Anda di halaman 1dari 37

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pertanyaan tentang kebijakan adalah pertanyaan sepanjang masa karena
kebijakan tetap
ada dan terus ada sepanjang masih ada negara yang mengatur kehidupan bersama.
Beberapa ciri dari negara yaitu merdeka atau mempunyai kedaulatan,
mempunyai
wilayah, rakyat dan pemerintahan. Serta satu hal lagi yaitu pengakuan
dari dunia
internasional yang diwakili oleh PBB.
Kehidupan bersama yang kita batasi sebagai negara secara absolut mengatur
apa dan
siapa yang ada didalamnya dan secara relatif mereka yang menjadi bagian
dari negara
tetapi tidak berada di dalam negara dan mereka yang berhubungan dengan
negara
tersebut.
Sebuah kehidupan bersama harus diatur. Tujuannya adalah supaya satu dengan
yang
lainnya tidak saling merugikan. Aturan tersebut yang secara sederhana kita
pahami
sebagai kebijakan.
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mampu memahami konsep
kebijakan secara menyeluruh serta peranannya dalam kegiatan kesehatan masyarakat.
2. Tujuan Khusus
Dengan penulisan makalah diharapkan mahasiswa mampu untuk memahami :
a. Pengertian Kebijakan
b. Tingkatan dalam Kebijakan
c. Peran dan Fungsi Kebijakan Publik
2

d. Masalah Utama dalam Bidang Kesehatan


e. Isu Kebijakan
f. Siklus Kebijakan
g. Pendekatan dalam Analisis Kebijakan
C. MANFAAT
Penulisan makalah ini menghasilkan manfaat bagi mahasiswa yaitu sebagai berikut.
1. Menambah pemahaman mengenai konsep kebijakan sebagai dasar pemahaman mata
kuliah Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.
2. Meningkatkan minat baca serta mencari referensi sebagai dasar pembuatan
makalah.
3. Melatih kerjasama tim dalam menyusun dan melatih keterampilan menulis
serta
pembuatan makalah.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN KEBIJAKAN (POLICY)


Kebijakan merupakan terjemahan dari kata ―policy‖ berasal dari bahasa
inggris yang
artinya ―a course or principle of action adopted or proposed by a
government, party,
business, or individual” yaitu suatu prinsip tindakan yang diajukan oleh
pemerintah,
organisasi, partai atau individu.
PBB mendefinisikan kebijakan sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman
tersebut
dapat sederhana atau kompleks, umum atau khusus, luas atau sempit, kabur
atau jelas,
longgar atau terperinci, publik atau privat, kualitatif atau kuantitatif.
Sementara Menurut James E. Anderson (1978) kebijakan adalah perilaku dari
aktor
(pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu
bidang
kegiatan tertentu.
Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa kebijakan dapat berasal dari
seorang
pelaku atau sekelompok pelaku yang berisi serangkaian tindakan yang
mempunyai
tujuan tertentu. Kebijakan ini diikuti dan dilaksanakan oleh seorang
pelaku atau
sekelompok pelaku dalam rangka memecahkan suatu masalah tertentu.
Kebijakan dan politik tidak dapat dipisahkan. Pengambilan keputusan
mengenai tujuan
dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan
penyusunan
skala prioritas. Untuk melaksanakan tujuan itu perlu ditentukan
kebijaksanaan publik
(public Policy) yang menyangkut pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
James E. Anderson secara lebih jelas menyatakan bahwa yang dimaksud
kebijakan
publik adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-
pejabat
pemerintah. Pengertian ini, menurutnya, berimplikasi: (1) bahwa kebijakan
selalu
4

mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada


tujuan, (2)
bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan
pejabat-pejabat
pemerintah, (3) bahwa kebijakan merupakan apa yang benar-benar dilakukan
oleh
pemerintah, (4) bahwa kebijakan bisa bersifat positif dalam arti merupakan
beberapa
bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif
dalam
arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu, (5)
bahwa
kebijakan, dalam arti positif, didasarkan pada peraturan perundang-undangan
dan
bersifat memaksa (otoritatif). Dalam pengertian ini, James E. Anderson
menyatakan
bahwa kebijakan publik selalu terkait dengan apa yang dilakukan atau
tidak dilakukan
oleh pemerintah.
Pernyataan bahwa kebijakan publik terkait dengan pemerintah tidak hanya
disampaikan
oleh James E. Anderson. Thomas R. Dye menyatakan ―Public policy is
whatever
governments choose to do or not to do‖ (kebijakan sebagai apa yang
dinyatakan dan
dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah). Kebijakan itu dapat berupa sasaran
atau
tujuan dari program-program pemerintah. Penetapan kebijakan tersebut dapat secara
jelas
diwujudkan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan atau dalam pidato-
pidato
pejabat teras pemerintah serta program-program dan tindakan-tindakan yang
dilakukan
pemerintah.
Dalam mendudukkan pengertian kebijakan, James Anderson mencontohkan penggunaan
istilah kebijakan seperti dalam kalimat ―Kebijakan Ekonomi Amerika‖,
―Kebijakan
Minyak Arab Saudi‖, atau ―Kebijakan Pertanian Eropa Barat‖. Menurutnya,
istilah kebijakan dapat juga digunakan untuk istilah yang lebih spesifik
dalam arti tidak
hanya dilekatkan untuk penggunaan dalam lingkup makro (baca: negara).
Contoh yang
dikemukakan James E. Anderson seperti pada penggunaan dalam kalimat
―Kebijakan
Kota Chicago dalam Polusi di Danau Michigan dari Milwaukee, Wisconsin‖.
5

Pengertian lain mengenai kebijakan dikemukakan oleh M. Irfan Islamy. Ia


memberikan
pengertian kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang ditetapkan
dan
dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan
atau
berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.
Kebijakan publik yang dikemukakan oleh Irfan Islamy ini mencakup tindakan-
tindakan
yang ditetapkan pemerintah. Kebijakan ini tidak cukup hanya ditetapkan
tetapi
dilaksanakan dalam bentuk nyata. Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah
tersebut
juga harus dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu. Terakhir,
pengertian Irfan
Islamy meniscayakan adanya kepentingan bagi seluruh masyarakat yang harus
dipenuhi
oleh suatu kebijakan dari pemerintah.
James Anderson menyatakan adanya keharusan untuk membedakan antara apa
yang
ingin dilaksanakan pemerintah dengan apa yang sebenarnya mereka lakukan di
lapangan.
Hal ini menjadi penting karena kebijakan bukan hanya sebuah keputusan
sederhana
untuk memutuskan sesuatu dalam suatu momen tertentu, namun kebijakan harus
dilihat
sebagai sebuah proses. Untuk itulah pengertian kebijakan sebagai suatu
arah tindakan
dapat dipahami secara lebih baik bila konsep ini dirinci menjadi beberapa
kategori.
Kategori-kategori itu antara lain adalah tuntutan-tuntutan kebijakan (policy
demands),
keputusan-keputusan kebijakan (policy decisions), pernyataan-pernyataan
kebijakan
(policy statements), hasil-hasil kebijakan (policy outputs), dan dampak-
dampak
kebijakan (policy outcomes).
Tuntutan-tuntutan kebijakan adalah tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh aktor-
aktor
swasta atau pemerintah, ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah dalam suatu
sistem
politik. Keputusan kebijakan dipengertiankan sebagai keputusan-keputusan yang
dibuat
oleh pejabat-pejabat pemerintah yang mengesahkan atau memberi arah dan
substansi
kepada tindakan-tindakan kebijakan publik. Sedangkan pernyataan-pernyataan
kebijakan
6

adalah pernyataan-pernyataan resmi atau artikulasi-artikulasi kebijakan


publik. Hasil-
hasil kebijakan lebih merujuk pada manifestasi nyata dari kebijakan, yaitu
hal-hal yang
sebenarnya dilakukan menurut keputusan-keputusan dan pernyataan-pernyataan
kebijakan. Adapun dampak-dampak kebijakan lebih merujuk pada akibat-akibatnya bagi
masyarakat, baik yang diinginkan atau tidak diinginkan yang berasal dari
tindakan atau
tidak adanya tindakan pemerintah.
Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak
pada
tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang
otoritas
publik.Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik
haruslah dibuat
olehotoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau
orang
banyak,umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama
rakyat
banyak.Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi
negara yang
di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam
negara
modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang bisa
dilakukan
oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak.
Menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan
publik dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi; dan pada sisi lain
menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan berbagai
kepentingan
serta mencapai amanat konstitusi.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik
merupakan
serangkaian tindakan yang menjadi keputusan pemerintah untuk melakukan atau
tidak
melakukan sesuatu yang bertujuan untuk memecahkan masalah demi kepentingan
masyarakat.

B. UNSUR-UNSUR DALAM KEBIJAKAN PUBLIK


Kebijakan publik merupakan suatu sistem ilmu yang terdiri dari subsistem,
dan dalam
kebijakan publik terdapat dua (2) perspektif, yaitu perspektif proses
kebijakan dan
struktur kebijakan. Dari perspektif proses kebijakan terdapat tahapan
identifikasi
masalah, tujuan, formulasi kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan evaluasi
kebijakan.
sedangkan pada perspektif struktur, terdapat lima (5) unsure kebijakan, sebagai
berikut :
1. Tujuan kebijakan
Kebijakan yang baik harus mempunyai tujuan yang baik. Tujuan yang baik
tersebut
sekurang-kurangnya harus memenuhi 4 kriteria sebagai berikut :
a. Apa yang diinginkan untuk dicapai
b. Bersifat rasional atau realistis (rational or realistic)
c. Jelas (clear)
d. Berorientasi kedepan (future oriented)
2. Masalah
Masalah merupakan unsur yang sangat penting dalam kebijakan. Kesalahan
dalam
menentukan masalah secara tepat dapat menimbulkan kegagalan total dalam seluruh
proses kebijakan. Jadi kalau suatu masalah telah dapat diidentifikasi
secara tepat,
maka ini berarti sebagian pekerjaan dapat dianggap dikuasai. Sebab,
apabila keliru
mengidentifikasi masalah, maka orang terperosok pada anggapan bahwa sebuah
gejala sebagai masalah. Sebagai contoh, kekeliruan mendiagnosa sakit panas
pada
tubuh pasien antara orang awam dengan dokter. Demikian juga kekeliruan
dalam
merumuskan masalah antara urbanisasi dengan tingkat kriminalitas.
3. Tuntutan (demand)
Secara umum sudah diketahui, bahwa partisipasi merupakan indikasi dari masyarakat
maju. Partisipasi itu dapat berbentuk dukungan, tunttan dan tantangan atau
kritik.
8

Seperti halnya prtisipasi pada umumnya, tuntutan dapat bersifat moderat atau
radikal.
Kedua sifat ini tergantungtingkat urgensinya, gerahnya masyarakat dan sikap
pemerintah dalam menggapai tuntutan itu. Tuntutan terjadi karena salah
satu dari 2
sebab sebagai berikut :
a. Karena terabaikannya kepentigan suatu golongan dalam proses kebijakan ,
sehingga kebijakan yang dibuat pemerintah dirasakan tidak memenuhi atau
merugikan kepentingan mereka.
b. Karena munculnya kebutuhan baru setelah tujuan tercapai atau suatu
masalah
terpecahkan.
4. Dampak (I mpact)
Dalam ekonomi, dampak ganda disebut multiplier effect. Misalnya kebijakan
dalam
investasi, perpajakan, atau pengeluaran pemerintah untuk membiayai program
rutin
atau pembangunan dan sebagainya. Tindakan kebijakan itu membawa pengaruh pada
pertambahan atau pengurangan yang berlipat ganda atas pertambahan
pendapatan
masyarakat secara menyeluruh.
Multiplier effect juga dapat terjadi pada bidang social dan politik baik positif
maupun
negative. Setiap kebijakan yang bersifat positif ataupun negative dapat
berdampak
positif atau negative pula.
5. Sarana (Policy I nstrument)
Suatu kebijakan dilaksanakan dengan menggunakan sarana dimaksud. Sarana
tersebut antara lain berupa kekuasaan, insentif,pengembangan kemampuan, simbolis
dan perubahan kebijakan itu sendiri. Misalnya menghapus becak dan rumah gubuk di
DKI Jakarta menggunakan sarana kekuasaan.
William N. Dunn, menambahkan unsur-unsur didalam kebjakan publik, yaitu:

1. Nilai Kebijakan (Policy Value)


Setiap kebijakan selalu mengandung nilai tertentu dan juga bertujuan untuk
menciptakan tatanilai baru atau norma baru dalam organisasi. Seringkali
nilai yang
ada di masyarakat atau anggota organisasi berbeda dengan nilai yang ada
di
pemerintah. Oleh karena itu perlu partisipasi dan komunikasi yang intens
pada saat
merumuskan kebijakan.
2. Siklus kebijakan (Policy cycle)
Proses penetapan kebijakan sebenarnya adalah sebuah proses yang siklis dan
bersifat
kontinum, yang terdiri atas tiga tahap:
1) Perumusan kebijakan (Policy Formulation)
2) Penerapan kebijakan (Policy Implementation)
3) Evaluasi kebijakan (Policy Review)
Ketiga tahap atau proses dalam siklus tersebut saling berhubungan dan
saling
tergantung, kompleks serta tidak linear, yang ketiganya disebut sebagai
Policy
Analysis.
3. Pendekatan dalam Kebijakan
Pada setiap tahap siklus kebijakan perlu disertai dengan penerapan
pendekatan
(approaches) yang sesuai. Pada tahap formulasi, pendekatan yang banyak
dipergunakan adalah pendekatan normatif, valuatif, prediktif ataupun
empirik. Pada
tahap implementasi banyak menggunakan pendekatan struktural (organisasional)
ataupun pendekatan manajerial. Sedangkan tahap evaluasi menggunakan pendekatan
yang sama dengan tahap formulasi. Pemilihan pendekatan yang digunakan
sangat
menentukan tingkat efektivitas dan keberhasilan sebuah kebijakan.

