Anda di halaman 1dari 13

BAB III

TINJAU PUSTAKA

I. DEFINISI
Istilah “pemfigus”, yang berasal dari bahasa Yunani pemphix (pelepuhan),
menunjuk pada sebuah kelompok penyakit melepuh kronis pada kulit dan mukosa
yang sama-sama disebabkan oleh autoantibodi terhadap keratinosit pada permukaan
sel, dengan kehilangan perlekatan sel dengan sel di lapisan epitel melalui proses
akantolisis.Pemfigus adalah salah satu penyakit kulit yang disebabkan oleh reaksi
autoimun dan dicirikan dengan timbulnya vesikel/bula tidak tegang/kendur.2

Pemfigus secara umum dibagi menjadi 4 tipe utama , dua tipe yang tersering
yaitu pemfigus vulgaris (PV), dengan akantolisis suprabasal yang menyebabkan
pemisahan sel-sel basal dari keratinosit stratum spinosum, dan jenis yang kedua
adalah pemfigus foliaseus (PF), dengan akantolisis pada lapisan epidermis yang lebih
dangkal yaitu pada stratum granulosum. 4
A. PEMFIGUS FOLIASEUS
Pemfigus foliaseus merupakan suatu kelainan autoimun yang ditandai dengan
hilangnya daya adesi interselular keratinosit di bagian epidermis (akantolisis),
yang akhirnya mengakibatkan pembentukan vesikel/bula dangkal. Tanda klinis
muncul pada kulit yang terlihat sehat dan kemudian melepuh ketika digosok.
Pemfigus foliaseus dicirikan dengan proses yang kronis, dengan sedikit atau
tanpa keterlibatan selaput lendir. Faktor pencetus dari reaksi autoimun ini
termasuk obat-obatan dan radiasi sinar ultraviolet. Contoh obat-obatan tersebut
ialah penisillamine, nifedipin dan katopril.4
Pemfigus Foliaseus selanjutnya dibagi menjadi 2 subtipe yaitu :4
a) Pemfigus Eritematosus:
Yaitu bentuk lokal dari pemfigus foliaseus yang hanya terbatas pada daerah
wajah dan seborhoik yang sering dikelirukan dengan lupus eritematosus.
b) Pemfigus Endemik
Pemfigus Foliaseus Endemik (terutama ditemukan di lembah-lembah sungai
pedesaan Brasil). Juga dikenal sebagai fogo selvagem yang bearti Api Liar
(Wildfire).5

