Disusun Oleh:
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
yang sedang berkembang pesat kini. Bioetika sangat diperlukan sebagai
pengawal riset biologi dan bioteknologi modern, Pembelajaran bioetika
diarahkan untuk mencegah dampak negatif yang muncul serta dapat
memberikan solusi kepada konflik moral yang semakin meningkat seiring
meningkatnya kemajuan ilmu pengetahuan di bidang medis dan biologi.
1.2 Rumusan Masalah
2
1.4 Manfaat
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
4
bioetika dan perspektifnya dalam perkembangan berbagai keilmuan biologi
seperti kedokteran, bioteknologi, ekologi, pertanian, bahkan dalam perdebatan
politik, hukum, dan filsafat menjadikan bioetika sebagai pijakan untuk
memecahkan dan menjawab persoalan didalamnya.
2.2 Prinsip Bioetik
Beauchamp dan Childress (1994) menguraikan (Empat prinsip etika
Eropa) bahwa untuk mencapai suatu keputusan ETIK diperlukan 4 Kaidah
Dasar Moral - Kaidah Dasar Bioetik (Moral Principle) dan beberapa rules atau
kriteria dibawahnya. Keempat Kaidah Dasar Moral tersebut adalah :
1. Prinsip “Autonomy” (self-determination)
Otonomi (Autonomy) berasal dari bahasa Yunani ”autos” yang
berarti sendiri dan ”nomos” yang berarti peraturan atau pemerintahan
atau hukum. Awalnya otonomi dikaitkan dengan suatu wilayah dengan
peraturan sendiri atau pemerintahan sendiri atau hukum sendiri. Namun
kemudian, otonomi juga digunakan pada suatu kondisi individu yang
maknanya bermacam-macam seperti hak untuk bebas, pilihan pribadi,
kebebasan berkeinginan dan menjadi diri sendiri. Makna utama otonomi
individu adalah aturan pribadi atau perseorangan dari diri sendiri yang
bebas, baik bebas dari campur tangan orang lain maupun dari
keterbatasan yang dapat menghalangi pilihan yang benar, seperti karena
pemahaman yang tidak cukup. Seseorang yang dibatasi otonominya
adalah seseorang yang dikendalikan oleh orang lain atau seseorang yang
tidak mampu bertindak sesuai dengan hasrat dan rencananya.
Terdapat berbagai pendapat tentang penerapan prinsip otonomi.
Meskipun demikian, secara umum ada beberapa cara menerapkan prinsip
otonomi, khususnya dalam praktek kedokteran. Cara-cara tersebut antara
lain:
a. Menyampaikan kebenaran atau berita yang sesungguhnya (tell the
truth)
b. Menghormati hak pribadi orang lain (respect the privacy of others)
c. Melindungi informasi yang bersifat rahasia (protect confidential
information)
5
d. Mendapat persetujuan untuk melakukan tindakan terhadap pasien
(obtain consent for interventions with patients)
e. Membantu orang lain membuat keputusan yang penting (when ask,
help others make important decision)
Hal penting dalam menerapkan prinsip otonomi adalah menilai
kompetensi pasien. Para pakar meyakini belum ada satu definisi
kompetensi pasien yang dapat diterima semua pihak, sehingga begitu
banyak defnisi tentang kompetensi pasien. Salah satu definisi kompetensi
pasien yang dapat diterima adalah ”kemampuan untuk melaksanakan
atau performa suatu tugas atau perintah”.
2. Prinsip tidak merugikan “Non-maleficence”
Prinsip non-maleficence, yaitu melarang tindakan yang
membahayakan atau memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal
sebagai “primum non nocere” atau “do no harm”. Prinsip ini
berhubungan dengan ungkapan Hipokrates yang menyatakan “saya akan
menggunakan terapi untuk membantu orang sakit berdasarkan
kemampuan dan pendapat saya, tetapi saya tidak akan pernah
menggunakannya untuk merugikan atau mencelakakan mereka”.
Prinsip non-maleficence sering menjadi pembahasan dalam bidang
kedokteran terutama kasus kontroversial terkait dengan kasus penyakit
terminal, penyakit serius dan luka serius. Prinsip ini memegang peranan
penting dalam pengambilan keputusan untuk mempertahankan atau
mengakhiri kehidupan. Penerapannya dapat dilakukan pada pasien yang
kompeten maupun tidak kompeten. Pada dasarnya, prinsip non-
maleficence memberikan peluang kepada pasien, walinya dan para
tenaga kesehatan untuk menerima atau menolak suatu tindakan atau
terapi setelah menimbang manfaat dan hambatannya dalam situasi atau
kondisi tertentu.
Banyak filosof yang menjadikan prinsip non-maleficence sebagai
satu kesatuan dengan prinsip beneficence (mengutamakan tindakan untuk
kebaikan pasien). Namun, banyak juga yang membedakannya.
Pertimbangannya antara lain pemikiran bahwa kewajiban untuk tidak
6
membahayakan atau mencelakakan pasien, tentu berbeda dengan
kewajiban untuk membantu pasien, walaupun keduanya untuk kebaikan
pasien.
3. Prinsip murah hati “Beneficence”
Prinsip moral yang mengutamakan tindakan untuk ditujukan ke
kebaikan pasien atau penyediaan keuntungan dan menyeimbangkan
keuntungan tersebut dengan risiko dan biaya. Dalam Beneficence tidak
hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan
yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya
(mudharat).
Beneficence secara makna kata dapat berarti pengampunan,
kebaikan, kemurahan hati, mengutamakan kepentiang orang lain,
mencintai dan kemanusiaan. Beneficence dalam makna yang lebih luas
berarti tindakan yang dilakukan untuk kebaikan orang lain. Prinsip moral
beneficence adalah kewajiban moral untuk melakukan suatu tindakan
demi kebaikan atau kemanfaatan orang lain (pasien). Prinsip ini
digambarkan sebagai alat untuk memperjelas atau meyakinkan diri
sendiri (self-evident) dan diterima secara luas sebagai tujuan kedokteran
yang tepat.
