Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

“Bagaimana mengatasi peningkatan angka kejadian demam di pulau seribu?”

Pada bulan Agustus 2012, terdapat penigkatan angka kejadian demam tinggi
di Dinas Kesehatan Kepualauan Seribu. Dilaporkan adanya 427 kasusu demam tinggi
dalam sebulan dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 10%. Kasus demam tinggi
meningkat dibandingkan, kasus sebelumnya dimana rata-rata hanya dilaporkan 100
kasus dan jarang menyebabkan kematian. Dinas Kesehatan setempat menurunkan tim
untuk melakukan investigasi akan kondisi yang terjadi. Mereka mencurigai adanya
Kejadian Luar Biasa (KLB) panyakit malaria. Investigasi dilakukan dengan
menerapkan langkah-langkah penyelidikan KLB.

Malaria memang masih menjadi permasalahan kesehatan di dunia dan di


Indonesia. Di Indonesia, prevalensi dan insidensi penyakit malaria di Indonesia masih
tinggi, mencapai 417.819 kasus positif pada 2012. Andi mengakatan saat ini 70
persen kasus malaria terdapat di wilayah Indonesia Timur, terutama di Papua, Papua
Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Wilayah endemik
malaria di Indonesia Timur, ujar Andi, tersebar di 84 kabupaten kota dengan jumlah
penduduk berisiko 16 juta orang. Andi menjelaskan faktor goegrafis yang sulit
dijangkau dan penyebaran penduduk yang tidak merata merupakan beberapa
penyebab sulitnya pengendalian malaria di wilayah itu. Selain itu faktor host,
termasuk status gizi dan adanya penyakit tertentu juga meningkatkan risiko infeksi
malaria. Untuk itu, pihaknya juga melakukan pemberdayaan masyarakat dengan
pembentukan pos malaria desa dan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) juga
digerakkan melalui kecamatan hingga RT-RT setempat untuk menurunkan House
Index maupun Container Index pada jentik nyamuk.

Selain itu, juga dilakukan surveilans aktif dan surveilans migrasi. Saat ini
pemerintah menargetkan bebas malaria pada tahun 2030. Bebas malaria adalah
kondisi dimana Annual Parasite Incident (API), atau insiden parasit tahunan, di
bawah satu per 1.000 penduduk dan tidak terdapat kasus malaria pada penduduk lokal
selama tiga tahun berturut-turut.
BAB II

DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Seven Jump
Jump 1 : Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam
skenario. Dalam skenario ini kami mengklarifikasi istilah berikut:

1. Case Fatality Rate (CFR) adalah pengukuran derajat keparahan suatu


penyakit dan juga dapat didefinisikan sebagai proporsi kasus yang dilaporkan
atau kondisi dimana fatal dalam waktu tertentu.
2. Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah suatu peningkatan jumlah kasus yang
melebihi keadaan biasa, pada waktu dan daerah tertentu.
3. Prevalensi adalah proporsi individu dalam populasi yang mengalami penyakit
atau kondisi lainnya pada suatu periode waktu tertentu. Dinyatakan dalam
persen dengan rumus jumlah kasus sekarang dibanding dengan populasi total.
4. Insidensi adalah angka terjadinya penyakit selama suatu periode waktu.
5. Endemik adalah
6. Pos malaria desa adalah
7. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) adalah suatu kegiatan masyarakat dan
pemerintah yang dilakukan secara berkesinambungan untuk mencegah
menanggulangi penyakit
8. House index (HI) adalah persentasi jumlah rumah yang terdapat jentik
nyamuk.
9. Container index (CI) adalah persentasi jumlah kontainer penampung air yang
terdapat jentik nyamuk.
10. Surveilans adalah pengumpulan, analisis, dan analisis data secara terus-
menerus dan sistematis yang kemudian didiseminasikan (disebarluaskan)
kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam pencegahan penyakit dan
masalah kesehatan lainnya (DCP2, 2008).
11. Surveilans aktif adalah surveilans yang menggunakan petugas khusus
surveilans untuk kunjungan berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik
pribadi dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit,
dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut
penemuan kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks.
12. Surveilans migrasi adalah suatu sistem pencatatan, pelaporan dan
pemantauan/evaluasi terhadap perpindahan penduduk (mobilitas penduduk)
baik yang datang maupun pergi ke luar wilayah, dilakukan secara terus
menerus dan berkelanjutan.

Jump 2: Menentukan/mendefinisikan permasalahan

1. Apa yang mendasari kecurigaan KLB penyakit malaria?


2. Bagaimana cara menetapkan suatu daerah tersebut KLB/tidak?
3. Bagaimana langkah penyelidikan KLB?
4. Apa hubungan CFR dengan KLB?
5. Mengapa bisa terjadi peningkatan insiden demam tinggi dan bagaimana
cara mengatasinya?
6. Mengapa perlu dilakukan surveilans aktif dan migrasi?
7. Bagaimana penanganan KLB?
8. Apa saja faktor-faktor penyebab peningkatan prevalensi penyakit tertentu
di suatu daerah?
9. Mengapa prevalensi malaria di Indonesia Timur tinggi?
10. Bagaimanakah pencegahan yang komprehensif?
11. Apakah setiap penyakit bisa terjadi KLB?
12. Bagaimana cara melakukan pemberdayaan masyarakat untuk kasus
diskenario?
13. Seberapa efektif pemberdayaan masyarakat untuk menurunkan prevalensi
malaria?
14. Apa saja syarat-syarat disebut daerah endemik, pandemik, wabah,
epidemik?

Jump 3: Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara


mengenai permasalahan dalam jump 2.

Kejadian Luar Biasa

Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah salah satu status yang diterapkan di
Indonesia untuk mengklasifikasikan peristiwa merebaknya suatu wabah penyakit.
Untuk penyakit-penyakit endemis (penyakit yang selalu ada pada keadaan biasa),
maka KLB didefinisikan sebagai suatu peningkatan jumlah kasus yang melebihi
keadaan biasa, pada waktu dan daerah tertentu. Menurut Departemen Kesehatan
tahun 2000 Kejadian Luar Biasa adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis dalam kurun waktu
dan daerah tertentu. Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 949/MENKES/SK/VII/2004. Kejadian Luar Biasa dijelaskan
sebagai timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang
bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.

7 (tujuh) Kriteria Kejadian Luar Biasa (KLB) Menurut Permenkes 1501 Tahun
2010 adalah :

1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak adaatau


tidak dikenalpada suatu daerah.
2. Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun
waktudalam jam,hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
3. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan
denganperiodesebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu
menurut jenis penyakitnya.
4. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan
menunjukkankenaikan duakali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-
rata jumlahper bulan dalam tahunsebelumnya.
5. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu)
tahunmenunjukkankenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-
rata jumlah kejadian kesakitan perbulan pada tahun sebelumnya.
6. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1
(satu)kurun waktutertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen)
atau lebih dibandingkan denganangka kematian kasus suatu penyakit
periodesebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
7. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode
sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.

Karakteristik Penyakit yang berpotensi KLB

1. Penyakit yang terindikasi mengalami peningkatan kasus secara cepat.


2. Merupakan penyakit menular dan termasuk juga kejadian keracunan.
3. Mempunyai masa inkubasi yang cepat.
4. Terjadi di daerah dengan padat hunian.

Penyakit-Penyakit Berpotensi Wabah/KLB


Penyakit karantina/penyakit wabah penting: Kholera, Pes, Yellow Fever.

1. Penyakit potensi wabah/KLB yang menjalar dalam waktu cepat/mempunyai


mortalitas tinggi & penyakit yang masuk program eradikasi/eliminasi dan
memerlukan tindakan segera : DHF,Campak,Rabies, Tetanus neonatorum,
Diare, Pertusis, Poliomyelitis.
2. Penyakit potensial wabah/KLB lainnya dan beberapa penyakit penting :
Malaria, Frambosia, Influenza, Anthrax, Hepatitis, Typhus abdominalis,
Meningitis, Keracunan, Encephalitis, Tetanus.
3. tidak berpotensi wabah dan atau KLB, tetapi Penyakit-penyakit menular
yang masuk program : Kecacingan, Kusta, Tuberkulosa, Syphilis,
Gonorrhoe, Filariasis, dll.

Penggolongan KLB berdasarkan sumber

1. Sumber dari manusia : jalan nafas, tenggorokan, tinja, tangan, urine, dan
muntahan. Seperti :Salmonella, Shigela, Staphylococus, Streptoccocus,
Protozoa, Virus Hepatitis.
2. Sumber dari kegiatan manusia : penyemprotan (penyemprotan pestisida),
pencemaran lingkungan,penangkapan ikan dengan racun, toxin biologis dan
kimia.
3. Sumber dari binatang : binatang piaraan, ikan dan binatang pengerat.
4. Sumber dari serangga : lalat (pada makanan) dan kecoa. Misalnya :
Salmonella, Staphylococus, Streptoccocus.
5. Sumber dari udara, air, makanan atau minuman (keracunan). Dari udara,
misalnyaStaphylococus, Streptoccocus, Virus, Pencemaran Udara. Pada air,
misalnya Vibrio cholerae, Salmonella. Sedangkan pada makanan, misalnya
keracunan singkong, jamur, makan dalam kaleng.
Penanggulangan KLB

Penanggulangan KLB adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk menangani


penderita, mencegah perluasan KLB, mencegah timbulnya penderita atau
kematian baru pada suatu KLB yang sedang terjadi.

