Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Nesting behaviour has important roles for orangutan life although it is the small
percentage activity, because orangutan can use nest for resting and taking shelter
from bad weather such as heat force and rain. Orangutan nesting behaviour has
correlation with habitat condition, because orangutan nest distribution is
influenced by fuit tree location and forest topography. There are seven different
habitat types in Cabang Panti Research Site: peat swamp, freshwater swamp,
alluvial bench, lowland sandstone, lowland granite, upland granite, and
mountaine. The study aimed to know differences of orangutan nest characteristic
only in five different habitat types (peat swamp, freshwater swamp, alluvial
bench, lowland sandstone, and lowland granite) and orangutan nesting behaviour
when make nest in different habitat types. The line transect method was used to
observe orangutan nest in five different habitat types and for orangutan nesting
behaviour the focal animal sampling was used. Data were analyzed by Kruskal-
Wallis and Mann-Whitney (SPSS 17). Based on the results of analysis, there are
differences on orangutan nest height average, nest tree height, and nest tree stem
diameter in five habitat types. Whereas for orangutan nesting behaviour, there is
no difference on similar age class orangutans when make nest in different habitat
types but there are differences on orangutan nest height average, nest tree height,
and nest tree stem diameter based on age classes. Results of this study are
expected to give input for orangutan conservation program in Cabang Panti
Research Site and orangutan conservation extensively.
Pada setiap ranting yang dipatahkan, tercurah asa untuk melanjutkan hidup
esok pagi. Dan pada setiap sarang yang ditemukan, tersirat pesan yang tak
pernah sempat dikatakan “selamatkan kami”
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT Yang Maha
Kuasa, atas segala rahmat, hidayah, inayah dan karunia-Nya sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi besar
Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang setia
program studi S1 pada Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,
mendapatkan bantuan dan motivasi dari berbagai pihak baik secara langsung
maupun tidak langsung, untuk itu dalam kesempatan ini perkenankanlah penulis
dan mendidik dengan kasih sayang dan doa, dengan restu dan bimbingan
yang tidak terbanding dengan apapun. Serta untuk Nunu dan Abdu, yang
selalu memberikan motivasi dan semangat “kuliah ini pasti berakhir, dan
i
2. Dr. Cheryl D. Knott, dari Department of Anthropology-Boston
penelitian ini
4. Dr. Agus Salim, M.Si, selaku Dekan Fakultas Sains dan teknologi beserta
5. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud., selaku ketua Program Studi
Biologi UIN Syarif Hidayatullah dan seluruh dosen Biologi, terima kasih
6. Dr. Sri Suci Utami Atmoko, dari Fakultas Biologi Universitas Nasional,
7. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si, dari Program Studi Biologi UIN Syarif
ii
mengajarkan, membimbing, memberikan kritik dan saran terhadap
8. Dini Fardila, M.Si dan Pascal Sukandar, M.Si, selaku penguji pada
seminar proposal dan seminar hasil, terima kasih atas kritik dan saran
yang diberikan
10. Tri Wahyu Susanto, M.Si yang telah membantu, memberikan support
dan mengajarkan ilmu baru bagi penulis, menjadi guru diskusi dan
Sudjoko S.H, beserta staff (mas Ibrahim, mas Frangky, mas heri, mas
Ais, mas Sapon, mbak Yunita, pak Cek dan kawan-kawan yang tidak
bisa saya sebutkan satu-persatu, terima kasih atas izin yang diberikan,
dan terima kasih atas waktunya selama di lapangan serta ketika peneliti
Mona, mbak Asni, mbak May, dan bang Tang terima kasih atas bantuan
serta waktu untuk diskusi, serta bang Samad, Reno, Rauf dan kawan-
iii
kawan Yayasan Palung lainnya yang tidak bisa dituliskan satu persatu
terima kasih banyak atas bantuan selama peneliti berada di Ketapang dan
13. Keluarga besar Stasiun Penelitian Cabang Panti, Asisten OH dan Crew,
tim OH: Bang Hasan, Bang Hardi, Bang Miran, Yayat (eks-assistant),
KKL: Loren (manager project), Bang Randa, Bang Busran, dan Bang
