KATA PINJAMAN BAHASA BARAT DI DALAM MEDIA MASSA BAHASA
INDONESIA: SUATU TINJAUAN FUNGSIONAL
Marcellinus Marcellino
Universitas Atma Jaya, Jakarta
1 Pendahuluan
Makalah ini membahas penggunaan kata pinjaman bahasa Barat di tiga media
massa bahasa Indonesia, yaitu dua surat kabar dan satu majalah, dari awal pener-
bitannya sampai tahun 1980-an. Kedua surat kabar itu ialah Merdeka (dari bulan
Oktober 1945 sampai bulan Desember 1985), dan Kompas (dari bulan Juli 1965
sampai bulan Desember 1980), sedangkan majalahnya adalah Tempo (dari bulan
Maret 1971 sampai bulan Juli 1986).
Dari dua surat kabar tersebut yang diselidiki hanya berita utama terbitan
pertama tiap bulan dengan interval lima tahun, sedangkan dari majalah Tempo ha-
nya empat register yang diselidiki, yaitu: agama, ilmu dan teknologi, berita nasio-
nal, dan kontak pembaca.
Analisis kata pinjaman bahasa Barat ini dibahas dari aspek linguistik, sosio-
Jinguistik, dan psikolinguistiknya. Dari aspek linguistik, kata pinjaman dari bahasa
Barat masuk ke media massa bahasa Indonesia karena tiga alasan berikut: (a) un-
tuk mengisi suatu kesenjangan leksikon, (b) untuk memberikan "sufficiency" di bi-
dang semantik, (c) untuk memenuhi kebutuhan khusus suatu register. Ketiga
alasan itu didukung oleh kesediaan bahasa peminjam untuk menerima kosakata
dari bahasa yang dipinjam. Register yang saya maksud di sini menunjuk pada "ke-
anekaragaman bahasa" (speech variety) yang digunakan oleh sekelompok orang
tertentu yang biasanya mempunyai pekerjaan atau berbagi (share) kesenangan (in-
terest) yang sama (Richards et al. 1985).
Dari aspek sosiolinguistik, peminjaman kosakata bahasa Barat ke dalam baha-
sa Indonesia disebabkan asosiasi_ simboliknya dengan bahasa yang dipinjam.
Asosiasi simbolik ini biasanya berhubungan dengan nilai-nilai sosial masyarakat
bahasa tersebut. Hal ini dapat bersifat positif ataupun negatif. Dalam kaitannya
dengan bahasa Barat di bahasa Indonesia, orang Indonesia umumnya mempunyai
sikap positif, khususnya terhadap bahasa Inggris, karena bahasa ini oleh sementara
orang dianggap bergengsi (prestigious). Seperti_ terungkap dalam penelitian ini,
banyak artikel yang bahkan memakai “alih kode" (codeswitches). Ini menandakan
bahwa si penulis dengan sengaja menggunakan kata-kata bahasa Barat yang mudahdiidentifikasikan sebagai sarana untuk memamerkan status sosialnya lewat penge-
tahuan yang diperolehnya (Weinreich 1966).
Dari aspek psikolinguistik, sikap psikologis "masyarakat peminjam bahasa" (The
borrowing language community) terhadap bahasa yang dipinjam juga memainkan
peranan yang penting dalam proses peminjaman bahasa. Dalam hal ini, sangatlah
relevan argumentasi Weinreich (1966) yang mengatakan bahwa kecakapan ekspresi
verbal orang yang berdwibahasa dan kemahirannya memisahkan dua bahasa yang
bersangkutan, kemampuan bilingual dalam bahasa-bahasa yang dipelajari, serta
toleransinya terhadap penggunaan "bahasa campuran" (mixed languages).
Dalam makalah ini pertama-tama akan dibahas masalah yang dihadapi pakar
bahasa di Indonesia dalam mengembangkan kosakata bahasa nasionalnya, yaitu
Bahasa Indonesia (BI). Selanjutnya, akan dibahas pula ketiga aspek di atas secara
rinci. Akhirnya, implikasi penggunaan kosakata bahasa Barat pada BI akan dibica-
rakan dalam kaitannya dengan teori linguistik.
