BELL’S PALSY
Oleh:
Devi Agustini Rahayu 04011181320013
Vita Arya Utami 04011181320014
Pembimbing:
dr. Haidar Nasution
HALAMAN PENGESAHAN
BELL’S PALSY
Oleh:
Devi Agustini Rahayu, S.Ked 04011181320013
Vita Arya Utami, S.Ked 04011181320014
telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikutiKepaniteraan Klinik di
Bagian/ Departemen Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya/ RSUP
Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 6 Maret s.d. 22 Maret 2017.
KATA PENGANTAR
Segala puji penyusun haturkan kepada Tuhan YME yang selalu memberikan rahmat
kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan kasus berjudul “Bell’s Palsy”
ini tepat sesuai dengan jadwal yang telah diberikan.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam
penulisan referat ini, terutama kepada dr. Haidar Nasution sebagai pembimbing penulisan
laporan kasus ini.
Dengan penulisan laporan kasus ini, penulis berharap semua pihak yang membaca dapat
lebih memahami paralisis nervus fascialis sehingga dapat bermanfaat bagi calon dokter
umum khususnya serta bagi kesehatan masyarakat secara umum.
Penulis
4
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTIFIKASI
a. Nama : Ny. T
b. Umur : 55 tahun
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Pekerjaan : PNS
e. Alamat : Sekip Ujung, Palembang
f. Agama : Islam
g. Kunjungan : 10 Maret 2017
h. No. MedRec : 987724
II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Mulut mencong ke kanan
e. Riwayat Pekerjaan
Sudah bekerja sebagai PNS selama 20 tahun.
Tanda vital
Tekanan Darah : 130/80 mm/Hg
Nadi : 78x/menit, isi cukup irama teratur
Pernafasan : 18x/menit
Suhu : 36,3oC
Kulit : normal
Status Psikis
Sikap : kooperatif Orientasi : normal
Ekspresi wajah : datar Perhatian : normal
b. Saraf-saraf Otak
Nervus Kanan Kiri
I. N. Olfaktorius Normal Normal
II. N. Opticus Normal Normal
III. N. Occulomotorius Normal Normal
IV. N. Trochlearis Normal Normal
V. N. Trigeminus Normal Normal
VI. N. Abducens Normal Normal
VII. N. Fasialis Normal Parese perifer
VIII. N. Vestibulocochlearis Normal Normal
IX. N. Glossopharyngeus Normal Normal
X. N. Vagus Normal Normal
XI. N. Accesorius Normal Normal
XII. N. Hypoglossus Normal Normal
c. Kepala
Bentuk : normal
Ukuran : normo cephali
Posisi
- Mata : sulit mengedipkan mata/ mata selalu terbuka
- Hidung : normal, simetris
- Telinga : normal, simetris
- Mulut : asimetris (deviasi)
- Wajah : Asimetris gerakan abnormal : tidak ada
9
d. Leher
Inspeksi : statis, simetris
Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar
Luas Gerak Sendi
Ante /retrofleksi (n 65/50) : 65/50
Laterofleksi (D/S) (n 40/40) : 40/40
Rotasi (D/S) (n 45/45) : 45/45
Tes Provokasi
Lhermitte test/ Spurling : tidak dilakukan Test Valsava : tidak dilakukan
Distraksi test : tidak dilakukan Test Nafziger: tidak dilakukan
e. Thorax
Bentuk : simetris
Pemeriksaan Ekspansi Thoraks : Eks. maksimum cm Ins. Maksimum cm
Paru-paru
- Inspeksi : dalam batas normal
- Palpasi : dalam batas normal
- Perkusi : dalam batas normal
- Auskultasi : dalam batas normal
Jantung
- Inspeksi : dalam batas normal
- Palpasi : dalam batas normal
- Perkusi : dalam batas normal
- Auskultasi : dalam batas normal
f. Abdomen
- Inspeksi : dalam batas normal
- Palpasi : dalam batas normal
- Perkusi : dalam batas normal
- Auskultasi : dalam batas normal
g. Trunkus
Inspeksi
- Simetris : simetris
- Deformitas : tidak ada
- Lordosis : tidak ada
- Scoliosis : tidak ada
10
Neurologi
Motorik Dextra Sinistra
Gerakan Luas Terbatas
Kekuatan
Abduksi lengan 5 5
Fleksi siku 5 5
Ekstensi siku 5 5
11
Ekstensi wrist 5 5
Fleksi jari-jari tangan 5 5
Abduksi jari tangan 5 5
Tonus Eutoni Eutoni
Tropi Eutropi Eutropi
Refleks Fisiologis
Refleks tendon biseps Normal Normal
