Anda di halaman 1dari 49

MAKALAH FARMAKOLOGI

ANTI TUBERKULOSIS

Dosen :

1. Dra. Refdanita, M. Si

2. Annisa Farida Muti, S.Farm., M.Sc.,Apt.

Disusun oleh :

Novia Ananda Putri

15330117

Mata Kuliah Farmakologi

Kelas B

FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
Jl. Moh. Kahfi II Bumi Srengseng Indah - Jagakarsa, Jakarta Selatan 12640
Telp.(021)7271112
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang karena anugerah dari-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah tentang “Anti Tuberkulosis” ini. Sholawat dan salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah
menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan
menjadi anugerah serta rahmat bagi seluruh alam semesta.

Penulis sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang menjadi tugas
MATA KULIAH FARMAKOLOGI dengan judul "Anti Tuberkulosis". Disamping itu,
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu selama
pembuatan makalah ini berlangsung sehingga terealisasikanlah makalah ini.

Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini bisa bermanfaat dan
jangan lupa ajukan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya bisa diperbaiki.

Jakarta, 12 April 2017

Penulis

1
Daftar Isi
KATA PENGANTAR…………….…...........……………...………………………………… 1

DAFTAR ISI………………………...…….........……...…………..………………………… 2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang........................................................................................................... 3


1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan........................................................................................................ 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Tuberkulosis.................................................................................... 5


2.2 Penyebab Tuberkulosis..................................................................................... 6
2.3 Gejala Tuberkulosis.......................................................................................... 6
2.4 Penggolongan Obat-Obat Anti Tuberkulosis........................................................ 7
2.5 Cara Pemilihan Obat Anti Tuberkulosis............................................................. 28
2.6 Regimen Pengobatan Tuberkulosis.................................................................... 29
2.7 Regimen Pengobatan pada Pasien Defisiensi Imun.............................................. 31
2.8 Tablet Kombinasi Tetap Anti Tuberkulosis......................................................... 32

BAB III PEMBAHASAN


3.1 Efek Samping dari Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis........................................ 34
3.2 Resistensi Mikobakteri terhadap Anti Tuberkulosis....................................... .........35
3.3 Penilaian Hasil Pengobatan Anti Tuberkulosis............................................. ..........37
3.4 Pengobatan Ulang Anti Tuberkulosis....................................................... ...............37
3.5 Cara Pengobatan Pencegahan Tuberkulosis.............................................................38
3.6 Hubungan Kepatuhan Pasien dalam Pengobatan terhadap Tingkat Kesembuhan
Pasien Tuberkulosis................................................................................................. 39
3.7 Hubungan Lama Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis dengan Efek Samping
Pada Pasien...............................................................................................................42

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan................................................................................................................46
4.2 Saran..........................................................................................................................47

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................48

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada tahun 1882, Robert Koch menemukan bakteri penyebab tuberkulosis
yaitu Mycobacterium tuberculosis (basil tbc).

Basil tbc termasuk kelompok mikobakteri, yang ditandai dengan sifatnya yaitu
disatu pihak sulit diwarnai, tetapi di pihak lain jika sudah diwarnai, tak dapat lagi
dihilangkan warnanya oleh asam atau alkohol, dan karena itu disebut “tahan asam”.

Sifat mikobakteri ini disebabkan oleh kandungan lipid yang tinggi dalam
dinding sel. Ini juga yang menyebabkan megapa bakteri tbc mempunyai ketahanan
yang besar terhadap khemoterapeutikan pada umumnya. Tuberkulosis terutama
menyerang paru-paru (termasuk saluran napas), walaupun demikian penyakit ini juga
dapat menyebabkan perubahan pada semua organ lainnya (tuberkulosis
ekstrapulmonal).

Salah satu penyakit penyebab kematian utama yang disebabkan oleh infeksi
adalah Tuberkulosis (TB) yaitu oleh Mycobacteriumtuberculosis (Christian, 2010),
yang pada umumnya menyebar melalui udara ketika seseorang dengan infeksi TB
aktif mengeluarkan batuk, bersin, atau menyebarkan butiran ludah mereka melalui
udara.

Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Kasus


TB di dunia pada tahun 2013 diperkirakan sekitar 9 juta dengan kasus baru dilaporkan
sebanyak 5,7 juta, sebanyak 0,4 juta kasus sedang dalam pengobatan, 3 juta kasus
tidak terdiagnosa atau terdiagnosa tapi tidak dilaporkan kepada program TB nasional
dan 1,5 juta kematian yang disebabkan oleh TB.

Penyakit TB telah menginfeksi hampir sepertiga penduduk dunia dan


merupakan salah satu penyebab kematian utama, dengan insiden yang terus meningkat
sejak awal tahun 1901.

Indonesia sekarang berada pada urutan kelima negara dengan beban TB


tertinggi di dunia. Estimasi prevalens TB di Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar
680.000 dan estimasi insiden berjumlah 460.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian
akibat TB diperkirakan 64.000 kematian per tahun.

3
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Tuberkulosis?
2. Apa penyebab terjadinya Tuberkulosis?
3. Bagaimana Gejala dari Tuberkulosis?
4. Bagaimana Penggolongan Obat-Obat Anti Tuberkulosis?
5. Bagaimana Cara Pemilihan Obat Anti Tuberkulosis?
6. Bagaimana Regimen Pengobatan Tuberkulosis?
7. Bagaiman Regimen Pengobatan Tuberkulosis pada pasien defisiensi imun?
8. Apa yang dimaksud dengan Tablet Kombinasi Tetap Anti Tuberkulosis?
9. Bagaimana Efek Samping dari Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis?
10. Apa yang dimaksud dengan Resistensi Mikobakteri Tehadap Anti Tuberkulosis?
11. Bagaimana Penilaian Hasil Pengobatan Anti Tuberkulosis?
12. Apa yang dimaksud dengan Pengobatan Ulang Anti Tuberkulosis?
13. Bagaimana Cara Pengobatan Pencegahan Tuberkulosis?
14. Bagaimana Hubungan Kepatuhan Pasien dalam Pengobatan Terhadap Tingkat
Kesembuhan Pasien Tuberkulosis?
15. Bagaimana Hubungan Lama Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis dengan Efek
Samping Pada Pasien?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui tentang Tuberkulosis.
2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya Tuberkulosis.
3. Untuk mengetahui gejala dari Tuberkulosis.
4. Untuk mengetahui Penggolongan Obat-Obat Anti Tuberkulosis.
5. Untuk mengetahui Cara Pemilihan Obat Tuberkulosis.
6. Untuk mengetahui Regimen Pengobatan Tuberkulosis.
7. Untuk mengetahui Regimen Pengobatan Tuberkulosis pada Pasien Defisiensi
Imun.
8. Untuk mengetahui tentang Tablet Kombinasi Tetap Anti Tuberkulosis.
9. Untuk mengetahui Efek Samping dari Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis.
10. Untuk mengetahui tentang Resistensi Mikobakteri Terhadap Anti Tuberkulosis.
11. Untuk mengetahui tentang Penilaian Hasil Pengobatan Anti Tuberkulosis.
12. Untuk mengetahui tentang Pengobatan Ulang Anti Tuberkulosis.
13. Untuk mengetahui Cara Pengobatan Pencegahan Tuberkulosis.
14. Untuk mengetahui Hubungan Kepatuhan Pasien dalam Pengobatan Terrhadap
Tingkat Kesembuhan Pasien Tuberkulosis.
15. Untuk mengetahui Hubungan Lama Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis dengan
Efek Samping Pada Pasien.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Tuberkulosis


Mikobakteria yang terutama dapat menimbulkan penyakit pada manusia ada
tiga, yaitu 1) Mycobacteria tuberculosis, penyebab tuberkulosis; 2) Mycobacteria
leprae, penyebab lepra; dan 3) Mikobakteria atipik, penyebab infeksi mikobakteria
lainnya. Mikobakteria merupakan kuman tahan asam yang sifatnya berbeda dengan
kuman lain karena tumbuhnya sangat lambat dan cepat sekali timbul resistensi bila
terpajan dengan satu obat. Umumnya antibiotika bekerja lebih aktif terhadap kuman
yang cepat membelah dibandingkan dengan kuman yang lambat membelah. Sifat
lambat membelah yang dimiliki mikobakteria merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan perkembangan penemuan obat antimikobakteria baru jauh lebih sulit
dan lambat dibandingkan antibakteri lain.

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis ditularkan melalui percikan dahak (dorplet)
dari penderita tuberkulosis kepada individu yang rentan. Sebagian besar kuman
Mycobacterium tuberculosis menyerang paru, namun dapat juga menyerang organ
lain seperti pleura, selaput otak, kulit, kelenjar limfe, tulang, sendi, usus, sistem
urogenital, dan lain-lain. Sebagian besar masyarakat dengan mudah terinfeksi kuman
Mycobacterium tuberculosis, namun hanya 10% yang dapat berkembang menjadi
penyakit. Perkembangan infeksi menjadi suatu penyakit sangat bergantung pada
seberapa banyak kuman yang masuk melalui pernapasan dan pertahanan tubuh
seseorang yang terinfeksi.

Setelah terhirup, bakteri ini akan ditangkap oleh makrofag alveolar, tetapi
mereka dapat menghindari sistem kekebalan tubuh host dan tetap dalam tahap aktif
untuk jangka waktu yang panjang, pada saat dimana mereka dapat mengaktifkan
kembali ke bentuk virulen dalam kondisi kekebalan tubuh host menurun. Hal ini
mungkin terjadi karena M. tuberculosis dapat bertahan lama dalam tubuh serta dalam
tahap berkembang cepat yang membuat pengobatan menantang.

Pengobatan infeksi kuman tahan asam masih merupakan persoalan dan


tantangan dalam bidang kemoterapi. Faktor yang mempersulit pengobatan antara lain
1) kurangnya daya tahan hospes terhadap mikobakteria, 2) kurangnya daya bakterisid
obat yang ada, 3) timbulnya resistensi kuman terhadap obat, dan 4) masalah efek
samping obat. Tantangan ini lebih berat lagi dengan munculnya masalah AIDS yang
berkaitan erat dengan meningkatnya kejadian tuberkulosis.(Farmakologi dan Terapi,
2012).

5
2.2 Penyebab Tuberkulosis
TB disebabkan oleh bakteri yang disebut Mycobacterium tuberculosis (‘M.
tuberculosis’ atau ‘M.Tb’). Bakteri ini ditularkan dengan menghirup bakteri dalam
tetesan batuk atau bersin oleh seseorang dengan tuberkulosis menular. Tidak semua
bentuk TB menular. Mereka dengan TB di organ selain paru-paru jarang menular
kepada orang lain, dan juga adalah orang-orang hanya dengan TB laten. Beberapa
orang dengan TBC paru-paru biasanya menular, terutama mereka dengan bakteri yang
dapat dilihat pada pemeriksaan mikroskop sederhana dari dahak, yang disebut ‘BTA
positif’. Risiko terinfeksi tergantung terutama pada berapa lama dan bagaimana intens
paparan bakteri antara orang yang memiliki TBC dengan orang lain disekitarnya.
Risiko paling besar adalah pada mereka yang kontak berkepanjangan atau tinggal
berdekatan dengan orang yang memiliki TBC menular.

TB terutama menyerang paru-paru, tetapi juga dapat mempengaruhi bagian


lain dari tubuh. TB sangat menular selama tahap aktif penyakit dan dapat menginfeksi
individu melalui inhalasi sedikitnya 10 Mycobacterium tuberculosis bakteri (MTB).

Siapapun dapat terkena TB tetapi mereka pada risiko tertentu adalah mereka
yang telah terkena bakteri TB, dan mereka yang kurang mampu melawan infeksi
laten. Individu yang memiliki risiko tinggi terkena infeksi TB diantaranya adalah:

1. Kontak dekat dari kasus menular,


2. Individu yang telah tinggal, dalam perjalanan menuju ke tempat dimana kasus TB
sangat banyak ditemukan atau menerima pengunjung dari tempat di mana TB
masih sangat umum,
3. Individu dengan sistem kekebalan yang lemah oleh infeksi HIV atau masalah
medis lainnya,
4. Individu yang sangat muda dan orang tua, karena sistem kekebalan tubuh mereka
kurang kuat,
5. Individu dengan kesehatan yang buruk atau memiliki penyakit kronis dan gizi
yang buruk, karena masalah gaya hidup seperti tunawisma, penyalahgunaan obat
atau alkohol,
6. Individu yang hidup dalam kondisi perumahan yang buruk atau penuh sesak,
termasuk mereka yang tinggal di asrama.

2.3 Gejala Tuberkulosis


Karena TB dapat mempengaruhi banyak organ dalam tubuh, bisa ada berbagai
gejala, beberapa di antaranya tidak spesifik dan dapat menunda diagnosis. Gejala khas
TB paru termasuk batuk kronis, penurunan berat badan, demam intermiten, keringat
malam dan batuk darah. TB di bagian lain dari paru-paru memiliki gejala yang
tergantung pada organ, dan bisa disertai dengan demam intermiten atau penurunan
berat badan.

6
2.4 Penggolongan Obat-Obat Anti Tuberkulosis
Obat yang digunakan untuk tuberkulosis digolongkan atas dua kelompok yaitu
kelompok obat lini-pertama dan obat lini-kedua. Kelompok obat lini-pertama yaitu
isoniazid, rifampisin, etambutol, streptomisin, dan pirazinamid, memperlihatkan
efektivitas yang tinggi dengan toksisitas yang dapat diterima. Sebagian besar pasien
dapat disembuhkan dengan obat-obat ini. Walaupun demikian, kadang terpaksa
digunakan obat lain yang kurang efektif karena pertimbangan resistensi atau kontra
indikasi pada pasien. Antituberkulosis lini-kedua dalah antibiotik golongan
fluorokuinolon (siprofloksasin, ofloksasin, levefloksasin), sikloserin, etionamid,
amikasin, kanamisin, kapreomisin, dan paraaminosalisilat.

Hampir semua antibiotik yang dapat digunakan untuk mengobati kerja TB


ketika bakteri secara aktif membagi. Pada fase intensif pengobatan TB, antibiotik
terutama membunuh bakteri yang berkembang pesat, yang menyebabkan konversi
sputum yang cepat, dan pemberantasan gejala klinis.

Oleh karena itu, deteksi dan pengobatan TB yang resistan terhadap rentan obat
atau obat tunggal merupakan strategi penting untuk mencegah munculnya MDR-TB
(Multidrug-resistent TB).

Pengobatan tuberkulosis mengalami perubahan cukup besar dalam sejarahnya,


mulai daripengobatan senatorium, terapi kolaps, kemudian terapi obat. Dengan
tersedianya obat-obat. Efektif kini pengobatan tuberkulosis lebih banyak dilakukan
dengan wawat jalan ketimbang rawat inap. Tidak diperlukan lagi istirahat baring yang
berkpanjangan untuk mempercepat penyembuhan. Yang penting adalah menyadarkan
pasien dan memberikan motivasi agar rajin makan obat dan mengunjungi Pusat
Kesehatan secara teratur untuk pemantauan penyakitnya.

