ANTI TUBERKULOSIS
Dosen :
1. Dra. Refdanita, M. Si
Disusun oleh :
15330117
Kelas B
FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
Jl. Moh. Kahfi II Bumi Srengseng Indah - Jagakarsa, Jakarta Selatan 12640
Telp.(021)7271112
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang karena anugerah dari-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah tentang “Anti Tuberkulosis” ini. Sholawat dan salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah
menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan
menjadi anugerah serta rahmat bagi seluruh alam semesta.
Penulis sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang menjadi tugas
MATA KULIAH FARMAKOLOGI dengan judul "Anti Tuberkulosis". Disamping itu,
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu selama
pembuatan makalah ini berlangsung sehingga terealisasikanlah makalah ini.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini bisa bermanfaat dan
jangan lupa ajukan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya bisa diperbaiki.
Penulis
1
Daftar Isi
KATA PENGANTAR…………….…...........……………...………………………………… 1
DAFTAR ISI………………………...…….........……...…………..………………………… 2
BAB I PENDAHULUAN
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan................................................................................................................46
4.2 Saran..........................................................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................48
2
BAB I
PENDAHULUAN
Basil tbc termasuk kelompok mikobakteri, yang ditandai dengan sifatnya yaitu
disatu pihak sulit diwarnai, tetapi di pihak lain jika sudah diwarnai, tak dapat lagi
dihilangkan warnanya oleh asam atau alkohol, dan karena itu disebut “tahan asam”.
Sifat mikobakteri ini disebabkan oleh kandungan lipid yang tinggi dalam
dinding sel. Ini juga yang menyebabkan megapa bakteri tbc mempunyai ketahanan
yang besar terhadap khemoterapeutikan pada umumnya. Tuberkulosis terutama
menyerang paru-paru (termasuk saluran napas), walaupun demikian penyakit ini juga
dapat menyebabkan perubahan pada semua organ lainnya (tuberkulosis
ekstrapulmonal).
Salah satu penyakit penyebab kematian utama yang disebabkan oleh infeksi
adalah Tuberkulosis (TB) yaitu oleh Mycobacteriumtuberculosis (Christian, 2010),
yang pada umumnya menyebar melalui udara ketika seseorang dengan infeksi TB
aktif mengeluarkan batuk, bersin, atau menyebarkan butiran ludah mereka melalui
udara.
3
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Tuberkulosis?
2. Apa penyebab terjadinya Tuberkulosis?
3. Bagaimana Gejala dari Tuberkulosis?
4. Bagaimana Penggolongan Obat-Obat Anti Tuberkulosis?
5. Bagaimana Cara Pemilihan Obat Anti Tuberkulosis?
6. Bagaimana Regimen Pengobatan Tuberkulosis?
7. Bagaiman Regimen Pengobatan Tuberkulosis pada pasien defisiensi imun?
8. Apa yang dimaksud dengan Tablet Kombinasi Tetap Anti Tuberkulosis?
9. Bagaimana Efek Samping dari Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis?
10. Apa yang dimaksud dengan Resistensi Mikobakteri Tehadap Anti Tuberkulosis?
11. Bagaimana Penilaian Hasil Pengobatan Anti Tuberkulosis?
12. Apa yang dimaksud dengan Pengobatan Ulang Anti Tuberkulosis?
13. Bagaimana Cara Pengobatan Pencegahan Tuberkulosis?
14. Bagaimana Hubungan Kepatuhan Pasien dalam Pengobatan Terhadap Tingkat
Kesembuhan Pasien Tuberkulosis?
15. Bagaimana Hubungan Lama Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis dengan Efek
Samping Pada Pasien?
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Setelah terhirup, bakteri ini akan ditangkap oleh makrofag alveolar, tetapi
mereka dapat menghindari sistem kekebalan tubuh host dan tetap dalam tahap aktif
untuk jangka waktu yang panjang, pada saat dimana mereka dapat mengaktifkan
kembali ke bentuk virulen dalam kondisi kekebalan tubuh host menurun. Hal ini
mungkin terjadi karena M. tuberculosis dapat bertahan lama dalam tubuh serta dalam
tahap berkembang cepat yang membuat pengobatan menantang.
5
2.2 Penyebab Tuberkulosis
TB disebabkan oleh bakteri yang disebut Mycobacterium tuberculosis (‘M.
tuberculosis’ atau ‘M.Tb’). Bakteri ini ditularkan dengan menghirup bakteri dalam
tetesan batuk atau bersin oleh seseorang dengan tuberkulosis menular. Tidak semua
bentuk TB menular. Mereka dengan TB di organ selain paru-paru jarang menular
kepada orang lain, dan juga adalah orang-orang hanya dengan TB laten. Beberapa
orang dengan TBC paru-paru biasanya menular, terutama mereka dengan bakteri yang
dapat dilihat pada pemeriksaan mikroskop sederhana dari dahak, yang disebut ‘BTA
positif’. Risiko terinfeksi tergantung terutama pada berapa lama dan bagaimana intens
paparan bakteri antara orang yang memiliki TBC dengan orang lain disekitarnya.
Risiko paling besar adalah pada mereka yang kontak berkepanjangan atau tinggal
berdekatan dengan orang yang memiliki TBC menular.
Siapapun dapat terkena TB tetapi mereka pada risiko tertentu adalah mereka
yang telah terkena bakteri TB, dan mereka yang kurang mampu melawan infeksi
laten. Individu yang memiliki risiko tinggi terkena infeksi TB diantaranya adalah:
6
2.4 Penggolongan Obat-Obat Anti Tuberkulosis
Obat yang digunakan untuk tuberkulosis digolongkan atas dua kelompok yaitu
kelompok obat lini-pertama dan obat lini-kedua. Kelompok obat lini-pertama yaitu
isoniazid, rifampisin, etambutol, streptomisin, dan pirazinamid, memperlihatkan
efektivitas yang tinggi dengan toksisitas yang dapat diterima. Sebagian besar pasien
dapat disembuhkan dengan obat-obat ini. Walaupun demikian, kadang terpaksa
digunakan obat lain yang kurang efektif karena pertimbangan resistensi atau kontra
indikasi pada pasien. Antituberkulosis lini-kedua dalah antibiotik golongan
fluorokuinolon (siprofloksasin, ofloksasin, levefloksasin), sikloserin, etionamid,
amikasin, kanamisin, kapreomisin, dan paraaminosalisilat.
Oleh karena itu, deteksi dan pengobatan TB yang resistan terhadap rentan obat
atau obat tunggal merupakan strategi penting untuk mencegah munculnya MDR-TB
(Multidrug-resistent TB).
7
Obat-obat lini-pertama
1. ISONIAZID
EFEK ANTIBAKTERI.
MEKANISME KERJA.
8
RESISTENSI.
FARMAKOKINETIK.
Isoniazid mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh. Obat terdapat
dengan kadar yang cukup dalam cairan pleura dan cairan asites. Kadar dalam
cairan serebrospinal pada radang selaput otak kira-kira sama dengan kadar dalam
cairan plasma. Isoniazid mudah mencapai material kaseosa. Kadar obat ini pada
mulanya lebih tinggi dalam plasma dan otot dari pada dalam jaringan yang
terinfeksi, tetapi kemudian obat tertinggal lama di jaringan yang terinfeksi dalam
jumlah yang lebih dari cukup sebagai bakteriostatik.
Antara 75-95% isoniazid diekskresi melalui urin dalam waktu 24 jam dan
hampir seluruhnya dalam bentuk metabolit. Ekskresi terutama dalam bentuk asetil
isoniazid yang merupaka metabolit proses asetilasi, dan asam isonikotinal yang
merupakan metabolit proses hidrolisis. Sejumlah kecil diekskresi dalam bentuk
isonikotinil glisin dan isonikotinil hidrazon, dan dalam jumlah yang kecil sekali
N-metil isoniazid.
9
EFEK SAMPING.
NEURITIS PERIFER.