Refleks tendon triseps Normal Normal
Refleks Patologis
Hoffman Tidak ada Tidak ada
Tromner Tidak ada Tidak ada
Sensorik
Protopatik Normal
Proprioseptik Normal
Vegetatif Tidak ada kelainan
Neurologi
Motorik kanan kiri
Gerakan Luas Luas
Kekuatan
Fleksi paha 5 5
Ekstensi paha 5 5
Ekstensi lutut 5 5
Fleksi lutut 5 5
Dorsofleksi pergelangan kaki 5 5
Dorsofleksi ibu jari kaki 5 5
Plantar fleksi pergelangan kaki 5 5
Tonus Eutoni Eutoni
Tropi Eutropi Eutropi
Refleks Fisiologis
Refleks tendo patella Normal Normal
Refleks tendo Achilles Normal Normal
Refleks Patologis
Babinsky Tidak ada Tidak ada
Chaddock Tidak ada Tidak ada
Sensorik
Protopatik Normal
Proprioseptik Normal
Vegetatif Tidak ada Kelainan
V. Pemeriksaan Penunjang
A. Radiologis : tidak dilakukan
B. Laboratorium : tidak dilakukan
C. Lain-lain CT-Scan/ MRI : tidak dilakukan
15
VI. EVALUASI
No Level ICF Kondisi saat ini Sasaran
1 Struktur dan Mulut mencong ke kanan, Mengembalikan fungsi
fungsi tubuh mata kiri jarang berkedip, pipi fisiologis nervus fascialis
kiri terasa kendor, dahi kiri
tidak bisa mengerut, sensasi
rasa pada lidah menurun.
Okupasi Terapi
ROM Exercise : Tidak ada
ADL Exercise :
a. Latihan penguat otot wajah dengan memberikan latihan menutup mata,
mengerutkan dahi, meniup lilin, tersenyum, meringis
b. latihan meningkatkan aktivitas kerja sehari-hari dengan berkumur, latihan
makan dengan mengunyah di sisi kiri, minum dengan sedotan.
Ortotik Prostetik
Ortotic : Menggunakan “Y” plester selama parese, diganti
setiap 8 jam.
Prostetik : Tidak ada
Alat bantu ambulansi : Tidak ada
Terapi Wicara
Afasia : Tidak Dilakukan
Disartria : Tidak Dilakukan
Disfagia : Tidak Dilakukan
X. PROGNOSA
- Medik : Bonam
- Fungsional : Bonam
17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.2 Definisi
Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang
disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat, tanpa adanya
penyakit neurologik lainnya. BP adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena
gangguan nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang tidak
teridentifikasi, seperti proses non-supuratif, non neo-plasmatik, non-degeneratif primer
namun sangatmungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis diforamen
stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut yang mulainya akut dan
dapat sembuh sendiri tanpapengobatan.
Manifestasi klinisnya terkadang dianggap sebagai suatu serangan stroke atau gambaran
tumor yang menyebabkan separuh tubuh lumpuh atau tampilan distorsi wajah yang akan
bersifat permanen. Oleh karena itu, perlu diketahui mengenai Bell’s palsy oleh dokter
pelayanan primer agar tata laksana yang tepat dapat diberikan tanpa melupakan diagnosis
banding yang mungkin didapatkan.
3.3 Epidemiologi
BP menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial akut. Di dunia,
insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di
Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden BP setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000
orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden BP rata-rata 15-30 kasus per 100.000
populasi. Sedangkan di Indonesia, insiden BP secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsi sebesar
19,55% dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21-30 tahun. BP mengenai laki-
laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur
10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit
ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada
kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya BP
lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat. Tidak didapati
juga perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita
didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan.
