BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pertanyaan tentang kebijakan adalah pertanyaan sepanjang masa karena
kebijakan tetap
ada dan terus ada sepanjang masih ada negara yang mengatur kehidupan bersama.
Beberapa ciri dari negara yaitu merdeka atau mempunyai kedaulatan,
mempunyai
wilayah, rakyat dan pemerintahan. Serta satu hal lagi yaitu pengakuan
dari dunia
internasional yang diwakili oleh PBB.
Kehidupan bersama yang kita batasi sebagai negara secara absolut mengatur
apa dan
siapa yang ada didalamnya dan secara relatif mereka yang menjadi bagian
dari negara
tetapi tidak berada di dalam negara dan mereka yang berhubungan dengan
negara
tersebut.
Sebuah kehidupan bersama harus diatur. Tujuannya adalah supaya satu dengan
yang
lainnya tidak saling merugikan. Aturan tersebut yang secara sederhana kita
pahami
sebagai kebijakan.
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mampu memahami konsep
kebijakan secara menyeluruh serta peranannya dalam kegiatan kesehatan masyarakat.
2. Tujuan Khusus
Dengan penulisan makalah diharapkan mahasiswa mampu untuk memahami :
a. Pengertian Kebijakan
b. Tingkatan dalam Kebijakan
c. Peran dan Fungsi Kebijakan Publik
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Seperti halnya prtisipasi pada umumnya, tuntutan dapat bersifat moderat atau
radikal.
Kedua sifat ini tergantungtingkat urgensinya, gerahnya masyarakat dan sikap
pemerintah dalam menggapai tuntutan itu. Tuntutan terjadi karena salah
satu dari 2
sebab sebagai berikut :
a. Karena terabaikannya kepentigan suatu golongan dalam proses kebijakan ,
sehingga kebijakan yang dibuat pemerintah dirasakan tidak memenuhi atau
merugikan kepentingan mereka.
b. Karena munculnya kebutuhan baru setelah tujuan tercapai atau suatu
masalah
terpecahkan.
4. Dampak (I mpact)
Dalam ekonomi, dampak ganda disebut multiplier effect. Misalnya kebijakan
dalam
investasi, perpajakan, atau pengeluaran pemerintah untuk membiayai program
rutin
atau pembangunan dan sebagainya. Tindakan kebijakan itu membawa pengaruh pada
pertambahan atau pengurangan yang berlipat ganda atas pertambahan
pendapatan
masyarakat secara menyeluruh.
Multiplier effect juga dapat terjadi pada bidang social dan politik baik positif
maupun
negative. Setiap kebijakan yang bersifat positif ataupun negative dapat
berdampak
positif atau negative pula.
5. Sarana (Policy I nstrument)
Suatu kebijakan dilaksanakan dengan menggunakan sarana dimaksud. Sarana
tersebut antara lain berupa kekuasaan, insentif,pengembangan kemampuan, simbolis
dan perubahan kebijakan itu sendiri. Misalnya menghapus becak dan rumah gubuk di
DKI Jakarta menggunakan sarana kekuasaan.
William N. Dunn, menambahkan unsur-unsur didalam kebjakan publik, yaitu:
10
15
b. Kebijakan pelaksanaan
Kebijakan pelaksanaan pada lingkup Wilayah/Daerah ada 3 macam:
1) Kebijakan pelaksanaan dalam rangka desentralisasi merupakan realisasi
pelaksanaan PERDA;
2) Kebijakan pelaksanaan dalam rangka dekonsentrasi merupakan pelaksanaan
kebijakan nasional di Daerah;
3) Kebijakan pelaksanaan dalam rangka tugas pembantuan (medebewind)
merupakan pelaksanaan tugas Pemerintah Pusat di Daerah yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
Yang berwenang menetapkan kebijakan pelaksanaan adalah:
1) Dalam rangka desentralisasi adaiah Gubernur/ Bupati/Walikota
2) Dalam rangka dekonsentrasi adalah Gubernur/ Bupati/Walikota
3) Dalam rangka tugas pembantuan adalah Gubernur/ Bupati/Walikota
Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan tugas pembantuan berupa
Keputusan-keputusan dan Instruksi Gubernur/Bupati/Walikota.
Dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi berbentuk Keputusan
Gubernur/Bupati/Walikota.