Penanggulangan KLB dikenal dengan nama Sistem Kewaspadaan Dini (SKD-


KLB), yang dapat diartikan sebagai suatu upaya pencegahan dan
penanggulangan KLB secara dini dengan melakukan kegiatan untuk
mengantisipasi KLB. Kegiatan yang dilakukan berupa pengamatan yang
sistematis dan terus-menerus yang mendukung sikap tanggap/waspada yang
cepat dan tepat terhadap adanya suatu perubahan status kesehatan masyarakat.

Penyidikan KLB

Penyelidikan KLB mempunyai tujuan utama yaitu mencegah meluasnya


(penanggulangan) dan terulangnya KLB di masa yang akan datang
(pengendalian).

Langkah-langkah yang harus dilalui pada penyelidikan KLB, sebagai berikut:

1. Persiapan penelitian lapangan.


2. Menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB.
3. Memastikan diagnosis Etiologis.
4. Mengidentifikasi dan menghitung kasus atau paparan.
5. Mendeskripsikan kasus berdasarkan orang, waktu, dan tempat.
6. Membuat cara penanggulangan sementara dengan segera (jika diperlukan).
7. Mengidentifikasi sumber dan cara penyebaran.
8. Mengidentifikasi keadaan penyebab KLB.
9. Merencanakan penelitian lain yang sistematis.
10. Menetapkan saran cara pencegahan atau penanggulangan.
11. Menetapkan sistem penemuan kasus baru atau kasus dengan komplikan.
12. Melaporkan hasil penyidikan kepada instansi kesehatan setempat dan kepala
sistim pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.

Pada pelaksanaan penyelidikan KLB, langkah-langkah tersebut tidak harus


dikerjakan secara berurutan, kadang-kadang beberapa langkah dapat dikerjakan
secara serentak. Pemastian diagnosa dan penetapan KLB merupakan langkah
awal yang harus dikerjakan:

1. Persiapan Penelitian Lapangan


Persiapan lapangan sebaiknya dikerjakan secepat mungkin, dalam 24 jam
pertama sesudah adanya informasi mengatakan bahwa persiapan penelitian
lapangan meliputi:
a. Pemantapan (konfirmasi) informasi.
b. Pembuatan rencana kerja
c. Pertemuan dengan pejabat setempat.

2. Pemastian Diagnosis Penyakit


Cara diagnosis penyakit pada KLB dapat dilakukan dengan mencocokan
gejala/tanda penyakit yang terjadi pada individu, kemudian disusun
distribusi frekuensi gejala klinisnya.

3. Penetapan KLB
Penetapan KLB dilakukan dengan membandingkan insidensi penyakit yang
tengah berjalan dengan insidensi penyakit dalam keadaan biasa (endemik)
pada populasi yang dianggap berisiko, pada tempat dan waktu tertentu.
Adanya KLB juga ditetapkan apabila memenuhi salah satu dari kriteria
KLB. Pada penyakit yang endemis, maka cara menentukan KLB bisa
menyusun dengan grafik pola maksimum-minimum 5 tahunan atau 3
tahunan.

4. Identifikasi kasus atau paparan


Identifikasi kasus penting dilakukan untuk membuat perhitungan kasus
dengan teliti. Hasil perhitungan kasus ini digunakan selanjutnya untuk
mendeskripsikan KLB. Dasar yang dipakai pada identifikasi kasus adalah
hasil pemastian diagnosis penyakit.
Identifikasi paparan perlu dilakukan sebagai arahan untuk indentifikasi
sumber penularan. Pada tahap ini cara penentuan paparan dapat dilakukan
dengan mempelajari teori cara penularan penyakit tersebut. Ini penting
dilakukan terutama pada penyakit yang cara penularannya tidak jelas
(bervariasi). Pada KLB keracunan makanan identifikasi paparan ini secara
awal perlu dilakukan untuk penanggulangan sementara dengan segera

5. Deskripsi KLB
a. Deskripsi kasus berdasarkan waktu
Penggambaran kasus berdasarkan waktu pada periode wabah
(lamanya KLB berlangsung) digambarkan dalam suatu kurva
epidemik. Kurva epidemik adalah suatu grafik yang menggambarkan
frekuensi kasus berdasarkan saat mulai sakit (onset of illness) selama
periode wabah. Penggunaan kurva epidemik untuk menentukan cara
penularan penyakit. Salah satu cara untuk menentukan cara penularan
penyakit pada suatu KLB yaitu dengan melihat tipe kurva epidemik,
sebagai berikut:
1) Kurva epidemik dengan tipe point common source (penularan
berasal dari satu sumber). Tipe kurva ini terjadi pada KLB
dengan kasus-kasus yang terpapar dalam waktu yang sama
dan singkat. Biasanya ditemui pada penyakit-penyakit yang
ditularkan melalui air dan makanan (misalnya: kolera,
typoid).
2) Kurva epidemik dengan tipe propagated. Tipe kurva ini
terjadi pada KLB dengan cara penularan kontak dari orang ke
orang. Terlihat adanya beberapa puncak. Jarak antara puncak
sistematis, kurang lebih sebesar masa inkubasi rata rata
penyakit tersebut.
3) Tipe kurva epidemik campuran antara common source
danpropagated. Tipe kurva ini terjadi pda KLB yang pada
awalnya kasus-kasus memperoleh paparan suatu sumber
secara bersama, kemudian terjadi karena penyebaran dari
orang ke orang (kasus sekunder).

b. Deskripsi kasus berdasarkan tempat


Tujuan menyusun distribusi kasus berdasarkan tempat adalah untuk
mendapatkan petunjuk populasi yang rentan kaitannya dengan tempat
(tempat tinggal, tempat pekerjaan). Hasil analisis ini dapat digunakan
untuk mengidentifikasi sumber penularan. Agar tujuan tercapai,
maka kasus dapat dikelompokan menurut daerah variabel geografi
(tempat tinggal, blok sensus), tempat pekerjaan, tempat (lingkungan)
pembuangan limbah, tempat rekreasi, sekolah, kesamaan hubungan
(kesamaan distribusi air, makanan), kemungkinan kontak dari orang
ke orang atau melalui vektor.

c. Deskripsi kasus berdasarkan orang


Teknik ini digunakan untuk membantu merumuskan hipotesis
sumber penularan atau etiologi penyakit.
Orang dideskripsikan menurut variabel umur, jenis kelamin, ras,
status kekebalan, status perkawinan, tingkah laku, atau kebudayaan
setempat. Pada tahap dini kadang hubungan kasus dengan variabel
orang ini tampak jelas. Keadaan ini memungkinkan memusatkan
perhatian pada satu atau beberapa variabel di atas. Analisis kasus
berdasarkan umur harus selalu dikerjakan, karena dari age spscific
rate dengan frekuensi dan beratnya penyakit. Analisis ini akan
berguna untuk membantu pengujian hipotesis mengenai penyebab
penyakit atau sebagai kunci yang digunakan untuk menentukan
sumber penyakit.

6. Penanggulangan sementara
Kadang-kadang cara penanggulangan sementara sudah dapat
dilakukan atau diperlukan, sebelum semua tahap penyelidikan dilampaui.
Cara penanggulangan ini dapat lebih spesifik atau berubah sesudah semua
langkah penyelidikan KLB dilaksanakan.
Menurut Goodman et al. (1990) dalam Maulani (2010), kecepatan
keputusan cara penanggulangan sangat tergantung dari diketahuinya etiologi
penyakit, sumber dan cara penularannya, sebagai berikut:
a. Jika etiologi telah diketahui, sumber dan cara penularannya dapat
dipastikan maka penanggulangan dapat dilakukan tanpa penyelidikan
yang luas. Sebagai contoh adanya kasus Hepatitis A di rumah sakit,
segera dapat dilakukan penanggulangannya yaitu memberikan
imunisasi pada penderita yang diduga kontak, sehingga penyelidikan
hanya dilakukan untuk mencari orang yang kontak dengan penderita
(MMWR, 1985 dalam Maulani, 2010).
b. Jika etiologi diketahui tetapi sumber dan cara penularan belum dapat
dipastikan, maka belum dapat dilakukan penanggulangan. Masih
diperlukan penyelidikan yang lebih luas untuk mencari sumber dan
cara penularannya. Sebagai contoh: KLB Salmonella Muenchen
tahun 1971. Pada penyelidikan telah diketahui etiologinya
(Salmonella). Walaupun demikian cara penanggulangan tidap segera
ditetapkan sebelum hasil penyelidikan mengenai sumber dan cara
penularan ditemukan. Cara penanggulangan baru dapat ditetapkan
sesudah diketahui sumber penularan dengan suatu penelitian kasus
pembanding (Taylor et al., 1982 dalam Maulani, 2010).
c. Jika etiologi belum diketahui tetapi sumber dan cara penularan
sudah diketahui maka penanggulangan segera dapat dilakukan,
walaupun masih memerlukan penyelidikan yang luas tentang
etiologinya. Sebagai contoh: suatu KLB Organophosphate pada
tahun 1986. Diketahui bahwa sumber penularan adalah roti, sehingga
cara penanggulangan segera dapat dilakukan dengan mengamankan
roti tersebut. Penyelidikan KLB masih diperlukan untuk mengetahui
etiologinya yaitu dengan pemeriksaan laboratorium, yang ditemukan
parathion sebagai penyebabnya (Etzel et al., 1987 dalam Maulani,
2010).
d. Jika etiologi dan sumber atau cara penularan belum diketahui, maka
penanggulangan tidak dapat dilakukan. Dalam keadaan ini cara
penanggulangan baru dapat dilakukan sesudah penyelidikan. Sebagai
contoh: Pada KLB Legionare pada tahun 1976, cara penanggulangan
baru dapat dikerjakan sesudah suatu penyelidikan yang luas
mengenai etiologi dan cara penularan penyakit tersebut (Frase et al.,
1977 dalam Maulani, 2010).

