Anda di halaman 1dari 16

Case Report

Sepsis Neonatorum
cc Candida Parapsilosis

Oleh :
GALUH TIARA AKBAR
1408465728

Pembimbing :
Dr. dr. Dewi A. Wisnumurti, SpA(K), IBCLC

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU
2016
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sepsis Neonatorum

Sepsis adalah epsis neonatorum adalah suatu sindrom klinis dari penyakit sistemik karena
infeksi selama satu bulan pertama kehidupan bayi yang disebabkan antara lain oleh bakteri,
virus, jamur dan protozoa (Mohtar, 2005).
Angka kejadian sepsis neonatal adalah 1-10 per 1000 kelahiran hidup, dan mencapai 13-
27 per 1000 kelahiran hidup pada bayi dengan berat <1500gram. Angka kematian 13-50%,
terutama pasindrom/kumpulan gejala respon inflamasi sistemik (Systemic Inflamatary Respons
Syndrome-SIRS) yang terjadi sebagai akibat infeksi bakteri, virus, jamur ataupun parasit
(Aminullah, 2014). Sda bayi premature (5-10 kali kejadian pada neonatus cukup bulan) dan
neonatus dengan penyakit berat dini. (Titut S Pusponegoro)

2.2 Klasifikasi

Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan menjadi dua


bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis) dan sepsis neonatorum
awitan lambat (late-onset neonatal sepsis). Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal
yang terjadi segera dalam periode pascanatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada
saat proses kelahiran atau in utero.
Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan pada kasus SAD adalah Streptokokus
Grup B (SGB) [(>40% kasus)], Escherichia coli, Haemophilus influenza, dan Listeria
monocytogenes, sedangkan di negara berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme
penyebabnya adalah batang gram negatif. Sepsis neonatorum awitan dini memiliki kekerapan 3,5
kasus per 1000 kelahiran hidup dengan angka mortalitas sebesar 15-50%. Sepsis awitan lambat
(SAL) merupakan infeksi pascanatal (lebih dari 72 jam) yang diperoleh dari lingkungan sekitar
atau rumah sakit (infeksi nosokomial). Proses infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi
dengan transmisi horizontal. Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira
10-20%. Di negara maju, Coagulase-negative Staphilococci (CoNS) dan Candida albicans
merupakan penyebab utama SAL, sedangkan di negara berkembang didominasi oleh
mikroorganisme batang gram negatif (E. coli, Klebsiella, dan Pseudomonas aeruginosa). Di
negara berkembang pembagian SAD dan SAL tidak jelas karena sebagian besar bayi tidak
dilahirkan di rumah sakit. Oleh karena itu, penyebab infeksi tidak dapat diketahui apakah berasal
dari jalan lahir (SAD) atau diperoleh dari lingkungan sekitar (SAL).

2. 3 Etiologi
Semua infeksi pada neonatus dianggap oportunisitik dan setiap bakteri mampu
menyebabkan sepsis. Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat
menyebabkan infeksi berat yang mengarah kepada terjadinya sepsis. Organisme penyebab
infeksi dan pola kepekaan terhadap infeksi sering kali berubah dan berbeda antara satu negara
dan negara lain.11(Sjarif Hidajat Effendi)
Di negara maju pada umumnya group B Streptococcus (GBS) dan E. coli sebagai
penyebab EOS, sedangkan penyebab LOS yaitu coagulase negative Staphylococci (CONS)
disusul dengan GBS dan Staphylococci aureus. Di negara yang sedang berkembang keseluruhan
penyebab adalah organisme gram−negatif (Klebsiella, E. coli, dan Pseudomonas) dan
gram−positif yaitu Streptococcus pneumoniae dan Streptococcus pyogenes.6,12 (Sjarif Hidajat
Effendi). Penyebab infeksi nosokomial adalah CONS, bakteri gram−negatif (E. coli, Klebsiella
pneumoniae, Salmonella, Enterobacter, Citrobacter, Pseudomonas aeruginosa, Serratia),
Enterococci dan S. aureus.7 (Sjarif Hidajat Effendi).
Organisme penyebab sepsis neonatal primer berbeda dengan nosokomial. Sepsis primer
biasanya disebabkan: Streptokokus Grup B (GBS), kuman usus Gram negatif, terutama
Escherisia coli, Listeria monocytogenes, Stafilokokus, Streptokokus lainnya (termasuk
Enterokokus), kuman anaerob, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan penyebab sepsis
nosokomial adalah Stafilokokus (terutama Staphylococcus epidermidis), kuman Gram negatif
(Pseudomonas, Klebsiella, Serratia, dan Proteus), dan jamur. Titut S Pusponegoro

