Sepsis Neonatorum
cc Candida Parapsilosis
Oleh :
GALUH TIARA AKBAR
1408465728
Pembimbing :
Dr. dr. Dewi A. Wisnumurti, SpA(K), IBCLC
Sepsis adalah epsis neonatorum adalah suatu sindrom klinis dari penyakit sistemik karena
infeksi selama satu bulan pertama kehidupan bayi yang disebabkan antara lain oleh bakteri,
virus, jamur dan protozoa (Mohtar, 2005).
Angka kejadian sepsis neonatal adalah 1-10 per 1000 kelahiran hidup, dan mencapai 13-
27 per 1000 kelahiran hidup pada bayi dengan berat <1500gram. Angka kematian 13-50%,
terutama pasindrom/kumpulan gejala respon inflamasi sistemik (Systemic Inflamatary Respons
Syndrome-SIRS) yang terjadi sebagai akibat infeksi bakteri, virus, jamur ataupun parasit
(Aminullah, 2014). Sda bayi premature (5-10 kali kejadian pada neonatus cukup bulan) dan
neonatus dengan penyakit berat dini. (Titut S Pusponegoro)
2.2 Klasifikasi
2. 3 Etiologi
Semua infeksi pada neonatus dianggap oportunisitik dan setiap bakteri mampu
menyebabkan sepsis. Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat
menyebabkan infeksi berat yang mengarah kepada terjadinya sepsis. Organisme penyebab
infeksi dan pola kepekaan terhadap infeksi sering kali berubah dan berbeda antara satu negara
dan negara lain.11(Sjarif Hidajat Effendi)
Di negara maju pada umumnya group B Streptococcus (GBS) dan E. coli sebagai
penyebab EOS, sedangkan penyebab LOS yaitu coagulase negative Staphylococci (CONS)
disusul dengan GBS dan Staphylococci aureus. Di negara yang sedang berkembang keseluruhan
penyebab adalah organisme gram−negatif (Klebsiella, E. coli, dan Pseudomonas) dan
gram−positif yaitu Streptococcus pneumoniae dan Streptococcus pyogenes.6,12 (Sjarif Hidajat
Effendi). Penyebab infeksi nosokomial adalah CONS, bakteri gram−negatif (E. coli, Klebsiella
pneumoniae, Salmonella, Enterobacter, Citrobacter, Pseudomonas aeruginosa, Serratia),
Enterococci dan S. aureus.7 (Sjarif Hidajat Effendi).
Organisme penyebab sepsis neonatal primer berbeda dengan nosokomial. Sepsis primer
biasanya disebabkan: Streptokokus Grup B (GBS), kuman usus Gram negatif, terutama
Escherisia coli, Listeria monocytogenes, Stafilokokus, Streptokokus lainnya (termasuk
Enterokokus), kuman anaerob, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan penyebab sepsis
nosokomial adalah Stafilokokus (terutama Staphylococcus epidermidis), kuman Gram negatif
(Pseudomonas, Klebsiella, Serratia, dan Proteus), dan jamur. Titut S Pusponegoro
2. 4 Patofisiologi
Sesuai dengan patogenesis, secara klinik sepsis neonatal pada SAD, distres pernapasan
lebih mencolok, organisme penyebab penyakit didapat dari intrapartum, atau melalui saluran
genital ibu. Pada keadaan ini kolonisasi patogen terjadi pada periode perinatal. Beberapa
mikroorganisme penyebab, seperti treponema, virus, listeria dan candida, transmisi ke janin
melalui plasenta secara hematogenik. Cara lain masuknya mikroorganisme, dapat melalui proses
persalinan. Dengan pecahnya selaput ketuban, mikro-organisme dalam flora vagina atau bakteri
pathogen lainnya secara asenden dapat mencapai cairan amnion dan janin. Hal ini
memungkinkan terjadinya khorioamnionitis atau cairan amnion yang telah terinfeksi teraspirasi
oleh janin atau neonatus, yang kemudian berperan sebagai penyebab kelainan pernapasan.
Adanya vernix atau mekoneum merusak peran alami bakteriostatik cairan amnion. Akhirnya bayi
dapat terpapar flora vagina waktu melalui jalan lahir.
Kolonisasi terutama terjadi pada kulit, nasofaring, orofaring, konjungtiva, dan tali pusat.