7. Identifikasi sumber penularan dan keadaan penyebab KLB


a. Identifikasi sumber penularan. Untuk mengetahui sumber dan cara
penularan dilakukan dengan membuktikan adanya agent pada sumber
penularan.
b. Identifikasi keadaan penyebab KLB. Secara umum keadaan
penyebab KLB adalah adanya perubahan keseimbangan dari agent,
penjamu, dan lingkungan.

8. Perencanaan penelitian lain yang sistematis


Goodman et al (1990) dalam Maulani, 2010 mengatakan bahwa KLB
merupakan kejadian yang alami (natural), oleh karenanya selain untuk
mencapai tujuan utamanya penyelidikan epidemiologi KLB merupakan
kesempatan baik untuk melakukan penelitian.
Mengingat hal ini sebaiknya pada penyelidikan epidemiologi KLB selalu
dilakukan:
a. Pengkajian terhadap sistem surveilans yang ada, untuk mengetahui
kemampuannya yang ada sebagai alat deteksi dini adanya KLB,
kecepatan informasi dan pemenuhan kewajiban pelaksanaan sistem
surveilans.
b. Penelitian faktor risiko kejadian penyakit KLB yang sedang
berlangsung.
c. Evaluasi terhadap program kesehatan.

9. Penyusunan Rekomendasi
a. Program Pengendalian
Program pengendalian dilakukan oleh institusi kesehatan dalam
upaya menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat
penyakit menular dan penyakit tidak menular.
Tahapan – tahapan program, yaitu:
1) Perencanaan
Dalam tahap perencanaan dilakukan analisis situasi masalah,
penetapan masalah prioritas, inventarisasi alternatif
pemecahan masalah, penyusunan dokumen perencanaan.
Dokumen perencaan harus detail terhadap target/tujuan yang
ingin dicapai, uraian kegiatan dimana, kapan, satuan setiap
kegiatan, volume, rincian kebutuhan biaya, adanya petugas
penanggungjawab setiap kegiatan, metode pengukuran
keberhasilan.
2) Pelaksanaan
Dalam tahap pelaksanaan dilakukan implemantasi dokumen
perencanaan, menggerakan dan mengkoordinasikn seluruh
komponen dan semua pihak yang terkait.
3) Pengendalian
Supervisi dilakukan untuk memastikan seluruh kegiatan
benar-benar dilaksanakan sesuai dengan dokumen
perencanaan.
b. Penanggulangan KLB
1) Penyelidikan epidemiologis
Penyelidikan epidemiologi pada Kejadian Luar Biasa adalah
untuk mengetahui keadaan penyebab KLB dengan
mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap
kejadian tersebut, termasuk aspek sosial dan perilaku
sehingga dapat diketahui cara penanggulangan dan
pengendaian yang efektif dan efisien.
2) Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita
termasuk tindakan karantina
Tujuannya adalah:
a) Memberikan pertolongan medis kepada penderita agar
sembuh dan mencegah agar mereka tidak menjadi
sumber penularan.
b) Menemukan dan mengobati orang yang tampaknya
sehat, tetapi mengandung penyebab penyakit sehingga
secara potensial dapat menularkan penyakit (carrier).
3) Pencegahan dan pengendalian
Merupakan tindakan yang dilakukan untuk memberi
perlindungan kepada orang-orang yang belum sakit, tetapi
mempunyai resiko terkena penyakit agar jangan sampai
terjangkit penyakit.
4) Pemusnahan penyebab penyakit
Pemusnahan penyebab penyakit terutama pemusnahan
terhadap bibit penyakit/kuman dan hewan tumbuh-tumbuhan
atau benda yang mengandung bibit penyakit.
5) Penanganan jenazah akibat wabah
Terhadap jenazah akibat penyebab wabah perlu penanganan
secara khusus menurut jenis penyakitnya untuk
menghindarkan penularan penyakit pada orang lain.
6) Penyuluhan kepada masyarakat
Penyuluhan kepada masyarakat, yaitu kegiatan komunikasi
yang bersifat persuasif edukatif tentang penyakit yang dapat
menimbulkan wabah agar mereka mengerti sifat-sifat
penyakit, sehingga dapat melindungi diri dari penyakit
tersebut dan apabila terkena, tidak menularkannya kepada
orang lain. Penyuluhan juga dilakukan agar masyarakat dapat
berperan serta aktif dalam menanggulangi wabah.
7) Upaya penanggulangan lainnya
Upaya penanggulangan lainya adalah tindakan-tindakan
khusus masing-masing penyakit yang dilakukan dalam rangka
penanggulangan wabah. (Menteri Kesehatan RI, 2010)
10. Penyusunan laporan KLB
Hasil penyelidikan epidemiologi hendaknya dilaporkan kepada pihak
yang berwenang baik secara lisan maupun secara tertulis. Laporan secara
lisan kepada instansi kesehatan setempat berguna agar tindakan
penanggulangan dan pengendalian KLB yang disarankan dapat
dilaksanakan. Laporan tertulis diperlukan agar pengalaman dan hasil
penyelidikan epidemiologi dapat dipergunakan untuk merancang dan
menerapkan teknik-teknik sistim surveilans yang lebih baik atau
dipergunakan untuk memperbaiki program kesehatan serta dapat
dipergunakan untuk penanggulangan atau pengendalian KLB.

Surveillance

Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan analisis


data secara terus menerus dan sistematis yang kemudian didiseminasikan
(disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam pencegahan
penyakit dan masalah kesehatan lainnya (DCP2, 2008). Surveilans memantau
terus-menerus kejadian dan kecenderungan penyakit, mendeteksi dan
memprediksi outbreak pada populasi, mengamati faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada
agen, vektor, dan reservoir. Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi
tersebut kepada pembuat keputusan agar dapat dilakukan langkah-langkah
pencegahan dan pengendalian penyakit (Last, 2001). Surveilans memungkinkan
pengambil keputusan untuk memimpin dan mengelola dengan efektif. Surveilans
kesehatan masyarakat memberikan informasi kewaspadaan dini bagi pengambil
keputusan dan manajer tentang masalah-masalah kesehatan yang perlu
diperhatikan pada suatu populasi. Surveilans dilakukan secara terus menerus
tanpa terputus (kontinu), sedang pemantauan dilakukan intermiten atau episodik.
Dengan mengamati secara terus-menerus dan sistematis maka perubahan-
perubahan kecenderungan penyakit dan faktor yang mempengaruhinya dapat
diamati atau diantisipasi, sehingga dapat dilakukan langkah-langkah investigasi
dan pengendalian penyakit dengan tepat.

Tujuan surveilans:

Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah


kesehatan populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan
dapat dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif. Tujuan
khusus surveilans: (1) Memonitor kecenderungan (trends) penyakit; (2)
Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini
outbreak (3) Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit
(disease burden) pada populasi; (4) Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas,
membantu perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi program
kesehatan; (5) Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan; (6)
Mengidentifikasi kebutuhan riset (Last, 2001; Giesecke, 2002; JHU, 2002).

Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis: (1) Surveilans pasif; (2)
Surveilans aktif (Gordis, 2000). Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif,
dengan menggunakan data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases)
yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan. Kelebihan surveilans pasif, relatif
murah dan mudah untuk dilakukan. Negara-negara anggota WHO diwajibkan
melaporkan sejumlah penyakit infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan
surveilans pasif dapat dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional.
Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif dalam mendeteksi
kecenderungan penyakit. Data yang dihasilkan cenderung under-reported, karena
tidak semua kasus datang ke fasilitas pelayanan kesehatan formal. Selain itu,
tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya rendah, karena waktu
petugas terbagi dengan tanggungjawab utama memberikan pelayanan kesehatan
di fasilitas kesehatan masing-masing. Untuk mengatasi problem tersebut,
instrumen pelaporan perlu dibuat sederhana dan ringkas.

Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk kunjungan


berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis
lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan mengidentifikasi
kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus (case finding), dan
konfirmasi laporan kasus indeks. Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat
daripada surveilans pasif, sebab dilakukan oleh petugas yang memang
dipekerjakan untuk menjalankan tanggungjawab itu. Selain itu, surveilans aktif
dapat mengidentifikasi outbreak lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal
dan lebih sulit untuk dilakukan daripada surveilans pasif.

Surveilans migrasi adalah kegiatan pengambilan sediaan darah orang-orang


yang menunjukkan gejala malaria klinis yang baru datang dari daerah endemis
malaria dalam rangka mencegah masuknya kasus impor.

Penanganan KLB

1. Tahap Pemberantasan
Tujuan utama pada Tahap Pemberantasan adalah mengurangi tingkat penularan
malaria disatu wilayah minimal kabupaten/kota, sehingga pada akhir tahap
tersebut tercapai SPR < 5 %. Sasaran intervensi kegiatan dalam Tahap
Pemberantasan adalah seluruh lokasi endemis malaria (masih terjadi penularan) di
wilayah yang akan dieliminasi.
Untuk mencapai tujuan Tahap Pemberantasan, perlu dilakukan pokok-pokok
kegiatan sebagai berikut :
a. Penemuan dan Tata Laksana Penderita
- Meningkatkan cakupan penemuan penderita malaria dengan konfirmasi
laboratorium baik secara mikroskopis maupun RDT.
- Mengobati semua penderita malaria (kasus positif) dengan obat malaria
efektif dan aman yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI (saat ini
menggunakan Artemisinin Combination Therapy).
- Melakukan pemeriksaan ulang sediaan darah, pemantauan kualitas RDT,
dan meningkatkan kemampuan mikroskopis.
- Memantau efikasi obat malaria.
b. Pencegahan dan penanggulangan faktor risiko
- Melakukan survei vektor dan analisis dinamika penularan untuk
menentukan metode pengendalian vektor yang tepat.
- Mendistribusikan kelambu berinsektisida secara massal maupun integrasi
dengan program/sektor lain di lokasi endemis malaria.
- Melakukan penyemprotan rumah (Indoor Residual Spraying) atau
pengendalian vektor lain yang sesuai di lokasi potensial atau sedang
terjadi KLB.
- Memantau efikasi insektisida (termasuk kelambu berinsektisida) dan
resistensi vektor.
c. Surveilans epidemiologi dan penanggulangan wabah
- Meningkatkan kemampuan unit pelayanan kesehatan pemerintah maupun
swasta (Puskesmas, poliklinik, rumah sakit) dalam pelaksanaan SKD-
KLB.
- Menanggulangi KLB malaria.
- Meningkatkan cakupan dan kualitas pencatatan-pelaporan tentang angka
kesakitan malaria serta hasil kegiatan.
- Melakukan pemetaan daerah endemis malaria dari data rutin dan hasil
survei.
d. Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
- Meningkatkan peran aktif masyarakat antara lain melalui pembentukan
Pos Malaria Desa (Posmaldes) di daerah terpencil.
- Meningkatan promosi kesehatan.
- Menggalang kemitraan dengan berbagai program, sektor, LSM, organisasi
keagamaan, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, organisasi
internasional, lembaga donor, dunia usaha dan seluruh masyarakat.
- Integrasi dengan program lain dalam pelayanan masyarakat, seperti
pembagian kelambu berinsektisida, pengobatan penderita.
- Menyusun Perda atau peraturan perundangan lainnya untuk mendukung
eliminasi malaria.
e. Peningkatan sumber daya manusia
- Menyelenggarakan pelatihan tenaga mikroskopis Puskesmas dan rumah
sakit pemerintah maupun unit pelayanan kesehatan swasta serta menjaga
kualitas pemeriksaan sediaan darah.
- Sosialisasi dan pelatihan tata laksana penderita.
- Pelatihan tenaga pengelola malaria dalam bidang teknis dan manajemen.
2. Tahap Pra Eliminasi
Tujuan utama pada tahap Pra Eliminasi adalah mengurangi jumlah fokus aktif dan
mengurangi penularan setempat di satu wilayah minimal kabupaten/kota,
sehingga pada akhir tahap tersebut tercapai API < 1 per 1000 penduduk berisiko.
Sasaran intervensi kegiatan dalam Tahap Pra Eliminasi adalah fokus aktif (lokasi
yang masih terjadi penularan setempat) di wilayah yang akan dieliminasi. Pokok-
pokok kegiatan yang dilakukan adalah :
a. Penemuan dan tata laksana penderita
- Menemukan semua penderita malaria dengan konfirmasi mikroskopisdi
Puskesmas dan rumah sakit pemerintah maupun unit pelayanan kesehatan
swasta.
- Mengobati semua penderita malaria (kasus positif) dengan obat malaria
efektif dan aman yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI (saat ini
menggunakan Artemisinin Combination Therapy).
- Melakukan pemeriksaan ulang sediaan darah dan secara berkala menguji
kemampuan pemeriksaan mikroskopis.
- Memantau efikasi obat malaria.
- Meningkatkan cakupan penemuan dan pengobatan penderita secara pasif
melalui Puskesmas Pembantu
b. Pencegahan dan penanggulangan faktor risiko
- Mendistribusikan kelambu berinsektisida secara massal maupun secara
rutin melalui kegiatan integrasi dengan program lain dapat mencakup >
80% penduduk di lokasi fokus malaria dengan API ≥ 1‰.
- Melakukan penyemprotan rumah dengan cakupan > 90% rumah penduduk
di lokasi potensial atau sedang terjadi KLB dan di lokasi fokus malaria
dengan API ≥ 1‰ yang tidak sesuai dengan penggunaan kelambu
berinsektisida.
- Melakukan pengendalian vektor dengan metode lain yang sesuai untuk
menurunkan reseptivitas, seperti manajemen lingkungan, larvasidasi, dan
pengendalian vektor secara hayati.
- Memantau efikasi insektisida (termasuk kelambu berinsektisida) dan
resistensi vektor.
c. Surveilans epidemiologi dan penanggulangan wabah
- Semua unit pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta (Puskesmas,
poliklinik, rumah sakit) melaksanakan SKD-KLB malaria, dianalisis dan
dilaporkan secara berkala ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
- Menanggulangi KLB malaria.
- Memperkuat sistem informasi kesehatan sehingga semua penderita dan
kematian malaria serta hasil kegiatan dapat dicatat dan dilaporkan.
- Melaporkan penemuan kasus dengan segera.
- Menginventarisasi dan memetakan fokus malaria.
- Membuat data dasar eliminasi, antara lain secara Geographycal
Information System(GIS) berdasarkan data fokus, kasus, vektor, genotipe
isolate parasit dan intervensi yang dilakukan.
- Membentuk Tim Monitoring Eliminasi Malaria di Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/Kota.
Tugas utama Tim tersebut adalah :
a. Membuat data dasar eliminasi.
b. Melakukan penilaian secara objektif dalam menentukan apakah suatu
wilayah kabupaten/kota sudah memenuhi syarat untuk masuk tahap pra
eliminasi atau sudah siap memasuki tahap berikutnya, berdasarkan :
1) Status penularan malaria di wilayah tersebut.
2) Kesiapan dan kemampuan upaya pelayanan kesehatan setempat.
c. Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
- Meningkatkan promosi kesehatan dan kampanye eliminasi malaria.
- Menggalang kemitraan dengan berbagai program, sektor, LSM,
organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi,
organisasi internasional, lembaga donor, dunia usaha dan seluruh
masyarakat.
- Melakukan integrasi dengan program lain dalam pelayanan
masyarakat, seperti pembagian kelambu berinsektisida, penemuan dan
pengobatan penderita.
- Mentaati dan melaksanakan Peraturan daerah dan atau peraturan
perundangan lainnya untuk mendukung eliminasi malaria.
- Melakukan advokasi dan sosialisasi agar mendapat dukungan politik
dan adanya jaminan dalam penyediaan dana secara berkesinambungan
untuk menghilangkan fokus aktif yang masih ada.
- Mobilisasi dana yang bersumber dari kabupaten/kota, provinsi dan
pusat maupun lembaga donor.
- Menyelenggarakan pertemuan lintas-batas provinsi dan
kabupaten/kota untuk merencanakan dan melakukan kegiatan secara
terpadu dalam Eliminasi Malaria.
e. Peningkatan sumber daya manusia
- Re-orientasi program menuju Tahap Eliminasi disampaikan kepada petugas
kesehatan pemerintah maupun swasta yang terlibat dalam Eliminasi Malaria
agar mereka memahami tujuan eliminasi dan tugas yang harus dilaksanakan.
- Pelatihan/refreshing tenaga mikroskopis Puskesmas dan rumah sakit
pemerintah maupun unit pelayanan kesehatan swasta serta menjaga kualitas
pemeriksaan sediaan darah.
- Pelatihan tenaga pengelola malaria dalam bidang teknis dan manajemen.
- Sosialisasi dan pelatihan tata laksana penderita.