Albani, serta Kery terima kasih atas kebersamaan juga atas bantuannya
dalam identifikasi pohon sarang. Serta ibu Inah (juru masak) atas
penulis hingga “15 KG” dalam kurang dari 5 bulan, bang Udin dan
14. Keluarga bapak Suhaidi (kepala dusun Sedahan Jaya), beserta ibu
Hamidah, Esi, dan keluarga besarnya terima kasih tak terhingga atas
bantuan, kebersamaan serta tempat tinggal dan keperluan hidup yang tak
Sedahan Jaya. Keluarga bapak Burhanudin dan ibu Nilawati, Erwin dan
iv
15. Yayat Aryadi, Melinda, Betty, Raju dan Eko. Kawan baru di Sukadana,
berjalan selamanya
16. Angga Prathama Putra, M.Si, Eko Prasetyo, S.Si dan Didik Prasetyo,
17. Putri Taniasari, S.Si dan Muhammad Wantoso, S.Si, selaku teman
diskusi, terima kasih atas waktu diskusi selama ini, terus semangat
18. Juli Wahyu Wulandari, atas kebersamaan dan motivasi yang diberikan,
terima kasih atas kesetiaan yang tak ada habisnya dan untuk “27 Juli”
19. Untari Uni Comara, Maulya Arfi, S.Si, dan Ahmad Jaelani, S.Si, senang
hangatnya semangat dan ilmu berharga yang kita cari bersama terutama
21. Teman – teman biologi angkatan 2008, terima kasih yang luar biasa
Semoga jasa-jasa kalian dibalas oleh Sang Maha Pengasih, dan semoga
Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
x
Gambar 16. Rata-rata durasi (menit) pembuatan sarang malam
orangutan ............................................................................. 58
Gambar 17. Rata-rata jarak (m) dari pohon pakan terakhir ke pohon
sarang malam orangutan ...................................................... 59
Gambar 18. Rata-rata jarak (m) dari pohon sarang malam ke pohon
pakan pertama orangutan .................................................... 61
Gambar 19. Rata-rata ketinggian (m) sarang dan pohon sarang malam
orangutan ............................................................................. 63
Gambar 20. Rata-rata diameter batang (cm) pohon sarang malam
orangutan ............................................................................. 65
Gambar 21. Jenis pohon sarang malam orangutan................................... 67
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
xii
Lampiran 15. Uji Mann-Whitney diameter batang pohon sarang
orangutan berdasarkan kelas umur .................................... 96
Lampiran 16. Pohon yang dijadikan sebagai material sarang orangutan
(survei dan ikut orangutan Focal) ..................................... 97
Lampiran 17. Beberapa individu orangutan yang diambil data
bersarangnya ...................................................................... 99
Lampiran 18. Distribusi sarang orangutan ................................................ 100
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
kehidupan orangutan karena sarang yang dibuat mempunyai fungsi tertentu yang
Selain itu, sarang juga berfungsi sebagai tempat berlindung dari cuaca yang buruk
luas ke sebagian besar areal hutan (Rijsken, 1978). Pemilihan tempat bersarang ini
1
2
kondisi lingkungan yang sesuai dan mendukung terutama dalam hal penyediaan
tempat berlindung, bermain, bersarang dan berkembang biak. Oleh karena itu,
perilaku bersarang orangutan diduga berkaitan erat dengan kondisi habitat tempat
pada kondisi habitat yang beranekaragam, berdasarkan Knott (1999) ada tujuh
tipe habitat di Stasiun Penelitian Cabang Panti yaitu hutan rawa gambut (peat
swamp forest), hutan rawa air tawar (freshwater forest), hutan tanah aluvial
(alluvial bench), hutan batu berpasir dataran rendah (lowland sandstone forest),
hutan granit dataran rendah (lowland granite forest), hutan granit dataran tinggi
(upland granite forest), dan hutan pegunungan (mountaine forest). Tipe habitat
yang beranekaragam ini merupakan satu hal menarik yang dimiliki oleh areal
Gunung Palung pernah dilakukan oleh Johnson pada tahun 2005, namun
antaranya pada tahun 2006 oleh Didik Prasetyo di Stasiun Penelitian Orangutan
Tuanan dan oleh Andrea Gibson di Taman Nasional Sebangau. Maka, untuk
3
berbagai tipe habitat, dilakukan penelitian ini di Stasiun Penelitian Cabang Panti,
Taman Nasional Gunung Palung. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat
tipe-tipe habitat yang ada dan kemudian dapat digunakan sebagai informasi
habitat?