Penerapan prinsip beneficence tidak bersifat mutlak. Prinsip ini
bukanlah satu-satunya prinsip yang harus dipertimbangkan, melainkan
satu diantara beberapa prinsip lain yang juga harus dipertimbangkan.
Prinsip ini dibatasi keseimbangan manfaat, resiko, dan biaya (sebagai
hasil dari tindakan) serta tidak menentukan pencapaian keseluruhan
kewajiban. Kritik yang sering muncul terhadap penerapan prinsip ini
adalah tentang kepentingan umum yang diletakan di atas kepentingan
pribadi. Sebagai contoh, dalam penelitian kedokteran, atas dasar
kemanfaatan untuk kepentingan umum sering prosedur penelitian yang
membahayakan individu subjek penelitian diperbolehkan. Padahal,
terdapat prinsip-prinsip lain yang semestinya juga dipertimbangkan.
Prinsip beneficence harus diterapkan baik untuk kebaikan individu
seorang pasien maupun kebaikan masyarakat keseluruhan.
7
Beberapa bentuk penerapan prinsip beneficence merupakan
komponen penting dalam moralitas. Karena luasnya cakupan kebaikan,
maka banyak ketentuan-ketentuan dalam praktek (kedokteran) yang baik
lahir dari prinsip beneficence ini. Beberapa contoh penerapan prinsip
beneficence ini adalah:
1. Melindungi dan menjaga hak orang lain.
2. Mencegah bahaya yang dapat menimpa orang lain.
3. Meniadakan kondisi yang dapat membahayakan orang lain.
4. Membantu orang dengan berbagai keterbatasan (kecacatan).
5. Menolong orang yang dalam kondisi bahaya.
4. Prinsip keadilan “Justice”
Prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive
justice) atau pendistribusian dari keuntungan, biaya dan risiko secara
adil. Prinsip Justice diterjemahkan sebagai menegakan keadilan atau
kesamaan hak kepada setiap orang (pasien). Definisi lainnya adalah
memperlakukan orang lain secara adil, layak dan tepat sesuai dengan
haknya. Situasi yang adil adalah seseorang mendapatkan mendapatkan
manfaat atau beban sesuai dengan hak atau kondisinya. Situasi yang
tidak adil adalah tindakan yang salah atau lalai berupa meniadakan
manfaat kepada seseorang yang memiliki hak atau pembagian beban
yang tidak sama. Prinsip justice lahir dari sebuah kesadaran bahwa
jumlah benda dan jasa (pelayanan) itu terbatas, sedangkan yang
memerlukan seringkali melabihi batasan tersebut. Prinsip justice
kemudian diperlukan dalam pengambilan keputusan tersebut.
Terdapat beberapa kriteria dalam penerapan prinsip justice, antara
lain:
a. Untuk setiap orang ada pembagian yang merata (equal share)
b. Untuk setiap orang berdasarkan kebutuhan (need)
c. Untuk setiap orang berdasarkan usahanya (effort)
d. Untuk setiap orang berdasarkan kontribusinya (contribution)
e. Untuk setiap orang berdasarkan manfaat atau kegunaannya (merit)
8
f. Untuk setiap orang berdasarkan pertukaran pasar bebas (free-
market exchange)
2.3 Bioetik Dalam Islam dan Kaidah Dasar
Secara umum dapat dikatakan bahwa bioetika (sebagai cabang etika) tidak
akan dapat menggantikan agama, tidak bertentangan dengan agama, bahkan
diperlukan oleh agama (Suseno, 1987). Dikemukakan pula oleh Suseno (1987),
bahwa ada masalah dalam bidang moral agama yang tidak dapat dipecahkan
tanpa penggunaan metode-metode etika. Masalah tersebut adalah masalah
interpretasi terhadap perintah atau hukum yang termuat dalam wahyu, dan
yang kedua ialah bagaimana masalah masalah moral yang baru seperti cloning,
bayi tabung, transplantasi organ, abortus dan sebagainya yang tidak langsung
dibahas dalam wahyu, dapat dipecahkan.
Sutiah (2003) mengemukakan bahwa etika, moral, dan akhlaq mempunyai
hubungan yang erat satu sama lain. Etika dan moral sebagai kajian tentang baik
dan buruk suatu perbuatan, ditentukan berdasarkan akal pikiran dan kebiasaan
masyarakat, sedangkan akhlaq berdasarkan wahyu. Namun, etika, moral dan
akhlaq tetap saling membutuhkan, sebab dalam pelaksanaannya, norma akhlaq
di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah masih bersifat tekstual (“belum siap pakai”).
Untuk melaksanakan ketentuan akhlaq yang terdapat di dalam al-Qur’an dan
al-Hadist, dibutuhkan penalaran dan ijtihad oleh ulama dan umat. Oleh karena
itu, keberadaan etika dan moral sangat dibutuhkan dalam rangka menjabarkan
dan mengoperasionalisasikan ketentuan-ketentuan akhlaq yang terdapat di
dalam al-Qur’an dan al-Hadist. Bioetika sebagai cabang etika diperlukan
sebagai wahana penalaran atau ijtihad yang terkait dengan perkembangan
biologi dan teknologi bidang biologi. Pembelajaran bioetika dibutuhkan dalam
penalaran dan ijtihad bidang kesehatan dalam pandangan islam, sebab bioetika
menekankan pada pengembangan berpikir untuk menentukan sisi baik buruk
atau dimensi etis dari biologi modern dan teknologi yang terkait dengan
kehidupan, sedangkan Islam sendiri sangat menekankan pentingnya berpikir.