2 Masalahnya
Di suatu bangsa yang beranekaragam kelompok etniknya, seperti Indonesia, banyak
masalah yang telah dialami dalam mengembangkan kosakata bahasa nasionalnya,
yaitu BI, yang telah dikembangkan dari berbagai macam bahasa Melayu. Salah
satu masalahnya tercermin dalam kontroversi di antara pakar bahasa dalam me-
nentukan nara sumber bahasa asing yang dapat digunakan sebagai dasar (basis)
dalam mengembangkan kosa kata BI. Beberapa pakar bahasa lebih suka
meminjam kata-kata bahasa Barat, terutama bahasa inggriss pakar bahasa yang
Jain lebih senang meminjam kata-kata bahasa Sanskerta, salah satu bahasa asing
yang secara tradisional dan dominan telah digunakan dalam BI (Alisjahbana 197
Lowenberg 1983; 1984). Konflik ini masih berkelanjutan sampai sekarang, khusus-
nya antara wartawan, sektor lain masyarakat Indonesia, beberapa pakar bahasa,
dan pemimpin politik negara ini, termasuk beberapa pakar bahasa yang bekerja
untuk pemerintah.
Pendukung peminjam kata-kata bahasa Barat beralasan bahwa kata pinjaman
dari rumpun bahasa ini dapat memberikan dasar untuk mengembangkan peristilah-
an bahasa Indonesia guna memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang modern, industri, perdagangan, media massa, administrasi pemerintah, dan
pendidikan tinggi (Abas 1978; Alisjahbana 1976; Lowenberg 1984). Sebaliknya,
pendukung peminjam kata-kata dari bahasa bukan Eropa berpendapat bahwa kosa-
kata baru yang akan dimasukkan ke dalam bahasa Indonesia hendaknya berasal
dari bahasa Sanskerta dan Arab, sebagaimana bahasa Melayu telah meminjamnya
68lewat perjalanan sejarahnya yang panjang- Menggunakan kata pinjaman dari
bahasa Sanskerta dan Arab, menurut pendukungnya, dapat mempertahankan tradisi
dan kultur bangsa indonesia dan mendorong rasa nasionalisme di antara bangsa
Indonesia (Alisjahbana 1976). Pendukung aliran ini lebih jauh berargumentasi
bahwa peminjaman kosakata dari bahasa-bahasa Eropa dapat mengakibatkan pemi-
sahan linguistik antara orang Indonesia elit teknokrat dan masa non-elite yang
tidak terbiasa dengan istilah-istilah bahasa Barat (Lowenberg, 1978:78). Adapun
peminjaman kata-kata dari bahasa Sanskerta dan bahasa-bahasa asing lainnya yang
telah dipakai secara tradisional di dalam BI akan lebih siap dimengerti oleh seba-
gian besar orang Indonesia, dan hal ini dapat mempercepat proses pemodernan BI.
Arus kata-kata asing dari bahasa Barat yang dipinjam ke dalam BI, khususnya
kata-kata dari bahasa Inggris, telah nampak sejak deklarasi kemerdekaan bangsa
Indonesia di tahun 1945. Alisjahbana (1976) mengatakan bahwa lebih dari 321.000
istilah modern telah dimasukkan ke dalam peristilahan BI, dan telah digunakan di
sekolah-sekolah, parlemen, dan media massa, seperti surat kabar, majalah, dan
Jain-lain. Sehubungan dengan hal ini, Lowenberg (1983) juga mengatakan bahwa
kosakata BI telah dikembangkan lebih jauh dari peminjaman kosakata bahasa asing
dalam jumlah yang besar.
Setidak-tidaknya ada dua alasan pokok yang dapat menerangkan mengapa
kosakata BI telah secara progresif berkembang dari pinjaman bahasa asing dalam
jumlah yang besar. Yang pertama berasal dari permintaan menerjemahkan buku-
buku pelajaran berbahasa Belanda ke dalam BI; selama masa pendudukannya di In-
donesia bangsa Jepang melarang penggunaan buku pelajaran berbahasa Belanda
tersebut. Akibatnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Alisjahbana (1962, 1976)
banyak jstilah teknik dan ilmu pengetahuan dari bahasa Belanda diambil oleh
Komisi Bahasa Indonesia, yang didirikan pada tanggal 20 Oktober 1942, dan digu-
nakan di sekolah-sekolah. Alasan yang kedua menekankan bahwa karena semakin
meningkatnya peranan bahasa Inggris di negara-negara tetangga terdekat Indone-
sia, seperti Malaysia, Singapura, Filipina, dan Papua Nugini, serta semakin me-
ningkatnya pengaruh Amerika terhadap Indonesia, maka semakin meningkatlah
kata pinjaman dari bahasa Inggris. Bahasa Inggris akhirnya menggantikan bahasa
Belanda sebagai bahasa asing pertama yang dipakai kaum intelektual Indonesia
(Lowenberg 1983).