Tujuan pengobatan tuberkulosis ialah memusnahkan basil tuberkulosis dengan


cepat dan mencegah kambuh. Selain itu juga bertujuan mengurangi transmisi TB
kepada orang lain dengan mencegah/memperlambat timbulnya resistensi TB terhadap
obat. Idealnya pengobatan untuk menghasilkan pemeriksaan sputum negatif baik pada
uji hapusan dahak maupun biakan kuman, dan hasil ini tetap negatif untuk selamanya.
Ada kesepakatan umum bahwa apa yang disebut sebagai paduan pengobatan yang
efektif ialah paduan pengobatan yang gagal-kambuhnya kurang dari 5%. Pada bagian
ini akan dibahas beberapa masalah yaitu: (1) pemilihan obat, (2) resistensi,(3) paduan
terapi, (4) paduan terapi tuberkulosis pada pasien defisiensi imun, (5) efek samping,
(6) pengobatan pencegahan, (7) terapi kortikosteroid pda tuberkulosis, dan (8)
penilaian hasil pengobatan.

7
Obat-obat lini-pertama

1. ISONIAZID

Isoniazid atau isonikotinil hidrazid yang sering disingkat INH, mempunyai


rumus bangun seperti gambar dibawah. Hanya satu derivatnya yang diketahui
menghambat pembelahan kuman tuberkulosis, yakni iproniazid, tetapi obat ini
terlalu toksik untuk manusia.

EFEK ANTIBAKTERI.

Isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosit dengan KHM


(Kadar Hambat Minimum) sekitar 0,025 – 0,05 g/mL. Pembelahan kuman masih
berlangsung 2 sampai 3 kali sebelum dihambat sama sekali. Efek bakterisidnya
hanya terlihat pada kuman yang sedang tumbuh aktif. Mikroorganisme yang
sedang “istirahat” mulai lagi dengan pembelahan biasa bila kontaknya dengan
obat dihentikan. Diantara mikobakteria atipik biasanya hanya M. Kansasii yang
peka terhadap isoniazid, tetapi sensitivitasnya harus selau diuji secara in vitro
karena kuman ini memerlukan kadar hambat yang lebih tinggi. Pada uji hewan,
ternyata aktivitas isoniazid lebih kuat dibandingkan streptomisin. Isoniazid dapat
menembus ke dalam sel dengan mudah.

MEKANISME KERJA.

Mekanisme kerja Isoniazid belum diketahui, tetapi ada beberapa hipotesis


yang diajukan, diantaranya efek pada lemak, biosintesis asam nukleat dan
glikolisis. Ada pendapat bahwa efek utamanya ialah menghambat biosistesis asam
mikolat (mycolic acid) yang merupakan unsur penting dinding sel mikobakterium.
Isoniazid kadar rendah mencegah perpanjangan rantai asam lemak yang sangat
panjang yang merupakan bentuk awal molekul asam mikolat. Isoniazid
menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstraksi
oleh metanol dari mikobakterium. Hanya kuman peka yang menyerap obat ke
dalam sel nya, dan ambilan ini merupakan proses aktif.

8
RESISTENSI.

Petunjuk yang ada memberikan kesan bahwa mekanisme terjadinya resistensi


berhubungan dengan kegagalan obat mencapai kuman atau kuman tidak menyerap
obat. Penggunaan INH juga dapat menyebabkan timbulnya strain baru yang
resisten. Perubahan sifat dari sensitif menjadi resisten biasanya terjadi dalam
beberapa minggu stelah pengobatan dimulai. Waktu yang diperlukan untuk
timbulnya resistensi berbeda pada kasus yang berlainan.

FARMAKOKINETIK.

Isoniazid mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar


puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Di hati, isoniazid
terutama mengalami asetilasi dan pada manusia kecepatan metabolisme ini
dipengaruhi oleh faktor genetik yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat
dalam plasma dan masa paruhnya. Asetilator cepat didapatkan pada orang-orang
Eskimo dan Jepang, asetilator lambat terutama pada orang Skandavia, Yahudi dan
orang kaukasia Afrika Utara. Asetilasi cepat merupakan fenotip yang dominan
heterozigot atau homozigot. Pada pasien yang tergolong asetilator cepat, kadar
isoniazid dalam sirkulasi berkisar antara 30-50% kadar pada pasien dengan
asetilasi lambat. Masa paruhnya pada keseluruhan populasi atara 1 sampai 4 jam.
Masa paruh rata-rata pada asetilator cepat hampir 70 menit, sedangkan nilai 2-5
jam adalah khas untuk asetilator lambat. Masa paruh obat ini dapat memanjang
bila terjadi insufisiensi hati. Perlu ditekankan bahwa perbedaan kecepatan asetilasi
ini tidak berpengaruh pada efektivitas atau toksisitas isoniazid bila obat ini
diberikan setaip hari. tetapi, bila pasien tergolong asetilator cepat dan mendapat
isoniazid seminggu sekali maka penyembuhannya mungkin kurang baik.

Isoniazid mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh. Obat terdapat
dengan kadar yang cukup dalam cairan pleura dan cairan asites. Kadar dalam
cairan serebrospinal pada radang selaput otak kira-kira sama dengan kadar dalam
cairan plasma. Isoniazid mudah mencapai material kaseosa. Kadar obat ini pada
mulanya lebih tinggi dalam plasma dan otot dari pada dalam jaringan yang
terinfeksi, tetapi kemudian obat tertinggal lama di jaringan yang terinfeksi dalam
jumlah yang lebih dari cukup sebagai bakteriostatik.

Antara 75-95% isoniazid diekskresi melalui urin dalam waktu 24 jam dan
hampir seluruhnya dalam bentuk metabolit. Ekskresi terutama dalam bentuk asetil
isoniazid yang merupaka metabolit proses asetilasi, dan asam isonikotinal yang
merupakan metabolit proses hidrolisis. Sejumlah kecil diekskresi dalam bentuk
isonikotinil glisin dan isonikotinil hidrazon, dan dalam jumlah yang kecil sekali
N-metil isoniazid.

9
EFEK SAMPING.

Reaksi hipersensitivitas mengakibatkan demam, berbagai kelainan kulit


berbentuk morbiliform, makulopapular, dan urtikaria. Reaksi hematologik dapat
juga terjadi seperti agranulusitosis, eosinofilia, trombositopenia, dan anemia.
Vaskulitis yang berhuubungan dengan antibodi, antinuklear dapat terjadi selama
pengobatan, tetapi menghilang bila pemberian obat dihentikan. Gejala arthtritis
juga dapat terjadi seperti sakit pinggang, sakit sendi interfalang proksimal
bilateral, atralgia pada lutut, siku dan pergelangan tangan.

NEURITIS PERIFER.

Paling banyak terjadi dengan dosis isoniazid 5mg/kg BB/ hari. bila pasien
tidak diberi pridoksin frekuensinya mendekati 2%. Bila diberikan dosis lebih
tinggi, pada sekitar 10% sampai 20% pasien dapat terjadi neuritis perifer.
Profilaksis dengan pemberian piridoksin mencegah terjadinya neuritis perifer dan
juga berbagai gangguan sistem saraf yang mungkin terjadi termasuk akibat
pengobatan yang berjangka sampai 2 tahun.

Perubahan neuropatologi yang berhubungan dengan efek samping antara lain


menghilangnya vesikel sinaps, membengkaknya mitokondria, dan pecahnya akson
terminal. Biasanya juga terjadi perubahan pada ganglia di daerah lumbal dan
sakrum. Pemberian piridoksin sangat bermanfaat untuk mencegah perunahan
tersebut. Pada pemberian isoniazid, ekskresi piridoksin meningkat dan
konsentrasinya dalam plasma menurun sehingga memberi gambaran seperti
defisiensi piridoksin. Neuropati lebih sering terjadi pada pasien asetilator lambat,
pasien dengan diabetes melitus, nutrisi buruk atau anemia.

Isoniazid dapat mencetuskan terjadinya kejang pada pasien dengan riwayat


kejang. Neuritis optik dengan atropi dapat juga terjadi. Gambaran lain
neurotoksisitas adalah kedeut otot, vertigo, ataksia, parestesia, stupor, dan
ensefalopati toksik yang dapat berakhir fatal. Kelainan mental dapat juga terjadi
selama menggunakan obat ini diantaranya euphoria, kurangnya daya ingat
sementara, hilangnya pengendalian diri, psikosis. Sedasi yang berlebihan atau
inkoordinasi dapat muncul bila isoniazid diberikan bersama fenitoin karena
isoniazid menghambat parahidroksilasi antikonvulsan tersebut. Efek samping ini
terutama terjadi pada pasien asetilator lambat sehingga perlu dilakukan monitor
kadar fenitoin dalam darah dan kemudian dilakukan penyesuaian dosis bila
diperlukan. Dosis INH tidak boleh diubah.

10
Isoniazid dapat menimbulkan ikterus dan kerusakan hati yang fatal akibat
terjadinya nekrosis multilobular.Penggunaan obat ini pada pasien yang
menunjukkan adanya kelainan fungsi hati akan menyebabkan bertambah parahnya
kerusakan hati. Mekanisme toksisitas isoniazid tidak diketahui, walaupun
diketahui bahwa asetilhidrazin suatu metabolit isoniazid, dapat menyebabkan
kerusakan hati. Peranan alkohol juga dipertanyakan. Umur merupakan faktor yang
sangat penting untuk memperhitungkan resiko efek toksik pada hati. Kerusakan
hati jarang terjadi pada pasien yang berumur dibawah 35 tahun. Makin tinggi
umur seseorang makin sering ditemui kelainan ini. Kelainan yang paling banyak
ditemui ialah meningkatnya aktivitas enzim transminase. Pasien yang mendapat
INH hendaknya selalu diamati dan dinilai kemungkinan adanya gejala hepatitis,
kalau perlu diperiksa aktivitas enzim serum glutamic-oxalacetic transminase
(SGOT). Peningkatan aktivitas enzim transminase di hati sampai 4 kali normal
dapat terjadi pada 10% sampai 20% pasien, tetapi umumnya asimptomatik. Dalam
keadaan tersebut tidak diperlukan penghentian obat. Pada penderita beresiko
tinggi (peminum alkohol, riwayat penyakit hati dan sebagainya) dianjurkan
monitor aktivitas aspartat-aminotransferase serum setiap 1 bulan, dan bila
aktivitasnya melebihi 5 kali normal, maka pemberian INH diusulkan untuk
dihentikan. Hepatitis karena pemberian isoniazid terjadi antara 4-8 minggu setelah
pengobatan dimulai. Pemberian isoniazid pada pasien dengan riwayat penyakit
hati harus dilakukan dengan hati-hati.

Efek samping lain yang terjadi ialah mulut terasa kering, rasa tertekan pada
ulu hati, methemoglobinemia, tinitus, dan retensi urin. Bila pasien sebelumnya
telah mempunyai predisposisi defisiensi piridoksin pemberian INH dapat
menimbulkan anemia. Pengobatan dengan vitamin B6 dosis besar, akan
menyebabkan gambaran darah normal kembali.
Dosis isoniazid yang berlebih misalnya karena usaha bunuh diri menyebabkan,
koma, kejang-kejang, asidosis metabolik, dan hiperglikemia. Piridoksin digunakan
sebagai anti dotnya dengan dosis sesuai dengan besarnya dosis INH yang ditelan.

STATUS DALAM PENGOBATAN.

Isoniazid masih tetap merupakan obat yang sangat penting untuk mengobati
semua tipe tuberkulosis. Efek samping dapat dicegah dengan pemberian
piridoksin dan pengawasanyang cermat pada pasien untuk tujuan terapi, obat ini
harus digunakan bersama obat lain, untuk tujuan pencegahan dapat diberikan
tunggal.

11
SEDIAAN DAN POSOLOGI.

Isoniazid terdapat dalam bentuk tablet 50, 100, 300 dan 400 mg serta sirup
10mg/mL. Dalam tablet kadang-kadang telah ditambahkan vitamin B6. Isoniazid
biasanya diberikan dalam dosis tunggal per orang tiap hari. dosis biasa 5 mg/kg
BB, maksimum 300 mg/hari. untuk tuberkulosis berat dapat diberikan 10 mg/kg
BB, maksimum 600 mg/hari, tetapi tidak ada bukti bahwa dosis demikian besar ini
lebih efektif. Anak dibawah 4 tahun dosisnya 10 mg/kg BB/ hari. isoniazid juga
dapat diberikan secara intermiten 2 kali seminggu dengan dosis 15 mg/kg BB/hari.
piridoksin diberikan dengan dosis 10 mg/hari.

2. RIFAMPISIN

Rifampisin adalah derivat semisintetik rifampisin B yaitu salah satu anggota


kelompok antibiotik makrosiklik yang disebut rifampisin. Kelompok zat ini
dihasilkan oleh Streptomyces mediterranei. Obat ini merupakan ion zwitter, larut
dalam pelarut organik dan air yang pH nya asam. Derivat rifampisin lainnya ialah
rifabutin dan rifapentin.

AKTIVITAS ANTIBAKTERIA.

Rifampisin menghambat pertumbuhan berbagai kuman Gram-positif dan


Gram-negatif. Terhadap kuman Gram-positif kerjanya tidak sekuat penisilin G
tetapi sedikit lebih kuat dari eritromisin, linkomisin, dan sefalotin. Terhadap
kuman Gram-negatif kerjanya lebih lemah dari tetrasiklin, kloramfenikol,
kanamisin, dan kolistin. Antibiotik ini sangat aktif terhadap N. meningitides; kadar
hambat minimalnya berkisar antara 0,1-0,8 g/mL. Obat ini dapat menghambat
pertumbuhan beberapa jenis virus.

In vitro rifampisin dalam kadar 0,995-0,2 g/mL dapat menghambat


pertumbuhan M. tuberculosis. Diantara mikobakteria atipik M. kansasii dihambat
pertumbuhannya dengan kadar 0,25-1 g/mL, sebagian besar turunan M.
serofuloceum dan M. intracelulare dihambat dengan kadar 4 g/mL, tetapi
beberapa galur baru dihambat bila kadar melebihi 16 g/mL. M. fortuitum sangat
resisten terhadap obat ini. In vivo, rifampisin meningkatkan aktivitas streptomisin
dan isoniazid terhadap M. tuberculosis, tetapi tidak bersifat adiktif terhadap
etambutol.

12
MEKANISME KERJA.

Rifampisin terutama aktif terhadap sel yang sedang bertumbuh. Kerjanya


menghambat DNA-Dependent RNA polymerase dari mikobakteria dan
mikroorganisme lain dengan menekan mula terbentuknya (bukan pemanjangan)
rantai dalam sintesis RNA. Inti RNA polymerase dari berbagai sel eukariotik tidak
mengikat rifampisin dan sintesis RNA nya tidak dipengaruhi. Rifampisin dapat
menghambat sintesis RNA mitokondria mamalia tetapi diperlukan kadar yang
lebih tinggi dari kadar untuk penghambatan pada kuman.

FARMAKOKINETIK.