8
II. EPIDEMOLOGI
Pemfigus memiliki prevalensi di seluruh dunia dan kejadian tahunan mencapai
sekitar 0,1-0,5 per 100.000 populasi. Kejadian pemfigus pada pasien dari keturunan
Yahudi lebih tinggi, dengan sekitar 1,6-3,2 kasus per 100.000 penduduk Yahudi
setiap tahun. Penyakit ini memiliki kejadian tertinggi antara usia 40 – 60 tahun. 1,2
Selain itu prevalensi pemfigusfoliaseus ini pada laki-laki dan perempuan
hampir sama di semua tempat kecuali di Tunisia, dimana prevalensi pemfigus
foliaseus ini lebih didominasi perempuan ketimbang laki-laki. Kenyataan ini
sebaliknya di Colombia di mana laki-laki lebih dominan. Ini menunjukkan
epidemologi pemfigus ini mungkin dipengaruhi faktor lingkungan dan etnik.4
III. ETIOLOGI
Lepuh superfisial pada pemfigus foliaseus ini adalah hasil reaksi yang
diinduksi oleh IgG terutamanya IgG4, suatu autoantibodi yang ditujukan langsung
pada lapisan adhesi desmoglein 1(160kd) yang terutamanya ditemukan pada stratum
granulosum di epidermis.Antibodi ini merupakan autoantibodi karena bereaksi
terhadap sel pasien itusendiri, sehingga antibodi ini dapat menyebabkan hilangnya
adhesi antar keratinosit dan menimbulkan lepuh-lepuh.Ketika IgG dari pasien
pemfigus vulgaris atau pemfigus foliaseus diinjeksikan ke mencit baru lahir, maka
IgG ini akan berikatan dengan permukaan keratinosit epidermal dan
menyebabkanlepuh yang memiliki gambaran histologi yang sama pada pemfigus
vulgaris atau pemfigus foliaseus.Mekanisme yang terjadi melibatkan proses
fosforilisasi protein intra selular yang berhubungan dengan desmosome dan bukan
disebabkan oleh mekanisme komplemen. Hasil reaksi ini akan menyebabkan
terjadinya proses akantolisis. 4
IV. PATOFISIOLOGI
A. AUTOANTIBODI PEMFIGUS DAN HILANGNYA ADHESI
KERATINOSIT
 Inaktivasi Desmoglein
Beberapa peneliti mengatakan bahwa antibodi pemfigus
bekerja dengan memulai cascade proteolitik yang memotong molekul
sel permukaan secara nonspesifik. Pada penelitian selanjutnya
hipotesis ini tidak disetujui. Terbukti bahwa antibodi anti-desmoglein 3
dan anti-desmoglein 1 menginaktivasi desmoglein secara spesifik. Lesi
yang disebabkan oleh antibodi ini sangatlah mirip dengan lesi yang
9
disebabkan oleh inaktivasi desmoglein 3 atau desmoglein 1. Sebagai
contoh, gambaran patologis dari kulit tikus yang telah mati dengan
inaktivasi gen Dsg3 mirip dengan pasien yang menderita pemfigus
vulgaris dan dengan tikus-tikus yang telah diinjeksikan dengan
antibodi anti-desmoglein 3. Begitu juga pada tikus-tikus dan manusia,
toksin eksfoliatif yang memecah desmoglein 1 secara spesifik
menyebabkan lepuh yang identik dengan lepuh yang disebabkan oleh
antibodi anti-desmoglein 1 pada kasus pemfigus foliaseus. Berdasarkan
temuan ini bersama dengan teori kompensasi desmoglein mengarah
kepada bahwa antibodi pemfigus hanya menginaktivasi desmoglein
targetnya secara spesifik dan tidak menyebabkan hilangnya fungsi
generalisata dari adhesi molekul permukaan sel.6
 Efek Langsung dan Tidak Langsung dari Antibodi Pemfigus
Masih belum jelas apakah autoantibodi bekerja secara langsung
atau tidak langsung. Terdapat bukti bahwa autoantibodi pemfigus
memblok adhesi sel dengan mengganggu transinteraksi desmoglein
secara langsung (misalnya, interaksi desmoglein dari satu sel dengan
sel itu sendiri atau dengan desmocollin pada sel sebelahnya). Penelitian
telah menunjukkan bahwa fragmen autoantibodi pemfigus yang berisi
domain antigen-binding saja dan kekurangan regio efektor dari
antibodi dapat menstimulasi timbulnya lepuh pada tikus percobaan.
Selain itu juga, kekurangan kemampuan dari molekul permukaan sel
untuk bereaksi silang mungkin yang menyebabkan gangguan adhesi
sel. Selanjutnya, sebuah antibodi IgG anti-desmoglein 3 monoklonal
tikus percobaan yang berikatan dengan permukaan N-terminal adhesif
menginduksi lesi pemfigus vulgaris pada tikus percobaan, dimana
antibodi monoklonal yang lain bereaksi dengan bagian yang kurang
penting dari desmoglein 3 secara fungsional tidak menyebabkan lesi
pada tikus percobaan. Sebaliknya, hasil dari penelitian terbaru yang
menggunakan pengukuran daya atom satu molekul, sebuah metode
biomekanik yang mengukur derajat dari ikatan protein, menunjukkan
bahwa antibodi anti-desmoglein 1 IgG pada serum penderita pemfigus
foliaseus tidak mengganggu secara langsung dengan transinteraksi
desmoglein 1 adhesif. Pada sistem ekstraselular ini, ikatan dari
10
desmoglein 1 kepada sel itu sendiri tidak dihambat oleh antibodi anti-
desmoglein 1 yang patogen. Penelitian lain menunjukkan bahwa
inaktifasi fungsional langsung dari desmoglein tidak cukup untuk
menyebabkan timbulnya lepuh dan bahwa autoantibodi pemfigus dapat
bekerja melalui mekanisme sinyal yang lebih rumit.
V. MANIFESTASI KLINIS
A. KEADAAN UMUM
Biasanya keadaan umum baik tergantung kondisi umum pasien , usia dan
penyakit lain yang menyertai.
B. KULIT
Lesi kulit pada pemfigus foliaseus berskuama, krusta dengan erosi dengan
dasar yang eritem. Pada stadium awal ataupun pada manifestasi lokal penyakit ini, lesi
bersifat sirkumskrip dan menyebar pada sebaran seborrheik terutama pada wajah,
kulit kepala dan tubuh bagian atas. Lesi primer berupa bulosa yang flasid ,namun
sangat sukar ditemukan disebabkan letaknya pada bagian epidermis bagian atas, maka
lebih mudah pecah dan mengalami erosi. Kelainan bisa bersifat lokal bertahun tahun
lamanya, ataupun berkembang cepat menghasilkan eritoderma ekfoliatif.4