Paling banyak terjadi dengan dosis isoniazid 5mg/kg BB/ hari. bila pasien
tidak diberi pridoksin frekuensinya mendekati 2%. Bila diberikan dosis lebih
tinggi, pada sekitar 10% sampai 20% pasien dapat terjadi neuritis perifer.
Profilaksis dengan pemberian piridoksin mencegah terjadinya neuritis perifer dan
juga berbagai gangguan sistem saraf yang mungkin terjadi termasuk akibat
pengobatan yang berjangka sampai 2 tahun.
10
Isoniazid dapat menimbulkan ikterus dan kerusakan hati yang fatal akibat
terjadinya nekrosis multilobular.Penggunaan obat ini pada pasien yang
menunjukkan adanya kelainan fungsi hati akan menyebabkan bertambah parahnya
kerusakan hati. Mekanisme toksisitas isoniazid tidak diketahui, walaupun
diketahui bahwa asetilhidrazin suatu metabolit isoniazid, dapat menyebabkan
kerusakan hati. Peranan alkohol juga dipertanyakan. Umur merupakan faktor yang
sangat penting untuk memperhitungkan resiko efek toksik pada hati. Kerusakan
hati jarang terjadi pada pasien yang berumur dibawah 35 tahun. Makin tinggi
umur seseorang makin sering ditemui kelainan ini. Kelainan yang paling banyak
ditemui ialah meningkatnya aktivitas enzim transminase. Pasien yang mendapat
INH hendaknya selalu diamati dan dinilai kemungkinan adanya gejala hepatitis,
kalau perlu diperiksa aktivitas enzim serum glutamic-oxalacetic transminase
(SGOT). Peningkatan aktivitas enzim transminase di hati sampai 4 kali normal
dapat terjadi pada 10% sampai 20% pasien, tetapi umumnya asimptomatik. Dalam
keadaan tersebut tidak diperlukan penghentian obat. Pada penderita beresiko
tinggi (peminum alkohol, riwayat penyakit hati dan sebagainya) dianjurkan
monitor aktivitas aspartat-aminotransferase serum setiap 1 bulan, dan bila
aktivitasnya melebihi 5 kali normal, maka pemberian INH diusulkan untuk
dihentikan. Hepatitis karena pemberian isoniazid terjadi antara 4-8 minggu setelah
pengobatan dimulai. Pemberian isoniazid pada pasien dengan riwayat penyakit
hati harus dilakukan dengan hati-hati.
Efek samping lain yang terjadi ialah mulut terasa kering, rasa tertekan pada
ulu hati, methemoglobinemia, tinitus, dan retensi urin. Bila pasien sebelumnya
telah mempunyai predisposisi defisiensi piridoksin pemberian INH dapat
menimbulkan anemia. Pengobatan dengan vitamin B6 dosis besar, akan
menyebabkan gambaran darah normal kembali.
Dosis isoniazid yang berlebih misalnya karena usaha bunuh diri menyebabkan,
koma, kejang-kejang, asidosis metabolik, dan hiperglikemia. Piridoksin digunakan
sebagai anti dotnya dengan dosis sesuai dengan besarnya dosis INH yang ditelan.
Isoniazid masih tetap merupakan obat yang sangat penting untuk mengobati
semua tipe tuberkulosis. Efek samping dapat dicegah dengan pemberian
piridoksin dan pengawasanyang cermat pada pasien untuk tujuan terapi, obat ini
harus digunakan bersama obat lain, untuk tujuan pencegahan dapat diberikan
tunggal.
11
SEDIAAN DAN POSOLOGI.
Isoniazid terdapat dalam bentuk tablet 50, 100, 300 dan 400 mg serta sirup
10mg/mL. Dalam tablet kadang-kadang telah ditambahkan vitamin B6. Isoniazid
biasanya diberikan dalam dosis tunggal per orang tiap hari. dosis biasa 5 mg/kg
BB, maksimum 300 mg/hari. untuk tuberkulosis berat dapat diberikan 10 mg/kg
BB, maksimum 600 mg/hari, tetapi tidak ada bukti bahwa dosis demikian besar ini
lebih efektif. Anak dibawah 4 tahun dosisnya 10 mg/kg BB/ hari. isoniazid juga
dapat diberikan secara intermiten 2 kali seminggu dengan dosis 15 mg/kg BB/hari.
piridoksin diberikan dengan dosis 10 mg/hari.
2. RIFAMPISIN
AKTIVITAS ANTIBAKTERIA.
12
MEKANISME KERJA.
FARMAKOKINETIK.
Setelah diserap dari saluran cerna, obat ini cepat diekskresi melalui empedu
dan kemudian mengalami sirkulasi enterohepatik. Penyerapannya dihambat oleh
adanya makanan, sehingga dalam waktu 6 jam hampir semua obat yang berada
dalam empedu berbentuk deasetil rifampisin, yang mempunyai aktivitas
antibakteri penuh. Rifampisin menyebabkan induksi metabolisme, sehingga
walaupun bioavailabilitasnya tinggi, eliminasinya meningkat pada pemberian
berulang. Masa paruh eliminasi rifampisin bervariasi antara 1,5-5 jam dan akan
memanjang bila ada kelainan fungsi hepar. Pada pemberian berulang masa paruh
ini memendek sampai kira-kira 40% dalam waktu 14 hari. pada pasien asetilator
lambat masa paruh memendek bila rifampisin diberikan bersama isoniazid. Sekitar
75% rifampisin terikat pada protein plasma. Obat ini berdifusi baik ke berbagai
jaringan termasuk cairan otak. Luasnya distribusi ini tercermin dari warna merah
pada urin, tinja, sputum, air mata dan keringat. Ekskresi melalui urin mencapai
30% setengahnya merupakan rifampisin utuh sehingga pasien gangguan fungsi
ginjal tidak memerlukan penyesuaian dosis. Obat ini juga dieliminasi lewat ASI.
13
EFEK SAMPING.
Rifampisin jarang menimbulkan efek yang tidak diingini. Dengan dosis biasa,
kurang dari 4% pasien tuberkulosis mengalami efek toksik. Yang paling sering
ialah ruam kulit, demam, mual dan muntah. Pada pemberian berselang dengan
dosis yang lebih besar sering terjadi flu like sydrome, nefritis interstisial, nekrosis
tubular akut, dan trombositopenia. Yang menjadi masalah ialah ikterus. Ada 16
kematian dari 500.000 pasien yang diobati, yang dihubungkan dengan reaksi ini.
Hepatitis jarang terjadi pada pasien dengan fungsi hepar normal. Pada pasien
penyakit hati kronik, alkoholisme dan usia lanjut insiden ikterus bertambah.
Pemberian rifampisin intermiten (kurang dari 2 kali seminggu) dihubungkan
dengan timbulnya sindrom hepatorenal. SGOT dan aktivitas fosfatase alkali yang
meningkat akan menurum kembali bila pengobatan dihentikan. Pemberian
rifampisin dengan rejimen terapi intermiten dan pemberian dosis 1,2 g atau lebih
per hari lebih mudah terjadi efek samping. Angka kejadian hepatotoksisitas
rifampisin berbeda ditiap negara. Di India angka ini lebih tinggi dari pada di
Eropa atau AS, diduga karen pemberian obat di India tanpa melalui penapisan
terhadap penyakit atau keadaan lain yang memudahkan terjadinya hepatitis,
misalnya malnutrisi, infestasi parasit yang luas, infeksi virus, dan presit posisi
genetik. Ekskresi rifampisin melalui empedu berkompetisi dengan media kontras
yang digunakan untuk memeriksa fungsi kandung empedu dan dapat
menyebabkan retensi BSP. Gangguan saluran cerna berupa rasa tidak enak di
lambung, mual, muntah, kolik dan diare kadang-kadang memerlukan penghentian
terapi.
Beberapa keluhan yang berhubungan dengan sistem saraf seperti rasa lelah,
mengantuk, sakit kepala, pening, ataksia, bingung, sukar berkonsentrasi, sakit
pada tangan dan kaki, dan melemahnya otot dapat juga terjadi.
14
INTERAKSI OBAT.