Rasulullah s.a.w memberikan pernyataan tentang peranan akal dalam beragama
“Agama itu adalah penggunaan akal, tiada agama bagi orang yang tidak
berakal, al-Hadits)”. Keharusan manusia untuk selalu menggunakan akal dan
9
pikirannya difirmankan Allah dalam Q.S. Al-Ghosyiyah, ayat 17-20: ”maka
apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan (aspek
reproduksi dan fisiologi), dan langit bagaimana ia ditinggikan (aspek fisika),
dan gunung bagaimana ia ditegakkan (aspek geologi), dan bumi bagaimana ia
dihamparkan (aspek geografi)”.
Islam sangat menekankan pada kemampuan berpikir, keputusan etik
dilakukan melalui pertimbangan yang sangat cermat antara kemaslahatan dan
kemudhorotan sesuatu hal serta lebih fokus pada mencari solusi dalam
menghadapi kasus dilema bioetika (kasus yang menimbulkan perdebatan
terkait penerapan biologi atau teknologi berbasis biologi). Pembelajaran
bioetika dapat dilakukan dalam bentuk menentukan keputusan etik melalui
kajian antara resiko dan manfaat, keputusan yang mendatangkan kemaslahatan
paling banyak dengan paling sedikit kemudhorotannya.
Berdasarkan hal ini, maka yang harus mendapat perhatian dalam
pembelajaran bioetika adalah pengambilan keputusan etik dengan tidak
mengajarkan atau memberi contoh keputusan etik apa yang harus diambil,
melainkan menekankan pada bagaimana cara atau proses untuk pengambilan
keputusan etik. Proses pengambilan keputusan etik terhadap dilema bioetika
terdapat 6 prinsip bioetika menurut Islam (Mustofa, 2009: 116) yakni:
a. Keadaan Darurat
Keputusan etik yang mengandung unsur haram menggunakan pedoman
bahwa dalam kondisi normal diharamkan, namun menjadi diperbolehkan
ketika darurat, yakni tidak ada pilihan lain dan semata-mata hanya untuk
menjaga dan melestarikan kehidupan.
b. Menjaga dan Melestarikan Kehidupan
Keputusan etik yang diambil harus berdasakan tujuan utama untuk semata-
mata menjaga dan melestarikan kehidupan, bukan untuk maksud yang lain.
c. Untuk Kepentingan yang Lebih Besar
Keputusan etik yang diambil, harus terkandung maksud untuk kepentingan
yang lebih besar.
10
d. Peluang Keberhasilan
Keputusan etik yang diambil, harus sudah memperhitungkan kemungkinan
atau peluang keberhasilannya.
e. Manfaat dan Mudharat
Keputusan etik yang diambil harus sudah memperhitungkan keuntungan
dan kerugian, kemaslahatan dan kemudharatannya.
f. Tidak Ada Pilihan Lain
Keputusan etik yang diambil harus sudah memperhitungkan tidak adanya
pilihan lain, sehingga keputusan tersebut harus diambil.
11
b. Tidak boleh menghilangkan al dharar dengan al dharar yang
sebanding (al dharar la yuzaal bi mitslihi)
c. Keseimbangan antara kerugian melawan keuntungan.
Pada situasi intervensi medis yang diusulkan memiliki efek
samping, diikuti prinsip bahwa pencegahan penyakit memiliki
prioritas yang lebih tinggi ketimbang keuntungan dengan nilai
yang sama, dar’an mafasid awla min jalbi al mashaalih. Jika
keuntungan memiliki kepentingan yang jauh lebih tinggi daripada
kerugian, maka mendapatkan keuntungan memiliki prioritas yang
lebih tinggi.
d. Keseimbangan antara yang dilarang melawan yang diperbolehkan.
Dokter kadang dihadapkan dengan intervensi medis yang
memiliki efek yang dilarang namun juga memiliki efek yang
diperbolehkan. Petunjuk hukum adalah bahwa yang dilarang
memiliki prioritas lebih tinggi untuk dikenali jika keduanya
muncul bersamaan dan sebuah keputusan harus diambil (idza
ijtima’a al halaal wa al haram ghalaba al haraam al halaal).
e. Pilihan antara dua keburukan.
Jika dihadapkan dengan dua situasi medis yang keduanya akan
menyebabkan kerugian dan tidak ada pilihan selain memilih salah
satu dari keduanya, dipilih yang kurang merugikan (ikhtiyaar
ahwan al syarrain). Suatu hal yang merugikan dilakukan untuk
mencegah munculnya kerugian yang lebih besar (al dharar al
asyadd yuzaalu bi al dharar al akhaff).
Dengan cara yang sama, intervensi medis yang memiliki
kepentingan umum diutamakan di atas kepentingan individu (al
mashlahat al aamah muqoddamat ala al mashlahat al khassat).
Untuk melawan penyakit menular, pemerintah tidak boleh
melanggar / menghilangkan hak-hak umum kecuali ada
keuntungan umum yang bisa didapatkan (al tasarruf ala al raiuyat
manuutu bi al mashlahat).
12
4. Kaidah Kesulitan / Kesukaran (Qoidah a Masyaqqat)
a. Kebutuhan melegalisir yang dilarang.
Dalam kondisi yang menyebabkan gangguan serius pada
kesehatan fisik dan mental, jika tidak segera disembuhkan, maka
kondisi tersebut memberikan keringanan dalam mematuhi dan
melaksanakan peraturan dan kewajiban syari’ah.
b. Batas-batas prinsip kesulitan
Dalam melanggar syari’ah tersebut tidak melewati batas-batas
yang diperlukan (secukupnya saja).
c. Aplikasi sementara dari prinsip kesulitan.
Adanya suatu kesulitan tidak menghilangkan secara permanen
hak-hak pasien yang harus direkompensasi dan dikembalikan
pada keadaan semula seiring dengan waktu; kesulitan melegalisir
sementara dari tindakan medis yang melanggar, berakhir setelah
kondisi yang menyulitkan tadi berakhir. Dengan kata lain, jika
hambatan telah dilewati, tindakan medis yang dilarang kembali
menjadi terlarang.