Trauma pada permukaan ini mempercepat proses infeksi. Penyakit dini ditandai dengan kejadian
yang mendadak dan berat, yang berkembang dengan cepat menjadi syok sepsis dengan angka
kematian tinggi. Insidens syok septik 0,1- 0,4% dengan mortalitas 15-45% dan morbiditas
kecacatan saraf.
SAL mudah menjadi berat, tersering menjadi meningitis. Bakteri penyebab sepsis dan
meningitis, termasuk yang timbul sesudah lahir yang berasal dari saluran genital ibu, kontak
antar manusia atau dari alat-alat yang terkontaminasi. Di sini transmisi horisontal memegang
peran. Insiden sepsis lambat sekitar 5-25%, sedangkan mortalitas 10-20% namun pada bayi
kurang bulan mempunyai risiko lebih mudah terinfeksi, disebabkan penyakit utama dan imunitas
yang imatur. Titut S Pusponegoro
Nama : By. EN
RM : 91 29 28
Umur : 1 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Hang Tuah - Pekanbaru
Tgl. Masuk : 14 Januari 2016
Tgl. Periksa : 14 Februari 2016
ANAMNESIS
Keluhan utama : Pasien usia 1 bulan, dengan masalah utama
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien lahir pada tanggal 14 Januari 2016 Jam 20.55 WIB di VK Camar RSUD AA secara
spontan, nilai APGAR 7/8. Resusitasi dilakukan sampai pemberian oksigen. Keadaan setelah
lahir menangis kuat, tonus baik, terdapat retraksi, tidak ditemukan adanya sianosis dan sesak,
akral hangat. Sisa ketuban tidak ada. Pada saat itu neonates belum diberikan pemberian vitamin
K dan salap mata. IMD tidak dilakukan karena pasien langsung dibawa ke Instalasi Perawatan
Neonatus. Keadaan saat masuk Instalasi Perawatan Neonatus BAB (+), BAK (+), muntah (-),
kembung (-), kuning (-), kejang (-), sesak (-), sianosis (-).
Riwayat Kehamilan
Ibu G1PA0H0 usia 20 tahun. Kontrol kehamilan ke bidan sebanyak 4 kali. Selama hamil ibu
pasien melakukan pemeriksaan USG satu kali pada usia kehamilan 6 bulan di puskesmas dengan
dokter spesialis obsgyn. Dikatakan umur kehamilan 29-30 minggu, air ketuban sedikit dan berat
bayi kurang. Selama hamil mengalami keputihan berwarna putih bening, kental, berbau, dan
tidak gatal sejak usia kehamilan 6 bulan. Riwayat berhubungan dengan suami 1 hari sebelum
melahirkan. Selama hamil pasien 4 kali demam, terakhir umur kehamilan 7 bulan, dibawa
berobat ke dokter. Riwayat hipertensi dan diabetes mellitus selama hamil disangkal. Minum
obat-obatan selama kehamian hanya vitamin yang diberikan bidan. Konsumsi alkohol dan
merokok selama kehamilan disangkal. Ibu makan teratur 2-3 kali sehari dengan satu porsi nasi
sekitar 5 sendok nasi, lauk berganti tiap hari seperti ikan, telur, dan ayam. Jarang mengkonsumsi
sayur dan buah. Minum susu rutin 2 kali sehari selama hamil.
Riwayat Persalinan
Ibu masuk via VK Camar RSUD AA pada tanggal 14 Januari 2015 jam 19.00 WIB dengan
keluhan ketuban telah pecah sejak 6 jam SMRS. Mules-mules juga dirasakan dan semakin sering
dan kuat. Pasien dirujuk dari bidan atas indikasi ketuban sudah pecah. Pasien kemudian ke
RSUD Arifin Achmad tanpa didampingi bidan. Sesampainya di VK IGD RSUD Arifin Achmad
dikatakn pembukaan sudah 8. Ibu melahirkan neonatus secara spontan.
Neonatus pada laporan kasus ini yaitu bayi dengan sepsis neonatorum. Neonatus dengan
BBLR 1025 gram, Prematur (ballard score 33-34), lahir dengan hipotermi dan down score 3.
Riwayat persalinan ibu dengan KPD 6 jam dan sisa ketuban kering. Prematur adalah neonatus
lahir hidup sebelum usia kehamilan minggu ke 37.