Pemberian rifampisin per oral menghasilkan kadar puncak dalam plasma


setelah 2-4 jam, dosis tunggal sebesar 600 mg menghasilkan kadar sekitar 7
g/mL. Asam para-aminosalisilat dapat memperlambat absorpsi rifampisin,
sehingga kadar terapi rifampisin dalam plasma tidak tercapai. Bila rifampisin
harus digunakan bersama asam paraaminosalisilat, maka pemberian kedua sediaan
harus berjarak waktu 8-12 jam.

Setelah diserap dari saluran cerna, obat ini cepat diekskresi melalui empedu
dan kemudian mengalami sirkulasi enterohepatik. Penyerapannya dihambat oleh
adanya makanan, sehingga dalam waktu 6 jam hampir semua obat yang berada
dalam empedu berbentuk deasetil rifampisin, yang mempunyai aktivitas
antibakteri penuh. Rifampisin menyebabkan induksi metabolisme, sehingga
walaupun bioavailabilitasnya tinggi, eliminasinya meningkat pada pemberian
berulang. Masa paruh eliminasi rifampisin bervariasi antara 1,5-5 jam dan akan
memanjang bila ada kelainan fungsi hepar. Pada pemberian berulang masa paruh
ini memendek sampai kira-kira 40% dalam waktu 14 hari. pada pasien asetilator
lambat masa paruh memendek bila rifampisin diberikan bersama isoniazid. Sekitar
75% rifampisin terikat pada protein plasma. Obat ini berdifusi baik ke berbagai
jaringan termasuk cairan otak. Luasnya distribusi ini tercermin dari warna merah
pada urin, tinja, sputum, air mata dan keringat. Ekskresi melalui urin mencapai
30% setengahnya merupakan rifampisin utuh sehingga pasien gangguan fungsi
ginjal tidak memerlukan penyesuaian dosis. Obat ini juga dieliminasi lewat ASI.

Rifampisin didistribusi ke seluruh tubuh. Kadar efektif dicapai dalam berbagai


organ dan cairan tubuh, termasuk cairan otak. Luasnya distribusi tercermin dengan
warna merah jingga pada urin,tinja, ludah, sputum, air mata dan keringat. Pasien
harus diberi tahu akan pewarnaan ini.

13
EFEK SAMPING.

Rifampisin jarang menimbulkan efek yang tidak diingini. Dengan dosis biasa,
kurang dari 4% pasien tuberkulosis mengalami efek toksik. Yang paling sering
ialah ruam kulit, demam, mual dan muntah. Pada pemberian berselang dengan
dosis yang lebih besar sering terjadi flu like sydrome, nefritis interstisial, nekrosis
tubular akut, dan trombositopenia. Yang menjadi masalah ialah ikterus. Ada 16
kematian dari 500.000 pasien yang diobati, yang dihubungkan dengan reaksi ini.
Hepatitis jarang terjadi pada pasien dengan fungsi hepar normal. Pada pasien
penyakit hati kronik, alkoholisme dan usia lanjut insiden ikterus bertambah.
Pemberian rifampisin intermiten (kurang dari 2 kali seminggu) dihubungkan
dengan timbulnya sindrom hepatorenal. SGOT dan aktivitas fosfatase alkali yang
meningkat akan menurum kembali bila pengobatan dihentikan. Pemberian
rifampisin dengan rejimen terapi intermiten dan pemberian dosis 1,2 g atau lebih
per hari lebih mudah terjadi efek samping. Angka kejadian hepatotoksisitas
rifampisin berbeda ditiap negara. Di India angka ini lebih tinggi dari pada di
Eropa atau AS, diduga karen pemberian obat di India tanpa melalui penapisan
terhadap penyakit atau keadaan lain yang memudahkan terjadinya hepatitis,
misalnya malnutrisi, infestasi parasit yang luas, infeksi virus, dan presit posisi
genetik. Ekskresi rifampisin melalui empedu berkompetisi dengan media kontras
yang digunakan untuk memeriksa fungsi kandung empedu dan dapat
menyebabkan retensi BSP. Gangguan saluran cerna berupa rasa tidak enak di
lambung, mual, muntah, kolik dan diare kadang-kadang memerlukan penghentian
terapi.

Beberapa keluhan yang berhubungan dengan sistem saraf seperti rasa lelah,
mengantuk, sakit kepala, pening, ataksia, bingung, sukar berkonsentrasi, sakit
pada tangan dan kaki, dan melemahnya otot dapat juga terjadi.

Reaksi hipersensitivitas dapat berupa demam, pruritus, utikaria, berbagai


macam kelainan kulit, eosinofilia, dan rasa sakit pada mulut dan lidah. Hemolisis,
hemoglobinuria, hematuria, insufisiensi ginjal dan gagal ginjal akut juga
merupakan reaksi hipersensitivitas, tetapi jarang terjadi.

Trombositopenia, leukopenia sementara, dan anemia dapat terjadi selama


terapi berlangsung. Efek teratogenik rifampisin tidak diketahui, tetapi lebih baik
menghindari penggunaan obat ini semasa kehamilan, karena obat ini dapat
menembus sawar uri.

14
INTERAKSI OBAT.

Pemberian PAS bersama rifampisin akan menghambatabsorpsi rifampisin


sehingga kadarnya dalam darah tidak cukup. Rifampisin merupakan pemacu
metabolisme obat yang cukup kuat, sehingga berbagai obat hipoglikemik oral,
kortikosteroid, dan kontrasepsi oral akan berkurang efektivitasnya bila diberikan
bersama rifampisin. Mungkin dapat terjadi kehamilan pada pemberian bersama
kontrasepsi oral. Rifampisin mungkin juga menganggu metabolisme vitamin D
sehingga dapat menimbulkan kelainan tulang dengan berupa osteomalasia.
Disulfiram dan probenesid dapat menghambat ekskresi rifampisin melalui ginjal.
Rifampisin tampaknya meningkatkan hepatotoksisitas INH terutama asetilator
lambat.

STATUS DALAM PENGOBATAN.


Rifampisin merupakan obat yang sangat efektif untuk pengobatan tuberkulosis
dan sering digunakan bersama isoniazid untuk terapi tuberkulosis jangka pendek.
Efek sampingnya beraneka ragam, tetapi insidensnya rendah dan jarang sampai
perlu menghentikan terapi.

SEDIAAN DAN POSOLOGI.

Rifampisin di Indonesia terdapat dalam bentuk kapsul 150 mg dan 300 mg.
Selain itu terdapat pula tablet 450 mg dan 600 mg serta suspensi yang
mengandung 100 mg/5 mL rifampisin. Beberapa sediaan telah dikombinasikan
dengan isoniazid. Obat ini biasanya diberikan sehari sekali sebaiknya satu jam
sebelum makan atau dua jam setelah makan. Dosis untuk orang dewasa dengan
berat badan kurang dari 50 kg ialah 450 mg/hari dan untuk berat badan lebih dari
50 kg ialah 60 mg/hari. untuk anak-anak dosisnya 10-20 mg/kg BB per hari
dengan dosis maksimum 600 mg/hari.

3. ETAMBUTOL

AKTIVITAS ANTIBAKTERI.

Hampir semua galur M. tuberculosis dan M. kansasii sensitif terhadap


etambutol. Etambutol tidak efektif untuk kuman lain. Obat ini tetap menekan
pertumbuhan kuman tuberkulosis yang telah resisten terhadap isoniazid dan
streptomisin. Kerjanya menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme
sel terhambat dan sel mati. Karena itu obat ini hanya aktif terhadap sel yang
bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik.

15
Efektivitas pada hewan coba sama dengan isoniazid. In vivo, sukar
menciptakan resistensi terhadap etambutol dan timbulnya pun lambat, tetapi
resistensi ini timbul bila etambutol digunakan tunggal.

FARMAKOKINETIK.

Pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol diserap dari saluran cerna.
Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah pemberian.
Dosis tunggal 15 mg/kg BB menghasilkan kadar dalam plasma sekitar 5 g/mL
pada 2-4 jam. Masa paruh eliminasinya 3-4 jam. Kadar etambutol dalam eritrosit
1-2 kali kadar dalam plasma. Oleh karena itu eritrosit dapat berperan sebagai
depot etambutol yang kemudian melepaskannya sedikit demi sedikit ke dalam
plasma.

Dalam waktu 24 jam, 50% etambutol yang diberikan diekskresikan dalam


bentuk asal melalui urin, 10% sebagai metabolit, berupa derivat aldehid dan asam
karboksilat. Klirens ginjal untuk etambutol kira-kira 8,6 mL/menit/kg
menandakan bahwa obat ini selain mengalami filtrasi glomerulus juga disekresi
melalui tubuli. Etambutol tidak dapat menembus sawar darah otak, tetapi pada
meningitis tuberkulosa dapat ditemukan kadar terapi dalam cairan otak.

EFEK SAMPING.

Etambutol jarang menimbulkan efek samping. Dosis harian sebesar 15 mg/kg


BB menimbulkan efek toksik yang minimal. Pada dosis ini kurang dari 2% pasien
akan mengalami efek samping yaitu penurunan ketajaman penglihatan, ruam kulit,
dan demam. Efek samping lain ialah pruritus, nyeri sendi, gangguam saluran
cerna, malaise, sakit kepala, pening, bingung, disorientasi, dan mungkin juga
halusinasi. Rasa kaku dan kesemutan di jari sering terjadi. Reaksi anafilaksis dan
leukopenia jarang dijumpai.

Efek samping yang paling penting adalah gangguan penglihatan, biasanya


bilateral, yang merupakan neuritis retrobulbar yaitu berupa turunnya tajam
penglihatan, hilangnya kemampuan membedakan warna, mengecilnya lapang
pandangan, dan skotoma sentral maupun lateral. Insidens efek samping ini makin
tinggi sesuai dengan peningkatan dosis, tetapi bersifat mampu pulih. Intensitas
gangguan pun berhubungan dengan lamanya terapi. Dengan dosis 15 mg/kg BB
tidak diperlukan pemeriksaan oftalmologi berkala, tetapi pasien harus diingatkan
untuk melaporkan setiap perubahan penglihatan selama penggunaan etambutol.
Bila ada keluhan penglihatan kabur, sebaiknya dilakukan pemeriksaan lengkap.
Bila pasien sudah menderita kelainan mata sebelum menggunakan etambutol,
perlu dilakukan pemeriksaan cermat sebelum terapi dengan etambutol dimulai.

16
Terapi dengan etambutol menyebabkan peningkatan kadar asam urat darah
pada 50% pasien. Hal ini disebabkan oleh penurunan ekskresi asam urat melalui
ginjal. Efek samping ini mungkin diperkuat oleh isoniazid dan piridoksin.

STATUS DALAM PENGOBATAN.

Etambutol telah berhasil digunakan dalam pengobatan tuberkulosis dan


menggantikan tempat asam para amino salisilat karena tidak menimbulkan efek
samping yang berbahaya serta dapat diterima dalam terapi. Manfaatnya yang
utama dalam paduan terapi tuberkulosis ialah mencegah timbulnya resistensi
kuman terhadap antituberkulosis lain.

SEDIAAN DAN POSOLOGI.

Di Indonesia etambutol terdapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Ada
pula sediaan yang telah dicampur dengan isoniazid dalam bentuk kombinasi tetap.
Dosis biasanya 15 mg/kg BB. Diberikan sekali sehari, ada pula yang
menggunakan dosis 25 mg/kg BB selama 60 hari pertama, kemudian diturunkan
menjadi 15 mg/kg BB. Pada pasien gangguan fungsi ginjal dosisnya perlu
disesuaikan karena etambutol terakumulasi dalam badan.

4. PIRAZINAMID

Pirazinamid adalah analog nikotinamida yang telah dibuat sintetiknya. Obat


ini tidak larut dalam air.

AKTIVITAS ANTIBAKTERI.

Pirazinamid didalam tubuh dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase menjadi


asam pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik hanya pada media yang bersifat
asam. In vitro, pertumbuhan kuman tuberkulosis dalam monosit dihambat
sempurna pada kadar pirazinamid 12,5 g/mL. Mekanisme kerja obat ini belum
diketahui.

FARMAKOKINETIK.

Pirazinamid mudah diserap diusus dan tersebar luas ke seluruh tubuh. Dosis 1
gram menghasilkan kadar plasma sekitar 45 g/mL pada 2 jam setelah pemberian
obat. Ekskresinya terutama melalui filtrasi glomerulus. Asam pirazinoat yang aktif
kemudian mengalami hidroksilasi menjadi asam hidropirazinoat yang merupakan
metabolit utama. Masa paruh eliminasi obat ini adalah 10-16 jam.

17
EFEK SAMPING.

Efek samping yang paling umum dan serius adalah kelainan hati. Bila
pirazinamid diberikan dengan dosis 3 gram per hari, gejala penyakit hati muncul
pada kira-kira 15%, dengan ikterus pada 2-3% pasien dan kematian akibat
nekrosis hati pada beberapa kasus. Gejala pertama adalah peningkatan SGOT dan
SGPT oleh karena itu hendaknya dilakukan pemeriksaan fungsi hati sebelum
pengobatan dengan pirazinamid dimulai, dam pemantauan terhadap transaminase
serum dilakukan secara berkala selama pengobatan berlangsung. Jika jelas timbul
kerusakan hati, terapi dengan terapi pirazinamid harus dihentikan. Pirazinamid
tidak boleh diberikan kepada pasien dengan kelainan fungsi hati. Obat ini
menghambat ekskresi asam urat dan dapat menyebabkan kambuhnya piral. Efek
samping lain ialah artralgia, anoreksia, mual dan muntah, juga disuria, malaise,
dan demam.

SEDIAAN DAN POSOLOGI.

Pirazinamid terdapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Dosis oral ialah
20-35 mg/kg BB sehari (maksimum 3 gram), diberikan dalam satu atau beberapa
kali sehari.

STATUS DALAM PENGOBATAN.

Pirazinamid beberapa tahun yang lalu masih merupakan obat sekunder yang
digunakan bila ada resistensi atau kontraindikasi terhadap obat primer. Sejak
pengobatan tuberkulosis menggunakan paduan pengobatan jangka pendek,
kedudukan pirazinamid berubah menjadi obat primer, obat ini lebih aktif pada
suasana asam dan merupakan bakterisid yang kuat untuk bakteri tahan asam
yang berada dalam sel makrofag. Kini, bersama INH dan rifampisin, pirazinamid
merupakan obat yang penting untuk diberikan pada awal pengobatan tuberkulosis.

5. STREPTOMISIN

Streptomisin ialah antituberkulosis pertama yang secara klinik dinilai efektif.


Namun sebagai obat tunggal, bukan obat yang ideal.

AKTIVITAS ANTIBAKTERI.

Streptomisin in vitro bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman


tuberkulosis. Kadar serendah 4 g/mL dapat menghambat pertumbuhan kuman.
Sebagian besar M. tuberculosis strain human dan bovin dihambat dengan kadar 10
g/mL. Mikobakterium atipik fotokromatogen, skotokromatogen, nokromatogen,
dan spesies yang tumbuh cepat tidak peka terhadap streptomisin. Adanya
mikroorganisme yang hidup dalam asbes atau kelenjar limfe regional serta
hilangnya pengaruh obat setelah beberapa bulan pengobatan, mendukung konsep

18
bahwa kerja streptomisin in vivo ialah supresi, bukan eradikasi kuman
tuberkulosis. Obat ini dapat mencapai kavitas, tetapi relatif sukar berdifusi ke
cairan intrasel.