5. Kaidah Kebiasaan (Qoidah al urf)
Dalam prinsip ini, standar yang diterima secara umum, seperti
standard operational procedure (SOP/Protap) untuk perawatan klinis
dianggap sebagai hukum dan diperkuat oleh syari’ah.
2.4 Jenis Bioetik Kesehatan Masyarakat
2.4.1 Kloning
Secara etimologis, kloning berasal dari kata “clone” yang diturunkan dari
bahasa Yunani “klon”, artinya potongan yang digunakan untuk
memperbanyak tanaman. Kata ini digunakan dalam dua pengertian, yaitu :
1. Klon sel yang artinya menduplikasi sejumlah sel dari sebuah sel yang
memiliki sifat-sifat genetiknya identik.
2. Klon gen atau molekular, artinya sekelompok salinan gen yang bersifat
identik yang direplikasi dari satu gen dimasukkan dalam sel inang.
13
Sedangkan secara terminologis, kloning adalah proses pembuatan
sejumlah besar sel atau molekul yang seluruhnya identik dengan sel atau
molekul asalnya. Pada prinsipnya mengklon individu baru ialah mengganti
inti telur dengan inti sel definitif, lalu merangsang sel telur itu tumbuh.
Beberapa jenis kloning yang telah diteliti, antara lain (Wangko, Kristanto,
2010):
14
Kloning dilakukan dengan menggunakan bakteri dan plasmid. Dalam hal
melakukan kloning gen atau potongan DNA, plasmid asal (cloning vector)
diisolasi dari sel bakteri. Gen sel tertentu disisipkan ke dalam plasmid,
sehingga terbentuk plasmid dengan DNA rekombinan. Plasmid yang baru
dimasukkan ke dalam sel bakteri, dan terbentuk bakteri rekombinan yang
akan membentuk sel klon. Gen yang disisipkan akan ikut pada bakteri
yang bermitosis. Klon bakteri ini akan menghasilkan protein yang sesuai
dengan gen yang disisipkan. Produk protein yang dihasilkan dapat
digunakan untuk penelitian lanjut atau diaplikasikan bagi kesehatan
manusia ataupun bidang lainnya. Sebagai contoh perusahaan farmasi
menghasilkan berbagai jenis hormon dengan menggunakan bakteri yang
menyandang gen manusia.
2. Kloning sel
Kloning sel bertujuan menghasilkan suatu populasi sel dari satu sel
tunggal. Tehnik yang diperkenalkan adalah dengan menggunakan cincin
kloning. Suspensi sel tunggal yang telah dipapar dengan agen mutagenik
atau obat tertentu ditempatkan pada pengenceran tinggi untuk
menghasilkan koloni-koloni yang terisolasi. Setiap koloni tumbuh dari
satu sel tunggal. Sel-sel klon dikumpulkan dari dalam cincin dan
dipindahkan untuk pertumbuhan lanjut.
3. Kloning organisme
Disebut juga kloning reproduksi yang bertujuan untuk menghasilkan
organisme multisel yang identik secara genetik, dan merupakan reproduksi
aseksual dimana tidak terjadi fertilisasi. Dilakukan transfer inti dari sel
dewasa donor ke dalam sel telur tanpa inti. Bila sel telur telah membelah
normal maka akan dipindahkan ke dalam uterus inang substitusi. Klon
yang dihasilkan tidak sepenuhnya identik oleh karena sel somatik dapat
mengandung mutasi DNA inti. Selain itu mitokondria di dalam sitoplasma
juga mengandung DNA, dan selama SCNT, DNA ini sepenuhnya berasal
dari sel telur donor, jadi genom mitokondria tidak serupa dengan sel telur
donor. Hal ini sangat perlu diperhatikan pada cross species nuclear
transfer oleh karena bila terjadi incompatbilitas mitokondria maka akan
15
mengarah ke kematian sel. Selain itu dalam proses kloning peran
kromosom seks (inaktivasi) belum dapat dipenuhi.
1. Sebuah sel diambil dari pria atau wanita donor, kemudian mengambil
sel telur ibu yang subur.
2. Nukleus diambil, sel telur dipisahkan dari kode genetiknya, kemudian
DNA diambil dari nukleus
3. Nukleus sel donor digabung dengan sel telur, kemudian sel telur diberi
kode genetik donor.
4. Sel dikembangkan di laboratorium sampai menjadi embrio.
5. Embrio ditanam di uterus ibu atau ibu pengganti (surrogate mother).
6. Janin menjadi salinan genetik yang persis dari sel donor.
Sumber : dharwanto.blogspot.com
16
Teknologi kloning diharapkan dapat memberi manfaat kepada manusia,
khususnya dibidang medis. Beberapa keuntungan dari teknologi kloning
ialah :
Bayi tabung merupakan suatu proses pembuahan yang terjadi di luar rahim
antara ovum dan sperma yang telah disiapkan dan dibiarkan bercampur
dalam sebuah tabung kimia serta diberi suhu yang menyemai panas badan
seorang wanita agar tetap hidup. Sehingga antara ovum dan sperma terjadi
fertilisasi, kemudian menjadi morulla, lalu dipindahkan ke dalam rahim
seorang wanita yang telah disiapkan untuk melanjutkan kehamilan secara
alami.
