Anda di halaman 1dari 47

MAKALAH ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN

“Rumpun Ilmu Agama atau Humaniora


dalam Perspektif Islam dan Barat”
Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Islam dan Ilmu Pengetahuan

Kelompok 7:
Eka Widyawati 11151040000004
Muhimmatun Nisa’ 11151040000008
Herra Octaviany 11151040000029
Puji Astuti 11151040000065
Desi Adi Sindoro 11151040000070
Miftahul Jannah 11151040000092
Cindy Karmila 11151040000105
Al-Hidayah 11151040000111

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa selalu kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah menunjukan jalan kebaikan dan kebenaran di dunia dan akhirat kepada umat manusia.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuan dan dukungannya dalam pembuatan makalah ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Prof. Dr. H. Abbudin Nata.,M.A sebagai dosen penanggung jawab mata
kuliah Islam dan Ilmu Pengetahuan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah Rumpun Ilmu Agama Atau Humaniora Dalam Perspektif
Islam Dan Barat.
Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan yang kami miliki dan semaksimal
mungkin. Namun, kami menyadiri bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu tidaklah
sempurna dan masih banyak kesalahan serta kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini
dari semua yang membaca makalah ini terutama dosen mata kuliah Islam dan Ilmu Pengetahuan
yang kami harapkan sebagai bahan koreksi untuk kami.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, apabila terdapat kata di dalam makalah ini yang
kurang berkenan mohon maaf yang sebesar-besarnya, semoga Allah SWT senantiasa meridhoi
segala usaha kita. Aamiin.

Penulis,

Kelompok 11

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................................. 2


DAFTAR ISI................................................................................................................................................. 3
BAB I ............................................................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN ........................................................................................................................................ 4
Latar Belakang .......................................................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................................... 5
1.3 Tujuan ................................................................................................................................................. 5
BAB II........................................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ........................................................................................................................................... 6
2.1 Pengertian Ilmu Agama Islam............................................................................................................ 6
2.2 Macam Macam Ilmu Agama Islam ..................................................................................................... 8
2.3 Hubungan Antara Ilmu-Ilmu Agama dan Fungsinya bagi Kehidupan ............................................. 27
2.4 Fungsi Agama dan Pengetahuan ....................................................................................................... 31
2.5 Tokoh-tokoh Pengembangan Ilmu Agama Islam ............................................................................. 31
2.6 Beberara tokoh-tokoh Pengembangan Ilmu Agama Islam di Indonesia ........................................... 32
2.7 Metodologi Ilmu-Ilmu Agama Islam ................................................................................................ 35
2.8 Perspektif islam tentang Ilmu agama ............................................................................................... 40
2.9 Perspektif Barat tentang ilmu agama ................................................................................................ 44
BAB III ....................................................................................................................................................... 46
PENUTUP .................................................................................................................................................. 46
3.1 Kesimpulan ....................................................................................................................................... 46
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 47

3
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Di tengah perkembangan teknologi pendidikan yang semakin maju dan fasilitas
pendidikan yang semakin berkembang, tidak dipungkiri bahwa krisis pendidikan telah menimpa
pendidikan modern di seluruh belahan negara, baik itu negara maju atau negara berkembang,
dimana sistem pendidikan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan negara, yang akhirnya
mengakibatkan jumlah dan angka pengangguran yang semakin meningkat. Meluasnya kekerasan
pada pelaku pendidikan, akibat krisis kepimimpinan dan hilangnya qudwah hasanah (contoh
yang baik) di keluarga dan di lembaga pendidikan, yang bersumber dari hilangnya aqidah
shahihah (aqidah yang benar) dan nilai-nilai kemuliaan dari wajah pendidikan modern.
Disaat yang bersamaan krisis kejiwaan juga melanda wajah pendidikan moderen, karena
salah memahami hakikat jiwa dan fitrah manusia, hal ini semakin diperburuk di mana pendidik,
guru gagal dalam mamahami kejiwaan dan karakter muridnya, yang mengakibatkan murid
semakin menjauh dari guru, hilangnya akhlaq, adab (etika) dan ketaatan murid kepada guru.
Dr.Zaglul an-Najjar dalam kitabnya Nazharat fi `Azmati at-Ta`lim al-Mu`ashir wa Hululiha al-
Islamiyah, melihat bahwa solusi terbaik dari krisis pendidikan modern ini adalah kembali kepada
konsep pendidikan Islam yang benar,1 karena ia merupakan satu-satunya konsep Rabbani yang
ada dan nyata di tengah ummat manusia hari ini.

1
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, 2005, Jakarta : Gaya Media Pratama. Cet Pertama.

Hal 30.

Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam Kapita Selekta Pendidikan Islam, 2001, Jakarta,

Pt.Gramedia, Hal 338

4
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ilmu agama?
2. Apa sajakah macam-macam ilmu agama?
3. Hubungan antara ilmu-ilmu agama?
4. Apa saja fungsi ilmu agama?
5. Siapa tokoh-tokoh pengembangan ilmu agama islam?
6. Metode penelitian ilmu agama islam?
7. Bagaimana pandangan islam tentang ilmu agama?
8. Bagaimana perspektif barat tentang rumpun ilmu agama?

1.3 Tujuan
1. Mahasiswa memhami pengertian ilmu agama
2. Mahasiwa memahami macam-macam ilmu agama
3. Mahasiswa mengetahui hubungan antara ilmu-ilmu agama
4. Mahasiswa mengetahui fungsi ilmu agama
5. Mahasiswa mengetahui tokoh-tokoh pengembangan ilmu agama islam
6. Mahasiswa mengetahui Metode penelitian ilmu agama islam
7. Mahasiswa mengetahui pandangan islam tentang ilmu agama
8. Mahasiswa mengetahui perspektif barat tentang rumpun ilmu agama

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ilmu Agama Islam


Islam adalah adalah agama yang Syamilah Mutakamilah, universal dan telah
disempurnakan Allah,syariat dan hukum-hukumnya adalah universal yang tidak terbatas oleh
ruang waktu dan tempat, sempurna dan menyempurnakan terhadap agama-agama sebelumnya
sehingga ia tidak hanya menjadi rahmat bagipengikutnya, namun juga merupakan Rahmatan Lil
Alamin, rahmat dan kasih sayang bagi semesta alam dan semua ummat manusia.
Ada dua sisi yang dapat kita gunakan untuk memahami pengertian agama islam, yaitu sisi
kebahasaan dan sisi peristilahan.
Dari segi kebahasaan Islam berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata salima yang
mengandung arti selamat, sentosa, dan damai. Dari kata salima aslama yang berarti berserah diri
masuk dalam kedamaian.
Pengertian Islam demikian itu, menurut Maulana Muhammad Ali dapat dipahami dari
firman Allah yang terdapat pada ayat 202 surat Al-Baqarah yang artinya, Hai orang-orang yang
beriman, masuklah kamu ke dalam islam secara kesuluruhannya, dan janganlah kamu turuti
langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Dari uraian di atas, kita sampai pada suatu kesimpulan bahwa kata Islam dari segi
kebahasaan mengandung arti patuh, tunduk, taat, dan berserah diri kepada Tuhan dalam upaya
mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Hal demikian
dilakukan atas kesadaran dan kemauan sendiri, bukan paksaan atau berpura-pura, malainkan
sebagai panggilan dari fitrah dirinya sebagai makhluk yang sejak dalam kandungan sudah
menyatakan patuh dan tunduk kepada Tuhan.
Secara istilah islam adalah nama bagi suatu agama yang berasal dari Allah SWT, nama
islam demikian itu memiliki perbedaan yang luar biasa dengan nama agama lainnya. Kata islam
tidak mempunyai hubungan dengan orang tertentu atau dari golongan manusia atau dari suatu
negeri. Kata islam adalah anama yang diberikan oleh Tuhan sendiri. Hal ini demikian dapat
dipahami dari petunjuk ayat-ayat Alquran diturunkan oleh Allah Swt.2

2
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, 2005, Jakarta : Gaya Media Pratama. Cet Pertama.

6
Ilmu dalam perspektif islam menurut Imam Ibnu Taimiyah adalah Ilmu an-Nafi`, semua
ilmu yang bermanfaat, dan mengajarkan ilmu tersebut kepada ummat manusia, karena sebab
mendasar tersesatnya ummat ini dari jalan Allah dan terjerumusnya mereka ke dalam kesesatan
adalah tidak adanya ilmu dalam beramal. Oleh karena itu menurut Ibnu Taimiyah menuntut ilmu
adalah Ibadah, safar dalam mencari ilmu adalah Jihad, mengajarkannya kepada orang yang
belum tahu adalah Shadaqah, dengan ilmu seorang hamba mengenal dan menyembah Allah serta
memuliakan dan mentauhidkannya.
Pendidikan dalam Islam dikenal dengan beberapa istilah, At-Tarbiyah, At-Ta`lim, At-
Ta`dib, At-Tahzib, Al-Islah, At-Tath`hir, At-Tazkiyah, At-Tansyi`ah.Adapun At-Tarbiyah atau
pendidikan dalam perspektif Islam menurut Abdurrahman An-Nahlawi dalam kitabnya Usul at-
Tarbiyah al-Islamiyah adalah: 1) Mensucikan, mengembangkan, membersihkan dan
mendekatkan setiap jiwa kepada tuhannya, menjauhkannya dari segala bentuk kejahatan, dan
menjaga fitrahnya. Dan 2) Mendidik atau memindahkan ma`lumat dan aqidah kedalam akal dan
hati setiap mu`min, agar mereka amalkan dan realisasikan dalam prilaku dan kehidupan.
Di tengah perkembangan teknologi pendidikan yang semakin maju dan fasilitas
pendidikan yang semakin berkembang, tidak dipungkiri bahwa krisis pendidikan telah menimpa
pendidikan modern di seluruh belahan Negara, baik itu Negara maju atau Negara berkembang,
dimana sistem pendidikan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan Negara, yang akhirnya
mengakibatkan jumlah dan angka pengangguran yang semakin meningkat. Meluasnya kekerasan
pada pelaku pendidikan, akibat krisis kepimimpinan dan hilangnya qudwah hasanah (contoh
yang baik) di keluarga dan di lembaga pendidikan, yang bersumber dari hilangnya aqidah
shahihah (aqidah yang benar) dan nilai-nilai kemuliaan dari wajah pendidikan modern.
Disaat yang bersamaan krisis kejiwaan juga melanda wajah pendidikan moderen, karena
salah memahami hakekat jiwa dan fitrah manusia, hal ini semakin diperburuk dimana pendidik,
guru gagal dalam mamahami kejiwaan dan karakter muridnya, yang mengakibatkan murid
semakin menjauh dari guru, hilangnya akhlaq, adab (etika) dan ketaatan murid kepada guru.

Hal 30.

Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam Kapita Selekta Pendidikan Islam, 2001, Jakarta,

Pt.Gramedia, Hal 338

7
Dr.Zaglul an-Najjar dalam kitabnya Nazharat fi `Azmati at-Ta`lim al-Mu`ashir wa Hululiha al-
Islamiyah, melihat bahwa solusi terbaik dari krisis pendidikan modern ini adalah kembali kepada
konsep pendidikan Islam yang benar, 3 karena ia merupakan satu-satunya konsep Rabbani yang
ada dan nyata di tengah ummat manusia hari ini.
Islam dalam sejarah, telah melahirkan ulama-ulama hebat dalam bidang pendidikan yang
telah banyak memberikan kontribusi yang besar terhadap kemajuan pendidikan dunia dan
khususnya pendidikan Islam, baik secara konsep maupun pemikiran.Seperti Imam Al-Ghazali,
Imam Ibnu Taimiyah, Ibnu Miskawaih, Ibnu Jama`ah dan ulama-ulama lainnya. Islam senantiasa
diteguhkan dan dimuliakan Allah dengan lahirnya ulama-ulama penerus estafet da`wah
Rasulullah, dalampendidikan modern, Islam senantiasa melahirkan ulama dan intelektual yang
memberikan kontribusi terhadap kemajuan pendidikan modern, baik itu secara konsep maupun
pemikiran, salah satunya adalah Prof.Dr.H.Abuddin Nata,MA.

2.2 Macam Macam Ilmu Agama Islam


Ilmu-ilmu islam, atau yang dalam bahasa Al Ghazali disebut dengan al-ulum al-syari’ah
merupakan ilmu-ilmu yang diperoleh dari nabi-nabi dan tidak hadir melaui akal, seperti
aritmatika, atau melalui riset, seperti ilmu kedokteran, atau melalui pendengaran seperti ilmu
bahasa. Sedangkan ilmu-ilmu umum atau disebut dengan ilmu intelektual(al-ulum al-
aqliyah)adalah berbagai ilmu yang di capai atau diperoleh melalui intelek manusia
semata(Osman, Bakar, 233).

Menurut Al-Ghazali, ilmu-ilmu agama Islam terdiri dari :

A. Ilmu tentang prinsip-prinsip dasar(ilmu ushul), yakni :


1. Ilmu tentang keesaan Ilahi(ilmu tauhid).

3
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, 2005, Jakarta : Gaya Media Pratama. Cet Pertama.

Hal 30.

Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam Kapita Selekta Pendidikan Islam, 2001, Jakarta,

Pt.Gramedia, Hal 338

8
2. Ilmu tentang kenabian, ilmu ini juga berkaitan dengan ihwal para sahabat serta
penerus religius dan spritualnya.
3. Ilmu tentang akhir dan eskatologis.
4. Ilmu tentang sumber pengetahuan religius. Sumber pengetahuan ini ada dua,
yakni sumber primer: Al-Qur’an dan Sunnah;dan sumber sekunder, yakni
ijma’dan tradisi para sahabat.
Ilmu tentang sumber pengetahuan religius terbagi menjadi dua kategori :
(a) ilmu-ilmu pengantar alat(muqaddimah), antara lain ilmu tulis menulis dan
berbagai cabang ilmu kebahasaan;(b) ilmu-ilmu penyempurna (mutammimah)
yang terdiri dari :

(1) Ilmu-ilmu Qur’an, termasuk di dalamnya ilmu tafsir


(2) Ilmu tentang tradisi nabi, seperti ilmu dirayat dan riwayat hadist4
(3) Ilmu-ilmu tentang pokok-pokok hukum islam
(4) Biografi yang berhubungan dengan kehidupan para nabi,sahabat dan orang-
orang terkenal.

B. Ilmu tentang cabang-cabang(furu’)atau prinsip-prinsip cabang, yaitu :


1. Ilmu tentang kewajiban manusia terhadap Tuhan(ibadah)
2. Ilmu tentang kewajiban manusia kepada masyarakat ilmu-ilmu ini terdiri dari :
(a) ilmu tentang transaksi, terutama transaksi bisnis dan keuangan,serta
hukum qishash ;(b) ilmu tentang kewajiban kontraktual. Ilmu ini berhubungan
terutama dengan hukum keluarga.
3. Ilmu tentang kewajiban manusia terhadap jiwanya sendiri. Ilmu ini membahas
kualitas-kualitas moral(ilmu akhlaq).5
Menurut Al-Syirazi,ilmu-ilmu agama ini dikategorikan dalam ilmu-ilmu
filsafat (al-ulum ghoiru hikmy). Ilmu-ilmu religius diklasifikasikan menurut dua
cara yang berbeda : (1) Klasifikasi dalam ilmu-ilmu naqliy dan ilmu-ilmu

4
H. Abuddin Nata, Suwito, Masykuri Abdillah dan Armai Arief. 2003. Integrasi ILMU AGAMA
& ILMU UMUM. Jakarta : UIN Jakarta Press
5
H. Abuddin Nata, Suwito, Masykuri Abdillah dan Armai Arief. Ibid,h.235
9
intelektual (aqliy);(2) Klasifikasi dalam ilmu tentang pokok-pokok (ushul)dan
ilmu tentang cabang-cabang (furu’).6

Yang dimaksud dengan ilmu naqliy adalah ilmu-ilmu yang hanya


dibangun dengan bukti-bukti yang di dengar atau dinukilkan dari otoritas-otoritas
yang relevan. Sebagai contoh, al-Syirazi menyebut ilmu mengenai amalan-amalan
ibadah seperti sholat dan puasa. Akal tidak dapat menetapkan prinsip religius
untuk apa seorang muslim tetap diharuskan berpuasa pada hari terakhir di bulan
Ramadhan tetapi dilarang pada hari keesokannya. Secara ilmiah, menurutnya ,
dua hari yang berturutan itu suit dibedakan satu sama lain. Hanya perkataan nabi
lah yang memutuskan perkara itu.