RESISTENSI.

Dalam populasi yang besar selalu terhadap kuman yang resisten terhadap
streptomisin. Resistensi ini mungkin disebabkan oleh mutasi yang terjadi secara
kebetulan. Kemudian terjadi resistensi in vitro dan in vivo sama besar. Secara
umum dikatakan bahwa makin lama terapi dengan streptomisin berlangsung,
makin meningkat resistensinya. Pada beberapa pasien resistensi ini terjadi dalam
satu bulan. Setalah 4 bulan, 80% kuman tuberkulosis tidak sensitif lagi.
Setengahnya tidak dapat dihambat dengan kadar 1000 g/mL. Bila kavitas tidak
menurun atau satupun tidak menjadi steril dalam waktu 2-3 bulan, bakteri yang
tertinggal telah resisten dan pengobatan tidak efektif lagi. Penggunaan
streptomisin bersama antituberkulosis lain menghambat terjadinya resistensi.
Tetapi hal ini tidak mutlak, pada pengobatan jangka lama dapat juga terjadi
resistensi kuman terhadap kedua obat itu.

FARMAKOKINETIK.

Setelah diserap dari tempat suntikan, hampir semua streptomsin berada dalam
plasma. Hanya sedikit sekali yang masuk ke dalam eritrosit. Streptomisin
kemudian menyebar ke seluruh cairan ekstrasel. Kira-kira sepertiga streptomisin
yang berada dalam plasma, terikat protein plasma. Streptomisin diekskresi melalui
filtasi glomerulus. Kira-kira 50-60% dosis streptomisin yang diberikan secara
parenteral diekskresi dalam bentuk utuh dalam waktu 24 jam pertama. Sebagian
besar jumlah ini diekskresi daalam waktu 12 jam. Masa paruh obat ini pada orang
dewasa normal antara 2-3 jam, dan dapat sangat memanjang pada ginjal.
Ototoksisitas lebih sering terjadi pada pasien yang fungsi ginjalnya terganggu.

EFEK SAMPING.

Umumnya streptomisin dapat diterima dengan baik, kadang-kadang terjadi


sakit kepala sebentar atau malaise. Parestesi di muka terutama disekitar mulut
serta rasa kesemutan di tangan juga mempunyai arti klinisi yang penting. Reaksi
hipersensitivitas biasanya terjadi dalam minggu-minggu pertama pengobatan.
Streptomisin bersifat neuro toksin pada saraf kranial ke-VIII, bila diberikan dalam
dosis besar dan jangka lama. Walaupun demikian beberapa pasien yang baru
mendapat dosis total 10-12 gram dapat mengalami gangguan tersebut. Dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan audiometrik basal dan berkala pada mereka yang
mendapat streptomisin. Seperti aminoglikosida lainnya, obat ini juga bersifat

19
nefrotoksik. Ototoksisitas dan nefrotoksisitas ini sangat tinggi kejadiannya pada
kelompok usia di atas 65 tahun, oleh karena itu obat tidak boleh diberikan pada
kelompok usia tersebut. Efek samping lain ialah reaksi anafilaktik,
agranulositosis, anemia apiastik, dan demam obat. Belum ada data tentang efek
teratogenik, tetapi pemberian obat pada trimester pertama kehamilan tidak
dianjurkan. Selain itu dosis total tidak boleh melebihi 20 gram. Dalam 5 bulan
terakhir kehamilan untuk mencegah ketulian pada bayi.

INTERAKSI OBAT.

Interaksi dapat terjadi dengan obat penghambat neuromuskular berupa


potensial penghambatan. Selai itu interaksi juga terjadi dengan obat lain yang
juga bersifat ototoksik (misalnya asal etakrinat dan furosemid) dan yang bersifat
nefrotoksik.

SEDIAAN DAN POSOLOGI.

Streptomisin terdapat dalam bentuk bubuk injeksi dalam vial 1 dan 5 gram.
Dosisnya 20 mg/kg BB secara IM, maksimum 1 gram per hari selama 2 sampai 3
minggu. Kemudia frekuensi pemberian dikurangi menjadi 2-3 kali seminggu.
Pasien dengan fungsi ginjal normal dapat menerima paduan ini untuk beberapa
bulan. Dosis harus dikurangi untuk pasien usia lanjut, anak-anak, orang dewasa
yang badannya kecil, dan pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

Obat-obat lini-kedua

1. FLUOROKUINOLON

Selain aktivitasnya terhadap berbagai bakteria Gram-positif dan Gram-negatif


siprofloksasin, ofloksasin dan levofloksasin terbukti mempunyai aktivitas yang cukup
baik terhadap M.tuberculosis, sehingga digunakan untuk pengobatan tuberkulosis
sebagai obat lini-kedua. Levofloksasin, suatu L-isomer dari ofloksasin (suatu
campuran rasemik dari D- dan L- stereo isomer), merupaka komponen antibakteri
aktif dari ofloksasin, sebagai antibakteri lebih aktif dari ofloksasin dan selain itu dapat
diberikan satu kali sehari. Fluorokuinolon sebagai antibiotik sudah lama dikenal dan
relatif aman, sehingga penambahan obat ini sebagai antituberkulosis lini-kedua akan
sangat membantu penanggulangan tuberkulosis, terutama yang sudah resisten dengan
obat lini-pertama. Namun perlu diperhatikan bahwa bila fluorokuinolon diberikan
sebagai obat tunggal akan cepat sekali timbul resistensi pada mikobakteri akibat
mutasi dari sub-unit girase A, karena itu harus diberikan bersama tuberkulostatika lain
yang masih aktif.

20
Obat-obat tersebut juga aktif terhadap beberapa spesies mikobakteria atipik,
seperti: M. kansasii, M. avium complex (MAC) dan M. fortuitum (lihat tabel 40-1). In
vitrolevofloksasin sediki lebih aktif dibandingkan siprofloksasin terhadap M.
tuberculosis, tetapi terhadap mikobakteria atipik siprofloksasin lebih aktif. Dosis
terapi yang dianjurkan ialah: siprofloksasin 750 mg- dua kali sehari oral; ofloksasin
300 mg dua kali sehari; dan levofloksasin 500-750 mg dosis tunggal sehari.

2. ASAM PARAAMINOSALISILAT

Sebelum ditemukan etambutol, para-amino salisilat (PAS) merupakan obat yang


sering dikombinasikan dengan anti tuberkulosis lain.

AKTIVITAS ANTIBAKTERI.

Obat ini bersifat bakteriostatik. In vitro sebagian besar strain M. tuberculosis


sensitif terhadap PAS dengan kadar 1 g/mL. Aktivitas antimikroba PAS sangat
spesifik terhadap M. tuberculosis saja. Sebagian besar mikobakterium atipik tidak
dihambat oleh obat tersebut. Efektivitas obat ini kurang bila dibandingkan dengan
streptomisin, isoniazid, dan rifampisin. Pengobatan dengan PAS saja manfaatnya
sangat kecil.

Tabel 40-1. INFEKSI BERBAGAI MIKOBAKTERIA ATIPIK DAN OBAT


YANG DIANJURKAN

Spesies Gejala klinik Obat


M. kansasii Mirip tuberkulosis Siprofloksasin, klaritomisin,
etambutol, isoniazid,
rifampisin,kotrimoksazol
M. marimum Penyakit granulomateus Amikasin, klaritromisin,
cutaneus etambutol, doksisiklin,
minosiklin, rifampisin,
kotrimoksazol
M. scrofulaceum Adenitis sevikal pada anak- Amikasin, ertitromisi (atau
anak makrolid lain), rifampisin,
streptomisin (pembedahan
eksisi sering kuratif dan
merupakan pilihan utama
pengobatan)
M. avium complex Penyakit paru pada pasien Amikasin, azitromisin,
(MAC) dengan penyakit paru kronik, kalritromisin, siprofloksasin,
infeksi diseminasi pada etambutol, etionamid,
AIDS rafabutin.
M. cholanae Abses, ulkus, infeksi pada Amikasin,doksisiklin,
tulang, sendi dan tendon. imipenem, makrolid,
tobramisin.
M. fortuitum Abses,ulkus, infeksi pada Amikasin, sefoksitin,
tulang, sendi dan tendon. siprofloksasin, doksisiklin,
ofloksasin, kotrimoksazol.
M. ulcerans Ulkus kulit Isoniazid, streptomisin,

21
rifampisin, minoksiklin.
(pembedahan eksisi bisa
efektif)

MEKANISME KERJA.

PAS mempunyai rumus molekul yang mirip dengan asam para aminobenzoat
(PABA). Mekanisme kerjanya sangat mirip dengan sulfodinamide. Karena
sulfodinamide tidak aktif terhadap M.tuberculosis dan PAS tidak aktif terhadap
kuman yang sensitif terhadap sulfodinamide, maka ada kemungkinan bahwa
enzim yang bertanggung jawab untuk biosintesis folat berbagai macam mikroba
bersifat spesifik.

RESISTENSI.

Secara umum resistensi in vitro terhadap PAS lebih sukar terjadi dibandingkan
terhadap streptomisin. Resistensi terhadap PAS juga terjadi pada pasien yang
sedang dalam pengobatan walaupun terjadinya lebih lambat ketimbang
streptomisin.

FARMAKOKINETIK.

PAS mudah diserap melalui saluran cerna. Obat ini mencapai kadar tinggi
dalam berbagai cairan tubuh kecuali dalam cairan otak. Masa paruh obat sekitar
satu jam. Delapan puluh persen PAS diekskresi melalui ginjal, 50% diantaranya
dalam bentuk terasetilase. Pasien dengan insufisiensi ginjal tidak dianjurkan
menggunakan PAS karena ekskresinya terganggu.

EFEK SAMPING.

Insidens efek samping pada pemberian PAS hampir mencapai 10%, gejala
yang agak menonjol ialah mual dan gangguan cerna lainnya. Pasien tukak peptik
tidak dianjurkan menggunakan obat ini. Reaksi hipersensitivitas umumnya terjadi
dengan gambaran seperti demam, kelainan kulit yang disertai demam ataupun
sakit sendi. Kelainan darah seperti leukopenia, agranulositopenia, eosinofilia,
limfositosis, sindrom mononukleosis atipik, dan trombositopenia pernah
dilaporkan. Pada keadaan tertentu dapat timbul hemolisis.

SEDIAAN DAN POSOLOGI.

PAS terdapat dalam bentuk tablet 500 mg yang diberikan dengan dosis oral 8-
12 g sehari, dibagi dalam beberapa dosis.

22
3. SIKLOSERIN

Sikloserin merupakan antibiotik yang dihasilkan oleh Streptomyces orchidaceus,


dan sekarang dapat dibuat secara sintetik.

KIMIA.

Sikloserin berupa bubuk putih atau kekuningan, agak pahit, dan higroskopis.
Obat ini larut dalam air sampai 100 mg/mL pada 25oC, stabil dalam larutan
askalis, tetapi cepat dirusak dalam larutan netral atau asam.

AKTIVITAS ANTIBAKTERI.

In vitro, sikloserin menghambat pertumbuhan M. tuberculosis pada kadar 5-20


g/mL melalui penghambatan sintesis dinding sel. Jenis-jenis yang sudah resisten
terhadap streptomisin, PAS, INH, pirazinamid dan viomisin mungkin masih
sensitif terhadap sikloserin.

In vivo terlihat bahwa khasiat sikloserin berbeda pada berbagai spesies, tetapi
efeknya paling nyata pada manusia.

FARMAKOKINETIK.

Setelah pemberian oral absorpsinya baik; kadar puncak dalam darah dicapai 4-
8 jam setelah pemberian obat. Dengan dosis 20 mg/kg BB diperoleh kadar dalam
darah sebesar 20-35 g/mL pada anak-anak. Dengan dosis 750 mg tiap 6 jam pada
orang dewasa akan diperoleh kadar lebih dari 50 g/mL.

Distribusi dan difusi ke seluruh cairan dan jaringan tubuh baik sekali. Sawar
darah otak dapat dilintasi dengan baik, karena obat ini terkonsentrasi di urin, tidak
diperlukan dosis besar untuk mengobati tuberkulosis saluran kemih.

Ekskresi maksimal tercapai dalam 2-6 jam setelah pemberian obat dan 50%
diekskresi melalui urin dalam bentuk utuh selama 12 jam pertama. Bila ada
insufisiensi ginjal, terjadi akumulasi obat dalam tubuh sehingga memperbesar
kemungkinan reaksi toksik.

SEDIAAN DAN POSOLOGI.

Sikloserin dalam bentuk kapsul 250 mg, diberikan 2 kali sehari. Dengan dosis
ini kemungkinan reaksi toksik kecil. Jika keadaan lebih berat, dapat diberikan
dosis lebih besar untuk jangka waktu yang lebih singkat. Hasil terapipaling baik
bila dicapai kadar lembah dalam plasma sebesar 20-30 g/mL. Oleh karena itu
sebaiknya kadar dalam plasma dipantau sewaktu-waktu selama pengobatan.
Sikloserin dosis besar (250-500 mg tiap 6 jam) dapat digunakan dengan aman bila
diberikan bersama piridoksin atau depresan SSP.

23
EFEK SAMPING.

Efek samping yang paling sering timbul dalam penggunaan sikloserin ialah
pada SSP dan biasanya terjadi dalam 2 minggu pertama pengobatan.gejalanya
ialah somnolen, sakit kepala, tremor, disartria, vertogo, gangguan tingkah laku,
paresis, serangan psikosis akut, dan konvulsi. Serangan dapat menyerupai epilepsi
grand mal atau epilepsi petit mal, dan insidensnya berhubungan dengan dosis
yang digunakan. Dosis 2 gram sehari dapat menimbulkan konvulsi pada 5-10
pasien; dengan menurunkan dosis menjadi 500 mg sehari, insidensnya mencolok
turun. Resiko konvulsi bertambah bila sikloserin diberikan bersama etil alkohol.

Karena efek pada SSP itu sikloserin dikontraindikasikan bagi pasien epilepsi,
dan mungkin berbahaya pada orang yang sedang depresi atau yang mengalami
ansietas.

4. ETIONAMID

Etionamid merupakan turunan tioisonikotinamid. Zat ini berwarna kuning dan


tidak larut dalam air.

AKTIVITAS ANTIBAKTERI.

In vitro, etionamid menghambat pertumbuhan M. tuberculosis jenis human


pada kadar 0,9-2,5 g/mL. Basil yang sudah resisten terhadap tuberkulostatik lain
masih sensitif terhadap etionamid. Mikobakterium jenis lain kurang sensitif
terhadap etionamid, atau memerlukan kadar yang lebih tinggi. Obat ini sama
efektifnya terhadap basil intrasel maupun ekstrasel.

Resistensi mudah terjadi bila dosis kurang tinggi atau obat ini digunakan
sendiri, timbul lebih lambat jika dikombinasi dengan streptomisin atau INH.

