Anda di halaman 1dari 34

Laporan Kasus

BELL’S PALSY

Oleh:
Devi Agustini Rahayu 04011181320013
Vita Arya Utami 04011181320014

Pembimbing:
dr. Haidar Nasution

DEPARTEMEN REHABILITASI MEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2017
2

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus berjudul:

BELL’S PALSY

Oleh:
Devi Agustini Rahayu, S.Ked 04011181320013
Vita Arya Utami, S.Ked 04011181320014

telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikutiKepaniteraan Klinik di
Bagian/ Departemen Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya/ RSUP
Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 6 Maret s.d. 22 Maret 2017.

Palembang, Maret 2017


Pembimbing,

dr. Haidar Nasution


3

KATA PENGANTAR

Segala puji penyusun haturkan kepada Tuhan YME yang selalu memberikan rahmat
kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan kasus berjudul “Bell’s Palsy”
ini tepat sesuai dengan jadwal yang telah diberikan.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam
penulisan referat ini, terutama kepada dr. Haidar Nasution sebagai pembimbing penulisan
laporan kasus ini.
Dengan penulisan laporan kasus ini, penulis berharap semua pihak yang membaca dapat
lebih memahami paralisis nervus fascialis sehingga dapat bermanfaat bagi calon dokter
umum khususnya serta bagi kesehatan masyarakat secara umum.

Palembang, Maret 2017

Penulis
4

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................. 1


HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... 2
KATA PENGANTAR ............................................................................................... 3
DAFTAR ISI ............................................................................................................. 4
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 5
BAB II STATUS PASIEN ........................................................................................ 6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 17
BAB IV ANALISIS MASALAH .............................................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 33
5

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang
disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat, tanpa adanya
penyakit neurologik lainnya. Sindrom ini pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh
seorang anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell.
Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologi, laboratorium, dan patologi anatomi
menunjukan BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor dan
sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa,
jarang pada anak dibawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas
bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin. Diagnosa BP dapat ditegakan
dengan adanya kelumpuhan n.fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan
penyebab lain kelumpuhan n.fasialis perifer.
BP menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial akut. Di dunia,
insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di
Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden BP setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000
orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden BP rata-rata 15-30 kasus per 100.000
populasi. Sedangkan di Indonesia, insiden BP secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsi sebesar
19,55% dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21-30 tahun. BP mengenai laki-
laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur
10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit
ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada
kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya BP
lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat. Tidak didapati
juga perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita
didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan.
6

BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI
a. Nama : Ny. T
b. Umur : 55 tahun
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Pekerjaan : PNS
e. Alamat : Sekip Ujung, Palembang
f. Agama : Islam
g. Kunjungan : 10 Maret 2017
h. No. MedRec : 987724

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Mulut mencong ke kanan

b. Riwayat Penyakit Sekarang


OS mengeluh mulut mencong ke kanan ketika berbicara atau tersenyum sejak tiga
hari yang lalu. Selain dimulut, OS merasa mata kiri jarang berkedip sehingga terasa
perih dan berair. Jika OS mengaca, pipi kiri terasa kendor, dan jika mengerutkan
dahi sisi sebelah kiri terlihat datar. Sensasi rasa pada lidah menurun, bila minum air
sering keluar dari sisi mulut sebelah kiri. Akhir-akhir ini OS mengaku sering tidur
di lantai dan menyalakan kipas angin karena kepanasan. Nyeri tidak ditemukan,
pendengaran normal sebelumnya belum pernah diperiksa ke dokter.

c. Riwayat Penyakit/ Operasi Dahulu


- Riwayat trauma : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat diabetes mellitus : disangkal
- Riwayat penyakit jantung : disangkal
- Riwayat kejang : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
7

d. Riwayat Penyakit pada Keluarga


- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat diabetes mellitus : disangkal
- Riwayat penyakit jantung : disangkal
- Riwayat alergi obat/ makanan : disangkal
- Riwayat asma : disangkal

e. Riwayat Pekerjaan
Sudah bekerja sebagai PNS selama 20 tahun.

f. Riwayat Sosial Ekonomi


Ny. T tinggal bersama suami dan 4 orang anak. Ny. T adalah seorang PNS. Sehari-
hari Ny. T pergi ke kantor yang berjarak 1 km dari rumah, pulang pergi diantar
oleh supirnya. Ny. T berobat dengan fasilitas umum.

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : baik
Kesadaran : GCS 15
Tinggi Badan/ Berat Badan : 160 cm/ 63 kg BMI: 24,61
Cara berjalan/ Gait
- Antalgik gait : tidak ada
- Hemiparese gait : tidak ada
- Steppage gait : tidak ada
- Parkinson gait : tidak ada
- Tredelenburg gait : tidak ada
- Waddle gait : tidak ada
- Lain-lain : tidak ada
Bahasa/ bicara
Komunikasi verbal : normal
Komunikasi non verbal : normal
8

Tanda vital
Tekanan Darah : 130/80 mm/Hg
Nadi : 78x/menit, isi cukup irama teratur
Pernafasan : 18x/menit
Suhu : 36,3oC
Kulit : normal
Status Psikis
Sikap : kooperatif Orientasi : normal
Ekspresi wajah : datar Perhatian : normal

b. Saraf-saraf Otak
Nervus Kanan Kiri
I. N. Olfaktorius Normal Normal
II. N. Opticus Normal Normal
III. N. Occulomotorius Normal Normal
IV. N. Trochlearis Normal Normal
V. N. Trigeminus Normal Normal
VI. N. Abducens Normal Normal
VII. N. Fasialis Normal Parese perifer
VIII. N. Vestibulocochlearis Normal Normal
IX. N. Glossopharyngeus Normal Normal
X. N. Vagus Normal Normal
XI. N. Accesorius Normal Normal
XII. N. Hypoglossus Normal Normal

c. Kepala
Bentuk : normal
Ukuran : normo cephali
Posisi
- Mata : sulit mengedipkan mata/ mata selalu terbuka
- Hidung : normal, simetris
- Telinga : normal, simetris
- Mulut : asimetris (deviasi)
- Wajah : Asimetris gerakan abnormal : tidak ada
9

d. Leher
Inspeksi : statis, simetris
Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar
Luas Gerak Sendi
Ante /retrofleksi (n 65/50) : 65/50
Laterofleksi (D/S) (n 40/40) : 40/40
Rotasi (D/S) (n 45/45) : 45/45
Tes Provokasi
Lhermitte test/ Spurling : tidak dilakukan Test Valsava : tidak dilakukan
Distraksi test : tidak dilakukan Test Nafziger: tidak dilakukan
e. Thorax
Bentuk : simetris
Pemeriksaan Ekspansi Thoraks : Eks. maksimum cm Ins. Maksimum cm
Paru-paru
- Inspeksi : dalam batas normal
- Palpasi : dalam batas normal
- Perkusi : dalam batas normal
- Auskultasi : dalam batas normal
Jantung
- Inspeksi : dalam batas normal
- Palpasi : dalam batas normal
- Perkusi : dalam batas normal
- Auskultasi : dalam batas normal
f. Abdomen
- Inspeksi : dalam batas normal
- Palpasi : dalam batas normal
- Perkusi : dalam batas normal
- Auskultasi : dalam batas normal
g. Trunkus
Inspeksi
- Simetris : simetris
- Deformitas : tidak ada
- Lordosis : tidak ada
- Scoliosis : tidak ada
10