3 Aspek Linguistik Peminjaman Leksikon
Dalam menyelidiki sebab peminjaman kosakata, pertama-tama penting bagi kita
untuk mengetahui alasan-alasan yang mendorong si pembicara, termasuk pembicara
69yang hanya berbahasa satu (monolinguals), agar dapat _menerima kata pinjaman
baru ke dalam perbendaharaan katanya (their vocabulary stock). Penelitian terda-
hulu telah mengaitkan inovasi leksikon dengan faktor berikut ini: (a) kesenjangan
leksikon, (b) ketidakcukupan (insufficiency) di bidang semantik, (c) daya penerima-
an (receptivity) bahasa peminjam (borrowing language) terhadap bahasa yang dipin-
jam (donor language), (d) kehomoniman, (e) identitas personal, dan (f) kebutuhan
untuk eufemisme. Kedua faktor terakhir ini mungkin dapat dikategorikan ke
dalam aspek sosiolinguistik.
Dari hasil analisis di dalam telaah ini, ada empat faktor linguistik yang me-
nyebabkan masuknya kosakata bahasa Barat ke Bl: (a) kebutuhan mengisi keko-
songan perbendaharaan kata BI, (b) kebutuhan memberikan kecukupan (sufficiency)
pengertian di bidang semantik, (c) kebutuhan memenuhi suatu register tertentu,
dan (4) kesediaan menerima (receptivity) kosakata (dari) bahasa yang dipinjam.
3.1 Kebutuhan mengisi kekosongan perbendaharaan kata
Weinreich (1966) mengatakan bahwa dalam peminjaman kosa kata bahasa lain
kebutuhan menunjuk barang baru, yaitu barang-barang yang baru ditemukan (newly
Invented products) atau yang diimpor dari masyarakat bahasa Jain, atau kebutuhan
menunjuk tempat, orang, dan konsep baru, merupakan alasan yang utama, walau-
pun tidak merupakan satu-satunya faktor utama. Dalam hal ini, Kay (1986) juga
mengatakan bahwa kata pinjaman sering digunakan untuk membedakan barang-
barang yang mempunyai konotasi yang berbeda secara kulturnya, baik ditinjau dari
bentuk maupun penggunaannya. Dia mengilustrasikan argumenya dengan membe-
rikan contoh kata pinjaman bahasa Inggris di dalam bahasa Jepang. Kata basu
adalah kata pinjaman dari bahasa Inggris bath, yang menunjuk bentuk dan penggu-
naan yang berbeda dengan kamer mandi tradisional orang Jepang yang disebut
o-furo, Dengan kata lain, inovasi leksikon sangat dipengaruhi oleh keterbatasan
kemampuan persediaan kosakata bahasa peminjam untuk merepresentasikan refe-
ren (referents) ataupun gagasan (nofions) yang baru bagi masyarakat peminjam
bahasa.
Dalam penelitian ini telah ditemukan banyak kata pinjaman dari bahasa Ba-
rat, seperti telepon, radio, jet, helikopter, gas, nuklir, energi, bom, radiasi. Kata-
kata ini dipinjam oleh BI sebab kata-kata itu menunjukkan hal-hal baru yang be-
lum ada di dalam persediaan kosakata BI. Oleh karena itu, kata-kata semacam
ini tak dapat dihindarkan lagi untuk dipinjam guna pengembangan leksikon BI.
Dari bidang semantiknya, kata-kata tersebut di atas begitu distingtif sehingga tak
ada satu kata pun di dalam BI yang dapat menggantikannya.
70Akhirnya, Weinreich (1966:57) lebih jauh mengungkapkan bahwa kehadiran
kata pinjaman di dalam bahasa peminjam (borrowing language) dapat _diterangkan
‘oleh kenyataan bahwa "penandaan yang sudah siap pakai (ready-made designations)
itu lebih ekonomis daripada "menerangkan benda-benda itu sekali lagi" (describing
things afresh).
3.2, Kebutuhan memberikan kecukupan pengertian di bidang semantik
Faktor Jain yang menyebabkan peminjaman kata dari suatu bahasa ke bahasa lain
dari pihak pembicara yang berdwibahasa (bilinguals) dapat dikaitkan dengan bidang
semantik (semantic field) bahasa peminjam itu sendiri. Kekurangspesifikan (lack
of specification) suatu konsep semantik dapat menyebabkan pembicara yang ber-
dwibahasa itu berpendapat bahwa bidang semantik kosakata bahasanya kurang di-
bedakan secara rinci, Fenomena semacam ini dapat menimbulkan proses pemin-
jaman leksikon bahasa lain yang mampu merepresentasikan gagasan atau referen
(referents) yang ingin dikemukakannya (Weinreich 1966).
Dalam telaah ini telah ditemukan kata-kata bahasa Barat di media massa
yang diselidiki. Beberapa contoh kata pinjaman itu misalnya xonferensi, celegasl,
defisit, dan teknik, Kata-kata ini, kalau ditelaah lebih lanjut, mempunyai arti
yang lebih distingtif dibandingkan dengan persamaan katanya di dalam BI, seperti
pertemuan, utusan, kekurangan, dan cara.