FARMAKOKINETIK.

Pada pemberian per oral, etionamid mudah diabsorpsi. Kadar puncak tercapai
dalam 3 jam dan kadar terapi bertahan selama 12 jam. Distribusi cepat, luas dan
merata ke seluruh cairan dan jaringan tubuh. Ekskresi berlangsung cepat dan
terutama dalam bentuk metabolitnya, hanya 1% dalam bentuk aktif.

EFEK SAMPING.

Efek samping yang paling sering dijumpai adalah anoreksia, mual, dan
muntah. Sering juga terjadi hipotensi postural yang hebat, depresi mental,
mengantuk, dan asthenia. Dapat pula terjadi rasa kecap metalik, sedangkan kejang
dan neuropati primer jarang terjadi.Efek samping lain pada sistem saraf mencakup

24
gangguan saraf olfaktorius, penglihatan kabur, diplopia, vertigo, parestesia, sakit
kepala, rasa lelah, dan tremor. Kemerahan kulit, purpura, stomatitis, ginekomastia,
impotensi, menoragi, akne, dan alopesia juga pernah dilaporkan.

Hepatitis terjadi pada sekitar 5% pasien yang menggunakan obat ini. Gejala
hepatotoksik hilang bila pengobatan dihentikan. Fungsi hati pasien yang mendapat
etionamid perlu diperiksa secara teratur dan penggunaannya dilanjutkan bersama
dengan piridoksin.

SEDIAAN DAN POSOLOGI.

Etionamid terdapat dalam bentuk tablet 250 mg. Dosis awal ialah dua kali 250
mg sehari, kemudian dinaikkan setiap lima hari dengan 125 mg sampai maksimal
1 g/hari. obat ini sebaiknya diberikan pada waktu makan untuk mengurangi iritasi
lambung.

STATUS DALAM PENGOBATAN.

Etionamid merupakan antituberkulosis sekunder yang harus dikombinasi


dengan antituberkulosis lain bila obat primer tidak efektif lagi atau
dikontraindikasikan. Obat ini tidak beredar di Indonesia.

5. KANAMISIN dan AMIKASIN

Kedua obat ini termasuk antibiotik golongan aminoglikosida. Kanamisin dan


amikasin bersifat bakterisid dengan menghambat sintesis protein bakteri. Efeknya pada
M. tuberculosis hanya bersifat supresif.

KANAMISIN

Kanamisin telah lama digunakan sebagai antituberkulosis lini-kedua untuk


pengobatan tuberkulosis yang disebabkan oleh bakteri yang sudah resisten
terhadap streptomisin, tetapi sejak ditemukan amikasin dan kapreomisin yang
relatif kurang toksik, maka kini telah ditinggalkan.

AMIKASIN

Amikasin adalah semisintetik kanamisin, dan lebih sensitif terhadap berbagai


enzim yang dapat merusak aminoglikosida lain. Peran amikasin sebagai
antituberkulosis lini kedua meningkat dengan bertambahnya kejaidan dan
prevalensi timbulnya tuberkulosis yang multidrug-resistant.

25
Umumnya mikobakteria yang multidrug-resistant tersebut masih peka
terhadap amikasin. Pada uji in vitro ada resistant silang antara amikasin dengan
kanamisin dan kapreomisin pada M. tuberculosis. Amikasin juga aktif terhadap
mikobakteria-atipik, M. fortuitum dan M. chelonei. Tidak ada resintesi silang
antara amikasin dan streptomisin.

FARMAKOKINETIK.

Melalui saluran cerna amikasin tidak diabsorpsi. Melalui suntikan


intramuskular dosis 500 mg/12 jam (15 mg/kg BB), mencapai kadar puncak 10-30
g/mL. Dosis dewasa yang dianjurkan 15 mg/kg BB/hari intramuskular atau
intravena selama 5 hari/ minggu selama 2 bulan kemudian dilanjutkan dengan 1-
1,5 mg dua atau tiga kali/minggu selama 4 bulan.

6. KAPREOMISIN

Kapreomisin adalah suatu antituberkulosis polipeptida yang dihasilkan juga oleh


Streptomyces sp. Obat ini terutama digunakan pada infeksi paru oleh M. tuberculosis
yang resisten terhadap antituberkulosis primer. Dibandingkan dengan kanamisin,
kapreomisin kurang toksik dan efek bakteriostatiknya lebih besar. Efektivitasnya hampir
sama dengan streptomisin, dan karena tak ada resistensi silang dengan streptomisin, obat
ini dapat digunakan untuk kuman yang telah resisten terhadap streptomisin.

EFEK SAMPING.

Pada hewancoba dan uji klinik, kapreomisin memperlihatkan nefrotoksisitas


dengan tanda antara lain naiknya BUN, menurunnya klirens kreatinin, dan
albuminuria. Oleh karena itu obat ini tidak digunakan rutin sebagai pengganti
streptomisin.

Kapreomisin juga merusak saraf otak VIII, oleh karena itu perlu dilakukan
audiometrik dan pemeriksaan fungsi vestibuler sebelum mulai pemberiannya.
Efek samping lain adalah hipokalemia, memburuknya angka-angka uji fungsi hati,
eosinofilia, leukositosis dan leukopensia, serta trombositopenia.

STATUS DALAM PENGOBATAN.

Kapreomisin hanya digunakan dalam kombinasi dengan antituberkulosis lain.


Dalam kombinasi dengan etambutol dan INH, obat ini terbukti bermanfaat dalam
terapi tuberkulosis yang gagal diobati. Kapreomisin tidak tersedia di Indonesia.

26
INDIKASI.

Sikloserin merupakan obat pilihan kedua untuk tuberkulosis. Obat ini hanya
digunakan pada kegagalan terapi dengan obat primer atau bila kumannya resisten
terhadap obat-obat itu. penggunaannya harus bersama dengan obat lain yang
efektif.

7. RIFAMBUTIN (ANSAMISIN)

Rifabutin suatu antibiotik derivat rifamisin seperti juga rifampisin dan rifapentin.
Obat ini aktif terhadap M. tuberculosis, M. avium-intraseluler dan M. fortuitum.
aktivitasnya mirip dengan rifampisin, dan terjadi resistensi silang dengan rifampisin.
Meskipun pada beberapa strain yang resisten terhadap rifampisin in vitro obat ini masik
tampak aktif pada penggunaan di klinik tidak bermanfaat, karena dasar resistensinya sama
yaitu melalui mutasi rpoB. Rifambutin suatu substrat dan induktor dari enzim-enzim
sitokrom P450, tetapi lebih lemah dari rifampisin karena itu diindikasikan untuk
pengobatan tuberkulosis pada pasien HIV yang juga menggunakan antiretrovial golongan
protease inhibitor atau NNRTI (non-nucleoside reserve transcriptase inhibitor)- misalnya
efafirenz-obat yang juga substrat sitokrom P450. Dosis terapi yang lazim ialah 300
mg/hari. bila diberikan bersama inhibitor protease dosis rifabutin diturunkan sampai 150
mg/hari. bila diberikan bersama efafirenz, dosis rifabutin yang dianjurkan 450 mg/hari.
rifabutin efektif untuk terapi pencegahan dan pengobatan infeksi disseminated atypical
mycobacteria pada pasien AIDS dengan CD4nya < 50/L. Obat ini efektif untuk terapi
pencegahan tuberkulosis sebagai obat tunggal dengan regimen terapi 6 bulan, atau
bersama pirazinamid dengan regimen terapi 2 bulan.

8. RIFAPENTIN

Suatu analog rifampisin. Obat ini aktif terhadap M. tuberculosis dan M. avium.
Rifapentin suatu induktor poten enzim sitokrom P450. Bersama dengan metabolitnya,
waktu paruh eliminasi obat ini 13 jam. Rifapentin diindikasikan untuk pengobatan
tuberkulosis pleh mikobakteria yang sensitif terhadap rifampisin. Dosis dewasa 600 mg
sekali atau dua kali seminggu.

27
2.5 Cara Pemilihan Obat Anti Tuberkulosis
Ada dua prinsip pengobatan tuberkulosis, yaitu a) paling sedikit menggunakan
dua obat, dan b) pengobatan harus berlangsung setidaknya 3-6 bulan setelah sputum
negatif untuk tujuan sterilisasi lesi dan mencegah kambuh.

Hanya basil yang sedang membelah yang dapat dibunuh oleh antituberkulosis.
Mycobacterium tuberculosis bersifat aerob obligat, karena frekuensi pembelahan dan
aktifitas metabolismenya bervariasi tergantung kadar oksigen di tempat hidupnya.
Selain itu, basil ini juga dipengaruhi oleh pH lingkungan sekitarnya. Ada hipotesis
yang menyatakan bahwa kuman tuberkulosis yang berkembang dalam lesi dapat
dibedakan atas 3 kelompok berdasarkan tempat basil berada. Pertama, basil yang
berada dalam kavitas (lesi rongga) dan aktif membelah karena tekanan oksigen dalam
kavitas ini tinggi dan suasananya netral atau agak basa. Kedua, basil yang berada
dalam basil berkiju tertutup dan membelah secara lambat atau intermiter (berselang)
karena tekana oksigen di sini rendah dan suasananya netral. Kelompok ketiga adalah
basil yang berada dalam sel makrofag yang suasananya asam. Basil di sini relatif
lambat membelah. Kemudian ada bukti bahwa efektivitas antituberkulosis berbeda
tergantung dari kecepatan pembelahan populasi basil dan pH lingkungannya. Inilah
yang mendasari pengobatan tuberkulosis dalam dua puluh tahun terakhir ini.

Pengobatan tuberkulosis paru-paru hampir selalu menggunakan tiga obat INH,


rifampisin, dan pirazinamid pada dua bulan pertama selama tidak ada resistensi
terhadap satu atau lebih antituberkulosis primer ini. Isoniazid dan rifampisin adalah
dua obat yang sangat kuat dan bersifat bakterisid untuk basil ekstasel, intrasel (dalam
makrofag), dan basil dalam jaringan yang berkiju. Tetapi rifampisin dan pirazinamid
lebih aktif pada basil dalam sel (makrofag) dan dalam jaringan berkiju dari pada
isoniazid (lihat Tabel 40-2).

Tabel 40-2. AKTIVITAS OBAT BERDASARKAN KECEPATAN PEMBELAHAN


BASIL TUBERKULOSIS DAN pH LINGKUNGAN

Obat Membelah cepat pH Membelah Lambat pH


netral/agak basa pH asam Netral
Streptomisin +++ 0 0
Isoniazid ++ + 
Rifampisin ++ + +
Pirazinamid + atau  ++ 0
Etambutol   0

Keterangan: 0 = tidak mempunyai aktivitas

 = aktivitas sebagai bakteriostatik

+, ++, +++ = aktivitas sebagai bakterisid dengan peningkatan aktivitasnya


(Drug Evaluation, 1995)
28
Streptomisin bersifat bakterisid hanya pada sebagian besar basil ekstrasel yang
membelah dengan cepat di lesi rongga. Penggunaan obat ini terbatas, karena harus diberikan
secara intramuskular dan jelas bersifar ototoksik dan nefortoksik. Kini streptomisin
digunakan untuk pengobatan tuberkulosis hanya bila terdapat resistensi terhadap salah satu
dari obat yang digunakan dalam paduan pengobatan jangka pendek.

Etambutol dalam dosis 15 mg/kg BB bersifat bakteriostatik, tetapi dalam dosis 25


mg/kg BB bersifat bakterisid. Alasan penggunaan obat ini dalam paduan terapi adalah karena
kemampuannya mencegah dan menghambat timbulnya resistensi terhadap obat lain dalam
paduan itu. biasanya etambutol tidak dimasukkan dalam paduan pengobatan baru, karena
khasiatnya dalam dosis biasanya hanya sebagai bakteriostatik, sedangkan harganya mahal.
Dalam memilih obat, selain dipertimbangkan efektivitasnya harus dipertimbangkan juga efek
samping atau efek toksiknya. Hal ini telah dibahas dalam uraian tentang masing-masing obat.

2.6 Regimen Pengobatan Tuberkulosis


Semula, sebelum ada hipotesis tentang populasi basil yang berbeda dalam
kecepatan pembelahannya, pengobatan tuberkulosis (TB) masih memakan waktu 18
bulan atau lebih walaupun menggunakan rifampisin. Pengobatan selama 18 bulan
tanpa rifampisin sekarang disebut sebagai “pengobatan jangka panjang”, sedangkan
pengobatan dengan rifampisin memakan waktu lebih pendek, antara 6-8 bulan, dan
disebut sebagai “pengobatan jangka pendek”. Kini semua pasien tuberkulosis diobati
dalam jangka pendek, kecuali terdapat kontraindikasi bagi rifampisin. Paduan terapi
jangka pendek ini sangat bervariasi dalam kompone dan lama pengobatan. Paduan
terapi jangka pendek ini terus disempurnakan melalui penelitian untuk memperkecil
biaya, mengurangi jumlah obat, dan memperpendek waktu tanpa mengurangi mutu
khasiat pengobatan.

Menurut Panduan WHO, Regimen Pengobatan TB terdiri atas dua fase, ialah:
Satu, Fase awal (initial phase) dan satu fase lanjutan (continoum phase). Regimen ini
ditulis dengan kode baku sebagai berikut: angka didepan satu fase menunjukkan
frekuensi pemberian obat per minggu. Kalau tidak ada angka dibelakang atau
disamping bawah huruf, menunjukkan pemberian obat setiap hari/minggu. Huruf di
dalam kurung menunjukkan obat dalam kombinasi tetap (fixed-dose combination =
FDC).

Contoh:

2 (HRZE)/4 (HR)

Fase awal 2 (HRZE), diberikan selama 2 bulan setiap hari dengan kombinasi tetap
isoniazid (H), rifampisin, pirazinamid (Z) dan etambutol (E). Kemudian dilanjutkan
dengan satu fase lanjutan 4(HR), artinya lama pengobatan 4 bulan dengan kombinasi
tetap INH dan rifampisin, tiga kali/minggu.

29
2(HR) ZE/6(HE).

Fase awal 2 bulan dengan kombinasi tetap INH dan rifampisin setiap hari ditambah
dengan pirazinamid dan etambutol. Pengobatan dilanjutkan dengan fase lanjutan 6
bulan dengan kombinasi tetap INH dan etambutol.