- Gibbus : tidak ada


- Hairy spot : tidak ada
- Pelvic tilt : tidak ada
Palpasi
- Spasme otot-otot para vertebrae: tidak ada
- Nyeri tekan (lokasi) :tidak ada
Luas gerak sendi lumbosakral
- Ante/retro fleksi (95/35) : 95/35
- Laterofleksi (D/S) (40/40) : 40/40
- Rotasi (D/S) (35/35) : 35/35
Test provokasi : tidak dilakukan
- Valsava test : Tes Laseque : Test: Baragard dan Sicard :
- Niffziger test : Test LSR : Test: O’Connell :
- FNST : Test Patrick : Test Kontra Patrick :
- Tes gaernslen : Test Thomas : Test Ober’s :
- Nachalasknee flexion test : Mc.Bride sitting test :
- Yeoman’s hyprextension : Mc. Bridge toe to mouth sitting test :
- Test schober :
h. Anggota Gerak Atas
Inspeksi kanan kiri
- Deformitas : tidak ada tidak ada
- Edema : tidak ada tidak ada
- Tremor : tidak ada tidak ada
- Nodus herbenden : tidak ada tidak ada
Palpasi

Neurologi
Motorik Dextra Sinistra
Gerakan Luas Terbatas
Kekuatan
Abduksi lengan 5 5
Fleksi siku 5 5
Ekstensi siku 5 5
11

Ekstensi wrist 5 5
Fleksi jari-jari tangan 5 5
Abduksi jari tangan 5 5
Tonus Eutoni Eutoni
Tropi Eutropi Eutropi
Refleks Fisiologis
Refleks tendon biseps Normal Normal
Refleks tendon triseps Normal Normal
Refleks Patologis
Hoffman Tidak ada Tidak ada
Tromner Tidak ada Tidak ada
Sensorik
Protopatik Normal
Proprioseptik Normal
Vegetatif Tidak ada kelainan

Penilaian fungsi tangan Kanan Kiri


Anatomical normal normal
Grips normal normal
Spread normal normal
Palmar abduct normal normal
Pinch normal normal
Lumbrical normal normal

Luas Gerak Sendi Aktif Aktif Pasif Pasif


Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Abduksi Bahu 0-110 0-180 0-110 0-180
Adduksi Bahu 180-110 180-0 180-110 180-0
Fleksi bahu 0-110 0-180 0-110 0-180
Extensi bahu 0-30 0-60 0-30 0-60
Endorotasi bahu (f0) 90-45 90-0 90-45 90-0
Eksorotasi bahu (f0) 0-45 0-90 0-45 0-90
Endorotasi bahu (f90) 90-45 90-0 90-45 90-0
12

Luas Gerak Sendi Aktif Aktif Pasif Pasif


Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Eksorotasi bahu (f90) 0-45 0-90 0-45 0-90
Fleksi siku 0-150 0-150 0-150 0-150
Ekstensi siku 150-0 150-0 150-0 150-0
Ekstensi pergelangan tangan 0-70 0-70 0-70 0-70
Fleksi pergelangan tangan 0-80 0-80 0-80 0-80
Supinasi 0-90 0-90 0-90 0-90
Pronasi 0-90 0-90 0-90 0-90

Test Provokasi kanan kiri


- Yergason test : tidak dilakukan tidak dilakukan
- Apley scratch test : tidak dilakukan tidak dilakukan
- Moseley test : tidak dilakukan tidak dilakukan
- Adson maneuver : tidak dilakukan tidak dilakukan
- Tinel test : tidak dilakukan tidak dilakukan
- Phalen test : tidak dilakukan tidak dilakukan
- Prayer test : tidak dilakukan tidak dilakukan
- Finkelstein : tidak dilakukan tidak dilakukan
- Promet test : tidak dilakukan tidak dilakukan

i. Anggota Gerak Bawah


Inspeksi kanan kiri
- Deformitas : tidak ada tidak ada
- Edema : tidak ada tidak ada
- Tremor : tidak ada tidak ada
Palpasi
- Nyeri tekan (lokasi) : tidak ada tidak ada
- Diskrepansi : tidak ada tidak ada
13

Neurologi
Motorik kanan kiri
Gerakan Luas Luas
Kekuatan
Fleksi paha 5 5
Ekstensi paha 5 5
Ekstensi lutut 5 5
Fleksi lutut 5 5
Dorsofleksi pergelangan kaki 5 5
Dorsofleksi ibu jari kaki 5 5
Plantar fleksi pergelangan kaki 5 5
Tonus Eutoni Eutoni
Tropi Eutropi Eutropi
Refleks Fisiologis
Refleks tendo patella Normal Normal
Refleks tendo Achilles Normal Normal
Refleks Patologis
Babinsky Tidak ada Tidak ada
Chaddock Tidak ada Tidak ada
Sensorik
Protopatik Normal
Proprioseptik Normal
Vegetatif Tidak ada Kelainan

Luas Gerak Sendi


Luas Gerak Sendi Aktif Aktif Pasif Pasif
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Fleksi paha 0-125 0-45 0-125 0-45
Ekstensi paha 0-30 0-30 0-30 0-30
Endorotasi paha 0-40 0-180 0-110 0-180
Adduksi paha 0-30 0-60 0-30 0-60
Abduksi paha 0-45 0-45 0-45 0-45
Fleksi lutut 0-135 0-135 0-135 0-135
14

Luas Gerak Sendi Aktif Aktif Pasif Pasif


Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Ekstensi lutut 0-120 0-120 0-120 0-120
Dorsofleksi pergelangan kaki 0-20 0-20 0-20 0-20
Plantar fleksi pergelangan kaki 0-50 0-50 0-50 0-50
Inversi kaki 0-35 0-35 0-35 0-35
Eversi kaki 0-20 0-20 0-20 0-20