10

C. KRITERIA KEBIJAKAN PUBLIK


Dalam mengambil suatu kebijakan, ada beberapa pilihan yang harus
dipertimbangkan
agar kebijakan itu ada manfaatnya atau mendapat respons positif dari
masyarakat luas.
Dalam mengambil kebijakan publik ada 6 (enam) kriteria yang harus
diperhatikan,
sebagai berikut :
1. Effectiveness (evektifitas), yang mengukur apakah suatu alternatif
sasaran yang
dicapai dengan suatu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir
yang
diinginkan. Misalnya, apakah deregulasi investasi dapat meningkatka
pertumbuhan
ekonomi dan memperluas kesempatan kerja.
2. Efficiency (efisiensi), yang selalu menjadi tolok ukur adalah bidang
keuangan.
Misalnya dalam mengukur biaya per unit seperti besarnya biaya per meter
bujur
sangkar sebuah bangunan, besarnya biaya per kubik air dalam suatu irigasi dan lain-
lain. Dibandingkan dengan efektifitas yang berorientasi kepada kualitas
maka
efisiensi lebih berorientasi pada kuantitatif.
3. Adequacy (cukup), yaitu kriteria yang berkaitan dengan variasi antarsumberdaya
dan
tujuan yang ingin dicapai :
a Pencapaian sasaran tertentu dengan biaya tertentu
b Pencapaian salah satu diantara banyak sasaran dengan biaya tetap
c Pencapaian tujuan tertentu dengan biaya yang dapat berubah
d Pencapaian salah satu diantara banyak sasaran dengan biaya yang dapat berubah
4. Equity (adil), yaituuntuk mengukur suatu strategi kebijakan yang
berhubungan
dengan penyebaran atau pembagian hasil dan ongkos atau pengorbanan
diantara
berbagai pihak dalam masyarakat. Misalnya keadilan dalam pemerataan
pembangunan diseluruh indonesia.
11

5. Responsiveness (terjawab), strategi kebijakan dapat memenuhi kebutuhan


suatu
golongan atau suatu masalah tertentu dalam masyarakat. Misalnya, kebijakan
pembangunan Indonesia Daerah Tertinggal (IDT) untuk menjawab agar
pembangunan diwilayah IDT menyejahterakan masyarakat dimana masyarakat kota
lebih dahulu menikmati, baik proses maupun hasil pembangunan.
6. Approriatness (tepat), yaitu kombinasidari kriteria diatas yang saling
mendukung
atau ada kriteria yang cocok tapi tidak untuk kriteria lain tetapi
akhirnya harus
dilakukan dalam rangka terwujudnya suatu kebijakan pilihan terakhir.
Misalnya,
kebijakan menaikkan BBM secara adil tidak terakomodasi tetapi dari sudut efficiency
sangat bermanfaat.
D. BERBAGAI TINGKAT DAN CONTOH KEBIJAKAN
Kebijakan secara umum dapat dibedakan dalam tiga tingkatan : kebijakan
umum,
kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis.
1. Kebijakan umum
Kebijakan umum adalah kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk
pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun bersifat negatif yang
meliputi
keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan. Suatu hal yang perlu
diingat
adalah pengertian umum di sini bersifat relatif. Maksudnya, untuk wilayah
negara,
kebijakan umum mengambil bentuk undang-undang atau keputusan presiden dan
sebagainya. Sementara untuk suatu provinsi, selain dari peraturan dan
kebijakan
yang di ambil pada tingkat pusat juga ada keputusan gubernur atau peraturan daerah
yang diputuskan oleh DPRD.
Agar suatu kebijakan umum dapat menjadi pedoman bagi tingkatan kebijakan
di
bawahnya, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi.
12

a. Cakupan kebijakan itu meliputi keseluruhan wawasannya. Artinya,


kebijakan itu
tidak hanya meliputi dan ditujukan pada aspek tertentu atau sektor tertentu.
b. Tidak berjangka pendek. Masa berlakunya atau tujuan yang ingin dicapai dengan
kebijakan tersebut berada dalam jangka panjang ataupun tidak mempunyai
batas
waktu tertentu. Karena itu tujuan yang digambarkan sebagai kebijakan sering kali
dianggap orang tidak jelas. Istilah ―tidak jelas‖ ini tidak tepat. Tujuan
jangka
panjang lebih dapat disebut ―samar-samar‖ karena gambarannya yang bersifat
umum. Keadaan ini hampir dapat disamakan dengan penglihatan kita bila melihat
seorang wanita cantik dari jarak dua kilometer. Sosoknya tidak akan
terlihat
dengan jelas. Kecantikannya hanya tergambar secara umum dalam bentuk
keseluruhan. Gambarannya jelas berada dari penglihatan dalam jarak lima
puluh
meter. Bahkan dapat dikatakan aneh kalau dalam jarak dua kilometer dia terlihat
dengan jelas. Dengan kata lain, dalam suatu kebijakan umum tidak tepat
untuk
menetapkan sasarannya secara sangat jelas dan rumusanya secara teknis.
Rumusan yang demikian akan menghadapi kekakuan dalam perubahan waktu
jangka panjang dan akan mengalami kesulitan untuk diberlakukan dalam
wilayah-wilayah kecil yang berbeda.
c. Strategi kebijakan umum tidak bersifat operasional. Seperti halnya pada
pengertian umum, pengertian operasional atau teknis juga bersifat relatif. Sesuatu
yang dianggap umum untuk tingkat kabupaten mungkin dianggap teknis atau
operasional untuk tingkat provinsi dan sangat operasional dalam pandangan
tingkat nasional. Namun, sekalipun suatu kebijakan bersifat umum, tidak
berarti
kebijakan tersebut bersifat sederhana. Makin umum suatu kebijakan, makin
kompleks dan dinamis kebijakan tersebut. Hal ini disebabkan karena pada tingkat
kebijakan umum banyak aspek yang terlibat, banyak dimensi ilmu yang
13

diperlukan untuk menganalisisnya dan banyak pihak yang terkait. Sebaliknya


semakin teknis suatu kebijakan, semakin tidak kompleks kebijakan itu.
2. Kebijakan pelaksanaan
Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk
tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang, atau
keputusan menteri yang menjabarkan pelaksanaan keputusan presiden adalah
contoh dari kebijakan pelaksanaan. Untuk tingkat provinsi, keputusan bupati
atau
keputusan seorang kepala dinas yang menjabarkan keputusan gubernur atau
peraturan daerah bisa jadi suatu kebijakan pelaksanaan.
3. Kebijakan teknis
kebijakan teknis adalah kebijakan operasional yang berada di bawah
kebijakan
pelaksanaan itu. Secara umum dapat disebutkan bahwa kebijakan umum adalah
kebijakan tingkat pertama, kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan tingkat
ke dua,
dan kebijakan teknis adalah kebijakan tingkat ke tiga atau yang terbawah.
Lembaga Administrasi Negara (1997), mengemukakan tingkatan dalam kebijakan publik
sebagai berikut:
1. Lingkup nasional
a. Kebijakan nasional
Kebijakan Nasional adalah adalah kebijakan negara yang bersifat fundamental
dan strategis dalam pencapaian tujuan nasional/negara sebagaimana tertera dalam
Pembukaan UUD 1945.
Yang berwenang menetapkan kebijakan nasional adalah MPR, Presiden, dan
DPR.
Kebijakan nasional yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dapat
14

berbentuk: UUD, Ketetapan MPR, Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah


Pengganti Undang-undang (PERPU).
b. Kebijakan umum
Kebijakan umum adalah kebijakan Presiden sebagai pelaksanaan UUD, TAP
MPR, UU,-untuk mencapai tujuan nasional. Yang berwenang menetapkan
kebijakan umum adalah Presiden.
Kebijakan umum yang tertulis dapat berbentuk: Peraturan Pemerintah (PP),
Keputusan Presiden (KEPPRES), Instruksi Presiden (INPRES).
c. Kebijakan pelaksanaan
Kebijaksanaan pelaksanaan adalah merupakan penjabaran dari kebijakan
umumsebagai strategi pelaksanaan tugas di bidang tertentu. Yang berwenang
menetapkan kebijakan pelaksanaan adalah menteri/pejabat setingkat menteri
dan
pimpinan LPND.Kebijakan pelaksanaan yang tertulis dapat berbentuk Peraturan,
Keputusan, Instruksi pejabat tersebut di atas.
2. Lingkup wilayah daerah
a. Kebijakan umum
Kebijakan umum pada lingkup Daerah adalah kebijakan pemerintah daerah
sebagai pelaksanaan azas desentralisasi dalam rangka mengatur urusan Rumah
Tangga Daerah.
Yang berwenang menetapkan kebijakan umum di Daerah Provinsi adalah
Gubernur dan DPRD Provinsi. Pada Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan oleh
Bupati, Walikota dan DPRD Kabupaten/Kota. Kebijakan umum pada tingkat
Daerah dapat berbentuk Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi dan PERDA
Kabupaten/Kota.

15

b. Kebijakan pelaksanaan
Kebijakan pelaksanaan pada lingkup Wilayah/Daerah ada 3 macam:
1) Kebijakan pelaksanaan dalam rangka desentralisasi merupakan realisasi
pelaksanaan PERDA;
2) Kebijakan pelaksanaan dalam rangka dekonsentrasi merupakan pelaksanaan
kebijakan nasional di Daerah;
3) Kebijakan pelaksanaan dalam rangka tugas pembantuan (medebewind)
merupakan pelaksanaan tugas Pemerintah Pusat di Daerah yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
Yang berwenang menetapkan kebijakan pelaksanaan adalah:
1) Dalam rangka desentralisasi adaiah Gubernur/ Bupati/Walikota
2) Dalam rangka dekonsentrasi adalah Gubernur/ Bupati/Walikota
3) Dalam rangka tugas pembantuan adalah Gubernur/ Bupati/Walikota
Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan tugas pembantuan berupa
Keputusan-keputusan dan Instruksi Gubernur/Bupati/Walikota.
Dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi berbentuk Keputusan
Gubernur/Bupati/Walikota.
Sementara tingkatan kebijakan berdasarakan sifat, antara lain :
1. Tingkat Makro
Kebijakan Makro melibatkan masyarakat secara keseluruhan dan para
pemimpin
pemerintah umumnya dalam pembentukan kebijakan publik. Kebijakan Makro
merupakan kebijakan yang dapat mempengaruhi seluruh negeri (nasional).
Misalnya
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Menteri Kesehatan, dan
lainnya. Kebijakan Makro melibatkan komunitas secara keseluruhan dan para
pemimpin pemerintah daerah pada umumnya dalam lingkup untuk kebijakan
publik.
16