3. Tahap Eliminasi
Tujuan utama pada tahap Eliminasi adalah menghilangkan fokus aktif dan
menghentikan penularan setempat di satu wilayah, minimal kabupaten/kota,
sehingga pada akhir tahap tersebut kasus penularan setempat (indigenous) nol
(tidak ditemukan lagi). Sasaran intervensi kegiatan dalam Tahap Eliminasi adalah
sisa fokus aktif dan individu kasus positif dengan penularan setempat (kasus
indigenous). Pokok-pokok kegiatan yang dilakukan adalah :
a. Penemuan dan tata laksana penderita
- Menemukan semua penderita malaria dengan konfirmasi mikroskopis
baik secara pasif (PCD) di unit pelayanan kesehatan pemerintah dan
swasta, maupun penemuan penderita secara aktif (ACD).
- Mengobati semua penderita malaria (kasus positif) dengan obat malaria
efektif dan aman yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI (saat
ini menggunakan Artemisinin Combination Therapy).
- Melakukan follow up pengobatan penderita malaria falciparum pada hari
ke-7 dan ke-28 setelah pengobatan, sedang penderita malaria vivax pada
hari ke-7, 28 dan 3 bulan setelah pengobatan.
- Melakukan pemeriksaan ulang sediaan darah dan secara berkala menguji
kemampuan mikroskopis dalam memeriksa sediaan darah.
- Memantau efikasi obat malaria.
- Melibatkan sepenuhnya peran praktek swasta dan klinik serta rumah
sakit swasta dalam penemuan dan pengobatan penderita.
b. Pencegahan dan penanggulangan faktor resiko
- Melakukan pengendalian vektor yang sesuai, antara lain dengan
pembagian kelambu berinsektisida (cakupan > 80% penduduk) atau
penyemprotan rumah (cakupan > 90% rumah) untuk menurunkan tingkat
penularan di lokasi fokus baru dan sisa fokus lama yang masih aktif.
- Bila perlu melakukan larvasidasi atau manajemen lingkungan dilokasi
fokus yang reseptivitasnya tinggi (kepadatan vektor tinggi dan adanya
faktor lingkungan serta iklim yang menunjang terjadinya penularan).
- Memantau efikasi insektisida (termasuk kelambu berinsektisida) dan
resistensi vektor.
- Memberikan perlindungan individu dengan kelambu berinsektisida
kepada penduduk di wilayah eliminasi yang akan berkunjung ke daerah
lain yang endemis malaria baik di dalam maupun di luar negeri.
c. Surveilans epidemiologi dan penanggulangan wabah
- Semua unit pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta (Puskesmas,
poliklinik, rumah sakit) melaksanakan SKD-KLB malaria, dianalisis dan
dilaporkan secara berkala ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
- Segera melakukan penanggulangan bila terjadi KLB malaria.
- Melaksanakan surveilans penderita dengan ketat, terutama bila sudah
mulai jarang ditemukan penderita dengan penularan setempat.
- Melaksanakan surveilans migrasi untuk mencegah masuknya kasus
impor.
- Melakukan penyelidikan epidemologi terhadap semua kasus positif
malaria untuk menentukan asal penularan penderita.
- Melaporkan dengan segera setiap kasus positif malaria yang ditemukan
di unit pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta kepada Dinas
Kesehatan secara berjenjang sampai tingkat pusat.
- Melakukan penyelidikan epidemiologi terhadap fokus malaria untuk
menentukan asal, luas dan klasifikasi fokus tersebut.
- Memperkuat sistem informasi malaria sehingga semua kasus dan hasil
kegiatan intervensi dapat dicatat dengan baik dan dilaporkan.
- Mencatat semua kasus positif dalam buku register secara nasional.
- Melaksanakan pemeriksaan genotipe isolate parasit secara rutin.
- Membuat peta GIS berdasarkan data fokus, kasus positif, genotipe isolate
parasit, vektor, dan kegiatan intervensi yang dilakukan.
- Memfungsikan Tim Monitoring Eliminasi Malaria di Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/Kota.
d. Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
- Meningkatkan promosi kesehatan dan kampanye eliminasi malaria.
- Menggalang kemitraan dengan berbagai program, sektor, LSM,
organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi,
organisasi internasional, lembaga donor, dunia usaha dan seluruh
masyarakat.
- Melakukan integrasi dengan program lain dalam pelayanan masyarakat,
seperti pembagian kelambu berinsektisida, pengobatan penderita.
- Memfungsikan Perda atau peraturan perundangan lainnya, antara lain
untuk membebaskan biaya diagnosis laboratorium dan pengobatan
malaria di unit pelayanan kesehatan pemerintah, serta melarang
penjualan obat malaria di warung atau kaki lima.
- Melakukan advokasi dan sosialisasi untuk mendapatkan dukungan
politik dan jaminan dalam penyediaan dana secara berkesinambungan
dalam upaya eliminasi malaria, khususnya menghilangkan fokus aktif
dan menghentikan penularan setempat.
- Mobilisasi dana yang bersumber dari kabupaten/kota, provinsi, dan pusat
maupun lembaga donor.
- Melakukan pertemuan lintas batas antar provinsi dan kabupaten/kota
untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan Eliminasi Malaria
secara terpadu.
e. Peningkatan sumber daya manusia
- Melaksanakan re-orientasi program menuju Tahap Pemeliharaan
(pencegahan penularan kembali) disampaikan kepada petugas kesehatan
pemerintah maupun swasta yang terlibat eliminasi. Re-orientasi ini mulai
dilaksanakan bila:
a) Surveilans penderita yang ketat sudah mampu memutuskan
penularan malaria setempat secara total atau hampir total (penderita
indigenous sudah sangat jarang ditemukan).
b) Penderita dengan penularan setempat hampir tidak ditemukan atau
sangat jarang.
c) Hampir semua penderita positif yang ditemukan adalah penderita
impor, relaps, induced dan introduced.
d) Melaksanakan pelatihan/refreshing tenaga mikroskopis Puskesmas
dan rumah sakit pemerintah maupun unit pelayanan kesehatan
swasta terutama di daerah reseptive untuk menjaga kualitas
pemeriksaan sediaan darah.
- Melaksanakan pelatihan tenaga Juru Malaria Desa (JMD) untuk kegiatan
ACD di wilayah yang masih memerlukan.

Tahap Eliminasi sudah tercapai apabila :


- Penderita dengan penularan setempat sudah dapat diturunkan sampai nol
dalam periode satu tahun terakhir.
- Kegiatan surveilans di unit pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta,
mampu mendeteksi dan menghentikan bila terjadi penularan malaria.

4. Tahap Pemeliharaan (Pencegahan Penularan Kembali)


Tujuan utama pada Tahap Pemeliharaan adalah mencegah munculnya kembali
kasus dengan penularan setempat.Sasaran intervensi kegiatan dalam Tahap
Pemeliharaan adalah individu kasus positif, khususnya kasus impor. Pokok-pokok
kegiatan yang harus dilakukan adalah :
a. Penemuan dan tata laksana penderita
- Di wilayah dengan tingkat reseptivitas dan vulnerabilitas yang rendah,
penemuan penderita secara dini cukup dengan kegiatan PCD melalui unit
pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta.
- Di wilayah dengan tingkat reseptivitas dan vulnerabilitas yang tinggi,
penemuan penderita secara dini disamping PCD juga dilakukan ACD
oleh JMD.
- Semua sediaan darah diperiksa ulang di laboratorium rujukan secara
berjenjang di kabupaten/kota, provinsi dan pusat.
- Mengobati semua penderita malaria (kasus positif) dengan obat malaria
efektif dan aman yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI (saat
ini menggunakan Artemisinin Combination Therapy).
- Melakukan follow up pengobatan penderita positif falciparum pada hari
ke-7 dan ke-28 setelah pengobatan, untuk penderita positif vivax pada
hari ke-7, 28 dan 90 (3 bulan) setelah pengobatan.
b. Pencegahan dan penanggulangan faktor resiko
- Di wilayah dengan tingkat reseptivitas dan vulnerabilitas yang tinggi,
untuk menurunkan reseptivitas bila perlu dilakukan pengendalian vektor
yang sesuai di lokasi tersebut, seperti larvasidasi atau manajemen
lingkungan.
- Di lokasi fokus bila ditemukan penderita dengan penularan setempat dan
atau penderita introduced dilakukan pengendalian vektor yang sesuai di
lokasi tersebut, seperti penyemprotan rumah atau pembagian kelambu
berinsektisida.
c. Surveilance epidemilogi dan penanggulangan wabah
Untuk mencegah munculnya kembali kasus dengan penularan setempat,
dilakukan kegiatan kewaspadaan sebagai berikut:
- Pada tingkat reseptivitas dan vulnerabilitas rendah dilakukan:
a) Penemuan penderita pasif (PCD) melalui unit pelayanan kesehatan
baik pemerintah maupun swasta.
b) Penyelidikan epidemologi terhadap semua kasus positif untuk
menentukan asal penularan.
c) Follow up pengobatan penderita.
d) Surveilans migrasi untuk mencegah masuknya kasus impor.
- Pada tingkat reseptivitas dan vulnerabilitas tinggi dilakukan kegiatan-
kegiatan seperti di atas, ditambah kegiatan ACD oleh JMD, pengendalian
vektor yang sesuai untuk menurunkan reseptivitas.