Sedangkan ilmu-ilmu aqliy adalah ilmu-ilmu yang dapat di tetapkan


dengan intelek manusia, tidak jadi masalah, apakah ada bukti naqliy-nya ataukah
tidak. Misalnya pengetahuan tentang keberadaan Allah dan pengetahuan tentang
realitas(hakekat) kenabian dapat di demontrasikan secara rasional.7

Sedangkan Al-Farabi memasukkan ilmu-ilmu religius pada kategori ilmu


yurisprudensi dan teologis dealektis, meski ia tetap memasukkannya pada
klasifikasi ilmu-ilmu filosofis. Yurisprudensi berhubungan dengan rukun iman
dan ritus-ritus religius dan perintah moral-legal. Sedangkan teologis dealektis ini
berkaitan dengan : (1) rukun iman; (2) aturan-aturan religius.8

Menurut Al-Farabi, yurisprudensi adalah seni yang memungkinkan


manusia menyimpulkan aturan dan ketetapan dari apa yang tidak secara eksplisit
ditentukan oleh Pemberi hukum berdasarkan hal-hal yang secara eksplisit
ditentukan dan di tetapkan oleh-Nya.9 Sedangkan ilmu teologis dialektis (kalam)
merupakan imu religius yang muncul dalam suatu tradisi religius pada suatu tahap
dalam sejarahnya karena kebutuhan untuk melakukan pembelaan sistematik

6
H. Abuddin Nata, Suwito, Masykuri Abdillah dan Armai Arief. 2003. Integrasi ILMU AGAMA
& ILMU UMUM. Jakarta : UIN Jakarta Press
7
H. Abuddin Nata, Suwito, Masykuri Abdillah dan Armai Arief. Ibid, h. 287.
8
H. Abuddin Nata, Suwito, Masykuri Abdillah dan Armai Arief. Ibid, h. 148.
9
H. Abuddin Nata, Suwito, Masykuri Abdillah dan Armai Arief. Ibid, h. 170.
10
terhadap ajaran-ajaran agama dari serangan berbagai sumber, misalnya dari
pengikut agama-agama atau aliran-aliran lain.

Dari cara pandang para cendekiawan islam abad pertengahan itu, dapat
dicirikan bahwa ilmu-ilmu agama islam dengan bebagai penyebutannya : ilmu
religius, ilmu religius, ilmu fardhlu’ain, ilmu nonfilsafat,ilmu yurisprudensi
(fiqih) teologis dialektis dan sebagainya, berasas pada prinsip-prinsip ketuhanan
(wahyu) dan kenabian (sunnah) tanpa harus mempertimbangkan potensi akal
dalam implementasinya. Semikian Al-Ghazali dan As-Syirazi.

Justru yang menarik adalah apa yang disampaikan Al-Farabi, yang


memasukkan ilmu-ilmu agama islam (yurisprudensi/fiqih dan teologis dialektis)
dalam kategori ilmu-ilmu filosofis. Dari sini Al-Farabi mencoba mengemukakan
pendapat bahwa ilmu-ilmu agama pun sebenarnya tidak lepas dari masalah
rasionalitas, interpretasi pemikiran manusia terhadap ajaran Tuhan dan Nabi. Atau
bisa juga, kategorisasi ilmu pengetahuan, dengan memasukkan ilmu agama
sebagai dari gagasan terhadap penyatuan ilmu pengetahuan yang di munculkan
Al-Farabi.10

2.3 Rumpun Ilmu Agama

2.3.1 Ilmu-ilmu al-Qur’an (‘ulum al-Quran)

Ilmu-ilmu al-Qur’an adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan cara memahami al-Qur’an.
Ilmu-ilmu ini meliputi : ‘ilm al-tafsir (ilmu tentang interpretasi al-Qur’an), ‘ilm asbab al-nuzul
(ilmu tentang latar belakang turunnya al-Qur’an), ‘ilm al-makiyy waal-madaniyy (ilmu tentang
ayat-ayat makiyyah dan madaniyyah), ‘ilm masikh wa mansukh (ilmu tentang penghapusan atau
pembatalan hukum yang terdapat dalam suatu ayat), dan ‘ilm al-qini’at (ilmu tentang variasi
bacaan al-Quran). Perumusan ilmu-ilmu ini muncul pada masa tabi’in (abad pertama hijriyah),
tetapi sebenarnya cikal bakal ilmu ini sudah ada sejak zaman nabi, bahkan beliau sendiri adalah
muffasir al-Quran. Misalnya beliau menafsirkan kata “zhulm” (Q.S. Al-an’am : 82) dengan
“syrik”, pada hal arti asal kata zhlum ini adalah aniaya. Hanya saja pada waktu itu belum ada
kebutuhan untuk merumuskan dan membukukan ilmu-ilmu al-Quran ini.

10
H. Abuddin Nata, Suwito, Masykuri Abdillah dan Armai Arief. 2003. Integrasi ILMU
AGAMA & ILMU UMUM. Jakarta : UIN Jakarta Press
11
Pada zaman sahabat sebenarnya sudah muncul para mufassir, misalnya para al-Khulafa
al-Rasyidun, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Zaid ibn Tsabir, Ubbay ibn Ka’b, Abu Musa al-Asy’ari dan
Abdullah ibn Zuabir. Demikian pula pada masa tabi’in, muncul para mufassir, seperti mujahid,
‘Atha’ ibnYasar, ‘Ikrimah, Qatadah, Hasan al-Bashri, Sa’id ibn Zubair, Zaid ibn Aslam,
sedangkan para mufassir yang terkenal pada masa tabi’in al-tabi’in adalah Anas ibn Malik yang
dikenal juga sebagai penulis hadist dan sekaligus pendiri mazhab Maliki. Mereka inilah yang
sebenarnya menjadi penyusun pertama ilmu-ilmu Al-Quran . dalam hal ini ilmu tafsir adalah
ilmu yang pertama kali muncul, yang pembukuannya dilakukan antara lain pleh Syu’bahibn
Hajjaj (w. 160 H), Sufyan ibn ‘Uyainah (w. 198 H) dan Waki’ ibn Jarrah (128-197 H).
penafsiran-penafsiran mereka itu lebih merupakan kumpulan dari ucapan-uacpan para sahabat
dantabi’in. yang paling lengkap dalam pembukaan tafsir pada waktu itu adalah tafsir yang ditulis
oleh Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H) yang berjudul Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran
(penjelasan yang menyeluruh tentang Tafsir al-Quran).

Pada abad ke-3 H, ‘Ali ibn Madini (w. 234 H) menulis kitab tentang asbab al-nuzal (latar
belakang turunnya al-Quran), Abu ‘Ubaid al-Qasim ibn salam menulis kitab tentang nasikh wa
masukh (penghapusan atau pembatalan ayat al-Quran), qiraat (variasi bacaan al-Quran) dan
tentang fadhail al-Quran (keutamaan-keutamaan al-Quran), Muhammad ibn Ayyub al-Dharis (w.
293 H) menulis tentang kitab tentang ayat-ayat makiyyah dan madaniyah. Pada abad ke-4 Abu
Bakt Muhammad ibn al-Qasim al-Anbari (w. 328 H) menulis kitab ‘Ajaib al-Quran (keajaiban-
keajaiban dalam al-Quran) membahas tentang keutamaan-keutamaan al-Quran , bacaan al-quran
dengan tujuh dialek, penulis mushaf, dan tentang jumlah surat, ayat dan kalimat dalam al-Quran .
pada masa ini juga penulisan tentang ilmu-ilmu al-Quran dilakukan oleh Abu al-Hasan
al_Asy’ari, abu Bakr al-Sijistani (w. 330 H), Abu Muhammad al-Qashab Muhammad ibn ‘Ali al-
Adfawi (w. 388 H).

Sebagai induk dari ilmu-ilmu al-Quran, ilmu tafsir memperoleh perhatian dan mencakup
wilayah kajian yang terbesar disbanding dengan ilmu-ilmu al-Quran lainnya, karena
sebagaimana disebutkan diatas aktivitas penafsiran al-Quran ini sudah muncul sejak masa nabi
dan masa sahabat. Meskipun para sahabat itu menerima bentuk pemahaman atau penafsirandari
nabi secara bersama-sama, tetapi setelah nabi wafat sebagian aplikasi dari pemahaman mereka
kepada al-Quran tidak sama, termasuk intensitas mereka dalam menggunakan rasio (ra’y). ‘umar
ibn khattab, misalnya banyak menggunakan rasio dalam pemahaman dan penerapan ajaran al-
Quran, sementara Abdullah bn ‘Umar dan ‘Abdullah ibn ‘Abbas lebih banyak menggunakan
Hadist.

Penafsiran para sahabat ini kemudian berpengaruh pada tabi’n yang dapat dikelompokkan
menjadi dua pola, yakni di Hijaz, yang dikenal sebagai ahl-hadist, dilakukan oleh murid-murid
‘Ibn ‘Abbas, dan di irak, yang dikenal sebagai ahl al-ar’y, dilakukan oleh murid murid ibn
mas’ud. Pembagian menjadi dua polamemang tidak terlepas dari kondisi sosiologi dan geografis
masing-masing pada waktu itu. Hejaz (mekah dan madinah) adalah daerah yang masih belum

12
berakulturasi dengan budaya-budaya luar, sementara peredaran hadist yang beredar didaerah ini
tidak banyak karena letaknya jauh dari pusat wahyu.

Kemudian pada masa tabi’ al-tabi’in metodologi penafsiran al-Quran itu mengarah
kepada dua pola , yakni tafsir bi al-mat’sur (tafsir yang didasarkan pada ucapan-ucapan para
sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in) dan tafsir bil al-ra’y (tafsir yang didasarkan pada rasio
semata). Diantara kitab tafsir jenis pertama adalah Jami’al Bayan fi Tafsir al-Quran oleh ibn
jarir al-Thabari (w. 310 H). Meskipun tafsir jenis ini disetujui oleh semua ulama, tetapi hal ini
tidak lepas dari kritik-kritik yang tajam, karena banyak diantara riwayat-riwayat sahabat dan
tabi’in bercampur dengan riwayat-riwayat yang tidak sahih, dan bahkan dengan riwayat-riwayat
yang dikemukakan orang Yahudi (Israiliyyat). Maka para mufassir pun berusaha berhati-hati
dalam penggunaan riwayat ini,terutama dengan memperhatikan sanad-sanadnya (rantai transmisi
Hadits).

Termasuk tafsir bi al-ra’y adalah tafsir yang dikemukakan oleh golongan-golongan Islam
yang beraneka macam, yang dimaksud untuk memperkuat keinginan-keinginan mereka, seperti
tafsir kaum Mu’tazilah cenderung memprioritaskan pemahaman akal, karena menurut mereka
“pengertian baik adalah sesuatu yang dianggap baik oleh akal, dan buruk adalah sesuatu yang
dianggap buruk oleh akal” Kitab tafsir aliran ini adalah tafsir al-Zamakhsyari (Mahmud ibn
‘Umar, w. 538 H) yang dikenal dengan al-Kasysyaf (Pembuka). Sedangkan tafsir shufi
cenderung memprioritaskan pemahaman yang mengarah kepada aspek kerohanian. Kitab tafsir
aliran ini yang terkenal adalah tafsir yang ditulis oleh Muhy al-Din ibn ‘Arabi (w. 638 H).
Sejalan dengan tafsir shufi ini adalah apa yang disebut dengan tafsir isyari, yakni penafsiran
ayat-ayat secara berbeda arti lahirnya, sperti tafsir al-Alusi (w. 1270 H) yang disebut Ruh al-
Ma’ani (Jiwa dari makna-makna al-Quran).

Adapun tafsir batbiniyyah adalah penafsiran yang hanya terbatas pada pengambilan arti
batinnya al-Quran saja dan meninggalkan arti lahirnya . Tafsir aliran ini dinilai menyalahi
ketentuan dasar syariah dan kaedah-kaedah, dan dengan demikian, dia jauh dari konteks al-
Qur’an yang sebenarnya. Termasuk dalam kategori tafsir bi al-ra’y juga adalah bentuk
penafsiran baru yang muncul pada abad-abad Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran (permata-permata
tentang penafsiran al-quran) oleh thanthawi Jauhari (1286-1358 H/ 1870-1949 M). Tafsir ini,
antara lain memuat uraian tentang berbagai ilmu pengetahuan umum yang diisyarattkan oleh
ayat-ayat al-Quran, suatu uraian yang tidak pernah dilakukan oleh para musafir.

2.3.2 Ilmu Hadist

Ilmu hadist ini meliputi dua bidang kajian dasar, yakni ilmu hadits riwayah dan ilmu
hadits dirayah. Ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mencakup tentang pemindahan (transfer)
segala sesuatau yang disandarkan kepada nabi, baik berupa ucapan, tindakan atau penetapannya.
Jadi subyekkajian ilmu hadits riwayah ini adalah ucapan, tindakan, sifat dan penetapan nabi ini,
dari segi penyampaiannya dari seseorang kepada orang lain. Kemudian perhatian ilmu iniadalah

13
pada hafalan sunnah dan penulisanya serta pemeliharaan dari kesalahan dalammentransfer segala
sesuatu yang disandarkan kepada nabi, dengan maksud agar umat islam dapat mengikuti nabi
dengan sebaik-baiknya.

Menurut sebagian besar ulama, hadts juga disebut sunnah. Hanya sebagian kecil ulama
saja, seperti ‘Abd al-Rahman al-Mahdi (135-196 H), yang membedakan antara keduanya, yakni
kalau sunnah itu berlaku terhadap apa yang dilakukan oleh nabi pada masa kenabiannya saja.
Disamping itu, khabar dan atsar juga sinonim dengan hadits. Hanya ulama khurasan
membedakannya, yakni kalau atsar itu hadits mawquf (hadist yang disandarkan kepada rasululah
), sedangkan khabar adalah hadist marfu’ (hadist yang disandarkan kepada sahabat). Ada satu
istilah lagi yang disebut dengan hadist qudsi, yakni hadist yang nabi sendiri secara eksplisit
menyandarkannya kepada Allah. Hadits qudsi ini dari segi makna (substansi) berasal dari Allah,
sedangkan dari segi redaksi berasal dari nabi.

Pada masa kenabian, hanya ada sedikit hadits nabi yang ditulis oleh para sahabat.
Memang mereka lebih menekankan pada penghapalan dan penulisan yat-ayat al-Quran yang
telah diwahyukan Allah kepada nabi secara bertahap. Nabi senidiri di awal kenabiaannya
mencegah para sahabat untukmenulis hadits, dan hanya mengizinkan penyampaiannya kepada
orang lain secara lisan.

Upaya-upaya pengetahuan dalam periwayatan hadits dan pembatasan dalam penulisannya


juga dilakukan oleh para al-Khulafa’ al-Rasyidun’, karena kekhawatiran akan bercampurnya al-
Quran dengan hadist. Pada masa tabi’in, pengetatan dalam periwayatan dan penulisan hadist
masih tetap berlangsung. Namun pengetatan ini lebih dikendurkan karena factor kekhawatiran
para sahabat akan bercampurnya al-Quran dengan hadist sudah tidak ada lagi.