Rifampisin di Indonesia terdapat dalam bentuk kapsul 150 mg dan 300 mg.
Selain itu terdapat pula tablet 450 mg dan 600 mg serta suspensi yang
mengandung 100 mg/5 mL rifampisin. Beberapa sediaan telah dikombinasikan
dengan isoniazid. Obat ini biasanya diberikan sehari sekali sebaiknya satu jam
sebelum makan atau dua jam setelah makan. Dosis untuk orang dewasa dengan
berat badan kurang dari 50 kg ialah 450 mg/hari dan untuk berat badan lebih dari
50 kg ialah 60 mg/hari. untuk anak-anak dosisnya 10-20 mg/kg BB per hari
dengan dosis maksimum 600 mg/hari.
3. ETAMBUTOL
AKTIVITAS ANTIBAKTERI.
15
Efektivitas pada hewan coba sama dengan isoniazid. In vivo, sukar
menciptakan resistensi terhadap etambutol dan timbulnya pun lambat, tetapi
resistensi ini timbul bila etambutol digunakan tunggal.
FARMAKOKINETIK.
Pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol diserap dari saluran cerna.
Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah pemberian.
Dosis tunggal 15 mg/kg BB menghasilkan kadar dalam plasma sekitar 5 g/mL
pada 2-4 jam. Masa paruh eliminasinya 3-4 jam. Kadar etambutol dalam eritrosit
1-2 kali kadar dalam plasma. Oleh karena itu eritrosit dapat berperan sebagai
depot etambutol yang kemudian melepaskannya sedikit demi sedikit ke dalam
plasma.
EFEK SAMPING.
16
Terapi dengan etambutol menyebabkan peningkatan kadar asam urat darah
pada 50% pasien. Hal ini disebabkan oleh penurunan ekskresi asam urat melalui
ginjal. Efek samping ini mungkin diperkuat oleh isoniazid dan piridoksin.
Di Indonesia etambutol terdapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Ada
pula sediaan yang telah dicampur dengan isoniazid dalam bentuk kombinasi tetap.
Dosis biasanya 15 mg/kg BB. Diberikan sekali sehari, ada pula yang
menggunakan dosis 25 mg/kg BB selama 60 hari pertama, kemudian diturunkan
menjadi 15 mg/kg BB. Pada pasien gangguan fungsi ginjal dosisnya perlu
disesuaikan karena etambutol terakumulasi dalam badan.
4. PIRAZINAMID
AKTIVITAS ANTIBAKTERI.
FARMAKOKINETIK.
Pirazinamid mudah diserap diusus dan tersebar luas ke seluruh tubuh. Dosis 1
gram menghasilkan kadar plasma sekitar 45 g/mL pada 2 jam setelah pemberian
obat. Ekskresinya terutama melalui filtrasi glomerulus. Asam pirazinoat yang aktif
kemudian mengalami hidroksilasi menjadi asam hidropirazinoat yang merupakan
metabolit utama. Masa paruh eliminasi obat ini adalah 10-16 jam.
17
EFEK SAMPING.
Efek samping yang paling umum dan serius adalah kelainan hati. Bila
pirazinamid diberikan dengan dosis 3 gram per hari, gejala penyakit hati muncul
pada kira-kira 15%, dengan ikterus pada 2-3% pasien dan kematian akibat
nekrosis hati pada beberapa kasus. Gejala pertama adalah peningkatan SGOT dan
SGPT oleh karena itu hendaknya dilakukan pemeriksaan fungsi hati sebelum
pengobatan dengan pirazinamid dimulai, dam pemantauan terhadap transaminase
serum dilakukan secara berkala selama pengobatan berlangsung. Jika jelas timbul
kerusakan hati, terapi dengan terapi pirazinamid harus dihentikan. Pirazinamid
tidak boleh diberikan kepada pasien dengan kelainan fungsi hati. Obat ini
menghambat ekskresi asam urat dan dapat menyebabkan kambuhnya piral. Efek
samping lain ialah artralgia, anoreksia, mual dan muntah, juga disuria, malaise,
dan demam.
Pirazinamid terdapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Dosis oral ialah
20-35 mg/kg BB sehari (maksimum 3 gram), diberikan dalam satu atau beberapa
kali sehari.
Pirazinamid beberapa tahun yang lalu masih merupakan obat sekunder yang
digunakan bila ada resistensi atau kontraindikasi terhadap obat primer. Sejak
pengobatan tuberkulosis menggunakan paduan pengobatan jangka pendek,
kedudukan pirazinamid berubah menjadi obat primer, obat ini lebih aktif pada
suasana asam dan merupakan bakterisid yang kuat untuk bakteri tahan asam
yang berada dalam sel makrofag. Kini, bersama INH dan rifampisin, pirazinamid
merupakan obat yang penting untuk diberikan pada awal pengobatan tuberkulosis.
5. STREPTOMISIN
AKTIVITAS ANTIBAKTERI.
18
bahwa kerja streptomisin in vivo ialah supresi, bukan eradikasi kuman
tuberkulosis. Obat ini dapat mencapai kavitas, tetapi relatif sukar berdifusi ke
cairan intrasel.
RESISTENSI.
Dalam populasi yang besar selalu terhadap kuman yang resisten terhadap
streptomisin. Resistensi ini mungkin disebabkan oleh mutasi yang terjadi secara
kebetulan. Kemudian terjadi resistensi in vitro dan in vivo sama besar. Secara
umum dikatakan bahwa makin lama terapi dengan streptomisin berlangsung,
makin meningkat resistensinya. Pada beberapa pasien resistensi ini terjadi dalam
satu bulan. Setalah 4 bulan, 80% kuman tuberkulosis tidak sensitif lagi.
Setengahnya tidak dapat dihambat dengan kadar 1000 g/mL. Bila kavitas tidak
menurun atau satupun tidak menjadi steril dalam waktu 2-3 bulan, bakteri yang
tertinggal telah resisten dan pengobatan tidak efektif lagi. Penggunaan
streptomisin bersama antituberkulosis lain menghambat terjadinya resistensi.
Tetapi hal ini tidak mutlak, pada pengobatan jangka lama dapat juga terjadi
resistensi kuman terhadap kedua obat itu.
FARMAKOKINETIK.
Setelah diserap dari tempat suntikan, hampir semua streptomsin berada dalam
plasma. Hanya sedikit sekali yang masuk ke dalam eritrosit. Streptomisin
kemudian menyebar ke seluruh cairan ekstrasel. Kira-kira sepertiga streptomisin
yang berada dalam plasma, terikat protein plasma. Streptomisin diekskresi melalui
filtasi glomerulus. Kira-kira 50-60% dosis streptomisin yang diberikan secara
parenteral diekskresi dalam bentuk utuh dalam waktu 24 jam pertama. Sebagian
besar jumlah ini diekskresi daalam waktu 12 jam. Masa paruh obat ini pada orang
dewasa normal antara 2-3 jam, dan dapat sangat memanjang pada ginjal.
Ototoksisitas lebih sering terjadi pada pasien yang fungsi ginjalnya terganggu.
EFEK SAMPING.
19
nefrotoksik. Ototoksisitas dan nefrotoksisitas ini sangat tinggi kejadiannya pada
kelompok usia di atas 65 tahun, oleh karena itu obat tidak boleh diberikan pada
kelompok usia tersebut. Efek samping lain ialah reaksi anafilaktik,
agranulositosis, anemia apiastik, dan demam obat. Belum ada data tentang efek
teratogenik, tetapi pemberian obat pada trimester pertama kehamilan tidak
dianjurkan. Selain itu dosis total tidak boleh melebihi 20 gram. Dalam 5 bulan
terakhir kehamilan untuk mencegah ketulian pada bayi.
INTERAKSI OBAT.
Streptomisin terdapat dalam bentuk bubuk injeksi dalam vial 1 dan 5 gram.
Dosisnya 20 mg/kg BB secara IM, maksimum 1 gram per hari selama 2 sampai 3
minggu. Kemudia frekuensi pemberian dikurangi menjadi 2-3 kali seminggu.
