongga
kranium pada dasarnya merupakan ronnga yang rigid, tidak mungkin mekar. Segera setelah
trauma, massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam batas
normal. Bila volume bertambah karena massa, trauma ataupun hematom, utntuk mengurangi
volume, CSF dan darah juga akan berkurang, keluar dari ruangan intrakranial sehingga tekanan
intrakranial akan tetap normal. Dan saat pengaliran CSF dan darah intravaskular mencapai
dekompensasi, TIK secara cepat akan meningkat.
7

Gambar 2.3. Mekanisme kompensasi peningkatan tekanan intrakranial terhadap massa yang
berkembang 1

Gambar 2.4. Kurva Volume-Tekanan 1

2.1.2.3.Aliran Darah ke Otak


Aliran darah normal ke otak orang dewasa berkisar 50-55 mL per 100 gr jaringan otak
per menit. Serta dipertahankan pada MAP 50-150 mmHg. Pada anak aliran darah otak (ADO)
tergantung pada usianya. Pada anak berusia 1 tahun, ADO hampir sama dengan dewasa, tetapi
pada usia 5 tahun, ADO mencapai 90 mL/100 gr/menit, dan secara gradual akan menurun
sebesar ADO dewasa saat mencapai akhir masa remaja. Cedera otak berat sampai koma dapat
menurunkan 50% dari ADO dalam 6-12 jam pertama sejak trauma. ADO biasanya akan
meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita yang koma ADO tetap di bawah
normal sampai beberapa hari atau minggu setelah trauma. Terdapat bukti bahwa ADO yang
8

rendah tidak daapt mencukupi kebutuhan metabolisme otak segera setelah trauma, sehingga
akan menyebabkan iskemi otak fokal ataupun menyeluruh. 5 , 1
Untuk mempertahankan ADO tetap konstan, pembuluh darah prekapiler otak memiliki
kemampuan untuk berkonstriksi ataupun dilatasi (autoregulasi berdasar rangsangan tekanan).
Pembuluh darah juga akan berkonstriksi ataupun dilatasi sebagai respon terhadap perubahan
kadar PO2 atau PCO2 darah (autoregulasi kimiawi). Cedera otak berat dapat mengganggu kedua
mekanisme regulasi tersebut. Adapun penurunan ADO akan trauma akan mengakibatkan
iskemi dan infark otak. 1 Jika MAP kurang dari 50 mmHg maka akan terjadi iskemi serebral,
dan jika MAP lebih dari 150 mmHg maka tekanan yang tinggi tersebut akan merusak daya
kontraksi pembuluh darah dan aliran darah otak akan naik dengan tiba-tiba. Dengan demikian
akan terjadi kerusakan sawar darah otak (Blood Brain Barier/ BBB), yang dapat menimbulkan
terjadinya edema serebral dan perdarahn otak. 5
Iskemi yang terjadi dapat dengan mudah diperberat dengan adanya hipotensi, hipoksia,
atau hipokapnia karena hiperventilasi yang agresif. Oleh karena itu, semua tindakan ditujukan
untuk meningkatkan aliran darah dan perfusi otak dengan cara menurunkan TIK,
mempertahankan volume intravaskular, MAP dan mengembalikan oksigenasi dan
normokapnia. Mempertahankan tekanan perfusi otak (MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg
sangat direkomendasikan untuk meningkatkan ADO. Sekali mekanisme kompensasi terlewati
dan terdapat eksponensial TIK, perfusi otak akan terganggu, terutama pada penderita yang
mengalami hipotensi. Oleh karena itu, adanya hematoma intrakranial harus segera dievakuasi
dan tekanan darah sistemik yang adekuat harus dipertahankan. 1
Adapun beberapa faktor yang dapat mempengaruhi aliran darah otak adalah simulasi
simpatis dan parasimpatis, hematokrit, temperatur serta usia. Simulasi simpatis dapat
menggeser kurva autoregulasi kearah kanan, dan bermanfaat untuk melindungi otak dari
kenaikan tekanan darah yang tiba-tiba. Hematokrit yang meningkat dapat menurunkan aliran
darah ke otak karena ada peningkatan viskositas darah, Hematokrit sebesar 33% menunjukkan
peningkatan aliran darah ke otak tanpa ada gangguan penghantaran oksigen. Penurunan
temperatur akan memperlambat metabolisme serebral, hal ini akan menurunkan aliran darah
otak. Setiap penurunan 1°C, aliran darah otak akan menurun kira-kira 5%. 5

2.2 Trauma kepala


2.2.1 Definisi
9

Head injury/trauma kepala adalah berbagai trauma yang melukai kulit kepala (scalp),
tulang tengkorak, atau jaringan otak. Cedera yang terjadi dapat hanya berupa tubrukan yang
ringan pada tulang tengkorak atau dapat menjadi trauma kepala yang serius. 6

2.2.2 Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, tingkat keparahan, dan
morfologi trauma kepala. Berdasarkan mekanisme terjadinya trauma, trauma kepala terbagi
atas trauma kepala tumpul dan tajam/ penetrasi. Trauma kepala tumpul biasanya terjadi akibat
benturan, terjatuh, atau pukulan benda tumpul sedangkan trauma kepala tajam biasanya terjadi
akibat luka tembak atau luka tusuk.1,7
Berdasarkantingkat keparahannya, trauma kepala dibagi 3, yaitu ringan, sedang, dan
berat. Untuk mengukur tingkat keparahan ini digunakan Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma
Scale = GCS) dimana skala ini menilai 3 hal yaitu proses membuka mata (eye opening = E),
reaksi gerak motorik ekstremitas (best motor response = M), dan reaksi bicara (best verbal
response = V) yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Dikatakan trauma kepala ringan
apabila GCS 13-15, sedang apabila GCS 9-12, dan berat jika GCS 3-8. 1

Tabel 2.1 Glasgow Coma Scale (GCS) 1


Hal yang dinilai Skor
Eye Opening(E)
 Mata terbuka dengan spontan 4
 Mata membuka setelah diperintah 3
 Mata membuka setelah diberi rangsang nyeri 2
 Tidak membuka mata dengan rangsang apapun 1
Best Motor Response (M)
 Menurut perintah 6
 Dapat melokalisir nyeri 5
 Mengindari nyeri 4
 Fleksi (dekortikasi) 3
 Ekstensi (deserebrasi) 2
 Tidak ada gerakan dengan rangsang apapun 1
Best Verbal Response (V)
 Menjawab pertanyaan dengan benar 5
 Salah menjawab pertanyaan 4
 Mengeluarkan kata-kata yang tidak sesuai 3
 Mengeluarkan suara yang tidak ada artinya 2
 Tidak ada jawaban 1
* Skor GCS = (E+M+V); GCS tertinggi = 15; GCS Terendah = 3