Riwayat demam dan keputihan pada ibu saat intrapartum menunjukkan adanya infeksi
traktus genitalia yang diduga mempercepat pecahnya selaput ketuban. Infeksi bakteri vaginosis
dan intraurin merupakan faktor risiko umum dari kelahiran prematur. Bakteri vaginosis dapat
meningkatkan faktor risiko kelahiran sangat prematur sebanyak dua kali lipat, dan infeksi
intraurin berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi. Infeksi yang terlokalisasi pada organ lain
selain saluran reproduksi juga penting, salah satunya infeksi periodontal yang memiliki risiko
lebih dari dua kali lipat untuk kelahiran premature. Namun pada ibu menyangkal adanya gigi
berlobang. Identifikasi mikroorganisme patologis pada flora vagina segera setelah pecah ketuban
mendukung bahwa infeksi bakteri mungkin berperan pada patogenesa KPD.
Diagnosis sepsis neonatorum ditegakkan berdasarkan adanya faktor risiko sepsis pada ibu
maupun bayi. Faktor-faktor risiko sepsis tersebut terdiri dari faktor risiko mayor dan minor.
Yang termasuk faktor risiko mayor yaitu: ketuban pecah dini >18 jam, ibu demam saat
intraparum (suhu >38°C, korioamnionitis, air ketuban berbau, dan denyut jantung janin >160
x/menit. Faktor risiko minor meliputi ketuban pecah dini >12 jam, ibu demam saat intrapartum
(suhu >37,5°C), nilai APGAR rendah, berat badan lahir sangat rendah, menurunnya aktivitas,
rewel, asupan yang buruk, dan ikterus patologik. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan kultur
darah yang positif dan pemeriksaan darah rutin yang meliputi leukopenia atau leukositosis,
trombositopenia, laju endap darah meningkat, rasio neutrofil imatur/total >0,2 (20%), serta CRP
yang positif. Sampai saat ini, kultur darah masih merupakan baku emas untuk menegakkan
diagnosis sepsis neonatorum. Diagnosis sepsis neonatorum ditegakkan bila didapatkan 2 faktor
risiko mayor atau 1 faktor risiko mayor ditambah dengan 2 faktor risiko minor. Selain faktor
risiko, diagnosis sepsis didukung oleh oleh adanya gambaran klinis sepsis berupa gangguan
12
respirasi, suhu tidak stabil, gangguan sirkulasi. Faktor risiko sepsis pada bayi ini adalah
BBLSR, ibu dengan riwayat keputihan dan demam saat hamil, dan KPD. Diagnosis sepsis pada
bayi ini ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang sesuai dengan gambaran sepsis. Diagnosis
masuk dengan Neonatus kurang bulan, berat badan lahir sangat rendah, dan hipotermi. Namun 3
hari setelah dirawat di NICU pasien didiagnosis sepsis dimana dari gambaran klinis pasien sesak,
hipoterimi, retraksi (+), Takikardi, dan ikterik. Pemeriksaan penunjang juga mendukung kearah
sepsis yaitu didapatkan hasil kultur darah positif pada pemeriksaan kedua dimana ditemukan
jamur Candida Parapsilosis.
Berdasarkan patofisiologinya sepsis neonatorum dibagi menjadi dua kategori yaitu sepsis
awitan dini dan sepsis awitan lambat. Sepsis awitan dini adalah sepsis dengan awitan kurang dari
usia 72 jam dan biasanya disebabkan oleh mikroorganisme dari jalan lahir.1 Selain distress napas,
bayi dapat diduga mengalami sepsis jika ditemukan penurunan kesadaran (letargi dan iritabel),
instabilitas suhu (hipotermi atau hipertermi), gangguan sirkulasi (takikardi, hipotensi,
pemanjangan CRT, sianosis, mottling, pucat), gangguan pernapasan (distress napas, takipnu,
apnu pada usia kurang 24 jam), gangguan metabolik (hipoglikemia atau hiperglikemia, asidosis
metabolic), ikterus dan toleransi minum yang tidak baik.14 Gejala klinis pada bayi ini sesuai
dengan sepsis. Hasil kultur darah kedua memberikan hasil Candida Parapsilosis. Dalam
perjalanannya sepsis masih belum teratasi pada pasien ini meskipun dari hasil kultur darah
peertama tidak ditemukan pertumbuhan kuman. Hasil kultur darah steril pada pasien disebabkan
pada kultur dilakukan pewarnaan gram, bukan kultur jamur.
Pasien dari awal rawatan mendapat nutrisi parentera sebanyak 100-120 untuk
mempertahankan berat badan 50-60 kkal/kgBB/hari dan mencapai pertumbuhan .