Kata konferensi menunjuk pada suatu pertemuan yang melibatkan diskusi kon-
sultasi (Sykes 1982:197). Akan tetapi, pertemuan tidaklah harus melibatkan disku-
si untuk mencari nasihat (advice) (Tim Penyusun Kamus 1988:926). Hal yang
sama juga dapat dilihat pada kata delegasi, yang berarti mempercayakan kekuasa-
52), se-
dangkan utusan berarti 'seseorang yang ditugaskan melakukan sesuatu’. Tugas ini
bahkan dapat dilakukan oleh seorang kurir (Tim Penyusun Kamus 1988:1000).
Kata defisit hanya digunakan menunjuk pada suatu kondisi keuangan (financial
an kepada suatu deputi (entrusting of authority to deputy) (Sykes 1982:
condition) yang berstatus kurang (Sykes 1982:250), sedangkan kekurangan dapat di-
gunakan pada berbagai bidang (domains), seperti "kekurangan makan” (lack of
food), "kekurangan tenaga" (lack of energy), "kekurangan bahan kertas" (paper
shortage), dan lain-lain. Dalam hal ini, ‘kekurangan’ dapat menunjuk istilah Ing-
gris lack atau shortage. Hal ini juga benar untuk kata teknik. Dalam bahasa Ing-
gris, misalnya, teknik mengandung pengertian tentang pemilikan keterampilan pro-
fesional ataupun mekanikal. Akan tetapi, pengertian kata cara dalam BI tidak di-
bedakan secara rinci dan tidak harus mengandung pemilikan keterampilan profe-
sional ataupun mekanikal. Dengan demikian, pengertian kata cara dapat _menunjuk
apada istilah Inggris "way" atau "procedure". Contoh dalam BI misalnya, "cara
berbicara" (way of speaking), "cara berpakaian" (way of dressing), dan “cara men-
dapat pinjaman" (procedure of having loans).
3.3 Kebutuhan memenuhi suatu register tertentu
Pengaruh kuat akan pengenalan bahasa-bahasa Barat, khususnya bahasa Inggris, di
bidang-bidang yang bertalian dengan "modernity" mengakibatkan peminjaman kosa
kata dari bahasa asing ke dalam BI (Lowenberg 1984). Kata-kata pinjaman bahasa
Barat ini sangat lazim di media massa BI (Kaehler 1978). Kata-kata ini diguna-
kan tidak hanya oleh jurnalis yang secara teratur menulis di surat kabar ataupun
media massa lainnya, tetapi juga oleh pembaca, sebagaimana tercermin dalam
"kontak pembaca" di majalah Tempo (Marcellino 1990).
Lowenberg (1984:167) mengatakan bahwa mayoritas pemakai bahasa Ingeris di
Indonesia adalah "orang elit birokratik baru" (new bureaucratic elite) yang menga-
tur perwakilan atau kantor-kantor pemerintah, institusi akademik, dan perusaha-
an-perusahaan besar Indonesia. Kelompok ini berkisar sekitar 1 sampai 3 persen
dari masyarakat Indonesia, tetapi mereka mempunyai pengaruh yang sangat besar
di banyak sektor di Indonesia.
Dalam telaah ini, telah ditemukan beberapa kata pinjaman bahasa Barat un-
tuk kebutuhan khusus suatu register. Kata politik, nasional, internasional, dan re-
publik, misalnya, sering digunakan di dalam register politik. Contoh lain yang
ditemukan dalam penelitian ini adalah kata mistik dan uni
untuk register agama
(Marcelino 1990). Dalam hal ini, Stevens (1973:75-6) melaporkan bahwa bebera-
pa kata pinjaman telah digunakan di dalam surat kabar baru-baru ini untuk melu-
kiskan aspek mistik dari segi pandangan psikologi Barat. Beberapa kata pinjaman
yang dia ambil misalnya irrasionil dan astrologi.
Register lain yang juga sering menggunakan kata pinjaman bahasa Barat un-
tuk memenuhi kebutuhan khusus registernya, sebagaimana yang diperhatikan oleh
Lowenberg (1984), berkaitan dengan perusahaan-perusahaan komersial modern, se-
Perti perusahaan perdagangan yang besar, pasar swalayan, pabrik, dan salon ke-
cantikan. Dalam register ini, Lowenberg mengatakan bahwa kata-kata seperti. bis-
nis, kredit, dan manajer akan lebih sering digunakan dibandingkan dengan kata-
kata yang sudah ada dalam bahasa Indonesia, seperti dagang, piutang, dan pemim-
pin, Kata-kata terakhir ini biasanya sering digunakan dalam membicarakan per-
dagangan tradisional yang kecil, seperti tempat tukang jahit (a tailor shop), atau
restoran kecil.