Di samping kegiatan kewaspadaan seperti di atas, masih dilakukan


kegiatan surveilans yang lain seperti :
- Melaporkan dengan segera semua kasus positif yang ditemukan.
- Mempertahankan sistem informasi malaria yang baik sehingga semua
kasus dan hasil kegiatan intervensi dapat dicatat dan dilaporkan.
- Mencatat semua kasus positif dalam buku register di kabupaten/kota,
provinsi dan pusat.
- Melakukan pemeriksaan genotip isolate parasit.
- Melakukan penyelidikan epidemologi terhadap fokus malaria untuk
menentukan asal dan luasnya penularan serta klasifikasinya.
- Membuat peta GIS berdasarkan data fokus, kasus, genotip isolate parasit,
vektor dan kegiatan intervensi.
d. Peningkatan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
- Meningkatkan promosi kesehatan untuk mencegah kembalinya
penularan dari kasus impor yang terlambat ditemukan.
- Menggalang kemitraan dengan berbagai program, sektor, LSM
organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi,
organisasi internasional, lembaga donor, dunia usaha, dan seluruh
masyarakat.
- Melakukan integrasi dengan program lain dalam kegiatan penurunan
reseptivitas.
- Melakukan advokasi dan sosialisasi agar mendapat dukungan politik dan
jaminan dalam penyediaan dana minimal untuk pemeliharaan eliminasi
(mencegah penularan kembali).
e. Peningkatan Sumber Daya Manusia
- Melakukan refreshing dan motivasi kepada petugas mikroskopis agar
tetap menjaga kualitas dalam pemeriksaan sediaan darah.

Faktor Penyebab Meningkatnya Prevalensi Suatu Penyakit


Faktor Penyebab

Trias Epidemiologi adalah suatu konsep dasar epidemiologi yang


menggambarkan hubungan tiga faktor utama yang berperan dalam terjadinya
penyakit masalah kesehatan lain. Trias epidemiologi terdiri dari Host, Agent, dan
Environment.

1. Host (Penjamu)
Manusia atau makhluk hidup lainnya yang menjadi tempat terjadinya
proses alamiah perkembangan penyakit. Termasuk dalam faktor host adalah
usia, jenis kelamin, rasa tau etnik, anatomi tubuh, status gizi, social ekonomi,
status perkawinan, penyakit dahulu, gaya hidup, hereditas, nutrisi, dan
imunitas.
Host memiliki karakteristik tersendiri dalam menghadapi ancaman
penyakit:
1. Imunitas : kesanggupan host untuk mengembangkan suatu respon
immunologis
2. Resistensi : kemampuan host untuk bertahan terhadap suatu infeksi
3. Infektifnes : potensi pejamu yang terinfeksi untuk menular
penyakit kepada orang lain.

2. Agent
Suatu unsur organismehidupatau infektif yang dapat
menyebabkanterjadinya suatu penyakit. Agen tersebut meliputi agen biologis,
kimia, nutrisi, mekanik, fisika.
- Biologis : virus, jamur, bakteri
- Kimia : pestisida, CO, zat allergen
- Nutrisi : karbohidrat, lemak, protein , vitamin, mineral, air
- Mekanik : kecelakaan, trauma, dislokasi
- Fisika : radiasi

Karakteristik:

1. Infekstivitas : kesanggupan organisme untuk beradaptasi sendiri


terhadap lingkungan dari penjamu untuk mampu tinggal dan
berkembang biak dalam jaringan host. Diperlukan jumlah tertentu
untuk menibulkan infeksi.
2. Patogenitas : kesanggupan organisme untuk menimbulkan suatu
reaksi klinik khusu yang patologis setelah terjadinya infeksi pada
penjamu yang diserang.
3. Virulensi L: kesanggupan organisme tertentu untuk menghasilkan
reaksi patologis yang berat yang mungkin menybabkan kematian.
Virulensi kuman menunjukkan beratnya penyakit.
4. Toksisitas : kemampuan virus memproduksi reaksi kimia yang
toksis.
5. Invasitas : kemampuan virus melakukan penetrasi dan menyebar
setelah memasuki jaringan.
6. Antigenitas : merangsang reaksi immunologis dalam host.

3. Environment
Meliputi lingkungan fisik, biologi, social-ekonomi, topologi, dan
geografi.
- Fisik : udara, musim, cuaca, bencana alam
- Biologi : hewan, tumuhan
- Social-ekonomi : kepadatan penduduk, norma, budaya, kemiskinan

Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Meningkatnya Prevalensi Malaria.

1. Faktor Host : Manusia dan Nyamuk


- Umur : malaria rentan menyerang anak-anak
- Jenis Kelamin : Perempuan lebih rentan terjangkit malaria
- Imunitas
- Ras
- Status Gizi
2. Agent : Nyamuk spesies Plasmodium Falciparum, Plasmodium vivax,
Plasmodium malariae, Plasmodium ovale
3. Environment
- Suhu udara : suhu udara mempengaruhi masa inkubasi ekstrinsik
dari malaria. Semakin tinggi suhu, semakin pendek masa inkubasi
ekstrinsiknya.
- Kelembapan udara : semakin rendah kelembapan udara, semakin
pendek umur nyamuk
- Ketinggian : semakin tinggi, malaria semakin sedikit
- Angin : mempengaruhi daya terbang nyamuk dan cakupan
penyebaran nyamuk
- Hujan : mempengaruhi perkembangan larva nyamuk
- Pemakaian kelambu dan obat nyamuk.
- Pekerjaan : Jika pekerjaannya banyak dihutan maka akan lebih
rentan terkena nyamuk
- Migrasi
- Proyek penggalian dan penambangan
- Bencana alam

Pencegahan KLB yang Komperhensif

Bila investigasi kasus dan kausa telah memberikan fakta di pelupuk mata
tentang kausa, sumber, dancara transmisi, maka langkah pengendalian hendaknya
segera dilakukan. Prinsipnya, makin cepat respons pengendalian, makin besar
peluang keberhasilan pengendalian. Makin lambat repons pengendalian, makin
sulit upaya pengendalian, makin kecil peluang keberhasilan pengendalian, makin
sedikit kasus baru yang bisa dicegah. Prinsip intervensi untuk menghentikan
outbreak sebagai berikut: (1) Mengeliminasi sumber patogen; (2) Memblokade
proses transmisi; (3) Mengeliminasi kerentanan (Greenberg et al., 2005). Sedang
eliminasi sumber patogen mencakup: (1) Eliminasi atau inaktivasi pato-gen; (2)
Pengendalian dan pengurangan sumber infeksi (source reduction); (3)
Pengurangan kontakantara penjamu rentan dan orang atau binatang terinfeksi
(karantina kontak, isolasi kasus, dan seba-gainya); (4) Perubahan perilaku
penjamu dan/ atau sumber (higiene perorangan, memasak daging dengan benar,
dan sebagainya); (5) Pengobatan kasus. Blokade proses transmisi mencakup: (1)
Penggunaan peralatan pelindung perseorangan (masker, kacamata, jas, sarung
tangan, respirator); (2) Disinfeksi/ sinar ultraviolet; (3) Pertukaranudara/ dilusi;
(4) Penggunaan filter efektif untuk menyaring partikulat udara; (5)
Pengendalianvektor (penyemprotan insektisida nyamuk Anopheles, pengasapan
nyamuk Aedes aegypti, penggunaan kelambu berinsektisida, larvasida, dan
sebagainya). Eliminasi kerentanan penjamu (host susceptibility) mencakup: (1)
Vaksinasi; (2) Pengobatan(profilaksis, presumtif); (3) Isolasi orang-orang atau
komunitas tak terpapar (reverse isolation); (4) Penjagaan jarak sosial (meliburkan
sekolah, membatasi kumpulan massa).

Pos Malaria Desa

Peran serta masyarakat sangat menentukan terhadap keberhasilan,


kemandirian dan kesinambungan pembangunan kesehatan, hal ini berdasarkan
hasil pengamatan, pengalaman lapangan serta peningkatan cakupan program
yang dikaji secara statistik. Oleh karena itu peran serta masyarakat dalam
pembangunan kesehatan terus dipupuk karena kesehatan bukan hanya masalah
pihak pemberi pelayanan kesehatan (provider), melainkan juga merupakan
masalah masyarakat sendiri (consumer). Salah satu bentuk peran serta
masyarakat adalah memberdayakan masyarakat melalui pembentukan kader Pos
Malaria Desa (Posmaldes).