Sementara tingkatan kebijakan berdasarakan sifat, antara lain :
1. Tingkat Makro
Kebijakan Makro melibatkan masyarakat secara keseluruhan dan para
pemimpin
pemerintah umumnya dalam pembentukan kebijakan publik. Kebijakan Makro
merupakan kebijakan yang dapat mempengaruhi seluruh negeri (nasional).
Misalnya
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Menteri Kesehatan, dan
lainnya. Kebijakan Makro melibatkan komunitas secara keseluruhan dan para
pemimpin pemerintah daerah pada umumnya dalam lingkup untuk kebijakan
publik.
16
publik itu pada umumnya memuat suatu teori atau model tertentu yang manyiratkan
adanya hubungan sebab akibat.
10. Policy as Process (Kebijakan sebagai Proses)
Jika konsep kebijakan publik kita pandang sebagai proses, yakni sebagai
proses
politik, maka oleh sebagian pakar adakalanya hal tersebut dipersepsikan
sebagai
sebuah siklus.disini pusat perhatian akan diberikan kepada tahap-tahap yang ada
pada
siklus tersebut. Dilihat sebagai sebuah siklus, maka pembuatan kebijakan
(public
policy making) akan bermula dari adanya isu-isu tertentu yang dianggap
oleh
pemerintah sebagai suatu masalah, kemudian pemerintah mulai mencari
alternatif-
alternatif tindakan kearah pemecahannya, dilanjutkan dengan adopsi kebijakan
serta
diimplementasikan oleh institusi atau personel terkait, dievaluasi, diubah
dan pada
kahirnya akan diakhiri atas dasar keberhasilannya.
Sementara fungsi dari kebijakan publik antara lain :
1. Mencapai beberapa tujuan luas yang mempengaruhi segmen besar warga suatu
negara atau publik.
Kebijakan publik akan mengatur segala kepentingan yang berpengaruh pada aktivitas
manusia yang dipandang perlu untuk diatur dan diintervensi oleh pemerintah
atau
aturan sosial. Segmen besar yang dimaksud adalah berbagai bidang, seperti
sosial,
politik, ekonomi, kesehatan, pertahanan, keamanan, pendidikan, dan lainnya.
Misal
pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
2. Menekan dan mendorong aktivitas masyarakat pada suatu negara.
Misal Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 tentang Kawasan
Tanpa Rokok dan Kawasan berbatasan Rokok.
3. Mewujudkan campur tangan dan pengaturan pemerintah terhadap kehidupan
masyarakatnya di berbagai bidang.
23
Bantul mengatakan bahwa besaran dana yang ditanggung Pemda lebih besar
dari yang
ditanggung Jampersal, terutama tahun 2011 yang masih sebesar Rp 350.000
dibanding
yang ditanggung Pemda Bantul sebesar Rp. 568.000.
Proses pelaksanaan dan pengajuan klaim yang rumit. Ini dikhawatirkan
terutama
oleh para bidan dan rumah sakit swasta yang menilai kerumitan ini serupa
dengan
kerumitan yang mereka alami ketika akan mengklaim biaya pelayanan
Jamkesmas,
padahal mereka harus menggaji karyawan dan membeli obat-obatan penunjang
dengan
segera.
Tingkat kunjungan ibu hamil dan melahirkan meningkat. Di Puskesmas
Benayang,
Kota Pontianak misalnya, sebagai Puskesmas PONED Poned (Pelayanan Obstetri
dan
Neonatal Emergensi Dasar), jumlah kunjungan meningkat tiga kali lipat dari rata-
rata 20-
25 persalinan per bulan menjadi 58 orang, per hari mencapai 2-3 orang.
Namun
demikian, di beberapa tempat lain, kunjungan ke Puskesmas malah menurun
karena
adanya aturan bahwa persalinan dengan kesulitan, jika ditanggung oleh Jampersal,
harus
dilakukan pada fasilitas pelayanan lanjutan, yaitu di rumah sakit (RS).
Akibatnya,
Puskesmas yang walaupun mempunyai fasilitas obgyn, menjadi kekurangan pengunjung
karena pengunjung jadinya berjejalan di RS rujukan, seperti yang terjadi
di Puskesmas
Mergangsang, Bantul.
Sosialisasi yang masih kurang, sehingga kebanyakan masyarakat belum
memahami
bahwa mereka memiliki hak untuk mengakses pelayanan-pelayanan yang
disediakan
melalui skema Jampersal. Akibatnya misalnya, masyarakat belum memahami
tentang
portabilitas, dan merasa terlalu rumit untuk mengakses Jampersal.