2. 4 Patofisiologi
Sesuai dengan patogenesis, secara klinik sepsis neonatal pada SAD, distres pernapasan
lebih mencolok, organisme penyebab penyakit didapat dari intrapartum, atau melalui saluran
genital ibu. Pada keadaan ini kolonisasi patogen terjadi pada periode perinatal. Beberapa
mikroorganisme penyebab, seperti treponema, virus, listeria dan candida, transmisi ke janin
melalui plasenta secara hematogenik. Cara lain masuknya mikroorganisme, dapat melalui proses
persalinan. Dengan pecahnya selaput ketuban, mikro-organisme dalam flora vagina atau bakteri
pathogen lainnya secara asenden dapat mencapai cairan amnion dan janin. Hal ini
memungkinkan terjadinya khorioamnionitis atau cairan amnion yang telah terinfeksi teraspirasi
oleh janin atau neonatus, yang kemudian berperan sebagai penyebab kelainan pernapasan.
Adanya vernix atau mekoneum merusak peran alami bakteriostatik cairan amnion. Akhirnya bayi
dapat terpapar flora vagina waktu melalui jalan lahir.
Kolonisasi terutama terjadi pada kulit, nasofaring, orofaring, konjungtiva, dan tali pusat.
Trauma pada permukaan ini mempercepat proses infeksi. Penyakit dini ditandai dengan kejadian
yang mendadak dan berat, yang berkembang dengan cepat menjadi syok sepsis dengan angka
kematian tinggi. Insidens syok septik 0,1- 0,4% dengan mortalitas 15-45% dan morbiditas
kecacatan saraf.
SAL mudah menjadi berat, tersering menjadi meningitis. Bakteri penyebab sepsis dan
meningitis, termasuk yang timbul sesudah lahir yang berasal dari saluran genital ibu, kontak
antar manusia atau dari alat-alat yang terkontaminasi. Di sini transmisi horisontal memegang
peran. Insiden sepsis lambat sekitar 5-25%, sedangkan mortalitas 10-20% namun pada bayi
kurang bulan mempunyai risiko lebih mudah terinfeksi, disebabkan penyakit utama dan imunitas
yang imatur. Titut S Pusponegoro