Setelah itu pada awal abad kedua hijriyah banyak dari para tabi’in yang memerintahkan
muridnya untuk menulis hadist, yakni ketika kekhawatiran-kekhawatiran tersebut tidak adalagi,
seperti yang dilakukan syaid ibn al-Musayyab (w. 105) kepada muridnya, Abd al-Rahman Ibn
harmalah.orang yang pertama sekali menyambut perintah khalifah untuk membukukan hadist ini
adalah Muhammad ibn muslim ibn syihab al-Zuhri (w. 124 H)

Ilmu hadist dirayah adalah ilmu unutk mengetahui keadaan para periwayat hadist (raiwi)
dan syarat-syaratnya serta jenis-jenis hadist yang diriwayatkandari segi diterima atau ditolaknya.
Subyek kajian ilmu hadist dirayah ini adalah sanad dan matan hadist. Sanad adalah rantai
(silsilah)para rawi yang menstrasfer hadist dari sumber pertama. Sedangkan matan adalah lafazh
hadist itu sendiri dan bahasan pada matan ini adalah segi kesahehan dan kelemahannya.Dengan
hadist dirayah ini kemudian muncul klasifikasi hadist menjadi tiga yakni hadist shaheh, hadist
hasan dan hadist da’if.

ilmu hadist dirayah ini juga sering disebut dengan istilah ‘ilm al-Hadist dan ushul al-
Hadist. Banyak sekali macam-macam ilmu yang masuk dalam ilmu hadist ini, sehingga sering
para ilmu penulis ini mengatakan bahwa bahasannya tidak mencakup semuanya. Diantara ilmu-

14
ilmu hadist yang terpenting adalah ‘ilm al-Jarh wa ta’dil (ilmu tentang cara menilai baik dan
buruknya periwayat hadist), ‘ilm rijal al-Hadist (ilmu tentang tokoh-tokoh Hadist), ‘ilm
mukhtalaf al-Hadist (ilmu yang melahirkan hadist-hadist yang lahirnya kontradiktif serta
kemungkinan untuk mengkompromikannya), ‘ilm ‘ilal al-Hadist (ilmu tentang sebab-sebab yang
menjadikan tercelanya hadist-hadist), ‘ilm gharib al-Hadist (ilmu tentang kata-kata dalam hadist
yang mengandung arti samar-samar atau aneh) dan ‘ilm nasih al-Hadist wa mansukhih (ilmu
tentang kontradiktif, yang tidak dikompromikan, sehingga jalan keluarnya adalah dengan cara
menjadikan salah satunyasebagai penghapus hukum yang ada pada hadist lainnya).

2.3.3 Ilmu Kalam

Ilmu Kalam adalah ilmu yang mempelajari tentang prinsip-prinsip dasar keimanan
kepada Allah. Ilmu ini disebut ‘ilm kalam, karena para ahli ilmu ini pada masa lalu banyak
menggunakan kata-kata atau perdebatan untuk mempertahankan pendapat dan pendirian masing
masing. Ia disebut juga ‘ilm ushul al-din, Karen ia mepelajari tentang prinsip-prinsip dasar
agama. Kemudian ia disebut dengan ‘ilm tawhid, karena pada intinya ia membahas tentang
keesaan Allah. Disamping itu, ia juga disebut dengan ‘aqiqah, karena ia membahas tentang
keyakinan dasar agama. Selanjutnya, dalam bahasa asing ia sering disebut “Islamic theology”,
karena ia memang membicarakan tentang persoalan Ketuhanan. Hanya, sebenarnya terdapat
perbedaan antara teologi Islam dengan teologi lainnya, kalau yang dimaksud dengan teologi
Islam ini adalah ilmu kalam atau ilmu, karena dalam agama lainnya, seperti dalam agama
Kristen, teologi mencakup semua doktrin agama.

Ilmu kalam muncul sebagai akibat dari adanya perselisihan politik diantara umat Islam
yang muncul pertama kali pada masa Khalifah Ali ibn Abu Thalib (35-40 H/ 656-661 M). setelah
Utsman ibn Affan dibunuh oleh para pemberontak (oposisi) yang marah atas kepemimpinannya
yang semakin lemah. Ali menjadi calon terkuat sebagai khalifah keempat. Namun pengangkatan
ini segera mendapat reaksi yang kuat dari beberapa orang yang ingin menjadi khalifah disamping
tantangan dari kelompok yang menuntut diadakannya pengadilan terhadap para pembunuh
‘Utsman, dengan terjadinya perang Siffin (37 H). rintangan pertama dapat diselesaikan meskipun
memakan korban yang tidak sedikit juga. Sedangkan rintangan kedua yang diselesaikan dengan
jalan arbitrase telah membawa akibat terjadinya perpecahan dikalangan kaum Muslimin.

Persoalan politik tersebut kemudian berkembang menjadi persoalan teologi, yakni


persoalan kafir, mertad, mu’min dan muslim. Adalam kaum Khawarij yang pertama sekali
mengemukakan persoalan apakah dosa besar itu dapat mengakibatkan status sesorang tetap
muslim atau kafir. Dalam hal ini, terdapat tiga aliran dalam teologi islam. Aliran Khawarij
menganggap pelaku dosa besar sebagai kafir atau musyrik. Paham ini menimbulkan reaksi dari
kaum Murji’ah yang berpendapat sebaliknya, yakni bahwa yang menentukan Islam atau tidaknya
seseorang adalh imannya dan bukan perbuataannya. Semula aliran ini bermaksud untuk
menunjukkan sikap netral terhadap pertikaiian antara kelompok-kelompok politik yang ada.

15
Kemudian persoalan dosa besar tersebut berkembang ke persoalan taqdir (predestination)
dan ikhtiyar (free will). Dalam konteks ini, kaum Murji’ah berpendapat bahwa manusia tidak
memiliki kemampuan untuk berikhtiah dan bertindak, karena semuanya telah ditentukan oleh
Allah. Pendukung faham ini dikenal sebagai kaum jabbariyah (fatalis) yang tokoh pendirinya
bernama Jahm ibn Shafwan (w. 128 H). Dalam kenyataannya, Jahm inilah orang yang pertama
kali banyak mengungkapkan persoalan-persoalan ilmu kalam. Disamping mendukung faham jabr
(fatalism), ia juga menafikkan sifat-sifat Allah, seperti mendengar, melihat, berbicara dsb.
Karena kalau Allah memiliki sifat-sifat ini berarti Ia sama dengan makhluknya.

Faham Jamn tersebut sebenarnya dipengaruhi oleh al-Ja’d ibn Dirham, yang pada
mulanya dipengaruhi oleh perdebatan teologis yang dilakukan oleh para theolog Nasrani dan
Yahudi, karena Ja’d ini memang besar dilingkungan mereka. Ternyata pemikiran-pemikirannya
mendapat dukungan dari khalifah Marwan ibn Muhammad (127-133 H/ 744-750 M), sehingga
khalifah ini dijuluki dengan sebutan Marwan al-Ja’di. Khalifah-khalifah Umawiyah sebelum
Marwan menentang faham al-Ja’d ini, dan bahkan al-Ja’d mati dibunuh atas perintah khalifah
Hisyam ibn Abdul Malik (106-126 H/ 724-742 M), karena dianggap mempunyai faham yang
menyalahi Islam, yakni faham tentang Al-quran sebagai makhluk, dan bukan karena faham jabr
nya (fatalism).

Sebagai reaksi dari faham jabr ini muncul faham ikhtiyar, yakni bahwa manusia itu bebas
berkehendak dan menentukan perbuatannya, dan dengan kehendak ini ia pun bisa melakukan
mana yang benar dan mana yang yang salah. Oleh karena itu, faham ini juga disebut faham
qadariyyah. Faham ini pertama sekali dikemukakan oleh Ghaylan ibn Marwan al-Dimasyqi,
sehingga oleh sebagai ulama ia dianggap sebagai tokoh Mu’tazilah. Namun, dalam hal konsep
iman ia cenderung kepada faham Murji’ah, yakni pengakuan akan adanya Allah dan rasul-Nya,
walaupun tanpa diikuti dengan perbuatan. Oleh karena itu, disuatu waktu ia disebut Mu’tazili
(pengikut aliran Mu’tazilah) atau qadari (pengikut aliran Qadariyah), dan dilain waktu ia disebut
juga Murji’i (pengikut aliran Murji’ah). Penyebaran faham qadariyyah ini dibantu oleh seorang
teman Ghaylan yang bernama Ma’bad ibn Khalid al-Juhani (w. 80 H), sehingga ada pendapat
yang menyatakan, bahwa Ma’bad lah orang pertama yang mengemukakan faham ini.

Kalau diatas telah disebutkan, bahwa dalam persoalan konsep iman ini ada dua aliran,
yakni Khawarij dan Murji’ah, maka muncul aliran ketiga, yakni Mu’tazilah yang tidak menerima
kedua paham ini. Menurut Mu’tazilah, orang yang melakukan dosa besar tidak dapat disebut
kafir dan tidak pula mukmin, melainkan dalam posisi diantara keduanya (al- manzilah bayn al-
manzilatyn). Sedangkan dalam hal perbuatan manusia, ia mendukung faham ikhtiyar. Aliran ini
bermula dari pendapat dan sikap Washil ibn ‘Atha’ (80-131 H/ 699-748 M) yang memisahkan
diri dari gurunya, Hasan al-Bashri. Ceritanya, dalam suatu pengajian Hasan al-Bashri ada
seorang bertanya tentang status seorang Muslim yang melakukan dosa besar. Ketika Hasan al-
Bashri sedang berfikir, Washil mengeluarkan pendapat, bahwa orang itu berada pada posisi
diantara mukmin dan kafir. Pendapat Hasan sendiri adalah bahwa orang itu adalah seorang
munafik.
16
Meski dalam hal tindakan manusia faham Washil bertolak belakang dengan Jamn yang
berfaham fatalism, namun dalam hal sifat-sifat Allah serta dalam hal sifat kemakhlukan Al-quran
Washil sependapat dengan Jamn. Dalam sejarahnya, aliran ini pernah mempunyai pengaruh
cukup besar terhadap umat Islam, terutama dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan.
Pengaruh ini mencapai puncaknya pada masa khalifah-khalifah Dinasti Abbasiyah, terutaman
pada masa-masa khalifah al-Ma’mun (198-218 H/ 813-833 M), al-Mu’tashim (218-228 H/ 833-
842 M) dan al-Watsiq (228-233 H/ 842-847 M). pada masa ketiga khalifah ini aliran Mu’tazilah
dijadikan sebagai aliran resmi, tetapi kemudian dibatasi oleh khalifah al-Mutawakkil (233-247 H
/ 847-861 M).

Tokoh-tokoh Mu’tazilah generasi kedua adalah Abu-al-Hudzail al’Allaf (134-235 H) dan


Ibrahim ibn Sayyar al-Nazhzham (185-221 H). kedua tokoh inilah yang menyusun dasar-dasar
faham Mu’tazilah secara lebih sistematis. Pada penghujung abad ketiga muncul seorang tokoh
Mu’tazilah generasi ketiga yang bernama Abu Ali al-Jubba’I (235-303 H), yang salah seorang
muridnya bernama Abu al-Hasan al-Asy’ari (260-323 H / 873-935 M). Semula al-Asy’ari
menjadi pengikut Mu’tazilah, tetapi setelah berumur 40 tahun, ia meninggalkan aliran ini karena
ia tidak sependapat dengan gurunya dalam dialog tentang status seorang mukmin, kafir dan anak
yang meninggal dunia. Menurut al-Jubba’i, si mukmin akan masuk surga dan si kafir akan masuk
neraka; sedangkan si anak akan bebas dari neraka tetapi tidak bisa memperoleh tempat yang
tinggi di surga, karena ia belum memiliki kepatuhan kepada Tuhan. Menanggapi pertanyaan al-
Asy’ari : “kalau si anak menyatakan kepada Tuhan bahwa itu bukan salahnya”, al-Jubba’I
menjawab, bahwa Tuhan mengetahui jika anak itu terus hidup ia akan menjadi kafir. Kemudian
menanggapi pertanyaan al-Asy’ari lagi: “kalau si kafir memprotes kenapa Tuhan tidak juga
memperlakukan dirinya sebagaimana terhadap si anak”, al-Jubba’I terdiam dan tidak menjawab.

Setelah peristiwa itu, al-Asy’ari kemudian menyatakan keluar dari Mu’tazilah karena
menurutnya prinsip-prinsipdasar Mu’tazilah itu tidak benar. Ia pun mendirikan aliran Ahl al-
Sunnah wa al-Jama’ah. Kata “al-sunnah”disini dimaksudkan sebagai lawan dari faham
Mu’tazilah yang sering meninggalkan Sunnah, sedangkan kata “al-Jama’ah” dimaksudkan
untuk menunjukkan bahwa faham ini sesuai dengan faham sebagian besar umat Islam. Dalam
persoalan orang mukmin yang melakukan dosa besar, al-Asy’ari berpendapat bahwa orang ini
tetap mukmin tetapi fasiq; sedangkan dalam persoalan perbuatan manusia, ia mempercayai
adanya ketentuan (taqdir) Allah, yang berarti bahwa Allah lah yang menciptakan perbuatan
manusia itu. Disamping itu, berbeda dengan aliran Mu’tazilah yang tidak mengakui adanya sifat-
sifat Allah, al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang kemudian dikenal
dengan “sifat dua puluh”. Untuk menjelaskan faham barunya itu ia menulis buku Al-Luma ‘ fi al-
Radd ‘ala Abl al-Ziyagh wa al-Bida’ (Sorotan tentang Penolakan terhadap Kelompok
Penyimpang dan Pembuat Bid’ah) dan Al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah (Penjelasan tentang
Dasar-dasar Agama).

Pendiri lain aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah Abu Mansur al-Maturidi (w. 333
H). meskipun faham al-Asy’ari dan al-Maturidi ini muncul sebagai reaksi dari faham Mu’tazilah,
17
tetapi faham keduanya tidak selalu sama. Mereka memiliki persamaan, misalnya tentang sifat-
sifat Allah, tentang kekekalan Al-quran dan tentang orang mukmin yang melakukan dosa besar.
Dalam hal perbuatan manusia, al-Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah, yakni manusia
sendirilah yang menentukan perbuatannya. Pada umumnya, pengikut mazhab Maliki, Syafi’I dan
Hanbali mengikuti faham teologi al-Asy’ari sedangkan pengikut mazhab Hanafi mengikuti
faham al-Maturidi. Namun demikian, pada abad ke- 7 H dikalangan pengikut mazhab Hanbali
muncul gerakan baru, yang disebut aliran Salaf, yakni faham yang menganjurkan mengikuti
faham kaum Muslimin pada masa dahulu (para sahabat). Tokoh aliran ini adalah Ibn Taimiyyah
(661-728 H) di Suriah, yang kemudian pada abad ke-12 H dihidupkan kembali oleh Muhammad
Ibn ‘Abd al-Wahhab (1115-1201 H) di semenanjung Arabia.

Aliran tersebut mengkritik penggunaan logika dalam memahami teologi islam, dan
menganjurkan kembali kepada metodelogi yang dipergunakan oleh orang-orang Salaf
(terdahulu), yakni para sahabat dan tabi’in. konsekuensinya adalah adanya pemahaman yang
bersifat harfiah terhadap teks-teks Al-quran dan Hadist, termasuk dalam memahami ayat-ayat
mutasyabihat (sifat-sifat Allah yang serupa dengan sifat-sifat makhluk), seperti “tangan Allah”,
“wajah Tuhanmu”, dsb. Hanya semua persoalan teologi, menurut aliran ini digolongkan menjadi
satu persoalan saja, yakni “Keesaan (Ketahidan) Allah”, baik keesan dalam zat, sifat maupun
ibadah. Aliran Salaf ini kemudian juga dihidupkan kembali di Mesir oleh Muhammad ‘Abduh
(1849-1905), yang faham Wahhabi dan faham ‘Abduh, terutama dalam hal pandangan dunia.
Wahhabi cenderung pada konservatisme, sedangkan ‘Abduh cenderung kepada modernisme.
Meskipun dalam beberapa hal terdapat perbedaan antara faham Salaf, dengan faham al-Asy’ari
dan al-Maturidi, namun aliran Salaf ini masih dikelompokkan kedalam aliran Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah.

2.3.4 Filsafat Islam

Cukup panjang perdebatan tentang, apakah ada filsafat Islam atau tidak. Namun pada
masa kini perdebatan ini boleh dikatakan tidak muncul lagi, dan orang dengan mudah
mendapatkan literatur tentang filsafat Islam ini. Memang di masa-masa awal sejarah Islam
disiplin ilmu filsafat ini belum ada, dan baru muncul pada masa Dinasti Umayyah, kemudian
berkembang pada masa Dinasti Abbasiyyah., terutama pada masa khalifah al-Ma’mun (198-218
H / 812-833 M). Ia memerintahkan penterjemahan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa
Arab dan mendirikan Bayt al-Hikmah sebagai pusat penterjemahan dan kajian ilmu pengetahaun.
Pengelolaan lembaga ini dipercayakan kepada Hunain ibn Ishaq (w. 873 M), seorang Kristen
yang pandai berbahasa Arab, Siriac dan Yunani. Oleh karena itu dapat difahami kalau filsafat
Islam ini banyak diperngaruhi oleh filsafat Yunani. Di kalangan umat Islam pada waktu itu,
kaum Mu’tazilah lah yang banyaak tertarik pada filsafat ini, karena Mu’tazilah lah yang banyak

18
menggunakan rasio dalam pemikirannya. Tokoh-tokoh Mu’tazilah yang telah disebutkan di atas,
seperti Abu al-Hudzayl (w. 235 H), al-Nazhzham (w. 221 H) dan al-Jubba’i (w. 303), juga
tertarik dengan pemikiran filsafat ini.