habitat?
1.4. Hipotesis
ini adalah:
habitat
habitat
membuat sarang ketika berada di habitat yang satu dengan habitat yang
orangutan di Stasiun Penelitian Cabang Panti, lebih luas lagi untuk upaya
TINJAUAN PUSTAKA
zaman pleistosen mereka tersebar ke Asia Tenggara dari Cina bagian selatan ke
Pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa (Wich et al., 2004). Secara morfologi,
menjadi dua jenis yaitu Pongo pygmaeus yang terdapat di Borneo (Kalimantan,
Sabah dan Serawak) dan Pongo abelii yang tersebar di Sumatera bagian utara
yang terus terjadi disebabkan terus berkurangnya areal hutan yang merupakan
habitat alami bagi orangutan akibat penebangan, konversi, dan kebakaran hutan.
orangutan akan terus bertambah parah selama terus terjadi pengrusakan habitat
dalam skala luas dan perburuan liar untuk dijadikan sebagai hewan peliharaan. Di
P. 53/ Menhut-IV/ 2007. Di tingkat internasional, IUCN Red List Edisi tahun
6
7
spesies ini tidak boleh diperdagangkan secara komersial karena berada dalam
Orangutan dapat hidup di berbagai tipe dan kondisi habitat, mulai dari
hutan hujan tropis dataran rendah, rawa-rawa, hingga hutan perbukitan (Supriatna
dan Wahyono, 2000). Bailey (1984) dalam Muin (2007) menyebutkan bahwa
Salah satu komponen habitat terpenting bagi orangutan adalah pohon, sebab
orangutan sebagai mamalia arboreal terbesar dengan berat betina 40 kg dan jantan
80 kg.
sedikit dua tipe lahan utama yaitu tepi sungai dan dataran tinggi kering yang
berdekatan. Kalimantan sendiri secara umum memiliki lima tipe habitat yang
ditempati oleh orangutan, yaitu dataran banjir dan rawa gambut, hutan aluvial/
daerah sepanjang sungai, dataran tinggi di kaki bukit, hutan subpegunungan dan
pegunungan, serta hutan tebang pilih/ hutan sekunder (Meijaard et al., 2001).
ketersedian makanan yang tersedia sepanjang tahun dan apabila lokasi tersebut
sudah tidak produktif lagi, maka orangutan akan terus bermigrasi ke daerah lain
dimana habitat tersebut menyimpan ketersedian makanan yang lebih baik dari
habitat sebelumnya (Buij et al., 2002; Susanto, 2006). Menurut Meijaard et al.
8
(2001), hanya beberapa individu yang tetap tinggal di suatu daerah meskipun
cukup bagi kehidupannya. Agar dapat bertahan hidup, maka suatu populasi
tahun dan dalam jarak penjelajahan yang masih bisa dijangkau, habitat orangutan
yang berkualitas baik dipenuhi pepohonan (contoh: Alangium spp. dan Palaquium
spp.) dan (contoh: liana yang 30–50% menyediakan buah-buahan sebagai sumber
pakan orangutan.
dilakukan oleh kera besar lainnya seperti simpanse, bonobo dan gorilla yang
lebih kepada perilaku yang muncul setelah dipelajari, bayi orangutan akan
mengikuti dan berlatih cara membuat sarang kepada induknya (Prasetyo et al.,
2009).