Tes Provokasi Sendi Lutut kanan kiri


Stes test tidak dilakukan tidak dilakukan
Drawer’s test tidak dilakukan tidak dilakukan
Test tunel pada sendi lutut tidak dilakukan tidak dilakukan
Test homan tidak dilakukan tidak dilakukan
Test lain-lain tidak dilakukan tidak dilakukan

IV. Skala UGO FISCH


Posisi Nilai Persentase (%) 0, 30, 70, 100 Skor
Istirahat 20 30 6
Mengerutkan dahi 10 30 3
Menutup mata 30 70 21
Tersenyum 30 30 9
Bersiul 10 30 3
Total 42

V. Pemeriksaan Penunjang
A. Radiologis : tidak dilakukan
B. Laboratorium : tidak dilakukan
C. Lain-lain CT-Scan/ MRI : tidak dilakukan
15

VI. EVALUASI
No Level ICF Kondisi saat ini Sasaran
1 Struktur dan Mulut mencong ke kanan, Mengembalikan fungsi
fungsi tubuh mata kiri jarang berkedip, pipi fisiologis nervus fascialis
kiri terasa kendor, dahi kiri
tidak bisa mengerut, sensasi
rasa pada lidah menurun.

2 Aktivitas Bila minum air sering keluar Meningkatkan kemampuan


dari sisi mulut sebelah kiri. pasien untuk dapat beraktivitas
secara normal sehari-hari.
3 Partisipasi Kepercayaan diri menurun, Meningkatkan kepercayaan
pasien merasa malu dan diri pasien dan kemampuan
menarik diri dari pergaulan berinteraksi dengan sesama.
sosial.
Catatan: ICF International Clasification of Function (WHO 2002)

VII. DIAGNOSIS KLINIS


Diagnosis: Bell’s Palsy

VIII. PROGRAM REHABILITASI MEDIK


Fisioterapi
Terapi Panas : tidak dilakukan
Terapi Dingin : tidak dilakukan
Stimulasi Listrik :
a. Infra red pada wajah sebelah kiri selama 10 menit
b. Deep Kneading Massage wajah sebelah kiri lamanya 5-10 menit
Terapi Latihan :
a. Latihan gerak volunter wajah sisi kiri di depan cermin dengan gerakan
mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum,bersiul/meniup, mengangkat
sudut mulut
16

Okupasi Terapi
ROM Exercise : Tidak ada
ADL Exercise :
a. Latihan penguat otot wajah dengan memberikan latihan menutup mata,
mengerutkan dahi, meniup lilin, tersenyum, meringis
b. latihan meningkatkan aktivitas kerja sehari-hari dengan berkumur, latihan
makan dengan mengunyah di sisi kiri, minum dengan sedotan.

Ortotik Prostetik
Ortotic : Menggunakan “Y” plester selama parese, diganti
setiap 8 jam.
Prostetik : Tidak ada
Alat bantu ambulansi : Tidak ada

Terapi Wicara
Afasia : Tidak Dilakukan
Disartria : Tidak Dilakukan
Disfagia : Tidak Dilakukan

Social Medik : Memberikan support mental dan psikoterapi pada


pasien agar tidak merasa malu dan menarik diri dari
pergaulan sosial.
Edukasi : Edukasi keluarga untuk memberi dorongan pada
pasien agar mau berobat dan melakukan terapi secara
teratur dan menjelaskan bahwa penyakitnya dapat
sembuh.

IX. TERAPI MEDIKA MENTOSA


- Vitamin B kompleks 2 x 1 tab sehari
- Methyl prednisolon 4mg 3 x 1 tab sehari

X. PROGNOSA
- Medik : Bonam
- Fungsional : Bonam
17

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Nervus Fasialis


Nervus fasialis muncul di antara pons dan medulla oblongata. Radix berjalan ke lateral
di dalam fossa cranii posterior bersama nervus vestibulocochlearis dan menuju parspetrosa os
temporalis melalui porus dan meatus acusticus internus. Pada dasar meatus, nervus ini masuk
canalis fasialis dan berjalan ke lateral melintasi telinga dalam, ketika mencapai cavum
tympani saraf melebar membentuk ganglion geniculatum. Kemudian saraf membelok secara
tajam ke belakang (eksternal genu nervus fasialis) di atas promontorium dan pada dinding
posterior telinga tengah membelok kebawah pada sisi medial aditus ad antrum mastoideum.
Nervus fasialis kemudian berjalan ke bawah di belakang pyramid keluar dari os temporal
melalui foramen sylomastoideum, lalu ke depan melalui kelenjar parotis ke daerah
distribusinya.
18

Percabangan Nervus Fasialis


 Nervus petrosus major
Percabangan lagsung ganglion geniculatum. Nervus ini mengandung serabut-serabut
preganglionik maupun postganglionic. Serabut preganglionik merupakan serabut
parasimpatik yang bersinaps di ganglion pterygopalatum. Sedangkan serabut
postganglionik merupakan serabut sekretomotorik kelenjar lakrimalis serta kelenjar di
hidung dan palatum. Nervus petrosus major juga mengandung serabut pengecap dari
palatum.
 Nervus stapedius
Nervus ini menyarafi musuklus stapedius di telinga tengah.
 Chorda tympani
Nervus fasialis masuk kedalam canalis fasialis pada dinding posterior telinga tengah.
Nervus ini berjalan ke depan di atas permukaan medial bagian atas membrane timpani,
kemudian melalui fissura petrotympanica masuk ke fossa infratemporalis dan bergabung
dengan nervus lingualis. Chorda tympani mengandung serabut-serabut preganglionik
parasimpatik menuju ke glandula submandibularis dan glandula sublingualis. Nervus ini
juga mengandung serabut pengecap dari 2/3 bagian anterior lidah dasar mulut.
 Nervus auricularis posterior, venter posterior musculus digastricus dan stylohyoideus
Saraf ini muncul dari foramen stylomastoideum, menyarafi ausricularis posterior, M.
digastricus dan M. stylohyoideus.
 Lima rami terminalis ke otot-otot ekspresi wajah
Setelah meningalkan foramen stylomastoideum, nervus fasialis berada di galndula
parotis, terletak di antara pars superfisialis dan pars profunda glandula. Nervus fasialis
memberikan cabang-cabang terminal yang muncul dari pinggir anterior glandula dan
berjalan ke otot-otot wajah dan kulit kepala.Adapun cabang-cabang terminalis nervus
fasialis adalah Rami temporalis, ramus zygomaticus, ramus buccalis, ramus mandibularis
dan ramus servikalis.Ramus buccalismenyarafi M. Buccinator dan ramus servikalis
menyarafi M. Platysma dan M. Depressor anguli oris.
19
20

3.2 Definisi
Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang
disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat, tanpa adanya
penyakit neurologik lainnya. BP adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena
gangguan nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang tidak
teridentifikasi, seperti proses non-supuratif, non neo-plasmatik, non-degeneratif primer
namun sangatmungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis diforamen
stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut yang mulainya akut dan
dapat sembuh sendiri tanpapengobatan.
Manifestasi klinisnya terkadang dianggap sebagai suatu serangan stroke atau gambaran
tumor yang menyebabkan separuh tubuh lumpuh atau tampilan distorsi wajah yang akan
bersifat permanen. Oleh karena itu, perlu diketahui mengenai Bell’s palsy oleh dokter
pelayanan primer agar tata laksana yang tepat dapat diberikan tanpa melupakan diagnosis
banding yang mungkin didapatkan.