Tabel 2.2 Klasifikasi Trauma kepala Berdasarkan GCS,


Gambaran Klinik dan Skening Otak 8
10

Selain dengan menggunakan GCS, terdapat pengukuran lain untuk menentukan tingkat
keparahan dari trauma kepala, yaitu durasi dari kehilangan kesadaran (Loss of Consciousness
= LOC). 9

Tabel 2.3 Tingkat Keparahan Trauma kepala Berdasarkan Durasi LOC 9


Tingkat Keparahan Keterangan
Ringan Perubahan status mental atau LOC < 30 menit
Sedang Perubahan status mental atau LOC diantara 30 menit sampai 6 jam
Berat Perubahan status mental atau LOC > 6 jam
Kemudian berdasarkan morfologinya, trauma kepala terdiri dari luka dan avulsi kulit
kepala, fraktur tulang tengkorak, dan lesi intrakranial. 1
1. Luka dan avulsi kulit kepala
Luka dan avulsi (kehilangan sebagian) kulit kepala dapat menyebabkan perdarahan yang
berat sehingga menyebabkan syok. Luka pada kulit dapat menunjukkan lokasi (area) dimana
terjadi trauma. Bila dibawah luka terdapat fraktur yang menekan jaringan otak maka luka
tersebut dapat merupakan jalan masuk kuman-kuman untuk terjadinya infeksi intrakranial. 10

2. Fraktur Tulang Tengkorak


Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi pada calvarium (atap tengkorak), disebut fraktur
calvarium dan fraktur pada basis cranium (dasar tengkorak), disebut fraktur basis cranium.
Fraktur cranium dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka
ataupun tertutup. 1 , 11
a. Fraktur calvarium
Beberapa contoh fraktur calvarium:
1. Fraktur linear
11

Dikatakan fraktur linear apabila fraktur merupakan sebuah garis (celah) saja. Fraktur
liniar yang berbahaya ialah fraktur yang melintasi os temporal. Pada os temporal terdapat
alur yang dilalui arteri meningia media. Bila fraktur memutuskan arteri meningia media
maka akan terjadi perdarahan hebat yang akan terkumpul di ruang diantara dura mater dan
tulang tengkorak, disebut perdarahan epidural.
2. Fraktur comminutive
Fraktur comminutive adalah fraktur pada tulang tengkorak (calvarium) dengan banyak
segmen-segmen fraktur.
b. Fraktur basis kranium
Basis kranium terdiri dari 3 fossa, yaitu fosa anterior, fossa media, dan fossa posterior. Pada
fraktur fossa anterior, dapat terjadi fraktur atap orbita atau fraktur melintasi lamina cribrosa. 1
, 10

- Fraktur fossa anterior


1. Fraktur atap orbita
Fraktur akan merobek dura mater dan arachnoid sehingga liquor cerebro spinal (LCS)
bersama darah keluar melalui celah fraktur masuk ke rongga orbita; dari luar di sekitar
mata tampak kelopak mata berwarna kebiru biruan. Bila terkena pada satu mata disebut
Monocle Hematoma dan bila terkena pada kedua mata disebut Brill Hematoma/Raccoon’s
eyes.
2. Fraktur melintas lamina cribrosa
Fraktur akan menyebabkan rusaknya serabut serabut saraf penciuman (nervus
olfactorius) sehingga dapat terjadi gangguan penciuman mulai dari berkurangnya
penciuman (hiposmia) sampai hilangnya penciuman (anosmia). Fraktur juga merobek
duramater dan arachnoid sehingga LCS bercampur darah akan keluar dari rongga hidung
(rhinorrhoea). Garis fraktur dapat meluas ke dalam sinus-sinus wajah dan membuat
bakteri yang terdapat pada hidung dan mulut menyebar ke otak dan menyebabkan infeksi
yang potensial. 12

- Fraktur fossa media


1. Fraktur os petrossum
Puncak (apex) os petrosum sangat rapuh sehingga LCS dan darah masuk ke dalam
rongga telinga tengah dan memecahkan membran timpani; tampak dari telinga keluar LCS
bercampur darah (otorrhoea).
2. Fraktur sella tursica
12

Di atas sella tursica terdapat kelenjar hipofise yang terdiri dari 2 bagian yaitu pars
anterior dan pars posterior (neurohipofise). Pada fraktur sella tursica, yang biasa terganggu
adalah pars posterior sehingga terjadi gangguan sekresi ADH (Anti Diuretic Hormone)
yang menyebabkan terjadinya diabetes insipidus.
3. Sinus cavernosus syndrome
Sindrom ini adalah akibat fraktur basis tengkorak di fossa media yang memecahkan
arteri carotis interna yang berada di dalam sinus cavernosus sehingga terjadi hubungan
langsung arteri–vena (disebut arterio-venous shunt dari arteri carotis interna dan sinus
cavernosus  carotid–cavernous fistula).
Bila membran stetoskop diletakkan diatas kelopak mata atau pelipis akan terdengar
suara seperti air mengalir melalui celah yang sempit yang disebut bruit. Gejala-gejala
klinis sebagai akibat pecahnya a. carotis interna di dalam Sinus Cavernosus, terdiri atas
mata yang bengkak menonjol, sakit dan konjungtiva yang terbendung (berwarna merah)
serta terdengar bruit, disebut sinus cavernosus syndrome.

- Fraktur Fossa Posterior


1. Fraktur melintas Os Petrosum
Garis fraktur biasanya melintas bagian posterior apex os petrosum sampai os mastoid
menyebabkan LCS bercampur darah keluar melalui celah fraktur dan berada diatas
mastoid sehingga dari luar tampak warna kebiru-biruan dibelakang telinga, yang
disebut Battle’s Sign.
2. Fraktur melintas Foramen Magnum
Di foramen magnum, terdapat medula oblongata, sehingga getaran fraktur akan
merusak medula oblongata dan menyebabkan terjadinya kematian seketika.

3. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial terdiri dari lesi difus dan fokal, walaupun keduanya sering terjadi
bersamaan. Lesi fokal berupa epidural hematom, subdural hematom, intraserebral hematom,
dan subarachnoid. 1 , 8 , 12
a. Cedera otak difus
Mulai dari konkusio ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang sangat
buruk. Pada konkusio, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami
amnesia retro/anterograd.
13

Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok
yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa
kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area
putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah diffuse axonal injury (DAI) untuk
mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara mikroskopis
menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya.