723.4 Kesediaan menerima (receptivity) bahasa peminjam terhadap bahasa yang di-
pinjam
BI bersedia menerima kata-kata pinjaman bahasa lain; maka banyak Kosa —_—kata
bahasa asing masuk ke dalam perbendaharaan kosa kata BI (bandingkan dengan ba-
hasa Marathi yang dibahas oleh Pendharipande, 1981). Ini berarti bahwa kata pin-
jaman, baik dari bahasa Barat maupun dari bahasa non-Barat, dapat ditransforma-
sikan ke dalam berbagai jenis kata BI lewat sistem afiksasinya, dengan syarat
bahwa kata pinjaman itu telah mengalami nativisasi (nativization) fonologi mau-
pun morfologi. Contoh yang ditemukan dalam penelitian ini, misalnya_mengimpor
(Tempo, 6 Maret 1971), diimpor (Kompas, | April 1970), musiknya (Merdeka, 1 Fe-
bruari 1970), diprotes (Tempo, 6 Maret 1971), memprotes (Merdeka, | Oktober
1955), dan masih banyak contoh lainnya. Sebegitu besarnya kesediaan BI meneri-
ma kosa kata bahasa lain sehingga “alih kode" pun dapat diberi afiks ataupun
direduplikasikan, sebagaimana yang terdapat pada contoh berikut ini: shownya
(Merdeka, | Februari 1970), memfokuskan (Tempo, 6 Maret 1976), statemennya
(Merdeka, | Maret 1955), tank-tank (Merdeka, 1 Mei 1975), dan unit-unit (Merde-
ka, | Mei 1970). (Astinya bentuk reduplikasi itu dituliskan dengan angka 2, tetapi
i sini dituliskan kembali dengan mengikuti kaidah menurut EYD.)
Akhirnya, dapatlah dikatakan bahwa morfologi bahasa Indonesia itu begitu
reseptif terhadap kata pinjaman bahasa Barat sehingga hal ini dapat menyebabkan
kata pinjaman bahasa Barat mengalami proses morfologi bahasa Indonesia yang
sama seperti yang dialami oleh kata pinjaman dari bahasa Sanskerta ataupun
bahasa Arab, Akan tetapi, penting juga ditekankan bahwa semakin melanggar
aturan morfofonemik BI, kata pinjaman itu semakin nampak keasliannya. Oleh
karena itu, semakin mudah bagi pakar bahasa untuk melacak "bahasa sum-
ber" (source Janguage) kata pinjaman yang bersangkutan.
4 Aspek sosiolinguistik peminjaman leksikon
Haugen (197:
tidaklah harus dibatasi pada "the actual cultural novelties or so-called ‘necessary
9) mengatakan bahwa kebutuhan peminjaman kata dari bahasa lain
words" (kata-kata yang diperlukan saja). Dalam hal ini, Weinreich (1966) mene-
gaskan bahwa peminjaman ieksikon dapat dimengerti dengan baik apabila dihu-
bungkan dengan keadaan sosiokultural dah psikologi dalam arti yang luas.
Dari aspek sosiolinguistik, peminjaman kosakata dapat dipenuhi oleh asosiasi
simbolik bahasa yang dipinjam pada kontak pertemuan tertentu (ina contact situa-
tion). Weinreich (1966:60) mengatakan bahwa apabila suatu bahasa itu dianggap
bergengsi (prestigious), orang yang berdiwbahasa cenderung menggunakan kata~
73kata yang cepat diidentifikasikan dari bahasa yang bergengsi itu untuk menunjuk-
kan status sosialnya yang dicerminkan lewat pengetahuannya. Dalam kaitannya
dengan hal ini, Haugen (1972:60) menyebutnya bahasa "superior" dengan bahasa
"subordinate". Haugen menegaskan bahwa suatu gejala bahasa yang alami bagi
bahasa “subordinate” meminjam kata-kata bahasa "superior". Dalam hubungan ini,
Labov, yang dikutip Rubin (1971:264), mengatakan bahwa karena nilai-nilai sosial
itu begitu berarti, mereka dapat mempengaruhi perubahan bahasa (language
change). Jadi, sikap dan kepercayaan orang yang berdwibahasa akan suatu bahasa
tertentu memainkan suatu peranan yang sangat penting di dalam perubahan baha~
sa.
Dalam telaah ini telah ditemukan pula banyak kata pinjaman dari bahasa Ba-
rat ke dalam bahasa Indonesia, di antaranya bahkan dalam bentuk “alih kode"
(codeswitches). Dari segi sosiolinguistik, kata-kata pinjaman its mempunyai dua
fungsi pokok seperti yang telah disebutkan di atas, yaitu (a) menunjukkan identi-
tas personal, dan (b) memenuhi kebutuhan eufemisme.