Masyarakat paling
miskin yang tidak memiliki identitas tetap sulit mengakses karena tidak mempunyai
KTP
atau sulit mendapatkan Surat Keterangan, hambatan yang sama yang mereka
hadapi
untuk mengakses Jamkesmas.
28
Penyerapan anggaran Jampersal masih sangat rendah, yang juga adalah akibat
sosialisasi yang kurang. Contohnya di Medan, pada tahun pertama
pelaksanaan, hanya
Rp 106 juta dari Rp 9,3 milyar alokasi anggaran yang terserap, di Tangerang
Selatan, 21
persen, dan di Bintan 14 persen. Di Banyuwangi, bahkan hanya sekitar 3
persen dari
anggaran yang dialokasikan untuk Jampersal yang terserap, begitu juga di Batam dan
di
banyak daerah lain.
Alternatif Kebijakan
Alternatif kebijakan yang bisa digunakan untuk menurunkan AKI da AKB yakni dengan
pelatihan kepada dukun-dukun beranak di daerah pedesaan, akan tetapi hal
ini kurang
begitu berpengaruh karena keselamatan ibu dan bayi masih belum terjamin
walaupun
ditangan dukun yang terlatih. Alternatif lainnya guna menurunkan AKI dan AKB adalah
dengan membatasi jumlah anak yang dimiliki dalam satu keluarga, dengan jumlah anak
yang sedikit maka jumlah kelahiran pun akan berkurang sehingga berdampak
pada
penurunan AKI dan AKB, sebenarnya pembatasan anak ini masuk dalam domain
keluarga berencana (KB), tetapi kenyataannya program KB ini masih dalam proses
perlu
ditingkatkan fungsi dan peranannya. Kombinasi antara program KB dan
Jampersal
adalah kombinasi yang bagus dan saling menunjang untuk menurunkan AKI dan AKB.
Implementasi Jampersal dan Program KB
Berkaitan dengan adanya kebijakan Jampersal yang diikuti dengan program
Keluarga
Berencana (KB), maka Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) berupaya untuk mengintegrasikan program KB Nasional dalam Jampersal
sebagai salah satu komponen yang rnenjadi perhatian untuk mempercepat
pencapaian
target MDG's. Dalam hal ini BKKBN akan menjamin terpenuhinya alat, obat,
kontrasepsi dan sarana pendukung program keluarga berencana yang diperlukan
untuk
29
yang tersedia untuk tenaga yang sudah terlatih, negara tersebut dapat
mengalami
perpindahan tenaga professional ini ke sektor di masyarakat yang masih kekurangan.
Faktor struktural lain yang akan mempengaruhi kebijakan kesehatan suatu
masyarakat adalah kondisi demografi atau kemajuan teknologi. Contoh, negara
dengan populasi lansia yang tinggi memiliki lebih banyak rumah sakit dan
obat‐obatan bagi para lansianya, karena kebutuhan mereka akan meningkat
seiring
bertambahnya usia. Perubahan teknologi menambah jumlah wanita melahirkan
dengan sesar dibanyak negara. Diantara alasan‐alasan tersebut terdapat
peningkatan
ketergantungan profesi kepada teknologi maju yang menyebabkan keengganan
para
dokter dan bidan untuk mengambil resiko dan ketakutan akan adanya
tuntutan. Dan
tentu saja, kekayaan nasional suatu negara akan berpengaruh kuat tehadap
jenis
layanan kesehatan yang dapat diupayakan.
3. Faktor budaya, dapat mempengaruhi kebijakan kesehatan. Dalam masyarakat
dimana hirarki menduduki tempat penting, akan sangat sulit untuk bertanya
atau
menantang pejabat tinggi atau pejabat senior. Kedudukan sebagai minoritas
atau
perbedaan bahasa dapat menyebabkan kelompok tertentu memiliki informasi
yang
tidak memadai tentang hak‐hak mereka, atau menerima layanan yang tidak
sesuai
dengan kebutuhan khusus mereka. Di beberapa negara dimana para wanita
tidak
dapat dengan mudah mengunjungi fasilitas kesehatan (karena harus ditemani
oleh
suami) atau dimana terdapat stigma tentang suatu penyakit (missal: TBC atau HIV),
pihak yang berwenang harus mengembangkan sistem kunjungan rumah atau
kunjungan pintu ke pintu. Faktor agama dapat pula sangat mempengaruhi kebijakan,
seperti yang ditunjukkan oleh ketidak‐konsistennya President George W. Bush
pada
awal tahun 2000‐an dalam hal aturan sexual dengan meningkatnya pemakaian
kontrasepsi atau akses ke pengguguran kandungan. Hal tersebut mempengaruhi
32
kebijakan di Amerika dan negara lain, dimana LSM layanan kesehatan reproduksi
sangat dibatasi atau dana dari pemerintah Amerika dikurangi apabila mereka
gagal
melaksanakan keyakinan tradisi budaya President Bush.