b. Perdarahan epidural
Perdarahan ini disebabkan umumnya karena fraktur di daerah temporal yang memutuskan
arteri meningea media yang berjalan di dalam suatu alur di tulang temporal. Hematoma
epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan gambarannya berbentuk
bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo
parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat fraktur tulang
tengkorak. Darah dengan segera akan terkumpul di rongga di antara duramater dan tulang
tengkorak. Darah ini akan menekan jaringan otak ke arah medial dan menyebabkan penekanan
terhadap nervus III sehingga pupil yang sepihak dengan epidural hematom akan melebar
(midriasis) dan perangsangan cahaya pada pupil mata ini tidak akan menggerakkan musculus
siliaris (rangsang cahaya negatif). Epidural hematom harus segera dioperasi (kraniotomi).
Riwayat penyakit yang khas pada epidural hematom adalah adanya “lucid interval”. Pada
waktu baru terjadi trauma kapitis, penderita tetap berada dalam keadaan sadar, bahkan masih
mampu menolong dirinya sendiri, baru beberapa jam kemudian (biasanya antara 6-8 jam)
kesadaran mulai menurun, kedua pupil akhirnya berdilatasi penuh dan rangsang cahaya pada
kedua mata menjadi negatif dan penderita meninggal. Tenggang waktu antara kejadian trauma
kapitis dan mulai timbulnya penurunan kesadaran disebut dengan “lucid interval”. Kedua pupil
yang berdilatasi penuh dengan rangsang cahaya yang negatif menunjukkan keadaan yang
disebut “herniasi tentorial”, yang terjadi akibat peningkatan tekanan intrakranial dimana batang
otak terdesak ke arah kaudal dan akhirnya terperangkap oleh tentorium. Gejala lain berupa
nyeri kepala bisa disertai muntah proyektil, pupil anisokor dengan midriasis di sisi lesi akibat
herniasi unkal, hemiparesis, dan refleks patologis Babinski positif kontralateral lesi yang terjadi
terlambat. Pada gambaran CT scan kepala didapatkan lesi hiperdens (gambaran darah
intrakranial) umumnya di daerah temporal berbentuk cembung.

c. Perdarahan subdural
14

Perdarahan subdural adalah perdarahan atau hematom yang terletak diantara duramater dan
arachnoid. Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Perdarahan
ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural
biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan otak lebih berat dan
prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural. Gejala klinis berupa nyeri
kepala yang makin berat dan muntah proyektil. Jika SDH makin besar, bisa menekan jaringan
otak, mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan kesadaran. Gambaran CT scan kepala berupa
lesi hiperdens berbentuk bulan sabit. Bila darah lisis menjadi cairan, disebut higroma (hidroma)
subdural.
a. Perdarahan subdural akut
Perdarahan subdural akut terjadi karena ruptur dari arteri-arteri pada permukaan otak.
Perdarahan ini mempunyai mortalitas yang tinggi.
b. Perdarahan subdural kronik
Perdarahan subdural kronik terjadi karena putusnya bridging veins dalam jumlah sedikit
sehingga baru dalam waktu 2-3 minggu memberikan gejala neurologik.
c. Kontusio dan Perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus
temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri
dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra serebral
yang membutuhkan tindakan operasi.Perdarahan ini terjadi karena putusnya pembuluh
darah di dalam jaringan otak. Penderita akan cepat kehilangan kesadaran. Tergantung
dimana letak perdarahan, operasi dapat menolong penderita walaupun biasanya terdapat
cacat yang menetap.

Perdarahan juga dapat terjadi di dalam sistem ventrikel dan disebut dengan perdarahan
intraventrikuler. Darah akan menyumbat sistem ventrikel sehingga cairan serebrospinal tidak
dapat mengalir dan terkumpul di dalam sistem ventrikel dan menyebabkan terjadinya
hidrosefalus, dimana sistem ventrikel melebar dan mengandung banyak cairan. Bila perdarahan
cukup banyak, maka seluruh fungsi jaringan otak akan terganggu.

d. Perdarahan subarachnoid
Perdarahan subarachnoid adalah perdarahan yang terletak di bawah lapisan arachnoid dan
diatas piamater. Perdarahan subaraknoid traumatik terjadi pada lebih kurang 40% kasus cedera
kranioserebral, sebagian besar terjadi di daerah permukaan oksipital dan parietal sehingga
15

sering tidak dijumpai tanda-tanda rangsang meningeal. Adanya darah di dalam cairan otak akan
mengakibatkan penguncupan arteri-arteri di dalam rongga subaraknoidea. Bila vasokonstriksi
yang terjadi hebat disertai vasospasme, akan timbul gangguan aliran darah di dalam jaringan
otak. Keadaan ini tampak pada pasien yang tidak membaik setelah beberapa hari perawatan.
Penguncupan pembuluh darah mulai terjadi pada hari ke-3 dan dapat berlangsung sampai 10
hari atau lebih. Gejala klinis yang didapatkan berupa nyeri kepala hebat. Pada CT scan otak,
tampak perdarahan di ruang subaraknoid. Berbeda dengan SAH non-traumatik yang umumnya
disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak (aneurisma), perdarahan pada SAH traumatik
biasanya tidak terlalu berat.

Gambar 2.5. Hematoma Gambar 2.6. Hematoma Subarakhnoid31


Epidural, Subdural, dan
Intreserebral 12
2.2.3 Patofisiologi
Pada trauma kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda
keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala. 13
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan
otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan
lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang
area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi,
maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami
akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis
adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah
sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan
rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio
intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup. 14
16

Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan
kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak
(substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra
kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup). 13
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia
otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder
terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf
mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan,
menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah
dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan
perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan
tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak,
bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan
oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera
mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi
yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak. 15

2.2.4 Diagnosis
Trauma kepala didiagnosis melalui anamnesa, gejala klinis, serta pemeriksaan
penunjang. Anamnesa yang terperinci mengenai cedera perlu dilakukan sehingga dapat
diketahui lokalisasi dan cara terjadinya trauma kepala. 11
Kemudian dari gejala klinis dapat dibagi menjadi gejala klinis untuk trauma kepala
ringan dan sedang-berat. Gejala klinis trauma kepala ringan berupa pasien tertidur atau
kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh, sakit kepala yang menetap
atau berkepanjangan, mual, muntah, gangguan tidur, gangguan sensorik seperti pandangan
kabur, perubahan kepribadian diri. Gejala klinis trauma kepala sedang-berat berupa penurunan
kesadaran, agitasi, kelemahan ekstremitas, kehilangan kontrol terhadap sistem pencernaan,
sakit kepala yang persisten atau semakin memburuk, kejang, mual dan muntah yang berulang,
dilatasi salah satu atau kedua pupil, keluar cairan dari hidung atau telinga, triad Cushing
(bradikardi, hipertensi, depresi pernafasan). Pada bayi dan anak-anak, gejala klinis yang
mungkin timbul adalah perubahan kebiasaaan menyusu atau makan, menangis yang persisten,
perubahan pada pola tidur, merasa sedih atau depresi, tidak tertarik dengan mainan atau
aktivitas yang biasanya disukai. 16
17