DAFTAR PUSTAKA
1. Markum AH.Buku ajar kesehatan anak. Edisi ke-1. Jakarta :Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 1991.hlm 116.
2. EUROCAT. A review of environmental risk factors for congenital anomalies. Northern
Ireland;2004http://www.eurocat.ulster.ac.uk Diakses 18 Oktober 2015.
3. Ndibazza J. A description of congenital anomalies among infants in Entebbe, Uganda.
Birth Defects Research (Part A): Clinical and Molecular Teratology ; 2011. hlm.857–861.
. http://onlinelibrary. wiley.com/doi/10.1002/bdra.20838/pdf Diakses 18Oktober 2015.
4. Sudiarsa IK, Prihartiningsih. Koreksi bibir sumbing bilateral komplit dan tidak komplit
dengan menggunakan metode Barsky di bawah anestesi umum. Edisi ke-16Surabaya:
Maj Ked Gi;2009. hlm 63–68.
5. Kang SL, Narayanan CS, Kelsall W. Mortality among infants born with orofacial clefts in
a single cleft network. USA : The cleft palate-craniofacial journal; 2012: hlm 508–511.
6. Effendi SH, Indrasato E. Buku ajar neonatologi. Edisi-1. Jakarta: Ikatan dokter anak
indonesia;2008.
7. Shahrokh C, Bagheri, Chris J. Cleft lip and palate. Clinical review of oral and
maxillofacial surgery. USA: Mosby elsevier;2008: hlm 336–41.
8. Sadler TW. Embriologi kedokteran Langman. Novrianti A, editor. Edisi ke-10. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC; 2006. hlm 320–29.
9. Fraser FC. Etiology of cleft lip and palate in cleft lip and palate surgical. Dental and
speech aspects. Boston: Little, Brow and company; 1971. hlm 54–55, 59–60.
10. Bailey, Byron J. Head and Neck surgery: Otolaryngologist. Edisi-3. hlm 961–962, 963–
965.
11. Edward M, Watson ACH. Advances in the management of cleft palate. Edinburgh:
Churchill Livinngstone; 1980.hlm27–47.
12. Vinod K. Cleft lips and cleft palate. Textbook of oral and maxillofacial surgery. New
Delhi; Arya Publishers House 2009.hlm572–585.
13. Young & Greg. Cleft lip and palate. http://www2.utmb.edu/otoref/Grnds/Cleft-lip-palate-
9801/Cleft-lip-palate-9801. 20 Oktober 2015.
14. Stoll C, Mengsteab S, Stoll D. Analysis of polymorphic TGFBI codone 10, 25 and 263 in
a German patient group with non-syndromic cleft lip, alveolus, and palate compared with
health adults. BMC medical genetics;2004. hlm1–9.
15. Balaji SM. Textbook of oral and maxillofacial surgery. New Delhi. Elsevier; 2007.
hlm383–384.
16. Haryuti S. Teknik operasi celah bibir dan langit-langit yang di gunakan di Sulawesi
Selatan pada tahun 2010-2013. Universitas Hasanuddin; Makassar: 2013.
17. Jurkiewioz MJ, Stevenson TR. Principle of surgery schwartz, shires, spencer. Edisi-5.
Plastic and reconstructive surgery. Head and neck surgery congenital deformities “Cleft
Lip”.1989:hlm 2111–2112.
18. Wahyuningtyas R, Widodo SBP. Cleft lip and palate. Fakultas Kedokteran UI: Jakarta;
2014.
19. Pujiastuti N, Hayati R. Perawatan celah bibir dan langitan pada anak usia 4 tahun.
Fakultas Kedokteran Gigi UI: Jakarta. Indonesian Journal of Dentistry; 2008: 15 (3). hlm
232–8.
20. Jong DW, Sjamsuhidajat R. Dalam : Buku ajar ilmu bedah. Kelainan bawaan
Labioschizis. Edisi ke-2. Penerbit buku kedokteran EGC: Jakarta; 2004. hlm344–345.
21. Bardach J, Salyer K.Bilateral cleft lip repair. Reconstructive oral surgery. New York:
Thieme Medical Publishers 2008: hlm 113–122.
22. Thorne CH, et al. Grabb and smith’s plastic surgery. Edisi ke-6. Lippincott William &
Walkins; 2007.
23. Al Jamal GA, Haza’a AM, Rawashden MA. Crown-not ratio of permanent teeth in cleft
lip and palate patients. Angel Osthod; 2010; hlm 1122–7.