9
cabang pohon dan pematahan dahan dalam rangka menyusun sarang untuk tidur,
untuk kemudian disusun menjadi sarang utuh, tetapi terkadang hanya berbentuk
atap sebagai pelindung kepala jika hujan. Yosiba (1964); Margianto (2000) dalam
terlebih dahulu memilih material sarang yang akan digunakan untuk membuat
tersebut terdiri dari susunan dahan yang dibuat dalam beberapa menit pada tempat
yang cocok misalnya di puncak pohon atau di cagak dahan. Dahan tersebut
dengan dahan-dahan kecil. Beberapa orangutan membuat sarang lebih besar dan
tersebut dan menggunakan sarang yang telah diperbaiki ini sebagai tempat
proses pembuatan sarang pada kera besar memiliki 3 tahap utama, yaitu:
dahan pohon yang sangat kuat yang disusun menjadi satu sehingga
selesai dibuat, material dari matras berasal dari ranting- ranting yang
Tujuan dari tahap ini adalah untuk menambah ketebalan sarang, dan
benda-benda tertentu yang dibuat sendiri dan/ atau bagian tambahan pada sarang
berupa “bantal” dan “selimut” dari bagian pohon, sedangkan untuk bagian
tambahan sarang bisa berupa atap dan sarang kosong di dekat sarang utama
Bantal merupakan ranting kecil berdaun yang disusun pada salah satu sisi
sarang. Selimut merupakan ranting lentur berdaun yang diletakkan di atas tubuh
dari jalinan dahan yang dianyam sehingga susunannya kuat dan hampir kedap air.
sarang siang cenderung tidak sebaik sarang malam dari segi kekuatan
konstruksinya, serta biasanya pada sarang siang tidak ditemukan bantal atau
11
bagian tambahan sarang lain. Hal ini yang kemudian membuat perbedaan yang
jelas terhadap durasi pembuatan, sarang siang cenderung dibuat dengan durasi
pada posisi yang berbeda di pohon, terdapat empat posisi yang umum digunakan
oleh orangutan yaitu posisi 1, 2, 3, dan 4 serta posisi yang tidak lazim yaitu posisi
puncak pohon (posisi 3) dan dahan pohon (posisi 1 dan 2), baik pada satu batang
maupun pada dua batang mempunyai keuntungan bagi orangutan yaitu tidak
terhalangnya pandangan dan jangkauan yang dapat mencakup sebagian besar dari
penjuru hutan. Selain itu, posisi ini juga memudahkan orangutan dalam
12
melakukan pergerakan sewaktu keluar dari sarang. Dari segi keamanan, posisi ini
berdekatan sehingga hanya terdapat sedikit perbedaan dalam curah hujan, garis
lintang, musim, diversitas sinar gamma, dan tekanan predator. Rata-rata curah
hujan di kawasan penelitian yaitu 4266 mm/ tahun, dan suhu harian berkisar
Gunung Palung, secara geografis Taman Nasional ini terletak pada kordinat
76,4% dan maksimum 90,2%. Sedangkan hujan terjadi sepanjang tahun yakni
berkisar antara 181-190 hari hujan per tahun dengan curah hujan rata-rata 3000
Gambar 2. Peta lokasi Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman Nasional Gunung
Palung, Kalimantan Barat (Susanto, 2012)
termasuk ke dalam tiga Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu sebelah utara dan
timur termasuk ke dalam DAS Simpang, sebelah timur DAS Pawan dan sebelah
besar habitat Taman Nasional didominasi oleh jenis-jenis tumbuhan dari family
kapur (Dryobalanops spp.). selain itu ditemukan juga durian (Durio carinatus),
rambutan hutan (Nephelium sp.), pluntan (Arthocarpus sp.), dan ara (Ficus spp.)
memiliki berbagai jenis satwa yang tidak kalah indah. Beberapa jenis satwa di
napu borneanus), ayam hutan (Gallus gallus), enggang gading (Rhinoplax vigil),
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan selama lima bulan, dari Oktober 2011 hingga
Februari 2012 dan berlokasi di Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman Nasional
kawasan Taman Nasional Gunung Palung (1°13’ S, 110°7’ E) yang memiliki luas
Stasiun penelitian ini terdiri dari tujuh tipe habitat (Knott, 1999 dan Marshall,
2004), yaitu:
1. Hutan rawa gambut (peat swamp), kondisi tanah di hutan ini terdiri dari
Air di hutan ini mempunyai derajat keasaman (pH) yang rendah yaitu
2. Hutan rawa air tawar (freshwater swamp), merupakan hutan rawa yang
kaya akan mineral dan memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi.