21
3.4 Etiologi
Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell’s palsy, yaitu
iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori virus lebih banyak dibahas
sebagai etiologi penyakit ini. Burgess et al mengidentifikasi genom virus herpes simpleks
(HSV) di ganglion genikulatum seorang pria usia lanjut yang meninggal enam minggu
setelah mengalami Bell’s palsy. Murakami et al. menggunakan teknik reaksi rantai
polimerase untuk mengamplifikasi sekuens genom virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di
dalam cairan endoneural sekeliling saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bell’s palsy
yang dilakukan dekompresi pembedahan pada kasus yang berat. Murakami et al
menginokulasi HSV dalam telingadan lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada wajah
tikustersebut. Antigen virus tersebut kemudian ditemukan padasaraf fasialis dan ganglion
genikulatum. Dengan adanya temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes simpleks
atauherpetika dapat diadopsi.
Bell’s palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada ganglion
genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi. Ganglion ini terletak
didalam kanalis fasialis pada persambungan labirin dan segmen timpani, dimana lengkungan
saraf secara tajam memasuki foramen stylomastoideus. Secara klinis, Bell’s palsy telah
didefinisikan idiopatik, dan penyebab proses inflamasi masih tidak jelas. Beberapa teori telah
diduga sebagai penyebab dari Bell’s palsy, antara lain iskemik vaskular, imunologi, infeksi
dan herediter telah diduga menjadi penyebab.
Beberapa mekanisme termasuk iskemia primer atau inflamasi saraf fasialis,
menyebabkan edema dan penjepitan saraf fasialis selama perjalanannya didalam kanal tulang
temporal dan menghasilkan kompresidan kerusakan langsung atau iskemia sekunder terhadap
saraf. Teori inimerupakan latar belakang untuk dekompresi bedah pada pengobatan Bell’s
palsy.
Suatu hipotesa imunologis telah diperkenalkan oleh Mc. Govern dkk, berdasarkan
penelitian eksperimental pada hewan. Begitu juga Hughes dkk, menemukan transformasi
limfositpada pasien Bell’s palsy dan menduga bahwa beberapa penyebab Bell’s palsy
merupakan hasil dari cell mediated immunity melawan antigen sarafperifer. Hasil ini
mendukung penelitian selanjutnya dengan steroid dan imunoterapi lainnya.
Mekanisme lainnya adalah infeksi virus, yang secara langsungmerusak fungsi saraf
melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinanterjadi pada seluruh perjalanan saraf dan
bukan oleh kompresi pada kanaltulang. Suatu penelitian systematic review berdasarkan
Cochrane database, yang dilakukan terhadap beberapa penelitian randomized yang
22
berkualitas tinggi telah menyimpulkan bahwa antivirus tidak lebih efektif daripada plasebo
dalam menghasilkan penyembuhan lengkap pada pasien Bell’s palsy. Karena tidak efektifnya
antivirus dalammengobati pasien Bell’s palsy sehingga perlu dipertimbangkan adanya
penyebab Bell’s palsy yang lain.
Adanya peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab Bell’s palsy,
terutama kasus Bell’s palsy yang rekuren ipsilateral ataukontralateral. Kebanyakan kasus
yang dijumpai adalah autosomal dominant inheritance. Sejumlah penelitian telah berusaha
rnemberikan temuan objektif tentang dasar genetik dari BeII’s palsy, dan kebanyakan
terpusat pada sistem Human leucocyte antigen (HLA), yang memiliki hubungan objektif
yang kuat dengan berbagaipenyakit autoimun.
3.6 Patofisiologi
Saraf fasialis membawa sekitar 10.000 serabut saraf, dan 7.000 serabut tersebut
merupakan akson motorik yang bermielin yang mencapai otot-otot wajah. Masing-masing
dari serabut saraf tersebut dapat dikenaisecara terpisah terhadap derajat trauma yang
berbeda.Sunderland telah mendeskripsikan lima derajat trauma yang dapat mengenai satu
serabut saraf perifer. Klasifikasi ini menggambarkan kejadian patofisiologi yang
dihubungkan dengan setiap jenis gangguanyang mengenai saraf fasialis secara lebih mudah.