4.1 Menunjukkan identitas personal
Berikut ini beberapa contoh "alih kode" yang digunakan baik dalam bahasa lisan
maupun bahasa tulis yang diamati pada penelitian ini. Contoh “alih kode" berikut
ini mendukung argumentasi Weinreich di atas, yang mengatakan bahwa orang yang
berdwibahasa sering dipengaruhi oleh asosiasi simbolik bahasa yang dipinjam untuk
menunjukkan status sosialnya lewat pengetahuan yang diperolehnya.
Kompas
"Sekarang itu suasana tjuma jaitu, hm, de Chinezen zijn on betro bare kerels!"
(Revisi: de Chinezen zijn onbetrouwbare kerels) (Pidato Presiden Sukarno, |
November 1965)
“kepada jullie semua saja mengatakan, djangan jullie je kap verleizen, —_ja-
ngan jullie ikut2 terbakar semangatmu." (Pidato Presiden Sukarno, 1 Novem-
ber 1965)
"COME-BACK G-30 / ASU LEWAT "PWI LIAR" (2 November 1970)
"Menurut Sumartin selanjutnya, dalam mengatasi iklim dunia usaha, BKPM
perlu memperbaiki diri dan benar-benar menjalankan fungsinya seperti yang
Pernah diumumkan, yaitu one stop service" (1 April 1980)
Tempo
"Trial by the press: Perlukah dikuatirkan?" (6 November 1971)
"Tugas pengadilan adalah menemukan kebenaran fakta-fakta dan hukumnya.
Justice must be done. ("Kontak Pembaca", 6 November 1971)
“Padahal saya optimis bahwa the silent majority yang tinggal di desa-desa te-
tap percaya pada Polri."" (4 Juli 1981)
74Merdeka
"Sebelum memasuki VIP Room dimana puluhan wartawan tlh menunggu, Men-
lu Steward diperkenalkan oleh Menlu Adam Malik kepada pedjabat2 tinggi
Kemlu ..." (2 Juli 1966)
\struksi _Ketua Presidium Kabinet Amoera kepada beberapa Departemen
mengenai crash program - pengangkutan umum crash program persediaan ba-
han ” pokok ... harus diselesaikan sebelum bulan Puasa tahun ini ..."" (I No-
vember 1966)
Dari contoh di atas dapatlah dikatakan bahwa faktor sosiolinguistik maupun
sikap psikologis masyarakat peminjam bahasa (the receptor language community)
merupakan faktor utama dalam penggunaan bahasa. Dalam hal ini si pembicara
ataupun si penulis telah dipengaruhi oleh asosiasi simbolik bahasa lain yang dia
anggap lebih bergengsi (prestigious) sebagai suatu sarana atau piranti komunikasi,
dan ini digunakan untuk menunjukkan status sosialnya (Wienreich 1966).
4.2, Memenuhi kebutuhan eufemisme
Alasan lain untuk meminjam kosa kata dari bahasa asing ke BI, menurut
Weinreich (1966), ialah untuk keperluan eufemisme. Dalam kaitannya dengan hal
ini, Alisjahbana (1976) mengatakan bahwa selama berapa tahun terakhir ini kata~
kata baru telah bermunculan di BI untuk melengkapi kata-kata yang sudah ada
dan yang dianggapnya sebagai kata kasar. Kata-kata baru yang dianggap sebagai
"kata halus" itu misalnya tunasusila, tunawisma, tunakarya, dan, karena itu, kata-
kata ini menggantikan kata pelacur, gelandangan, penganggur, yang dianggap "ka-
sar". Argumentasi mereka ternyata juga terdapat di dalam telaah ini.
Kata-kata komisi, asisten, adjudant, dan prefiks bahasa Inggris ex-, seperti
dalam eks presiden, misalnya, digunakan di dalam media massa yang diselidiki.
Kata-kata ini digunakan untuk tujuan eufemisme sebagai ganti kata upah, pem-
bantu dan bekas.
Kata komisi menunjuk pada pembayaran yang diberikan pada seseorang dengan
persentase jumlah uang yang diberikan (Sykes 1982:188). Hal yang sama, yaitu
dengan kata upah, yang berarti ‘uang dsb. yang dibayarkan sebagai pembalas jasa
atau seb. pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu;
gajis imbalan’ (Tim Penyusun Kamus 1988:994). Akan tetapi, upah tidaklah se-
halus komisi karena upah biasanya diasosiasikan dengan gaji untuk pekerjaan kasar
atau pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan (unskilled labor).