3.3 Epidemiologi
BP menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial akut. Di dunia,
insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di
Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden BP setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000
orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden BP rata-rata 15-30 kasus per 100.000
populasi. Sedangkan di Indonesia, insiden BP secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsi sebesar
19,55% dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21-30 tahun. BP mengenai laki-
laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur
10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit
ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada
kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya BP
lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat. Tidak didapati
juga perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita
didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan.
21

3.4 Etiologi
Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell’s palsy, yaitu
iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori virus lebih banyak dibahas
sebagai etiologi penyakit ini. Burgess et al mengidentifikasi genom virus herpes simpleks
(HSV) di ganglion genikulatum seorang pria usia lanjut yang meninggal enam minggu
setelah mengalami Bell’s palsy. Murakami et al. menggunakan teknik reaksi rantai
polimerase untuk mengamplifikasi sekuens genom virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di
dalam cairan endoneural sekeliling saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bell’s palsy
yang dilakukan dekompresi pembedahan pada kasus yang berat. Murakami et al
menginokulasi HSV dalam telingadan lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada wajah
tikustersebut. Antigen virus tersebut kemudian ditemukan padasaraf fasialis dan ganglion
genikulatum. Dengan adanya temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes simpleks
atauherpetika dapat diadopsi.
Bell’s palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada ganglion
genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi. Ganglion ini terletak
didalam kanalis fasialis pada persambungan labirin dan segmen timpani, dimana lengkungan
saraf secara tajam memasuki foramen stylomastoideus. Secara klinis, Bell’s palsy telah
didefinisikan idiopatik, dan penyebab proses inflamasi masih tidak jelas. Beberapa teori telah
diduga sebagai penyebab dari Bell’s palsy, antara lain iskemik vaskular, imunologi, infeksi
dan herediter telah diduga menjadi penyebab.
Beberapa mekanisme termasuk iskemia primer atau inflamasi saraf fasialis,
menyebabkan edema dan penjepitan saraf fasialis selama perjalanannya didalam kanal tulang
temporal dan menghasilkan kompresidan kerusakan langsung atau iskemia sekunder terhadap
saraf. Teori inimerupakan latar belakang untuk dekompresi bedah pada pengobatan Bell’s
palsy.
Suatu hipotesa imunologis telah diperkenalkan oleh Mc. Govern dkk, berdasarkan
penelitian eksperimental pada hewan. Begitu juga Hughes dkk, menemukan transformasi
limfositpada pasien Bell’s palsy dan menduga bahwa beberapa penyebab Bell’s palsy
merupakan hasil dari cell mediated immunity melawan antigen sarafperifer. Hasil ini
mendukung penelitian selanjutnya dengan steroid dan imunoterapi lainnya.
Mekanisme lainnya adalah infeksi virus, yang secara langsungmerusak fungsi saraf
melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinanterjadi pada seluruh perjalanan saraf dan
bukan oleh kompresi pada kanaltulang. Suatu penelitian systematic review berdasarkan
Cochrane database, yang dilakukan terhadap beberapa penelitian randomized yang
22

berkualitas tinggi telah menyimpulkan bahwa antivirus tidak lebih efektif daripada plasebo
dalam menghasilkan penyembuhan lengkap pada pasien Bell’s palsy. Karena tidak efektifnya
antivirus dalammengobati pasien Bell’s palsy sehingga perlu dipertimbangkan adanya
penyebab Bell’s palsy yang lain.
Adanya peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab Bell’s palsy,
terutama kasus Bell’s palsy yang rekuren ipsilateral ataukontralateral. Kebanyakan kasus
yang dijumpai adalah autosomal dominant inheritance. Sejumlah penelitian telah berusaha
rnemberikan temuan objektif tentang dasar genetik dari BeII’s palsy, dan kebanyakan
terpusat pada sistem Human leucocyte antigen (HLA), yang memiliki hubungan objektif
yang kuat dengan berbagaipenyakit autoimun.

3.5 Faktor Risiko


Orang dengan diabetes dan HIV memiliki resiko tinggi untuk menderita Bell’s palsy
meskipun alasannya belum diketahui secara pasti.

3.6 Patofisiologi
Saraf fasialis membawa sekitar 10.000 serabut saraf, dan 7.000 serabut tersebut
merupakan akson motorik yang bermielin yang mencapai otot-otot wajah. Masing-masing
dari serabut saraf tersebut dapat dikenaisecara terpisah terhadap derajat trauma yang
berbeda.Sunderland telah mendeskripsikan lima derajat trauma yang dapat mengenai satu
serabut saraf perifer. Klasifikasi ini menggambarkan kejadian patofisiologi yang
dihubungkan dengan setiap jenis gangguanyang mengenai saraf fasialis secara lebih mudah.
Tiga derajat pertama dapat terjadi pada Bell’s palsy dan herpes zoster cephalicus. Derajat
keempat dan kelima dari trauma tersebut dapat terjadi bila terdapat gangguan dari saraf,
seperti pada transeksi saraf yang mungkin terjadiselama operasi, sebagai hasil dari fraktur
tulang temporal yang berat ataudari suatu pertumbuhan tumor jinak atau ganas yang tumbuh
dengan cepat. Pada Bell’s palsy, herpes zoster cephalicus, otitis media dan trauma, kompresi
dapat terjadi tiba- tiba atau lambat progresif dalam 5-10 hari. Pada otitis media dan trauma,
proses yang terjadi lebih kepada tekanan yang mendesak saraf daripada gangguan intraneural,
namun hasil kompresi saraf tetap sama seperti pada Bell’s palsy dan herpes zoster cephalicus.
Diawali dengan penggembungan aksoplasma, kompresi pada aliran vena dan selanjutnya
terjadi kompresi saraf dankehilangan akson- akson, dan dengan cepat terjadi kehilangan
endoneural tube yang kemudian menyebabkan derajat ketiga dari trauma.
23