Tiga derajat pertama dapat terjadi pada Bell’s palsy dan herpes zoster cephalicus. Derajat
keempat dan kelima dari trauma tersebut dapat terjadi bila terdapat gangguan dari saraf,
seperti pada transeksi saraf yang mungkin terjadiselama operasi, sebagai hasil dari fraktur
tulang temporal yang berat ataudari suatu pertumbuhan tumor jinak atau ganas yang tumbuh
dengan cepat. Pada Bell’s palsy, herpes zoster cephalicus, otitis media dan trauma, kompresi
dapat terjadi tiba- tiba atau lambat progresif dalam 5-10 hari. Pada otitis media dan trauma,
proses yang terjadi lebih kepada tekanan yang mendesak saraf daripada gangguan intraneural,
namun hasil kompresi saraf tetap sama seperti pada Bell’s palsy dan herpes zoster cephalicus.
Diawali dengan penggembungan aksoplasma, kompresi pada aliran vena dan selanjutnya
terjadi kompresi saraf dankehilangan akson- akson, dan dengan cepat terjadi kehilangan
endoneural tube yang kemudian menyebabkan derajat ketiga dari trauma.
23
Pada derajat empat dan lima, karena kebanyakan atau semua endoneural tube telah
dirusak, sama seperti perineurium pada derajat keempat trauma, dan prineurium dan
epineurium pada pada trauma derajat kelima, penyembuhan tidak akan pernah sebaik pada
derajat pertama. Selama proses regenerasi saraf fasialis, terjadi tiga perubahan mayor pada
akson, yaitu: (1) perubahan pada jarak antara nodus renvier; (2) akson-akson yang baru
terbentuk dilapisi oleh myelin yang lebih tipis daripada akson normal; (3) terdapat
pemecahan dan penyilangan dariakson-akson yang menginervasi kembali kelompok-
kelompok otot yangdenervasi tanpa perlu menyesuaikan dengan susunan badan sel-
motorunit yang dijumpai sebelum terjadi degenerasi. Akibat dari faktor- faktor ini, dapat
terjadi suatu tic atau kedutan involunter. Selain itu, terdapat juga gerakan yang tidak wajar,
seperti gerakan mulut dengan berkedip, atau menutup mata dengan tersenyum. Penyebab lain
dari gerakan abnormal selama regenerasi mungkin karena terjadi perubahan pada myoneural
junction. Selain faktor-faktor ini, kemungkinan terjadi perubahan didalam dan disekitar
nukleus saraf fasialis di batang otak, sama seperti perubahan pada hubungan sentral menuju
badan sel. Kombinasi dari faktor- faktor ini, dapat menyebabkan spasme yang terjadi pada
sisi wajah yang paralisis, menyebabkan mata menutup dan sudut mulut menarik. spasme ini
dapat dirasakan cukup nyeri.
3.9 Diagnosis
3.9.1 Anamnesis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis serta beberapa pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan lainnya. Hal-hal yang didapatkan dari anamnesis:
Rasa nyeri
Gangguan atau kehilangan pengecapan.
Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan
terbuka atau di luar ruangan.
Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan,
otitis, herpes, dan lain-lain.
Bila terdapat parese, pasien tidak dapat memejamkan matanya pada sisi yang lumpuh.
Disini dinilai apakah musculus orbicularis okuli dapat berkontraksi dengan baik atau
tidak, simetris atau tidak.
c. Menyeringai (menunjukan gigi geligi)
Minta pasien untuk menyeringai, menunjukkan gigi geligi. Perhatikan apakah hal ini
dapat dilakukan dan apakah simetris, perhatikan sudut mulutnya. Jika pasien tidak
dapat melakukannya maka terdapat gannguan persarafan pada musculus zigomatikus
mayor. Pada penderita yang tidak kooperatif atau yang menurun kesadarannya, dan
tidak dapat disuruh menyeringai, dapat dibuat menyeringai bila diberikan ransangan
nyeri, yaitu dengan menekan pada sudut rahangnya (musculus masseter).
d. Mencucurkan bibir
Minta pasien untuk mencucurkan bibir. Perhatikan apakah dapat dilakukan dan apakah
simetris. Jika pasien tidak dapat melakukan dengan baik dan asimetris maka dicurigai
ada gangguan pada persarafan musculus orbicularis oris.
e. Menggembungkan pipi
Minta pasien untuk menggembungkan pipi. Perhatikan apakah hal ini dapat dilakukan
dan apakah simetris. Apabila pasien tidak dapat melakukan dengan baik maka dapat
dikatakan terjadi gangguan pada persarafan musculus bucinator.
f. Mengembang kempiskan cuping hidung
Minta pasien untuk mengembang kempiskan cuping hidung, nilai apakah simetris atau
tidak. Jika tidak, maka terdapat gangguan persarafan pada musculus nasalis.