17
dilakukan oleh pasangan suami-stri yang terikat dalam sebuah perkawinan
yang sah, dan melalui donor yang artinya salah satu benihnya (sperma atau
ovum), dan proses pembuahannya dilakukan oleh bukan pasangan suami-
istri tanpa ikatan perkawinan (sewa rahim/meminjam rahim orang lain)
Program bayi tabung pada awal mulanya bertujuan untuk menolong bagi
pasangan suami-istri yang tidak mampu mendapatkan keturunan secara
normal atau bahkan mengalami kemandulan. Dalam perkembangannya,
program ini tidak hanya menolong pasangan suami istri yang menginginkan
seorang anak, tetapi ada latar belakang atau motivasi lain seperti pasangan
suami-istri ingin mendapatkan bayi super, namun benih yang digunakan
baik ovum ataupun sperma berasal dari orang lain. Ada pula seorang istri
ingin mempertahankan tubuhnya yang dikarenakan tuntutan profesi atau
ingin menjadi wanita karir, sehingga proses pembuahannya menggunakan
rahim orang lain atau sewa rahim yang mana dalam istilah kedokteran
dikenal dengan sebutan ibu pengganti (surrogate mother).
2.4.3 Transplantasi Organ
18
Transplantasi organ dapat dibedakan berdasarkan segi pendonor dan
penerima organ:
19
b) Isograft
Termasuk dalam autograft adalah "syngraft" atau isograft yang
merupakan prosedur transplatasi yang dilakukan antara dua orang
yang secara genetik identik.
c) Allograft
Allograft adalah pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh
seseorang ke tubuh orang lain.
d) Xenotransplantation
Xenotransplantation adalah pemindahan suatu jaringan atau organ
dari species bukan manusia kepada tubuh manusia.
e) Transplantasi Domino
Merupakan multiple transplantasi yang dilakukan sejak tahun 1987.
Donor memberikan organ jantung dan parunya kepada penerima
donor, dan penerima donor ini memberikan jantungnya kepada
penerima donor yang lain. Biasanya dilakukan pada penderita "cystic
fibrosis" (hereditary disease) dimana kedua parunya perlu diganti dan
secara teknis lebih mudah untuk mengganti jantung dan paru sebagai
satu kesatuan. Biasanya jantung dari penderita ini masih sehat,
sehingga jantungnya dapat didonorkan kepada orang lain yang
membutuhkan.
f) Transplantasi split
Kadangkala donor mati khususnya donor hati, hatinya dapat dibagi
untuk dua penerima, khususnya dewasa dan anak, akan tetapi
transplatasi ini tidak dipilih karena transplantasi keseluruhan organ
lebih baik. (Bakti Bawono Adisasmito, 2010)
Dari segi hukum transplantasi organ, jaringan dan sel tubuh dipandang
sebagai suatu hal yang mulia dalam upaya mensehatkan dan
mensejahterakan manusia walaupun ini adalah suatu tindakan yang
melawan hukum pidana yaitu tindak pidana penganiayaan tetapi mendapat
pengecualian hukuman, maka perbuatan tersebut tidak lagi diancam pidana,
dan dapat dibenarkan (Wulan, 2011:23). Pelaksanaan transplantasi organ di
Indonesia diperjelas lagi yaitu diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 18
20
tahun 1981, tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat
anatomis/transplantasi alat dan atau jaringan tubuh, merupakan pemindahan
alat/jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik. Tindakan
transplantasi tidak menyalahi semua agama dan kepercayaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa asalkan penentuan saat mati dan penyelenggaraan jenazah
terjamin dan tidak terjadi penyalahgunaan (Tansil, 1991).
2.4.4 Abortus
21
a. Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan
tersebut;
b. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenagan;
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau
keluarganya;
d. Pada sarana kesehatan tertentu.
Jika anasir-anasir tersebut tidak terpenuhi atau sebagian tidak
terpenuhi, maka abortus yang dilakukan termasuk golongan abortus
buatan illegal.
2. Abortus buatan illegal
Yaitu pengguguran kandungan yang tujuannya selain dari pada untuk
menyelamatkan atau menyembuhkan si ibu, dilakukan oleh tenaga yang
tidak kompeten serta tidak memenuhi syarat dan cara-cara yang
dibenarkan oleh undang-undang. Abortus golongan ini sering juga disebut
dengan abortus provocatus criminalis, karena di dalamnya mengandung
unsur kriminal atau kejahatan (Syafruddin, 2003). abortus provocatus
criminalis dilakukan tanpa dasar indikasi medis. Misalnya, abortus yang
dilakukan untuk meniadakan hasil hubungan seks di luar perkawinan atau
untuk mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki (Salim, 2014).
22
pengguguran yang dilakukan secara medis di rumah sakit rumah sakit,
biasanya menggunakan metode berikut ;
a) Curettage & Dilatage (C&D)
b) Mempergunakan alat khusus untuk memperlebar mulut rahim,
kemudian janin dikiret (di-curet) dengan alat seperti sendok kecil.
c) Aspirasi, yaitu penyedotan isi rahim dengan pompa kecil.
d) Hysterotomi (operasi)
23
d) Jika yang melakukan dan atau membantu melakukan abortus tersebut
seorang dokter, bidan atau juru obat (tenaga kesehatan) ancaman
hukumannya ditambah sepertiganya dan hak untuk berpraktek dapat
dicabut.
Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
kesehatan pada pasal 15 dinyatakan sebagai berikut : Ayat (1) : “Tindakan
medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun,
dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma
kesusilaan dan norma kesopanan”. Namun, dalam keadaan darurat sebagai
upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu atau janin yang dikandungnya dapat
diambil tindakan medis tertentu (Syafruddin, 2003).
24
3. Pendirian moderat mencari suatu posisi tengah yang mengakui
kemungkinan legitimasi moral bagi beberapa aborsi, tapi tidak pernah
tanpa turut mengakui penderitaan dan rasa berat hati pada pihak wanita
maupun janin. Pendirian ini melihat bahwa janin dan wanita sebagai
pemilik hak dan mengakui bahwa upaya untuk memecahkan konflik hak
seperti itu mau tidak mau akan menyebabkan penderitaan dan rasa berat
hati.