Ilmu filsafat diterima dan kemudian dikembangkan menjadi filsafat Islam, karena obyek
bahasan dalam Islam juga meliputi bahasan dalam filsafat, yakni tentang hakekat kehidupan,
alam, benda, manusia, dsb. Di samping itu, pada waktu itu filsafat mengandung ilmu-ilmu umum
yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan umat manusia, seperti ilmu kedokteran, ilmu kimia,
biologi, ilmu falak, dsb. Namun demikian, tetap saja terdapat perbedaan antara filsafat Yunani
(kemudian juga filsafat Barat sekulat) dengan filsafat yang dikembangkan oleh filosuf Muslim.
Kalau filsafat Yunani itu bersifat bebas tanpa ada batasan agama, maka filsafat Islam di samping
bersifat rasional, juga bersifat religius dan spiritual, sehingga filsafat Islam juga terkait dengan
persoalan ilmu kalam (teologi), ilmu akhlaq (etika) dan ilmu tasawur (mistisisme).

Filosuf Islam terkenal yang pertama adalah Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq al-Kindi (796-
873 M). Ia sebenarnya bukan hanya seorang filosuf, tetapi juga seorang ilmuan. Buku-buku yang
ditulisnya berkaitan dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti matematika, astronomi,
farmasi, psikologi, dsb. Ia pun menjelaskan, bahwa tidak ada pertentangam antara filsafat dengan
agama, meskipun dalam pemikirannya banyak diperngaruhi oleh Aristotales, Plato dan Neo-
Platonisme. Kemudian muncul filosuf-filosuf yang tak kalah populer dengan al-Kindi. Abu
Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan al-Farabi (257-339 H / 872-999 M), misalnya di
samping seorang filosuf, juga seorang ilmuwan yang menulis buku-buku tentang filsafat, logika,
ilmu politik, fisika, psikologi, matematika, kimia, dsb. Kalau al-Kindi mendapat gelar “al-
Failasuf al-’Arabi” (Filosuf Arab), maka al-Farabi mendapat gelar ”al-Mu’ailim al-Tsúni”
(Guru Kedua, gelar Guru Pertama diberikan kepada Aristotales). Dalam pemikiran politik, ia
bahkan dinilai pencetus pertama ide-ide tentang sistem politik yang kemudian dikenal dengan
sistem demokrasi.

Filosuf Muslim yang lebih populer dari keduanya adalah Abu ‘Ali Husain ibn ‘Abdullah
ibn Sina (980-1037 M). Di samping seorang filosuf, ia juga dikenal sebagai seorang dokter, dan
telah menulis dua buah buku, yakni Al Qúnún fi al-Thibb (Dasar-Dasar Ilmu Kedokteran) dan Al-
Syifâ’ (Pengobatan). Setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, buku yang pertama menjadi

19
buku pegangan di universitas-universitas di Eropa, sehingga Ibn Sina diberi gelar sebagai “the
Prince of the Physicians”. Filosuf lainnya adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’qub Miskawaih
(330-420 H). Ia lebih menekankan pemikirannya pada filsafat akhlaq, dan dalam bidang ini ia
telah menulis sebuah buku berjudul Tahdzib al-Akhlâq (Pembersihan Akhlaq).

Namun, pemikiran pada filosuf ini juga mendapatkan kritik dari para ulama, termasuk
filosuf sendiri, antara lain Abu Hamid al-Ghazali (450-550 H / 1059-1111 M). Meskipun ia lebih
dikenal sebagai sufi yang ahli dalam ilmu kalam dan fiqh, tetapi semula ia berangkat dari
penekunannya dibidang filsafat. Ceritanya, sebagai filosuf ia merasa ragu-ragu dengan kebenaran
pemikiran filsafatnya, kemudian ia dapat menemukan kebenaran hakiki melalui tasawuf. Maka ia
pun mengkritik beberapa hal dalam filsafat yang dinilai tidak sesuai dengan ajaran Islam,
sebagaimana diungkapkan melalui bukunya, Tahâfut al Falâsifah (Kekacauan para Filosuf).
Kritik al-Ghazali terhadap filsafat ternyata mendapatkan jawaban dari filosuf-filosuf Muslim di
bagian Barat dunia Islam. Salah seorang filosuf yang paling menonjol di wilayah ini adalah Abu
Wahid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd (1126-1198 M). Sebagaimana filosuf-
filosuf Muslim lainnya, ia juga menguasai ilmu-ilmu pengetahuan umum lainnya, terutama ilmu
kedokteran. Ia menulis buku al-Kulliyyât tentang ilmu kedokteran ini; dan juga menulis buku
Tahâfut al-Tahâfut (Kekacauan dari Kekacauan) sebagai jawaban terhadap buku al-Ghazali,
Tahâfut al-Falâsifah.

2.3.5 Ilmu Akhlaq dan Tasawuf

Ilmu akhlaq adalah ilmu yang mempelajari tentang sifat-sifat terpuji dan cara-cara untuk
memilikinya, serta mempelajari tentang sifat-sifat tercela dan cara-cara untuk menghindarinya.
Akhlaq atau etika juga berarti ilmu yang menjelaskan tentang baik dan buruk, yang pertama
harus dilakukan oleh manusia,sedangkan yang kedua harus di hindarkan. Namun arti akhlaq itu
sendiri sifat dan sikap yang dilakukan oleh seseorang, meliputi baik dan buruk, yang juga
merupakan objek pembicaraan dalam agama dan filsafat. Tentu saja teori tentang baik dan buruk
dalam agama berbeda dengan teori dalam filsafat, meskipun dalam beberapa hal juga terdapat
kesamaan di antara keduanya,sebagaimana terlihat dalam contoh-contoh di bawah. Yang jelas,
ukuran baik buruk dalam islam itu di konfirmasikan oleh ajaran islam. Sedangkan dalam filsafat,
bisa saja ukuran baik-buruk ini berdasarkan faham kesenangan semata(hedonisme), yang dalam
beberaoa hal mengabaikan aspek spiritualitas dan bahkan morallitas itu sendiri.

Dalam islam kata ”akhlaq” ini disebutkan secara jelas dalam al- Quran dan Hadist.
Bahkan dalam sebuah Hadist disebutkan bahwa missi utama kenabian Muhammad adalah untuk

20
menyempurnakan akhlaq yang mulia(innama bu’itsu li utammim makarim al-akhlaq). Islam pun
mengakui bahwa sebelum islam datang persoalan akhlaq ini sudah muncul dalam kehidupan
masyarakat jahiliyah. Demikuan pula, bangsa-bangsa lain kaum kafir Arab juga telah memiliki
ukuran-ukuran penilaian akhlaq, baik karena pengaruh agama Yahudi,Nasrani atau pengaruh
filsafay-filsafat Yunani, India,Persia, dsb. Namun demikian, ukuran tentang baik dan buruknya
ini tidak semua bersifat universal atau sama antara satu budaya dan lainnya. Misalnya, perbuatan
mauk-mabukan di lingkungan masyarakat jahiliyah(dan juga lingkungan sebagian masyarakat
modern)dianggap hal yang wajar, tetapi hal ini dinilai sebagai sifat tercela dalam islam.

Sebagai pembawa risalah yang bertujuan untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia,
dengan sendirinya Nabi berakhlaq mulia,bahkan sejak masa kecilnya. Para sahabat pun
menjadikan semua perilaku nabi sebagai standar akhlak yang mulia. Demikian pula, para sahabat
dan tab’in dan yang hidup sesudahnya. Sosialisasi nilai-nilai akhlaq mulia ini dilakukan dalam
Al-Qur’an dan Hadist,maupun melalui proses imitasi terhadap perilaku generasi sebelumnya.
Namun hal ini bukan berarti bahwa generasi setelahn tab’in itu juga memiliki akhlaq yang tinggi
sebagaimana generasi pendahulunya. Dalam kenyataannya, kondisi umum pada waktu itu baik di
lingkungan masyarakat terutama di lingkungan penguasa telah terjadi kemerosotan akhlaq yang
cukup tajam dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan filsafat islam ternyata tidak otomatis
mengakibatkan berkembangnya akhlaq yang tinggi.

Jadi di masa-masa awal islam, belum ada rumusan yang sistematis tentang ilmu akhlaq,
sebagaimana terjadi pula dalam bidang-bidang lainnya. Munculnya kajian akhlaq sebagai sebuah
ilmu adalah bersamaan dengan berkembangnya filsafat di kalangan umat islam, meskipun pada
umumnya para filosuf membahas aspek ini hanya secara garis besarnya saja. Di banding dengan
ilmu-ilmu agama lainnya, ilmu akhlaq ini termasuk muncul belakangan, karena ilmu ini baru
berkembang menjadi ilmu yang sistematis sejak munculnya kitab Tabdzib al Akhaq(pembersh
akhlaq) oleh Ibn Maskawaih(450-5-5H) dan kemudian disusul kitab Ihya’Ulum al-Din
(menghidupkan ilmu-ilmu agama) oleh Al-Ghazali (405-505H).

Pemahaman al-Ghazali tentang ilmu akhlaq menyatu dengan ilmu tasawuf,sebagaimana


yang diungkapkan dalam kitabnya Ihya’Ulum al-Din. Ilmu tasawuf adalah ilmu yang membahas
cara-cara seseorang mendekatkan dirinya kepada Allah. Definisi lain tentang tasawuf adalah
mengambil jalan hidup secara zuhud ( Al-Zuhd), yakni menjauhkan diri dari gemerlapnya dunia
dan segala bentuknya, disertai dengan pelaksanaan berbagai bentuk ibadah kepada Allah. Jalan
menuju tasawuf ini dilakukan dengan takhlali,tahalli dan tajalli. Takhalli adalah upaya
mengosongkan diri dari pada kenikmatan hidup duniawi, sedangkan tahalli adalah upaya
menghiasi diri dengan pemilikan sifat,sikap dan perbuatan.

Banyak teori tentang asal usul kata serta praktik “tashawwuf”ini, apakah ia berasal dari
islam sendiri atau dari luar islam(pengaruh rahib Kristen,ajaran Budha,filsafat phthagoras) atau
karena para sufi itu memakai wol kasar(shof)sebagai protes terhadap kemewahan para penguasa.
Terlepas dari teori-teori ini, yang jelas praktik tasawuf bisa timbul dalam masyarakat islam,

21
karena islam mengajarkan kedekatan manusia dengan Allah,sebagaimana banyak diungkapkan
dalam berbagai ayat al-Qur’an dan Hadist, antara lain Q.S Al-Baqarah;186. Kepergian Nabi
Muhammad ke gua Hira’ untuk mengasingkan diri dan berkontempelasi(tahannuts),oleh kaum
sufi dan banyak ulama dianggap sebagai praktek tasawuf, karena di gua ini ia berusaha untuk
membersihkan diri, memikirkan tentang penciptaan alam dan untuk memperoleh petunjuk dari
Allah pencipta alam semesta. Di samping itu, Nabi juga menempuh hidup sederhana disertai
dengan pemilikan sifat-sifat mulia,seperti zuhud(tidak menyukai kesenangan dunia).
Qana’ah(menerima apa adanya),sabar, dll.

Demikian pula, banyak diantara para sahabat yang melakukan praktek tasawuf,misalnya
Abdullah ibn ‘Ummar,Abu al-Darda’, Abu Dzaarr al-Ghiffari, dsb. Namun mereka belum
disebut sebagai sufi, dn belum juga disebut sebagai zahid (orang yang memilih jalan hidup
dengan mengutamakan aspek kerohanian dan meninggalkan kesenangan dunia), karena pada
waktu itu beum ada kedua istilah ini. Kehidupan semacam ini juga dilakukan oleh sebagian
tabi’in, dan bahkan sejak masa tabi’in ini lah muncul istilah zahid. Zahid pertama adalah Hasan
al-Bashri(21-110H/642-728 M), seorang tabi’i Bashrah yang dikenal sangan alim. Ia belajar
langsung dari para sahabat serta mengajarkan ilmunya kepada umat termasuk Washil ibn Atha’
sebelum menjadi M.i’tazilah.

Munculnya sikap zuhud tersebut adalah sebagai reaksi terhadap sikap hidup mewah para
khalifah(dari Dinasti Umayyah maupun Dinasti Abbasiyyah) dan keluarganya serta para pejabat
negara pada masa itu, yang berbeda sama sekali dengan sikap hidup yang di contohkan oleh Nab
dan al-Khualafa al –Rasyidun. Di antara para khalifah itu hanya khalifah ‘Umar Ibn Aziz (99-
102 H /717-720 M ) yang memiliki sikap hidup sebagaimana para al-Khulafa al-Rasyidun. Sikap
zuhud ini pertama muncul di Bashrah dan Kufah, namun para zuhud kufahlah yang pertama kali
memakai pakaian wol kasar sebagai reaksi terhadap pakaian sutera yang dipakaioleh para
penguasa. Di antara zahid Kufah ini Sufyan al-Tsauri (97-161 H ) Abu Hasyim (w. 150H ) jabir
Ibn Hasyim (w. 190 H ). Di antara zahid Bashrah, selain Hasan al –Bashri adalah Rabi’ah al-
Adawiyah (96-185 H) 714-801 M ) yang terkenal dengan teori “hubb “(cinta)” kepada Allah.
Dari kedua kota inilah aliran zuhud pindah ke berbagai kota, sepert di Khurasan dengan
munculnya Ibrahim Ibn Adharn (w. 162 H), dan Madinah dengan munculnya Ja’far al – Shadiq
(w. 148 H)

Aliran zuhud tersebut pada akhir abad kedua Hijriah, yakni pada masa Khalifah harun al-
Rasyid (170-194 H / 786-809 M), berkembang menjadi aliran tasawuf. Fungsinya pun
mengalami perkembangan, kalau semula alran zuhud berfungsi sebagai cara untuk beribadah
kepada Allah, maka setelah berkembangnya aliran tasawuf ia menjadi cara untuk
ma’rifah(melihat dengan mata hati) kepada Allah. Adalah Ma’uf al-Karakhi(w.200 H) yang
dipandang sangat berjasa dalam meletakkan dasar-dasar tasawuf ini. Ia mendefinisikan faham
tasawufnya dengan berdasarkan pada faham “al-hubb” yang kemukan oleh Rabi’ah Adawiyyah.
Dan faham ini membawa pengaruh pada perubahan tujuan aliran spiritual ini. Kalau jalan hidup

22
spiritual pada masa-masa sebelumnya bertujuan untuk membebaskan diri dari siksa neraka,maka
tujuan dari tasawufnya adalah untuk memperoleh ma’rifah kepada Allah.

Tokoh-tokoh sufi lannya adalah Dzu al-Nun al-Mishti (156-245 ), Abu Yazid al –
Busthami (w. 261 H 877 M) , Abu al-Qasim al-Junaid(w. 297 H/910 M) dan Husain Ibn
Manshur al-Hallaj(244-309 H atau 258-922 M). Dua abad berikutnya muncul al-Ghazali (450-
550 H/1048-1111 M ), yang pemikirannya tentang tasawuf, sebagaimana ditulis dalam kitabnya,
ihya ‘Ulum al-Din, menjadikan tasawuf diterima oleh ulama yang tetap mempertahankan
Syari’ah. Sebelumnya, para ulama memandang tasawuf bertentangan engan aqidah dan syari’ah
islam,yakni tasawuf yang diajarkan oleh al-Busthami dengan faham ittihadnya dan al-Hallaj
dengan faham hulul nya. Ittihad adalah faham tentang penyatuan manusia dengan
Allah,sedangkan hullil adalah faham tentang penempatan Allah pada tubuh-tubuh manusia,
setelah sifat-sifat kemanusiaannya dilenyapkan (mirip dengan pantheisme). Al –Gazali
menjadikan ma’rifah sebagai alat untuk mencapai kebahagiaan sejati. Ma’rifah yang
dimaksudnya adalah mengetahui rahasia Allah dan peraturan-peraturannya tentang segala yang
ada.