Fungsi Pengecapan
Kerusakan N. VII, sebelum percabangan khorda timpani dapat menyebabkan ageusi
(hilangnya pengecapan) pada 2/3 lidah bagian depan. Untuk memeriksanya pasien disuruh
menjulurkan lidah, kemudian kita berikan pada lidahnya bubuk gula, kina, asam sitrat atau
garam (hal ini dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat). Bila bubuk ditaruh, pasien
tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab bila lidah ditarik ke dalam mulut bubuk
akan tersebar melalui ludah ke bagian lainnya, yaitu sisi lidah lainnya atau ke bagian
belakang lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Pasien diminta untuk menyatakan
pengecapan yang dirasakannya degan isyarat, misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa
pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam. Kerusakan pada atau diatas nervus petrosus
mayor dapat menyebabkan kurangnya produksi air mata, dan lesi khorda timpani dapat
menyebabkan kurangnya produksi saliva.
27
3.10 Tatalaksana
Tujuan dari pengobatan pada bells palsy termasuk tata laksana untuk mempercepat
masa penyembuhan dan untuk meminimalisasi komplikasi. Tata laksana untuk mempercepat
masa penyembuhan dilakukan dengan terapi medikamentosa dan rehabilitasi medik.
3.10.1 Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien bells palsy yaitu pemberian obat
cortikosteroid dan anti-viral.
a. Kortikosteroid
Dasar untuk pemberian obat kortikosteroid pada bell’s palsy karena inflamasi dan
edema pada nervus fasialis merupakan salah satu penyebab dari Bell’s palsy dan
kortikosteroid berpotensi sebagai anti inflamasi dimana dapat meminimalisasi
kerusakan pada saraf dan sehingga hasil meningkat. Pada percobaan yang dilakukan
secara random ditemukan bahwa terapi bells palsy dengan menggunakan prednisolon
mempercepat proses penyembuhan. Prednisolon dapat digunakan pada semua pasien
28
dengan lumpuh pada otot wajah dengan pemakaian 72 jam dimulai dari onset dimana
tidak dapat kontraindikasi pada terapi steroid. Dosis prednisolon yaitu 60 mg dalam 5
hari,kemudian dikurangi menjadi 10 mg perhari (dari 10 hari total perawatan ) dan 50
mg per hari dalam 10 hari. Terapi dengan prednisolon lebih hemat biaya. Efek toksik
dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2
minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis,
supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.
b. Anti-viral
Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat antivirus
digunakan dalam penanganan Bell’spalsy. Namun, beberapa percobaan kecil
menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif dibandingkan
kortikosteroid. Data-data ini mendukung kombinasi terapi antiviral dan steroid pada 48-
72 jam pertama setelah onset. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan
keuntungan penggunaan terapi kombinasi.Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2
tahun adalah80 mg per kg per hari melalui oral dibagi dalam empat kalipemberian
selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikandengan dosis oral 2 000-4 000 mg
per hari yang dibagi dalamlima kali pemberian selama 7-10 hari.Sedangkan dosis
pemberian valasiklovir (kadar dalamdarah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1
000-3 000mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari.Efek samping jarang
ditemukan pada penggunaan preparatantivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan
berupaadalah mual, diare, dan sakit kepala.
2. Stimulasi listrik
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk mencegah atau
memperlambat terjasi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan memperkuat
otot yang masih lemah. Misalnya, dengan faradisasi yang tujuannya adalah untuk
menstimulasi otot redukasi dari aksi otot, melatih fungsi otot baru, meningkatkan
sirkulasi serta mencegah atau merenggangkan perlengketan. Diberikan 2 minggu
setelah onset.
3. Latihan otot-otot wajah dan massage wajah
Latihan gerak volunter diberikan setelah fase akut, latihan berupa mengangkat
alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata, dan mengangkat sudut
mulut, tersenyum, bersiul atau meniup (dilakukan di depan kaca dengan
konsentrasi penuh).