Pada derajat empat dan lima, karena kebanyakan atau semua endoneural tube telah
dirusak, sama seperti perineurium pada derajat keempat trauma, dan prineurium dan
epineurium pada pada trauma derajat kelima, penyembuhan tidak akan pernah sebaik pada
derajat pertama. Selama proses regenerasi saraf fasialis, terjadi tiga perubahan mayor pada
akson, yaitu: (1) perubahan pada jarak antara nodus renvier; (2) akson-akson yang baru
terbentuk dilapisi oleh myelin yang lebih tipis daripada akson normal; (3) terdapat
pemecahan dan penyilangan dariakson-akson yang menginervasi kembali kelompok-
kelompok otot yangdenervasi tanpa perlu menyesuaikan dengan susunan badan sel-
motorunit yang dijumpai sebelum terjadi degenerasi. Akibat dari faktor- faktor ini, dapat
terjadi suatu tic atau kedutan involunter. Selain itu, terdapat juga gerakan yang tidak wajar,
seperti gerakan mulut dengan berkedip, atau menutup mata dengan tersenyum. Penyebab lain
dari gerakan abnormal selama regenerasi mungkin karena terjadi perubahan pada myoneural
junction. Selain faktor-faktor ini, kemungkinan terjadi perubahan didalam dan disekitar
nukleus saraf fasialis di batang otak, sama seperti perubahan pada hubungan sentral menuju
badan sel. Kombinasi dari faktor- faktor ini, dapat menyebabkan spasme yang terjadi pada
sisi wajah yang paralisis, menyebabkan mata menutup dan sudut mulut menarik. spasme ini
dapat dirasakan cukup nyeri.

3.7 Gambaran Klinis


Gambaran klinis pada pasien bell’s palsy biasanya timbul secara mendadak dan pasien
menyadari adanya kelumpuhan pada otot wajah pada saat melihat kaca atau diberitahukan
oleh orang lain. Sebelumnya pasien akan merasakan adanya hiperakusis pada telinga daerah
wajah yang lumpuh. Pada sisi wajah yang lumpuh semua gerakan volunter akan hilang,
seperti ekspresi akan menghilang sehingga lipatan nasolabialis tidak tampak. Bila pasien
diminta untuk memejamkan matanya maka kelopak mata pada sisi yang lumpuh akan tetap
terbuka (disebut lagoftalmus) dan bola mata berputar keatas (phenomena Bell). Karena
kedipan mata berkurang maka akan terjadi iritasi oleh karena debu dan angin, sehingga
menimbulkan epifora. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi lumpuh tidak
dapat mengembung. Disamping itu makanan cenderung berkumpul diantara pipi dan gusi
yang lumpuh.
24

3.8 Diagnosa Banding


Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagimenurut lokasi lesi sentral dan perifer.
Lesi Sentral
 Stroke
Kelaninan sentral yang disertai dengan kelemahan anggota gerak sisi yang sama
dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontra lateral.
 Tumor
Dapat disertai perubahan mental sstatus atau riwayat kanker dibagian tubuh lainnya
 Sklerosis multiple
Disertai kelainan neurologisseperti hemiparesis atau neuritis optika
 Trauma fraktur os temporalis pars petrosus
Lesi Perifer
 Otitis media supuratif dan mastoiditis
Terdapat reaksi radang dalam kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan suatu
gambaran infeksi
 Herpes Zoster Otikus
Ditemukan adanya tuli perseptif, terdapat vesikel yang terasa amat nyeri di pinna
dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibody virus varicella-
zoster
 Guillain-Barre Syndrome
Ditemukan adanya paresis bilateral dan akut
 Kelainan myasthenia gravis
Terdapat tanda patognominik berupa gangguan gerak mata kompleks dan
kelemahan M. Orbikularis okuli bilateral
 Tumor serebello-pontin
Disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII
 Tumor kelenjar parotis
Ditemukan massa di wajah (angulus mandibular)
 Sarcoidosis
Ditemukan tanda-tanda febris, pembesaran kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis,
eritema nodosa dan hiperkalsemia
25

3.9 Diagnosis
3.9.1 Anamnesis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis serta beberapa pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan lainnya. Hal-hal yang didapatkan dari anamnesis:
 Rasa nyeri
 Gangguan atau kehilangan pengecapan.
 Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan
terbuka atau di luar ruangan.
 Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan,
otitis, herpes, dan lain-lain.

3.9.2 Pemeriksaan Fisik


Fungsi motorik
Dalam memeriksa fungsi motorik, perhatikan muka penderita, apakah simetris atau
tidak. Perhatikan kerutan pada dahi, pejaman mata, plika nasolabialis dan sudut mulut. Bila
asimetri muka jelas, maka hal ini disebabkan oleh kelumpuhan jenis perifer. Dalam ini
kerutan dahi menghilang, mata kurang dipejamkan, plika nasolabialis mendatar dan sudut
mulut menjadi lebih rendah. Pada kelumpuhan jenis sentral, muka dapat simetris waktu
istirahat, kelumpuhan baru nyata bila penderita disuruh melakukan gerakan, misalnya
menyeringai.
a. Mengangkat alis dan mengerutkan dahi
Minta pasien untuk mengangkat kedua alis kemudian nilai apakah simetris atau tidak.
Kemudian minta pasien untuk mengerutkan dahi, nilai apakah musculus
oksipitofrontalis, musculus corrgurator supercilli, musculus procerus simetris atau
tidak. Pada kelumpuhan jenis supranuklear sesisi, penderita dapat mengangkat alis dan
mengerutkan dahinya, sebab musculus oksipitofrontalis, musculus corrgurator
supercilli, musculus procerus mendapat persarafan bilateral. Pada kelumpuhan jenis
perifer terlihat adanya asimetri.
b. Memejamkan mata
Minta pasien untuk memejamkan mata, bila lumpuhnya berat paasien tidak dapat
memejamkan mata; bila lumpuhnya ringan, maka tenaga pejaman mata kurang kuat.
Hal ini dapat dinilai dengan jalan mengangkat kelopak mata dengan tangan pemeriksa,
sedangkan pasien disuruh tetap memejamkan mata. Suruh pula pasien memejamkan
matanya satu per satu. Hal ini merupakan pemeriksaan yang baik bagi parese ringan.
26