Pasien dengan fungsi ginjal normal dapat menerima paduan ini untuk beberapa
bulan. Dosis harus dikurangi untuk pasien usia lanjut, anak-anak, orang dewasa
yang badannya kecil, dan pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Obat-obat lini-kedua
1. FLUOROKUINOLON
20
Obat-obat tersebut juga aktif terhadap beberapa spesies mikobakteria atipik,
seperti: M. kansasii, M. avium complex (MAC) dan M. fortuitum (lihat tabel 40-1). In
vitrolevofloksasin sediki lebih aktif dibandingkan siprofloksasin terhadap M.
tuberculosis, tetapi terhadap mikobakteria atipik siprofloksasin lebih aktif. Dosis
terapi yang dianjurkan ialah: siprofloksasin 750 mg- dua kali sehari oral; ofloksasin
300 mg dua kali sehari; dan levofloksasin 500-750 mg dosis tunggal sehari.
2. ASAM PARAAMINOSALISILAT
AKTIVITAS ANTIBAKTERI.
21
rifampisin, minoksiklin.
(pembedahan eksisi bisa
efektif)
MEKANISME KERJA.
PAS mempunyai rumus molekul yang mirip dengan asam para aminobenzoat
(PABA). Mekanisme kerjanya sangat mirip dengan sulfodinamide. Karena
sulfodinamide tidak aktif terhadap M.tuberculosis dan PAS tidak aktif terhadap
kuman yang sensitif terhadap sulfodinamide, maka ada kemungkinan bahwa
enzim yang bertanggung jawab untuk biosintesis folat berbagai macam mikroba
bersifat spesifik.
RESISTENSI.
Secara umum resistensi in vitro terhadap PAS lebih sukar terjadi dibandingkan
terhadap streptomisin. Resistensi terhadap PAS juga terjadi pada pasien yang
sedang dalam pengobatan walaupun terjadinya lebih lambat ketimbang
streptomisin.
FARMAKOKINETIK.
PAS mudah diserap melalui saluran cerna. Obat ini mencapai kadar tinggi
dalam berbagai cairan tubuh kecuali dalam cairan otak. Masa paruh obat sekitar
satu jam. Delapan puluh persen PAS diekskresi melalui ginjal, 50% diantaranya
dalam bentuk terasetilase. Pasien dengan insufisiensi ginjal tidak dianjurkan
menggunakan PAS karena ekskresinya terganggu.
EFEK SAMPING.
Insidens efek samping pada pemberian PAS hampir mencapai 10%, gejala
yang agak menonjol ialah mual dan gangguan cerna lainnya. Pasien tukak peptik
tidak dianjurkan menggunakan obat ini. Reaksi hipersensitivitas umumnya terjadi
dengan gambaran seperti demam, kelainan kulit yang disertai demam ataupun
sakit sendi. Kelainan darah seperti leukopenia, agranulositopenia, eosinofilia,
limfositosis, sindrom mononukleosis atipik, dan trombositopenia pernah
dilaporkan. Pada keadaan tertentu dapat timbul hemolisis.
PAS terdapat dalam bentuk tablet 500 mg yang diberikan dengan dosis oral 8-
12 g sehari, dibagi dalam beberapa dosis.
22
3. SIKLOSERIN
KIMIA.
Sikloserin berupa bubuk putih atau kekuningan, agak pahit, dan higroskopis.
Obat ini larut dalam air sampai 100 mg/mL pada 25oC, stabil dalam larutan
askalis, tetapi cepat dirusak dalam larutan netral atau asam.
AKTIVITAS ANTIBAKTERI.
In vivo terlihat bahwa khasiat sikloserin berbeda pada berbagai spesies, tetapi
efeknya paling nyata pada manusia.
FARMAKOKINETIK.
Setelah pemberian oral absorpsinya baik; kadar puncak dalam darah dicapai 4-
8 jam setelah pemberian obat. Dengan dosis 20 mg/kg BB diperoleh kadar dalam
darah sebesar 20-35 g/mL pada anak-anak. Dengan dosis 750 mg tiap 6 jam pada
orang dewasa akan diperoleh kadar lebih dari 50 g/mL.
Distribusi dan difusi ke seluruh cairan dan jaringan tubuh baik sekali. Sawar
darah otak dapat dilintasi dengan baik, karena obat ini terkonsentrasi di urin, tidak
diperlukan dosis besar untuk mengobati tuberkulosis saluran kemih.
Ekskresi maksimal tercapai dalam 2-6 jam setelah pemberian obat dan 50%
diekskresi melalui urin dalam bentuk utuh selama 12 jam pertama. Bila ada
insufisiensi ginjal, terjadi akumulasi obat dalam tubuh sehingga memperbesar
kemungkinan reaksi toksik.
Sikloserin dalam bentuk kapsul 250 mg, diberikan 2 kali sehari. Dengan dosis
ini kemungkinan reaksi toksik kecil. Jika keadaan lebih berat, dapat diberikan
dosis lebih besar untuk jangka waktu yang lebih singkat. Hasil terapipaling baik
bila dicapai kadar lembah dalam plasma sebesar 20-30 g/mL. Oleh karena itu
sebaiknya kadar dalam plasma dipantau sewaktu-waktu selama pengobatan.
Sikloserin dosis besar (250-500 mg tiap 6 jam) dapat digunakan dengan aman bila
diberikan bersama piridoksin atau depresan SSP.
23
EFEK SAMPING.
Efek samping yang paling sering timbul dalam penggunaan sikloserin ialah
pada SSP dan biasanya terjadi dalam 2 minggu pertama pengobatan.gejalanya
ialah somnolen, sakit kepala, tremor, disartria, vertogo, gangguan tingkah laku,
paresis, serangan psikosis akut, dan konvulsi. Serangan dapat menyerupai epilepsi
grand mal atau epilepsi petit mal, dan insidensnya berhubungan dengan dosis
yang digunakan. Dosis 2 gram sehari dapat menimbulkan konvulsi pada 5-10
pasien; dengan menurunkan dosis menjadi 500 mg sehari, insidensnya mencolok
turun. Resiko konvulsi bertambah bila sikloserin diberikan bersama etil alkohol.
Karena efek pada SSP itu sikloserin dikontraindikasikan bagi pasien epilepsi,
dan mungkin berbahaya pada orang yang sedang depresi atau yang mengalami
ansietas.
4. ETIONAMID
AKTIVITAS ANTIBAKTERI.
Resistensi mudah terjadi bila dosis kurang tinggi atau obat ini digunakan
sendiri, timbul lebih lambat jika dikombinasi dengan streptomisin atau INH.
FARMAKOKINETIK.
Pada pemberian per oral, etionamid mudah diabsorpsi. Kadar puncak tercapai
dalam 3 jam dan kadar terapi bertahan selama 12 jam. Distribusi cepat, luas dan
merata ke seluruh cairan dan jaringan tubuh. Ekskresi berlangsung cepat dan
terutama dalam bentuk metabolitnya, hanya 1% dalam bentuk aktif.
EFEK SAMPING.
Efek samping yang paling sering dijumpai adalah anoreksia, mual, dan
muntah. Sering juga terjadi hipotensi postural yang hebat, depresi mental,
mengantuk, dan asthenia. Dapat pula terjadi rasa kecap metalik, sedangkan kejang
dan neuropati primer jarang terjadi.Efek samping lain pada sistem saraf mencakup
24
gangguan saraf olfaktorius, penglihatan kabur, diplopia, vertigo, parestesia, sakit
kepala, rasa lelah, dan tremor. Kemerahan kulit, purpura, stomatitis, ginekomastia,
impotensi, menoragi, akne, dan alopesia juga pernah dilaporkan.
Hepatitis terjadi pada sekitar 5% pasien yang menggunakan obat ini. Gejala
hepatotoksik hilang bila pengobatan dihentikan. Fungsi hati pasien yang mendapat
etionamid perlu diperiksa secara teratur dan penggunaannya dilanjutkan bersama
dengan piridoksin.