2. 5 Faktor Risiko Sepsis Neonatorum


2.5.1 Faktor sosiodemografi
2.5.1.1 Umur bayi
Penelitian yang dilakukan Lestari (2012) mendapatkan proporsi kejadian sepsis di RSUD
Dr. Pirngadi Medan pada neonatal dini sebesar 83,3% dan pada neonatal lanjut 16,7%.
2.5.1.2 Jenis kelamin bayi
Bayi laki-laki beraktifitas lebih kuat daripada bayi perempuan, sehingga bayi laki-laki
memerlukan O2 lebih banyak, apabila kandungan O2 di dalam tubuh kurang menyebabkan
bakteri anaerob berkembang. Jenis kelamin bayi laki-laki berisiko 2 kali dibandingkan bayi
perempuan OR=2.279, CI:1,143-4,546. Penelitian Lestari (2012) menyebutkan proporsi kejadian
sepsis neonatorum pada bayi dengan jenis kelamin laki-laki 64,8% dan perempuan 35,2%.
2.5.1.3 Usia ibu
Usia ibu melahirkan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu remaja, usia produktif dan
berisiko. Ibu melahirkan berusia kurang dari 20 tahun sangat berisiko terhadap kematian bayi
baru lahir, karena organ reproduksi ibu yang berusia kurang dari 20 tahun masih matur/belum
matang. Emosional juga belum stabil serta masih tergantung pada orang lain. Kehamilan di atas
usia 35 tahun tidak dianjurkan, karena pada usia di atas 35 tahun selain sangat berbahaya juga
karena usia ini ibu sering muncul penyakit seperti hipertensi, penyakit degenerative pada
persendian tulang belakang dan panggul. Menurut Lestari (2012) prosentase pasien dengan
sepsis neonatorum berdasarkan karakteristik usia ibu adalah ibu dengan umur <20 tahun 5,5%,
ibu berumur 20-35 tahun 74% dan ibu berumur >35 tahun 20,4%.
2.5.1.4 Pendidikan ibu
Ibu dengan pendidikan yang cukup dinilai akan lebih banyak mendapat informasi yang
dibutuhkannya, sehingga memungkinkan ibu dapat memilih serta menentukan tindakan terbaik
dalam perawatan dan pemeriksaan kehamilan (Simbolon, 2008). Sarwani (2011) mendapatkan
ibu dengan pendidikan rendah mempunyai risiko 2,9 kali lebih besar bayinya mengalami
kematian perinatal dibandingkan ibu yang berpendidikan tinggi 95%CI:1,2-7,2. Penelitian Junara
(2010) tentang insiden dan faktor yang berhubungan dengan sepsis neonatus di RSUP Sanglah
Denpasar mendapatkan karakteristik ibu dengan pendidikan SMA merupakan jumlah terbanyak
44,0%.

2.5.2 Faktor klinis


2.5.2.1 Prematuritas
Bayi prematur adalah bayi yang dilahirkan pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu,
dengan bayi berat lahir rendah. Hasil penelitian Sianturi (2012) mendapatkan pada pasien sepsis
neonatus kurang bulan dijumpai lebih banyak meninggal (72,7%) dibandingkan bayi cukup
bulan atau lebih (27,3%). Prematur menyebabkan kematian karena kekebalan neonatus yang
kurang, selain itu bayi prematur juga memerlukan rawat inap yang cukup panjang sehingga dapat
meningkatkan risiko infeksi nosokomial (Trotman, 2006).
2.5.2.2 Apgar Score
Apgar score dapat digunakan untuk menilai respon resusitasi tetapi tidak untuk
menentukan apakah bayi memerlukan resusitasi, Menurut Leal (2012), bayi yang lahir dengan
apgar score ≤5 berpeluang 1,4 kali lebih besar mengalami sepsis dibandingkan bayi dengan
apgar score>5
2.5.2.3 Bayi Berat Lahir rendah / BBLR
Bayi berat lahir rendah adalah adalah bayi dengan berat lahir kurang atau sama dengan
2500 gram saat lahir.
2.5.2.4 Kondisi air ketuban
Air ketuban pada dasarnya steril dan memiliki sifat bakteriostatik. Beberapa mekanisme
menghubungkan mekonium dengan infeksi air ketuban, diantaranya adalah perubahan sifat
antibakteri air ketuban dan peningkatan pertumbuhan bakteri. Penurunan respons imun pejamu
melalui penghambatan fagositosis dan neutrophiloxidative burst oleh mekonium telah dilaporkan.
Hubungan antara mekonium dengan infeksi ibu menyebabkan berbagai komplikasi yaitu infeksi intra
dan post partum yang meliputi korioamnionitis dan endometritis. Mekonium dikaitkan dengan
peningkatan insiden infeksi intra amnion karena dapat mengubah sifat bakteriostatik pada air ketuban
dan menghambat pertahanan imun dari inang. Menurut penelitian Rini (2010), bayi yang lahir
dengan air ketuban keruh berisiko 10 kali lebih tinggi mengalami sepsis.
2.5.2.5 Gravida
Menurut Junara (2012), berdasarkan data karakteristik dasar pada kejadian sepsis pada
kehamilan pertama merupakan jumlah terbanyak yaitu 52,8%. Leal (2012), mendapatkan
gravida berpengaruh terhadap terjadinya sepsis, dimana multigravida berpeluang 2,5 kali
dibandingkan ibu non gravida.
2.5.2.6 Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dini sering dikaitkan dengan sepsis neonatorum karena berhubungan
dengan infeksi genetalia bawah ibu hamil. Infeksi genetalia bawah ibu hamil dapat menyebabkan
ketuban pecah dini, demikian pula ketuban pecah dini dapat memudahkan infeksi ascendens
pada bayi (Indramawan, 2012).
Menurut Sumiyoga (2007) mendapatkan insidensi sepsis neonatorum pada KPD
kehamilan aterm adalah 4,4%,. Menurut Leal (2012), KPD >24 jam memiliki peluang 3,38 kali
untuk mengalami sepsis dibandingkan yang tidak mengalami KPD. Ibu yang mengalami KPD
memiliki peluang 7,5 kali berisiko mengalami sepsis.
2.5.2.7 Faktor risiko infeksi mayor/minor
Faktor risiko infeksi meliputi faktor mayor dan faktor risiko minor. Seorang bayi
memiliki risiko sepsis bila memenuhi dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor ditambah dua
kriteria minor. Faktor risiko mayor yaitu ibu demam intrapartum >38°C, KPD>24 jam,
korioamnionitis, Fetal Distress/Denyut Jantung Janin/DJJ>160x/menit, ketuban hijau. Faktor
risiko minor yaitu KPD>12 jam, asfiksia, BBLSR (1500 gr), Usia kandungan <37 minggu, lahir
kembar/gemeli, keputihan, tersangka ISK, Ibu demam>37,5°C. Pada Penelitian Wilar (2010)
mendapatkan dari semua faktor risiko mayor dan minor, hanya KPD>18 jam yang berhubungan
secara signifikan dengan sepsis.