2.3.6 Ilmu Ushul al-fiqh dan Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah

Ilmu ushul fiqh adalah ilmu tentang kaedah-kaedah atau bahasan-bahasan sebagai
metedologi untuk memahami atau memperoleh hukum-hukum syariah yang bersifat praktis
dengan dalil-dalil yang terperinci. Pokok bahasan dalilushul fiqh yaitu dalil-dalil syara’ secara
garis besar yang di dalamnya terkandung hukum-hukum secara garis besar pula. Dalam bahasa
non-Arab, ushul fiqh ini sering di terjemahkan dengan teori hukum, karna di dalamnya
memahami huku, syariah. Bahasan-bahasan ushul fiqh banyak mempergunakan pendekatan
filosofis, misalnya tentang hakekat hukum syariah, sumber-sumber hukum, tujuan hukum, logika
teks hukum, posisi manusia dalam hukum, dsb., sehingga ushul fiqh sebagian besar dalam
hukum filsafat hukum islma syariah. Namun demikian, hukum ushul fiqh tidak sama dengan
hukum syariah.

Perbedaan antara ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqh adalah kalau ilmu fiqh membicarakan
tentang dalil dan hukum yang bersifat rinci (juz’i), maka ilmu ushul fiqh membicarakan tentang
dalil atau ketentuan yang bersifat garis besar (kulli) yang berfungsi sebagian besar metodologi
dalam memahami dalil-dalil terperinci. Dalil kulli ini misalkan amr (kata perintah), nahy (kata
larangan), amm ( kata yg menunjukan umum) khashsh (kata yg menunjukan arti khusus), dsb.
Demikian pula, kalau tujuan mempelajari ilmu fiqh adalah memperpraktikan hukum-hukum
syariah pada perbuatan dan ucapan manusia, maka tujuan mempelajari ilmu ushul fiqh adalah
mempraktikan kaidah-kaidah dan teori-teorinya terhadap dalil-dalil rinci untuk mengungkapkan
hukum-hukum syariah yang terdapat dari dalil-dalil itu. Contoh seorang ahli ushul fiqh
membahas tentang hukum wajib dalam suatu kata perintah (amr), sedangkan alhli fiqh
membahas kewajban sholat.

23
Hukum fiqh sudah keluar sejak zaman Nabi, terutamasejak priode Madinah,meskipun
baru di rumuskan dan di bukukan menjadi ilmu fiqh baru pada awal abad kedua hijriyah,
memang pada zaman sahabat sudah muncul penggunaan logika dalam memahami huukum
syariah, misalnya yang di lakukan oleh umar dengan penggunaan qiyas ( analogi ) dan
mashlahah (kemanfaatan atau kepentingan umum) jika ia tidak menemukan dalil dalam al-
quraan dan hadits.

Orang yang pertama kali merumuskan dan membukukan ilmu ushul fiqh adalah
muhammad ibn idris al-Syafi’i (150-204 H / 767-820 M) dengan kitabnya berjudul al-risalah.
Munculnya ilmu ushul fiqh dimana di satu pihak terdapat aliran ahl al-hadits yang lebih
menekankan arti harfiah dalam memahami hukum dan di lain pihak terdapat aliran ahl al-ra’y
yang memahami hukum dengan banyak menggunakan rasio dan bahkan sering meninggalkan
hadis. Sayangnya, masing-masing dari kedua aliran ini tidak memiliki metedologi yang
sistematis dan konsisten, sehingga menimbulkan semakin beraneka dan meruncingnya
perbedaan pendapat, yang di antaranyabahkan mengarah pada pemahaman menurut
keinginannya sendiri, terutama di kalangan aliran ahl al-ra’y.

Al-syafi’i terpangil untuk menertibkan perbedaan pemahaman tersebut dengan


memperkenalkan sebuah metedologi yang sistematis dan konsisten secara menempatkan kedua
aliran itu secara proporsional. Setelah wafatnya syafi’i, kemudian muncul penyusunan ushul fiqh
yang di kemukaan oleh ulama-ulama pendukung mazhab yang ada, baik dari penjelasan ulama
syafii maupun dari pendapat sendiri.

Sebagian ulama syafi’iyah dan malikiyah menulis ushul fiqh dengan metode deduktif,
seperti kitab al ta;rif wa al-irsyadi fi tartib al-ijtihad ( pengertian dan petunjuk tentang metode
ijtihad) oleh abu bakar muhammad al-baqilani al-maliki(w.403 H), al- mustasshfa oleh abu
hamid al-ghazali al-syafi’i ( w.505 H). Dll. Selain ilmu ushul fiqh sebagai metodologi ulama
dalam memahami dan mendalami hukum syari’ah (islam), ada pula metodologi pendukung yang
berfungsi untuk mempermudah dalam pemahaman dan pendalaman hukum islam ini, yakni
qawai’d fiqhiyyah (legal maxims). Qawai’d fiqhiyah ini didefinisikan sebagai hukum umum
(bukm kulli) yang mencakup sebagian besar bagian-bagiannya (juziyah) sehingga dengan
mengetahui hukum umum ini akan di ketehui pula hukum bagian-bagiannya. Jadi qawai’d
fiqhiyyah ini merupakan generelisasi ari hukun- hukum fiqh yang ada, yang berati ia disusun
melalui metode induktif. Perbedaan antara qawaid faqhiyyah dengan uusul fiqh adalah (a) kalau
usul fiqh merupakan ketentuan umum sebagai metedologi istinbath al-ahkam ( memahami
hukum-hukum yang terkandug di dalam dalil-dalil yang rinci), maka qawaid fiqhiyah
memudahkan dalam memahami masalah-masalah fiqh. (b) kalau ilmu ushul fiqh muncul tidak
lama setelah munculnya ilmu fiqh ( bahkan secara ide lebih dahulu dari pada fiqh), (c)terdapat
persamaan antara ushul fiqh dengan qawa’id fiqhiyyah, yakni kedua-duanya merupakan Kaedah-
kaedah umum yang mencakup bagian-bagiannya hanya, kalau ushul fiqh itu mencakup hukum-
hukum fiqh pada rincian masalah-masalah fiqh yang ada (juz’i).

24
Sebenarnya cikal bakal qawai’d fiqhiyah ini sudah ada sejak zaman nabi, karena banyak
di antara kata-kata Nabi yang mirip dengaan qawai’d fiqhiyyah ini, misalnya “al-bayyinah ‘ala
al-maddu’i wa al-yamin ala man ankar”, saksi itu harus di bebankan terhadap orang yang
menuduh, sedangkan sumpah di bebankan terhadap orang yang tertuduh. Demikian pula, kata-
kata sahabat nabi dan generasi setelahnya, termasuk para ulama mujtahid. Namun munculnya
qawai’d fiqhiyyah sebagai ilmu yang sistematis baru terjadi pada abad ke-3 hijriyah, atau satu
abad setelah munculnya ilmu fiqh dan ushul fiqh. Munculnya ilmu ini tidak terlepas dari
keinginan untuk mempermudah dalam memahami masalah-masalah yang baru timbul itu jika
terdapat persamaan atau keserupaan di antara keduanya. Sehingga banyak ulama yg menuliskan
buku tentang qawa’id fiqh ini dengan nama al-asybah wa al-nazba’ir ( keserupaan dan
kesepadanan). Namun demikian, qawa’id fiqhiyyah ini tidak bisa menjadi sumber hukum dalam
berijtihad, ia hanya sekedar untuk memudahkan seseorang untuk berijtihad atau mempelajari
hukum-hukum fiqh.

2.3.7 Ilmu Fiqh/ Syari’ah

Ilmu fiqh adalah ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syari’ah yang
bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalil yang rinci. Obyek ilmu fiqh ini adalah perbuatan
orang mukallaf (dewasa) dalam pandangan hukum syari’ah, agar dapat diketahui mana yang
diwajibkan, disunnahkan, diharamkan, dimakruhkan, dan diperbolehkan, serta mana yang sah
dan mana yang batal (tidak sah). Meskipun dalam penggunaanya sering disamakan anatara fiqh
dengan syari’ah, namun keduanya sebenarnya memiliki pengertian yang berbeda. Pengertian
syari’ah ini pun mengalami perkembangan, kalau semula ia dipahami sebagai segala peraturan
yang datang dari Allah, baik berupa hukum-hukum akidah (ahkam i’tiqodiyyah), hukum-hukum
yang bersifat praktis (ahkam ‘amaliyah) maupun hukum-hukum akhlaq (ahkam khuluqiyyah),
tetapi kemudian diartikan hanya sebagai hukum-hukum yang bersifat praktis. Bedanya dengan
fiqh, kalau syari’ah itu merupakan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Quran dan Hadist,
maka fiqh merupakan hasil pemahan dan interpretasi para mujtahid terhadap teks-teks al-Quran
dan Hadiat serta hasil ijtihad mereka terhadap peristiwa yang hukumnya tidak ditemukan
didalam keduanya.kedua istilah ini dalam bahasa non arabnya disebut “hukum islam” atau
“Islamic Law”, dan khusus untuk fiqh sering juga disebut “Islamic jurisprudence”.

2.3.8 Ilmu sejarah islam

Ilmu sejarah Islam adalah ilmu yang membahas tentang peristiwa yang terjadi dalam masyarakat
Islam sejak pertama kali datangnya Islam, atau bahkan sejak menjelang kelahiran nabi
Muhammad, sampai masa kini. Berbeda dengan ilmu ilmu agama Islam yang sudah disebutkan
di atas, ilmu ini sebenarnya bukan merupakan substansi dari ilmu agama itu sendiri, melainkan
catatan cerita dan analisa terhadap peristiwa yang terjadi dalam masyarakat Islam, termasuk
bagaimana ajaran agama itu dipahami, dikembangkan dan dipraktekkan dalam dunia realitas.
Pada masa kenabian, ilmu ini termasuk substansi ilmu agama.Demikian pula, peristiwa-
peristiwa pada masa itu yang diabadikan oleh al-Qur’an.

25
Catatan peristiwa sejarah pada masa kenabian tersebut memang termasuk bagian dari
Sunnah Nabi yang berarti menjadi sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Di samping itu,
peristiwa ini menjadi bahan pertimbangan untuk memahami al-Qur’an dan Hadits, yang
kemudian disebut sebagai asbab al-nuzul (sebab-sebab atau kondisi sosial yang melatarbelakangi
turunnya ayat al-Qur’an) dan asbab al-wurud (sebab-sebab atau kondisi sosial yang
melatarbelakangi munculnya suatu Hadits). Catatan peristiwa pada masa sahabat juga menjadi
pertimbangan untuk memahami sumber-sumber ajaran Islam, karena mereka merupakan generasi
yang faham betul tentang maksud-maksud al-Qur’an dan Hadits, disamping karena tingkat
kesalehan mereka yang dianggap melebihi kesalehan generasi sesudahnya. Namun demikian,
tidak semua peristiwa yang terjadi pada masa sahabat ini merupakan peristiwa baik. Sebaliknya,
ada beberapa peristiwa buruk yang terjaid pada masa itu, seperti pembunuhan terhadap beberapa
khalifah dan peperangan yang terjadi di antara mereka.

Meskipun peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa kenabian dan masa sahabat itu
belum dibukukan, peristiwa-peristiwa itu pada periode tabi’in masih dapat diingat dan ditransfer
kepada orang lain melalui lisan. Awal pembukaan sejarah Islam itu bersamaan dengan awal
pembukuan Hadits, karena Hadits dibukukan itu merupakan peristiwa sejarah yang dialami oleh
Nabi. Pembukaan Hadits ini pertama kali dilakukan oleh Muhammad Ibnu Muslim Ibnu Syihab
al-Zuhri (w.124 H) sebagai respon terhadap instruksi khalifah ‘Umar Ibnu ‘Abd al-‘Aziz (99-
102 H / 717-720 M). Hadits yang diriwayatkan oleh al-Zuhri kemudian menjadi dasar penulisan
tiga buku sejarah tentang peperangan pada masa Nabi (al-Maghazi) sayangnya buku pertama dan
kedua tidak sampai ke tangan kita dan tinggal buku ketiga yang ditulis oleh Muhammad Ibnu
Ishaq Ibnu Yasar (w 151 H / 768 M) buku ketiga ini ternyata lebih luas dari kedua buku
sebelumnya, karena ia mencakup tiga bagian, yakni tentang sejarah masa jahiliyah sejarah masa
Nabi dan sejarah peperangan Nabi.

Kemudian Muhammad Ibnu ‘Umar al-Waqidi (130-207 H / 747-823 M) menulis kitab


berjudul (Peperangan), yang berisi tidak hanya tentang sejarah peperangan Nbai, tetapi
mencakup semua peristiwa sejarah Islam sampai masa khalifah Harun al-Rasyid (170-194 H /
786-809 M). Dengan berpedoman pada buku ini pula Muhammad Ibnu Sa’d (w. 230 H / 845 M)
kemudian menulis kitab al-Thabaqat (Buku tentang Generasi-Generasi, yang berisi tentang
sejarah Nabi, sahabat dan tabi’in. Kelebihan buku ini adalah ia mencakup unsur Hadits Nabi
lebih banyak dibandingkan dengan al-Maghazi karangan al-Maqidi. Setelah itu, lalu muncul
para sejarawan yang menulis tentang sejarah kabilah-kabilah Arab, seperti yang ditulis oleh Abu
Mihnaf Luth Ibnu Yahya (w. 774 M).

Kemajuan penulisan sejarah mulai berkembang sejak awal abad ke-3 Hijriah dengan
semakin berkembangnya kebudayaan Islam serta munculnya perusahaan pembuat kertas di
Baghdad, sehingga buku-buku yang ditulis pada waktu itu dapat sampai kepada kita pada saat
ini. Hanya pada awal abad ke-3 ini penulisan sejarah masih mengambil bentuk seperti masa-
masa sebelumnya, yakni bentuk khabar yang merupakan laporan atau catatan peristiwa yang ada
pada masa Nabi, sahabat dan tabi’in tapa disertai analisis oleh penulisnya. Diantara sejarawan
26
yang menulis sejarah dalam bentuk khabar ini adalah Ali Ibnu Muhammad al-Madaini (w. 225 H
/ 840 M). Setelah itu, muncul penulisan sejarah dengan objek yang lebih luas, tidak hanya
tentang sejarah Nabi dan umat islam generasi sesudahnya, tetapi juga tentang sejarah dunia
secara umum. Sejarawan yang menonjol dengan penulisan seperti ini adalah Ahmad Ibnu Yahya
al-Baladzuri (w. 279 H / 892 M) yang pernah menjadi murid al-Madaini dan Muhammad Ibnu
Sa’d. Karya al-Baladzuri yang terkenal adalah futuh al-buldan (pembebasan Negeri-Negeri).

Penulisan sejarah tersebut kemudian berkembang dengan ebntuk yang lebih rasional dan
analitis, dalam arti penulisan itu tidak hanya sekedar melaporkan atau menceritakan peristiwa
ynag terjadi, melainkan disertai dengan analisis terhdapa peristiwa itu sendiri dan kronologi
waktunya. Meskipun penulisan sejarah dalam bentuk analitis ini sudah dimulai oleh beberapa
sejarawan sebelumnya, namun bentuk ini menjadi lebih jelas dengan munculnya Muhammad
Ibnu Jarir al-Thabari (w.310 H / 922 M) dengan bukunya yang terkenal Tatihk al-Umam wa al-
Muluk (Sejarah Bangsa-Bangsa dan Raja-Raja). Disamping sebagai sejarawan, ia juga dikenal
sebagai seorang penafsir al-Qur’an dengan kitab tafsirnya berjudul Jami’ al-Bayan Ta’wil Ayi al-
Qur’an. Sebagai ahli sejarah sekaligus ahli Hadits al-Thabari dalam menafsirkan al-Qur’an
disamping banyak menggunakan Hadits, juga menambahkan penjelasan historis.