Pemeriksaan yang dilakukan pada trauma kepala adalah mencari bukti terjadinya cedera,
tanda fraktur tengkorak, tingkat kesadaran, dan respon pupil. Bukti terjadinya cedera dinilai
dari adanya laserasi atau memar pada kepala. Hematom intrakranial dapat terjadi pada pasien
yang tidak mempunyai bukti ekternal terjadinya cedera.
Tanda fraktur tengkorak dapat dilihat dari adanya battle sign (warna biru atau ekimosis
di belakang telinga di atas os mastoid), racoon’s eye atau periorbital ekimosis, perdarahan
subkonjungtiva, CSF rhinorrhoea, CSF otorrhoea atau perdarahan dari meatus auditorius
eksterna. 17 , 18
Tingkat kesadaran sendiri dinilai dengan menggunakan GCS (Glasglow Coma Scale)
dimana dinilai proses membuka mata, reaksi gerak motorik ekstremitas, dan reaksi bicara.
Selanjutnya menilai respon pupil. Refleks cahaya dapat menilai fungsi dari nervus II dan III.
Walaupun disfungsi nervus II setelah trauma kepala penting untuk dinilai dan dapat
menyebabkan kerusakan mata yang permanen, fungsi nervus III adalah indikator yang paling
baik untuk menilai penyebaran dari lesi intrakranial. Herniasi dari medial temporal lobe melalui
hiatus tentorial secara langsung merusak nervus III sehingga menyebabkan dilatasi pupil
dengan gangguan atau tidak adanya reaksi cahaya. Pupil berdilatasi pada sisi dimana terjadi
lesi perluasan. Apabila tekanan intrakranial semakin meningkat, dapat terjadi palsi nervus III
yang bilateral.18
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan adalah X-ray tulang tengkorak, CT
(Computed Tomography) scan, dan MRI (Magnetic Resonance Imaging). X-ray tulang
tengkorak digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak atau rongga tengkorak
walaupun CT scan lebih dipilih. X-ray tulang tengkorak biasanya digunakan apabila tidak
terdapat CT scan. 20
CT scan sangat berguna pada trauma kapitis karena dapat memberikan gambaran adanya
fraktur, hematom dan edema. Penemuan awal CT scan penting dalam memperkirakan
prognosis trauma kepala berat. Suatu CT scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada
penderita-penderita trauma kepala berat berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan
penyembuhan fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang
mempunyai CT scan abnormal. Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT
scan yang relatif normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkatan TIK
dan dapat berkembang lesi baru pada 40% dari penderita. Di samping itu pemeriksaan CT scan
tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya
struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan
outcome yang buruk. 19 , 20
18

Gambar 2.7. CT Scan epidural hematom (a), subdural hematom (b), dan subarachnoid hematom (c) 1

MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada
pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau
terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk
pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan
intrakranial terkontrol baik. Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)
menambah dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk
mendeteksi cedera akson difus (CAD). Mayoritas penderita dengan trauma kepala ringan
sebagaimana halnya dengan penderita trauma kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS
ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari
MRS di dalam menjajaki prognosa trauma kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya
sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan
kognitif pada penderita trauma kepala ringan 20

2.2.5 Penatalaksanaan
19

Pengelolaan trauma kepala harus dimulai di tempat kejadian, diteruskan selama


transportasi di Instalasi Gawat Darurat (IGD), dan terapi definitif. Pada tahun-tahun terakhir
ini ada penekanan pada standardisasi penatalaksanaan awal dan terapi penderita trauma,
termasuk trauma kepala. Hal ini timbul dari adanya 3 fase puncak dari saat kematian akibat
trauma. Puncak pertama yang terutama terjadi dalam detik atau menit dari cedera (pada pasien
trauma kepala disebut cedera primer). Puncak yang kedua dalam beberapa menit sampai jam
(akibat adanya cedera sekunder). Periode ini disebut sebagai “golden hour”. Puncak ketiga,
hari sampai minggu setelah cedera akibat sepsis atau gagal organ.21
Karena cedera primer tidak dapat dikurangi dengan terapi medis, dan puncak mortalitas
ketiga berhubungan dengan keberhasilan terapi yang segera, maka mortalitas tergantung pada
efek langsung terapi dengan jam-jam pertama setelah trauma kepala, berarti efek dari terapi
terhadap cedera sekunder. Hal ini paling baik dilakukan dengan tim yang efisien yang tentunya
memerlukan protokol standar terapi, dan yang sekarang sedang menjadi acuan adalah standar
yang dikemukakan oleh American College of Surgeon yang Advanced Trauma Life Support
(ATLS).21 Suatu tim idealnya terdiri dari paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah saraf,
radiologi, anastesi, dan rehabilitasi medik.11 Pada ATLS termasuk juga cara atau protokol
penanganan trauma kepala.21
Tujuan dari manajemen trauma kepala adalah menjaga oksigenasi otak, perfusi otak,
menghindari cedera otak sekunder, dan evaluasi bedah saraf dengan segera.22 Pasien dengan
trauma kepala ataupun leher yang signifikan segera dibawa ke ruang resusitasi. Manajemen
awal diprioritaskan pada survey primer dan sekunder, stabilisasi hemodinamik dan respiratori,
penilaian, dan monitor kesadaran dan melindungi pasien dari cedera lebih lanjut.23
Pada segala jenis trauma, anamnesis singkat diperlukan. Tindakan ABCDE pada
trauma, dikenal sebagai survei primer, dilakukan pada semua pasien trauma. Perlindungan
umum harus digunakan seperti pelindung mata, masker, sarung tangan, dan pakaian pelindung.
Informasi penting dapat diperoleh dari personil pra-rumah sakit, pasien, atau saksi, sehubungan
dengan mekanisme cedera, waktu kejadian, perubahan kesadaran, masalah medis seperti alergi,
penggunaan obat, dan alkohol.

1. Primary Survey

Pada umumnya penatalaksanaan awal pada primary survey dilakukan pendekatan melalui
ABCDE yaitu : 1
a) Airway, menjaga airway dengan kontrol servikal (cervical spine control)
20

b) Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi


c) Circulation dengan kontrol perdarahan (hemorrage control)
d) Disability, status neurologis
e) Exposure/environmental control, membuka baju penderita, tetapi cegah hipotermia