Hal ini juga benar untuk kata asisten dan adjudant. Kata-kata ini dianggap
sebagai kata halus menggantikan kata pembantu, yang biasanya diasosiasikan de-
ngan 'pembantu sumah tangga' yang status sosialnya sangat rendah di masyarakat
Indonesia. Untuk kata eks, seperti dalam eks presiden, kata eks ini lebih
75dihormati (respectful) daripada kata bekas. Baru akhir-akhir ini saja_ bekas (eks)
diganti lagi dengan kata mantan yang dianggap sebagai versi yang lebih halus.
5 Aspek Psikolinguistik Peminjaman Leksikon
Sekitar tahun 1886, Hermann Paul, yang dikutip Haugen (1972:79), mengatakan
bahwa semua pinjaman dari satu bahasa ke bahasa lain disebabkan oleh penutur
yang berdwibahasa, yaitu yang setidak-tidaknya menguasai sedikit dari dua bahasa
yang dipakai. Oleh karena itu, lebih lanjut dikatakan bahwa analisis peminjaman
kata haruslah dimulai dengan analisis tingkah laku (behavior) si pembicara itu sen-
di
mampuan berbahasa ganda (bilingualism) terhadap penampilan bahasa (linguistic
Berkaitan dengan hal ini, Weinreich (1966) mengatakan bahwa akibat ke-
performance) si pembicara bervariasi karena banyaknya faktor lain, di antaranya
apa yang dia sebut sebagai faktor "extra-linguistic". Faktor "extra-linguistic” ini
berada di luar perbedaan-perbedaan struktural, atau bahkan di luar perbedaan lek-
sikal dari bahasa-bahasa yang dipakai (languages in contact). Jadi, kebutuhan lin-
guistik akan peminjaman kosakata tidak hanya ditentukan oleh kondisi linguistik
maupun sosial saja, melainkan juga dipengaruhi oleh sikap psikologis masyarakat
peminjam bahasa terhadap bahasa yang dipinjam. Sehubungan dengan hal ini,
Sapir, yang dikutip Haugen (1972:69), mengatakan bahwa sikap psikologis bahasa
Peminjam itu sendiri terhadap materi linguistik banyak pula berkaitan dengan ke-
sediaan menerima bahasa itu (its receptivity) terhadap kata-kata asing.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, seseorang yang berdwibahasa sering-
kali dipengaruhi oleh asosiasi simbolik bahasa-bahasa lain yang dia anggap lebih
bergengsi daripada bahasanya sendiri untuk menunjukkan status sosialnya (Wein-
reich 1966). Akhirnya, sikap psikologis pembicara yang berdwibahasa terhadap
bahasa donor dapat mempengaruhi penggunaan bahasa dalam suatu komunikasi.
6 Implikasi Penggunaan Kata Pinjaman Bahasa Barat dalam Kaitannya dengan
Teori Linguistik
Mungkin implikasi_ yang sangat berarti dari penelitian ini dalam hubungannya de-
Ngan teori linguistik berkaitan dengan masalah sosiolinguistik. Sebagaimana yang
umumnya dimengerti, bahasa itu dimiliki oleh dan hidup di suatu masyarakat ter-
tentu dengan kulturnya yang tersendiri. Apabila bahasa itu kemudian ingin me-
ngembangkan kosakatanya, menurut Weinreich (1966), yang diperlukan ialah perla~
kuan yang tepat akan kondisinya di mana kosakata baru, baik dari bahasa serum-
pun maupun bahasa asing, dapat dimungkinkan dan diterima oleh masyarakat ba-
hasa peminjam itu.
76Berkaitan dengan hal ini, Haugen (1966), yang dikutip Jernudd dan Das Gupta
(1971:199), mengusulkan tiga kriteria untuk “language decisions", yaitu “efficien-
cy", "adequacy", dan "acceptability". Yang pertama menunjuk pada spesifikasi
dan aplikasi serangkaian rumusan linguistik; yang kedua berhubungan dengan taraf
ketepatan bentuk-bentuk linguistik dalam menyampaikan informasi; dan yang ter-
akhir menunjukkan komponen evaluasi sosiologis.
Kriteria “language decisions" inilah yang justru menjadi masalah yang diha-
dapi pakar-pakar bahasa yang prihatin dengan situasi linguistik Indonesia sekarang
ini Dalam mengembangkan kosakata BI, sebagaimana yang telah dibahas sebe-
lumnya, dua sikap yang berbeda dari dua kelompok orang Indonesia yang sangat
berpengaruh menyebabkan perkembangan perbendaharaan kata bahasa ini menuju
ke dua arah yang berlainan: yang satu menuju ke gaya bahasa (style) Barat; se~
dangkan yang lainnya ke gaya bahasa Sanskerta.