Posmaldes merupakan wadah komunikasi dan informasi kesehatan serta


pengembangan masyarakat dalam rangka penanggulangan malaria atas dasar
swadaya masyarakat. Disamping itu Posmaldes juga dapat didefinisikan sebagai
tempat dimana masyarakat dengan mudah memperoleh pelayanan pengobatan
malaria di bawah pengawasan tenaga kesehatan yakni petugas Puskesmas atau
Pustu yang membawahinya (Dinkes,2004). Posmaldes mempunyai dua tujuan
besar yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umumnya adalah
menurunkan angka kesakitan malaria dan kematian terutama di daerah yang jauh
dari jangkauan pelayanan kesehatan (daerah sulit). Sedangkan tujuan khususnya
adalah menampung seluruh kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dalam
penanggulangan malaria agar dapat terlaksana secara terencana, terarah, terpadu,
menyeluruh dan berkesinambungan sehingga dapat memberi hasil optimal dalam
penemuan dan pengobatan penderita serta pencegahan penularan malaria
(Dinkes, 2004).

Posmaldes tidak didirikan pada semua daerah melainkan ada syarat dimana
suatu daerah menjadi tempat berdirinya Posmaldes. Sarat pendirian posmaldes
meliputi berada pada desa atau dusun yang endemis malaria tinggi, daerahnya
sulit memperoleh pelayanan dari unit pelayanan kesehatan (Puskesmas) karena
transportasi sulit dan diutamakan untuk masyarakat marginal atau miskin
(Dinkes, 2004).

Posmaldes merupakan tempat dimana masyarakat dapat dengan mudah


memperoleh pelayanan pengobatan malaria. Pekerja dari Posmaldes tersebut
disebut kader, yakni seorang yang dipilih oleh masyarakat untuk bekerja sebagai
kader malaria secara sukarela, untuk ikut serta dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan malaria yang ada diwilayahnya, dan yang telah mendapat
pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan
diagnosa dan memberikan pengobatan malaria. Kader yang telah dipilih oleh
masyarakat, memiliki tanggung jawab sebagai berikut : Menemukan penderita
baik yang dilakukan secara aktif maupun pasif. Yang dimaksudkan dengan
penemuan penderita secara aktif yakni kader melakukan kegiatan kunjungan
rumah untuk menemukan penderita dengan gejala klinis malaria. Yang
diharapkan disini adalah kader menemukan penderita sebanyak-banyaknya dari
kunjungan rumah tersebut. Setelah ditemukan penderita, kader melakukan
kunjungan untuk mengetahui apakah penderita meminum obat secara teratur atau
tidak. Sedangkan penemuan penderita secara pasif yakni kader menunggu
penderita datang ke Posmaldes untuk berobat (Dinkes, 2004). Selanjutnya, kader
melakukan pemeriksaan klinis. Penderita dengan gejala klinis seperti demam
berkala, menggigil disertai sakit kepala, pusing, mual dan muntah diberi obat anti
malaria, yang diminum setelah makan selama tiga hari. Pengobatan pencegahan
juga dilakukan kader kepada ibu hamil diatas 3 bulan dengan dosis tunggal yakni
dua tablet seminggu (Dinkes,2004). Kader juga melakukan rujukan penderita ke
tempat pelayanan terdekat baik Puskesmas maupun Rumah Sakit. Penderita yang
dirujuk adalah penderita yang sudah minum obat sesuai petunjuk selama tiga hari
tetapi tidak ada perubahan. Gejala-gejala yang dialami penderita rujukan adalah :
kejang-kejang, tidak sadar, mengigau, bicara salah, tidur terus, diam saja, tingkah
laku berubah, kuning pada mata, kencing warna teh tua, nafas cepat, panas tinggi,
pingsan, dan muntah terus menerus. Disamping itu penderita yang dirujuk adalah
ibu hamil dengan usia kehamilan kurang dari tiga bulan (Dinkes,2004).

Selain kegiatan pengobatan, kader juga memiliki fungsi sebagai penyuluh


malaria yakni memberikan penerangan atau penjelasan tentang malaria kepada
masyarakat baik yang dilakukan dengan target perorangan maupun kelompok.
Secara perorangan, kader dapat melakukan penyuluhan pada saat penemuan dan
pengobatan kasus baik secara aktif maupun pasif dengan materi : gejala klinis
penyakit malaria, bagaimana minum obat yang benar, penyebab malaria, cara
penularan, pencegahan dan bahaya penyakit malaria.

Keberhasilan Posmaldes dapat diukur dengan : Adanya penemuan penderita


klinis malaria baik secara aktif maupun pasif, penderita minum obat secara
lengkap sesuai dengan aturan minum yang diberikan, adanya laporan kasus dari
Posmaldes ke Puskesmas, adanya peta rumah penderita dan tempat perindukan di
Posmaldes dan tidak terjadinya kematian karena malaria serta menurunnya
absensi anak sekolah kasus malaria (Dinkes, 2004).

Pengertian Endemik, Epidemik, Pandemik, Sporadik

Endemik adalah suatu keadaan dimana penyakit secara menetap berada dalam
masyarakat pada suatu tempat / populasi tertentu. Epidemik ialah mewabahnya
penyakit dalam komunitas / daerah tertentu dalam jumlah yang melebihi batas
jumlah normal atau yang biasa. Sedangkan pandemik ialah epidemik yang terjadi
dalam daerah yang sangat luas dan mencakup populasi yang banyak di berbagai
daerah / negara di dunia.

Suatu infeksi dikatakan sebagai endemik pada suatu populasi jika infeksi
tersebut berlangsung di dalam populasi tersebut tanpa adanya pengaruh dari luar.
Suatu infeksi penyakit dikatakan sebagai endemik bila setiap orang yang
terinfeksi penyakit tersebut menularkannya kepada tepat satu orang lain (secara
rata-rata). Bila infeksi tersebut tidak lenyap dan jumlah orang yang terinfeksi
tidak bertambah secara eksponsial, suatu infeksi dikatakan berada dalam keadaan
tunak endemik (endemic steady state) suatu infeksi yang dimulai sebagai suatu
epidemik pada akhirnya akan lenyap atau mencapai tunak endemik, bergantung
pada sejumlah faktor termasuk virulensi dan cara penulisan penyakit
bersangkutan.

Dalam bahasa percakapan, penyakit endemik sering diartikan sebagai suatu


penyakit yang ditemukan pada daerah tertentu, sebagai contoh AIDS sering
dikatakan “endemik” di Afrika. Walaupun kasus AIDS di Afrika masih terus
meningkat (sehingga tidak dalam keadaan tunak endemik) lebih tepat untuk
menyebut kasus AIDS di Afrika sebagai suatu epidemi.

1. Epidemi

Wabah atau epidemi adalah istilah umum untuk menyebut kejadian


tersebarnya penyakit pada daerah yang luas dan pada banyak orang, maupun
untuk menyebut penyakit yang menyebar tersebut. Epidemi dipelajari dalam
epidemiologi. Dalam epidemiologi, epidemi berasal dari bahasa Yunani yaitu
“epi” berarti pada dan “demos” berarti rakyat. Dengan kata lain, epidemi
adalah wabah yang terjadi secara lebih cepat daripada yang diduga. Jumlah
kasus baru penyakit di dalam suatu populasi dalam periode waktu tertentu
disebut incide rate (laju timbulnya penyakit).
Dalam peraturan yang berlaku di Indonesia , pengertian wabah dapat
dikatakan sama dengan epidemi, yaitu “kejadian berjangkitnya suatu penyakit
menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata
melebihi daripada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta
dapat menimbulkan malapetaka.

2. Endemi

Endemi adalah penyakit yang umum terjadi pada laju konstan namun
cukup tinggi pada suatu populasi. Berasal dari bahasa Yunani “en” yang
artinya di dalam dan “demos” yang artinya rakyat. Terjadi pada suatu populasi
dan hanya berlangsung di dalam populasi tersebut tanpa adanya pengaruh dari
luar.

3. Pandemi

Pandemi atau epidemi global atau wabah global adalah kondisi dimana
terjangkitnya penyakit menular pada banyak orang dalam daerah geografi
yang luas. Berasal dari bahasa Yunani “pan” yang artinya semua dan “demos”
yang artinya rakyat.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), suatu pandemi dikatakan terjadi


bila ketiga syarat berikut telah terpenuhi :

• Timbulnya penyakit bersangkutan merupakan suatu hal baru pada populasi


bersangkutan,

• Agen penyebab penyakit menginfeksi manusia dan menyebabkan sakit


serius,

• Agen penyebab penyakit menyebar dengan mudah dan berkelanjutan pada


manusia.
Suatu penyakit atau keadaan tidak dapat dikatakan sebagai pandemic hanya
karena menewaskan banyak orang. Sebagai contoh, kelas penyakit yang dikenal
sebagai kanker menimbulkan angka kematian yang tinggi namun tidak
digolongkan sebagai pandemi karena tidak ditularkan.