A. Airway
Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan membutuhkan
keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat darurat, oleh karena
itu hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, yang meliputi
pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah,
fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea. Gangguan airway dapat
timbul secara mendadak dan total, perlahan – lahan dan sebagian, dan progresif
dan/atau berulang. Terhentinya pernafasan sementara sering terjadi pada penderita
cedera otak, sehingga dapat mengakibatkan kerusakan sekunder. Intubasi endotrakeal
dini harus dilakukan pada penderita koma.
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi,
kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan,
darah, lendir, atau gigi palsu. Perhatikan suara napas, apakah masih terdapat suara
napas, melemah. Adanya suara tambahan pada napas mengindikasikan adanya
obstruksi parsial baik oleh lidah ataupun beda asing. Adanya darah, muntahan dan
bengkak akibat adanya trauma wajah merupakan penyebab terbanyak obstruksi jalan
napas pada pasien dengan brain injury, dengan adanya hal ini maka jalan napas perlu
suction.
Mempertahankan jalan napas tetap baik memerlukan beberapa manuver seperti chin
lift, dan jaw thrust. Suction jalan napas apabila didapati adanya produksi sekresi yang
berlebihan, suction yang berlama-lama dapat meningkatkan tekanan intra kranial
sehingga suction dilakukan dengan prinsip hati-hati. Pasien dengan adanya penurunan
GSC <9 (trauma kepala berat), jalan napas yang tidak diproteksi, pasien yang tidak
koperatif yang mana dapat memperburuk keadaan pasien, hipoventilasi, hipoksia,
merupakan indikasi untuk dilakukan intubasi. Intubasi sendiri dapat mengakibatkan
peningkatan ICP yang dapat menyebabkan secondary brain injury. Apabila dicurigai
adanya spinal injuri maka pastikan pasien menggunakan cervical colar , in-line
immbolisation.
21

Pengelolaan intensif perawatan pasien adalah proses dinamis, dimulai pada pra-rumah
sakit, di lokasi kecelakaan. Selama awal tahap perawatan di rumah sakit, pasien dapat
dikelola oleh berbagai bagian meliputi unit gawat darurat, departemen radiologi, dan
ruang operasi sebelum mereka dirawat di Unit Perawatan Intensif (ICU) .

B. Breathing
Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan pasokan
konstan O2 yang digunakan untuk menunjang reaksi kimiawi penghasil energi, yang
menghasilkan CO2 yang harus dikeluarkan secara terus-menerus. Kegagalan dalam
oksigenasi akan menyebabkan hipoksia yang diikuti oleh kerusakan otak, disfungsi
jantung, dan akhirnya kematian. Pada keadaan normal, oksigen diperoleh dengan
bernafas dan diedarkan dalam aliran darah ke seluruh tubuh. Airway yang baik tidak
dapat menjamin pasien dapat bernafas dengan baik pula. Menjamin terbukanya airway
merupakan langkah awal yang penting untuk pemberian oksigen.Penderita dilakukan
ventilasi dengan oksigen 100% sampai hasil pemeriksaan AGDA keluar dan dapat
disesuaikan dengan kebutuhan FiO2. Pemakaian pulse oksimeter sangat bermanfaat
dalam memantau saturasi oksigen dengan target > 98%. Tindakan hiperventilasi harus
dilakukan dengan hati-hati pada pasien dengan perburukan neurologis akut. Apabila
pasien tidak berventilasi pemberian 15L/menit 100%O2 harus diberikan via masker non
rebreathing dimana hal ini diberikas segera dengan tujuan mengurangi kemungkinan
adanya brain injury. Apabila pasien berventilasi berikan resusutasi awal 100% O2 yang
mana hal ini dapat ditritasikan ketika pasien sudah stabil.

C. Circulation
Perdarahan merupakan penyebab kematian setelah trauma. Oleh karena itu penting
melakukan penilaian dengan cepat status hemodinamik dari pasien, yakni dengan
menilai tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi. Pemasangan iv-cath dengan ukuran
yang besar merupakan hal yang wajib untuk dilakukan.
a) Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun perfusi otak juga berkurang yang menyebabkan
penurunan tingkat kesadaran.
b) Warna kulit
Wajah yang keabu-abuan dan kulit ektremitas yang pucat merupakan tanda
hipovolemia.
22

c) Nadi
Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti a. femoralis dan a.
karotis (kanan kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama.
Mempertahankan tekanan darah sistolik >90mmHg dimana hal ini dimaksudkan untuk
mempetahankan perfusi serebral dan mencegah adanya kerusakan otak yang lebih
lanjut. Adanya tanda dari shok segera lakukan resuisitasi cairan dimana hal ini dapat
meningkatkan tekanan darah serta memperbaiki perfusi ke otak.

D. Dissability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara
cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat (level) cedera spinal. Cara cepat dalam mengevaluasi status
neurologis yaitu dengan menggunakan penilaian AVPU (Alert, respons to voice,
respond to pain, Unresponsiveness), sedangkan GSC (Glasgow Coma Scale)
merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status neurologis, dan dapat
dilakukan pada saat survey sekunder.

E. Exposure
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka keseluruhan
pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa punggung dengan
memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti penderita dengan
selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan cairan intra-vena
yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi.

2. Secondary Survey
Secondary survey tidak dimulai sampai survei primer (ABCDEs) selesai, upaya
resusitasi yang dilakukan, dan normalisasi fungsi vital telah didemonstrasikan. Ketika
tambahan personil ada, bagian dari survei sekunder dapat dilakukan sementara personil lainnya
mengurus primary survey. Dalam kondisi ini secondary survey tidak boleh mengganggu
primary survey, yang merupakan prioritas pertama.
Secondary survey adalah evaluasi head-to-toe pada pasien trauma, yaitu anamnesis yang
lengkap dan pemeriksaan fisik, termasuk penilaian ulang dari semua tanda-tanda vital. Setiap
daerah tubuh harus benar-benar diperiksa. Kita bisa lalai dalam menilai cedera atau gagal
23

melihat pentingnya cedera yang besar, terutama pada pasien yang tidak responsif atau tidak
stabil.
Selama secondary survey, pemeriksaan neurologis lengkap dilakukan, termasuk penentuan
berulang skor GCS. X-Ray juga dilakukan, sesuai dengan yang ditunjukkan pada pemeriksaan
fisik. Pemeriksaan tersebut dapat diselingi ke dalam secondary survey pada waktu yang tepat.
Prosedur khusus, seperti evaluasi radiografi spesifik dan studi laboratorium, juga dilakukan
pada saat ini. Evaluasi pasien yang lengkap membutuhkan pemeriksaan fisik berulang kali.

A. Anamnesis
Setiap penilaian medis lengkap termasuk riwayat mekanisme cedera. Seringkali,
anamnesis tersebut tidak dapat diperoleh dari pasien yang telah menderita trauma; Oleh karena
itu, personil pra-rumah sakit dan keluarga harus berkonsultasi untuk mendapatkan informasi
yang dapat meningkatkan pemahaman tentang keadaan fisiologis pasien. Riwayat AMPLE
adalah mnemonik yang berfungsi untuk tujuan tersebut:
Allergies
Medication currently used
Past illness/Pregnancy
Last meal
Event/Environtment related to the injury
Kondisi pasien sangat dipengaruhi oleh mekanisme cedera, dan beberapa luka dapat
diprediksi berdasarkan arah dan jumlah energi di balik mekanisme cedera. Cedera biasanya
diklasifikasikan ke dalam dua kategori besar: trauma tumpul dan tembus. Personil pra-rumah
sakit dapat memberikan informasi penting tentang mekanisme tersebut dan harus melaporkan
data yang bersangkutan ke dokter yang memeriksa. Jenis lain dari cedera yang mana informasi
anamnesis adalah penting termasuk cedera termal dan yang disebabkan oleh lingkungan yang
berbahaya.