Partisipan di area kebijakan makro termasuk presiden, eksekutif,


legislatif, media
komunikasi, juru bicara kelompok, dan lainnya.
Contoh Kebijakan Makro dalam bidang kesehatan adalah Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/MenKes/Per/X/2010 tentang Ijin dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan. Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan, tata urutan peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia
adalah:
1) Undang-Undang Dasar 1945: merupakan hukum dasar tertulis Negara
Republik
Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara.
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: merupakan
putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pengemban kedaulatan
rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR.
3) Undang-Undang: dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden
untuk melaksanakan UUD 1945 serta TAP MPR-RI.
4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
5) Peraturan Pemerintah: dibuat oleh Pemerintah untuk melaksanakan perintah
undang-undang.
Keputusan Presiden: bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk menjalankan fungsi
dan tugasnya berupa pengaturan.
2. Tingkat messo
Kebijakan Meso biasanya berfokus pada kebijakan tertentu atau area
fungsional,
seperti angkutan udara niaga, kegiatan perluasan pertanian, pembangunan
dermaga
dan sungai, atau pemberian hak paten. Biasanya mencakup sarana oleh
swasta
maupun pemerintah pada tingkat setempat. Target pelaksanaan dari kebijakan
meso
dapat digunakan oleh umum atau perseorangan, misalnya : untuk memperkuat
17

dukungan dalam lingkungan bisnis dan untuk mengubah bentuk struktural


suatu
otonomi daerah. Terbentuknya kebijakan Meso ini disebabkan tidak semua
orang
peduli terhadap kebijakan publik yang telah ada, banyak masyarakat yang
hanya
tertarik pada satu bidang saja misalnya pejabat atau warga negara yang
benar-benar
tertarik dalam kebijakan pelayaran maritim mungkin memiliki minat yang
kecil atau
bahkan tidak ada dalam kebijakan kesehatan.
Contoh dari Kebijakan Meso dalam bidang kesehatan adalah Peraturan Daerah
Kota
Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan
Terbatas Merokok. Contoh di atas membuktikan bahwa Kebijakan Meso pada
suatu
daerah memiliki kebijakan yang berbeda.
3. Tingkat mikro
Kebijakan mikro lebih melibatkan upaya yang dilakukan oleh individu tertentu, suatu
perusahaan, atau komunitas tertentu yang hanya bertujuan untuk medapatkan
keuntungan bagi pihak mereka sendiri. Kebijakan mikro yang menjadi
kompetensi
pada umumnya pelaku bisnis swasta, biasanya mencakup strategi untuk
peningkatan
produktivitas manajerial, pengembangan mutu Sumber Daya Manusia (SDM), dan
jejaringan kerja (networking).Dalam suatu kebijakan mikro, pihak-pihak yang
bersangkutan dalam suatu instansi tertentu cenderung memiliki peraturan-
peraturan
atau undang-undang pribadi tanpa campur tangan dari pemerintah. Suatu
perusahaan
ingin keputusan yang menguntungkan bagi perusahaanya sendiri, bagi beberapa pihak
dalam kebijakn mikro ini, tindakan dan keputusan pemerintah tidak begitu
diperhatikan selama campur tangan dari pemerintah tersebut mendatangkan
kerugian
bagi penganut kebijakan mikro.
Contoh kebijakan mikro adalah penerapan kebijakan dalam Fakutas Kesehatan
Mayarakat tentang Tatacara berpakaian yang sopan tidak etat dan bersepatu
dalam
18

lingkup fakultas. Hal ini dikategorikan sebagai Kebijakan Mikro karena


peraturan
tersebut hanya berlaku dalam lingkup organisasi (FKM UNAIR).
E. PERAN DAN FUNGSI KEBIJAKAN PUBLIK
Menurut Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn, terdapat sepuluh macam peran
kebijakan, yaitu:
1. Policy as a Label for a Feld of Activity (Kebijakan sebagai Sebuah Label
atau
Merk bagi Suatu Bidang Kegiatan Pemerintah)
Penggunaan istilah kebijakan paling sering kita jumpai adalah dalam
konteks
pernyataan-pernyataan umum mengenai kebijakan ekonomi (economic policy)
pemerintah., kebijakan social (social policy) pemerintan atau kebijakan
luar negri
(foreign policy) pemerintah. Dalam lingkup label yang masih umumini kita
masih
dapat menemukan hal-hal lebih spesifik yang mengacu kepada kabijakan pemerintah
tersebut. Beberapa contoh dapat dikemukakan disini. Misalnya, dalam lingkup
kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia, ada kebijakan imbal dagang dengan
Negara-negara di timor tengah, kebijakan memberikan tax holiday kepada
investor
asing, kebijakan penghematan energy, kebijakan penangulangan kemiskinan
perkotaan, kebijakan penigkatan ekspor non migas dan kebijakan privatisasi
badan
usaha milik Negara (BUMN)
Dalam lingkup kebijakan social, misalnya ada kebijakan memberikan vaksin
polio
secara gratis bagi ribuan anak dari kelangan keluarga miskin, pemberian beras untuk
keluarga miskin (raskin) atau kebijakan pemberian kredit murah untuk
perumahan
rakyat dan lain sebagainya.
Konsep lain yang meski lebih abstrak sifatnya, namun bermanfaat adalah
yang
disebut ruang kebijakan (policy space). Konsep ini dapat kita pergunakan
untuk
menggambarkan bagaiamana suatu ruang kebijakan tertentu cenderung semakin
19

padat sepanjang tahun, yang ditandai dengan semakin gencarnya campur


tangan
pemerintah dan semakin kompleksnya interaksi antar instansi pemerintah yang
terlibat didalamnya. Sebaliknya, konsep itu juga dapat kita pakai untuk
menggambarkan betapa pada ruang kebijakan tertentu masih relative kosong
dari
campur tangan pemerintah.
2. Policy as an Expression of General Purpose or Desired State of
Affairs
(Kebijakan sebagai Suatu Pernyataan Mengenai Tujuan Umum atau Keadaan
Tertentu yang Dikehendaki)
Istilah kebijakan kerapkali juga dipakai untuk menunjukkan adanya
pernyataan-
pernyataan kehendak ( keinginan ) pemerintah mengenai tujuan-tujuan umum
dari
kegiatan-kegiatan yang dilakukannya dalam suatu bidang tertentu, atau
mengenai
keadaan umum yang diharapkan dapat dicapai dalam kurun waktu tertentu.
Beberapa contoh mengenai pernyataan kehendak dari pemerintah tersebut
misalnya,
keinginan pemerintah untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan pancasila, keinginan pemerintah untuk meningkatkan kualitas
pendidikan, keinginan pemerintah untuk meningkatkan swasembada pangan,
menciptakan disiplin nasional, dan keinginan pemerintah untuk memberantas KKN.
Memang sebagai sebuah pernyataan kehendak, kosep kebijakan dalam pengertian
seperti itu jelas belum ―membumi‖ atau belum operasional dan dalam banyak hal ia
masih sebatas wacana, lebih merupakan retorika politik ketimbang kenyataan.
3. Policy as Spesific Proposals (Kebijakan sebagai Usulan-Usulan Khusus)
Kebijakan kadang kala juga dimaksudkan untuk menunjukkan adanya usulan-usulan
tertentu (spesifik), baik yang dilontarkan oleh mereka yang berada diluar
struktur
pemerintah (kelompok-kelompok kepentingan atau pertain politik) maupun yang
disampaikan oleh mereka yang berada di struktur pemerintahan semisal
anggota
20

kebinet agar dilaksanakan oleh pemerintah. Usulan-usulan tersebut biasanya


dimaksudkan untuk mempengaruhi proses pengesahan kebijakan mungkin bersifat
sementara, atau terkait dengan usulan-usulan lainnya, atau mungkin pula
menunjukkan cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih besar (makro).
4. Policy as Decision of Government (Kebijakan sebagai Keputusan-Keputusan
Pemerintah)
Suatu keputusan pemerintah harus mendapat pengesahan agar dapat menjadi
suatu
kebijakan publik. Peluang bagi setiap keputusan pemerintah apakah pada
akhirnya
akan mendapat pengesahan dari parlemen (DPR), atau sebaliknya ditolak,
sedikit
banyak akan ditentukan oleh mekanisme dan corak struktur politik yang
berlaku di
masing-masing sistem politik.
5. Policy as Formal Authorization (Kebijakan sebagai Bentuk Otorasi atau
Pengesahan Formal)
Apabila pada suatu saat seorang menteri menyatakan bahwa pemerintah telah ―punya
kebijakan‖ mengenai suatu bidang permasalahan tertentu, maka yang biasanya diacu
olehnya adalah adanya undang-undang yang telah disahkan oleh DPR atau
adanya
seperangkat peraturan pemerintah (PP) yang memungkinkan agar suatu tindakan
tertentu dapat dilaksanakan. Sering pula dikatakan oleh para pejabat
pemerintah
setingkat direktur jendral (Dirjen) atau sekretaris jendral (Sekjen) jika
suatu
rancangan Undang-Undang, maka dianggap bahwa kebijakan itu telah
diimplementasikan.
6. Policy as Programme (Kebijakan sebagai Program)
Program pada umumnya adalah suatu lingkup kegiatan pemerintah yang relatif
khusus dan cukup jelas batas-batasnya. Dalam konteks program itu sendiri
biasanya
akan mencakup serangkaian kegiatan yang manyangkut pengesahan/legislasi
21

pengorganisasian danpengerahan atau penyediaan sumber-sumber daya yang


diperlukan.
7. Policy as Output (Kebijakan sebagai Keluaran)
Sebagai keluaran, maka kebijakan itu dilihat dari apa yang senyatanya
dihasilkan
atau diberikan oleh pemerintah, sebagai kebalikan dari apa yang secara
verbal telah
dijanjikan atau telah disahkan lewat undang-undang. Keluaran itu bentuknya macam-
macam, misalnya pemberian manfaat secara langsung (berupa uang), pemberian
pelayanan kepada publik berupa barang (air bersih atau beras untuk orang
miskin)
atau jasa tertentu (pemberian vaksin polio), pemberlakuan peraturan-
peraturan,
himbauan-himbauan simbolik atau pengumpulan pajak. Dengan demikian, bentu
keluaran-keluaran itu dapat saja berbeda antara kebijakan yang satu dnegan
yang
lainnya.
8. Policy as Outcome (Kebijakan sebagai Hasil Akhir)
Cara akhir untuk memahami makna kebijakan adalah dengan melihatnya dari
sudut
hasil akhirnya, yaitu dari apa yang senyatanya telah dicapai. Meski
penting, dalam
praktik upaya untuk menarik garis pembeda antara keluaran-keluaran
kebijakan dan
hasil akhir kebijakan (dampak dari kegiatan-kegiatan tersebut) tidaklah
begitu
mudah. Patut dicatat, bahwa cara memahami kebijakan dari sudut hasil akhir itu akan
memungkinkan kita untuk memberikan penilaian mengenai apakah tujuan
formal/normatif dari suatu kebijakan benar-benar telah terbukti terwujud
dalam
praktik kebijakan yang sebenarnya.
9. Policy as a Theory or Model (Kebijakan sebagai Teori atau Model)
Semua kebijakan, pada dasarnya mengandung asumsi-asumsi mengenai apa yang
dapat dilakukan oleh pemerintah dan akibat yang ditimbulkan. Asumsi-asumsi
ini
memang jarang dikemukakan secara terus terang atau eksplisit. Namun,
kebijakan
22

publik itu pada umumnya memuat suatu teori atau model tertentu yang manyiratkan
adanya hubungan sebab akibat.
10. Policy as Process (Kebijakan sebagai Proses)
Jika konsep kebijakan publik kita pandang sebagai proses, yakni sebagai
proses
politik, maka oleh sebagian pakar adakalanya hal tersebut dipersepsikan
sebagai
sebuah siklus.disini pusat perhatian akan diberikan kepada tahap-tahap yang ada
pada
siklus tersebut. Dilihat sebagai sebuah siklus, maka pembuatan kebijakan
(public
policy making) akan bermula dari adanya isu-isu tertentu yang dianggap
oleh
pemerintah sebagai suatu masalah, kemudian pemerintah mulai mencari
alternatif-
alternatif tindakan kearah pemecahannya, dilanjutkan dengan adopsi kebijakan
serta
diimplementasikan oleh institusi atau personel terkait, dievaluasi, diubah
dan pada
kahirnya akan diakhiri atas dasar keberhasilannya.
Sementara fungsi dari kebijakan publik antara lain :
1. Mencapai beberapa tujuan luas yang mempengaruhi segmen besar warga suatu
negara atau publik.
Kebijakan publik akan mengatur segala kepentingan yang berpengaruh pada aktivitas
manusia yang dipandang perlu untuk diatur dan diintervensi oleh pemerintah
atau
aturan sosial. Segmen besar yang dimaksud adalah berbagai bidang, seperti
sosial,
politik, ekonomi, kesehatan, pertahanan, keamanan, pendidikan, dan lainnya.
Misal
pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
2. Menekan dan mendorong aktivitas masyarakat pada suatu negara.
Misal Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 tentang Kawasan
Tanpa Rokok dan Kawasan berbatasan Rokok.
3. Mewujudkan campur tangan dan pengaturan pemerintah terhadap kehidupan
masyarakatnya di berbagai bidang.
23