25
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1.1 Kloning
Para ulama mengkaji kloning dalam pandangan hukum Islam bermula dari
ayat berikut:
26
... طفَة ِم ْن ثُم ت ُ َراب ِم ْن َخلَ ْقنَا ُك ْم فَإِنا ْ ُِم ْن ثُم َعلَقَة ِم ْن ثُم ٍن
ْ نَشَا ُء َما اْأل َ ْر َح ِام فِي َونُ ِقر ٍْلَ ُكم ِلنُبَيِِّنَ ُمخَلقَة َو َغي ِْر ُمخَلقَة ُم...
ضغَة
"… Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani,
kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang
sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada
kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki …" (QS.
22/al-Hajj: 5).
27
Pada kasus dua cara pertama, pendapat yang dikemukakan adalah haram,
dilarang melakukan kloning yang semacam itu dengan dasar analogi (qiyas)
kepada haramnya lesbian dan saadduzarai' (tindakan pencegahan,
precaution) atas timbulnya kerancuan pada nasab atau sistem keturunan,
padahal melindungi keturunan ini termasuk salah satu kewajiban agama. Di
lain pihak juga akan menghancurkan sistem keluarga yang merupakan salah
ajaran agama Islam. Pada cara ketiga dan keempat, kloning haram dilakukan
jika sel atau sperma yang dipakai milik lelaki lain (bukan suami) atau milik
hewan. Jika sel atau sperma yang dipakai milik suami sendiri maka
hukumnya belum bisa ditentukan (tawaquf), melihat dulu maslahah dan
bahayanya dalam kehidupan sosial.
Dengan argumentasi yang sederhana tersebut, maka kloning pada manusia
haram hukumnya. Kesimpulan ini, bukan karena didasarkan bahwa
fenomena ini bertentangan dengan ayat-ayat reproduksi dalam Al-Qur’an
tetapi lebih sebagai sebuah fakta yang sangat membahayakan bagi manusia.
Artinya, madlarat (konsekuensi negatif) kloning bagi eksistensi manusia
lebih besar dari maslahat (konsekuensi positifnya). (al-Suyuthi, tth.:62)
Bayi Tabung dan hukumnya secara tersurat tidak didapatkan dari kitab-
kitab maraji' islam, baik dari Al-Qur'an, Hadits, maupun kitab-kitab ulama
klasik. Penentuan hukum mengenai bayi tabung ini murni merupakan
ijtihad dari para ulama maupun kaum muslim sekarang. Dengan demikian
salah cara yang dapat dilakukan untuk menentukan pandangan mengenai
bayi tabung ini adalah dengan cara pendekatan dalam bidang ushul fiqih
(yaitu suatu metode yang dilakukan ulama terdahulu dalam memutuskan
hukum terhadap suatu realitas yang tidak pernah dijumpai sebelumnya).
Masjfuk Zuhdi, (1997:20-25) memaparkan bahwa Majlis Tarjih
Muhammadiyah dalam Muktamarnya tahun 1980 mengharamkan bayi
tabung dengan sperma donor sebagaimana diangkat oleh Panji Masyarakat
edisi nomor 514 tanggal 1 September 1986. Lembaga Fiqih Islam
Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam sidangnya di Amman tahun 1986
28
mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor atau ovum, dan
membolehkan pembuahan buatan dengan sel sperma suami dan ovum dari
istri sendiri. Dua hal yang menyebutkan bahwa bayi tabung itu halal, yaitu :
Sperma tersebut diambil dari si suami dan indung telurnya diambil dari
istrinya kemudian disemaikan dan dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
Sperma si suami diambil kemudian di suntikkan ke dalam saluran rahim
istrinya atau langsung ke dalam rahim istrinya untuk disemaikan.
Hal tersebut dibolehkan asal keadaan suami istri tersebut benar-benar
memerlukan bayi tabung untuk membantu pasangan suami istri tersebut
memperoleh keturunan. Sebaliknya ada Lima hal yang membuat bayi
tabung menjadi haram, yaitu :
1. Sperma yang diambil dari pihak laki-laki disemaikan kepada indung
telur pihak wanita yang bukan istrinya kemudian dicangkokkan ke
dalam rahim istrinya.
2. Indung telur yang diambil dari pihak wanita disemaikan kepada sperma
yang diambil dari pihak lelaki yang bukan suaminya kemudian
dicangkokkan ke dalam rahim si wanita.
3. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari
sepasang suami istri, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim wanita
lain yang bersedia mengandung persemaian benih mereka tersebut.
4. Sperma dan indung telur yang disemaikan berasal dari lelaki dan wanita
lain kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si istri.
5. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari seorang
suami dan istrinya, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya
yang lain.
Berdasarkan keterangan tersebut, Jumhur ulama menghukuminya haram.
Karena sama hukumnya dengan zina yang akan mencampur adukkan nashab
dan akibatnya hukum anak tersebut tidak sah dan nasabnya hanya terhubung
dengan ibu yang melahirkan. Sesuai firman Allah dalam Al-Qur’an Surat
Al-Isra ayat 70 :“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,
Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari
29
yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna
atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Q.S. Al-Isra’ : 70)
Al-Qur’an Surat At-Tiin ayat 4:
Namun Mudharat Dan Mafsadahnya dari bayi tabung jauh lebih besar,
antara lain berupa:
30
3.1.3 Transplantasi Organ
ي فَ َم ْن َ ش ٍْيئ اَ ِخـ ْي ِه ِم ْن لَهُ عُـ ِف َ ِم ْن تـ َ ْخـ ِفيف ذلِكَ بــإِ ْحــ
ِ سـان اِلـَيْــ ِه َواَدَاء بِال َمـ ْع ُر ْو
َ ف فَـاتـِِّبَـاع
َو َرحْ َمة َربــِِّ ُك ْم: “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari
saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang
baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang
memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah
suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”. (TQS
al-Baqarah (2): 178)
Donor seperti ini pun diperbolehkan dengan syarat tidak menimbulkan dan
mengakibatkan kematian bagi pendonor karena dalam firman Allah SWT
surat An-Nisa(4):29 yaitu : َســ ُك ْم تـَـقـْـتلُ ُوا َول
َ ُاَنـــْف: “Dan janganlah kamu
membunuh dirimu”. (TQS an-Nisa (4): 29).