Bila terdapat parese, pasien tidak dapat memejamkan matanya pada sisi yang lumpuh.
Disini dinilai apakah musculus orbicularis okuli dapat berkontraksi dengan baik atau
tidak, simetris atau tidak.
c. Menyeringai (menunjukan gigi geligi)
Minta pasien untuk menyeringai, menunjukkan gigi geligi. Perhatikan apakah hal ini
dapat dilakukan dan apakah simetris, perhatikan sudut mulutnya. Jika pasien tidak
dapat melakukannya maka terdapat gannguan persarafan pada musculus zigomatikus
mayor. Pada penderita yang tidak kooperatif atau yang menurun kesadarannya, dan
tidak dapat disuruh menyeringai, dapat dibuat menyeringai bila diberikan ransangan
nyeri, yaitu dengan menekan pada sudut rahangnya (musculus masseter).
d. Mencucurkan bibir
Minta pasien untuk mencucurkan bibir. Perhatikan apakah dapat dilakukan dan apakah
simetris. Jika pasien tidak dapat melakukan dengan baik dan asimetris maka dicurigai
ada gangguan pada persarafan musculus orbicularis oris.
e. Menggembungkan pipi
Minta pasien untuk menggembungkan pipi. Perhatikan apakah hal ini dapat dilakukan
dan apakah simetris. Apabila pasien tidak dapat melakukan dengan baik maka dapat
dikatakan terjadi gangguan pada persarafan musculus bucinator.
f. Mengembang kempiskan cuping hidung
Minta pasien untuk mengembang kempiskan cuping hidung, nilai apakah simetris atau
tidak. Jika tidak, maka terdapat gangguan persarafan pada musculus nasalis.

Fungsi Pengecapan
Kerusakan N. VII, sebelum percabangan khorda timpani dapat menyebabkan ageusi
(hilangnya pengecapan) pada 2/3 lidah bagian depan. Untuk memeriksanya pasien disuruh
menjulurkan lidah, kemudian kita berikan pada lidahnya bubuk gula, kina, asam sitrat atau
garam (hal ini dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat). Bila bubuk ditaruh, pasien
tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab bila lidah ditarik ke dalam mulut bubuk
akan tersebar melalui ludah ke bagian lainnya, yaitu sisi lidah lainnya atau ke bagian
belakang lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Pasien diminta untuk menyatakan
pengecapan yang dirasakannya degan isyarat, misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa
pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam. Kerusakan pada atau diatas nervus petrosus
mayor dapat menyebabkan kurangnya produksi air mata, dan lesi khorda timpani dapat
menyebabkan kurangnya produksi saliva.
27

3.9.3 Pemeriksaan Penunjang


Bells palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu
dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis. Pemeriksaan
radiologi dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk menyingkirkan
fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP). Pemeriksaan MRI
dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis,
atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu MRI dapat memvisualisasi perjalanan
dan penyengatan kontras saraf fasialis. Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy
sudahdikenal sejak tahun 1970 sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan
pada penentuan kandidattindakan dekompresi intrakanikular. Grosheva et almelaporkan
pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik
dibandingkan elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut
setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictivevalue(PPV) 100% dan negative-predictive-
value(NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan amplitudo
CompoundMotor Action Potential (CMAP), pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada
pemeriksaan blink reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilateral. Pemeriksaan
blink reflex ini sangat bermanfaat karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu
kelima, meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas gelombang R2
hanya ditemukan pada 15,6% kasus.

3.10 Tatalaksana
Tujuan dari pengobatan pada bells palsy termasuk tata laksana untuk mempercepat
masa penyembuhan dan untuk meminimalisasi komplikasi. Tata laksana untuk mempercepat
masa penyembuhan dilakukan dengan terapi medikamentosa dan rehabilitasi medik.
3.10.1 Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien bells palsy yaitu pemberian obat
cortikosteroid dan anti-viral.
a. Kortikosteroid
Dasar untuk pemberian obat kortikosteroid pada bell’s palsy karena inflamasi dan
edema pada nervus fasialis merupakan salah satu penyebab dari Bell’s palsy dan
kortikosteroid berpotensi sebagai anti inflamasi dimana dapat meminimalisasi
kerusakan pada saraf dan sehingga hasil meningkat. Pada percobaan yang dilakukan
secara random ditemukan bahwa terapi bells palsy dengan menggunakan prednisolon
mempercepat proses penyembuhan. Prednisolon dapat digunakan pada semua pasien
28

dengan lumpuh pada otot wajah dengan pemakaian 72 jam dimulai dari onset dimana
tidak dapat kontraindikasi pada terapi steroid. Dosis prednisolon yaitu 60 mg dalam 5
hari,kemudian dikurangi menjadi 10 mg perhari (dari 10 hari total perawatan ) dan 50
mg per hari dalam 10 hari. Terapi dengan prednisolon lebih hemat biaya. Efek toksik
dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2
minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis,
supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.
b. Anti-viral
Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat antivirus
digunakan dalam penanganan Bell’spalsy. Namun, beberapa percobaan kecil
menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif dibandingkan
kortikosteroid. Data-data ini mendukung kombinasi terapi antiviral dan steroid pada 48-
72 jam pertama setelah onset. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan
keuntungan penggunaan terapi kombinasi.Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2
tahun adalah80 mg per kg per hari melalui oral dibagi dalam empat kalipemberian
selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikandengan dosis oral 2 000-4 000 mg
per hari yang dibagi dalamlima kali pemberian selama 7-10 hari.Sedangkan dosis
pemberian valasiklovir (kadar dalamdarah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1
000-3 000mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari.Efek samping jarang
ditemukan pada penggunaan preparatantivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan
berupaadalah mual, diare, dan sakit kepala.

3.10.2 Rehabilitasi Medik


Rehabilitasi medik menurut WHO adalah semua tindakan yang ditujukan guna
mengurangi dampak cacat handikap serta meningkatkan kemampuan penyandang cacat
mengenai integritas sosial. Tujuan rehabilitasi medik pada pasien Bell’s palsy adalah
memperlancar vaskularisasi, pemulihan kekuatan otot-otot fascialis dan mengembalikan
fungsi yang terganggu akibat kelemahan otot-otot fascialis sehingga pasien dapat kembali
melakukan aktivitas kerja sehari-hari dan bersosialisasi dengan masyarakat.
a. Program fisioterapi
1. Pemanasan
- Pemanasan superfisial dengan infra red
- Pemanasan profunda berupa Shortwave Diathermy
29