Tanah di hutan ini cenderung digenangi oleh air bening dengan pH lebih
3. Hutan tanah aluvial (alluvial bench), tanah di hutan ini merupakan tanah
15
16
tumbuhan yang tinggi. Seringkali tanah di hutan ini tergenang air yang di
antaranya akibat luapan sungai, namun cepat juga air tersebut mengalir
dan serpihan batu yang tipis. Hutan ini berada pada ketinggian 20-200 m
dpl.
200-400 m dpl.
350-800 m dpl.
gambut.
mempunyai karakteristik tertentu yang membedakan satu dengan yang lain. Letak
ketujuh tipe habitat di Stasiun Penelitian Cabang Panti disajikan pada Gambar 3.
17
sampai Februari 2012, diketahui bahwa rata-rata suhu udara paling tinggi terjadi
18
pada bulan Oktober 2011 dan rata-rata suhu udara paling rendah terjadi pada
bahwa rata-rata curah hujan paling tinggi terjadi pada bulan Nopember 2011 dan
rata-rata curah hujan paling rendah terjadi pada bulan Februari 2012. Perubahan
rata-rata suhu udara dan curah hujan setiap bulannya dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Rata-rata suhu udara dan curah hujan di Stasiun Penelitian Cabang
Panti bulan Oktober 2011-Februari 2012 (Tim Peneliti Cabang Panti)
jam tangan digital Casio illuminator, Global Positioning System (GPS) Garmin 60
CSx, kompas peta Eiger, camcorder Canon FS100, focal tabulasi (data sheet),
peta areal penelitian, parang, ponco, alat tulis, papan jalan, head lamp Eiger dan
19
Energizer , pita dan plat aluminium tagging, tali rafia, benang, hip chain, diameter
1. Remaja
2. Betina dewasa
4. Jantan berpipi
adalah suara yang ditimbulkan akibat aktivitas makan dan berpindah tempat, bau
urin atau feses dan vokalisasi yang dilakukan oleh orangutan (long call atau kiss
squeak). Pencatatan data aktivitas harian dilakukan pada individu orangutan yang
telah dapat diamati sampai membuat sarang tidur dan kemudian dipastikan akan
pengambilan data satu individu telah selesai. Penandaan lokasi bersarang individu
sarang tersebut diolah menjadi sebuah peta dengan menggunakan perangkat lunak
ArcGis 9.2.
Data dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis data yaitu data survei dan
data ikut. Data survei disajikan terlebih dahulu baru kemudian data ikut, hal ini
menggunakan metode Line transect survey (Johnson et al., 2005). Line transect
mempunyai panjang midline total 1,3 km yang terbagi menjadi dua, yaitu midline
1 km dan 300 m. Adanya dua model midline ini menyesuaikan dengan kondisi
transect pada masing-masing tipe habitat, karena ada tipe habitat yang hanya bisa
dibuat midline tidak lebih dari +/- 1 km. Kedua midline dibuat terpisah
midline dibuat batas setiap 100 m menggunakan pita tagging. Pencarian sarang
dan kiri, jarak pandang yang dimiliki pengamat saat mencari sarang berkisar
atau 300 m menuju titik 0 m midline, hal ini dilakukan sesuai kenyamanan
tagging dan lokasi menggunakan GPS. Adapun data sarang yang diambil meliputi
kelas, posisi dan tinggi. Selain itu, diambil pula data pohon sarang yang meliputi
berdasarkan kondisi dan umur sarang orangutan menurut van Schaik et al. (1995):
perbandingan pohon yang pendek serta masih dapat diukur secara pasti dengan
Namun jika tidak ada pohon yang dapat dijangkau dengan meteran maka
pengukuran dilakukan dengan membuat batas ukur dari tanah setinggi dua meter
pada pohon sarang, kemudian dikalilipatkan setiap dua meter ke atas pohon
sampai batas ketinggian sarang ataupun pohon sarang (Cannon et al., 2004).