Namun tidak semua organ dapat didonorkan. Anggota tubuh yang dilarang
Allah SWT untuk didonorkan adalah organ tubuh yang dapat mencampur
adukan keturunan seperti testis dan indung telur. Imam Bukhari
meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Ra, dia berkata:
Adapun donor kedua testis maupun kedua indung telur, hal tersebut akan
mengakibatkan kemandulan; tentu hal ini bertentangan dengan perintah
31
Islam untuk memelihara keturunan. Namun bagaimana donor organ yang
dilakukan oleh orang telah mati atau mayat? Apakah diperbolehkan? Dalam
hukum islam ada yang memperbolehkan adapun yang melarang. Dilarang
diriwayatkan dari A’isyah Ummul Mu’minin RA bahwa Rasulullah SAW
bersabda … ــر
َ س ْ ت َع
َ ظــ ُم كَـ ِ َحــيًّـا َككَــس ِْر ِه ال ْمـ َ ِيِّــ: “Memecahkan tulang mayat itu
sama saja dengan memecahkan tulang orang hidup” (HR. Ahmad, Abu
dawud, dan Ibnu Hibban).
3.1.4 Abortus
32
Semua anak manusia dilahirkan dalam keadaan suci, bersih dari noda
dan dosa, serta dalam proses pertumbuhan dan perkembangan janin. Maka
jelas bahwa tindakan pengguguran adalah melanggar moral keislaman
serta merusak kemuliaan manusia yang telah dianugerahkan oleh Allah.
Pengguguran merupakan kemiripan praktik kaum jahiliyah yang
menguburkaqn setiap balita perempuan yang lahir.
33
Karena seperma yang sudah masuk kedalam rahim wanita tidak boleh
dikeluarkan.
3. Imam Syafi'i menghukuminya "Makruh" menggugurkan kandungan
apabila sudah mencapai pada usia antara 40, 42, dan 45 hari dari awal
kehamilannya, dengan syarat jika ada persetujuan dari suami dan
isteri, dan jika tidak mendatangkan kemudoratan dalam
penggugurannya. Namun jika usia kandungan seteleh diatas 40 hari
(antara 40, 42, dan 45 hari dari awal kehamilan) digugurkan, maka
mutlak hukumnya adalah "Haram".
4. Menurut Imam Ar-Ramli (Imam Syamsuddin Ar-Ramli ulama
Madzhab Imam Syafi'I asal Mesir, w: 1004H/1596M, diantara karya
beliau "Nihayah Aalmuhtaj Ila Syarh Almuhtaj" : Boleh
menggugurkan kandungan selama janin belum ada ruh. Dan mutlak
hukumnya adalah "Haram" jika menggugurkan janin yang sudah
memiliki ruh".
5. Pendapat madzhab Hanabilah sama dengan pendapat Madzhab Imam
Hanafi. Mereka perpegang bolehnya menggugurkan kandungan
selama masa 4 bulan pertama (120 hari) dari awal kehamilan. Namun
jika janin berusia sudah mencapai lebih dari 120 hari atau sudah ada
ruh (tanda-tanda kehidupan) hukumnya adalah "Haram".
34
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Bioetika merupakan suatu penerapan etika, moral, bahkan hukum dan nilai
sosial ke dalam pembahasan ilmiah biologi. etika dalam konteks biologi
digunakan untuk menjawab berbagai persoalan kehidupan baik yang berkaitan
dengan hewan dan tumbuhan, bahkan manusia.
Dalam kasus kloning, apabila diterapkan pada hewan tidak mengundang
masalah, tetapi apabila berhasil diterapkan pada manusia, hal ini tentu akan
mengundang masalah. Hal tersebut muncul karena kloning dalam Hukum
Islam termasuk masalah ijtihadiah, yang tidak diatur secara jelas dalam al-
Qur’an dan as-Sunnah. Kloning tersebut apabila dikaitkan dengan perkawinan,
akan timbul masalah, karena kloning bisa berhasil tanpa keterlibatan jenis
kelamin laki-laki, padahal menurut pandangan Islam laki-laki dan perempuan
diciptakan oleh Allah sebagai pasangan untuk menjalin cinta kasih,
sebagaimana firman Allah dalam (QS. Al-Rum : 21). Kloning pada manusia
haram hukumnya karena karena didasarkan bahwa fenomena ini bertentangan
dengan ayat-ayat reproduksi dalam Al-Qur’an tetapi lebih sebagai sebuah fakta
yang sangat membahayakan bagi manusia. Artinya, madlarat (konsekuensi
negatif) kloning bagi eksistensi manusia lebih besar dari maslahat (konsekuensi
positifnya). (al-Suyuthi, tth.:62)
Dalam kasus bayi tabung, bayi tabung diperbolehkan asal keadaan suami
istri tersebut benar-benar memerlukan bayi tabung untuk membantu pasangan
suami istri tersebut memperoleh keturunan. masalah bayi tabung, jika sperma
dan ovum yang dipertemukan itu berasal dari suami-istri yang sah, maka hal itu
dibolehkan. Tetapi, jika sperma dan ovum yang dipertemukan itu bukan
berasal dari suami-istri yang sah maka hal itu tidak dibenarkan bahkan
dianggap sebagai perzinahan terselubung.
Dalam Kasus Transplantasi Organ, tranplantasi organ dalam islam pada
dasarnya diperbolehkan. Dalam beberapa syarat yaitu donor dalam keadaan
sehat yang berarti donor anggota tubuh bagi siapa saja yang memerlukan pada
saat si donor masih hidup. Transplantasi organ diperbolehkan jika penerima
35
donor dalam keadaan yang sekarat,pencakokan tidak menyebabkan suatu
akibat yang dapat membahayakan dan yang terakhir telah disetujui oleh
wali,ataupun keluarga dengan syarat untuk membantu dan menolong bukan
untuk mencari keuntungan dan diperjualbelikan.