Perpecahan (the split) dalam arah pengembangan kosakata BI inilah yang ke-
mudian mendatangkan berbagai macam kesukaran dalam menentukan terminologi
BI. Saya berpendapat bahwa dengan sikap yang moderatlah masalah pengembang-
an leksikon BI dapat teratasi. Apabila kosakata baru itu harus mengekspresikan
referen yang mempunyai nilai-nilai kepahlawanan yang berlandaskan kultur yang
sangat spesifik, di mana nuasanya tak dapat diekspresikan oleh kata pinjaman
bahasa Barat, peminjaman kata dari bahasa Sanskerta, Arab, ataupun bahasa se-
rumpun dapatlah merupakan pilihan yang paling baik. Akan tetapi, apabila istilah
baru itu harus mengekspresikan konsep-konsep yang lebih modern, peminjaman
kata dari bahasa Barat dapatlah merupakan pilihan yang paling tepat. Sebagai-
mana yang telah diungkapkan pada bahasan sebelumnya, banyak kata-kata yang
mewakili konsep-konsep modern, dari segi semantiknya, tidak dibedakan secara
tajam di dalam BI.
Akhirnya, perlu ditekankan lagi bahwa bahasa seharusnya tidaklah hanya dite-
Jaah dari aspek linguistik murni saja, melainkan haruslah juga ditelaah dari faktor
sosiokultural dan psikologis. Berkaitan dengan ini, Weinreich (1966:5) berkomen-
tar bahwa tingkat, arah dan sifat interferensi dari satu bahasa ke bahasa lain
dapat diterangkan dengan baik jika aspek sosial masyarakat yang mempunyai ba-
hasa itu dilibatkan dalam telaah bahasa. Dengan kata lain, penjelasan tentang
interferensi bahasa yang lebih menyeluruh akan dapat diungkapkan dengan baik
apabila telaah bahasa melibatkan semua sumber disiplin ilmu yang berhubungan
dengan permasalahan bahasa.
7SUMBER RUJUKAN PUSTAKA
Abas, Husen. 1978. Bahasa Indonesia as a Unifying Language of Wider Communi-
cation: A Historical and Sociolinguistic Perspective. Disertasi yang belum
diterbitkan, Ateneo de Manila University-Philippine Normal College Consor-
tium Manila.
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1962. Indonesian Language and Literature: Two Essays.
Connecticut: Yale University Southeast Asia Studies.
The case of
-. 1976. Language Planning Modernization:
Indonesian and Malaysian. The Hague: Mouton.
Haugen, Einar. 1972, The Ecology of Language. Stanford: Stanford University
Press.
Jernudd, Bjorn H. dan Jyotirindra Das Gupta. 1971. "Towards a Theory of Lan-
guage Planning: Joan Rubin dan Bjorn H. Jernudd (ed.), Can Language Be
Planned?, 195-215. Honolulu: The University Press of Hawaii.
Kaehler, Hans. 1978. "Standardization and Development of Newspapers’ Bahasa
Indonesia: A.Q. Perez, A.O. Santiago dan Nguyen Dang Liem (ed.), Papers
from the Conference on the Standardisation of Asian Languages (Desember
1974), 16-21. Canberra: The Australian National University.
Kay, Gillian S. 1986. "The English in Japanese", English Today, 2-6, 25-27.
Lowenberg, Peter H. 1983. "Lexical Modernization in Bahasa Indonesia: Functional
Allocation and Variation in Borrowing", Studies in the Linguistics Sciences
13.2, 73-85.
- 1984. English in the Malay Archipelago: Nativization and its
Functions in a Sociolinguistic Area. Urbana: University of Mlinois. Disertasi
yang belum diterbitkan.
. 1986. "Non-Native Varieties of English: Nativization, Norms,
and Implications", Studies in Second Language Acquisition &, 1-18.
Marcelino, Marcellinus. 1990. The Forms and Functions of Western Loanwords in
Selected Indonesian Print Media. Washington, D.C.: Georgetown University.
Disertasi yang belum diterbitkan.
Pandharipande, Rajeshwari. 1981, "On the Nativization of the Lexicon, The Case
of Marathi", Linguistics, 19, 987-1011.
Richards, Jack, John Platt, dan Heidi Weber. 1985. Longman Dictionary of Ap-
plied Linguistics. London: Richard Clay (The Chauser Press) Ltd.
Rubin, Joan. 1971. "Evaluation and Language Planning", Joan Rubin and Bjorn H.
Jernudd (ed.), Can Language Be Planned?, 217-252. Honolulu: The Universi-
78ty Press of Hawaii.
Stevens, Alan M. 1973. “Bahasa Indonesia: Modernization and Nationalization",
Asta 30, 70-84,
‘Skys, J.B. 1982. The Concise Oxford Dictionary. New York: Oxford University
Press.
Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangar Bahasa. 1988. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
79