Etionamid terdapat dalam bentuk tablet 250 mg. Dosis awal ialah dua kali 250
mg sehari, kemudian dinaikkan setiap lima hari dengan 125 mg sampai maksimal
1 g/hari. obat ini sebaiknya diberikan pada waktu makan untuk mengurangi iritasi
lambung.
KANAMISIN
AMIKASIN
25
Umumnya mikobakteria yang multidrug-resistant tersebut masih peka
terhadap amikasin. Pada uji in vitro ada resistant silang antara amikasin dengan
kanamisin dan kapreomisin pada M. tuberculosis. Amikasin juga aktif terhadap
mikobakteria-atipik, M. fortuitum dan M. chelonei. Tidak ada resintesi silang
antara amikasin dan streptomisin.
FARMAKOKINETIK.
6. KAPREOMISIN
EFEK SAMPING.
Kapreomisin juga merusak saraf otak VIII, oleh karena itu perlu dilakukan
audiometrik dan pemeriksaan fungsi vestibuler sebelum mulai pemberiannya.
Efek samping lain adalah hipokalemia, memburuknya angka-angka uji fungsi hati,
eosinofilia, leukositosis dan leukopensia, serta trombositopenia.
26
INDIKASI.
Sikloserin merupakan obat pilihan kedua untuk tuberkulosis. Obat ini hanya
digunakan pada kegagalan terapi dengan obat primer atau bila kumannya resisten
terhadap obat-obat itu. penggunaannya harus bersama dengan obat lain yang
efektif.
7. RIFAMBUTIN (ANSAMISIN)
Rifabutin suatu antibiotik derivat rifamisin seperti juga rifampisin dan rifapentin.
Obat ini aktif terhadap M. tuberculosis, M. avium-intraseluler dan M. fortuitum.
aktivitasnya mirip dengan rifampisin, dan terjadi resistensi silang dengan rifampisin.
Meskipun pada beberapa strain yang resisten terhadap rifampisin in vitro obat ini masik
tampak aktif pada penggunaan di klinik tidak bermanfaat, karena dasar resistensinya sama
yaitu melalui mutasi rpoB. Rifambutin suatu substrat dan induktor dari enzim-enzim
sitokrom P450, tetapi lebih lemah dari rifampisin karena itu diindikasikan untuk
pengobatan tuberkulosis pada pasien HIV yang juga menggunakan antiretrovial golongan
protease inhibitor atau NNRTI (non-nucleoside reserve transcriptase inhibitor)- misalnya
efafirenz-obat yang juga substrat sitokrom P450. Dosis terapi yang lazim ialah 300
mg/hari. bila diberikan bersama inhibitor protease dosis rifabutin diturunkan sampai 150
mg/hari. bila diberikan bersama efafirenz, dosis rifabutin yang dianjurkan 450 mg/hari.
rifabutin efektif untuk terapi pencegahan dan pengobatan infeksi disseminated atypical
mycobacteria pada pasien AIDS dengan CD4nya < 50/L. Obat ini efektif untuk terapi
pencegahan tuberkulosis sebagai obat tunggal dengan regimen terapi 6 bulan, atau
bersama pirazinamid dengan regimen terapi 2 bulan.
8. RIFAPENTIN
Suatu analog rifampisin. Obat ini aktif terhadap M. tuberculosis dan M. avium.
Rifapentin suatu induktor poten enzim sitokrom P450. Bersama dengan metabolitnya,
waktu paruh eliminasi obat ini 13 jam. Rifapentin diindikasikan untuk pengobatan
tuberkulosis pleh mikobakteria yang sensitif terhadap rifampisin. Dosis dewasa 600 mg
sekali atau dua kali seminggu.
27
2.5 Cara Pemilihan Obat Anti Tuberkulosis
Ada dua prinsip pengobatan tuberkulosis, yaitu a) paling sedikit menggunakan
dua obat, dan b) pengobatan harus berlangsung setidaknya 3-6 bulan setelah sputum
negatif untuk tujuan sterilisasi lesi dan mencegah kambuh.
Hanya basil yang sedang membelah yang dapat dibunuh oleh antituberkulosis.
Mycobacterium tuberculosis bersifat aerob obligat, karena frekuensi pembelahan dan
aktifitas metabolismenya bervariasi tergantung kadar oksigen di tempat hidupnya.
Selain itu, basil ini juga dipengaruhi oleh pH lingkungan sekitarnya. Ada hipotesis
yang menyatakan bahwa kuman tuberkulosis yang berkembang dalam lesi dapat
dibedakan atas 3 kelompok berdasarkan tempat basil berada. Pertama, basil yang
berada dalam kavitas (lesi rongga) dan aktif membelah karena tekanan oksigen dalam
kavitas ini tinggi dan suasananya netral atau agak basa. Kedua, basil yang berada
dalam basil berkiju tertutup dan membelah secara lambat atau intermiter (berselang)
karena tekana oksigen di sini rendah dan suasananya netral. Kelompok ketiga adalah
basil yang berada dalam sel makrofag yang suasananya asam. Basil di sini relatif
lambat membelah. Kemudian ada bukti bahwa efektivitas antituberkulosis berbeda
tergantung dari kecepatan pembelahan populasi basil dan pH lingkungannya. Inilah
yang mendasari pengobatan tuberkulosis dalam dua puluh tahun terakhir ini.
Menurut Panduan WHO, Regimen Pengobatan TB terdiri atas dua fase, ialah:
Satu, Fase awal (initial phase) dan satu fase lanjutan (continoum phase). Regimen ini
ditulis dengan kode baku sebagai berikut: angka didepan satu fase menunjukkan
frekuensi pemberian obat per minggu. Kalau tidak ada angka dibelakang atau
disamping bawah huruf, menunjukkan pemberian obat setiap hari/minggu. Huruf di
dalam kurung menunjukkan obat dalam kombinasi tetap (fixed-dose combination =
FDC).
Contoh:
2 (HRZE)/4 (HR)
Fase awal 2 (HRZE), diberikan selama 2 bulan setiap hari dengan kombinasi tetap
isoniazid (H), rifampisin, pirazinamid (Z) dan etambutol (E). Kemudian dilanjutkan
dengan satu fase lanjutan 4(HR), artinya lama pengobatan 4 bulan dengan kombinasi
tetap INH dan rifampisin, tiga kali/minggu.
29
2(HR) ZE/6(HE).
Fase awal 2 bulan dengan kombinasi tetap INH dan rifampisin setiap hari ditambah
dengan pirazinamid dan etambutol. Pengobatan dilanjutkan dengan fase lanjutan 6
bulan dengan kombinasi tetap INH dan etambutol.
Beberapa paduan terapi untuk pasien dengan BTA ( basil tahan asam) positif akan
dibahas berikut ini:
(1) Paduan 9 HR, artinya pengobatan dilakukan selama sembilan bulan dengan
pemberian INH 300 mg dan rifampisin 600 mg setiap hari:selama 9 bulan.
(2) Paduan HR/8H2R2, artinya INH dan rifampisin diberikan setiap hari selama satu
bulan dengan dosis INH 300 mg dan rifampisin 600 mg per hari, disusun pemberian
INH 900 mg dan rifampisin 600 mg seminggu dua kali selama 8 bulan.
Kedua paduan terapi ini diterapkan di Amerika Serikat pada pasien yang tidak
mengandung basil resisten terhadap salah satu obat yang digunakan. Bila ada basil
resisten, maka pengobatan ditambah dengan pirazinamid atau etambutol. Pasien
diperiksa dahaknya untuk melihat perkembangan basil tahan asam setiap bulan
sampai basil tahan asam negatif. Selanjutnya pemeriksaan dilakukan 3 bulan sekali.
Pengobatan diteruskan sekurang-kurangnya 6 bulan setelah basil tahan asam negatif.
(3) Paduan 2HRZ/4HR terdiri dari dua bulan pertama diberikan INH 5 mg/kg BB
(maksimum 300 mg), rifampisin 20 mg/kg BB (maksimum 600 mg) dan pirazinamid
5 sampai 25 mg/kg BB (maksium 2 g) diberikan setiap hari pada dua bulan pertama.