2.4 Hubungan Antara Ilmu-Ilmu Agama dan Fungsinya bagi Kehidupan


Menurut Muhammad Abduh, agama merupakan sebuah produk Tuhan. Tuhan juga
mengajarkan kepada umat manusia, dan membimbing manusia untuk menjalankannya. Agama
merupakan alat untuk akal dan logika, bagi orang-orang yang ingin kabar gembira dan sedih,
agama menurut sebagian orang merupakan sesuatu hal yang menemukan keyakinan. Agama
dengan eksistensinya telah membuatnya berbeda dengan segala apa yang pernah ada, membuat
berbeda dengan segala yang pernah dimiliki manusia. Agama membuat tuntutan itu berat
ataupun ringan. Agama menjadikan kehidupan manusia lebih teratur dalam kehidupannya,
karena segala dorongan dan keinginannya menjadi lebih terarah. Agama menjadi pemimpin roh

27
jiwa manusia. Ia juga berperan aktif membimbing manusia untuk memahami ajaran-ajarannya.
Diibaratkan seorang manusia layaknya seorang yang berada diujung pedang, jika salah maka
orang tersebut mati olehnya, tetapi agama datang sebagai penyelamat. Ataupun yang terjadi pada
manusia dari agama. Seperti halnya menghilangkan luka bekas oeperasi dari kulit manusia.11

Bagi kalangan barat, agama adalah penghalang kemajuan. Oleh karena itu, mereka
beranggapan, jika ingin maju maka agama tidak boleh lagi mengatur hal-hal yang berhubungan
dengan dunia. Seorang Karl Marx mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat, candu
merupakan zat yang dapat menimbulkan halusinasi yang membius. Marx mendefinisikan bahwa
setiap pemikiran tentang agama dan Tuhan sangat berbahaya bagi kehidupan manusia. Sebagai
seorang materialisme, Marx sama sekali tidak percaya adanya Tuhan dan secara tegas ia ingin
memerangi semua agama. Dalam pernyataan Marx, sebenarnya yang dimaksud dengan candu
masyarakat merupakan kritik terhadap realitas yang tidak berpihak pada kaum lemah. Misalnya
orang yang sedang kelaparan hanya membutuhkan nasi atau sepotong roti untuk mengisi
perutnya, bukan membutuhkan siraman rohani ataupun khutbah yang berisikan tentang
kesabaran, namun tidak memperdulikan tentang realitas sosial.

Dalam pandangan saintis, agama dan ilmu pengetahuan mempunyai perbedaan. Bidang
kajian agama adalah metafisik, sedangkan bidang kajian sains atau ilmu pengetahuan adalah
alam empiris. Sumber agama dari Tuhan, sedangkan ilmu pengetahuan dari alam.

Dari segi tujuan, agama berfungsi sebagai pembimbing umat manusia agar hidup tenang
dan bahagia di dunia dan di akhirat. Kebahagian di dunia, menurut agama adalah persyaratan
untuk mencapat kebahagiaan di akhirat.

Menurut Amstal, bahwa agama cenderung mengedepankan moralitas dan menjaga tradisi
yang sudah mapan, eksklusif dan subjektif. Sementara ilmu pengetahuan selalu mencari yang
baru, tidak terikat dengan etika, progresif, bersifat inklusif, dan objektif. Meskipun keduanya
memiliki perbedaan, juga memiliki kesamaan, yaitu bertujuan memberi ketenangan. Agama
memberikan ketanangan dari segi batin karena ada janji kehidupan setelah mati. Sedangkan ilmu

11
Muhammad Abduh, Islam; Ilmu Pengetahuan dan Masyarakat Madani,terj oleh Haris Fadillah (Jakarta: Raja
Grafindo, 2004) hal.4.

28
memberi ketenangan dan sekaligus kemudahan bagi kehidupan di dunia. 12 Misalnya tsunami,
dalam konteks agama adalah cobaan Tuhan dan sekaligus rancangan-Nya tentang alam secara
keseluruhan. Oleh karena itu, manusia harus bersabar atas cobaan tersebut dan mencari hikmah
yang terkandung dibalik tsunami. Adapun menurut ilmu pengetahuan, tsunami terjadi akibat
pergeseran lempengan bumi, oleh karena itu para ilmuan harus mencari ilmu pengetahuan untuk
mendeteksi kapan tsunami akan terjadi dan bahkan kalau perlu mencari cara mengatasinya.

Karakteristik agama dan ilmu pengetahuan tidak selalu harus dilihat dalam konteks yang
berseberangan, tetapi juga perlu dipikirkan bagaimana keduanya bersinergi dalam membantu
kehidupan manusia yang lebih layak. Osman Bakar mengatakan bahwa epistemology,
metafisika, teologi dan psikologi memiliki peran penting dalam mengembangkan intelektual
untuk merumuskan berbagai hubungan konseptual agama dan ilmu pengetahuaan. 13 Peran
utamanya adalah memberikan rumusan-rumusan konseptual kepada para ilmuan secara rasional
yang bisa dibenarkan dengan ilmiah dan dapat dipertanggung jawabkan untuk digunakan sebagai
premis-premis dari berbagai jenis sains. Misalnya kosmologi, dengan adanya kosmologi dapat
meringankan dan mengkonseptualkan dasar-dasar ilmu pengetahuan seceperti fisika dan biologi.

Ilmu pengetahuan yang dipahami dalam arti pendek sebagai pengetahuan objektif,
tersusun dan teratur. Ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari agama. Sebut saja Al-Qur’an,
Al-Qur’an merupakan sumber intelektualitas dan spiritualitas. Ia merupakan sumber rujukan bagi
agama dan segala pengembangan ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber utama inspirasi
pandangan orang islam tentang keterpaduan ilmu pengetahuan dan agama. Manusia memperoleh
pengetahuan dari berbagai sumber dan melalui banyak cara dan jalan, tetapi semua pengetahuan
pada akhirnya berasal dari Tuhan. Dalam pandangan Al-Qur’an, pengetahuan tentang benda-
benda menjadi mungkin karena Tuhan meberikan fasilitas yang dibutuhkan untuk mengetahui.
Para ahli filsafat dan ilmuan muslim berkeyakinan bahwa dalam tindakan berpikir dan
mengetahui, akal manusia mendapatkan pencerahan dari Tuhan Yang Maha mengetahui sesuatu

12
Amtsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal.230-231.

13
Osma Bakar, DR, Tawhid and Science; Islamic perspective on Religion and
Science, (Malaysia: sdn BHR, 2008), hal.60.

29
yang belum diketahui dan akan diketahui dengan lantaran model dan metode bagaimana
memperolehnya.14

Al-Qur’an bukanlah kitab ilmu pengetahuan, tetapi ia memberikan pengetahuan tentang


prinsip-prinsip ilmu pengethauan yang selalu dihubungkan dengan pengetahuan metafisik dan
spiritual. Panggilan Al-Qu’an untuk “membaca dengan Nama Tuhanmu” telah dipahami dengan
pengetian bahwa pencarian pengetahuan, termasuk didalamnya pengetahuan ilmiah yang
didasarkan pada pengetahuan tentang realitas Tuhan. Hal ini dipertegas oleh Ibnu sina yang
menyatakan, ilmu pengetahuan disebuh ilmu pengetahuan yang sejati jika menghubungkan
pengetahuan tentang dunia dengan pengetahuan prinsip Tuhan.15

Agama dan ilmu pengetahuan memang berbeda metode yang digunakan, karena masing-
masing berbeda fungsinya. Dalam ilmu pengetahuan kita berusaha menemukan makna
pengalaman secara lahiriah, sedangkan dalam agama lebih menekankan pengalaman yang
bersifat rohaniah sehingga menumbuhkan kesadaran dan pengertian kagamaan yang mendalam.
Dalam beberapa hal, ini memungkinkan dapat dideskripsikan oleh ilmu pengetahuan kita, tetapi
tidak dapat diukur dan dinyatakan dengan rumus-rumus ilmu pasti.16

Sekalipun demikkrian, ada satu hal yang sudah jelas, bahwa kehidupan jasmani dan
rohani tetap dikuasai oleh satu tata aturan hukum yang universal. Ini berarti, baik agama maupun
ilmu pengetahuan, yaitu Allah. Keduanya saling melengkapi dan membantu manusia dalam
bidangnya masing-masing dengan caranya sendiri.17

14
Osma Bakar, DR Ibid, hal.149.
15
Osma Bakar, DR, Tawhid and Science; Islamic perspective on Religion and Science, (Malaysia: sdn BHR, 2008),
hal.150.
16
Soedewo, Ilmu pengetahuan dan Agama, (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2007), 59.
17
Soedewo, Ilmu pengetahuan dan Agama, (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2007), 60.

30
2.4 Fungsi Agama dan Pengetahuan
Fungsi agama dan ilmu pengetahuan dapat dikiaskan seperti hubungan mata dan
mikroskop. Mikroskop telah membantu indera mata kita yang terbatas, sehingga dapat melihat
bakteri-bakteri yang terlalu kecil untuk dilihat oleh mata telanjang. Demikian pula benda langit
yang sangat kecil dilihat dengan mata telanjang, ini bisa dibantu dengan teleskop karena terlalu
jauh. Demikian halnya dengan wahyu Illahi, telah membantu akal untuk memecahkan masalah-
masalah rumit yang diamati oleh indera. 18 Jika ini hanya dilakukan oleh akal maka akan
menyesatkan manusia.

2.5 Tokoh-tokoh Pengembangan Ilmu Agama Islam


Pada awal sejarah islam, abad 3H bahkan sebelumnya, banyak pemikiran kebiasaan dari
iran masuk dalam islam.ketika orang-orang arab muslim mulai menaklukan negeri-negeri
tetangganya, mereka menemukan kebudayaan Iran dan Byzantium yang canggih. Islam dapat
mengalahkan kedua imperium itu dengan mudah, karena keduanya telah kehabisan tenaga dan
semangat (akibat peperangan yang terus-menerus).

Umat islam menerjemahkan semua disiplin itu kedalam bahasa Arab secara sistematis
dan besar besaran. Kaum muslimin memutuskan untuk menerjemahkan sains yunani, filsafat dan
kedokteran.

Tidak lama setelah masuknya filsafat dalam Islam, manusia sekaliber Ibn Sina telah
mampu membangun sebuah sistem filsafat. Ibn Sina adalah pemikir pertama yang menciptakan
pemikir filsafat komprehensif yang bertujuan menjelaskan segala sesuatu yang dijagad raya,
termasuk kehidupan manusia dengan segala aspeknya. Ia seorang pemikir sistematis, meski
beberapa ide yang dilontarkannya mengganggu banyak teolog muslim (Al-mutakalimun)
khususnya masalah yang menyangkut batasan antara agama dan filsafat. Ibn Sina berusaha

18
Soedewo, Ilmu pengetahuan dan Agama, (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2007),61.
31
memadukan filsafat Yunani dengan islam. Walaupun secara prinsip ia tetap berpegang pada
filsafat yunani, namun ia telah mengerahkan seluruh kemampuannya; tak seperti al-farabi
sebelumnya yang lebih mementingkan tuntutan agama. Karena itu ia di serang al-Gazhali
melalui bukunya, Tahafut al-falasifah (kerancuan para filsof).

Menurut al-Ghazali filsafat ibnu sina rancu dan ia mengutuk proposisi penting filsafatnya
karena bertentangan dengan pandangan islam. Inilah upaya al-Ghazali untuk meluruskan filsafat
yang menurutnya tak islami menjadi filsafat yang islami. Kemudian Ibn Rushd membalas
serangan al-Ghazali dalam bukunya at-Tahafut (rancunya kerancuan) dan jadilah berdebatan itu
berlanjut.

Setelah filsafat mempengaruhi tradisi kalam, setelah al-Ghazali muncul pemikir besar
lain, Fakr al-Din al-Razi. Pencapaian al-Razi dalam bidang kalam adalah sebagai berikut :
sementara al-Ghazali telah mengkritik proposisi-proposisi tertentu para filsuf, seperti keabadian
alam (bahwa alam tak diciptakan dalam waktu), al-Razi mengikuti filsafat Ibn Sina, menciptakan
sistem kalam untuk menjawab sistem sebelumnya. Inilah pencapaian luar biasa al-Razi dalam
‘ilm al-kalam, yaitu menghasilkan sebuah sistem kalam komprehensif untuk menjawab sistem
filsafat.19

2.6 Beberapa Tokoh-tokoh Pengembangan ilmu agama Islam di Indonesia


Masuknya islam di indonesia bukan tanpa alasan. Indonesia mayoritas hampir seluruh
rakyatnya beragama islam perlu berterimakasih pada tokoh tokoh islam yang secara silih
berganti melakukan pergantian dalam penyebaran agama islam dengan cara mereka masing-
masing diseluruh penjuru nusantara.

Mereka juga memiliki peran dalam sejarah pembangunan di indonesia, seperti masjid,
jadi tidak heran begitu banyak masjid tua yang berada di setiap sudut kotayang menjadi bukti
penyebaran dari para tokoh untuk mengembangkan ilmu agama islam.

Berikut beberapa nama tokoh beserta perannya dalam perkembangan ilmu agama islam
di indonesia :

19
H. Abuddin Nata, Suwito, Masykuri Abdillah dan Armai Arief. 2003. Integrasi ILMU
AGAMA & ILMU UMUM. Jakarta : UIN Jakarta Press
32
1. Wali Songo (wali sembilan)
Di kalangan masyarakat islam jawa wali yang menyebarkan ilmu agama islam dijawa
berjumlah sembilan. Sesuai dengan kata “songo” yang beerarti berjumlah sembilan.
Namun lebih dikenal dengan sebutan sembilan wali (wali songo).

a. Sunan Gresik (malik ibrahim, maulana)


Maulana malik ibrahim atau syekh magribi yang dalam babad jawa disebut
makdum brahim asmara. Beliau adalah putra dari raden jumadil qubro. Maulana
malik ibrahim datang ke jawa tahun 1404 M.

Maulana malik ibrahim menyebarkan agama islam dengan cara melayani


kebutuhan sehari-hari masyarakat yang diajaknya. Beliau dakwah dengan
diplomasiyang ulung, tidak menyinggung perasaan orang yang didakwahnya, bahkan
membersarkan hati. Hal tersebut menunjukan betapa tinggi ilmu yang dimiliki oleh
syekh maulana malik ibrahim.

b. Sunan Ampel (Campa Aceh, 1401- Ampel, Surabya 1481)


Nama aslinya adalah raden rahmat. Sunan ampel adalah penerus cita-cita serta
perjuangan maulana malik ibrahim dan terkenal sebagai perencana pertama kerjaan
islam dijawa; ia memulai aktivitas nya dengan mendirikan pesantren di Ampel Denta,
dekat surabaya sehingga ia dikenal sebagai pembina pondok pesantren pertama
dijawa timur.

Di pesantren inilah sunan ampel mendidik para pemuda islam untuk menjadi
tenaga da’i yang akan disebar di seluruh jawa. Dari pemuda islam yag di didik itu
tercatat antara lain raden paku yang kemudian terkenal dengan sunan Giri.

c. Sunan Bonang (Ampel Denta, Surabaya 1465- Tuban 1525)


Dianggap sebagai pencipta gending pertama dalam rangka mengembangkan
ajaran islam dipesisir utara jawa timur. Ia terkenal dengan nama raden Maulana
Makhdum ibrahim atau raden ibrahim (makhdum adalah gelar yang biasa diberikan
kepada seorang ulama besar di india dan berarti orang yang di hormati).

d. Sunan Giri (Blambangan, pertengahan abad ke-15 – Giri 1500 M)

33
Nama aslinya adalah Raden Paku, disebut juga prabu sutmata dan kadang-kadang
disebut sultan Abdul Fakih. Ia adalah putra Maulana Ishak yang ditugaskan Sunan
Ampel untuk mengembangkan agama islam di Blambangan.

e. Sunan Drajat (Ampel Denta, Surabaya, sekitar tahun 1470 - sedayu, Gresik
pertengahan abad ke-16)
Memilki nama asli Raden Kosim atau Syaifudin tetapi karena beliau dimakamkan
diderah sedayu, maka kebanyakan masyarakat awam mengenalnya sebagai sunan
Sedayu.

Hal yang paling menonjol dalam dakwah sunan Drajat adalah perhatiannya yang
sangat serius pada masalah-masalah sosial. Beliau terkenal mempunyai jiwa sosial
dan tema-tema dakwahnya selalu berorientasi pada kegotongroyongan.

f. Sunan Kalijaga (akhir abad ke-14 – pertengahan abad ke-15)


Terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar, berpandangan jauh berpikir
tajam, intelek, serta berasal dari suku jawa asli. Nama Kalijaga konon berasal dari
rangkaian bahasa arab qadi zaka yang berarti pelaksan dan membersihkan.