2.5.3 Faktor lingkungan


2.5.3.1 Cara persalinan
Riwayat persalinan adalah dibagi antara persalinan spontan dan persalinan dengan
tindakan. Bayi yang dilahirkan dengan tindakan berisiko mengalami sepsis neonatorum karena
infeksi dapat diperoleh dari lingkungannya seperti alat-alat penolong persalinan yang
terkontaminasi. Penelitian Lihawa (2013) menyebutkan persentase jenis persalinan pada kejadian
sepsis neonatorum adalah persalinan spontan 3,9%, persalinan seksio sesarea 5,6%, persalinan
dengan ekstraksi vakum 10,5%. Bayi yang lahir dengan tindakan berisiko 2,142 kali mengalami
sepsis neonatorum daripada bayi yang lahir secara normal, (Simbolon, 2008).
2.5.3.2 Pemeriksaan kehamilan(Ante Natal Care/ANC)
Ante natal care bertujuan untuk memantau keadaan ibu hamil dan janinnya, mendeteksi
secara dini kelainan yang terjadi pada ibu dan janin dan menemukan ibu hamil yang bermasalah,
mempunyai risiko tinggi, agar kematian ibu dan janin dapat dihindari. Bayi yang lahir dari ibu
yang tidak melakukan ANC mempunyai kemungkinan 4 kali kematian neonatal daripada bayi
yang lahir dari ibu yang melakukan ANC (Sukamti, 2011).
2.5.3.3 Riwayat tindakan di rumah sakit
Tindakan invasif di rumah sakit adalah tindakan atau prosedur yang dilakukan baik untuk
membantu diagnosa maupun memonitor perjalanan penyakit dan terapi yang dapat menyebabkan
pasien cukup rentan terkena infeksi nosokomial. Tindakan invasif antara lain prosedur
diagnostik, pemasangan infus, kateter urine (Utama,2006). Pada penelitian Leal (2012),
mendapatkan bayi yang mendapatkan ventilasi mekanik berpeluang untuk mengalami sepsis.
Bayi yang mengalami komplikasi pernapasan berpeluang untuk mengalami sepsis 16,36 kali.
Bayi yang memperoleh tindakan operasi berpeluang mengalami sepsis 28,97. Utomo (2010),
mendapatkan faktor risiko bayi yang dilakukan suction berpeluang mengalami sepsis 1,89 kali.
Penelitian Lestari (2012) riwayat persalinan dengan tindakan sebesar 82,6% dan persalinan
normal sebesar 82,3%.
2.2.3.5 Sumber rujukan
Sumber rujukan merupakan faktor penting dalam penatalaksanaan sepsis karena selama
periode rujukan menambah kemungkinan terjadinya paparan suhu lingkungan pada bayi selama
perjalanan. Bayi sepsis mempunyai komplikasi hipotermi lebih besar, apalagi bila sistem rujukan
dilakukan kurang baik dan benar.
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN

Nama : By. EN
RM : 91 29 28
Umur : 1 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Hang Tuah - Pekanbaru
Tgl. Masuk : 14 Januari 2016
Tgl. Periksa : 14 Februari 2016
ANAMNESIS
Keluhan utama : Pasien usia 1 bulan, dengan masalah utama
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien lahir pada tanggal 14 Januari 2016 Jam 20.55 WIB di VK Camar RSUD AA secara
spontan, nilai APGAR 7/8. Resusitasi dilakukan sampai pemberian oksigen. Keadaan setelah
lahir menangis kuat, tonus baik, terdapat retraksi, tidak ditemukan adanya sianosis dan sesak,
akral hangat. Sisa ketuban tidak ada. Pada saat itu neonates belum diberikan pemberian vitamin
K dan salap mata. IMD tidak dilakukan karena pasien langsung dibawa ke Instalasi Perawatan
Neonatus. Keadaan saat masuk Instalasi Perawatan Neonatus BAB (+), BAK (+), muntah (-),
kembung (-), kuning (-), kejang (-), sesak (-), sianosis (-).
Riwayat Kehamilan
Ibu G1PA0H0 usia 20 tahun. Kontrol kehamilan ke bidan sebanyak 4 kali. Selama hamil ibu
pasien melakukan pemeriksaan USG satu kali pada usia kehamilan 6 bulan di puskesmas dengan
dokter spesialis obsgyn. Dikatakan umur kehamilan 29-30 minggu, air ketuban sedikit dan berat
bayi kurang. Selama hamil mengalami keputihan berwarna putih bening, kental, berbau, dan
tidak gatal sejak usia kehamilan 6 bulan. Riwayat berhubungan dengan suami 1 hari sebelum
melahirkan. Selama hamil pasien 4 kali demam, terakhir umur kehamilan 7 bulan, dibawa
berobat ke dokter. Riwayat hipertensi dan diabetes mellitus selama hamil disangkal. Minum
obat-obatan selama kehamian hanya vitamin yang diberikan bidan. Konsumsi alkohol dan
merokok selama kehamilan disangkal. Ibu makan teratur 2-3 kali sehari dengan satu porsi nasi
sekitar 5 sendok nasi, lauk berganti tiap hari seperti ikan, telur, dan ayam. Jarang mengkonsumsi
sayur dan buah. Minum susu rutin 2 kali sehari selama hamil.

Riwayat Persalinan
Ibu masuk via VK Camar RSUD AA pada tanggal 14 Januari 2015 jam 19.00 WIB dengan
keluhan ketuban telah pecah sejak 6 jam SMRS. Mules-mules juga dirasakan dan semakin sering
dan kuat. Pasien dirujuk dari bidan atas indikasi ketuban sudah pecah. Pasien kemudian ke
RSUD Arifin Achmad tanpa didampingi bidan. Sesampainya di VK IGD RSUD Arifin Achmad
dikatakn pembukaan sudah 8. Ibu melahirkan neonatus secara spontan.