4. Faktor internasional atau exogenous, yang menyebabkan meningkatnya
ketergantungan antar negara dan mempengaruhi kemandirian dan kerjasama
internasional dalam kesehatan (lihat Bab 8). Meskipun banyak masalah
kesehatan
berhubungan dengan pemerintahan nasional, sebagian dari masalah itu
memerlukan
kerjasama organisasi tingkat nasional, regional atau multilateral. Contoh,
pemberantasan polio telah dilaksanakan hampir di seluruh dunia melalui
gerakan
nasional atau regional, kadang dengan bantuan badan internasional seperti
WHO.
Namun, meskipun satu daerah telah berhasil mengimunisasi polio seluruh
balitanya
dan tetap mempertahankan cakupannya, virus polio tetap bisa masuk ke
daerah
tersebut dibawa oleh orang‐orang yang tidak diimunisasi yang masuk lewat
perbatasan.
Seluruh faktor tersebut merupakan faktor yang kompleks, dan tergantung pada waktu
dan
tempat. Contoh, pada abad 19, Inggris mengeluarkan kebijakan kesehatan
mengenai
penyakit menular seksual diseluruh Kerajaan Inggris Raya. Berdasar asumsi
kolonial
yang dominan, meskipun melihat bagaimana suku dan jenis kelamin diterapkan
dalam
masyarakat Inggris, tetap mempertimbangkan kebijakan yang mencerminkan
prasangka
dan asumsi kekuasaan penjajah, daripada kebijakan yang sesuai dengan budaya
setempat.
Levine (2003) menggambarkan keadaan di India, pekerja seks wanita harus
mendaftarkan diri kepada pihak kepolisian sebagai pekerja prostitusi, suatu
kebijakan
yang didasarkan pada kepercayaan Inggris bahwa prostitusi tidak membawa
tabu atau
stigma tertentu di India. Kepolisian kolonial yang mengurusi prostitusi
mengharuskan
rumah‐rumah pelacuran untuk mendaftar kepada pihak berwenang setempat.
Asumsi
33
bahwa pemilik rumah pelacuran kejam dan tidak mengakui kebebasan para
pekerjanya
menyebabkan pihak colonial yang berwenang memaksakan suatu pendaftaran yang
mewajibkan pemilik rumah pelacuran bertanggung jawab untuk memeriksakan
pekerja
mereka. Di Inggris sendiri, rumah pelacuran illegal dan kebijakan mengenai pekerja
seks
wanita yang ada adalah yang khusus mengurusi mereka ―yang berkeliaran di jalan‖.
Memahami hubungan antara kebijakan kesehatan dan kesehatan itu sendiri
menjadi
sedemikian pentingnya sehingga memungkinkan untuk menyelesaikan masalah
kesehatan utama yang terjadi saat ini : meningkatnya obesitas, wabah
HIV/AIDS,
meningkatnya resistensi obat sekaligus memahani bagaimana perekonomian dan
kebijakan lain berdampak pada kesehatan.
Kebijakan kesehatan memberi arahan dalam pemilihan teknologi kesehatan yang
akan
dikembangkan dan digunakan, mengelola dan membiayai layanan kesehatan, atau
jenis
obat yang dapat dibeli bebas.
G. ISU PUBLIK
Isu kebijakan publik sangat penting dibahas untuk membedakan istilah yang
dipahami
awam dalam perbincangan sehari-hari yang sering diartika sebagai ‖kabar
burung‖. Isu
dalam sebuah kebijakan sarat memiliki lingkup yang luas yang meliputi
berbagai
persoalan yang ada di tengah masyarakat. Oleh karenanya memahami konsep isu sangat
akan sangat membantu para analis dalam menganalisis kebijakan publik.