Beberapa paduan terapi untuk pasien dengan BTA ( basil tahan asam) positif akan
dibahas berikut ini:

(1) Paduan 9 HR, artinya pengobatan dilakukan selama sembilan bulan dengan
pemberian INH 300 mg dan rifampisin 600 mg setiap hari:selama 9 bulan.
(2) Paduan HR/8H2R2, artinya INH dan rifampisin diberikan setiap hari selama satu
bulan dengan dosis INH 300 mg dan rifampisin 600 mg per hari, disusun pemberian
INH 900 mg dan rifampisin 600 mg seminggu dua kali selama 8 bulan.
Kedua paduan terapi ini diterapkan di Amerika Serikat pada pasien yang tidak
mengandung basil resisten terhadap salah satu obat yang digunakan. Bila ada basil
resisten, maka pengobatan ditambah dengan pirazinamid atau etambutol. Pasien
diperiksa dahaknya untuk melihat perkembangan basil tahan asam setiap bulan
sampai basil tahan asam negatif. Selanjutnya pemeriksaan dilakukan 3 bulan sekali.
Pengobatan diteruskan sekurang-kurangnya 6 bulan setelah basil tahan asam negatif.
(3) Paduan 2HRZ/4HR terdiri dari dua bulan pertama diberikan INH 5 mg/kg BB
(maksimum 300 mg), rifampisin 20 mg/kg BB (maksimum 600 mg) dan pirazinamid
5 sampai 25 mg/kg BB (maksium 2 g) diberikan setiap hari pada dua bulan pertama.
Disusul dengan pemberian INH dan rifampisin selama 4 bulan berikutnya dengan
dosis yang sama. Paduan ini juga dilaksanakan di Amerika Serikat.
(4) Paduan 2HRZ/4HR2. Selama dua bulan pertama diberikan INH, rifampisin dan
pirazinamid dengan dosis yang sama dengan dosis paduan (3) disusul pemberian INH
5mg/kg BB (maksimum 900 mg) dan rifampisin 10 mg/kg BB (maksimum 600 mg)
diberikan dua kali seminggu selama 4 bulan berikutnya. Paduan ini diterapkan di
Amerika Serikat dan beberapa negara lain.
(5) Paduan 2 HRZ/4H3R3, 2 bulan pertama diberikan INH, rifampisin, dan pirazinamid
setiap hari disusul INH dan rifampisin 3 kali seminggu selama 4 bulan berikutnya.
Paduan ini banyak digunakan di negara-negara yang sedang berkembang.
(6) Paduan 2H3R3Z3/4H3R3, artinya selama 6 bulan diberikan obat hanya 3 kali
seminggu. Untuk dua bulan pertama diberikan INH, rifampisin, dan pirazinamid saja
3 kali seminggu selama 4 bulan berikutnya. Paduan ini sedang dalam penelitian lebih
lanjut.

30
(7) Pada paduan 2HRZE/4H3R3, diberikan INH 300 mg, rifampisin 450 mg, etambutol
750 mg, dan pirazinamid 1500 mg setiap hari selama 2 bulan pertama dilanjutnya
dengan pemberian INH 600 mg dan rifampisin 450 mg 3 kali seminggu selama 4
bulan. Paduan ini diterapkan pada program pemberantasan tuberkulosis dengan BTA
positif di Indonesia mulai tahun 1993. Paduan ini dibuat berdasarkan dengan anjuran
WHO dengan penyesuaian dosis berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari
program yang telah dilaksanakan sejak beberapa tahun.
(8) Paduan 2HRZ/2H3R3 berarti selama 2 bulan diberikan setaip hari INH 300 mg,
rifampisin 450 mg, dan pirazinamid 1500 mg, disusul kemudian INH 600 dan
rifampisin 450 mg diberikan 3 kali seminggu selama 2 bulan. Paduan ini diterapkan
dalam program pemberantasan pada yang BTA-nya negatif, tetapi gambaran roengen
positif.

DOTS (Directly Observed Treatment, Short-Course)

DOT ialah Strategi Program pemberantasan TB yang direkomendasikan oleh


WHO memastikan mencapai hasil penyembuhan pasien TB yang tinggi. Strategi
observasi langsung pada program ini maksudnya 1 pengawas makan obat (PMO)
melihat pasien menelan obat anti-tb yang diberikan. Hal ini untuk menjamin bahwa
pasien makan obat yang benar, dosis benar, dan pada interval waktu yang benar.
Pengawas makan obat (PMO) bisa seorang pengawas kesehatan atau anggota
masyarakat yang sudah dilatiih. Karena semua pasien diobati dengan regimen jangka
pendek (short course) maka DOTS merupakan strategi yang dianjurkan, kecuali
terdapat kontraindikasi untuk rifampisin.

2.7 Regimen Pengobatan Pada Pasien Defisiensi Imun

Infeksi tuberkulosis pada pasien defisiensi imun terutama pasien AIDS atau
pengidap HIV biasanya lebih cepat berkembang dan sukar sembuh karena daya
imunitasnya sangat menurun. Oleh karena itu mereka perlu mendapat pengobatan
lebih intensif. The Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat menganjurkan
agar pengobatan pasien semacam ini sedikitnya diberikan selama sembilan bulan. Dua
bulan pertama diberikan INH, rifampisin, dan pirazinamid setiap hari, disusun
pemberian INH dan rifampisin sekurang-kurangnya selama 7 bulan berikutnya.
Etambutol ditambahkan pada awal pengobatan untuk pasien tuberkulosis susunan
saraf pusat atau tuberkulosis yang meluas atau dicurigai adanya mycobacterium
tuberculosis yang resisten terhadap isoniazid. Pengobatan ini minimal harus
berlangsung 6 bulan setelah 3 kali berturut-turut biakan hasil tahan asam negatif. Pada

31
pasien dengan HIV positif lebih sering terjadi efek samping. Bila INH atau rifampisin
tidak dapat digunakan, maka pengobatan harus berlangsung sekurang-kurangnya 18
bulan (pengobatan jangka panjang).

2.8 Tablet Kombinasi Tetap Anti Tuberkulosis

Sejak tahun 1994, WHO merekomendasikan agar obat anti-tuberkulosis (anti-


TB) dan obat anti-TB kombinasi tetap (fixed-dose combination=FDC) dicantumkan
dalam Daftar Obat Esensial WHO (the WHO Essential Drug List=EDL). Pada tahun
1999 satu FDC terdiri dari 4 obat termasuk dalam daftar obat tersebut.

Obat kombinasi tetap mempunyai berbagai keuntungan dibandingkan dengan


obat bentuk tunggal : (1) kekeliruan dalam peresepan berkurang karena dosis yang
dianjurkan lebih jelas dan penyesuaian dosis terhadap berat badan lebih mudah; (2)
jumlah tablet yang dimakan lebih sedikit, sehingga hal ini bisa meningkatkan
kepatuhan pasien makan obat; (3) bila terapi tidak diamati, pasien tidak bisa memilih
obat sesuka hati. Namun demikian, FDC juga mempunyai kerugian yaitu, (1) dapat
terjadi kesalahan preskripsi obat, dosis sangat berlebihan (risiko toksisitas) atau kadar
sub inhibitor semua obat (resiko timbul resistensi); (2) petugas kesehatan dapat
cenderung menghindari DOT terapi, karena merasa yakin kepatuhan makan obat
terjamin; (3) bioavailabilitas rifampisin rendah untuk beberapa FDC dapat terjadi
terutama dalam kombinasi 3 atau 4 obat; (4) penggunaan FDC tidak menghilangkan
kebiasaan makan lebih dari satu obat sehingga timbul toksisitas. Dengan
mempertimbangkan risiko dan manfaat, WHO menganjurkan dengan sangat
penggunaan tablet FDC untuk pengobatan TB, bila kondisi sesuai.

Tabel 40-6. FORMULASI ANTI-TB ESENSIAL ANJURAN WHO*

Preparat Tunggal

Obat Bentuk Kekuatan

INH, Tablet 100 mg, 300 mg

Rifampisin Tablet atau Kapsul 150 mg, 300 mg

Pirazinamid Tablet 400 mg

Etambutol Tablet 100 mg, 400 mg

Streptomisin Bubuk untuk suntik dalam 1g


vial

Preparat Kombinasi-Tetap (FDC = Fixed Dose Combination)


32
Obat Bentuk Dosis untuk setiap Dosis untuk 3
hari kali/minggu

INH + Rifampisin Tablet 75 mg + 150 mg 150 mg + 150 mg

150 mg + 150 mg

Tablet atau granul 30 mg + 60 mg 60 mg + 60 mg


dalam kemasan**

INH + Etambutol Tablet 150 mg + 400 mg

INH + Rifampisin Tablet 75 mg + 150 mg + 400 150 mg + 150 mg


+ Pirazinamid mg
+ 500 mg

Tablet atau granul 30 mg + 60 mg + 150


dalam kemasan** mg

INH + Rifampisin Tablet 75 mg + 150 mg + 400


+ Pirazinamid + mg + 275 mg
Etambutol

Sumber : *WHO Drug Information, 1999.

** untuk anak.

33
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Efek Samping dari Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis

Walaupun sebagian besar antituberkulosis dapat diterima dalam terapi,


semuanya mempunyai efek toksis potensial. Kesalahan yang banyak dilakukan oleh
para dokter ialah kegagalan mengenali efek toksik secara cepat. Kesalahan yang lebih
umum ialah gagalnya membedakan antara efek samping dengan gejala-gejala yang
tidak ada hubungannya dengan obat, dan ini dapat membatalkan penggantian satu
obat dari paduan obat atau salah mengganti, sehingga pengobatan tidak berhasil.
Reaksi hipersensitivitas sering kali terjadi antara minggu ketiga dan ke delapan
setalah pengobatan dimulai. Jika satu atau sekelompok obat dapat diterima baik
sekurang-kurangnya selama 4 bulan, biasanya masa pengobatan akan dilalui dengan
baik. Reaksi hipersensitivitas awal umunya berupa gejala demam, takikardi, anoreksia
dan malaise. Pada saat itu hasil pemeriksaan laboratorium biasanya masih dalam batas
normal, kecuali eosinofilia. Bila pemberian obat segera dihentikan maka gejala-gejala
cepat hilang. Jika tidak segera dihentikan, reaksi akan memburuk dan seringdisertai
reaksi kulit seperti dermatitis eksfoliatif, hepatitis,kelainan ginjal dan diskrasia darah
akut. Reaksi yang berat dapat bersifat fatal. Timbulnya reaksi hipersensitivitas
terhadap 1 antituberkulosis mengakibatkan resiko terhadap obat lainnya meningkat.
Bila reaksi itu terjadi, maka semua antituberkulosis harus dihentikan kecuali bila
penyakit mengancam hidup pasien. Setalh reaksi hipersensitivitas mereda, pengobatan
dimulai lagi dengan satu obat yang di dahului pemberian dosis uji. Penambahan
antituberkulosis lain dilakukan segera bila pasien telah dapat menerimanya, sehingga
terlaksana pengobatan yang adekuat. Desensitisasi terhadap streptomisin kini tidak
dianjurkan lagi karena banyak obat yang efektif. Efek lai yang efektif. Efek toksin
antituberkulosis terutama yang berhubungan dengan dosis dapat dicegah dengan
memperhitungkan lebih teliti umur, berat badan, dan kesehatan umum pasien. Adanya
gangguan fungsi ginjal akan menyebabkan kadar obat dalam darah meningkat dan
dapat menyebabkan toksisitas. Dosis kecil pada usia lanjut mungkin sudah cukup
untuk mencapai kadar terapi, demikian juga pada orang dewasa yang bertubuh kecil.

Pemberian INH bersama rifampisin menyebabkan meningkatnya insidens


hepatotoksik yang ternyata berbeda di tiap negara. Studi di India menunjukkan
kejadia hepatitis akibat pemberian INH bersama rifampisin antara 8-50%. Nilai ini
lebih tinggi dari pada angka kejadian di Eropa Barat dan Amerika Serikat yang hanya
sekitar 2-3%. Perbedaan nilai persentase ini diduga karena pemberian obat di India
dilakukan tanpa pemeriksaan terhadap adanya penyakit atau keadaan yang
memudahkan terjadinya hepatitis, misalnya adanya malnutrisi, infeksi parasit, infeksi
virus kronik, dan predisposisi genetik.

34
Tabel 40-7. EFEK SAMPING ANTI-TB DAN ANJURAN PENANGGULANGAN

Efek-samping Obat yang mungkin jadi Tatalaksana


penyebab

Minor Teruskan obat, sesuaikan


dosis

Anoreksia, mual, nyeri Pirazinamid, rifampisin Berikan obat bersama


abdomen makanan ringan

Nyeri sendi Pirazinamid Aspirin

Rasa terbakar pada kaki INH Piridoksin 100 mg/hari

Urine jingga/merah Rifampisin Beri tahu pasien sebelum


mulai terapi, bahwa ini sering
terjadi dan tidak bahaya.

Mayor Hentikan Obat Penyebab

Tuli Streptomisin Streptomisin ganti dengan


etambutol

Pusing (vertigo dan Streptomisin Streptomisin ganti dengan


nistagmus) etambutol

Jaundice – hepatitis INH, pirazinamid, rifampisin Hentikan anti-TB

Bingung (suspek gagal-hati Anti-TB umumnya Segera uji fungsi hati dan
akut oleh obat bila jaundice waktu protrombin
positif)

Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol

Syok, purpura, gagal ginjal Rifampisin Hentikan rifampisin


akut

3.2 Resistensi Mikobakteri Terhadap Anti Tuberkulosis


Resistensi kuman adalah salah satu masalah penting dalam pengobatan
tuberkulosis. Walaupun pada pembahasan masing-masing obat masalah ini telah
disinggung, tampaknya perlu dikemukakan lagi dalam kaitannya dengan pengobatan.
Yang harus diingat adalah pada penggunaan obat tunggal akan cepat dan mudah
terjadi resistensi. Atas dasar ini pengobatan tuberkulosis selalu mencakup dua obat
atau lebih untuk mencegah dan memperlambat terjadinya resistensi. Adanya resistensi

35
terhadap antituberkulosis pada pasien yang belum pernah diobati telah banyak
dipublikasi namun, banyak ahli berpendapat masalah ini belum sampai mengancam
penggunaan obat yang efektif. Banyak publikasi mengatakan bahwa angka kejadian
resistensi basil tuberkulosis yang diisolasi dari pasien bergantung pada daerah
geografik, etnik, dan sosioekonomi populasi yang diteliti. Dalam suatu studi,
resistensi basil terhadap streptomisin, isoniazid, dan rifampisin pada pasien yang telah
mendapatkan pengobatan di negara Amerika Latin, Asia, atau Afrika, lebih sering
terjadi dibandingkan dengan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada
dan Eropa. Di negara-negara yang sedang berkembang, kasus tuberkulosis banyak dan
insidens resistensi terhadap isoniazid dan streptomisin atau kedua-duanya terus
meningkat. Untuk mycobacetirum tuberculosis yang telah resisten terhadap salah satu
obat harus digunakan antituberculosis lasin yang masih efektif terhadap kuman
tersebut. Mycobacterium atypic beberapa resisten terhadap beberapa antituberkulosis,
oleh karena itu sebelum pengobatan perlu dilakukan uji kepekaan in vitro. Sebenarnya
pengujian ini bukan hanya perlu terhadap mycobakterium atipik saja, tetapi juga pada
pengobatan tuberkulosis paru-paru agar pemilihan obat lebih tepat sehingga hasil
pengobatan lebih baik. Tetapi karena uji kepekaan ini cukup mahal dan menambah
beban pasien, maka hal ini sering dilupakan.
Resistensi terhadap obat anti tuberkulosis (OAT), termasuk resistensi ganda
OAT atau multidrug resistent tuberculosis (MDR TB/TB MDR) merupakan tantangan
penting dalam program pengendalian TB dan merupakan masalah kesehatan utama di
beberapa negara. Pengobatan pasien TB MDR lebih sulit, mahal, banyak efek
samping dan angka kesembuhannya relatif rendah. Penyebaran resistensi obat di
berbagai negara tidak diketahui dan tatalaksana pasien TB MDR masih tidak adekuat.
Resistensi kuman M. tuberculosis terhadap OAT adalah keadaan di mana
kuman tersebut sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan OAT. Pada kasus baru resisten
OAT terdapat galur M. tuberculosis pada pasien baru yang didiagnosis TB dan
sebelumnya tidak pernah diobati dengan OAT atau durasi kurang dari 1 bulan. Pasien
ini terinfeksi galur M. tuberculosis yang resisten OAT disebut dengan resistensi
primer. Kasus resisten OAT yang telah diobati sebelumnya yaitu terdapatnya galur M.
tuberculosis resisten pada pasien selama mendapatkan terapi TB paling sedikit 1
bulan. Pada awalnya TB resisten OAT terjadi karena terinfeksi galur M. tuberculosis
yang masih sensitif obat tetapi selama perjalanan terapi timbul resistensi obat atau
disebut dengan resistensi obat yang didapat atau resistensi sekunder.
Resistensi primer berarti seseorang terinfeksi strain TB resisten obat.
Transmisi dari TB resisten obat terjadi dengan cara yang sama dengan TB yang rentan
obat. Prevalens yang tinggi dari TB resisten obat di masyarakat meningkatkan pajanan
risiko resistensi obat di masyarakat. Tidak terdiagnosis, tidak diobati dan pengobatan
yang buruk dari TB resisten obat memberikan kontribusi untuk kelanjutan prevalens
yang tinggi serta proporsi yang tinggi terhadap kasus TB resistensi obat di
masyarakat.