Daerah operasi dakwah Sunan Kalijaga tidak terbatas, bahkan sebagai mubaligh
ia berkeliling dari satu daerah ke daerah lain. Karena sistem dakwahnya yang intelek
dam aktual maka para bangsawan dan cendekiawan sangat simpatis terhadapnya,
demikian juga lapisan masyarakat dahkan penguasa.

Jasa Sunan Kalijaga terhadap kesenian bukan hanya terlihat pada wayang dan
gamelan, tetapi juga dalam seni suara, seni ukir, seni busana, seni pahat dan
kesastraan.

g. Sunan Kudus ( Abad ke-15 – kudus 1550)


Nama aslinya jafar sadiq, tetapi sewaktu kecil dipanggil raden undung. Sunan
kudus menyiarkan agama islam didaerah kudus dan sekitarnya dan dia memilki
keahlian khusus dalam bidang ilmu agama terutama dalam ilmu fikih, usul fikih,
tauhid, hadist, tafsir, serta logika. Karena itulah diantara walisongo hanya ia yang

34
diberi julukan wal al-ilmi (orang yang luas ilmunya) dan karena keluasan ilmunya ia
didatangi oleh banyak penuntut ilmu dari berbagai daerah di nusantara.

h. Sunan muria (abad ke-15 – abad ke-16)


Salah seorang wali songo yang banyak berjasa dalam menyiarkan islam di
pedesaan pulau jawa adalah putra sunan kalijaga nama aslinya Raden Umar said, atau
raden Said sedang nama kecilnya nya adalah raden prawoto. Dalam dakwah melalui
budaya ia menciptakan tembang dakwah sinon dan kinanti.

i. Sunan Gunung djati (mekah, 144 – gunung jati, cirebon jawabarat 1570)
Salah seotrang dari walisongo yang banyak berjasa dalam menyebarkan islam di
pulau jawa terutama dijawa barat juga pendiri kesultanan cirebon. Nama aslinya
Syarif Hidayatullah dialah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan juga Banten.

2.7 Metodologi Ilmu-Ilmu Agama Islam


a. Pengertian Metodologi
Metodologi berasal dari bahasa Yunani, “metodos” berarti “cara” atau “jalan”,
dan “logos” berarti ilmu. Dari kedua suku kata itu metodologi berarti ilmu tentang jalan
atau cara. Untuk memudahkan pemahaman tentang metodologi, terlebih dahulu akan
dijelaskan pengertian metode. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa
“Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.” (Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, 1995, h. 652).
Dari definisi di atas dapat dikatakan bahwa metode adalah urutan kerja yang
sistematis, terencana dan merupakan hasil eksperimen ilmiah guna mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Lalu, apakah yang dimaksud dengan metodologi ini sendiri?
Berdasarkan akar kata metodologi seperti yang telah disebutkan di atas, metodologi
berarti ilmu tentang cara untuk sampai kepada tujuan. Menurut Hasan Langgulung

35
metodologi adalah cara-cara yang digunakan manusia untuk mencapai pengetahuan
tentang realita atau kebenaran. (Hasan Langgulung, 1992, h. 348) oleh karena itu, jika
kita berbicara tentang metodologi, maka pertama kali kita harus bicara tentang manusia
sebagai kutub subjektif dari pengetahuan, yaitu subjek yang mengetahui dan alam jagat
yang merupakan kutub objektif dari pengetahuan, yaitu objek yang dapat diketahui.
Selanjutnya, dalam diktat Metode-Metode Filsafat, A.H. Bakker memberikan
definisi tentang metodologi sebagai berikut :
“Metodologi dapat dipahami sebagai filsafat ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu
pengetahuan yang dimaksud ini menguraikan metode ilmiah sesuai dengan hakikat
pengertian manusia. dapat ditemukan kategori-kategori umum yang hakiki bagi segala
pengertian, jadi berlaku pula bagi semua ilmu.” (A.H. Bakker, Metode-Metode Filsafat,
(Yogyakarta: Yayasan Pembuinaan Fakultas Filsafat, t.t) diktat, h. 3)
Metodologi berkaitan dengan filsafat keilmuan. Filsafat keilmuan mencakup
pertanyaan-pertanyaan yang harus kita jawab: apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa
sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apakah
kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui,
dan sampai dimanakah batasnya.

b. Metode Ilmu-Ilmu Agama Islam


Islam adalah bukan agama yang monodimensi. Islam tidak hanya didasarkan
kepada intuisi mistis dari manusia dan terbatas pada hubungan antara manusia dengan
Tuhan. Islam tidak melepaskan dirinya dalam masalah kehidupan manusia di muka bumi.
Islam juga merupakan agama yang membentuk suatu masyarakat dan peradaban.
Untuk mempelajari hubungan manusia dengan Tuhan harus menggunakan metode
filosofis karena hubungan manusia dengan Tuhan dibahas dalam filsafat, dalam arti
pemikiran metafisis yang umum dan bebas. Untuk mempelajari masalah kehidupan
manusia di muka bumi harus menggunakan metode-metode yang selama ini digunakan
dalam ilmu manusia. dan untuk mempelajari dimensi masyarakat dan peradaban, metode
sejarah dan sosiologi harus dipergunakan. Karena Islam adalah agama, maka metode-
metode itu harus ditambah dengan metode doktriner. Jadi, metode doktriner harus
digunakan bersama-sama dengan metode ilmiah.

36
Noeng Muhadjiir, Guru Besar Pascasarjana dalam Filsafat Ilmu, Penelitian, dan
Kebijakan, menawarkan tiga model bagi pengembangan ilmu-ilmu keislaman yaitu,
model postulasi; model pengembangan multidisipliner dan interdisipliner; dan model
pengembangan reflektif-koseptual-tentatif-problematik. (Noeng Muhadjiir, 2001, h. 156-
159) Pertama, model postulasi yaitu bangunan pokok model ini adalah deduksi.
Diberangkatkan dari konsep idealisasi. Di sini perlu dibedakan konsep idealisasi teoritik;
konsep idealisasi moralistic, dan konsep idealisasi transcendental. Model islamisasi ilmu
pengetahuan dapat masuk ke dalam konsep idealisasi transcendental. Bertolak dari
aksioma, postulat, hukum, nash, atau konstruksi teoritik holistik membangun keseluruhan
sistematika disiplin ilmu itu. Model ini akan lemah konstruksinya bila postulasinya
dirumuskan atau dibangun secara a priori atau spekulatif; dan akan kuat bila dibangun
lewat penelitian empiric atau lewat berfikir reflektif.
Kedua,model pengembangan multidisipliner dan interdisipliner, yaitu yang
dimaksud dengan multidisipliner adalah cara bekerjanya seorang ahli di suatu disiplin
dan berupaya membangun disiplin ilmunya dengan berkonsultasi pada ahli-ahli disiplin
ilmu lain. Sedangkan interdisipliner adalah cara kerja sejumlah ahli dari berbagai
keahlian untuk menghasilkan sebuah teori bersama.
Ketiga, model pengembangan reflektif-konseptual-tentatif-problematik. Model ini
dapat bergerak merentang dari konsep iselalisasi teoritik, moralistic, dan transcendental
secara reflektif. Pada model ini kita berangkat dari konstruksi teoritik-sistematik ilmu
yang berkembang. Bagian-bagian dilematik, inkonlusif, dan controversial secara reflektif
dan disajikan dalam berbagai alternative dan disajikan sebagai masalah yang belum
konklusif.,
Dalam tulisan yang berjudul, “Epistemologi di dalam Islam” S.I. Poeradisastra
menyatakan, epistemology di dalanm Islam berjalan dari tingkat-tingkat: (a) perenungan
(contemplation) tentang Sunatullah sebagaimana dianjurkan dalam Al-Qur’an, (b)
penginderaan (sensation), (c) pencerapan (perception), (d) penyajian (representation), (e)
konsep (concept), (f) timbangan (judgement), dan (g) penalaran (reasoning). (S.I.
Poeradisastra, “Epistemologi di dalam Islam”, di dalam Se=alemba No. 70 Tahun Iv, Juli
1979, h. 3)

37
Fazlur Rahman sering menyebutkan dua istilah metodik dalam buku-bukunya,
yakni historic-critical method dan hermeneutic method. (Fazlur Rahman, Islam and
Modernity, h. 10-11 dan 120) Historical-critical method (metode kritis sejarah)
merupakan sebuah pendekatan kesejarahan yang pada prinsipnya bertujuan menemukan
fakta-fakta objektif secara utuh dan mencari nilai-nilai (values) tertentu yang terkandung
di dalamnya. Jadi, yang ditekankan oleh metode ini adalah pengungkapan nilai-nilai yang
terkandung dalam sejumlah data sejarah, bukan peristiwa sejarah itu sendiri. Jikalau data
sejarah dipaparkan sebatas kronologisnya, maka model semacam itu dinamakan
pendekatan kesejarahan. Metode kritis historis ini juga berbeda dengan metode sosio dan
historis, sekalipun kedua metode tersebut sama-sama berusaha menjawab pertanyaan
“mengapa”. Metode pertama mencarikan jawabannya pada nilai (values) yang dominan
dalam data-data sejarah, sedangkan metode yang kedua mencarikan jawabannya pada
konteks dan latar belakang peristiwa sejarah tersebut. Critical Historis sebagai sebuah
metode digunakan sepenuhnya oleh Rahman dalam mengkaji Islam Historis dalam segala
aspeknya. Pengembangan metode ini oleh Rahman tampak dengan jelas dalam kajian-
kajian historisnya, seperti dalam bukunya “Islami Methodology in History, Islam, dan
Islam and Modernity: Transformation of Intelectual Tradition.
Metode yang kedua yang digunakan Rahman adalah metode Hermeneutic
Method, yaitu metode untuk memahami dan menafsirkan teks-teks kuno seperti taks
kitabsuci, sejarah, hukumn, juga dalam bidang filsafat. Ada dua tugas hermeneutic yang
pada dasarnhya identik satu sama lainnya, yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi
psikologis. Gramatika bahasa merupakan sarana berfikir setiap orang, sedang aspek
psikologois interpretasi memungkinkan seseorang memahami pribadi penulis. Walaupun
demikian ia menawarkan seni interpretasi yang meliputi rekonstruksi historis, objektif
dan subjektif terhadap sebuah pertanyaan. Dengan rekonstruksi objektif historis
dimaksudkan untuk menafsirkan hubungan-hubungan bahasa teks secara keseluruhan,
sedang rekonstruksi subjektif dan historis digunakan sebagai upaya memahami awal
mulanya sebuah pernyataan masuk dalam pikiran seseorang.
Hermeneutic pada dasarnya bersifat menyejarah, artinya makna suatu penafsiran
tidak pernah berhenti padasuatu masa aja, tetapi selalu berubah menurut modifikasi
sejarah. Untuk menerapkan metode hermeneutic diperlukan tiga proses, yaitu pertama,

38
memahami sudut pandang atau gagasan pelaku asli; kedua, memahami arti atau makna
kegiatan-kegiatan mereka yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa-peristiwa
sejarah; dan ketiga, menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang
berlaku pada saat sejarawan itu hidup.
Dalam metodi ini Rhaman menggunakannya untuk menafsikan Islam normatif,
yakni Al-Qur’an, sepanjang mengenai prinsip-prinsip hermeneutic: memahami teks
menurut kehendak penciptanya, menghidupkan kembali dalam situasi subjek yang
menafsirkannya.
Dalam pemikiran Rahman, kedua metode ilmiah yang telah disampaikan di atas,
yakni metode “ritrical history” dan “hermeneutic”, merupakan dua buah metode yang
berkaitan erat. Metode critical historis berfungsi sebagai upaya dekonstruksi metodologi,
sedangkan metode hermeneutic difungsikan sebagai upaya rekonstruksinya. Sementara
dalam kajian normative (penerapan metode hermeneutic dalam menafsirkan Al-Qur’an)
Rahman menggunakan metode sosio dan historis sebagai alat bantu dalam menentukan
konteks social yang terkait. Sebagaimana telah disinggung dimuka bahwa, menurut
Rahman, sains-sains sosial sangat penting dalam memberikan keterangan perilaku
masyarakat dalam hal-hal tertentu, misalnya dalam hal politik, ekonomi, system
kemasyarakatan, system kekeluargaan, dan lain-lain.
Dalam ilmu kalam kita dikenalkan tiga kebenaran, yaitu kebenaran Allah,
kebenaran manusia, dan kebenaran alam. Dalam telah ontologis, kami pilahkan dua
kebenaran saja. Pertama, kebenaran Allah dan yang ghaib, yang berada diluar jangkauan
ilmu pengetahuan. Kedua, kebenran manusiawi, termasuk pemahaman manusia terhadap
alam semesta (yang ghaib). Yang pertama berada di luar jangkauan ilmu pengetahuan,
sedangkan yang kedua, seperti ruang angkasa dengan beribu galaksi merupakan objek
ilmu pengetahuan.
Kebenaran manusiawi adalah kebenaran sebagaimana tertangkap atau terpahami
oleh manusia tentang dirinya, tentang alam semesta, dan tentang wahyu. Kebenaran
sebagian tertangkap dan dipahami oleh manusia dari inderanya, sebagian oleh fuad
imannya. Sehingga kebenaran-kebenaran tersebut disebut sebagai kebenaran empiric etik,
dan kebenaran empiric transcendental. Yang pertama terhayati oleh indera kita, yang
kedua terhayati oleh rasio logika kita, yang ketiga terhayati lewat super dan rasio kita

39
(menggunakan logika dan budi nurani kita, dan yang ke empat terhayati trans dan rasio
kita (menggunakan logika yang dilandasi keimanan kita).20

2.8 Perspektif Islam tentang ilmu agama


a. Pandangan Al-Qur’an dan Al-Sunnah tentang ilmu agama
Ketika al-qur’an di turunkan ilmu pengetahuan telah berkembang di Mesir,
Yunani, Romawi, India, Cina dan Persia dan lainnya. Namun ilmu yang berada di daerah
tersebut tidak berkembang karena faktor bersifat politik. Pada saat islam datang, filsafat
Yunani sudah tidak berkembang lagi di Athena, tetapi berkembang di negara-negara
timur tengah. Contoh alexandaria, nisisibi, jundi sapur dll. Filsafat yunani juga di
pengaruhi oleh pandangan mitologi yunani yang bersifat spekulatif, tetapi ilmu
pengetahuan yang berkembang belum di dukung oleh data empiris yang di dasarkan pada
eksperimen.

Islam mencoba menganalisa mengenai faktor penyebab utama terjadi keadaan


dunia yang khaos tersebut, yang terjadi adalah karena penyebab tidak berkembangnya
ilmu pengetahuhan.

Al-qur’an dan assunah tidak membedakan antara ilmu agama islam dan ilmu
umum. Yang ada di dalam alquraan adalah ilmu. Bedanya ilmu agama dan ilmu umum
adalah hasil kesimpulan manusia yang mengidentifikasi ilmu berdasarkan sumber objek
kajiannya. Jika objek onotologis yang di bahas wahyu (al-quraan) termasuk penjelasan
atas wahyu yang di lakukan oleh Nabi Muhammad SAW, berupa hadis, dengan
mengunakan metode ijtihad, maka yang di hasilkannya adalah ilmu-ilmu agama seperti
teologi, fiqih, tafsir, hadis, tasawuf dan lain sebagainya. Kemudian ontologis di nahasnya
alam jagat raya seperti langit, bumi serta segala isi yang ada di antara keduannya, yakni
matahari, bulan bintang, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya dengan menggunakan
metode penelitian eksperimen di laboratorium.

20
Nata, H. Abuddin, 2003. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta : UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta

40
Selanjutnya jika objek pemikirannya adalah akal pikiran atau pemikiran yang
mendalam dengan mengunakan metode mujahadah atau logika terbimbing, maka di
hasilkannya adalah filsafat dan ilmu humanioran. Dan jika objek kajiannya merupakan
intiusi batin dengan menggunakan metode pensucian batin (tazkiyah al-nafs), maka yang
di hasilkan adalah ilmu ma’rifah. Secara lebih jelas dapat diikuti pembahasan berikut.