batas ukur pada batang menggunakan ketinggian 1,3 meter dari tanah dengan
asumsi bahwa tinggi tersebut merupakan tinggi dada orang dewasa (diameter in
digunakan meteran gulung, diukur jari-jari kanopi terpanjang dan terpendek lalu
24
diambil rata-rata dan dikali dua, karena diameter merupakan dua kali panjang jari-
secara langsung dilakukan dengan mengambil sampel kulit batang dan daun,
kemudian sampel dibawa ke camp untuk diketahui jenisnya. Cara ini seperti yang
biasa dilakukan oleh tim peneliti cabang panti (tim KKL dan OH) di Stasiun
ada di bawah pohon. Proses identifikasi dibantu dengan dokumentasi data pohon,
buku identifikasi dan oleh tim peneliti cabang panti yang sudah terlatih untuk
mengenali jenis pohon dari sampel kulit batang dan daun (Cannon et al., 2004).
sampling yang difokuskan pada satu individu orangutan sebagai objek atau
di pagi hari sampai tidak melakukan aktivitas di malam hari dan orangutan
tersebut tidur. Lama pengambilan data maksimal setiap individu orangutan adalah
25
5 hari dalam satu bulan, hal ini bertujuan untuk menghindari stress pada
target dalam membuat sarang, yaitu mematahkan ranting, membawa (dari pohon
lain) dan menyusun ranting sampai selesai membuat sarang. Perilaku bersarang
lain seperti twig bitting dan perilaku khas lainnya dimasukkan pula ke dalam
Pengukuran jarak antara pohon pakan terakhir dengan pohon sarang dan
antara pohon sarang dengan pohon pakan pertama menggunakan meteran. Tetapi
untuk jarak yang jauh yaitu apabila sudah tidak memungkinkan digunakan
mengamati semua karakteristik sarang secara tegak lurus dari tanah. Adapun data
yang diambil adalah posisi sarang, kondisi (baru/dipakai lagi atau diperbaiki) dan
tinggi sarang. Selain itu juga diambil data pohon sarang yang meliputi tinggi,
orangutan pada kelas umur orangutan yang sama di setiap tipe habitat, terdapat
variasi jumlah habitat yang digunakan oleh masing-masing kelas umur orangutan.
26
Orangutan remaja, membuat sarang hanya di dua tipe habitat yaitu hutan rawa
gambut dan hutan batu berpasir dataran rendah. Orangutan betina dewasa
membuat sarang di tiga tipe habitat, yaitu hutan rawa air tawar, hutan tanah
aluvial dan hutan batu berpasir dataran rendah. Orangutan betina dewasa dengan
anak membuat sarang di empat tipe habitat, yaitu hutan rawa gambut, hutan rawa
air tawar, hutan tanah aluvial dan hutan batu berpasir dataran rendah. Orangutan
jantan berpipi membuat sarang pada dua tipe habitat, yaitu hutan rawa gambut dan
hutan rawa air tawar. Perbedaan jumlah habitat yang digunakan oleh masing-
nonparametrik. Hal ini karena tidak ada anggapan bahwa data-data yang diperoleh
ditarik dari suatu populasi dengan distribusi tertentu, sehingga data-data yang
diperoleh berdistribusi secara bebas atau dengan kata lain objek penelitian tidak
adalah karena data-data pada penelitian ini tidak memenuhi asumsi statistik
parametrik yang salah satunya adalah data harus mempunyai sebaran yang
normal. Sebaran data-data penelitian ini tidak normal setelah dilakukan uji
Smirnov. Penyebab ketidaknormalan sebaran data yaitu sedikit jumlah data, serta
27
perbedaan yang jauh jumlah data pada setiap variabel yang dibandingkan
Programme for Scientific and Social science) untuk Windows. Tehnik pengujian
digunakan untuk menguji karakter sarang hasil survei, yaitu untuk mengetahui ada
atau tidaknya pebedaan karakter sarang yang ditemukan pada kelima tipe habitat.