2. Stimulasi listrik
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk mencegah atau
memperlambat terjasi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan memperkuat
otot yang masih lemah. Misalnya, dengan faradisasi yang tujuannya adalah untuk
menstimulasi otot redukasi dari aksi otot, melatih fungsi otot baru, meningkatkan
sirkulasi serta mencegah atau merenggangkan perlengketan. Diberikan 2 minggu
setelah onset.
3. Latihan otot-otot wajah dan massage wajah
Latihan gerak volunter diberikan setelah fase akut, latihan berupa mengangkat
alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata, dan mengangkat sudut
mulut, tersenyum, bersiul atau meniup (dilakukan di depan kaca dengan
konsentrasi penuh).
Massage adalah manipulasi sistemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan
maksud untuk perbaikan atau pemulihan. Pada fase akut bell’s palsy diberi gentle
massage secara perlahan dan berirama. Hal ini memberikan efekmengurangi
edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot. Setelah lewat
fase akut diberi Deep Kneuding Massage sebelum latihan gerakan volunter
wajah. Deep Kneuding Massage memberikan efek mekanik terhadap pembuluh
darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam laktat,
mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan meningkatkan
gerakan intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan. Massage daerah wajah
dibagi 4 daerah yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua gerakan diarahkan
keatas, lamanya 5-10 menit.
b. Program Terapi Okupasi
Pada dasarnya terapi didini memberikan latihan gerakan pada otot wajah. Latihan
diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan. Perlu
diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi penderita. Latihan dapat
berupa latihan berkumur, latihan minum dengan menggunakan sedotan, latihan meniup
lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin.
c. Program Sosial Medik
Penderita bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan sosial.
Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya. Petugas sosial
medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin untuk
sementara waktu bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan umum.
30

Untuk masalah biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja
atau melalui keluarga. selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama penderita
dengan petugas yang merawat sangat penting untuk kesembuhan penderita.
d. Program Psikologi
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa cemas
sering menyertai penderita terutama pada penderita muda wanita atau penderita yang
mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan umum, maka bantuan
seorang psikolog sangat diperlukan.
e. Program Ortotik Prostetik
Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut yang sakit
tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan reaksi
intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan “Y” plester dilakukan juka dalam
waktu 3 bulan belum ada perubahan zigomatikus selama parese dan mencegah
terjadinya kontraktur.
f. Home Program
- Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit.
- Massage wajah yang sakit kearah atas dengan menggunakan tangan dari sisi sehat
- Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit, minum
dengan sedotan, mengunyah permen karet.
- Perawatan mata :
1. Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3 kali sehari.
2. Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari.
3. Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur.

3.11 Prognosis
Sembuh spontan pada 75-90% dalam beberapa minggu atau dalam 1-2 bulan. Kira-kira
10-15% sisanya akan memberikan gambaran kerusakan yang permanen.
31

BAB IV
ANALISIS KASUS

Ny. T, 55 tahun, perempuan, datang ke RSMH Palembang karena mengeluh mulutnya


mencong ke kanan.
Dari anamnesis didapatkan keluhan mulut mencong ke kanan ketika berbicara atau
tersenyum sejak tiga hari yang lalu. Selain dimulut, OS merasa mata kiri jarang berkedip
sehingga terasa perih dan berair. Jika OS mengaca, pipi kiri terasa kendor, dan jika
mengerutkan dahi sisi sebelah kiri terlihat datar. Sensasi rasa pada lidah menurun, bila
minum air sering keluar dari sisi mulut sebelah kiri. Akhir-akhir ini OS mengaku sering tidur
di lantai dan menyalakan kipas angin karena kepanasan. Nyeri tidak ditemukan, pendengaran
normal sebelumnya belum pernah diperiksa ke dokter.
Pada hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan pada status generalis, namun
pemeriksaan neurologis terutama nervus cranialis didapatkan parese tipe perifer pada nervus
VII. ~~~
Tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan motoric anggota gerak atas dan bawah
dengan nilai kekuatan motorik adalah 5. Refleks fisiologis tidak mengalami penurunan.
Pemeriksaan penunjang, seperti MRI, CT scan, mielografi, dan EMG jarum tidak dilakukan.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan tersebut,
diagnosis Bell’s Palsy dapat ditegakkan. Berbeda dengan stroke, kelainan bell’s palsy hanya
terdapat di syaraf saja, sedangkan pada stroke terdapat kelemahan anggota gerak.
Untuk lokasi nervus leher yang terkena di bagian mana, berdasarkan pemeriksaan fisik
yang dilakukan kemungkinan yang mengalami yang terlibat adalah nervus C6-C7 karena
pada pemeriksaan kekuatan pada saat dilakukan fleksi tangan dimana yang bekerja adalah
biceps mengalami kelemahan yang dapat diinterpretasikan bahwa nervus C6 yang terkena
dan pada saat dilakukan ekstensi tangan dimana yang bekerja adalah triceps mengalami
kelemahan juga yang dapat diinterpretasikan bahwa nervus C7 juga terkena. Selain itu,
berdasarkan area nyeri dan kesemutan pada lengan mengenai area C6 dan C7. Namun untuk
etiologi pada pasien ini apakah disebabkan oleh proses degenerasi atau herniasi belum dapat
ditentukan karena pemeriksaan penunjang pada pasien ini tidak dilakukan.
Terapi medikamentosa yang diberikan untuk mengurangi keluhan nyeri yang dirasakan
pada pasien adalah natrium diclofenac 2x50 mg tablet, diminum setelah makan. Sedangkan
untuk program rehabilitasi medik dilakukan yang fungsinya untuk reduksi dan resolusi nyeri,
32

perbaikan atau resolusi defisit neurologis dan mencegah komplikasi atau keterlibatan medulla
spinalis lebih lanjut. Pada pasien meliputi: terapi panas dan terapi latihan. Terapi panas yang
dilakukan adalah SWD Cervical dan terapi modalitas lain menggunakan TENS pada
supraspinatus s/d belikat
Pada pasien ini diberikan motivasi untuk datang terapi secara rutin. Pasien diedukasi
tentang sikap tubuh yang baik dimana tubuh tegak, dada terangkat, bahu santai, dagu masuk,
leher merasa kuat, longgar dan santai. Tidur dengan bantal yang tidak terlalu tinggi.
Memelihara sendi otot yang fleksibel dan kuat dengan latihan yang benar. Pencegahan nyeri
cervical ulangan yaitu dengan memperhatikan posisi saat duduk, mengendarai kendaraan, dan
posisi leher yang berkaitan dengan berbagai pekerjaan atau aktivitas sehari-hari. Menghindari
bekerja dengan kepala terlalu turun atau satu posisi dalam waktu yang lama, pegangan dan
posisi yang sering berulang.