Riwayat Peyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan seperti neonatus, Riwayat hipertensi, diabetes
mellitus, alergi disangkal. Ayah perokok dan ibu tidak perokok, tidak ada riwayat konsumsi
alkohol.
Riwayat orang tua
- Ayah : Wiraswasta dengan penghasilan ± Rp. 2.000.000,- / bulan
- Ibu : Ibu Rumah Tangga
PEMERIKSAAN FISIK
Kesan umum : tampak kulit kemerahan, postur tonus baik, gerakan aktif, menangis kuat, akral
hangat.
Kesadaran : alert
Tanda tanda vital
- Tekanan darah : -
- Suhu : 35,5 C (rektal)
- Nadi : 120 x/menit
- Nafas : 50 x/menit
status Pertumbuhan
- BBL : 1025 gram
- BBM : 1025 gram
- BBS : 1439 gram
- PB : 40 cm
- LK : 28 cm
- LD : 26 cm
- LP : 25 cm
- LILA : 7 cm
Kulit : tampak kulit kemerahan
SSP : warna kulit merah, gerakan aktif, aktifitas bayi bangun, kesadaran alert, ukuran pupil dan
reaksi terhadap cahaya normal, tidak ada kejang.
Kepala : fontanel datar, sutura normal
Telinga : tidak low set ear
Hidung : tidak ada deviasi, batang hidung rata
Mulut : Mulut tidak didapatkan sianosis sentral, mukosa mulut lembab.
Dada :
- Sistem respiratorius : frekuensi nafas 62
x/menit, menangis kuat, tidak ada nafas cuping hidung, tidak ada retraksi
- Sistem kardiovaskular : denyut jantung 136 x/menit, bunyi jantung regular, CRT <2
detik
Sistem gastrointestinal : warna dinding abdomen merah, LP 25 cm, tidak ada massa, tidak ada
organomegali, bising usus normal, tali pusat sudah terlepas, anus ada.
Genitalia : bentuk nolmal, tidak ada kelainan kongenital, jenis kelamin perempuan
Ekstremitas : simetris, tidak ada CTEV, gerakan sendi normal, tidak ada spina bifida, tidak ada
polidaktili, kulit kemerahan, tidak ada kelainan congenital.
Diagnosis Kerja
Sepsis Neonatorum ec Candida Parapsilosis
Prematur
BBLSR
Terapi
- Rawat instalasi perawatan neonatus
- Jaga kehangatan
- Jaga airway
- Oksigenasi
- Minum 50 ml / 3 jam
Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN

Neonatus pada laporan kasus ini yaitu bayi dengan sepsis neonatorum. Neonatus dengan
BBLR 1025 gram, Prematur (ballard score 33-34), lahir dengan hipotermi dan down score 3.
Riwayat persalinan ibu dengan KPD 6 jam dan sisa ketuban kering. Prematur adalah neonatus
lahir hidup sebelum usia kehamilan minggu ke 37.
Riwayat demam dan keputihan pada ibu saat intrapartum menunjukkan adanya infeksi
traktus genitalia yang diduga mempercepat pecahnya selaput ketuban. Infeksi bakteri vaginosis
dan intraurin merupakan faktor risiko umum dari kelahiran prematur. Bakteri vaginosis dapat
meningkatkan faktor risiko kelahiran sangat prematur sebanyak dua kali lipat, dan infeksi
intraurin berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi. Infeksi yang terlokalisasi pada organ lain
selain saluran reproduksi juga penting, salah satunya infeksi periodontal yang memiliki risiko
lebih dari dua kali lipat untuk kelahiran premature. Namun pada ibu menyangkal adanya gigi
berlobang. Identifikasi mikroorganisme patologis pada flora vagina segera setelah pecah ketuban
mendukung bahwa infeksi bakteri mungkin berperan pada patogenesa KPD.
Diagnosis sepsis neonatorum ditegakkan berdasarkan adanya faktor risiko sepsis pada ibu
maupun bayi. Faktor-faktor risiko sepsis tersebut terdiri dari faktor risiko mayor dan minor.
Yang termasuk faktor risiko mayor yaitu: ketuban pecah dini >18 jam, ibu demam saat
intraparum (suhu >38°C, korioamnionitis, air ketuban berbau, dan denyut jantung janin >160
x/menit. Faktor risiko minor meliputi ketuban pecah dini >12 jam, ibu demam saat intrapartum
(suhu >37,5°C), nilai APGAR rendah, berat badan lahir sangat rendah, menurunnya aktivitas,
rewel, asupan yang buruk, dan ikterus patologik. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan kultur
darah yang positif dan pemeriksaan darah rutin yang meliputi leukopenia atau leukositosis,
trombositopenia, laju endap darah meningkat, rasio neutrofil imatur/total >0,2 (20%), serta CRP
yang positif. Sampai saat ini, kultur darah masih merupakan baku emas untuk menegakkan
diagnosis sepsis neonatorum. Diagnosis sepsis neonatorum ditegakkan bila didapatkan 2 faktor
risiko mayor atau 1 faktor risiko mayor ditambah dengan 2 faktor risiko minor. Selain faktor
risiko, diagnosis sepsis didukung oleh oleh adanya gambaran klinis sepsis berupa gangguan
12
respirasi, suhu tidak stabil, gangguan sirkulasi. Faktor risiko sepsis pada bayi ini adalah
BBLSR, ibu dengan riwayat keputihan dan demam saat hamil, dan KPD. Diagnosis sepsis pada
bayi ini ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang sesuai dengan gambaran sepsis. Diagnosis
masuk dengan Neonatus kurang bulan, berat badan lahir sangat rendah, dan hipotermi. Namun 3
hari setelah dirawat di NICU pasien didiagnosis sepsis dimana dari gambaran klinis pasien sesak,
hipoterimi, retraksi (+), Takikardi, dan ikterik. Pemeriksaan penunjang juga mendukung kearah
sepsis yaitu didapatkan hasil kultur darah positif pada pemeriksaan kedua dimana ditemukan
jamur Candida Parapsilosis.
Berdasarkan patofisiologinya sepsis neonatorum dibagi menjadi dua kategori yaitu sepsis
awitan dini dan sepsis awitan lambat. Sepsis awitan dini adalah sepsis dengan awitan kurang dari
usia 72 jam dan biasanya disebabkan oleh mikroorganisme dari jalan lahir.1 Selain distress napas,
bayi dapat diduga mengalami sepsis jika ditemukan penurunan kesadaran (letargi dan iritabel),
instabilitas suhu (hipotermi atau hipertermi), gangguan sirkulasi (takikardi, hipotensi,
pemanjangan CRT, sianosis, mottling, pucat), gangguan pernapasan (distress napas, takipnu,
apnu pada usia kurang 24 jam), gangguan metabolik (hipoglikemia atau hiperglikemia, asidosis
metabolic), ikterus dan toleransi minum yang tidak baik.14 Gejala klinis pada bayi ini sesuai
dengan sepsis. Hasil kultur darah kedua memberikan hasil Candida Parapsilosis. Dalam
perjalanannya sepsis masih belum teratasi pada pasien ini meskipun dari hasil kultur darah
peertama tidak ditemukan pertumbuhan kuman. Hasil kultur darah steril pada pasien disebabkan
pada kultur dilakukan pewarnaan gram, bukan kultur jamur.
Pasien dari awal rawatan mendapat nutrisi parentera sebanyak 100-120 untuk
mempertahankan berat badan 50-60 kkal/kgBB/hari dan mencapai pertumbuhan .
DAFTAR PUSTAKA