Apabila hasil uji menunjukkan adanya perbedaan bermakna, maka dilanjutkan uji
ditemukan.
perbedaan perilaku bersarang orangutan pada setiap tipe habitat, apabila setelah
diuji diketahui ada perbedaan bermakna maka dilakukan uji Mann-Whitney untuk
mengetahui antara habitat yang mana perbedaan itu ditemukan. Uji Mann-
Whitney tidak selalu digunakan setelah uji Kruskal-Wallis, tetapi uji ini langsung
dilakukan ketika variabel yang diuji tidak lebih dari dua. Selain itu, uji Kruskal-
bermakna maka dilakukan uji Mann-Whitney untuk mengetahui antara kelas umur
di kawasan penelitian. Hal ini karena kedua tipe habitat lain lokasinya sulit
dijangkau. Selain itu, di kedua habitat ini tidak dilakukan pencarian orangutan
untuk diikuti dan diambil datanya, namun orangutan kerap terlihat secara sporadis
di kedua tipe habitat tersebut (Knott, 1999). Tipe habitat yang berhasil dilakukan
survei meliputi hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, hutan tanah aluvial,
hutan batu berpasir dataran rendah dan hutan granit dataran rendah.
berupa sarang kelas C, D dan E. Sarang yang dijumpai di hutan rawa gambut,
hutan rawa air tawar dan hutan batu berpasir dataran rendah berturut-turut paling
banyak merupakan sarang kelas D (41%, 50% dan 55%). Berbeda dengan di hutan
tanah aluvial paling sering ditemukan sarang kelas E (41%), dan di hutan granit
dataran rendah paling sering ditemukan sarang kelas C (39%). Dengan kata lain
28
29
Gambar 7. Persentase (%) kelas sarang orangutan di kelima tipe habitat (hutan
rawa gambut n= 39, hutan rawa air tawar n= 24, hutan tanah aluvial
n= 22, hutan batu berpasir dataran rendah n= 22, hutan granit dataran
rendah n= 13)
kelas sarang terbanyak di lima tipe habitat di Stasiun Penelitian Cabang Panti
diduga kuat dipengaruhi oleh sebaran pohon pakan di masing-masing tipe habitat
tersebut, terutama berkaitan dengan pohon pakan yang berbuah. Sarang orangutan
banyak dujumpai pada habitat yang menyediakan banyak pohon pakan, dan
sekitar pohon pakan terakhir atau pada kondisi tertentu sarang tersebut dibuat di
pohon pakan terakhir. Muncul asumsi bahwa pada saat survei dilakukan, hanya
habitat yang ada. Sedikitnya pohon pakan ini berkaitan dengan musim buah yang
dan buah selama penelitian ini dilakukan adalah 9,92% (Lampiran 1A). Dengan
persentase tertinggi pada bulan November (10,7%) dan paling rendah pada bulan
Februari (8,6%). Sedangkan pernah tercatat di Cabang Panti dari Januari 2008
sampai September 2012 ketersediaan bunga dan buah mencapai 19% yaitu pada
Sarang hasil survei yang ditemukan di hutan rawa gambut, hutan rawa air
tawar, hutan tanah aluvial dan hutan granit dataran rendah paling banyak
ditemukan pada posisi 1 (43%, 46%, 73% dan 69%). Sedangkan di hutan batu
berpasir dataran rendah paling banyak ditemukan sarang pada posisi 2 (50%).