Paparan sinar UV dan suhu bisa merangsang perjalanan penyakit. Keluhan


utama yang dirasakan adalah nyeri dan panas pada lesi.Selain itu berbeda dengan
pemfigus vulgaris kelainan pada membran mukosa pada pemfigus tipe ini sangat
jarang walaupun pada lesi yang generalisata.4

11
Gambar 1 Beberapa manifestasi kulit pada bagian badan yang berbeda diambil dari laman web
http://dermnetnz.org.5

12
C. HISTOPATOLOGI

Pada pemfigus foliaseus, akantolisis terjadi dibawah stratum korneum pada


stratum granulosum, berbeda pada pemfigus vulgaris yang terjadi di suprabasalis.
Sedangkan lapisan lebih dalam daripada stratum granulosum ini masih intak. Selain
itu, temuan yang tersering juga adalah penemuan pustula subkornenal dengan sel
neutrophil dan akantolitik dalam ruangan bulosa.

Gambar 2 A: Akantolisis Pada Lapisan Stratum Granulosum

B: Pustula Subkorneum Dengan Akantolisis

Gambar 3: Lapisan stratum korneum menghilang , lapisan stratum granulosum


yang lebih menonjol, dan terbentuknya bula di lapisan kulit

13
Gambar 4: Terjadinya proses akantolisis dan spongiosis di dalam stratum granulosum yang menyebar
hingga ke stratum korneum

VI. DIAGNOSIS
Anamnesis dan pemeriksaan fisik cukup digunakan untuk mendiagnosis
pasien dengan pemfigus foliaseus. Dalam anamnesis dapat diperhatikan beberapa hal
yang perlu diperhatikan pada pasien dengan riwayat penyakit pemfigus foliaseus,
yaitu: gejala yang dirasakan pasien seringkali adalah gatal, perkembangan
vesikel/bula dimulai dari badan, perjalanan penyakit ini lama jangka panjang, dengan
kesehatan umum pasien tidak terganggu, remisi spontan kadang-kadang terjadi, tetapi
lesi dapat bertahan selama beberapa tahun, pola klinis yang unik dapat terjadi pada
anak-anak, dengan muncul sebagai lesi arkuata, sirsinate, atau polisiklik, dan
keterlibatan kulit palpebra tanpa perubahan konjuntiva kadang-kadang terjadi pada
pasien dengan pemfigus foliaseus.2,3

Pada pemeriksaan klinis kita bisa menemukan lesi primernya berukuran kecil,
vesikel/bula dangkal, namun bula yang tidak tegang/kendur ini dan sulit ditemukan
karena bersifat sementara dan berubah menjadi erosi. Khas dari pemfigus foliaseus
adalah bersisik, terdapat erosi krusta pada dasar eritematosus terbatas terutama pada
wilayah seborhoik (misalnya, wajah, kulit kepala, bagian atas badan). Erosi dapat
menjadi banyak, menunjukkan kecenderungan untuk menyebar keseluruh tubuh.Erosi
mungkin disertai dengan rasa panas dan sakit setempat. Tanda Nikolsky bahwa
trauma fisik yaitu ketika dibuat suatu penekanan pada lesi meluas ke kulit yang sehat