Kebijakan ini berfungsi selain untuk mengatasi masalah ekonomi karena


melonjakkan harga minyak dunia, juga berfungsi untuk menstabilkan dan
menjaga
sumberdaya alam yang dimiliki oleh negara Indonesia yang sekarang ini
telah
menipis.
4. Melindungi dan menjaga kepentingan dan keinginan seluruh masyarakat
Misal ketersediaan udara bersih, air bersih, kesehatan yang baik, ekonomi
yang
inovatif, perdagangan yang aktif, pencapaian pendidikan yang tinggi, rumah
yang
layak, kemiskinan yang rendah, tingkat kriminal yang rendah, dan lainnya.
5. Membangun lingkungan yang memungkinkan setiap pelaku, baik bisnis
maupun non bisnis untuk mampu mengembangkan diri menjadi pelaku-pelaku
yang kompetitif.
6. Melakukan serangan frontal terhadap isu publik.\
Misal Jaminan Persalinan (Jampersal) merupakan kebijakan pemerintah yang
bertujuan untuk menjawab isu publik mengenai tingginya tingkat kematian ibu akibat
pelayanan proses persalinan yang buruk. Diharapkan pelaksanaan kebijakan ini dapat
berkontribusi menurunkan Angka Kematian Ibu di Indonesia yang terbilang
cukup
tinggi.
7. Membantu untuk pengaturan analisis isu perdebatan yang sedang terjadi
maupun akan terjadi di masa mendatang.
F. MASALAH UTAMA DALAM BIDANG KESEHATAN
Ada bermacam-macam kebijakan kesehatan yang berlaku di Indonesia, baik
kebijakan
lama maupun kebijakan baru serta kebijakan-kebijakan pembaharuan dari
kebijakan-
kebijakan yang sudah ada. Dalam implementasinya, kebijakan-kebijakan
tersebut tidak
jarang mengalami hambatan, penolakan dan masalah-masalah dikarenakan
berbagai
faktor yang kondisional. Dalam hal ini penulis mengambil contoh program
Jampersal
24

sebagai salah satu kebijakan kesehatan dan menganalisis masalah dalam


implementasinya.
Latar Belakang Jampersal
Jampersal diluncurkan pada bulan Januari 2011 oleh pemerintah Indonesia sebagai
upaya
terobosan untuk mengurangi tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian
Balita dan Anak (AKBA) di Indonesia yang masih jauh dari target
pencapaian MDGs
pada tahun 2015, dan dari target pencapaian RPJMN.
Kemenkes menggambarkan tingginya AKI dan AKB adalah akibat dari faktor
resiko
keterlambatan yang dikenal sebagai Tiga Terlambat, yaitu:
1. Terlambat dalam mengambil pemeriksaan kehamilan (terlambat mengambil
keputusan)
2. Terlambat dalam memperoleh pelayanan persalinan dari tenaga kesehatan
3. Terlambat sampai di fasilitas kesehatan pada saat dalam keadaan emergency.
Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa persalinan yang ditolong oleh
tenaga
kesehatan pada kelompok sasaran miskin (Kuintil 1) baru mencapai 63,9%,
jauh dari
persentase nasional yaitu 82,2%.
Sedangkan persalinan yang dilakukan di fasilitas kesehatan masih mencakup
55,4%,
sisanya di rumah dan tempat lain. Di antara yang melahirkan di rumah,
masih terdapat
40,2% yang ditolong oleh non nakes. Hal ini disebabkan oleh kesulitan akses ke
fasilitas
kesehatan dan tenaga kesehatan bagi ibu dan melahirkan baik karena hambatan
geografis
maupun keuangan, dan perawatan saat melahirkan dan sesaat setelah melahirkan,
dimana
90% komplikasi terjadi pada masa-masa ini.
Turunnya angka prevalensi penggunaan alat kontrasepsi pada masa setelah
Orde Baru
juga berpengaruh dalam menyumbang pada kenaikan jumlah kehamilan beresiko.
Dengan kebijakan yang inkremental saja, Indonesia akan kesulitan mencapai
target-
25

target tersebut, sehingga dibutuhkan kebijakan yang sifatnya lebih


merupakan suatu
gebrakan (breakthrough) yang dapat mengakselerasi pencapaian target penurunan AKI
di
Indonesia. Oleh karena itulah Kementerian Kesehatan RI pada bulan Januari
2011
meluncurkan Jaminan Persalinan (Jampersal).
Pengertian dan Tujuan Jampersal
Definisi Jampersal ialah ―Jaminan pembiayaan yang digunakan untuk
pemeriksaan
kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas termasuk pelayanan KB
pasca
persalinan dan pelayanan bayi baru lahir‖.
Secara umum, Jampersal bertujuan untuk menjamin akses pelayanan persalinan
yang
dilakukan oleh dokter atau bidan dalam rangka menurunkan AKI dan AKB.
Sedangkan
tujuan khususnya adalah:
1. Meningkatnya cakupan pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, dan
pelayanan nifas ibu oleh tenaga kesehatan yang kompeten.
2. Meningkatnya cakupan pelayanan:
a. bayi baru lahir
b. KB pasca persalinan.
c. penanganan komplikasi ibu hamil, bersalin, nifas, bayi baru lahir dan KB pasca
persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten.
3. Terselenggaranya pengelolaan keuangan yang efisien, efektif, transparan,
dan
akuntabel.
Jampersal adalah perluasan kepesertaan Jamkesmas (Jaminan Kesehatan
Masyarakat),
namun bersifat universal, pada semua kelompok pendapatan dan tidak hanya
mencakup
masyarakat miskin saja. Jampersal juga bersifat portable, yaitu tidak
hanya berlaku di
wilayah tertentu saja, dan berjenjang (pusat, provinsi, kabupaten/kota), yang
merupakan
bagian integral dari Jamkesmas dan dikelola mengikuti tata kelola Jamkesmas.
26

SEKILAS IMPLEMENTASI JAMPERSAL DI INDONESIA


Walaupun banyak pihak mengakui bahwa program Jampersal ini adalah program
yang
bertujuan sangat baik, namun karena baru diluncurkan pada awal tahun
2011, masih
belum banyak yang memahami aturan mainnya. Dari beberapa banyak pemantauan
melalui pemberitaan dimedia massa dan riset-riset awal mengenai
implementasinya,
nyata bahwa beberapa permasalahan klasik seperti minimnya sosialisasi,
kerumitan
prosedur pengklaiman pembayaran dan kurangnya kompensasi terutama bagi
rumah
sakit swasta dan bidan praktek swasta. Beberapa hal sudah diperbaiki dalam Juknis
baru
yang terbit pada Desember 2011 menggantikan Juknis sebelumnya pada Maret
2011,
dimana ada kenaikan dana pusat dari Rp 1,2 triliun menjadi 1,6 trilyun
sehingga
membantu menaikkan biaya persalinan normal dari Rp 350.000 menjadi Rp 500.000 dan
pemeriksaan kandungan dari Rp 10.000 menjadi Rp 20.000 per pemeriksaan.
Berikut
adalah beberapa isu yang diidentifikasi terjadi di beberapa wilayah di
Indonesia
semenjak Jampersal diluncurkan.
Juknis dan dana yang terlambat turun ke daerah, adalah hambatan yang
terjadi
diawal peluncuran sehingga terjadi penundaan implementasi Jampersal.
Jampersal
seyogyanya dimulai pada bulan April 2011, namun di banyak daerah baru
dimulai
beberapa bulan sesudahnya. Di Jombang, Jawa Timur misalnya, program baru
dimulai
bulan Juni 2011 dan dana baru diturunkan Rp 1 miliar dari Rp 3,5
miliar yang
dianggarkan. DI Bantul, baru dimulai pada bulan Juli 2011, sedangkan di Bengkulu
baru
dimulai bulan Agustus 2011.
Karena besaran tanggungan yang kurang, masih memerlukan dana talangan dari
Pemda, atau bahkan di bawah jumlah yang ditanggung Pemda. Pada periode
pertama peluncuran Jampersal misalnya, Pemda Jatim membuat statement bahwa mereka
akan menalangi kekurangan biaya dari dana Jampersal, sedangkan para bidan di
wilayah
27

Bantul mengatakan bahwa besaran dana yang ditanggung Pemda lebih besar
dari yang
ditanggung Jampersal, terutama tahun 2011 yang masih sebesar Rp 350.000
dibanding
yang ditanggung Pemda Bantul sebesar Rp. 568.000.
Proses pelaksanaan dan pengajuan klaim yang rumit. Ini dikhawatirkan
terutama
oleh para bidan dan rumah sakit swasta yang menilai kerumitan ini serupa
dengan
kerumitan yang mereka alami ketika akan mengklaim biaya pelayanan
Jamkesmas,
padahal mereka harus menggaji karyawan dan membeli obat-obatan penunjang
dengan
segera.
Tingkat kunjungan ibu hamil dan melahirkan meningkat. Di Puskesmas
Benayang,
Kota Pontianak misalnya, sebagai Puskesmas PONED Poned (Pelayanan Obstetri
dan
Neonatal Emergensi Dasar), jumlah kunjungan meningkat tiga kali lipat dari rata-
rata 20-
25 persalinan per bulan menjadi 58 orang, per hari mencapai 2-3 orang.
Namun
demikian, di beberapa tempat lain, kunjungan ke Puskesmas malah menurun
karena
adanya aturan bahwa persalinan dengan kesulitan, jika ditanggung oleh Jampersal,
harus
dilakukan pada fasilitas pelayanan lanjutan, yaitu di rumah sakit (RS).
Akibatnya,
Puskesmas yang walaupun mempunyai fasilitas obgyn, menjadi kekurangan pengunjung
karena pengunjung jadinya berjejalan di RS rujukan, seperti yang terjadi
di Puskesmas
Mergangsang, Bantul.
Sosialisasi yang masih kurang, sehingga kebanyakan masyarakat belum
memahami
bahwa mereka memiliki hak untuk mengakses pelayanan-pelayanan yang
disediakan
melalui skema Jampersal. Akibatnya misalnya, masyarakat belum memahami
tentang
portabilitas, dan merasa terlalu rumit untuk mengakses Jampersal.
Masyarakat paling
miskin yang tidak memiliki identitas tetap sulit mengakses karena tidak mempunyai
KTP
atau sulit mendapatkan Surat Keterangan, hambatan yang sama yang mereka
hadapi
untuk mengakses Jamkesmas.
28

Penyerapan anggaran Jampersal masih sangat rendah, yang juga adalah akibat
sosialisasi yang kurang. Contohnya di Medan, pada tahun pertama
pelaksanaan, hanya
Rp 106 juta dari Rp 9,3 milyar alokasi anggaran yang terserap, di Tangerang
Selatan, 21
persen, dan di Bintan 14 persen. Di Banyuwangi, bahkan hanya sekitar 3
persen dari
anggaran yang dialokasikan untuk Jampersal yang terserap, begitu juga di Batam dan
di
banyak daerah lain.
Alternatif Kebijakan
Alternatif kebijakan yang bisa digunakan untuk menurunkan AKI da AKB yakni dengan
pelatihan kepada dukun-dukun beranak di daerah pedesaan, akan tetapi hal
ini kurang
begitu berpengaruh karena keselamatan ibu dan bayi masih belum terjamin
walaupun
ditangan dukun yang terlatih. Alternatif lainnya guna menurunkan AKI dan AKB adalah
dengan membatasi jumlah anak yang dimiliki dalam satu keluarga, dengan jumlah anak
yang sedikit maka jumlah kelahiran pun akan berkurang sehingga berdampak
pada
penurunan AKI dan AKB, sebenarnya pembatasan anak ini masuk dalam domain
keluarga berencana (KB), tetapi kenyataannya program KB ini masih dalam proses
perlu
ditingkatkan fungsi dan peranannya. Kombinasi antara program KB dan
Jampersal
adalah kombinasi yang bagus dan saling menunjang untuk menurunkan AKI dan AKB.
Implementasi Jampersal dan Program KB
Berkaitan dengan adanya kebijakan Jampersal yang diikuti dengan program
Keluarga
Berencana (KB), maka Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) berupaya untuk mengintegrasikan program KB Nasional dalam Jampersal
sebagai salah satu komponen yang rnenjadi perhatian untuk mempercepat
pencapaian
target MDG's. Dalam hal ini BKKBN akan menjamin terpenuhinya alat, obat,
kontrasepsi dan sarana pendukung program keluarga berencana yang diperlukan
untuk
29

kelancaran penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi pasca persalinan dan pasca


keguguran.
Menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, DR.Dr.
Sugiri Syarief,MPA, metode kontrasepsi yang menjadi prioritas program KB
Nasional
daiam Jampersal adalah Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) yang
terdiri dari
pelayanan Medis Operatif Wanita (MOW), Medis Operatif Pria (MOP), alat kontrasepsi
kondom, ir"nplan,suntikan, pil dan pemasangan IUD. Salah satu program KB
yang
disarankan untuk Jampersal adalah metode kontrasepsi jangka panjang yaitu
pemasangan
IUD.
Namun sayangnya, tidak semua peserta yang menjalankan program Jampersal mengikuti
program KB tersebut.Saat ini penggunaan KB pada program Jarnpersal baru
mencapai
45 persen dari peserta yang mengikuti Jampersal. Hal itu dikarenakan
kurangnya
informasi dan rnotivasi yang diberikan oleh provider untuk menyarankan
peserta
Jampersal untuk mengikuti program KB. Bahkan ada bidan yang hanya
melayani
Jampersalnya saja tanpa melayani program KB.
Menurutnya, ada beberapa pertimbangan rnengapa para provider tidak
melanjutkan
dengan program KB kepada peserta Jampersal setelah proses persalinan yaitu
karena
adanya persoalan individual, keterampilan yang belum memadai dan kurang percaya
diri
dalam pemasangan alat KB. Untuk itu dilakukanlah motiasi kepada provider agar
mereka
bersedia melaksanakan anjuran KB kepada rnasyarakat.
Selain itu juga adanya pemikiran para ibu yang menganggap bahwa dengan rnenjalankan
program KB setelah persalinan dengan Jampersal menghalangi mereka untuk
memiliki
anak kembali. Padahal tujuannya adalah untuk merencanakan keluarga bukan
untuk
membatasi keluarga. Dimana perencanaan ini bertujuan agar ibu tidak melahirkan
secara
terus menurus,karena dikhawatirkandengan seringnya melakukan persalinan maka
ibu
30