Makna Isu Kebijakan dan Dinamikanya
Sekalipun harus diakui dalam pelbagai literatur istilah isu itu tidak
pernah dirumuskan
dengan jelas, namun sebagai suatu "technical term' utamanya dalam konteks
kebijakan
publik, muatan maknanya lebih kurang sama dengan apa yang kerap disebut
sebagai
"masalah kebijakan" (policy problem). Dalam analisis kebijakan publik,
konsep ini
menempati posisi sentral. Hal ini mungkin ada kaitannya dengan fakta,
bahwa proses
34
pembuatan kebijakan publik apa pun pada umumnya berawal dari adanya awareness of a
problem (kesadaran akan adanya masalah tertentu). Misalnya, gagalnya
kebijakan
tertentu dalam upayanya mengatasi suatu masalah pada suatu tingkat yang
dianggap
memuaskan. Tapi, pada situasi lain, awal dimulainya proses pembuatan kebijakan
publik
juga bisa berlangsung karena adanya masalah tertentu yang sudah sekian
lama
dipersepsikan sebagai "belum pernah tersentuh" oleh atau ditanggulangi lewat
kebijakan
pemerintah. Pada titik ini kemudian mulai membangkitkan tingkat perhatian
tertentu.
(Wahab:2001:35)
Jadi, pada intinya isu kebijakan (policy issues) lazimnya muncul karena
telah terjadi
silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah
atau akan
ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan itu sendiri.
Isu kebijakan dengan begitu lazimnya merupakan produk atau fungsi dari
adanya
perdebatan baik tentang rumusan rincian, penjelasan, maupun penilaian atas
suatu
masalah tertentu (Dunn, 1990). Pada sisi lain, isu bukan hanya mengandung
makna
adanya masalah atau ancaman, tetapi juga peluang-peluang bagi tindakan positif
tertentu
dan kecenderungan-kecenderungan yang dipersepsikan sebagai memiliki nilai
potensial
yang signifikan (Hogwood dan Gunn, 1996). Dipahami seperti itu, maka isu
bisa jadi
merupakan kebijakan-kebijakan alternatif (alternative policies). atau suatu
proses yang
dimaksudkan untuk menciptakan kebijakan baru, atau kesadaran suatu kelompok
mengenai kebijakan tertentu yang dianggap bermanfaat bagi mereka (Alford
dan
Friedland, 1990: 104). Singkatnya, timbulnya isu kebijakan publik terutama karena
telah
terjadi konflik atau "perbedaan persepsional" di antara para aktor atas
suatu situasi
problematik yang dihadapi oleh masyarakat pada suatu waktu tertentu.
Sebagai sebuah konsep, makna persepsi (perception) tidak lain adalah
proses dengan
mana seseorang atau sekelompok orang memberikan muatan makna tertentu atas
35
pentingnya sesuatu peristiwa atau stimulus tertentu yang berasal dari luar
dirinya.
Singkatnya, persepsi adalah "lensa konseptual" (conceptual lense) yang pada
diri
individu berfungsi sebagai kerangka analisis untuk memahami suatu masalah
(Allison,
1971). Karena dipengaruhi oleh daya persepsi inilah, maka pemahaman, dan
tentu saja
perumusan atas suatu isu, sesungguhnya amat bersifat subjektif. Dilihat
dari sudut ini,
maka besar kemungkinan masing-masing orang kelompok, atau pihak-pihak
tertentu
dalam sistem politik yang berkepentingan atas sesuatu isu akan berbeda-beda dalam
cara
memahami dan bagaimana merumuskannya. Persepsi ini, pada gilirannya juga
akan
mempengaruhi terhadap penilaian mengenai status peringkat yang terkait pada
sesuatu
isu.
Dilihat dari peringkatnya, maka isu kebijakan publik itu, secara berurutan
dapat dibagi
menjadi empat kategori besar, yaitu isu utama, isu sekunder, isu
fungsional, dan isu
minor (Dunn, 1990).
1. Isu Utama (major issues)
Secara khusus ditemui pada tingkat pemerintah tertinggi di dalam atau di
antara
jurisdiksi atau wewenang federal, negara bagian, dan lokal. Isu utama secara khusus
meliputi pertanyaan tentang misi suatu instansi, yaitu pertanyaan mengenai sifat
dan
tujuan organisasi-organisasi pemerintah.