14
arah lateral dari lesi. Mekanisme terjadinya nikolsky sign karena pada pemfigus
foliaceus, terjadi hilangnya daya adesi interselular keratinosit di bagian atas epidermis
(akantolisis), mengakibatkan pembentukan vesikel/bula dangkal yang tidak terjadi
pada pemfigus jenis yang lain. Sehingga tanda Nikolsky dapat dianggap cukup
sensitif untuk diagnosis Pemfigus.4

Berbeda dengan pemfigus vulgaris, pada pemfigus foliaseus, keterlibatan dari


selaput lendir sedikit atau tidak ada. Pada pemfigus foliaseus bermula sebagai vesikel
gatal, kendur/tidak tegang dalam pola melingkar. Pada subklas pemfigus foliaseus tipe
pemfigus herpetiformis dimulai sebagai lesi yang sangat gatal, papula berkelompok
dan vesikula yang mirip dengan dermatitis herpetiformis. Patch eritematous dengan
vesikula perifer mungkin ada. Kadang-kadang, erosi mukosa mulut didapatkan.
Pemfigus eritromatosus bermula sebagai patch eritem dengan vesikel pada tepinya,
sering kali ditemukan ”distribusi kupu-kupu” yaitu di pipi dan dahi, dengan patch
yang sama pada kulit interskapular dan sternum. Plak berkrusta dapat muncul dalam
fase penyembuhan.4

Selain pemeriksaan fisik, terdapat pemeriksaan penunjang yang dapat


digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis pemfigus foliaseus yaitu
menggunakan tes Imunofluoresensi. Walaupun Imunofluoresensi adalah metode yang
paling dapat diandalkan untuk mendiagnosis pemfigus namun pemeriksaan ini jarang
digunakan di Indonesia. Sehingga pemeriksaan fisik dengan ditemukannya tanda
Nikolsky dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis pemfigus foliaseus.2

VII. DIAGNOSIS BANDING


Lupus Erythematosus
Pemfigus Erythematosus
Pemfigus Herpetiformis
Pemfigus Vulgaris
a. Pemfigus Vulgaris Vs Pemfigus Foliaseus
Penyakit yang paling mirip dengan pemfigus foliaseus ini dibedakan
secara
gambaran klinis, histologis, dan immunopatologis dari pemfigus.7

15
A. Kulit pasien dengan pemfigus vulgaris mukokutaneus menunjukkan erosi yang luas
dikelilingioleh erosi-erosi kecil, akibat dari lepuh epidermis dalam yang tidak beratap
dan perluasantepinya.
B. Pasien dengan pemfigus foliaseus menunjukkan karakteristik bersisik dan berkrusta
akibat dari pecahnya lepuh di epidermis bagian superfisial.
C. Pada pemfigus vulgaris, lepuh intradermal disebabkan karena hilangnya adhesi antara
keratinosit(akantolisis) yang terjadi di epidermis bagian dalam tepat di atas lapisan
basal.
D. Pada pemfigus foliaseus, lepuhnya terjadi di epidermis superfisial tepat di bawah
lapisankorneum.
E. Immunofluresensi indirek pada kulit manusia normal dengan menggunakan serum
(dari seorang pasien pemfigus vulgaris-dominan mukosa) mengandung IgG anti-
desmoglein 3 menunjukkan pewarnaan yang dalam pada epidermis

16
F. Serum dari seorang pasien pemfigus foliaseus, mengandung autoantibodi IgG anti-
desmoglein 1,mewarnai seluruh epidermis.
G. Pewarnaan dermis menunjukkan IgG selalu berada pada lapisan dermis pada kulit
normal. Tikus baru lahir diinjeksikan dengan IgG dari seorang pasien dengan
pemfigus vulgaris mukokutaneusmemiliki lepuh di kulit yang meluas.
H. Gambaran histologis yang biasanya muncul pada pemfigus vulgaris.
I. Deposit IgG in vivo pada permukaan keratinosit

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG4

1. Imunofluoresensi

Ditemukan IgG autoantibodi terhadap permukaan sel keratinosit. Secara


umum seluruh pasien dengan lesi aktif PF hasilnya positif.

a. Langsung: Pada jaringan disekitar lesi

b. Tidak Langsung: Pada serum

Pasien pada stadium awal mungkin mempunyai hasil pemeriksaan


yang negatif.