Disusul dengan pemberian INH dan rifampisin selama 4 bulan berikutnya dengan
dosis yang sama. Paduan ini juga dilaksanakan di Amerika Serikat.
(4) Paduan 2HRZ/4HR2. Selama dua bulan pertama diberikan INH, rifampisin dan
pirazinamid dengan dosis yang sama dengan dosis paduan (3) disusul pemberian INH
5mg/kg BB (maksimum 900 mg) dan rifampisin 10 mg/kg BB (maksimum 600 mg)
diberikan dua kali seminggu selama 4 bulan berikutnya. Paduan ini diterapkan di
Amerika Serikat dan beberapa negara lain.
(5) Paduan 2 HRZ/4H3R3, 2 bulan pertama diberikan INH, rifampisin, dan pirazinamid
setiap hari disusul INH dan rifampisin 3 kali seminggu selama 4 bulan berikutnya.
Paduan ini banyak digunakan di negara-negara yang sedang berkembang.
(6) Paduan 2H3R3Z3/4H3R3, artinya selama 6 bulan diberikan obat hanya 3 kali
seminggu. Untuk dua bulan pertama diberikan INH, rifampisin, dan pirazinamid saja
3 kali seminggu selama 4 bulan berikutnya. Paduan ini sedang dalam penelitian lebih
lanjut.
30
(7) Pada paduan 2HRZE/4H3R3, diberikan INH 300 mg, rifampisin 450 mg, etambutol
750 mg, dan pirazinamid 1500 mg setiap hari selama 2 bulan pertama dilanjutnya
dengan pemberian INH 600 mg dan rifampisin 450 mg 3 kali seminggu selama 4
bulan. Paduan ini diterapkan pada program pemberantasan tuberkulosis dengan BTA
positif di Indonesia mulai tahun 1993. Paduan ini dibuat berdasarkan dengan anjuran
WHO dengan penyesuaian dosis berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari
program yang telah dilaksanakan sejak beberapa tahun.
(8) Paduan 2HRZ/2H3R3 berarti selama 2 bulan diberikan setaip hari INH 300 mg,
rifampisin 450 mg, dan pirazinamid 1500 mg, disusul kemudian INH 600 dan
rifampisin 450 mg diberikan 3 kali seminggu selama 2 bulan. Paduan ini diterapkan
dalam program pemberantasan pada yang BTA-nya negatif, tetapi gambaran roengen
positif.
Infeksi tuberkulosis pada pasien defisiensi imun terutama pasien AIDS atau
pengidap HIV biasanya lebih cepat berkembang dan sukar sembuh karena daya
imunitasnya sangat menurun. Oleh karena itu mereka perlu mendapat pengobatan
lebih intensif. The Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat menganjurkan
agar pengobatan pasien semacam ini sedikitnya diberikan selama sembilan bulan. Dua
bulan pertama diberikan INH, rifampisin, dan pirazinamid setiap hari, disusun
pemberian INH dan rifampisin sekurang-kurangnya selama 7 bulan berikutnya.
Etambutol ditambahkan pada awal pengobatan untuk pasien tuberkulosis susunan
saraf pusat atau tuberkulosis yang meluas atau dicurigai adanya mycobacterium
tuberculosis yang resisten terhadap isoniazid. Pengobatan ini minimal harus
berlangsung 6 bulan setelah 3 kali berturut-turut biakan hasil tahan asam negatif. Pada
31
pasien dengan HIV positif lebih sering terjadi efek samping. Bila INH atau rifampisin
tidak dapat digunakan, maka pengobatan harus berlangsung sekurang-kurangnya 18
bulan (pengobatan jangka panjang).
Preparat Tunggal
150 mg + 150 mg
** untuk anak.
33
BAB III
PEMBAHASAN
34
Tabel 40-7. EFEK SAMPING ANTI-TB DAN ANJURAN PENANGGULANGAN
Bingung (suspek gagal-hati Anti-TB umumnya Segera uji fungsi hati dan
akut oleh obat bila jaundice waktu protrombin
positif)
35
terhadap antituberkulosis pada pasien yang belum pernah diobati telah banyak
dipublikasi namun, banyak ahli berpendapat masalah ini belum sampai mengancam
penggunaan obat yang efektif. Banyak publikasi mengatakan bahwa angka kejadian
resistensi basil tuberkulosis yang diisolasi dari pasien bergantung pada daerah
geografik, etnik, dan sosioekonomi populasi yang diteliti. Dalam suatu studi,
resistensi basil terhadap streptomisin, isoniazid, dan rifampisin pada pasien yang telah
mendapatkan pengobatan di negara Amerika Latin, Asia, atau Afrika, lebih sering
terjadi dibandingkan dengan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada
dan Eropa. Di negara-negara yang sedang berkembang, kasus tuberkulosis banyak dan
insidens resistensi terhadap isoniazid dan streptomisin atau kedua-duanya terus
meningkat. Untuk mycobacetirum tuberculosis yang telah resisten terhadap salah satu
obat harus digunakan antituberculosis lasin yang masih efektif terhadap kuman
tersebut. Mycobacterium atypic beberapa resisten terhadap beberapa antituberkulosis,
oleh karena itu sebelum pengobatan perlu dilakukan uji kepekaan in vitro. Sebenarnya
pengujian ini bukan hanya perlu terhadap mycobakterium atipik saja, tetapi juga pada
pengobatan tuberkulosis paru-paru agar pemilihan obat lebih tepat sehingga hasil
pengobatan lebih baik. Tetapi karena uji kepekaan ini cukup mahal dan menambah
beban pasien, maka hal ini sering dilupakan.
Resistensi terhadap obat anti tuberkulosis (OAT), termasuk resistensi ganda
OAT atau multidrug resistent tuberculosis (MDR TB/TB MDR) merupakan tantangan
penting dalam program pengendalian TB dan merupakan masalah kesehatan utama di
beberapa negara. Pengobatan pasien TB MDR lebih sulit, mahal, banyak efek
samping dan angka kesembuhannya relatif rendah. Penyebaran resistensi obat di
berbagai negara tidak diketahui dan tatalaksana pasien TB MDR masih tidak adekuat.
Resistensi kuman M. tuberculosis terhadap OAT adalah keadaan di mana
kuman tersebut sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan OAT. Pada kasus baru resisten
OAT terdapat galur M. tuberculosis pada pasien baru yang didiagnosis TB dan
sebelumnya tidak pernah diobati dengan OAT atau durasi kurang dari 1 bulan. Pasien
ini terinfeksi galur M. tuberculosis yang resisten OAT disebut dengan resistensi
primer. Kasus resisten OAT yang telah diobati sebelumnya yaitu terdapatnya galur M.
tuberculosis resisten pada pasien selama mendapatkan terapi TB paling sedikit 1
bulan. Pada awalnya TB resisten OAT terjadi karena terinfeksi galur M. tuberculosis
yang masih sensitif obat tetapi selama perjalanan terapi timbul resistensi obat atau
disebut dengan resistensi obat yang didapat atau resistensi sekunder.
Resistensi primer berarti seseorang terinfeksi strain TB resisten obat.
Transmisi dari TB resisten obat terjadi dengan cara yang sama dengan TB yang rentan
obat. Prevalens yang tinggi dari TB resisten obat di masyarakat meningkatkan pajanan
risiko resistensi obat di masyarakat. Tidak terdiagnosis, tidak diobati dan pengobatan
yang buruk dari TB resisten obat memberikan kontribusi untuk kelanjutan prevalens
yang tinggi serta proporsi yang tinggi terhadap kasus TB resistensi obat di
masyarakat.
36
3.3 Penilaian Hasil Pengobatan Anti Tuberkulosis
Pada pasien yang BTA-nya negatif pada awal pengobatan, penialaian yang
praktis dilakukan dengan pemeriksaan radiologi toraks dan pemeriksaan klinik. Bila
setelah 3 bulan gambaran radiologik dan klinik tidak menunjukkan perbaikan,
mungkin ada hal-hal yang luar biasa atau penyakit lain. Tetapi bila jelas uji tuberculin
positif, diberikan pengobatan INH selama 1 tahun atau INH bersama rifampisin
selama 6 bulan.