2. Isu sekunder (secondary issues)
Merupakan isu yang terletak pada tingkat instansi pelaksana program di
pemerintahan federal, negara bagian, dan lokal. Isu yang kedua ini dapat
berisi isu
prioritas program dan definisi kelompok sasaran dan penerima dampak.
3. Isu fungsional (functional issues)
Terletak di antara tingkat program dan proyek, dan memasukkan pertanyaan-
pertanyaan seperti anggaran, keuangan, dan usaha untuk memperolehnya.
36
1. Agenda Setting
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam
realitas
kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa
yang
disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan.
Jika
sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan
mendapatkan
prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan
alokasi sumber
daya publik yang lebih daripada isu lain. Dalam agenda setting juga
sangat penting
untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah.
Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah
kebijakan (policy
problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di
antara
para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau
pertentangan
pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn
(1990),
isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik
tentang
rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu.
Namun
tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan. Ada beberapa Kriteria
isu
yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976;
Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986)diantaranya:
a. Telah mencapai titik kritis tertentu jika diabaikan,
b. Akan menjadi ancaman yang serius;
c. Telah mencapai tingkat partikularitas tertentu à berdampak dramatis;
d. Menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak (umat
manusia)
dan mendapat dukungan media massa;
e. Menjangkau dampak yang amat luas ;
f. Mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;
42
g. Menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi
mudah
dirasakan kehadirannya)
2. Formulasi Kebijakan dan Pengambilan Keputusan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para
pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari
pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari
berbagai
alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan
suatu
masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan
kebijakan
masing-masing slternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang
diambil
untuk memecahkan masalah.
3. Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik.
Suatu kebijakan atau program harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau
tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian
luas
merupakan alat administrasi publik dimana aktor, organisasi, prosedur,
teknik serta
sumber daya diorganisasikan secara bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna
meraih dampak atau tujuan yang diinginkan.
4. Evaluasi dan Penghentian Kebijakan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang
menyangkut
estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan
dampak. Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan
fungsional.
Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja,
melainkan
dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa
meliputi tahap perumusan masalh-masalah kebijakan, program-program yang
43
kuat pada rakyat biasa, toleransi yang rendah dan ketidaktahuan yang meluas. Studi-
studi tentang pendapat umum mengungkapkan bahwa orang cenderung menyaring
informasi yang tidak diinginkan dan memandang stimuli politik secara
selektif
berdasarkan pikiran-pikiran yang dipahami sebelumnya.
5. Pendekatan Psikologis
Pokok perhatian pendekatan inin diberikan pada hubungan antar pribadi dan
factor-
faktor kejiwaan yang mempengaruhi tingkah laku orang-orang yang terlibat
dalam
proses pelaksanaan kebijakan. Individu-individu selama dalam proses
pelaksanaan
kebijakan tidak kehilangan diri, tetapi sebaliknya mereka dianggap sebagai
peserta
yang sangat penting yang memainkan peran penting dalam pembentukan kebijakan.
Selain itu, menurut Amir Santoso, pendekatan ini juga menjelaskan hubungan
antarpribadi antara perumus dan pelaksana kebijakan. Hubungan tersebut
menjadi
variable yang menetukan keberhasilan atau kegagalan suatu program. Dengan
merujuk pendapat McLaughlin, Amir Santoso menyatakan bahwa terdapat tiga jenis
hubungan yang berbeda antara perumus kebijakan dengan pelaksana kebijakan, yakni
adaptasi bersama, kooptasi dan non-implementasi.
6. Pendekatan Proses
Dalam pendekatan ini, masalah-masalah masyarakat pertama-tama diakui sebagai
suatu isu untuk dilakukan tindakan, dan kemudian kebijakan ditetapkan
diimplementasikan oleh para pejabat agensi, dievaluasi, dan akhirnya
diterminasi
atau diubah atas dasar keberhasilan atau kekurangannya. Tentu saja proses
ini jauh
lebih kompleks, ketimbang gambaran yang sederhana ini. Namun demikian,
pada
saat kita bicara tentang siklus kebijakan, kita bicara suatu proses
kebijakan melalui
mana kebanyakan kebijakan public melintas. Sekalipun realitas dari proses kebijakan
adalah sangat kompleks, proses ini bisa dipahamisecara lebih baik dengan
49
51
9. Pendekatan Ekonometrik
Pendekatan ekonometrik, kadangkala dinamakan pendekatan pilihan publik (the
public choise approach) atau pendekatan ekonomi politik, terutama didasarkan pada
teori-teori ekonomi politik. Pendekatan ini menjelaskan bahwa sifat alami
manusia
diasumsikan ―rasional‖, atau dimotivasi oleh pencapaian secara pribadi
murni.