Pemeriksaan imunofluoresensi langsung dan tidak langsung adalah


merupakan pemeriksaan yang paling diandalkan dalam penegakan diagnosa
pemfigus.Namun begitu pemeriksaan ini tidak dapat membedakan PF daripada
PF tetapi penggunaan subsrat pada pemeriksaan imunofloresensi tidak
langsung bisa meningkatkan sensitivitas test, yaitu karena secara umum
diketahui substrat esofagus monyet lebih sensitif terhadap PV dan esofagus
guinea pig lebih sensitif terhadap PF.

17
Gambar 5 A: Imunofluoresensi langsung Pada PV B: Imunofluoresensi Tidak Langsung Pada Serum PF

IX. PENATALAKSANAAN

Terapi untuk pemfigus foliaseus biasanya kurang agresif dibandingkan dengan


pemfigus vulgaris karena angka kesakitan/morbiditas dan angka kematian/mortalitas
yang lebih rendah.4 Kortikosteroid oral dan perenteral dapat digunakan untuk
penanganan lini pertama untuk pemfigus. Pemberian kortikosteroid ini secara
epidemiologi telah dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian dari penderita
pemfigus. Seperti disebutkan di atas kortikosteroid sistemik digunakan sebagai
pengobatan lini pertama dengan dosis rendah digunakan sebagai perawatan. Meskipun
dosis yang lebih tinggi (120 mg / hari) menghasilkan kontrol yang lebih cepat
penyakit daripada dosis rendah (60 mg / hari), tidak ada Bukti bahwa dosis yang lebih
tinggi bermanfaat dalam waktu lama. Oleh karena itu, disarankan agar 1 mg / kg
perhari menjadi dosis awal untuk mengelola pemfigus. Selain pemberian
kortikosteroid pasien pemfigus foliaseus juga diberikan antibiotik sebagai penanganan
infeksi sekunder yang mungkin terjadi. Antibiotik yang dapat digunakan antara lain
minosiklin (derivate tetrasiklin yang efektif bagi organisme gram positif dan negatif,
dosis yang dapat diberikan yaitu 50-100 mg peroral terbagi dalam 2 dosis perhari) dan
dapsone (bersifat bakterisidal dan bakteriostatik, memiliki mekanisme kerja seperti
sulfonamide dimana bersifat kompetitif antagonis PABA yang mencegah
terbentuknya asam folic, menghambat perkembangan bakteri; obat ini digunakan pada
pasien pemfigus khususnya pemfigus herpetiformia dan pemfigus foliaseus IgA; dosis
yang diberikan 50-200 mg peroral terbagi dalam 4 dosis/hari).Pada kasus pemfigus
local, kortikosteroid topikal mungkin sudah mencukupi2,3

18
X. PROGNOSIS
Secara umum, PF lebih baik daripada PV. Pada pasien usia lanjut dengan
penyakit lain, sebanyak 60% mematikan. Penyebab utama kematian adalah infeksi,
sepsis, disebabkan infeksi sekunder dan penggunaan terapi immunosuppresisf jangka
panjang.4

19
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Diaz, Luis. A.. (2007). Rituximab and Pemfigus-A therapeutic Advance.


www.nejm.org

2. Jessop, Sue.. Khurmalo, Nonhlanhia. P.. (2009). Pemfigus-A Treatment


Update. www.medscape.com

3. Schwartz, Robert. A.. Majowski, Stawornir.. Majowski, Sebasian. S.. (2009).


Pemfigus Foliaceus. www.emedicie.medscape.com

4. Stanley, John R. (2003). "Bab 59: Pemfigus". Dalam Freedberg et al.


Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. (6th ed.). McGraw-Hill.
Halaman. 559

5. Vanessa N(2011).Pemfigus Foliaseus. http://dermnetnz.org

6. Mitchell, Kumar(2010).”Bab Penyakit Bulosa” Dalam Robbins & Cotran


Dasar Patologis Penyakit( 7th ed.). McGraw-Hill. Halaman. 714

7. Robin, Tony B.(2002).”Bab 14 Kelainan Bulosa”. Dalam Lecture Note


Dermatologi.(8th ed.). Blackwell Science. Halaman. 144

20

Anda mungkin juga menyukai