B. Pemerikasaan Neurologis
Penilain tingkat kesadaran pasien dengan menggunakan Glasgow Coma Scale. Pupil
harus dilakukan pemerikasaan untuk menilai responn terhadap cahaya dan kesimetrisannya,
perhatikan apakah reaki yang terlalu cepat, lambat ataupun tidak ada reaksi. Adanya perbedaan
lebih dari 1mm menandakan adanya ke abnormalan.

C. Kepala
24

Inspeksi kepala dan perhatikan apakah terdapat perdarahan ataupun laserasi. Apabila
dijumpai adanya perdarahan maka memberikan tekanan langsung ataupun dengan bandaging,
apabila dengan metode ini tidak menghentikan perdarahan maka pertimbangkan penutupan
luka. Lakukan pemeriksaan pada telinga untuk menilai apakah terdapat perdarahan ataupun
adanya kebocoran serebrospinal fluid. Perhatikan hidung, apakah terdapat deformitas,
perdarahan, hematom ataupun kebocoran CSF. Untuk menilai adanya kebocoran CSF dapat
menggunakan metode yaitu cairan diata kertas, apabila terdapat tanda two rings (Halo sign)
hal ini menandakan adanya CSF.

D. Leher
Inspeksi leher, pastikan posisi leher in line stabilisation ketika hard colar dilepas.
Adanya fraktur servikal dapat meningkatkan resiko pasien dengan trauma kepala.

E. Dada
Perhatikan dada pasien, amati pergerakan dada. Perhatikan apakah terdapat memar,
laserasi, luka penetrasi. Palpasi klavikula ataupun kelembutan tulang. Auskultasi paru, apakah
terdapat suara tambahan lainnya.
F. Abdomen
Inspeksi abdomen, palpasi area perut, khususnya pada bagian hati, limpa, ginjal dan
kandung kemih. Perhatikan apakah terdapat memar ataupun laserasi, auskultasi suara perut
pasien.

G. Ekstremitas
Inspeksi seluruh ekstremitas serta sendi, palpasi tulang serta konsistensi jaringan lunak,
perhatikan pergerakan sendi, stabilitas dan kekuatan otot. Perhatikan apakah terdapat memar,
laserasi, kerusakan otot maupun tendon. Perhatikan apakah terdapat deformitas, luka tembus
ataupun fraktur terbuka. Periksa fungsi sensorik maupun fungsi motorik dari tiap saraf peripher
yang mungkin terluka.

H. Punggung
Pasien di-log roll mempertahankan in-line stabilisation . Inspeksi seluruh bagian
punggung dan pantat, identifikasi apakah terdapat memar ataupun laserasi. Palpasi bagian
spinal untuk menilai kelembutan ataupun space antara vertebra.
25

ATLS kemudian membagi penatalaksanaan trauma kepala sesuai derajatnya,


yaitu:1,2,3,4,5
1.1 Trauma Kepala Ringan
Kira-kira 80% penderita yang dibawa ke UGD dengan kategori trauma kepala
ringan.Penderita-penderita tersebut sadar namun dapat mengalami amnesia berkaitan dengan
cedera yang dialaminya. Dapat disertai riwayat hilangnya kesadaran yang singkat namun sulitt
untuk dibuktikan terutama bila dibawah pengaruh alkohol atau obat-obatan.
Sebagian besar penderita trauma kepala ringan pulih sempurna, walaupun mungkin ada
gejala sisa yang sangat ringan. Bagaimanapun, lebih kurang 3% mengalami perburukan yang
tidak terduga, mengakibatkan disfungsi neurologis yang berat kecuali bila perubahan
kesadaran dapat dideteksi lebih awal.
Pemeriksaan CT scan idealnya harus dilakukan pada semua trauma kepala disertai
hilangnya kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit kepala hebat, GCS <15, atau adanya
deficit neurologis fokal. Foto servikal dilakukan bila terdapat nyeri pada palpasi leher.
CT scan merupakan pilihan utama untuk pemeriksaan penunjang.Bila tidak
memungkinkan, pemeriksaan foto polos/rontgen kepala dapat digunakan untuk membedakan
trauma tumpul ataupun tembus. Pada foto polos kepala harus dicari fraktur linear atau depresi,
posisi glandula pineal pada garis tengah, batas air udara pada daerah sinus, pneumosefal,
fraktur tulang wajah, dan benda asing.
Bila terdapat abnormalitas pada gambaran CT scan, atau terdapat gejala neurologis
yang abnormal, penderita harus dibawa ke rumah sakit dan konsulkan ke ahli bedah saraf.
Bila penderitanya asimtomatis, sadar, neurologis normal, observasi diteruskan selama
beberapa jam dan diperiksa ulang. Bila kondisi tetap normal, dikatakan penderita aman.
Idealnya, keluarga diberi lembar observasi, penderita didampingi dan diobservasi selama 24
jam berikutnya. Bila dalam perjalanannya dijumpai nyeri kepala, penurunan kesadaran, atau
terdapat defisit neurologis fokal, maka penderita dikembalikan ke UGD.Pada semua kasus
yang dirawat diluar rumah sakit, instruksi harus jelas dan dilakukan berulang oleh pendamping
penderita. Bila penderita tidak sadar penuh atau berorientasi kurang terhadap rangsangan
verbal maupun tulisan, keputusan untuk memulangkan penderita harus ditinjau ulang.
26

Definsi: pasien sadar dan berorientasi (GCS 14-15)


Riwayat :
Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan Tingkat kewaspadaan
Mekanisme cedera Amnesia: retrograde/antegrade
Waktu cedera Nyeri kepala: ringan, sedang, berat
Tidak sadar segera setelah cedera

Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik

Pemeriksaan neurologis terbatas

Pemeriksaan rontgen vertebra servikalis dan lainnya sesuai indikasi

Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urin

CT scan kepala diindikasikan


jika memenuhi kriteria risiko tinggi atau sedang untuk intervensi bedah saraf

Observasi atau dirawat di RS Dipulangkan dari RS


- CT scan tidak ada - Tidak memenuhi kriteria
- CT scan abnormal rawatan
- Semua cedera tembus - Diskusikan kemungkingan
- Riwayat hilang kesadaran kembali ke RS bila memburuk
- Kesadaran menurun dan berikan lembar observasi
- Sakit kepala sedang-berat - jadwalkan untuk kontrol
- fraktur tengkorak ulang
- intoksikasi alkohol/obat
- rhinorea/otorea
- Tak ada keluarga dirumah
- GCS <15
- Defisit neurologis fokal

Gambar 2.8. Penatalaksanaan trauma kepala ringan1

1.2 Trauma Kepala Sedang

Penderita trauma kepala sedang sebanyak 10% didapati di UGD.Mereka umumnya


masih mampu menuruti perintah sederhana, namun biasanya tampak bingung atau mengantuk
dan dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Sebanyak 10-20% dari penderita
trauma kepala sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam koma.
Saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan segera dilakukan stabilisasi
kardiopulmoner sebelum pemeriksaan neurologis dilaksanakan.CT scan kepala harus
27

dilakukan dan segera menghubungi ahli bedah saraf. Penderita harus dirawat diruang
perawatan intensif atau yang setara, dimana observasi ketat dan pemeriksaan neurologis serial
dilakukan selama 12-24 jam pertama. Pemeriksaan CT scan lanjutan dalam 12-24 jam
direkomendasikan bila hasilnya abnormal atau terdapat penurunan status neurologis penderita.