Pola Epidemi

Epidemi dapat diklasifikasikan menurut cara mereka menyebar melalui populasi:

 Common-source
 Point
 Continue
 berselang
 diperbanyak
 campuran
 lain-lain

Sebuah wabah common-source adalah satu di mana sekelompok orang semua


terkena agen infeksi atau toksin dari sumber yang sama. Jika kelompok terkena
penyakit dalam waktu yang relatif singkat dengan setiap orang akan menjadi sakit
dalam satu periode inkubasi, maka wabah common-source lebih lanjut akan
diklasifikasikan sebagai wabah point-source. Epidemi kasus leukemia di Hiroshima
setelah ledakan bom atom dan epidemi hepatitis A di antara pelanggan dari restoran
Pennsylvania yang makan bawang hijau, masing-masing memiliki titik sumber
paparan. Jumlah kasus selama epidemi yang diplot dari waktu ke waktu, grafik yang
dihasilkan akan disebut kurva epidemi, biasanya akan memiliki upslope curam dan
lereng bawah lebih bertahap (yang disebut "log normal distribusi")
Besarnya sebuah penyakit tertentu yang dianggap biasa hadir dalam
masyarakat disebut sebagai baseline atau tingkat endemik penyakit. Tingkat ini belum
tentu tingkat yang diinginkan, yang mungkin sebenarnya menjadi nol, melainkan
adalah tingkat yang diamati. Dengan tidak adanya intervensi dan dengan asumsi
bahwa tingkat tidak cukup tinggi, penyakit ini dapat terus terjadi pada tingkat ini saja
tanpa batas. Dengan demikian, baseline sering dianggap sebagai tingkat yang
diharapkan dari penyakit.

Sementara itu, beberapa penyakit menjadi sangat langka dalam sebuah


populasi tertentu dalam suatu kasus penyelidikan epidemiologi (misalnya, rabies,
wabah, polio) dibandingkan penyakit lain yang terjadi lebih sering sehingga penyakit
tersebut dianggap hanya sebagai penyimpangan dari penyelidikan.

Sporadis mengacu pada penyakit yang terjadi jarang dan tidak teratur.
Endemik mengacu pada kehadiran konstan dan / atau prevalensi biasa dari penyakit
atau agen infeksi dalam suatu populasi dalam wilayah geografis. Hiperendemis
mengacu persisten, tingkat tinggi terjadinya penyakit.

Kadang-kadang, jumlah penyakit di masyarakat naik di atas tingkat yang


diharapkan. Epidemi mengacu pada peningkatan, tiba-tiba, dalam jumlah kasus
penyakit di atas apa yang biasanya diharapkan populasi di daerah itu. Wabah
memiliki definisi yang sama dengan epidemi, tetapi sering digunakan untuk area
geografis yang lebih terbatas. Cluster mengacu pada penyatuan kasus yang
dikelompokkan di tempat dan waktu yang diduga lebih besar dari jumlah yang
diharapkan, meskipun jumlah yang diharapkan mungkin tidak diketahui. Pandemi
mengacu pada epidemi yang telah tersebar di beberapa negara atau benua, biasanya
mempengaruhi sejumlah besar orang.
Epidemi terjadi ketika agen dan rentan host yang hadir dalam jumlah yang memadai,
dan agen dapat secara efektif disampaikan dari sumber ke host rentan. Lebih khusus,
epidemi mungkin hasil dari:

 Peningkatan terbaru dalam jumlah atau virulensi agen,


 Pengenalan terbaru dari agen ke pengaturan di mana belum pernah
sebelumnya,
 Mode ditingkatkan transmisi sehingga orang lebih rentan terkena,
 Perubahan kerentanan respon host ke agen, dan / atau
 Faktor-faktor yang meningkatkan eksposur host atau melibatkan pengenalan
melalui portal baru masuk.

Uraian sebelumnya epidemi menganggap hanya agen infeksi, tetapi penyakit non
infeksi seperti diabetes dan obesitas ada dalam proporsi epidemi di AS
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada keadaan gawat darurat diperlukan penanganan yang cepat dan


tepat karena pasien dapat terancam jiwanya. Sebagai dokter umum, sudah
seharusnya mengetahui dan melaksanakan pertolongan pada pasien gawat
darurat. Selain itu, penilaian kondisi pasien yang tepat dan teratur juga
merupakan hal yang tak kalah penting. Selain kondisi pasien stabil, dokter
umum juga harus mengetahui bagaimana alur rujukan yang tepat.

Pada kasus dalam skenario, pasien diperkirakan menderita


kegawatdaruratan medik yang berhubungan dengan proses metabolik tubuh.
Sambil menunggu hasil pemeriksaan lanjutan untuk memperoleh diagnosis
lebih pasti, diperlukan penilaian dan penanganan cepat dan tepat. Pada kasus
tersebut diperlukan pemberian cairan kristaloid dan insulin dengan cepat.

B. Saran
Materi dalam skenario cukup baik. Keterangan pada kasus di skenario
sudah cukup lengkap dengan adanya hasil pemeriksaan fisik atau pemeriksaan
lain sehingga mahasiswa dapat belajar lebih terarah.
Kegiatan diskusi tutorial kelompok kami berjalan cukup lancar.
Mahasiswa telah berperan aktif dalam diskusi ini. Tutor juga mengarahkan
diskusi sehingga LO atau tujuan pembelajaran dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA

Bensimon CM, Upshur REG (2007). Evidence and effectiveness in


decisionmaking for quarantine. AmJ Public Health;97:S44-48.
DCP2 (2008). Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics.
Disease Control Priority Project. www.dcp2.org/file/153/dcpp-
surveillance.pdf
Dinkes Kota Kupang. 2004. Panduan Posmaldes Bagi Kader Malaria: Kupang
Dinkes Propinsi NTT. 2004. Laporan Pelaksaan Pentaloka Pemberdayaan
Posmalkel Bagi Kader Yang Bertugas Di Posmalkel Proyek IPM – 4 GF
Kota Kupang Kuartal V: Kupang
Erme MA, Quade TC (2010). Epidemiologic surveillance. Enote.
www.enotes.com/public-health.../ epidemiologic-surveillance. Diakses 21
Agustus 2010.
Giesecke J (2002). Modern infectious disease epidemiology. London: Arnold.
Gordis, L (2000). Epidemiology. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.
Greenberg RS, Daniel SR, Flanders WD, Eley JW, Boring JR (2005). Medical
Epidemiology. New York : Lange Medical Books/McGraw-Hill
Johns Hopkins University (2006). Disaster epidemiology. Baltimore, MD: The
Johns Hopkins and IFRC Public Health Guide for Emergencies.
Last, JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University
Press, Inc.
Mandl KD, Overhage M, Wagner MM, Lober WB, Sebastiani P, Mostahari F,
Pavlin JA, Gesteland PH, Treadwell T, Koski E, Hutwagner L,
Buckeridge DL , Aller RD, Grannis S (2004). Implementing syndromic
surveillance: A practical guide informed by the early experience. J Am
Med Inform Assoc., 11:141–150.
Maulani, Novie S (2010). “Kejadian Luar Biasa”, Catatan Kuliah. Program Studi
S1 Kesehatan Masyarakat STIKES HAKLI Semarang.
McNabb SJN, Chungong S, Ryan M, Wuhib T, Nsubuga P, Alemu W, Karande-
Kulis V, Rodier G (2002). Conceptual framework of public health
surveillance and action and its application in health sector reform. BMC
Public Health, 2:2 http://www.biomedcentral.com
Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2010). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 1501/MENKES/PER/X/2010 tentang Jenis
Penyakit Menular Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya
Penanggulangan. Jakarta
Murti B (2011). Ukuran Frekuensi Penyakit. Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret.
Pavlin JA (2003). Investigation of disease outbreaks detected by “syndromic”
surveillance systems. Journal of Urban Health: Bulletin of the New York
Academy of Medicine, 80 (Suppl 1): i107- i114(1).
Sloan PD, MacFarqubar JK, Sickbert-Bennett E, Mitchell CM, Akers R, Weber
DJ, Howard K (2006). Syndromic surveillance for emerging infections in
office practice using billing data. Ann Fam Med 2006;4:351-358.
Sunaryo (2007). Surveilans migrasi sebagai sistem kewaspadaan dini malaria di
kabupaten banjarnegara tahun 2006. Balaba, 5(2): 5-6.
Sutrisno (2005). Pengaruh pelatihan pemberantasan sarang nyamuk demam
berdarah dengue terhadap perubahan pengetahuan dan sikap anak di
sekolah dasar negeri cemeng I sambungmacan sragen.
WHO (2001). An integrated approach to communicable disease surveillance.
Weekly epidemiological record, 75: 1-8. http://www.who.int/wer (2002).
Surveillance: slides. http://www.who.int
Who.int (2015). WHO | Cholera case fatality rate.
http://www.who.int/gho/epidemic_diseases/cholera/case_fatality_rate_tex
t/en/ diakses September 2015.
Who.int (2015). WHO | Vector surveillance.
http://www.who.int/denguecontrol/monitoring/vector_surveillance/en/
diakses September 2015.
Wuhib T, Chorba TL, Davidiants V, MacKenzie WR, McNabb SJN (2002).
Assessment of the infectious diseases surveillance system of the Republic
of Armenia: an example of surveillance in The Republics of the former
Soviet Union. BMC Public Health, 2:3 http://www.biomedcentral.com.

Anda mungkin juga menyukai