Dalam Islam, aborsi merupakan tindakan yang mubah dilakukan apabila
bertujuan menyelamatkan nyawa Ibu dari bayi tersebut, dengan catatan
kandungan tersebut belum mencapai usia 4 bulan. Imam Syafi'I
menghukuminya "Makruh" menggugurkan kandungan apabila sudah mencapai
pada usia antara 40, 42, dan 45 hari dari awal kehamilannya, dengan syarat jika
ada persetujuan dari suami dan isteri, dan jika tidak mendatangkan
kemudoratan dalam penggugurannya. Serta haram melakukan aborsi setelah
dititiupkannya ruh setelah usia kehamilan mencapai 4 bulan.
36
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Mushofa, Imam Musbikhin. 2001. Kloning Manusia Abad XXI, hlm 16.
Jogjakarta: Pustaka Pelajar
Bakti Bawono Adisasmito, W. 2010. Naskah Akademi Transplantasi Organ
Manusia. Depok : Naskah Akademik Universitas Indonesia.
Beauchamp TL, Childress JF.1994.Principles of Biomedical ethics.4th ed. New
York : Oxford University Press.
Chusna, A.2012. Aborsi dan Hak atas Pelayanan Kesehatan: Sebuah Tinjauan
Teologis, Yuridis, dan Medis, Jurnal Tarbiyah STAIN Ponorogo, vol.IX, no.1,
Juni, pp.97-116. Didapat dari
http://jurnal.stainponorogo.ac.id/index.php/justicia/article/download/339/293
[Diakses pada tanggal 23 Agustus 2017 pukul 17:10]
Hasyim Mannan. 2007. Kloning dalam Perspektif Syariah Islam, hlm 4.
Surabaya: Mimeo
Idries AM, Tjiptomargono A. 2008. Peran ilmu kedokteran forensik untuk
kepentingan penyidikan. Jakarta: Sagung Seto
Jenie, U.A. 1997. Perkembangan Bioteknologi dan Masalah-Masalah Bioetika
yang Muncul. Makalah Seminar Regional. Surabaya: IKIP Surabaya.
Kuntari, T., Wilopo, S.A. and Emilia, O.2010.Determinan Abortus di Indonesia ,
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, vol. IV, no. 5, April, pp. 223-229.
Didapat dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=269742&val=7113&title
=Determinan%20Abortus%20di%20Indonesia [Diakses pada tanggal 23
Agustus 2017 pukul 14:27]
Kus, Lusia. 2010. Kapan Perlu Bayi Tabung [online] :
http://health.kompas.com/read/2010/06/16/16150036/Kapan.Perlu.Program.B
ayi.Tabung - Diakses pada 23 Agustus 2017
Masjfuk, zuhdi. 1997. Masail Fiqhiyah. Jakarta. PT. Toko Gunung Agung.
Muchtadi, Tien R,. 2007. Perkembangan Bioetika Nasional. Makalah Seminar
Etika Penelitian di Bidang Kesehatan Reproduksi. Fakultas Kedokteran -
Universitas Airlangga. Surabaya : Disseminated by Universitas Airlangga
journal.
Niam, Syamsun. 2010. Kloning di Mata Moral Agama: Kajian Kritis atas Hukum
Islam. Jurnal wacana hukum islam dan kemanusiaan vol 10. No.1, Juni
2010:1-16
Qordhawi, Yusuf. 2002. Fatwa-Fatwa Kontemporer, hlm 677-678. Jakarta: Gema
Insani Press
iii
Rochmawati, Putri. 2013. Faktor-faktor yang Mempengaruhi ABortus di Rumah
Sakit Umum Pusat Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Naskah Publikasi.
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Diambil dari
http://eprints.ums.ac.id/25655/11/NASKAH_PUBLIKASI.pdf [Diakses
pada tanggal 22 Agustus 2017 pukul 13:45]
Salim, A.2014. Abortus dan Permasalahannya dalam Pandangan Islam, Jurnal
Ushuluddin, vol.XXII, no.2, Juli, pp.197-212. Didapat dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=275165&val=7155&title
=ABortus%20dan%20Permasalahannya%20dalam%20Pandangan%20Islam
[Diakses pada tanggal 23 Agustus 2017 pukul 13:21]
Shannon, Thomas A. 1987. Pengantar Bioetika. Terjemahan Bertens, K. 1995.
Jakarta : PT Gramesia Pustaka Utama.
Siagian, Raja. 2015. Penanggulangan Tindak Pidana Aborsi yang Dilakukan oleh
Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, Jurnal, Fakultas Hukum Universitas
Atma Jaya Yogyakarta. Didapat dari http://e-
journal.uajy.ac.id/7569/1/JURNAL.pdf [Diakses pada tanggal 23 Agustus
2017 pukul 15:20]
Suseno, Frans Magnis. 1987. Etika Dasar – Masalah Masalah Pokok Filsafat
Moral. Jogjakarta : Kanisius
Syafruddin. 2003. Abortus Provocatus dan Hukum. Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara. Diambil dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1552/1/pid-syafruddin6.pdf
[Diakses pada tanggal 22 Agustus 2017 pukul 14:03]
Wangko, Kristanto. 2010. KLONING MANFAAT VERSUS MASALAH. Jurnal
Biomedik, Volume 2, Nomor 2, hlm. 88-94 [online]
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/view/847 diakses
pada 23 Agustus 2017.
Wicaksono, Dito. 2010. Status Moral Pre-Natal Human Being: Suatu Kajian
Filosofis. Skripsi. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Diambil dari http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20160856-RB16D200s-
Status%20moral.pdf [Diakses pada tangal 23 Agustus 2017 pukul 15:32]
iv