Definisi: penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun masih


mampu menuruti perintah (GCS 9-12)
Pemeriksaan awal:
Sama dengan untuk cedera kepala ringan, ditambah pemeriksaan darah sederhana
Pemeriksaan CT scan kepala pada semua kasus
Dirawat untuk observasi

Setelah dirawat:
Pemeriksaan neurologis periodik
Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila penderita
akan dipulangkan

Bila kondisi membaik (90%) Bila kondisi memburuk (10%)


- Pulangkan bila - Bila pasien tidak mampu
memungkinkan melakukan perintah lagi,
- Kontrol di poliklinik segera lakukan CT scan ulang
dan penatalaksanaan sesuai
protokol cedera kepala berat

Gambar 2.9. Penatalaksanaan trauma kepala sedang1

1.3 Trauma Kepala Berat


Cedera otak sering diperburuk oleh suatu cedera sekunder.Penderita cedera otak
sekunder dengan hipotensi mempunyai mortalitas 2 kali lebih banyak daripada penderita tanpa
hipotensi. Adanya hipoksia pada penderita dengan hipotensi akan menambah mortalitas sampai
75%. Oleh karena itu, tindakan stabilisasi kardiopulmonal harus dilakukan sesegera mungkin.
Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multipel.Oleh karena itu, disamping
kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik.
1. Airway dan breathing
Terhentinya pernafasan sementara sering terjadi pada penderita cedera otak, sehingga
dapat mengakibatkan kerusakan sekunder.Intubasi endotrakeal dini harus dilakukan pada
penderita koma.Penderita dilakukan ventilasi dengan oksigen 100% sampai hasil
pemeriksaan AGDA keluar dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan FiO2. Pemakaian
pulse oksimeter sangat bermanfaat dalam memantau saturasi oksigen dengan target > 98%.
28

Tindakan hiperventilasi harus dilakukan dengan hati-hati pada pasien dengan perburukan
neurologis akut.
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala
ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa
muntahan, darah, lendir, atau gigi palsu.Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik
untuk menghindarkan aspirasi muntahan.
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan
sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medulla oblongata, pernafasan cheyne stokes,
ataksik, dan central neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma
dada, edema paru, DIC, emboli paru, dan infeksi.Akibat dari gangguan pernafasan dapat
terjadi hipoksia dan hiperkapnia.Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari
danatasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai ventilator.
29

Gambar 2.10. Algoritma penanganan trauma kepala berat di rumah sakit 4

Secara umum, proses cedera otak dibagi menjadi dua periode diskrit:primer dan
sekunder cedera otak. Cedera primer adalah kerusakan fisik pada parenkim (jaringan,
pembuluh)yang terjadi selama peristiwa traumatik, sehingga terjadi pergeseran dan
kompresi jaringan otak sekitarnya.Cedera otak sekunder merupakan hasil dari sebuah
proses yang kompleks, mengikuti cedera otak utama pada jam-jam dan hari berikutnya.
Cedera otak sekunder meliputi edema serebral, hematoma,hidrosefalushipertensi,
30

intrakranial, vasospasme,kekacauan metabolik, excitotoxicity, toksisitas ion kalsium,


infeksi, dan kejang.
Pengelolaan intensif perawatan pasien adalah proses dinamis, dimulai pada pra-rumah
sakit, di lokasi kecelakaan. Selama awaltahap perawatan di rumah sakit, pasien dapat
dikelola oleh berbagai bagian meliputi unit gawat darurat,departemen radiologi, dan ruang
operasisebelum mereka dirawat di Unit Perawatan Intensif(ICU) .
2. Sirkulasi
Hipotensi tidak disebabkan oleh cedera otak itu sendiri, kecuali medulla oblongata
sudah mengalami kerusakan.Perdarahan intrakranial tidak dapat menyebabkan syok
hemoragik.Penderita dengan hipotensi harus segera distabilisasi untuk mendapatkan
euvolemia.Hipotensi dapat diakibatkan oleh perdarahan, trauma medulla spinalis, kontusio
jantung, tamponade jantung, dan tension pneumothorax.Selama penyebab dari hipotensi
dicari dilakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang.
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan
sekunder.Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor
ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam,
trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik.Tindakannya
adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah
yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah.
31

Gambar 2.11.Algoritme trauma kepala berat 5

Terdapat 5 prioritas utama dalam evaluasi awal dan triase pasien dengan trauma kepala berat:
1. Semua pasien koma dengan trauma kepala harus mendapatkan resusitasi (ABCDE) di IGD.
2. Segera setelah tekanan darah dalam kisaran normal, maka pemeriksaan neurologis harus
segera dilakukan (nilai GCS dan reaksi pupil), namun apabila tekanan darah tidak dapat
dinormalkan, maka pemeriksaan GCS tetap dilakukan dengan hiptensi dituliskan di rekam
medis.
3. Jika tekan sistolik pasien tidak dapat mencapai 100mmHg, maka yang menjadi fokus utama
adalah untuk mencari penyebab hipotensi dengan evaluasi neurologis merupakan pilihan ke
dua. Pada kondisi khusus dimana pasie menjalani peritonela lavage ataupun USG dan segera
ke kamar operasi untuk menjalani laparatomy. CT-Scan kepala dapat dilakukan setelah
32

laparatomy. Apabila terdapat bukti klinis adanya massa intrakranial, buurhole diagnostik
craniotomy dapat dilakukan bersamaan dengan celiotomy.
4. Apabila tekanan darah sistolik >100mmHg setelah resuisitasi dan pasien memiliki bukti
klinis adanya massa intrakranial (pupil unequal, asimetris fungsi motorik), prioritas utama
adalah CT-Scan
5. Pada kasus tertentu; ketika tekanan darah sistolik tidak dapat diperbaiki tetapi cenderung
menurun; Pasien harus dapat menjalani pemeriksaan CT-Scan daripada menjalani laparatomi
ataupun thoracotomi.