rnenjadi tidak sehat, mengalami ane-mia,perdarahan dan pada akhirnya bisa


menyebabkan kematian bagi ibu.
Untuk tahun depan, Dr. Sugiri menargetkan peserta yang rnengikuti program
Jampersal
bisa menjalankan program penggunaan KB sebanyak 70 persen. Artinya tinggal
25
persen lagi untuk mencapai target tersebut.
Faktor Kontekstual yang Mempengaruhi Kebijakan Kesehatan
Konteks mengacu ke faktor sistematis – politk, ekonomi dan social,
national dan
internasional – yang mungkin memiliki pengaruh pada kebijakan kesehatan. Ada banyak
cara untuk mengelompokkan fakto‐faktor tersebut, tetapi Leichter (1979)
memaparkan
cara yang cukup bermanfaat:
1. Faktor situasional, merupakan kondisi yang tidak permanen atau khusus yang
dapat
berdampak pada kebijakan (contoh: perang, kekeringan). Hal‐hal tersebut
sering
dikenal sebagai ‗focusing event‘ (lihat Bab 4). Event ini bersifat satu
kejadian saja,
seperti: terjadinyagempa yang menyebabkan perubahan dalam aturan bangunan
rumah sakit, atau terlalu lama perhatian publik akan suatu masalah baru.
Contoh:
terjadinya wabah HIV/AIDS (yang menyita waktu lama untuk diakui sebagai wabah
internasional) memicu ditemukannya pengobatan baru dan kebijakan pengawasan
pada TBC karena adanya kaitan diantara kedua penyakit tersebut – orang‐
orang
pengidap HIV positif lebih rentan terhadap berbagai penyakit, dan TBC dapat dipicu
oleh HIV.
2. Faktor struktural, merupakan bagian dari masyarakat yang relatif tidak
berubah.
Faktor ini meliputi sistem politik, mencakup pula keterbukaan sistem
tersebut dan
kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembahasan dan
keputusan kebijakan; faktorstruktural meliputi pula jenis ekonomi dan dasar
untuk
tenaga kerja. Contoh, pada saat gaji perawat rendah, atau terlalu sedikit
pekerjaan
31

yang tersedia untuk tenaga yang sudah terlatih, negara tersebut dapat
mengalami
perpindahan tenaga professional ini ke sektor di masyarakat yang masih kekurangan.
Faktor struktural lain yang akan mempengaruhi kebijakan kesehatan suatu
masyarakat adalah kondisi demografi atau kemajuan teknologi. Contoh, negara
dengan populasi lansia yang tinggi memiliki lebih banyak rumah sakit dan
obat‐obatan bagi para lansianya, karena kebutuhan mereka akan meningkat
seiring
bertambahnya usia. Perubahan teknologi menambah jumlah wanita melahirkan
dengan sesar dibanyak negara. Diantara alasan‐alasan tersebut terdapat
peningkatan
ketergantungan profesi kepada teknologi maju yang menyebabkan keengganan
para
dokter dan bidan untuk mengambil resiko dan ketakutan akan adanya
tuntutan. Dan
tentu saja, kekayaan nasional suatu negara akan berpengaruh kuat tehadap
jenis
layanan kesehatan yang dapat diupayakan.
3. Faktor budaya, dapat mempengaruhi kebijakan kesehatan. Dalam masyarakat
dimana hirarki menduduki tempat penting, akan sangat sulit untuk bertanya
atau
menantang pejabat tinggi atau pejabat senior. Kedudukan sebagai minoritas
atau
perbedaan bahasa dapat menyebabkan kelompok tertentu memiliki informasi
yang
tidak memadai tentang hak‐hak mereka, atau menerima layanan yang tidak
sesuai
dengan kebutuhan khusus mereka. Di beberapa negara dimana para wanita
tidak
dapat dengan mudah mengunjungi fasilitas kesehatan (karena harus ditemani
oleh
suami) atau dimana terdapat stigma tentang suatu penyakit (missal: TBC atau HIV),
pihak yang berwenang harus mengembangkan sistem kunjungan rumah atau
kunjungan pintu ke pintu. Faktor agama dapat pula sangat mempengaruhi kebijakan,
seperti yang ditunjukkan oleh ketidak‐konsistennya President George W. Bush
pada
awal tahun 2000‐an dalam hal aturan sexual dengan meningkatnya pemakaian
kontrasepsi atau akses ke pengguguran kandungan. Hal tersebut mempengaruhi
32

kebijakan di Amerika dan negara lain, dimana LSM layanan kesehatan reproduksi
sangat dibatasi atau dana dari pemerintah Amerika dikurangi apabila mereka
gagal
melaksanakan keyakinan tradisi budaya President Bush.
4. Faktor internasional atau exogenous, yang menyebabkan meningkatnya
ketergantungan antar negara dan mempengaruhi kemandirian dan kerjasama
internasional dalam kesehatan (lihat Bab 8). Meskipun banyak masalah
kesehatan
berhubungan dengan pemerintahan nasional, sebagian dari masalah itu
memerlukan
kerjasama organisasi tingkat nasional, regional atau multilateral. Contoh,
pemberantasan polio telah dilaksanakan hampir di seluruh dunia melalui
gerakan
nasional atau regional, kadang dengan bantuan badan internasional seperti
WHO.
Namun, meskipun satu daerah telah berhasil mengimunisasi polio seluruh
balitanya
dan tetap mempertahankan cakupannya, virus polio tetap bisa masuk ke
daerah
tersebut dibawa oleh orang‐orang yang tidak diimunisasi yang masuk lewat
perbatasan.
Seluruh faktor tersebut merupakan faktor yang kompleks, dan tergantung pada waktu
dan
tempat. Contoh, pada abad 19, Inggris mengeluarkan kebijakan kesehatan
mengenai
penyakit menular seksual diseluruh Kerajaan Inggris Raya. Berdasar asumsi
kolonial
yang dominan, meskipun melihat bagaimana suku dan jenis kelamin diterapkan
dalam
masyarakat Inggris, tetap mempertimbangkan kebijakan yang mencerminkan
prasangka
dan asumsi kekuasaan penjajah, daripada kebijakan yang sesuai dengan budaya
setempat.
Levine (2003) menggambarkan keadaan di India, pekerja seks wanita harus
mendaftarkan diri kepada pihak kepolisian sebagai pekerja prostitusi, suatu
kebijakan
yang didasarkan pada kepercayaan Inggris bahwa prostitusi tidak membawa
tabu atau
stigma tertentu di India. Kepolisian kolonial yang mengurusi prostitusi
mengharuskan
rumah‐rumah pelacuran untuk mendaftar kepada pihak berwenang setempat.
Asumsi
33

bahwa pemilik rumah pelacuran kejam dan tidak mengakui kebebasan para
pekerjanya
menyebabkan pihak colonial yang berwenang memaksakan suatu pendaftaran yang
mewajibkan pemilik rumah pelacuran bertanggung jawab untuk memeriksakan
pekerja
mereka. Di Inggris sendiri, rumah pelacuran illegal dan kebijakan mengenai pekerja
seks
wanita yang ada adalah yang khusus mengurusi mereka ―yang berkeliaran di jalan‖.
Memahami hubungan antara kebijakan kesehatan dan kesehatan itu sendiri
menjadi
sedemikian pentingnya sehingga memungkinkan untuk menyelesaikan masalah
kesehatan utama yang terjadi saat ini : meningkatnya obesitas, wabah
HIV/AIDS,
meningkatnya resistensi obat sekaligus memahani bagaimana perekonomian dan
kebijakan lain berdampak pada kesehatan.
Kebijakan kesehatan memberi arahan dalam pemilihan teknologi kesehatan yang
akan
dikembangkan dan digunakan, mengelola dan membiayai layanan kesehatan, atau
jenis
obat yang dapat dibeli bebas.
G. ISU PUBLIK
Isu kebijakan publik sangat penting dibahas untuk membedakan istilah yang
dipahami
awam dalam perbincangan sehari-hari yang sering diartika sebagai ‖kabar
burung‖. Isu
dalam sebuah kebijakan sarat memiliki lingkup yang luas yang meliputi
berbagai
persoalan yang ada di tengah masyarakat. Oleh karenanya memahami konsep isu sangat
akan sangat membantu para analis dalam menganalisis kebijakan publik.
Makna Isu Kebijakan dan Dinamikanya
Sekalipun harus diakui dalam pelbagai literatur istilah isu itu tidak
pernah dirumuskan
dengan jelas, namun sebagai suatu "technical term' utamanya dalam konteks
kebijakan
publik, muatan maknanya lebih kurang sama dengan apa yang kerap disebut
sebagai
"masalah kebijakan" (policy problem). Dalam analisis kebijakan publik,
konsep ini
menempati posisi sentral. Hal ini mungkin ada kaitannya dengan fakta,
bahwa proses
34

pembuatan kebijakan publik apa pun pada umumnya berawal dari adanya awareness of a
problem (kesadaran akan adanya masalah tertentu). Misalnya, gagalnya
kebijakan
tertentu dalam upayanya mengatasi suatu masalah pada suatu tingkat yang
dianggap
memuaskan. Tapi, pada situasi lain, awal dimulainya proses pembuatan kebijakan
publik
juga bisa berlangsung karena adanya masalah tertentu yang sudah sekian
lama
dipersepsikan sebagai "belum pernah tersentuh" oleh atau ditanggulangi lewat
kebijakan
pemerintah. Pada titik ini kemudian mulai membangkitkan tingkat perhatian
tertentu.
(Wahab:2001:35)
Jadi, pada intinya isu kebijakan (policy issues) lazimnya muncul karena
telah terjadi
silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah
atau akan
ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan itu sendiri.
Isu kebijakan dengan begitu lazimnya merupakan produk atau fungsi dari
adanya
perdebatan baik tentang rumusan rincian, penjelasan, maupun penilaian atas
suatu
masalah tertentu (Dunn, 1990). Pada sisi lain, isu bukan hanya mengandung
makna
adanya masalah atau ancaman, tetapi juga peluang-peluang bagi tindakan positif
tertentu
dan kecenderungan-kecenderungan yang dipersepsikan sebagai memiliki nilai
potensial
yang signifikan (Hogwood dan Gunn, 1996). Dipahami seperti itu, maka isu
bisa jadi
merupakan kebijakan-kebijakan alternatif (alternative policies). atau suatu
proses yang
dimaksudkan untuk menciptakan kebijakan baru, atau kesadaran suatu kelompok
mengenai kebijakan tertentu yang dianggap bermanfaat bagi mereka (Alford
dan
Friedland, 1990: 104). Singkatnya, timbulnya isu kebijakan publik terutama karena
telah
terjadi konflik atau "perbedaan persepsional" di antara para aktor atas
suatu situasi
problematik yang dihadapi oleh masyarakat pada suatu waktu tertentu.
Sebagai sebuah konsep, makna persepsi (perception) tidak lain adalah
proses dengan
mana seseorang atau sekelompok orang memberikan muatan makna tertentu atas
35

pentingnya sesuatu peristiwa atau stimulus tertentu yang berasal dari luar
dirinya.
Singkatnya, persepsi adalah "lensa konseptual" (conceptual lense) yang pada
diri
individu berfungsi sebagai kerangka analisis untuk memahami suatu masalah
(Allison,
1971). Karena dipengaruhi oleh daya persepsi inilah, maka pemahaman, dan
tentu saja
perumusan atas suatu isu, sesungguhnya amat bersifat subjektif. Dilihat
dari sudut ini,
maka besar kemungkinan masing-masing orang kelompok, atau pihak-pihak
tertentu
dalam sistem politik yang berkepentingan atas sesuatu isu akan berbeda-beda dalam
cara
memahami dan bagaimana merumuskannya. Persepsi ini, pada gilirannya juga
akan
mempengaruhi terhadap penilaian mengenai status peringkat yang terkait pada
sesuatu
isu.
Dilihat dari peringkatnya, maka isu kebijakan publik itu, secara berurutan
dapat dibagi
menjadi empat kategori besar, yaitu isu utama, isu sekunder, isu
fungsional, dan isu
minor (Dunn, 1990).
1. Isu Utama (major issues)
Secara khusus ditemui pada tingkat pemerintah tertinggi di dalam atau di
antara
jurisdiksi atau wewenang federal, negara bagian, dan lokal. Isu utama secara khusus
meliputi pertanyaan tentang misi suatu instansi, yaitu pertanyaan mengenai sifat
dan
tujuan organisasi-organisasi pemerintah.
2. Isu sekunder (secondary issues)
Merupakan isu yang terletak pada tingkat instansi pelaksana program di
pemerintahan federal, negara bagian, dan lokal. Isu yang kedua ini dapat
berisi isu
prioritas program dan definisi kelompok sasaran dan penerima dampak.
3. Isu fungsional (functional issues)
Terletak di antara tingkat program dan proyek, dan memasukkan pertanyaan-
pertanyaan seperti anggaran, keuangan, dan usaha untuk memperolehnya.
36

4. Isu minor (minor issues)


Merupakan isu yang ditemukan paling sering pada tingkat proyek-proyek yang
spesifik. Isu minor meliputi personal, petugas kesehatan, keuntungan
bekerja, jam
kerja, dan perunjuk pelaksanaan serta peraturan.