Pasien wanita muda datang dengan keluhan bibir mencong ke sebelah kiri sejak 2 hari
SMRS, tanpa penurunan kesadaran dan dengan gejala yang menetap dapat mengerucutkan ke
beberapa sebab yaitu Bell’s Palsy dan tumor yang menekan ke tulang temporal (Kolesteatom,
dermoid).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan lagophtalmus dan hiperlakrimasi, parese dan
hipestesi wajah bagian kiri memberikan gambaran gangguan pada N.VII perifer. Dengan
demikian diagnosis bisa lebih mengerucut ke arah Bell‘s Palsy.
Diagnosis yang didapatkan adalah :
Diagnosis klinis :Paralisis N.VII perifer dextra.
Diagnosis etiologi :idiopatik
Diagnosis topis : N.VII perifer dibawah foramen stylomastoideus
Diagnosa patologis : proses inflamasi
Dengan dasar penegakan diagnosis sbb :
- Paralisis N.VII perifer
- Hipestesia wajah kiri
- Hiperlakrimasi pada mata kiri
- Tidak ditemukan adanya gangguan mendengar
- Tidak ditemukan adanya kelumpuhan dibagian lain
- Gejala timbul mendadak
33

Gejala – gejala tersebut timbul dikarenakan gangguan pada N.VII yang mempersarafi
wajah untuk fungsi motorik dan sensorik. Gangguannya bersifat unilateral dan ipsilateral
dimana N.VII mempersarafi otot oblikularis okuli, oblikularisorim temporal, servikal, bukal
dan zygomatik yang berfungsi sebagai penggerak wajah. Pada pasien tampak lagophtalmus
dan mulut mencong pada sisi yang terkena. Hipestesia terjadi dikarenakan N.VII dan N.V
mempunyai nucleus somatosensory yang sama namun pada kasus ini rasa baal terjadi karena
gangguan dari motorik sehingga memberikan efek kepada rasa baal. Hiperlakrimasi
dikarenakan N.VII memegang peran otonom pada glandula lakrimalis sehingga apabila
terganggu dapat menyebabkan hal ini terjadi, selain itu pada penderita Bell‘s Palsy terdapat
lagophtamus maka agar tidak terjadi dry eye dikompensasi dengan meningkatnya produksi
air mata.
Bell‘s Palsy sendiri merupakan sebuah kelainan yang digambarkan dengan
kelumpuhan N.VII perifer (unilateral). Sifatnya idiopatik, akut dan tidak disertai gangguan
neurologis lain. Berdasarkan penyebab Bell‘s palsy masih belum diketahui dengan pasti
namun ada beberapa hipotesis yang berkembang seperti infeksi pada Herpes Simpleks Virus
yang menyebabkan inflamasi pada ganglion genikulatum, penyakit autoimun, penyakit
mikrovaskuler dan juga dikaitkan dengan paparan udara dingin.
Pada pasien ini disimpulkan penyebab terjadinya Bell‘s Palsy dikarenakan paparan
udara dingin. Paparan udara dingin menyebabkan Bell‘s Palsy dikarenakan dingin dapat
mengiritasi N.VII,dimana secara anatomis N.VII adalah nervus kranialis yang melewati
kanal-kanal dalam tengkorak, sehingga disaat teriritasi oleh dingin, terjadi oedem dan
akhirnya tertekan oleh kanal-kanal sempit pada tulang tengkorak.
Etiologi dari Bell‘s palsy sampai saat ini masih dalam perdebatan, edema pada N.VII
diyakini mempunyai peran atas terjadinya kelumpuhan pada Bell‘sPalsy. Keterlibatan herpes
zooster atas terjadinya inflamasi sekarang sedang berkembang, keadaan autoimmune juga
dipercaya mempunyai peran dalam beberapa kasus Bell‘s Palsy.
Lesi yang terjadi pada Bell‘s palsy bersifat perifer dikarenakan bentuk anatomi dari
tulang tengkorak yang dilewati N.VII mudah mengganggu terutama apabila terjadi inflamasi
dan menyebabkan edema setempat. 80-90% penderita Bell‘s palsy dapat sembuh dengan
sendirinya tanpa defisit neurologis (Sembuh sempurna). Pemberian kortikosteroid ditemukan
dapat mempercepat penyembuhan, dan perlu tappering off untuk penggunaan steroid. Obat
antiviral dapat diberikan apabila memang ada arah kecurigaan terjadinya infeksi virus,
beberapa studi mengatakan bahwa untuk pasien penderita Bell‘s palsy yang mendapatkan
terapi antivirus disertai dengan steroid pada masa akut (<72 jam onset) memberikan efek
34

yang lebih baik dibandingkan dengan dengan terapi steroid tunggal, namun pada pasien
dengan onset yang sudah lama pemberian antivirus tidak efektif.
Proteksi mata dianjurkan saat pasien mengalami lagophtalmus untuk menghindari
iritasi pada kornea. Pemberian obat tetes mata untuk menjaga kelembaban mata, juga salep
mata saat pasien tidur.
Diagnosis topis ditegakkan dari gambaran klinis dimana pada pasien ini hanya
didapatkan gangguan pada otot ekspresi wajah, namun tidak didapatkan hiperakusis,
gangguan perasa dan gangguan pendengaran. Namun didapatkan hipestesi sehingga topis
pada kasus ini bisa diperkirakan antara ganglion genikulatum dan foramen stylomastoideus.

DAFTAR PUSTAKA

1. Snell RS. Neuroanatomi klinik. 5th ed. Jakarta: EGC; 2007.


2. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Disorders of peripheral nerves: Bell palsy. In:
Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP, editors. Clinical Neurology. 6th Ed. USA: The
McGraw-Hill Com- panies, Inc; 2005. p. 182.
3. Lo B. Emergency medicine-neurology: Bell’s palsy. Eastern Vir- ginia: Medscape. 2010.
4. Sabirin J. Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I. Semarang :
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-813.
5. Maisel RH, Levine SC. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam: Adams dkk. Boies Buku Ajar
Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : Penerbit EGC, 1997 : 139-52 20
6. Thamrinsyam. Beberapa Kontroversi Bell’s Palsy. Dalam: Thamrinsyam dkk. Bell’s
Palsy. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/FK UNAIR, 1991 : 1-75.
7. Angliadi LS, Sengkey L, Gessal J, dkk. Rehabilitasi Medik Pada Bell’s Palsy. Dalam:
Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi. Manado: Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan
Rehabilitas BLU RSUP Prof. dr. R. D. Kandou/FK UNSRAT, 2006: 42-496.
8. Lumbantobing SM. Saraf Otak: Nervus Fasial. Dalam: Neurologi Klinik Pemeriksaan
Fisik dan Mental. Jakarta: FK Universitas Indonesia, 2004: 55-608.

Anda mungkin juga menyukai