37
Pengobatan ulang dalam kasus ini juga menambahkan dua obat yang aktif
terhadap basil tersebut. Bila basil resisten terhadap INH, maka pemberian rifampisin
bersama etambutol biasanya akan memadai. Ada penulis yang mengajukan
penambahan pirazinamid, ada pula yang menganjurkan penggunaan streptomisin 1 g
per hari (30 mg/kg BB per hari) selama 6 sampai 8 minggu pertama sebelum
mendapatkan hasil uji kepekaan. Karena resistensi terhadap rifampisin relatif jarang,
maka rifampisin merupakan salah satu obat yang harus diberikan. Bila terjadi
resistensi multipel, harus ditangani secara individual.
(1) Individu dengan kontak positif, tetapi uji Mantoux negatif. Tujuan profilaksis disini
ialah mencegah infeksi (True Chemoprophylaxis). Obat yang diberikan isoniazid 300
mg per hari dengan piridoksin 15 sampai 50 mg per hari. dosis isoniazid untuk anak
ialah 10 mg/kg BB (maksimum 300 mg sehari). Piridoksin jarang diperlukan untuk
anak kecil. Uji kulit dilakukan lagi dalam 3 bulan. Bila negatif dan kontak telah
terhenti, pemberian obat dihentikan. Bila positif atau kontak masih berlangsung, obat
diberikan selama 12 bulan.
(2) Individu yang telah terinfeksi tetapi tanpa gejala klinik (uji Mantoux) positif, tetapi
gambaran radiologik normal). Tujuan profilaksis disini ialah mencegah timbulnya
penyakit yang aktif (Chemoprophylaxis of Sub Clinical Infection). Obat yang
diberikan isoniazid 300 mg sehari dengan piridoksin 50-50 mg/hari semala 12. Dosis
isoniazid untuk anak ialah 10 mg/kg BB (maksimum 300 mg sehari).
Dewasa ini, Amerika Thoracic Society, American Lung Asociation, dan
Centers for Disease Control menganjurkan pemberian profilaksis untuk: 1) semua
individu yang kontak dengan pasien tuberkulosis paru-paru aktif; 2) individu dengan
uji mantoux postif disertai kelainan gambaran radiologik paru-paru yang konsisten
dengan penyakit tuberculosis sebelumnya, termasuk mereka dengan riwayat
tuberculosis yang tidak mendapat terapi memadai; 3) individu yang mengalami
koversi uji mantoux menjadi positif dalam waktu 2 tahun; 4) individu terinfeksi
dengan resiko tinggi misalnya kerana mendapat kortikosteroid atau obat
imunosupresif; 5)pasien penyakit tertentu dengan daya tahan menurun misalnya
leukimia, penyakit hodgkin, diabetes, silikosis daan pasca – gastrektomi. Selain itu
profilaksis harus diberikan pada anak dibawah 6 tahun dengan reaksi mantoux positif
dan dianjurkan pula untuk individu dengan reaksi mantoux positif dibawah 35 tahun,
kecuali wanita hamil.
38
3.6 Hubungan Kepatuhan Pasien dalam Pengobatan terhadap Tingkat
Kesembuhan Pasien Tuberkulosis
Secara umum, istilah kepatuhan (compliance atau adherence) didiskripsikan
dengan sejauh mana pasien mengikuti instruksi-instruksi atau saran medis. Terkait
dengan terapi obat, kepatuhan pasien didefinisikan sebagai derajat kesesuaian antara
riwayat dosis yang sebenarnya dengan regimen dosis obat yang diresepkan. Oleh
karena itu, pengukuran kepatuhan pada dasarnya mempresentasikan perbandingan
antara dua rangkaian kejadian, yaitu bagaimana nyatanya obat diminum dengan
bagaimana obat seharusnya diminum sesuai resep. Dalam konteks pengendalian
tuberkulosis paru atau TB paru, kepatuhan terhadap pengobatan dapat didefinisikan
sebagai tingkat ketaatan pasien- pasien yang memiliki riwayat pengambilan obat
terapeutik terhadap resep pengobatan.
39
1. Penggunaan Tablet Kombinasi Obat Anti Tuberkulosis (KDT)
Motivasi atau keinginan yang kuat dari dalam diri sendiri, menjadi faktor
utama pada tingginya tingkat kepatuhan pasien dalam menjalani terapi obat TB paru.
Motivasi untuk tetap mempertahankan kesehatannya sangat mempengaruhi terhadap
faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pasien dalam mengontrol
penyakitnya. Serta kenyakinan dalam diri sendiri, merupakan dimensi spiritual yang
dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien.
40
Pasien yang berpegang teguh terhadap kenyakinannya akan memiliki jiwa
yang tabah dan tidak mudah putus asa serta dalam menerima keadaaanya.
Peran seorang pengawas menelan obat atau tindakan yang dinilai terdiri dari
meningkatkan pasien untuk minum obat secara teratur dan tidak terputus,
meningkatkan pasien untuk datang berobat/ kontrol dan memeriksakan ulang dahak
sesuai waktu yang telah ditentukan, memberikan semangat untuk sembuh, membantu
biaya/ ongkos berobat, menganjurkan agar pasien banyak beristirahat, memberikan
pasien makanan yang bergizi serta membersihkan rumah dan lingkungan dengan baik.
41
dialami pasien, kesediaan petugas mendengarkan keluhan pasien dan memberikan
solusinya, dan peran petugas dalam memberikan penyuluhan kesehatan kepada
keluarga pasien.
Lama terapi dilihat dari rentang waktu sejak dimulai pengobatan tahap awal
saat mulai terdiagnosis TB MDR hingga pemeriksaan terakhir. Lama terapi
dikategorikan menjadi terapi jangka pendek (untuk pasien yang sedang menjalani
terapi 4-6 bulan); terapi jangka menengah (untuk pasien yang sedang menjalani terapi
7-17 bulan); dan terapi jangka panjang (untuk pasien yang sedang menjalani terapi
18-24 bulan).
Efek samping obat dikategorikan menjadi ringan dan berat. Efek samping obat
dilihat dari gejala dan keluhan yang dialami pasien. Efek samping obat ringan apabila
pengobatan yang dijalani saat terjadinya keluhan tersebut tetap dilanjutkan dan
diberikan petunjuk cara mengatasinya atau pengobatan tambahan untuk
menghilangkan keluhan. Sedangkan efek samping obat berat apabila pengobatan
harus dihentikan sementara dan pasien dirujuk kepada dokter atau fasyankes rujukan
guna penatalaksanaan lebih lanjut.
42
Jenis obat anti tuberkulosis yang digunakan adalah OAT lini pertama yang
masih sensitif seperti Pirazinamid, Etambutol (Kelompok 1) dengan kombinasi OAT
lini kedua seperti Kanamisin dan Kapreomisin (Kelompok 2 injeksi), Levofloksasin
(Kelompok 3), Sikloserin, Etionamid, Para Amino Salisilat (Kelompok 4) serta
penambahan Vitamin B6. Penggunaan PAS (Para Amino Salisilat) diberikan hanya
ketika penggunaan sikloserin dihentikan.
Pasien yang mengalami keluhan seperti pusing, hiperurisemia, nyeri lutut dan
persendian, gatal-gatal, susah tidur, mual dan muntah, mengalami penurunan berat
badan, serta linglung tergolong mengalami efek samping yang ringan. Hal tersebut
dikarenakan penanganan yang diberikan oleh pihak rumah sakit berupa pengobatan
tambahan untuk menghilangkan keluhan yang dialami dengan tidak menghentikan
pengobatan sebelumnya. Sedangkan untuk pasien yang mengalami halusinasi,
langkah penanganan yang diberikan pihak rumah sakit yaitu menghentikan sementara
atau seterusnya salah satu pengobatan yang diduga menyebabkan efek samping
tersebut. Pasien kemudian dirujuk kepada dokter spesialis lainnya atau fasyankes
rujukan guna penatalaksanaan lebih lanjut. Dalam hal ini pasien dikatakan mengalami
efek samping berat.