1. Markum AH.Buku ajar kesehatan anak. Edisi ke-1. Jakarta :Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 1991.hlm 116.
2. EUROCAT. A review of environmental risk factors for congenital anomalies. Northern
Ireland;2004http://www.eurocat.ulster.ac.uk Diakses 18 Oktober 2015.
3. Ndibazza J. A description of congenital anomalies among infants in Entebbe, Uganda.
Birth Defects Research (Part A): Clinical and Molecular Teratology ; 2011. hlm.857–861.
. http://onlinelibrary. wiley.com/doi/10.1002/bdra.20838/pdf Diakses 18Oktober 2015.
4. Sudiarsa IK, Prihartiningsih. Koreksi bibir sumbing bilateral komplit dan tidak komplit
dengan menggunakan metode Barsky di bawah anestesi umum. Edisi ke-16Surabaya:
Maj Ked Gi;2009. hlm 63–68.
5. Kang SL, Narayanan CS, Kelsall W. Mortality among infants born with orofacial clefts in
a single cleft network. USA : The cleft palate-craniofacial journal; 2012: hlm 508–511.
6. Effendi SH, Indrasato E. Buku ajar neonatologi. Edisi-1. Jakarta: Ikatan dokter anak
indonesia;2008.
7. Shahrokh C, Bagheri, Chris J. Cleft lip and palate. Clinical review of oral and
maxillofacial surgery. USA: Mosby elsevier;2008: hlm 336–41.
8. Sadler TW. Embriologi kedokteran Langman. Novrianti A, editor. Edisi ke-10. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC; 2006. hlm 320–29.
9. Fraser FC. Etiology of cleft lip and palate in cleft lip and palate surgical. Dental and
speech aspects. Boston: Little, Brow and company; 1971. hlm 54–55, 59–60.
10. Bailey, Byron J. Head and Neck surgery: Otolaryngologist. Edisi-3. hlm 961–962, 963–
965.
11. Edward M, Watson ACH. Advances in the management of cleft palate. Edinburgh:
Churchill Livinngstone; 1980.hlm27–47.
12. Vinod K. Cleft lips and cleft palate. Textbook of oral and maxillofacial surgery. New
Delhi; Arya Publishers House 2009.hlm572–585.
13. Young & Greg. Cleft lip and palate. http://www2.utmb.edu/otoref/Grnds/Cleft-lip-palate-
9801/Cleft-lip-palate-9801. 20 Oktober 2015.
14. Stoll C, Mengsteab S, Stoll D. Analysis of polymorphic TGFBI codone 10, 25 and 263 in
a German patient group with non-syndromic cleft lip, alveolus, and palate compared with
health adults. BMC medical genetics;2004. hlm1–9.
15. Balaji SM. Textbook of oral and maxillofacial surgery. New Delhi. Elsevier; 2007.
hlm383–384.
16. Haryuti S. Teknik operasi celah bibir dan langit-langit yang di gunakan di Sulawesi
Selatan pada tahun 2010-2013. Universitas Hasanuddin; Makassar: 2013.
17. Jurkiewioz MJ, Stevenson TR. Principle of surgery schwartz, shires, spencer. Edisi-5.
Plastic and reconstructive surgery. Head and neck surgery congenital deformities “Cleft
Lip”.1989:hlm 2111–2112.
18. Wahyuningtyas R, Widodo SBP. Cleft lip and palate. Fakultas Kedokteran UI: Jakarta;
2014.
19. Pujiastuti N, Hayati R. Perawatan celah bibir dan langitan pada anak usia 4 tahun.
Fakultas Kedokteran Gigi UI: Jakarta. Indonesian Journal of Dentistry; 2008: 15 (3). hlm
232–8.
20. Jong DW, Sjamsuhidajat R. Dalam : Buku ajar ilmu bedah. Kelainan bawaan
Labioschizis. Edisi ke-2. Penerbit buku kedokteran EGC: Jakarta; 2004. hlm344–345.
21. Bardach J, Salyer K.Bilateral cleft lip repair. Reconstructive oral surgery. New York:
Thieme Medical Publishers 2008: hlm 113–122.
22. Thorne CH, et al. Grabb and smith’s plastic surgery. Edisi ke-6. Lippincott William &
Walkins; 2007.
23. Al Jamal GA, Haza’a AM, Rawashden MA. Crown-not ratio of permanent teeth in cleft
lip and palate patients. Angel Osthod; 2010; hlm 1122–7.

Anda mungkin juga menyukai