Massage adalah manipulasi sistemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan
maksud untuk perbaikan atau pemulihan. Pada fase akut bell’s palsy diberi gentle
massage secara perlahan dan berirama. Hal ini memberikan efekmengurangi
edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot. Setelah lewat
fase akut diberi Deep Kneuding Massage sebelum latihan gerakan volunter
wajah. Deep Kneuding Massage memberikan efek mekanik terhadap pembuluh
darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam laktat,
mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan meningkatkan
gerakan intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan. Massage daerah wajah
dibagi 4 daerah yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua gerakan diarahkan
keatas, lamanya 5-10 menit.
b. Program Terapi Okupasi
Pada dasarnya terapi didini memberikan latihan gerakan pada otot wajah. Latihan
diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan. Perlu
diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi penderita. Latihan dapat
berupa latihan berkumur, latihan minum dengan menggunakan sedotan, latihan meniup
lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin.
c. Program Sosial Medik
Penderita bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan sosial.
Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya. Petugas sosial
medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin untuk
sementara waktu bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan umum.
30
Untuk masalah biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja
atau melalui keluarga. selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama penderita
dengan petugas yang merawat sangat penting untuk kesembuhan penderita.
d. Program Psikologi
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa cemas
sering menyertai penderita terutama pada penderita muda wanita atau penderita yang
mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan umum, maka bantuan
seorang psikolog sangat diperlukan.
e. Program Ortotik Prostetik
Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut yang sakit
tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan reaksi
intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan “Y” plester dilakukan juka dalam
waktu 3 bulan belum ada perubahan zigomatikus selama parese dan mencegah
terjadinya kontraktur.
f. Home Program
- Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit.
- Massage wajah yang sakit kearah atas dengan menggunakan tangan dari sisi sehat
- Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit, minum
dengan sedotan, mengunyah permen karet.
- Perawatan mata :
1. Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3 kali sehari.
2. Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari.
3. Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur.
3.11 Prognosis
Sembuh spontan pada 75-90% dalam beberapa minggu atau dalam 1-2 bulan. Kira-kira
10-15% sisanya akan memberikan gambaran kerusakan yang permanen.
31
BAB IV
ANALISIS KASUS
perbaikan atau resolusi defisit neurologis dan mencegah komplikasi atau keterlibatan medulla
spinalis lebih lanjut. Pada pasien meliputi: terapi panas dan terapi latihan. Terapi panas yang
dilakukan adalah SWD Cervical dan terapi modalitas lain menggunakan TENS pada
supraspinatus s/d belikat
Pada pasien ini diberikan motivasi untuk datang terapi secara rutin. Pasien diedukasi
tentang sikap tubuh yang baik dimana tubuh tegak, dada terangkat, bahu santai, dagu masuk,
leher merasa kuat, longgar dan santai. Tidur dengan bantal yang tidak terlalu tinggi.
Memelihara sendi otot yang fleksibel dan kuat dengan latihan yang benar. Pencegahan nyeri
cervical ulangan yaitu dengan memperhatikan posisi saat duduk, mengendarai kendaraan, dan
posisi leher yang berkaitan dengan berbagai pekerjaan atau aktivitas sehari-hari. Menghindari
bekerja dengan kepala terlalu turun atau satu posisi dalam waktu yang lama, pegangan dan
posisi yang sering berulang.
Pasien wanita muda datang dengan keluhan bibir mencong ke sebelah kiri sejak 2 hari
SMRS, tanpa penurunan kesadaran dan dengan gejala yang menetap dapat mengerucutkan ke
beberapa sebab yaitu Bell’s Palsy dan tumor yang menekan ke tulang temporal (Kolesteatom,
dermoid).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan lagophtalmus dan hiperlakrimasi, parese dan
hipestesi wajah bagian kiri memberikan gambaran gangguan pada N.VII perifer. Dengan
demikian diagnosis bisa lebih mengerucut ke arah Bell‘s Palsy.
Diagnosis yang didapatkan adalah :
Diagnosis klinis :Paralisis N.VII perifer dextra.