36
3.3 Penilaian Hasil Pengobatan Anti Tuberkulosis

Penilaian tentang hasil pengobatan tuberkulosis dengan BTA positif paling


baik dilakukan setiap bulan sampai hasil pemeriksaan BTA negatif. Pada pengobatan
jangka pendek biasanya 80% hasil pemeriksaan BTA akan negatif dalam waktu 3
bulan. Kalau tidak, harus dilakukan penilaian ulang. Uji resistensi perlu dilakukan dan
kepatuhan dalam makan obat harus terus ditekankan. Bila terjadi resistensi, paduan
terapi harus diubah dengan memasukkan paling sedikit 2 obat yang masih efektif
terhadap basil yang resisten. Pemeriksaan sputum dilakukan setiap bulan sampai hasil
pemeriksaan BTA negatif. Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan dengan
paduan pengobatan 6 bulan atau 9 bulan tidak perlu secara rutin diikuti terus. Secara
individual pasien penyebab basil resisten perlu diamati lebih lanjut.

Pada pasien yang BTA-nya negatif pada awal pengobatan, penialaian yang
praktis dilakukan dengan pemeriksaan radiologi toraks dan pemeriksaan klinik. Bila
setelah 3 bulan gambaran radiologik dan klinik tidak menunjukkan perbaikan,
mungkin ada hal-hal yang luar biasa atau penyakit lain. Tetapi bila jelas uji tuberculin
positif, diberikan pengobatan INH selama 1 tahun atau INH bersama rifampisin
selama 6 bulan.

Kegagalan pengobatan dapat terjadi karena mungkin paduan pengobatan tidak


memadai, dosis tidak cukup, makan obat tidak teratur, masa pengobatan kurang lama,
adanya kuman yang resisten atau menjadi resisten, putus beribat (drop out), adanya
kerusakan jaringan yang luas, dan mungkin juga karena organisasi pelayanan
kesehatan yang tidak memadai sehingga obat atau fasilitas lainnya tidak tersedia pada
waktunya.

3.4 Pengobatan Ulang Anti Tuberkulosis

Pengobatan ulang dilakukan bila terjadi kegagalan dalam pengobatan atau


penyakit kambuh setelah pengobatan selama 6 bulan atau 9 bulan atau drop out.
Pengobatan dinyatakan gagal bila setelah 6 bulan pengobatan hasil uji BTA tetap
positif. Pada pasien ini perlu dilakukan uji kepekaan. Smbil menunggu hasil uji
kepekaan, pengobatan dapat dilanjutkan dengan paduan terapi yang sama dengan
menambahkan 2 obat yang sebelumnya tidak pernah digunakan. Kepatuhan makan
obat harus diyakini benar dengan observasi langsung pada pemberian obat. Kegagalan
pada pengobatan awal biasanya disertai adanya basil yang resisten.

Kambuhan setelah pengobatan yang berhasil sering disebabkan oleh galur


basil yang sama dengan basil yang diisolasi selama pengbatan.

37
Pengobatan ulang dalam kasus ini juga menambahkan dua obat yang aktif
terhadap basil tersebut. Bila basil resisten terhadap INH, maka pemberian rifampisin
bersama etambutol biasanya akan memadai. Ada penulis yang mengajukan
penambahan pirazinamid, ada pula yang menganjurkan penggunaan streptomisin 1 g
per hari (30 mg/kg BB per hari) selama 6 sampai 8 minggu pertama sebelum
mendapatkan hasil uji kepekaan. Karena resistensi terhadap rifampisin relatif jarang,
maka rifampisin merupakan salah satu obat yang harus diberikan. Bila terjadi
resistensi multipel, harus ditangani secara individual.

3.5 Cara Pengobatan Pencegahan Tuberkulosis

Profilaksis diberikan kepada dua jenis pasien ini.

(1) Individu dengan kontak positif, tetapi uji Mantoux negatif. Tujuan profilaksis disini
ialah mencegah infeksi (True Chemoprophylaxis). Obat yang diberikan isoniazid 300
mg per hari dengan piridoksin 15 sampai 50 mg per hari. dosis isoniazid untuk anak
ialah 10 mg/kg BB (maksimum 300 mg sehari). Piridoksin jarang diperlukan untuk
anak kecil. Uji kulit dilakukan lagi dalam 3 bulan. Bila negatif dan kontak telah
terhenti, pemberian obat dihentikan. Bila positif atau kontak masih berlangsung, obat
diberikan selama 12 bulan.
(2) Individu yang telah terinfeksi tetapi tanpa gejala klinik (uji Mantoux) positif, tetapi
gambaran radiologik normal). Tujuan profilaksis disini ialah mencegah timbulnya
penyakit yang aktif (Chemoprophylaxis of Sub Clinical Infection). Obat yang
diberikan isoniazid 300 mg sehari dengan piridoksin 50-50 mg/hari semala 12. Dosis
isoniazid untuk anak ialah 10 mg/kg BB (maksimum 300 mg sehari).
Dewasa ini, Amerika Thoracic Society, American Lung Asociation, dan
Centers for Disease Control menganjurkan pemberian profilaksis untuk: 1) semua
individu yang kontak dengan pasien tuberkulosis paru-paru aktif; 2) individu dengan
uji mantoux postif disertai kelainan gambaran radiologik paru-paru yang konsisten
dengan penyakit tuberculosis sebelumnya, termasuk mereka dengan riwayat
tuberculosis yang tidak mendapat terapi memadai; 3) individu yang mengalami
koversi uji mantoux menjadi positif dalam waktu 2 tahun; 4) individu terinfeksi
dengan resiko tinggi misalnya kerana mendapat kortikosteroid atau obat
imunosupresif; 5)pasien penyakit tertentu dengan daya tahan menurun misalnya
leukimia, penyakit hodgkin, diabetes, silikosis daan pasca – gastrektomi. Selain itu
profilaksis harus diberikan pada anak dibawah 6 tahun dengan reaksi mantoux positif
dan dianjurkan pula untuk individu dengan reaksi mantoux positif dibawah 35 tahun,
kecuali wanita hamil.

38
3.6 Hubungan Kepatuhan Pasien dalam Pengobatan terhadap Tingkat
Kesembuhan Pasien Tuberkulosis
Secara umum, istilah kepatuhan (compliance atau adherence) didiskripsikan
dengan sejauh mana pasien mengikuti instruksi-instruksi atau saran medis. Terkait
dengan terapi obat, kepatuhan pasien didefinisikan sebagai derajat kesesuaian antara
riwayat dosis yang sebenarnya dengan regimen dosis obat yang diresepkan. Oleh
karena itu, pengukuran kepatuhan pada dasarnya mempresentasikan perbandingan
antara dua rangkaian kejadian, yaitu bagaimana nyatanya obat diminum dengan
bagaimana obat seharusnya diminum sesuai resep. Dalam konteks pengendalian
tuberkulosis paru atau TB paru, kepatuhan terhadap pengobatan dapat didefinisikan
sebagai tingkat ketaatan pasien- pasien yang memiliki riwayat pengambilan obat
terapeutik terhadap resep pengobatan.

Tingkat kepatuhan pemakaian obat TB paru sangatlah penting, karena bila


pengobatan tidak dilakukan secara teratur dan tidak sesuai dengan waktu yang telah di
tentukan maka akan dapat timbul kekebalan (resistence) kuman tuberkulosis terhadap
Obat Anti tuberkulosis (OAT) secara meluas atau disebut dengan Multi Drugs
Resistence (MDR). Ketidakpatuhan terhadap pengobatan akan mengakibatkan
tingginya angka kegagalan pengobatan penderita TB paru, sehingga akan
meningkatkan resiko kesakitan, kematian, dan menyebabkan semakin banyak
ditemukan penderita TB paru dengan Basil Tahan Asam (BTA) yang resisten dengan
pengobatan standar. Pasien yang resisten tersebut akan menjadi sumber penularan
kuman yang resisten di masyarakat. Hal ini tentunya akan mempersulit
pemberantasan penyakit TB paru di Indonesia serta memperberat beban pemerintah.

Ketidakpatuhan pasien tuberkulosis paru untuk minum obat secara tuntas di


sebabkan karena obat TB paru harus dikonsumsi dalam jangka waktu yang panjang
sehingga akan memberikan tekanan psikologis bagi penderita karena harus menjalani
pengobatan yang lama. Pasien dengan tingkat kepatuhan yang rendah umumnya
dikarenakan setelah menjalani terapi 1-2 bulan atau lebih, penderita akan merasakan
sembuh karena berkurang atau hilangnya gejala penyakit maka pendrita akan malas
untuk meneruskan pengobatan kembali. Efek samping obat TB paru yang sering
timbul juga menjadi salah satu alas an ketidakpatuhan pasien menkonsumsi obat
samapai tuntas, salah satunya adalah menyebabkan berkurangnya nafsu makan.

Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan Pasien dalam


Pengobatan Tuberkulosis diantaranya:

39
1. Penggunaan Tablet Kombinasi Obat Anti Tuberkulosis (KDT)

Dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi di bidang farmasetika, saat


ini telah dibuat tablet kombinasi OAT yang dikenal dengan KDT. Dengan adanya
KDT ini diharapkan kepatuhan TB dalam minum OAT dapat ditingkatkan sehingga
akan meningkatkan kesembuhan. OAT KDT adalah tablet kombinasi yang terdiri dari
beberapa macam obat anti TB tanpa mengganggu ketersediaan hayati obat tersebut.
Namun demikian, seperti pada obat tunggal, untuk menjamin kualitas obat,
pemantauan mutu dari KDT harus dilaksanakan secara berkala.

Obat-obat TB kebanyakan formulasinya adalah tablet mengingat tablet


memiliki beberapa keuntungan dibandingkan bentuk sediaan farmasi lainnya. Namun
terdapat masalah pada anak yang tidak mampu atau tidak mau menelan tablet setiap
hari sehingga perlu diberikan formulasi yang tepat agar pengobatan TB menjadi
efektif. Keuntungan utama dari KDT adalah peningkatkan kepatuhan pasien dengan
hanya meminum lebih sedikit tablet (1–2 tablet) dibandingkan tunggal dan efektivitas
tetap terjaga.

Penggunaan KDT memiliki berbagai keuntungan diantaranya lebih aman dan


mudah pemberiannya karena satu tablet KDT mengandung beberapa jenis obat yang
diperlukan. Oleh karena itu, pemberian obat tunggal pada pengobatan TBC yang
dapat menyebabkan resistensi dapat dicegah. Keuntungan lainnya penderita merasa
lebih nyaman karena menelan tablet dalam jumlah yang lebih sedikit (meningkatkan
penerimaan dan kepatuhan terhadap OAT). Keuntungan selanjutnya dosis obat lebih
sesuai dengan berat badan penderita. Pengelolaan obat lebih mudah pada semua
tingkat pelaksana karena hanya dengan beberapa jenis tablet sudah dapat memenuhi
semua kebutuhan.

Keuntungan penggunaan OAT KDT dalam pengobatan TB diantaranya


meningkatkan penerimaan dan kepatuhan penderita. Kepatuhan pengobatan adalah
salah satu kunci keberhasilan terapi. Kepatuhan pengobatan adalah salah satu usaha
dari diri sendiri untuk menyembuhkan dirinya. Gejala klinis akhir pada pengobatan
TB anak dapat dijadikan pemantauan kemajuan pengobatan.

2. Pengaruh Diri Sendiri Terhadap Tingkat Kepatuhan

Motivasi atau keinginan yang kuat dari dalam diri sendiri, menjadi faktor
utama pada tingginya tingkat kepatuhan pasien dalam menjalani terapi obat TB paru.
Motivasi untuk tetap mempertahankan kesehatannya sangat mempengaruhi terhadap
faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pasien dalam mengontrol
penyakitnya. Serta kenyakinan dalam diri sendiri, merupakan dimensi spiritual yang
dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien.

40
Pasien yang berpegang teguh terhadap kenyakinannya akan memiliki jiwa
yang tabah dan tidak mudah putus asa serta dalam menerima keadaaanya.

3. Peran Keluarga Terhadap Tingkat Kepatuhan Pasien

Peran Keluarga sebagai Pengawas Menelan Obat (PMO) sangat diperlukan


untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat. PMO sangat dibutuhkan pada tahap
intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk
mencegah terjadinya kekebalan (resistensi) terhadap semua OAT (Obat Anti
Tuberkulosis terutama Rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan
secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu
2minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan (pada akhir pengobatan intensif). Pada tahap lanjutan pasien mendapat
jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan
penting untuk membunuh kuman persisten sehinga mencegah terjadinya kekambuhan.

Peran seorang pengawas menelan obat atau tindakan yang dinilai terdiri dari
meningkatkan pasien untuk minum obat secara teratur dan tidak terputus,
meningkatkan pasien untuk datang berobat/ kontrol dan memeriksakan ulang dahak
sesuai waktu yang telah ditentukan, memberikan semangat untuk sembuh, membantu
biaya/ ongkos berobat, menganjurkan agar pasien banyak beristirahat, memberikan
pasien makanan yang bergizi serta membersihkan rumah dan lingkungan dengan baik.

Motivasi dan dukungan keluarga dalam meningkatkan kepatuhan pemakaian


obat pada pasien akan sangat di butuhkan dan akan sangat membatu dalam
meningkatkan kepatuhan pemakaian obat. Besarnya dukungan keluarga dan selalu
diingatkan untuk minum obat tepat waktu menjadi alasan utama kenapa pasien
penderita TB patuh.