Bila hirarki isu naik, masalah menjadi saling tergantung, subyektif,


artifisial, dan
dinamis. Meskipun tingkat ini saling tergantung, beberapa isu memerlukan
kebijakan
yang strategis, sementara yang lain meminta kebijakan operasional. Suatu
kebijakan
yang strategis (strategic policy) adalah salah satu kebijakan di mana
konsekuensi dan
keputusannya secara relatif tidak bisa dibalikkan. Suatu isu seperti
pemerintah dalam
menanggapi wabah demam berdarah yang sudah meluas, memerlukan kebijakan strategis
karena konsekuensi dari keputusan tidak dapat dibalik ulang untuk beberapa
tahun.
Sebaliknya, kebijakan operasional (operational policy) –yaitu, kebijakan di
mana
konsekuensi dari keputusan secara relatif dapat dibalik ulang— tidak
menimbulkan
risiko dan ketidakpastian masa kini pada tingkat yang lebih tinggi. Sementara semua
tipe
kebijakan adalah saling tergantung – sebagai contoh, realisasi dari misi-
misi suatu
instansi kesehatan tergantung sebagian pada kemampuan praktik-praktik
personalnya—
37

adalah penting untuk mengetahui bahwa kompleksitas dan tak dapat


diulangnya suatu
kebijakan akan semakin tinggi seiring dengan meningkatnya hirarki isu kebijakan.
Kategorisasi ini menjelaskan bahwa makna penting yang melekat pada suatu
isu akan
ditentukan oleh peringkat yang dimilikinya. Artinya, makin tinggi status peringkat
yang
diberikan atas sesuatu isu, maka biasanya makin strategis pula posisinya
secara politis.
Sebagai kasus yang agak ekstrem, dan perspektif politik bandingkan
misalnya antara
status peringkat masalah kemiskinan vs masalah pergantian pengurus
organisasi politik
di tingkat kecamatan. Namun. perlu kiranya dicatat bahwa kategorisasi isu
di atas
hendaknya tidak dipahami secara kaku. Sebab, dalam praktek, masing-masing peringkat
isu tadi bisa jadi tumpang tindih, atau suatu isu yang tadinya hanya
merupakan isu
sekunder, kemudian berubah menjadi isu utama.
Mengapa Isu Kebijakan Penting Untuk Dicermati
Sedikitnya ada dua alasan yang dapat dikemukakan mengenai hal ini.
Pertama, sebagai
telah disinggung di muka, proses pembuatan kebijakan publik di sistem politik mana
pun
lazimnya berangkat dari adanya tingkat kesadaran tertentu atas suatu
masalah atau isu
tertentu. Kedua, derajat keterbukaan, yakni tingkat relatif demokratis atau
tidaknya suatu
sistem politik, di antaranya dapat diukur dari cara bagaimana mekanisme
mengalirnya
isu menjadi agenda kebijakan pemerintah, dan pada akhirnya menjadi
kebijakan
publik.(Wahab:2001:38)
Pada tulisan ini yang dimaksud dengan kebijakan publik ialah tindakan (politik) apa
pun
yang diambil oleh pemerintah (pada semua level) dalam menyikapi sesuatu
permasalahan yang terjadi dalam konteks atau lingkungan sistem politiknya.
Dipahami
seperti ini, maka perilaku kebijakan (policy behavior) akan mencakup pula
kegagalan
bertindak yang tidak disengaja, dan keputusan yang disengaja untuk tidak
berbuat
sesuatu apa pun, semisal tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan (baik
secara sadar
38

atau tidak), untuk menciptakan rintangan-rintangan (constraints) tertentu


agar publik
atau masyarakat tidak dapat menyikapi secara kritis terhadap kebijakan
pemerintah
(Bachrach dan Baratz, 1962; Heclo, 1972). Agar suatu kebijakan dapat
disebut sebagai
kebijakan publik, maka pada derajat tertentu ia haruslah diciptakan,
dipikirkan atau
setidaknya, diproses melalui prosedur-prosedur tertentu dan di bawah
pengaruh atau
kontrol pemerintah (Hogwood dan Gunn,1986). Dalam kondisi yang normal,
memang
secara implisit disyaratkan bahwa agar sebuah isu dapat menjadi kebijakan publik
praktis
harus mampu "menembus" pelbagai pintu akses kekuasaan berupa saluransaluran
tertentu (birokrasi dan politik) baik yang formal maupun yang informal, yang
sekiranya
relatif tersedia pada sistem politik. Adanya persyaratan seperti itulah yang
menyebabkan
isu kebijakan tidak jarang menjadi semacam "arena" atau ajang pertarungan
kepentingan
politik, baik terselubung atau terang-terangan.
Kriteria Isu Dapat Menjadi agenda kebijakan
Dalam sejumlah literatur (Lihat: Kimber, 1974; Salesbury, 1976; Sandbach,
1980;
Hogwood dan Gunn, 1986) memang disebutkan bahwa secara teoritis, suatu
isu akan
cenderung memperoleh respon dari pembuat kebijakan, untuk dijadikan agenda
kebijakan publik, kalau memenuhi beberapa kriteria tertentu. Diantara
sejumlah kriteria
itu yang penting ialah:
1. Isu tersebut telah mencapai suatu titik kritis tertentu, sehingga ia praktis
tidak lagi bisa
diabaikan begitu saja; atau ia telah dipersepsikan sebagai suatu ancaman
serius yang
jika tak segera diatasi justru akan menimbulkan luapan krisis baru yang
jauh lebih
hebat di masa datang.
2. Isu tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat
menimbulkan
dampak (impact) yang bersifat dramatik.
39

3. Isu tersebut menyangkut emosi tertentu dilihat dan sudut kepentingan


orang banyak
bahkan umat manusia pada umumnya, dan mendapat dukungan berupa liputan media
massa yang luas.
4. Isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas.
5. Isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam
masyarakat.
6. Isu tersebut menyangkut suatu persediaan yang fasionable, di mana
posisinya sulit
untuk dijelaskan tapi mudah dirasakan kehadirannya.
Meskipun kriteria di atas memiliki derajat kredibilitas dan makna ilmiah
yang cukup
tinggi, namun hendaknya jangan dijadikan sebagai resep siap pakai,
melainkan hanya
sekadar dijadikan sebagai semacam kerangka acuan. Sebab, banyak bukti yang
menunjukkan, bahwa meskipun beberapa persyaratan di atas relatif terpenuhi,
dalam
praktek kebijakan di Indonesia ternyata tidak jalan.
H. SIKLUS KEBIJAKAN (POLICY CYCLE)
Siklus Kebijakan – Sebuah Model Sederhana dari Proses Kebijakan
Pada tahun 1956 Lasswell memperkenalkan tujuh tahap model proses kebijakan
yang
terdiri dari kabar, dorongan, rekomendasi, permohonan, penerapan, keputusan,
penilaian
kebijakan. Model ini telah sangat berhasil sebagai kerangka dasar bagi
bidang studi
kebijakan dan menjadi titik awal dari berbagai tipologi proses kebijakan.
Versi- versi
yang dikembangkan oleh Brewer dan Deleon (1983), Mei dan Wildavsky
(1978),
Anderson (1975), dan Jenkins (1978) adalah salah satu yang paling banyak diadopsi.
Saat
ini, differensiasi antara agenda-setting, perumusan kebijakan, pengambilan
keputusan,
pelaksanaan, dan evaluasi (yang akhirnya mengarah ke terminasi) telah menjadi cara
yang
konvensional untuk dapat menggambarkan kronologi proses kebijakan.
40

Pemahaman Lasswell tentang model proses kebijakan lebih bersifat


preskriptif
(memberikan arahan) dan normatif daripada deskriptif dan analitis. Tahapan-
tahapan
linear yang dikemukakan oleh Lasswell didesain seperti model pemecahan
masalah dan
mirip dengan model dari perencanaan dan pengambilan keputusan di teori organisasi
dan
administrasi publik. Sementara studi empiris tentang pengambilan keputusan
dan
perencanaan dalam organisasi, yang dikenal sebagai teori pengambilan
keputusan dan
perencanaan dalam organisasi, yang dikenal sebagai teori perilaku
pengambilan
keputusan yang dikemukakan oleh Simon (1947), telah berulang kali
menunjukkan
bahwa pembuatan keputusan pada kenyataannya di dunia nyata biasanya tidak
selalu
mengikuti urutan tahapan ini. Menurut model rasional, pembuatan keputusan
apapun
harus didasarkan pada analisis yang komperehensif terhadap masalah dan tujuan,
diikuti
oleh koleksi inklusif dan analisis informasi dan mencari alternatif terbaik untuk
mencapai
tujuan tersebut. Ini meliputi analisis biaya dan manfaat dari opsi berbeda dan
seleksi akhir
arah tindakan.
Perspektif tahapan Lasswell kemudian berubah menjadi model siklus setelah
dikombinasikan dengan model input-output Easton. Perspektif siklus menekankan
proses
umpan balik antara outpu dan input dari pembuatan kebijakan, yang menyebabkan
proses
kebijakan berlangsung terus-menerus. Tahap model siklus ini diantaranya
pertama,
masalah didefinisikan dan dimasukkan dalam agenda, kebijakan selanjutnya
dikembangkan, diadopsi dan diimplementasikan, dan, akhirnya kebijakan ini akan
dinilai
terhadap efektivitas dan efisiensi dan baik dihentikan atau dimulai ulang.
Tahap-tahap Siklus Kebijakan
Dalam menyusun suatu kebijakan, urutan-urutan perlu dilalui, dari mulai
perumusan
masalah, dan diakhiri dengan penghentian kebijakan. Tahap-tahap siklus
kebijakan
diantaranya adalah sebagai berikut.
41

1. Agenda Setting
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam
realitas
kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa
yang
disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan.
Jika
sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan
mendapatkan
prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan
alokasi sumber
daya publik yang lebih daripada isu lain. Dalam agenda setting juga
sangat penting
untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah.
Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah
kebijakan (policy
problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di
antara
para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau
pertentangan
pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn
(1990),
isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik
tentang
rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu.
Namun
tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan. Ada beberapa Kriteria
isu
yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976;
Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986)diantaranya:
a. Telah mencapai titik kritis tertentu jika diabaikan,
b. Akan menjadi ancaman yang serius;
c. Telah mencapai tingkat partikularitas tertentu à berdampak dramatis;
d. Menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak (umat
manusia)
dan mendapat dukungan media massa;
e. Menjangkau dampak yang amat luas ;
f. Mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;
42
g. Menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi
mudah
dirasakan kehadirannya)
2. Formulasi Kebijakan dan Pengambilan Keputusan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para
pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari
pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari
berbagai
alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan
suatu
masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan
kebijakan
masing-masing slternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang
diambil
untuk memecahkan masalah.
3. Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik.
Suatu kebijakan atau program harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau
tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian
luas
merupakan alat administrasi publik dimana aktor, organisasi, prosedur,
teknik serta
sumber daya diorganisasikan secara bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna
meraih dampak atau tujuan yang diinginkan.
4. Evaluasi dan Penghentian Kebijakan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang
menyangkut
estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan
dampak. Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan
fungsional.
Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja,
melainkan
dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa
meliputi tahap perumusan masalh-masalah kebijakan, program-program yang
43

diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap


dampak kebijakan.
Kritik
Terkait dengan deskripsi, model tahapan dikatakan mengalami ketidaktepatan
deskriptif
karena realitas empiris tidak sesuai dengan klasifikasi proses kebijakan
dalam tahap
diskrit dan berurutan. Implementasi, misalnya, mempengaruhi agenda-setting;
atau
kebijakan akan dirumuskan sementara beberapa lembaga uji coba lapangan
untuk
menegakkan program ambigu, atau penghentian kebijakan harus dilaksanakan.
Dalam
sejumlah kasus itu lebih atau kurang mungkin, atau setidaknya tidak
berguna, untuk
membedakan antara tahap. Dalam kasus lain, urutan terbalik, beberapa
tahapan
kehilangan sepenuhnya atau ada bersamaan.
Dalam hal nilai konseptual, siklus kebijakan kekurangan mendefinisikan
elemen
kerangka teoritis. Secara khusus, model tahapan tidak menawarkan penjelasan
kausal
untuk transisi antara tahapan yang berbeda. Oleh karena itu, studi tahap tertentu
menarik
pada sejumlah konsep teoritis yang berbeda yang belum diturunkan dari kerangka
siklus
itu sendiri. Model khusus yang dikembangkan untuk menjelaskan proses dalam
tahap
tunggal tidak terhubung dengan pendekatan lain mengacu pada tahap lain
dari siklus
kebijakan.
I. PENDEKATAN DALAM ANALISIS KEBIJAKAN
1. Pendekatan Kelompok
Secara garis besar pendekatan ini menyatakan bahwa pembentukan kebijakan
pada
dasarnya merupakan hasil dari perjuangan antara kelompok-kelompok dalam
masyarakat. Suatu kelompok merupakan kumpulan individu-individu yang diikat
oleh tingkah laku atau kepentingan yang sama. Mereka mempertahankan dan
membela tujuan-tujuan dalam persaingannya vis-a-vis kelompok-kelompok lain. Bila
44

suatu kelompok gagal dalam mencapai tujuan-tujuannya melalui tindakan-


tindakannya sendiri, maka kelompok itu biasanya menggunakan politik dan
pembentukan kebijakan publik untuk mempertahankan kepentingan kelompoknya.
Berbeda dengan apa yang dimaksud suatu kelompok potensial, adalah
sekumpulan
individu-individu dengan perilaku yang sama, berinteraksi untuk membentuk
suatu
kelompok, jika kelompok-kelompok lain mengancam kepentingan-kepentingan
mereka. Pada akhirnya,―social equilibrium‖ dicapai pada waktu pola-pola
interaksi
kelompok dikarakteristikkan oleh suatu tingkat stabilitas yang tinggi.
Pendekatan kelompok mempunyai anggapan dasar bahwa interaksi dan perjuangan
antara kelompok-kelompok merupakan kenyataan dari kehidupan politik. Dalam
pandangan kelompok, individu akan mempunyai arti penting hanya bila ia
merupakan partisan dalam atau wakil kelompok-kelompok tertentu. Dengan
melalui
kelompok-kelompoklah individu berusaha untuk mendapatkan pilihan-pilihan politik
yang mereka inginkan.
2. Pendekatan Proses Fungsional
Suatu cara lain untuk mendekati studi pembentukan kebijakan adalah dengan
jalan
memusatkan perhatian kepada berbagai kegiatan fungsional yang terjadi dalam
proses kebijakan. Harold Lasswell mengemukakan tujuh kategori analisis fungsional
yang dapat digunakan sebagai dasar bagi pembahasan teori fungsional:
a. Inteligensi: Bagaimana informasitentang masalah-masalah kebijakan mendapat
perhatian para pembuat keputusan-keputusan kebijakan dikumpulkan dan
diproses.
b. Rekomendasi: Bagaimana rekomendasi-rekomendasi atau alternatif-alternatif
untuk mengatasi suatu masalah tertentu dibuat dan dikembangkan.
45

c. Preskripsi: Bagaimana peraturan-peraturan umum dipergunakan atau


diterapkan
dan oleh siapa?
d. Permohonan (invocation): Siapa yang menentukan apakah perilaku tertentu
bertentangan dengan peraturan-peraturan atau undang-undang dan menuntut
penggunaan peraturan-peraturan atau undang-undang?
e. Aplikasi: Bagaimana undang-undang atau peraturan-peraturan sebenarnya
diterapkan atau diberlakukan
f. Penilaian: Bagaimana pelaksanaan kebijakan, keberhasilan atau kegagalan
itu
dinilai?
g. Terminasi: Bagaimana peraturan-peraturan atau undang-undang semula
dihentikan atau dilanjutkan dalam bentuk yang berubah atau dimodifikasi?
Dalam tahap-tahap selanjutnya dari proses kebijakan, para pembuat kebijakan
mungkin berusaha menggunakan informasi baru untuk mengubah proses kebijakan
semula. Walaupun Laswell mengatakan bahwa desain ini sebagai ―proses keputusan
(decision process)‖, desain ini berada di luar pembuatan keputusan yang
berangkat
dari pilihan-pilihan khusus dan sebenernya mencakup ―arah tindakan tentang
suatu
masalah‖, suatu batasan kebijakan yang telah kita sebutkan pada bagian awal tulisan
ini.
Desain analisis ini mempunyai beberapa keuntungan. Pertama, desain ini tidak
terikat
pada lembaga-lembaga atau peraturan-peraturan politik khusus. Kedua, desain
analisisi ini memberi keuntungan untuk analisis komparasi pembentukan
kebijakan.
Untuk tujuan tersebut, orang bisa saja menyelidiki bagaimana fungsi-fungsi
yang
berbeda ini dilaksanakan, pengaruh apa dan oleh siapa dalamsistem politik atau
unit-
unit pemerintahan yang berbeda dilakukan. Namun demikian, desain ini juga
mempunyai kelemahan. Penekanannya pada kategori-kategori fungsional mungkin
46

akan menyebabkan pengabaian terhadap politik pembentukan kebijakan dan


pengaruh variable-variable lingkungan dalam proses pembuatan kebijakan publik.
3. Pendekatan Kelembagaan (Institusionalisme)
Hubungan antara kebijakan publik dan lembaga-lembaga pemerintah dilihat
sebagai
hubungan yang sangat erat. Suatu kebijakan tidak menjadi suatu kebijakan
publik
sebelum kebijakan itu ditetapkan dan dilaksanakan oleh suatu lembaga
pemerintah.
Lembaga-lembaga pemerintah member tiga karakteristik yang berbeda terhadap
kebijakan public. Pertama, pemerintah member legitimasi kepada kebijakan-
kebijakan. Kebijakan-kebijakan pemerintah secara umum dipendang sebagai
kewajiban-kewajiban yang sah yang menuntut loyalitas warganegara. Rakyat
mungkin memandang keebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh kelompok-
kelompok dan asosiasi-asosiasi lain dalam masyarakat, seperti misalnya-
korporasi,
organisasi professional asosiasi sipil dan sebagainya sangat penting dan
bahkan
mengikat. Tetapi hanya kebijakan-kebijakan pemerintah sajalah yang
membutuhkan
kewajiban-kewajiban yang sah. Kedua, kebijakan-kebijakan pemerintah
membutuhkan universalitas. Hanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang
menjangkau dan dapat menghukum secara sah orang-orang yang melanggar
kebijakan tersebut. Sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan oleh kelompok-
kelompok
dan organisasi-organisasi lain dalam masyarakat bersifat lebih terbatas
dibandingkan
dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Dengan demikian, keunggulan
dari
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah adlaah bahwa kebujakan tersebut dapat
menuntut loyalitas dari semua warganegaranya dan mempunyai kemampuan
membuat kebijakan yang mengatur seluruh masyarakat dan memonopoli penggunaan
kakuatan secara sah yang mendorong individu-individu dan kelompok membentuk
pilihan-pilihan mereka dalam kebijakan.
47

Sekalipun demikian, pendekatan ininjuga mempunyai kelemahan sebagaimana


pendekatan-pendekatan yang lain. Kelemahan pendekatan tradisional yang
paling
mencolok adalah bahwa pendekatan lembaga dalam ilmu politik tidak
mencurahan
perhatian yang banyak pada hubungan antar struktur lembaga-lembaga
pemerintah
dan substansi kebijakan public. Sebaliknya, studi-studi lembaga biasanya
lebih
berusaha menjelaskan lembaga-lembaga pemerintah secara khusus, sepertinya
misalnya struktur, organisasi, kewajiban dan fungsi-fungsi tanpa secara
otomatis
menyelidiki dampak dari karakteristik-karakteristik lembaga-lembaga tersebut
pada
hasil-hasil kebijakan. Aturan-aturan konstitusi dan undang-undang dijelaskan
secara
terperinci sebagaimana kantor-kantor dan badan-badan pemerintah yang banyak
sekali jumlahnya, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Kebijakan-
kebijakan
public seringkali dijelaskan, tetapi jarang dianalisis dna hubungan antara struktur
dan
kebijakan public secara luas tidak diselidiki.
4. Pendekatan Peran Serta Kewarganegaraan
Teori peran serta warganegara didasarkan pada harapan-harapan yang tinggi tentang
kualitas warganegara dan keinginan mereka untuk terlibat dalam kehidupan
public.
Menurut teori ini, dibutuhkan warganegara yang memiliki struktur-struktur
kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai dan fungsi-fungsi demokrasi.
Setiap
warganegara harus memiliki cukup kebebasan untuk berperan serta dalam
masalah-
masalah politik, mempunyai sikap kritis yang sehat dan harga diri yang
cukup dan
yang lebih penting adalah perasaan mampu. Di atas segala-galanya, para
warganegara harus tertarik dalam politik dan menjadi terlibat secara
bermakna.
Sayangnya apa yang diketahui tentang kebiasaan-kebiasaan politik dari warganegara
pada umunya merupakan suatu gambaran suram yang bertentangan dengan cita-
cita
demokrasi. Studi-studi empiric mengungkapkan tekanan-tekanan otoritarianismeyang
48

kuat pada rakyat biasa, toleransi yang rendah dan ketidaktahuan yang meluas. Studi-
studi tentang pendapat umum mengungkapkan bahwa orang cenderung menyaring
informasi yang tidak diinginkan dan memandang stimuli politik secara
selektif
berdasarkan pikiran-pikiran yang dipahami sebelumnya.
5. Pendekatan Psikologis
Pokok perhatian pendekatan inin diberikan pada hubungan antar pribadi dan
factor-
faktor kejiwaan yang mempengaruhi tingkah laku orang-orang yang terlibat
dalam
proses pelaksanaan kebijakan. Individu-individu selama dalam proses
pelaksanaan
kebijakan tidak kehilangan diri, tetapi sebaliknya mereka dianggap sebagai
peserta
yang sangat penting yang memainkan peran penting dalam pembentukan kebijakan.
Selain itu, menurut Amir Santoso, pendekatan ini juga menjelaskan hubungan
antarpribadi antara perumus dan pelaksana kebijakan. Hubungan tersebut
menjadi
variable yang menetukan keberhasilan atau kegagalan suatu program. Dengan
merujuk pendapat McLaughlin, Amir Santoso menyatakan bahwa terdapat tiga jenis
hubungan yang berbeda antara perumus kebijakan dengan pelaksana kebijakan, yakni
adaptasi bersama, kooptasi dan non-implementasi.
6. Pendekatan Proses
Dalam pendekatan ini, masalah-masalah masyarakat pertama-tama diakui sebagai
suatu isu untuk dilakukan tindakan, dan kemudian kebijakan ditetapkan
diimplementasikan oleh para pejabat agensi, dievaluasi, dan akhirnya
diterminasi
atau diubah atas dasar keberhasilan atau kekurangannya. Tentu saja proses
ini jauh
lebih kompleks, ketimbang gambaran yang sederhana ini. Namun demikian,
pada
saat kita bicara tentang siklus kebijakan, kita bicara suatu proses
kebijakan melalui
mana kebanyakan kebijakan public melintas. Sekalipun realitas dari proses kebijakan
adalah sangat kompleks, proses ini bisa dipahamisecara lebih baik dengan
49

membayangkan seolah-olah kebijakan itumelewati sejumlah tahap yang berbeda-


beda. Selama lebih dari tiga decade, para naalis kebijakan public telah
membuat
kemajuan secara substansial dalam memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang
siklus kebijakan.
7. Pendekatan Substantif
Banyak ilmuwan kebijakan public menjadi spesialis substansif dalam suatu
bidang
tertentu. Misalnya, mereka mungkin menganalisis determinan-determinan dari
perumusan kebijakan lingkungan, implementasi atau perubahan. Para ilmuwan
lainnya menjadi spesialis kebijakan pendidikan, spesialis kebijakan
pemeliharaan
kesehatan, spesialis kebijakan energy, spesialis kebijakan penanggulangan
kejahatan,
atau spesialis kebijakan kesejahteraan. Para spesialis ini mungkin tetap berada
dalam
konteks suatu bidang substantive bagi sebagian besar karir professional mereka,
atau
secara alternatif, mereka mungkin meneliti kebijakan dalam suatu bidang
tertentu
untuk jangka pendek, dan kemudian berpindah ke bidang kebijakan lainnya.
Suatu
penelitian tentang artikel-artikel yang diterbitkan dalam jurnal-jurnal
terkemuka di
Amrika Serikat, sebagian besar bidang yang dipelajari dari perspektif
substantive
adalah kebijakan ekonomi (14,5%), ilmu/kebijakan teknologi (14,1%), dan kebijakan
luar negeri (13,7%). Suatu penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa studi-
studi
kebijakan kesehatan dan sumber alam/energy/lingkungan adalah bidang-bidang yang
paling banyak dipelajari selama kurun waktu 1875-1984. Namun demikian,
bidang-
bidang substansif yang menarik perhatian yang paling besar mungkin akan
berubah
dalam kurun waktu tertentu.
8. Pendekatan Logical-Positivist
Pendekatan logical-positivist, seringkali disebut sebagai pendekatan perilaku
(behavioural approach) atau pendekatan keilmuan (scientific approach),
50