Pendekatan inij beranggapan bahwa orang mengejar preferensi-preferensi
mereka
yang berbobot tetap, terlepas hasil-hasil kolektif. Secara esensial,
pendekatana ini
mengintergerasikan wawasan umum tentang riset kebijakan publik dengan
metode-
metode keuangan publik. Misalnya, diasumsikan bahwa preferensi-preferensi
individu adalah sempit dan beragam, yang membutuhkan individu mengagregasikan
preferensi-preferensinya ke dalam masyarakat luas yang bisa meminta
tindakan
pemerintah.
10. Pendekatan Fenomologik (Postpositivist)
Pendekatan ini berpendapat bahwa para analis perlu mengadopsi ―suatu
respek bagi
penggunaan intuisi yang sehat secara tertib, yang dirinya dilahirkan dari
pengalaman
yang tidak bisa direduksi ke model, hipotesis, kuantifikasi, dan data
keras,‖ Secara
metodologik, para analis memperlakukan setiap potongan dari fenomena social
sebagai suatu peristiwa yangunik, dengan indeks etnografik dan indeks
kualitatif
menjadi yang paling penting. Pendangan alternative ini dideskripsikan oleh
kepeduliannya dengan pemahaman, ketimbang prediksi, dengan hipotesis-
hipotesis
kerja, ketimbang dengan pengujian hipotesis yang ketat, dan dengan hubungan timbal
balik antara peneliti dan objek studi, ketimbang observasi yang terpisah
di pihak
analis. Untuk mengumpulkan ―bukti‖ , pendekatan ini lebih memanfaatkan
penggunaan studi-studi kasus secara berkelanjutan, ketimbang menggunakan teknik-
teknik analisis yang canggih. Singkatnya, pendekatan ini lebih menekankan
52
55
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan (Conclusion)
Policy is a course or principle of action adopted or proposed by a government,
party,
business, or individual. Public policy is the policy that is developed by
government agencies
and government officials. Public policy has the nature of coercion that
is potentially valid.
Private organizations doesn’t have the nature of coercion, this means
that public policy is
coercing people to obey it.
The Scientists developed many theory of approaches to help them in
behavioural
studied from all of politic system. They showed a preference for one
theory compared to
using other approaches. Each approaches has their own weakness and strength that
can help
policy analyzing in difference condition.
56
DAFTAR PUSTAKA
Aderson J .1975. Public Policy Making. London: Nelson
Allen D. Putt dan J. Fred Springer.1989. Policy Research; Concepts,
Methods, and
Application, New Jersey: Prentice Hall
AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford:
Oxford
University Press, 1995, cet. ke-5, h. 893.
Dunn W. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gajah Mada
University
Press
Dwijowito R. 2003. Kebijakan Publik. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
Dye T .2001. Top Down Policymaking. London: Chatham House Publisher
Dye T. 2005. Understanding Public Policy. New Jersey: Pearson Education Inc.
George C. Edwards III dan Ira Sharkansky.1978. The Policy Predicament:
Making and
Implementing Public Policy, San Francisco: W.H. Freeman and Company
Islamy M. Irfan. 1988. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara,
Jakarta: Bina
Aksara
Kosen, Soewarto. 1997. Bunga Rampai Pemngembangan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat Di Indonesia. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Pelayanan
Kesehatan Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehataan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia
Naihasy, H. Syharin. 2006. Kebijakan Publik. Yogyakarta : MIDA Pustaka
Ogden J, Walt G dan Lush .2003. The Politics of ‘branding’ in policy
transfer: The case of
DOTS for tuberculosis control. Social Science and Medicine
Robert B. Denhardt dan Janet V. Denhardt. 2009. Public Administration:
An Action
Orientation. Boston: Wadsworth
Wahab, Solihin Abdul. 1997. Analisis Kebijaksanaan. Jakarta : Bumi Aksara
Walt G dan Gilson L .1994. Reforming the health sector in developing countries: The
central
role of policy analysis. Health Policy and Planning 9: 353‐70
Watl G .1994. Health Policy: An Introduction to Process and Power. London: Zed
Books
Winarno B. 2007. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Presindo
57