2.2.6. Komplikasi
Beberapa komplikasi dapat terjadi segera setelah terjadi trauma kepala. Cedera yang
makin parah akan meningkatkan jumlah komplikasi yang timbul dan lebih parah. Komplikasi-
komplikasi pada trauma kepala berupa: 2 , 16 , 30

1. Perubahan tingkat kesadaran


Pada trauma kepala yang sedang dan berat dapat menimbulkan perubahan yang lama atau
permanen terhadap tingkat kesadaran pasien, yaitu: koma, vegetative state, conscious state
yang minimal, dan locked-in syndrome. Pada keadaan koma, pasien tidak sadar dan tidak
respon terhadap rangsangan. Ini terjadi karena kerusakan yang menyebar pada seluruh bagian
otak. Setelah beberapa hari atau minggu, pasien dapat berubah dari koma menjadi vegetative
state. Pada vegetative state, yang terjadi adalah pasien tidak sadar dan tidak waspada dengan
lingkungannya, tetapi dia dapat mengerang atau membuka mata. Jadi pasien tetap memiliki
siklus tidur-bangun. Keadaan vegetative state ini mungkin dapat menjadi permanen tetapi
kadang-kadang keadaan pasien dapat berubah menjadi concious rate yang minimal. Ini
merupakan perubahan kesadaran yang sangat parah tetapi terdapat self-awareness atau
kesadaran terhadap lingkungan. Kadang-kadang terdapat keadaan transisional dari keadaan
koma atau vegetatif menjadi mengalami perbaikan.
Locked-in syndrome adalah keadaan dimana pasien sadar terhadap lingkungan dan terjaga/
bangun tetapi dia tidak dapat bergerak atau berbicara. Pasien dapat berkomunikasi dengan cara
menggerakkan mata atau mengedipkan mata. Ini terjadi karena kerusakan yang terbatas pada
otak bagian bawah dan batang otak.
2. Kejang
Beberapa orang dengan trauma kepala dapat mengalami kejang dalam minggu pertama.
Kerusakan yang lebih serius adalah terjadinya kejang yang berulang, disebut dengan post-
traumatic epilepsy.
33

3. Infeksi
Fraktur tulang kepala atau luka penetrasi dapat merobek selaput otak yang melapisi otak
sehingga memungkinkan untuk bakteri masuk ke dalam otak. Infeksi pada meningen
(meningitis) sangat berbahaya karena mempunyai potensial untuk menyebar ke sistem saraf
lainnya.
4. Kerusakan saraf
Cedera pada basis kranium dapat merusak nervus kranialis sehingga dapat menyebabkan
paralisis dari otot wajah, kerusakan pada nervus yang berfungsi untuk mengatur pergerakan
mata (double vision), kerusakan pada nervus yang berperan dalam proses penciuman, buta,
kehilangan sensasi pada wajah.
5. Gangguan kognitif
Kebanyakan orang yang mengalami trauma kepala mengalami perubahan dalam
keterampilan kognitif seperti gangguan dalam hal mengingat, belajar, memecahkan masalah,
konsentrasi, dan lain-lain.
6. Gangguan komunikasi
Gangguan komunikasi yang dapat timbul berupa: kesulitan untuk berbicara, memahami
signal non verbal, menyusun ide, mengekspresikan emosi, ketidakmampuan untuk
menggunakan otot yang digunakan untuk menyusun kata (disatria), dan lain-lain.
7. Gangguan motorik, seperti: kelemakan ekstremitas, koordinasi dan keseimbangan yang
tergganggu.
8. Gangguan emosi, seperti: depresi, cemas, moody, sensitif, dan lain-lain.
9. Gangguan sensorik, seperti: bunyi menetap di telinga, gangguan mengenali benda, double
vision, gangguan pada keseimbangan.
10. Penyakit degeneratif otak
Trauma kepala dapat meningkatkan resiko terjadinya degenerasi dari sel otak dan hilangnya
fungsi otak sehingga dapat timbul penyakit Alzheimer (kehilangan ingatan yang progresif dan
dementia) dan Parkinson (kehilangan kemampuan motorik).
Trauma kepala dapat menyebabkan beberapa penyulit atau komplikasi berupa gangguan
fungsi paru, fungsi hati, fungsi ginjal, fungsi kelenjar hipofise, dan fungsi sistem
kardiovaskuler. Pada gangguan fungsi paru dapat terjadi pneumonia aspirasi, yaitu suatu
infeksi paru karena isi saluran makanan atau sekret trakea masuk ke dalam paru-paru
disebabkan gangguan kesadaran pada trauma kepala sehingga pasien tidak dapat menelan atau
mengeluarkan sisa makanan dan dahak. Gangguan fungsi hati dapat mengakibatkan gagal
34

hepar (hepar failure). Gangguan fungsi ginjal mengakibatkan gagal ginjal (renal failure) dan
gangguan fungsi kelenjar hipofise mengakibatkan terjadinya diabetes insipidus. 9

2.2.7 Prognosis
Sembuh tidaknya trauma kepala tergantung pada jumlah kerusakan yang terjadi pada
otak. Otak tidak dapat sembuh dari kerusakan yang sangat parah. Oleh karena itu, goal dari
penatalaksanaan cedera otak sendiri adalah untuk mengembalikan fungsi semaksimal mungkin.
12

Parameter untuk prognosa yang paling sering digunakan adalah Glasgow Outcome
Scale (GOS). Parameter ini sudah diterima secara menyeluruh sebagai suatu standar untuk
menjelaskan prognosa pada trauma kepala. GOS adalah suatu usaha yang lebih akurat dalam
menentukan kecacatan (disability) karena banyak kelainan neuropsikologik dan gangguan
kognitif yang diamati para peneliti trauma kepala bukanlah bukti dari suatu standar
pemeriksaan fisik dan neurologik. Biasanya GOS di nilai setelah 3, 6, dan 12 bulan setelah
cedera, dimana penilaian setelah 6 bulan adalah patokan yang sering diambil.20

Tabel 2.4. Glasgow Outcome Scale 20


Outcome Definition
Dead ------------------
Persistent vegetative state Wakefulness without awareness
Severe disability Conscious but dependent
Moderate disability Independent but disabled
Good recovery Reintegrated (may have non disabling
sequelae)

Walaupun begitu GOS banyak dikritik karena menampilkan terlalu sedikit kategori-
kategori prognosa yang dapat dipakai untuk menilai (tracking) jalannya penyembuhan selama
pengamatan penderita. Pada saat ini Glasgow Outcome Scale sudah digantikan oleh Disability
Rating Scale (DRS). DRS mencerminkan: kerusakan (impairment), ketidakmampuan
(disability) dan kecacatan (handicap). DRS memberikan ramalan prognosa yang jauh lebih baik
daripada SKG dan GOS. Akan tetapi DRS kurang populer, kebanyakan dipakai untuk penelitian
jangka panjang. 20

Anda mungkin juga menyukai