1. Wahyu
Wahyu adalah kebenaran yang langsung dari Allah kepada seorang
hamba-Nya, dengan kata lain wahyu merupakan komunikasi Tuhan dengan
manusia. Dalam filsafat Tuhan dikatakan mind, akal. Karena Tuhan adalah
akal, akal manusia mempunyai akal tidak mustahil dapat berkomunikasi
dengan Tuhan sebagai akal. Dalam Islam, Tuhan dianggap akal kurang
diterima. Tuhan sebagai pencipta dan pengatur alam semesta, mestilah suatu
substansi yang mempunyai daya berpikir, maka tidak mustahil daya berpikir
manusia dapat berkomunikasi atau berhubungan dengan daya berpikir yang
ada pada substansi Tuhan. Kalau ini tidak mustahil, adanya wahyu tidak
mustahil pula.

Wahyu dalam terminologi ini dimaksudkan al-Quran dan Hadits Shahih.


Allah mempertegas hal tersebut, Kami menurunkan Al-Quran kepadamu
untuk menjelaskan segala sesuatu (QS An- Nahl: 89)

Adapun cara-cara wahyu bisa sampai pada diri manusia yaitu bisa
dicermati dalam ayat Al-Qur’an, yaitu pada Surat, as-Syura: 51-52, Q S. as-
Saffat: 102, QS. Al-A’raf: 143, QS. As-Syuara: 192-195, QS. Al-Baqarah: 97,
QS. At-Takwir: 19-23, Qs. An-Najm: 10-12, Qs. Ayat-ayat tersebut
menunjukkan bahwa wahyu disampaikan dengan berbagai cara sesuai dengan
kehendak Allah, dan hakekat wahyu tidak ada seorangpun yang mengetahui
kecuali Allah dan yang menerimanya. Pengetahuan yang diterima tidak
diragukan lagi kebenarannya, hal ini bisa dicermati melalui sebuah kitab suci
baik Al-Qur’an maupun kitab suci yang lain yang diturunkan Allah kepada

41
para nabi dan rasul yang bisa dijadikan petunjuk umat disepanjang zaman,
sebagaimana Al-Qur’an yang sampai ini tak seorangpun yang dapat membuat.
Dan Al-Qur’an merupakan kumpulan wahyu Tuhan (pengetahuan) yang
diturunkan secara langsung dari Allah kepada Nabi Muhammad saw.

Berita yang benar (khabar shadiq) terbagi menjadi dua jenis. Berita yang
dibawa oleh orang banyak yang memustahilkan terjadinya kebohongan
(khabar mutawatir) dan berita yang disampaikan oleh Rasulullah saw.
Otoritas pada jenis yang pertama—yang memasukkan kesepakatan ulama,
ilmuwan, dan orang-orang terpelajar—dapat dipertanyakan dengan metode-
metode rasional dan eksperimen. Namun, otoritas jenis kedua adalah mutlak.
Hal ini karena, sebagaimana terdapat tingkatan pada rasio dan pengalaman,
dalam otoritas pun terdapat tingkatan. Dalam keyakinan muslim, otoritas
tertinggi adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi saw, yang mencakup pribadinya.
Dalam pengertian bahwa kedua bukan hanya menjelaskan kebenaran, tapi
keduanya adalah kebenaran itu sendiri yang merupakan representasi otoritas
berdasar tingkatan tertinggi intelektualitas, pencerapan spiritual dan
pengalaman transendental, sehingga keduanya tidak bisa direduksi pada
tingkatan rasio dan pengalaman normal manusia.

2. Akal
Dalam al-Qur`an dijumpai 49 kali kosa kata yang berakar kata a-q-l (‫)عقل‬
dalam berbagai bentuk. Misalnya: 20[. ‫ نعقل – يعقل – يعقلون‬-‫]عقلوا – تعقلون‬
Sebarannya sebagai berikut: kata ‫‘( عقلوه‬aqaluh) dijumpai dalam 1 ayat,
kata ‫( تعقلون‬ta’qilun) 24 ayat, ‫( نعقل‬na’qil) 1 ayat, ‫( يعقتها‬ya’qiluha) 1 ayat,
dan ‫( يعقلون‬ya’qilun) 22 ayat 21. Makna kosa kata itu dalam arti paham dan
mengerti. Sebagai contoh dapat dilihat pada ayat-ayat berikut:

Maka apakah kamu (muslimin) sangat mengharapkan mereka akan


percaya kepadamu, sedangkan segolongan dari mereka mendengar firman
Allah, lalu mereka mengubahnya setelah memahaminya, padahal mereka
mengetahuinya? (QS. Al-Baqarah: 75).

42
Prof. Wan menjelaskan bahwa aspek akal merupakan saluran penting yang
dengannya diperoleh ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang jelas, yaitu
perkara yang dapat dipahami dan dikuasai oleh akal dan tenang sesuatu yang
dapat diserap oleh indera. Akal fikiran (al-aql) bukan hanya rasio. Akal
adalah “fakultas mental” yang mensistematisasikan dan menafsirkan fakta-
fakta empiris menurut kerangka logika, yang memungkinkan pengalaman
inderawi menjadikan sesuatu yang dapat dipahami. Akal adalah entitas
spiritual yang rapat dengan hati (al-qalb), yaitu menjadi tempat intuisi.

3. Indera
Saeful Anwar mengutip al-Ghazali menyebutkan, panca indera merupakan
sarana penangkap pertama yang muncul dari dalam diri manusia, disusul
dengan daya khayal yang menyusun aneka bentuk susunan, dari partikular-
partikular yang ditangkap indera kemudian tamyiz (daya pembeda), yang
menangkap sesuatu di atas alam empirik sensual di sekitar usia tujuh tahun,
kemudian disusul oleh akal yang menangkap hukum-hukum akal yang tidak
terdapat pada fase sebelumnya. Panca indera diumpamakan sebagai tentara
kalbu yang disebar ke dunia fisis-sensual, dan beroperasi di wilayahnya
masing-masing dan laporannya berguna bagi akal.

Pengetahuan inderawi dimiliki manusia melalui kemampuan indera.


Kemampuan itu diperoleh manusia sebagai makhluk biotik, berkat inderanya
manusia dapat mengetahui apa yang terjadi di alam ini. Indera
menghubungkan manusia dengan hal-hal yang konkrit material. Pengetahuan
indera bersifat parsial, disebabkan perbedaan indera dengan yang lain. Namun
pengetahuan inderawi sangat dibutuhkan karena indera merupakan gerbang
pertama untuk pengetahuan yang utuh.

4. Ilham/Intuisi
Berbeda dengan yang dipahami dalam peradaban Barat, intuisi bukan
sekedar pemahaman langsung, oleh subjek, tentang dirinya; kesadarannya;
‘diri’ lain selain dirinya; ‘dunia luar’ (external world), yang universal, nilai-
nilai, dan kebenaran rasional. Disamping semua itu, intuisi, juga, adalah

43
pemahaman langsung tentang kebenaran-kebenaran agama, realitas dan
eksistensi Tuhan, realitas eksistensi-eksistensi sebagai kebalikan dari esensi;
dan karenanya, pada tingkatan yang lebih tinggi intuisi adalah intuisi tentang
eksistensi itu sendiri.

Sumber islam menurut Islam dan Barat memiliki perbedaan yang


mendasar. Kerangka epistemologi islam didasarkan pada otentitas wahyu,
sementara barat adalah hasil dari spekulasi-spekulasi filosis berbasis indera
dan akal. Sehingga pembatasan makna 'ilmu' akan sangat berbahaya jika
dikembangkan dalam sistem keilmuwan bagi orang muslim. Hasilnya akan
terjadi kekacauan.21

2.9 Perspektif Barat tentang Ilmu Agama


Sebagaimana disinggung di muka, kajian pokok tentang sumber ilmu dalam perspektif
Barat diwakili oleh tiga madzhab utama, yaitu rasionalisme, empirisme, dan kritisisme. Madzhab
Rasionalisme dikaitkan filosof abad ke-17 dan 18, seperti Rene Descartes, Baruch Spinoza, dan
Gottfried Leibniz, yang sebenarnya berasal dari pemikiran filsafat Yunani. Paham ini
menyatakan bahwa pada hakikatnya ilmu itu bersumber dari akal budi manusia. Descartes
berpendapat bahwa dalam jiwa manusia terdapat ide bawaan (innate ideas) yang dinamakan
substansi yang sudah tertanam. Ide bawaan tersebut terdiri atas : pemikiran, Tuhan, dan keluasan
(ekstensi). Adapun ilmu-ilmu lain yang dicapai manusia pada hakikatnya adalah derivasi dari
ketiga prinsip dasar tersebut. Menurut aliran ini sumber ilmu adalah akal melalui deduksi ketat
seraya mengabaikan pengalaman. Hal ini, menurut mereka, karena ilmu adalah sesuatu yang
sudah ‘built in’ dalam jiwa manusia dan tugas kita adalah mencapainya melalui deduksi.
Karenanya, ilmu yang dihasilkan oleh aliran ini—biasanya dianggap-bersifat universal.

21
H. Abuddin Nata, Suwito, Masykuri Abdillah dan Armai Arief. 2003. Integrasi ILMU
AGAMA & ILMU UMUM. Jakarta : UIN Jakarta Press

44
Menurut madzhab ini, indera adalah sumber pemahaman terhadap konsepsi-konsepsi dan
gagasan-gagasan sederhana. Hanya saja indera bukan satu-satunya sumber. Di samping indera,
ada fitrah yang mendorong munculnya sekumpulan konsepsi dalam akal.
Madzhab kedua adalah empirisisme yang menekankan pentingnya pengalaman sebagai
sarana pencapaian pengetahuan. Aliran ini dipelopori oleh Francis Bacon, sekalipun dalam
pengertian tertentu pemikiran yang mengutamakan pendekatan empirik. Puncak pemikiran aliran
ini terdapat pada pemikiran David Hume yang dalam karyanya A Treatise of Human Nature.
Dalam buku tersebut David Hume mengupas persoalan-persoalan epistemologis penting.
Berbanding terbalik dengan rasionalisme, mazhab ini berpandangan bahwa seluruh isi pemikiran
manusia berasal dari pengalaman, yang kemudian diistilahkan dengan persepsi. Persepsi,
kemudian, dibagi menjadi dua macam, yaitu kesan-kesan (impressions) dan gagasan (ideas).
Yang pertama adalah persepsi yang masuk melalui akal budi, secara langsung, sifatnya kuat dan
hidup. Yang kemudian adalah persepsi yang berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan.
Derivasi ilmiah yang diakui oleh aliran ini adalah induksi terhadap fakta-fakta empiris. Tapi hal
ini tidak berarti mereka mengklaim universalitas induksi. Alih-alih, mereka justru menekankan
keterbatasan induksi yang hal ini berarti mereka menolak generalisasi.

Menurut Hobbes, segala yang ada bersifat bendawi. Bendawi dimaksudkan ialah segala
sesuatu yang tidak bergantung kepada gagasan kita. Ia juga mengajarkan bahwa segala kejadian
adalah gerak, yang berlangsung karena keharusan. Realitas segala yang bersifat bendawi terliput
di dalam gerak itu. Segala obyektifitas di dalam dunia luar bersandar kepada suatu proses tanpa
pendukung yang berdiri sendiri. Ruang atau keluasan tidak memiliki eksistensi atau keber-“ada”-
an sendiri. Ruang justru gagasan tentang hal yang ber-“ada” itu. Sedangkan waktu adalah
gagasan tentang gerak.
Aliran ketiga adalah kritisisme yang merupakan usaha untuk mensintesa dua kutub
ekstrim sebelumnya; rasionalisme dan empirisisme. Tokoh utama aliran ini adalah Immanuel
Kant. Pemikiran yang disampaikan oleh Kant berusaha untuk mengakhiri perdebatan yang terjadi
tentang objektivitas pengetahuan antara rasionalisme Jerman, yang diwakili Leibniz dan Wolff,
dan Empirisisme Inggris. Dalam usahanya, Kant berusaha menunjukkan unsur mana saja dalam
pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur mana yang berasal dari akal. Berbeda
dengan aliran filsafat sebelumnya yang memusatkan perhatian pada objek penelitian, Kant
mengawali filsafatnya dengan memikirkan manusia sebagai subjek yang berpikir. Dengan
demikian fokus perhatian Kant adalah pada penyelidikan rasio manusia dan batas-batasnya.

45
Dari ketiga madzhab diatas dapat disimpulkan bahwa, sumber-sumber ilmu menurut
ilmuwan-ilmuwan barat hanya terbatas pada akal (rasio) dan panca indera. Mereka hanya
menitikberatkan pada dua komponen ini. Sehingga hasilnya, makna ilmu terbatas pada objek-
objek nyata. Sedangkan berita shahih yang datang dari wahyu mereka menafikan, dan tidak
memasukkannya ke dalam devinisi ilmu. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan
moral, yang diatur oleh rasio manusia terus menerus berubah.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ilmu merupakan bagaikan cahaya dalam sebuah kegelapan. Seseorang yang memahami apa
hakikat sebuah ilmu, maka dia akan mengerti bagaimana cara memperolehnya, memahaminya,
mengamalkannya, dan juga menjaganya. Banyak sekali para ilmuan, filosof, ulama yang
berbondong-bodong untuk menacari apa itu hakikat sebuah ilmu, hingga akhirnya banyak sekali
pendapat, teori-teori yang menjelaskan asal muasal dari ilmu itu sendiri. Sebelum agama islam
datang, ilmu sudah dipelajari di zaman yunani yang mana masih banyak kerancuan di dalamnya.
Kemudian islam datang dan membawa pemabruan dengan mengadopsi dasar penemuan ilmu
dari para ilmuan yunani. Sehingga islam menaglami kejayaan pada zamannya karena telah
mengembangkan ilmu dan mengintegrasikanya dengan agama. Kemudian ada beberapa ulama
yang menentang atau berbeda pendapat mengenai adanya filsafat islam, yang dianggap masih
bersifat rancu. Dan juga adanya berbagai faktor dari para orang islam sendri, yang sudah bisa
berfikit kreatif tentang perkembangan ilmu, berbeda jauh pada zaman kejayaanya dulu. Sekarang
datanglah ilmuan eropa barat yang sudah mengambil alih peran dalam percaturan dunia
mengenai perekmbangan imu pengetahuan. Di mana ilmuan eropa barat memisahkan antara ilmu
umum dengan ilmu agama, sehingga muncul lah ilmu yang bersifat sekuler, yang jauh dari akan
campur tangan tuhan. Yang pada hakikatnya ilmu itu kemablinya hanya satu yakni Allah.
46
Islam mengajarkan bahwa ilmu itu ada karena ada yng menciptakan, dan kita menusia hanya
menemukan tidak menciptakan. Tetapi dunia barat membantah kebenaran akan hal itu. Mereka
telah banyak melakukan penemuan-penemuan, penelitian-penelitian untuk menguji atas
kebenaran tuhan akan tetapi mereka tetap menolak hal tersebut. Padahal notabene ilmu yang
mereka peroleh adalah hasil adopsi dari para ilmuan islam, yang telah mengalami kemajuan
begitu besar, tetapi mereka mengambil begitu saja dan mengakuinya sebagai miliknya.
Kemudian mereka memisahkan antara ilmu agama dengan ilmu umum.

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad, Islam; Ilmu Pengetahuan dan Msyarakat Madani, terj oleh Haris Fadillah.
Jakarta: Raja Grafindo, 2004.

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, 2005, Jakarta : Gaya Media Pratama. Cet Pertama.

Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam Kapita Selekta Pendidikan Islam, 2001, Jakarta,

Bakar, Osman, DR, Tawhid and Science; Islamic perspective on Religion and Science, .
Malaysia: sdn BHR, 2008.

Bakhtiar, Amsal, Filsasat Ilmu,. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

H. Abuddin Nata, Suwito, Masykuri Abdillah dan Armai Arief. 2003. Integrasi ILMU AGAMA
& ILMU UMUM. Jakarta : UIN Jakarta Press Hal 30.

Nata, H. Abuddin, 2003. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta : UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Pt.Gramedia, Hal 338
Qomar M.Ag, prof.mujamil. 2002. Epistemologi pendidikan islam. Jakarta: penerbit Erlangga

Soedewo, Ilmu pengetahuan dan Agama,. Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2007.

47

Anda mungkin juga menyukai