Dari hasil penelitian, efek samping yang paling banyak terjadi adalah mual
dan muntah serta sakit kepala. OAT lini kedua yang mungkin menyebabkan efek
samping tersebut adalah etionamid, PAS dan levofloksasin. Tidak hanya OAT lini
kedua, OAT lini pertama yang menjadi regimen standar TB MDR yaitu pirazinamid
dan etambutol juga dapat menyebabkan efek samping tersebut. Refleks muntah secara
umum dikoordinasikan oleh pusat muntah yang terletak di batang otak.
Pusat muntah dapat menerima rangsangan dari emetogen kimia yang berada
pada sirkulasi melalui area postrema, sistem saraf pusat, dan sistem vestibular.
Penurunan berat badan pasien diakibatkan oleh menurunan nafsu makan, sakit
perut serta mual yang dialami karena menggunakan terapi isoniazid, rifampisin serta
pirazinamid. Penurunan nafsu makan kemungkinan juga disebabkan karena mual dan
muntah yang dirasakan pasien. Dalam penelitian juga ditemukan pasien yang
mengalamani anoreksia.
Efek samping mual dan muntah merupakan keluhan yang sering terjadi pada
kasus TB MDR. Pada kasus ini diberikan omeprazol 20 mg dan antasida sirup sebagai
penanganan efek samping mual dan muntah. Keluahan mual dan muntah
menyebabkan penambahan obat-obat simtomatis tanpa harus mengubah regimen
terapi sebelumnya.
Efek samping hiperurisemia (tingginya kadar asam urat melebihi normal) juga
dialami sebagian kecil pasien. Disebabkan oleh pemberian pirazinamid maupun
levofloksasin.
43
Pirazinamid dapat menyebabkan serangan Gout arthritis yang kemungkinan
disebabkan berkurangnya ekskresi dan mengakibatkan penimbunan asam urat. Pada
kasus ini penanganan efek samping hiperurisemia yang direkomendasikan oleh rumah
sakit yaitu dengan pemberian allopurinol 100 mg 1x1 tablet. Pada beberapa pasien
dosis pirazinamid diturunkan dan dievaluasi selama tiga hari. Jika hasil pemeriksaan
asam urat normal kembali maka diberikan dosis pirazinamid sesuai dengan dosis yang
sudah ditentukan.
Efek samping yang jarang terjadi yaitu gangguan tidur. Jika ada pasien yang
mengalami gangguan tidur, gangguan tidur yang dialami pasien kemungkinan
disebabkan karena penggunaan levofloksasin. Pasien yang mengalami gangguan tidur
ini diberikan terapi tambahan diazepam 1x1 tablet yang diminum pada malam hari.
Nyeri persendian dan nyeri lutut yang dialami pasien disebabkan oleh
pirazinamid sehingga perlu diberikan terapi tambahan seperti NSAID. Dalam kasus
ini pasien diberikan tambahan parasetamol 500 mg. Gatal-gatal yang dirasakan pasien
kemungkinan disebabkan oleh reaksi alergi yang timbul setelah mengkonsumsi obat,
sehingga penatalaksanaan yang diberikan berupa tambahan CTM tanpa menghentikan
pengobatan sebelumnya.
44
terpaksa mengubah tatalaksana pengobatannya dengan obat lain yang belum tentu
cocok dan tidak akan menimbulkan alergi pada pasien yang bersangkutan.
Lamanya pengobatan dan pemilihan obat yang tepat sangat menentukan tinggi
rendahnya efek samping yang akan dialami pasien selama pengobatan dengan obat
anti tuberkulosis. Dan kekooperatifan pasien dalam memberikan informasi setiap kali
merasakan keluhan juga menjadi salah satu faktor yang dapat meminimalisir
terjadinya efek samping yang berat.
45
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari pemaparan materi diatas, dapat disimpulkan Tuberkulosis adalah penyakit
menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Yang ditularkan melalui
percikan dahak (dorplet) dari penderita tuberkulosis kepada individu yang rentan. Sebagian
besar kuman Mycobacterium tuberculosis menyerang paru, namun dapat juga menyerang
organ lain seperti pleura, selaput otak, kulit, kelenjar limfe, tulang, sendi, usus, sistem
urogenital, dan lain-lain.
Obat yang digunakan untuk tuberkulosis digolongkan atas dua kelompok yaitu,
kelompok obat lini-pertama dan obat lini-kedua.
1. Isoniazid,
2. Rifampisin,
3. Etambutol,
4. Streptomisin, dan
5. Pirazinamid.
1. Fluorokuinolon,
2. Asam Paraaminosalisilat,
3. Etionamid,
5. Kapreomisin,
7. Rifapentin.
46
Lama terapi dikategorikan menjadi terapi jangka pendek (untuk pasien yang sedang
menjalani terapi 4-6 bulan); terapi jangka menengah (untuk pasien yang sedang menjalani
terapi 7-17 bulan); dan terapi jangka panjang (untuk pasien yang sedang menjalani terapi 18-
24 bulan).
Penggunaan obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis akan cepat dan mudah
terjadi resistensi. Atas dasar ini pengobatan tuberkulosis selalu mencakup dua obat atau lebih
untuk mencegah dan memperlambat terjadinya resistensi.
4.2 Saran
Menyadari bahwa penulisan masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan
lebih fokus dan detail dalam menjelaskan mengenai materi diatas dengan sumber-sumber
yang lebih banyak dan terbaru yang dapat dipertanggung jawabkan.
Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk
menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah dijelaskan. Untuk bagian
terakhir dari makalah adalah daftar pustaka.
47
DAFTAR PUSTAKA
Setiabudi, Rianto, Melva Louisa. 2012. Antivirus. Dalam: Ganiswarna, Sulistia G, editor.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Mutschler Ernst, 1991. Dinamika Obat: Farmakologi dan Toksikologi. Edisi 5. Bandung:
Institut Teknologi Bandung.
Bassam H. Mahboub, Mayak G. Vats (eds). 2013. Tuberculosis: Current Issues in Diagnosis
and Management. In Tech.
National Institute for Health and Clinical Excellence. 2011. Tuberculosis: Clinical Diagnosis
and Management of Tuberculosis, and Measures for its Prevention and Control. London:
Royal College of Physicians.
Yelfi Anwar, Fitria Ayuni. 2016. Evaluasi Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis Pada Pasien
Baru Penderita Tuberkulosis Rawat Jalan di Rumah Sakit Atma Jaya. Farmasains Vol. 3. No.
1, halaman: 31-34.
Ni Kadek Ari Cipta Pratiwi, Sagung Chandra Yowani, I Gede Ketut Sajinadiyasa. 2016.
Hubungan Lama Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis Dengan Efek Samping Pada Pasien TB
MDR Rawat Jalan di RSUP Sanglah Denpasar. Pratiwi et al Vol. 3. No. 2: 39-48.
Angga P. Kautsar, Tina A. Intani. 2016. Kepatuhan dan Efektivitas Terapi Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) Kombinasi Dosis Tetap (KDT) dan Tunggal pada Pasien TB Paru Anak
di Salah Satu Rumah Sakit di Kota Bandung. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Vol. 5. No. 3,
halaman: 215-224.
Puspa Pameswari, Auzal Halim, Lisa Yustika. 2016. Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat
pada Pasien Tuberkulosis di Rumah Sakit Mayjen H. A. Thalib Kabupaten Kerinci. Jurnal
Sains & Klinis Vol. 2. No. 2, halaman: 116-121.
Asmalina, Parluhutan Siagian, Rina Yunita, Zainuddin Amir, Tetty Aman Nasution. 2016.
Kejadian Tuberkulosis Resisten Primer pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan. J Resper Indo
Vol. 36. No. 2, halaman: 100-105.
48