4. Peran Petugas (Sistem Pelayanan Kesehatan) terhadap Tingkat Kepatuhan


Pasien

Sementara menurut Senewe (2002) menyatakan bahwa faktor pelayanan


kesehatan mempengaruhi terhadap kepatuhan berobat penderita TB paru. Faktor
pelayanan kesehatan ini meliputi penyuluhan kesehatan, kunjungan rumah,
ketersediaan obat TB (OAT), mutu obat TB (OAT), ketersediaan sarana transportasi
dan jarak. Tindakan atau peran petugas di rumah sakit selama memberikan pelayanan
kesehatan ke pada penderita tuberkulosis paru sangatlah penting dalam memberikan
informasi tentang pentingnya meminum obat secara teratur dan tuntas, menjelaskan
mengenai aturan minum obat yang benar dan gejala efek samping yang mungkin

41
dialami pasien, kesediaan petugas mendengarkan keluhan pasien dan memberikan
solusinya, dan peran petugas dalam memberikan penyuluhan kesehatan kepada
keluarga pasien.

Penggunaan kombinasi obat TB paru akan lebih mempercepat keberhasilan


terapi dibandingkan dengan menggunakan obat tunggal. Penggunaan obat tunggal
akan menyebabkan bakteri TB paru sering resisten (kebal) terhadap obat tersebut dan
membuat penyakit TB paru sukar untuk disembuhkan . Penggunaan obat kombinasi
dengan RHZE akan mempengaruhi terhadap kepatuhan dalam berobat karena jumlah
obatnya yang terlalu banyak sehingga menyebabkan penderita kadang lupa minum
obat. Sedangkan kalau menggunakan obat FDC akan lebih sedikit dalam meminum
obatnya karena FDC merupakan ganbungan dari OAT menjadi satu sehingga akan
meningkatkan kepatuhan yang lebih besar.

3.7 Hubungan Lama Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis dengan Efek


Samping Pada Pasien

Tatalaksana pengobatan TB MDR akan berlangsung selama 18 sampai 24


bulan. Oleh karena pasien menjalani terapi dalam kurun waktu yang lama, sehingga
terapi TB MDR sering dihubungkan dengan kejadian efek samping mulai dari yang
ringan sampai yang berat. Terapi TB MDR menggunakan minimal 5 obat dengan
beberapa jenis obat sehingga menyebabkan beberapa permasalahan dalam hal
toleransi terhadap obat-obatan tersebut.

Lama terapi dilihat dari rentang waktu sejak dimulai pengobatan tahap awal
saat mulai terdiagnosis TB MDR hingga pemeriksaan terakhir. Lama terapi
dikategorikan menjadi terapi jangka pendek (untuk pasien yang sedang menjalani
terapi 4-6 bulan); terapi jangka menengah (untuk pasien yang sedang menjalani terapi
7-17 bulan); dan terapi jangka panjang (untuk pasien yang sedang menjalani terapi
18-24 bulan).

Efek samping obat dikategorikan menjadi ringan dan berat. Efek samping obat
dilihat dari gejala dan keluhan yang dialami pasien. Efek samping obat ringan apabila
pengobatan yang dijalani saat terjadinya keluhan tersebut tetap dilanjutkan dan
diberikan petunjuk cara mengatasinya atau pengobatan tambahan untuk
menghilangkan keluhan. Sedangkan efek samping obat berat apabila pengobatan
harus dihentikan sementara dan pasien dirujuk kepada dokter atau fasyankes rujukan
guna penatalaksanaan lebih lanjut.

42
Jenis obat anti tuberkulosis yang digunakan adalah OAT lini pertama yang
masih sensitif seperti Pirazinamid, Etambutol (Kelompok 1) dengan kombinasi OAT
lini kedua seperti Kanamisin dan Kapreomisin (Kelompok 2 injeksi), Levofloksasin
(Kelompok 3), Sikloserin, Etionamid, Para Amino Salisilat (Kelompok 4) serta
penambahan Vitamin B6. Penggunaan PAS (Para Amino Salisilat) diberikan hanya
ketika penggunaan sikloserin dihentikan.

Pasien yang mengalami keluhan seperti pusing, hiperurisemia, nyeri lutut dan
persendian, gatal-gatal, susah tidur, mual dan muntah, mengalami penurunan berat
badan, serta linglung tergolong mengalami efek samping yang ringan. Hal tersebut
dikarenakan penanganan yang diberikan oleh pihak rumah sakit berupa pengobatan
tambahan untuk menghilangkan keluhan yang dialami dengan tidak menghentikan
pengobatan sebelumnya. Sedangkan untuk pasien yang mengalami halusinasi,
langkah penanganan yang diberikan pihak rumah sakit yaitu menghentikan sementara
atau seterusnya salah satu pengobatan yang diduga menyebabkan efek samping
tersebut. Pasien kemudian dirujuk kepada dokter spesialis lainnya atau fasyankes
rujukan guna penatalaksanaan lebih lanjut. Dalam hal ini pasien dikatakan mengalami
efek samping berat.

Dari hasil penelitian, efek samping yang paling banyak terjadi adalah mual
dan muntah serta sakit kepala. OAT lini kedua yang mungkin menyebabkan efek
samping tersebut adalah etionamid, PAS dan levofloksasin. Tidak hanya OAT lini
kedua, OAT lini pertama yang menjadi regimen standar TB MDR yaitu pirazinamid
dan etambutol juga dapat menyebabkan efek samping tersebut. Refleks muntah secara
umum dikoordinasikan oleh pusat muntah yang terletak di batang otak.

Pusat muntah dapat menerima rangsangan dari emetogen kimia yang berada
pada sirkulasi melalui area postrema, sistem saraf pusat, dan sistem vestibular.

Penurunan berat badan pasien diakibatkan oleh menurunan nafsu makan, sakit
perut serta mual yang dialami karena menggunakan terapi isoniazid, rifampisin serta
pirazinamid. Penurunan nafsu makan kemungkinan juga disebabkan karena mual dan
muntah yang dirasakan pasien. Dalam penelitian juga ditemukan pasien yang
mengalamani anoreksia.

Efek samping mual dan muntah merupakan keluhan yang sering terjadi pada
kasus TB MDR. Pada kasus ini diberikan omeprazol 20 mg dan antasida sirup sebagai
penanganan efek samping mual dan muntah. Keluahan mual dan muntah
menyebabkan penambahan obat-obat simtomatis tanpa harus mengubah regimen
terapi sebelumnya.

Efek samping hiperurisemia (tingginya kadar asam urat melebihi normal) juga
dialami sebagian kecil pasien. Disebabkan oleh pemberian pirazinamid maupun
levofloksasin.

43
Pirazinamid dapat menyebabkan serangan Gout arthritis yang kemungkinan
disebabkan berkurangnya ekskresi dan mengakibatkan penimbunan asam urat. Pada
kasus ini penanganan efek samping hiperurisemia yang direkomendasikan oleh rumah
sakit yaitu dengan pemberian allopurinol 100 mg 1x1 tablet. Pada beberapa pasien
dosis pirazinamid diturunkan dan dievaluasi selama tiga hari. Jika hasil pemeriksaan
asam urat normal kembali maka diberikan dosis pirazinamid sesuai dengan dosis yang
sudah ditentukan.

Efek samping yang jarang terjadi yaitu gangguan tidur. Jika ada pasien yang
mengalami gangguan tidur, gangguan tidur yang dialami pasien kemungkinan
disebabkan karena penggunaan levofloksasin. Pasien yang mengalami gangguan tidur
ini diberikan terapi tambahan diazepam 1x1 tablet yang diminum pada malam hari.

Keluhan rasa nyeri pada persendian kemungkinan merupakan gejala neuropati


perifer. Gejala neuropati perifer dapat berupa mati rasa atau kesemutan, merasa
seperti ditusuk-tusuk (paresthesia), atau kelemahan otot. Efek samping neuropati
perifer dapat disebabkan oleh penggunaan etambutol.

Nyeri persendian dan nyeri lutut yang dialami pasien disebabkan oleh
pirazinamid sehingga perlu diberikan terapi tambahan seperti NSAID. Dalam kasus
ini pasien diberikan tambahan parasetamol 500 mg. Gatal-gatal yang dirasakan pasien
kemungkinan disebabkan oleh reaksi alergi yang timbul setelah mengkonsumsi obat,
sehingga penatalaksanaan yang diberikan berupa tambahan CTM tanpa menghentikan
pengobatan sebelumnya.

Halusinasi merupakan gangguan psikiatri yang dialami pasien dengan terapi


sikloserin. Pasien dengan gangguan psikiatri pada penelitian ini dikonsultasikan ke
bagian psikiatri, kemudian pasien diterapi dengan haloperidol 1,5 mg. Gangguan
psikiatri merupakan efek samping yang berat dimana dapat mempengaruhi kesehatan
jiwa pasien, sehingga terapi dengan sikloserin dihentikan dan dievaluasi.

Sebagian besar pasien TB MDR dapat menyelesaikan pengobatan tanpa


mengalami efek samping OAT. Namun, beberapa pasien dapat saja mengalami efek
samping yang merugikan atau berat. Efek samping OAT tidak dapat dihindari
mengingat terapi pengobatan pasien TB MDR yang berkepanjangan (minimal 6
bulan), akan tetapi efek samping tersebut dapat diatasi dengan melakukan pemantauan
kondisi klinis pasien selama menjalani terapi sehingga efek samping dari ringan
sampai berat dapat segera diketahui dan ditatalaksanakan secara tepat.

Berdasarkan data diatas, hubungan lama penggunaan OAT dengan efek


samping yang dialami pasien adalah, semakin lama jangka waktu penggunaan OAT
tingkat keparahan efek samping yang akan dialami pasien menjadi semakin tinggi,
dikarenakan adanya kemungkinan resiko resistensi yang menyebabkan pasien

44
terpaksa mengubah tatalaksana pengobatannya dengan obat lain yang belum tentu
cocok dan tidak akan menimbulkan alergi pada pasien yang bersangkutan.

Lamanya pengobatan dan pemilihan obat yang tepat sangat menentukan tinggi
rendahnya efek samping yang akan dialami pasien selama pengobatan dengan obat
anti tuberkulosis. Dan kekooperatifan pasien dalam memberikan informasi setiap kali
merasakan keluhan juga menjadi salah satu faktor yang dapat meminimalisir
terjadinya efek samping yang berat.

45
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dari pemaparan materi diatas, dapat disimpulkan Tuberkulosis adalah penyakit
menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Yang ditularkan melalui
percikan dahak (dorplet) dari penderita tuberkulosis kepada individu yang rentan. Sebagian
besar kuman Mycobacterium tuberculosis menyerang paru, namun dapat juga menyerang
organ lain seperti pleura, selaput otak, kulit, kelenjar limfe, tulang, sendi, usus, sistem
urogenital, dan lain-lain.

Obat yang digunakan untuk tuberkulosis digolongkan atas dua kelompok yaitu,
kelompok obat lini-pertama dan obat lini-kedua.

Kelompok obat lini-pertama yaitu:

1. Isoniazid,

2. Rifampisin,

3. Etambutol,

4. Streptomisin, dan

5. Pirazinamid.

Kelompok obat lini-kedua yaitu:

1. Fluorokuinolon,

2. Asam Paraaminosalisilat,

3. Etionamid,

4. Kanamisin dan Amikasin,

5. Kapreomisin,

6. Rifambutin (Anamisin), dan

7. Rifapentin.

46
Lama terapi dikategorikan menjadi terapi jangka pendek (untuk pasien yang sedang
menjalani terapi 4-6 bulan); terapi jangka menengah (untuk pasien yang sedang menjalani
terapi 7-17 bulan); dan terapi jangka panjang (untuk pasien yang sedang menjalani terapi 18-
24 bulan).

Dalam setiap penggunaan obat anti tuberkulosis masing-masing memiliki


kemungkinan terjadinya efek samping. Efek samping obat dikategorikan menjadi ringan dan
berat. Efek samping obat dilihat dari gejala dan keluhan yang dialami pasien serta lamanya
penggunaan obat.

Penggunaan obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis akan cepat dan mudah
terjadi resistensi. Atas dasar ini pengobatan tuberkulosis selalu mencakup dua obat atau lebih
untuk mencegah dan memperlambat terjadinya resistensi.

4.2 Saran
Menyadari bahwa penulisan masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan
lebih fokus dan detail dalam menjelaskan mengenai materi diatas dengan sumber-sumber
yang lebih banyak dan terbaru yang dapat dipertanggung jawabkan.

Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk
menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah dijelaskan. Untuk bagian
terakhir dari makalah adalah daftar pustaka.

47
DAFTAR PUSTAKA

Setiabudi, Rianto, Melva Louisa. 2012. Antivirus. Dalam: Ganiswarna, Sulistia G, editor.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Mutschler Ernst, 1991. Dinamika Obat: Farmakologi dan Toksikologi. Edisi 5. Bandung:
Institut Teknologi Bandung.

Bassam H. Mahboub, Mayak G. Vats (eds). 2013. Tuberculosis: Current Issues in Diagnosis
and Management. In Tech.

National Institute for Health and Clinical Excellence. 2011. Tuberculosis: Clinical Diagnosis
and Management of Tuberculosis, and Measures for its Prevention and Control. London:
Royal College of Physicians.

Francis Varaine, M. D. Michael L. Rich, M. D., M. P. H. 2014. Tuberculosis: Practical


Guide for Clinicians, Nurses, Laboratory Technicians and Medical Auxiliaries. Medecins
Sans Frontieres and Partners In Health.

Yelfi Anwar, Fitria Ayuni. 2016. Evaluasi Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis Pada Pasien
Baru Penderita Tuberkulosis Rawat Jalan di Rumah Sakit Atma Jaya. Farmasains Vol. 3. No.
1, halaman: 31-34.

Ni Kadek Ari Cipta Pratiwi, Sagung Chandra Yowani, I Gede Ketut Sajinadiyasa. 2016.
Hubungan Lama Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis Dengan Efek Samping Pada Pasien TB
MDR Rawat Jalan di RSUP Sanglah Denpasar. Pratiwi et al Vol. 3. No. 2: 39-48.

Angga P. Kautsar, Tina A. Intani. 2016. Kepatuhan dan Efektivitas Terapi Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) Kombinasi Dosis Tetap (KDT) dan Tunggal pada Pasien TB Paru Anak
di Salah Satu Rumah Sakit di Kota Bandung. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Vol. 5. No. 3,
halaman: 215-224.

Puspa Pameswari, Auzal Halim, Lisa Yustika. 2016. Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat
pada Pasien Tuberkulosis di Rumah Sakit Mayjen H. A. Thalib Kabupaten Kerinci. Jurnal
Sains & Klinis Vol. 2. No. 2, halaman: 116-121.

Asmalina, Parluhutan Siagian, Rina Yunita, Zainuddin Amir, Tetty Aman Nasution. 2016.
Kejadian Tuberkulosis Resisten Primer pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan. J Resper Indo
Vol. 36. No. 2, halaman: 100-105.

48

Anda mungkin juga menyukai