menganjurkan penggunaan teori-teori yang berasal dari epenlitian deduktif


(deductively derived theories), model-model, pengujian hipotesis, data keras
(hard
data), metode komparasi, dan analisis ststistik yang ketat. ―Keilmuan‖
(scientific)
dalam konteks ini mempunyai makna beberapa hal. Pertama, mempunyai makna
mengklarifikasi konsep-konsep kunci yang digunakan dalam nalaisis kebijakan.
Misalnya, konsep-konsep, seperti implementasi kebijakan harus didefinisikan
lebih
hati-hati, ketimbang pada masa lalu. Sebelumnya, implementasi didefinisikan sebagai
dikotomi ya/tidak, ketimbang sebagai suatu proses merangcang garis-garis pedoman,
menyediakan dan, memonitor kinejra, dan memperbaiki undnag-undnag. Kedua,
mempunyai makna bekerja dari teori eksplisit tentang perilaku kebijakan,
dan
menguji teori ini dengan hipotesis-hipotesis. Ketiga, mempunyai makna
menggunakan data keras, mengembangkan lagkah-langkah yang baik terhadap
berbagai fenomena, dan secara ideal, menyelidiki bermacam-macam penjelasan
melewati waktu.
Namun demikian, pendekatan keilmuan ini bukan tanpa kritik, yang
berpendapat
bahwa pendekatan itu keliru dalam memahami proses kebijakan
denganmemperlakukannya sebagai sebuah ―proyek rasional‖ yaitu, proses kebijakan
adalah jauh lebih kompleks, ketimbang perspektif seperti ban berjalan.
Dengan
demikian, pendekatan ini tidak memberi kemungkinan untuknya sebagi suatu teknik
analasis yang canggih. Kritik ini mengambil bentuk dekonstruksi
postpositivist
terhadap metode-metode perilaku tradisional, dan berpendapat sebagai penggantinya
pendekatan yang lebih intuitif atau pendekatan partisipatori terhadap
analisisi
kebijakan public.

51

9. Pendekatan Ekonometrik
Pendekatan ekonometrik, kadangkala dinamakan pendekatan pilihan publik (the
public choise approach) atau pendekatan ekonomi politik, terutama didasarkan pada
teori-teori ekonomi politik. Pendekatan ini menjelaskan bahwa sifat alami
manusia
diasumsikan ―rasional‖, atau dimotivasi oleh pencapaian secara pribadi
murni.
Pendekatan inij beranggapan bahwa orang mengejar preferensi-preferensi
mereka
yang berbobot tetap, terlepas hasil-hasil kolektif. Secara esensial,
pendekatana ini
mengintergerasikan wawasan umum tentang riset kebijakan publik dengan
metode-
metode keuangan publik. Misalnya, diasumsikan bahwa preferensi-preferensi
individu adalah sempit dan beragam, yang membutuhkan individu mengagregasikan
preferensi-preferensinya ke dalam masyarakat luas yang bisa meminta
tindakan
pemerintah.
10. Pendekatan Fenomologik (Postpositivist)
Pendekatan ini berpendapat bahwa para analis perlu mengadopsi ―suatu
respek bagi
penggunaan intuisi yang sehat secara tertib, yang dirinya dilahirkan dari
pengalaman
yang tidak bisa direduksi ke model, hipotesis, kuantifikasi, dan data
keras,‖ Secara
metodologik, para analis memperlakukan setiap potongan dari fenomena social
sebagai suatu peristiwa yangunik, dengan indeks etnografik dan indeks
kualitatif
menjadi yang paling penting. Pendangan alternative ini dideskripsikan oleh
kepeduliannya dengan pemahaman, ketimbang prediksi, dengan hipotesis-
hipotesis
kerja, ketimbang dengan pengujian hipotesis yang ketat, dan dengan hubungan timbal
balik antara peneliti dan objek studi, ketimbang observasi yang terpisah
di pihak
analis. Untuk mengumpulkan ―bukti‖ , pendekatan ini lebih memanfaatkan
penggunaan studi-studi kasus secara berkelanjutan, ketimbang menggunakan teknik-
teknik analisis yang canggih. Singkatnya, pendekatan ini lebih menekankan
52

kepeduliannya pada keketatatn keilmuan dengan intuisi dan pembenaman secara


menyeluruh dalam informasi.
Kritik-kritik terhadap pendekatan postpositivist/naturalistic lebih dikaitkan
pada
kekurangan keketatannya dan bergerak menjauhi pendekatan keilmuan yang
dianjurkan oleh kelompok behavioralis dan kelompok ekonomi.
11. Pendekatan Partisipatori
Pendekatan partisipatori ini dikaitkan dengan pandangan Peter DeLeon, yang
mempunyai kaitan erat dengan tantangan pospositivist, dan mencakup perhatian yang
besar dan nilai-nilai dari berbagai stakeholder dalam proses pembuatan
keputusan
kebijakan. Pendekatkan ini agaknya lebih dekat dengan apa yang disebut
Harold
Lasswell, policy sciences of democracy, di mana populasi yang diperluas
dari para
warganegara yang dipengaruhi terlibat dalam perumusan dan implementasi kebijakan
publik melalui serangkaian dialog yang tidak berkesinambungan. Pendekatan
ini
mencakup dengar pendapat terbuka secara ekstensif dengan sejumlah besar
warganegara yang mempunyai kepedulian, di mana dengar pendapat ini disusun
dalam suatu cara untuk mempercepat para individu, kelompok-kelompok
kepentingan, dan para pejabat agensi memberikan kontribusi mereka kepada
pembuatan desain dan redesain kebijakan. Tujuan yang dinyatakan dari
analisis
kebijakan partisipatori adalah mengumpulkan informasi sehingga para
pembentuk
kebijakan bisa membuat rekomendasi dan keputusan yang lebih baik
(misalnya,
informasi yang lebih lengkap). Sebagai suatu pendekatan terhadap analisis,
pendekatan ini menyarankan pertimbangan tentang sejumlah besar pemain (players),
dan nilai-nilai dalam proses pembuatan kebijakan, dan dengan demikian, mempunyai
yang lebih baik dari berbagai perspektif yang dihadirkan pada saat kebijakan sedang
dipertimbangkan.
53

Pendekatan partisipatori mungkin bermanfaat sebagai arahan kepada


pembentukan
agenda, perumusan kebijakan, dan implementasi kebijakan, ketimbang tahap-
tahap
lain dalam proses kebijakan publik. Dalam beberapa hal, pendekatan ini
lebih
merupakan preskripsi untuk desain dan redesain kebijakan atau, ketimbang
sebagai
suatu pendekatan empiric untuk memahami pembentukan kebijakan atau
implementasi.
12. Pendekatan normatif atau preskriptif
Dalam pendekatan normative atau preskriptif, analis perlu mandefinisikan
tugasnya
sebagai analis kebijakan sama seperti orange yang mendefinisikan ―end state‖, dalam
arti bahwa preskripsi ini bisa diinginkan dan bisa dicapai. Para
pendukung
pendekatan ini seringkali menyarankan suatu posisi kebijakan dan
menggunakan
retorika dalam suatu cara yang sangat lihai untuk meyakinkan pihak lain
tentang
manfaat dari posisi mereka. Beberapa cntoh dari tipe analisis kebijakan
ini bisa
dilihat dari hasil-hasil studi yang dilakukan oleh Henry Kissinger, Jeane
Kirkpatrick,
atau para ilmuwan politik praktisi lainnya. Pada intinya, mereka
menggunakan
argument-argumen yang lihai dan (kadangkala) secara selektif menggunakan
data
untuk mengajukan suatu politik dan untuk meyakinkan pihak lain bahwa
posisi
mereka dalam suatu pilihan kebijakan yang layak. Kadangkala, tipe analisis
ini
mengarahkan kepada tuduhan bahwa para analisis kebijakan seringkali
menyembunyikan ideology mereka sebagai ilmu.
13. Pendekatan Ideologik
Sekalipun tidak semua analis secara eksplisit mengadopsi pandangan konservatif atau
pandangan liberal, mereka nyaris selalu mempunyai suatu pandangan yang tertanam
dalam analisis kebijakan mereka. Thomas Sowell menamakan pendekatan
ideology
ini ―visi‖ (visions) dan mengidentifikasi dua perspektif yang bersaing.
54

Pertama, ―visi yang dibatasi‖ (the constrained vision) merupakan suatu


gambaran
manusia egosentrik dengan keterbatasan moral. Oleh karenanya, tantangan moral dan
social yang fundamental adaah untuk membuat yang terbaik dari kemungkinan-
kemungkinan yang ada dalam keterpaksaan/keterbatasan ketimbang menghamburkan
energy dalam keterpaksaan/keterbatasan ketimbang menghamburkan energy dalam
suatu upaya yang sia-sia untuk mengubah sifat manusia. Kedua, ―visi yang
tidak
dibatasi‖ (the unconstrained vision) memberikan suatu pandangan tentang
sifat
manusia di mana pemahaman dan disposisi manusia adalah mampu untuk
memperoleh keuntungan-keuntungan social.
14. Pendekatan Historis/Sejarah
Banyak sarjana kebijakan publik makin meningkatkan perhatian mereka kepada
evolusi kebiajakn publik melintasi waktu. Peneliti bisa melakukan penelitian
tentang
kebijakan-kebijakan publik dari perspektif lima puluh tahun atau lebih.
Dengan
demikian, peneliti bisa melihat pola-pola tertentu dalam bentuk kebijakan
publik
yang sebelumnya yang tidak dikenali karena analisis menggunakan kerangka
waktu
yang pendek (misalnya, analisis lintas sectional atau analisis terbatas
pada kurun
waktu satu decade atau lebih). Hanya dengan meneliti kebijakan-kebijakan
publik
dari titik pandang kurun waktu yang panjang analis bisa memperoleh perspektif yang
jauh lebih baik tentang pola-pola yang ada dalam pembuatan kebijakan
publik, baik
misalnya di Negara-negara maju, seperti di Amerika Serikat, maupun di
Negara-
negara berkembang, seperti di Indonesia.

55

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan (Conclusion)
Policy is a course or principle of action adopted or proposed by a government,
party,
business, or individual. Public policy is the policy that is developed by
government agencies
and government officials. Public policy has the nature of coercion that
is potentially valid.
Private organizations doesn’t have the nature of coercion, this means
that public policy is
coercing people to obey it.
The Scientists developed many theory of approaches to help them in
behavioural
studied from all of politic system. They showed a preference for one
theory compared to
using other approaches. Each approaches has their own weakness and strength that
can help
policy analyzing in difference condition.

56

DAFTAR PUSTAKA
Aderson J .1975. Public Policy Making. London: Nelson
Allen D. Putt dan J. Fred Springer.1989. Policy Research; Concepts,
Methods, and
Application, New Jersey: Prentice Hall
AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford:
Oxford
University Press, 1995, cet. ke-5, h. 893.
Dunn W. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gajah Mada
University
Press
Dwijowito R. 2003. Kebijakan Publik. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
Dye T .2001. Top Down Policymaking. London: Chatham House Publisher
Dye T. 2005. Understanding Public Policy. New Jersey: Pearson Education Inc.
George C. Edwards III dan Ira Sharkansky.1978. The Policy Predicament:
Making and
Implementing Public Policy, San Francisco: W.H. Freeman and Company
Islamy M. Irfan. 1988. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara,
Jakarta: Bina
Aksara
Kosen, Soewarto. 1997. Bunga Rampai Pemngembangan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat Di Indonesia. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Pelayanan
Kesehatan Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehataan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia
Naihasy, H. Syharin. 2006. Kebijakan Publik. Yogyakarta : MIDA Pustaka
Ogden J, Walt G dan Lush .2003. The Politics of ‘branding’ in policy
transfer: The case of
DOTS for tuberculosis control. Social Science and Medicine
Robert B. Denhardt dan Janet V. Denhardt. 2009. Public Administration:
An Action
Orientation. Boston: Wadsworth
Wahab, Solihin Abdul. 1997. Analisis Kebijaksanaan. Jakarta : Bumi Aksara
Walt G dan Gilson L .1994. Reforming the health sector in developing countries: The
central
role of policy analysis. Health Policy and Planning 9: 353‐70
Watl G .1994. Health Policy: An Introduction to Process and Power. London: Zed
Books
Winarno B. 2007. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Presindo
57

Anda mungkin juga menyukai