Diagnosis etiologi :idiopatik
Diagnosis topis : N.VII perifer dibawah foramen stylomastoideus
Diagnosa patologis : proses inflamasi
Dengan dasar penegakan diagnosis sbb :
- Paralisis N.VII perifer
- Hipestesia wajah kiri
- Hiperlakrimasi pada mata kiri
- Tidak ditemukan adanya gangguan mendengar
- Tidak ditemukan adanya kelumpuhan dibagian lain
- Gejala timbul mendadak
33
Gejala – gejala tersebut timbul dikarenakan gangguan pada N.VII yang mempersarafi
wajah untuk fungsi motorik dan sensorik. Gangguannya bersifat unilateral dan ipsilateral
dimana N.VII mempersarafi otot oblikularis okuli, oblikularisorim temporal, servikal, bukal
dan zygomatik yang berfungsi sebagai penggerak wajah. Pada pasien tampak lagophtalmus
dan mulut mencong pada sisi yang terkena. Hipestesia terjadi dikarenakan N.VII dan N.V
mempunyai nucleus somatosensory yang sama namun pada kasus ini rasa baal terjadi karena
gangguan dari motorik sehingga memberikan efek kepada rasa baal. Hiperlakrimasi
dikarenakan N.VII memegang peran otonom pada glandula lakrimalis sehingga apabila
terganggu dapat menyebabkan hal ini terjadi, selain itu pada penderita Bell‘s Palsy terdapat
lagophtamus maka agar tidak terjadi dry eye dikompensasi dengan meningkatnya produksi
air mata.
Bell‘s Palsy sendiri merupakan sebuah kelainan yang digambarkan dengan
kelumpuhan N.VII perifer (unilateral). Sifatnya idiopatik, akut dan tidak disertai gangguan
neurologis lain. Berdasarkan penyebab Bell‘s palsy masih belum diketahui dengan pasti
namun ada beberapa hipotesis yang berkembang seperti infeksi pada Herpes Simpleks Virus
yang menyebabkan inflamasi pada ganglion genikulatum, penyakit autoimun, penyakit
mikrovaskuler dan juga dikaitkan dengan paparan udara dingin.
Pada pasien ini disimpulkan penyebab terjadinya Bell‘s Palsy dikarenakan paparan
udara dingin. Paparan udara dingin menyebabkan Bell‘s Palsy dikarenakan dingin dapat
mengiritasi N.VII,dimana secara anatomis N.VII adalah nervus kranialis yang melewati
kanal-kanal dalam tengkorak, sehingga disaat teriritasi oleh dingin, terjadi oedem dan
akhirnya tertekan oleh kanal-kanal sempit pada tulang tengkorak.
Etiologi dari Bell‘s palsy sampai saat ini masih dalam perdebatan, edema pada N.VII
diyakini mempunyai peran atas terjadinya kelumpuhan pada Bell‘sPalsy. Keterlibatan herpes
zooster atas terjadinya inflamasi sekarang sedang berkembang, keadaan autoimmune juga
dipercaya mempunyai peran dalam beberapa kasus Bell‘s Palsy.
Lesi yang terjadi pada Bell‘s palsy bersifat perifer dikarenakan bentuk anatomi dari
tulang tengkorak yang dilewati N.VII mudah mengganggu terutama apabila terjadi inflamasi
dan menyebabkan edema setempat. 80-90% penderita Bell‘s palsy dapat sembuh dengan
sendirinya tanpa defisit neurologis (Sembuh sempurna). Pemberian kortikosteroid ditemukan
dapat mempercepat penyembuhan, dan perlu tappering off untuk penggunaan steroid. Obat
antiviral dapat diberikan apabila memang ada arah kecurigaan terjadinya infeksi virus,
beberapa studi mengatakan bahwa untuk pasien penderita Bell‘s palsy yang mendapatkan
terapi antivirus disertai dengan steroid pada masa akut (<72 jam onset) memberikan efek
34
yang lebih baik dibandingkan dengan dengan terapi steroid tunggal, namun pada pasien
dengan onset yang sudah lama pemberian antivirus tidak efektif.
Proteksi mata dianjurkan saat pasien mengalami lagophtalmus untuk menghindari
iritasi pada kornea. Pemberian obat tetes mata untuk menjaga kelembaban mata, juga salep
mata saat pasien tidur.
Diagnosis topis ditegakkan dari gambaran klinis dimana pada pasien ini hanya
didapatkan gangguan pada otot ekspresi wajah, namun tidak didapatkan hiperakusis,
gangguan perasa dan gangguan pendengaran. Namun didapatkan hipestesi sehingga topis
pada kasus ini bisa diperkirakan antara ganglion genikulatum dan foramen stylomastoideus.
DAFTAR PUSTAKA