Gambar 8. Persentase (%) posisi sarang orangutan di kelima tipe habitat (hutan
rawa gambut n=39, hutan rawa air tawar n=24, hutan tanah aluvial
n=22, hutan batu berpasir dataran rendah n=22, hutan granit dataran
rendah n=13)
31
pada pohon yang memiliki ukuran batang utama dan percabangan yang tidak
terlalu besar. Hal ini dapat menggambarkan bahwa di hutan rawa gambut, hutan
rawa air tawar, hutan tanah aluvial dan hutan granit dataran rendah lebih sering
orangutan membuat sarangnya pada pohon dengan ukuran batang utama dan
lapangan bahwa posisi ini biasanya ditemukan pada pohon dengan ukuran batang
utama dan percabangan besar. Ukuran cabang yang besar tersebut diperlukan
untuk menopang bobot orangutan pada saat berada dalam sarangnya di ujung
percabangan. Dapat digambarkan bahwa di tipe habitat ini orangutan lebih sering
membuat sarang pada pohon dengan ukuran batang utama dan percabangan besar.
Asumsi yang muncul terkait perbedaan posisi sarang yang paling sering
ditemukan di setiap tipe habitat adalah berhubungan dengan individu kelas umur
sarang posisi 2 (sarang diujung pohon) di hutan batu berpasir dataran rendah
diduga karena orangutan yang lebih sering membuat sarang di hutan tersebut
adalah orangutan muda dan orangutan dengan anak. Hal ini untuk
memanjat dari batang pohon dan mempunyai waktu lebih banyak untuk
sarang 1, 2 dan 3 merupakan posisi yang umum ditemukan di hutan rawa Suaq
Balimbing dan hutan dataran kering di Ketambe. Kondisi ini berbeda dengan yang
ditemukan di hutan rawa gambut Tuanan dan Sebangau, lebih umum ditemukan
sarang posisi 4. Rayadin et al. (2009) menambahkan bahwa sarang posisi 1, 2 dan
3 juga umum ditemukan di Taman Nasional Kutai, Birawa dan Meratus. Dengan
Panti lebih mirip dengan di Suaq Balimbing, Ketambe, Taman Nasional Kutai,
orangutan berada cukup tinggi (>30 m) di atas pohon sehingga disaat pencarian
ujung batang pohon, tetapi selalu ada percabangan pohon yang menjulang ke atas
Sarang
Pohon
Gambar 9. Rata-rata ketinggian (m) sarang orangutan di kelima tipe habitat (A;
hutan rawa gambut n=39, B; hutan rawa air tawar n=24, C; hutan
tanah aluvial n=22, D; hutan batu berpasir dataran rendah n=22, E;
hutan granit dataran rendah n=13) dan ketinggian (m) pohon sarang
orangutan di kelima tipe habitat (A; hutan rawa gambut n=42, B;
hutan rawa air tawar n=26, C; hutan tanah aluvial n=22, D; hutan batu
berpasir dataran rendah n=23, E; hutan granit dataran rendah n=13)
Whitney diketahui bahwa perbedaan ketinggian sarang terletak antara hutan rawa
gambut dengan hutan tanah aluvial, hutan rawa gambut dengan hutan granit
dataran rendah, hutan rawa air tawar dengan hutan tanah aluvial, dan hutan tanah
dengan sarang orangutan di hutan granit dataran rendah. Hal ini diduga
34
dipengaruhi oleh rata-rata tinggi pohon di habitat tersebut, selain itu juga
Hutan tanah aluvial, memiliki perbedaan dengan hutan rawa air tawar
dan hutan batu berpasir dataran rendah. Sarang orangutan di hutan tanah aluvial
rata-rata lebih tinggi dibandingkan kedua hutan yang lainnya. Hai ini terkait
dengan intensitas kehadiran manusia di tipe habitat ini karena merupakan jalan
lintas yang sering dilalui untuk menuju hutan rawa air tawar maupun hutan rawa
hutan tanah aluvial cenderung dibuat lebih tinggi dibandingkan hutan lainnya
yang diduga karena faktor kehadiran manusia, berdasarkan Susanto (2012) justru
hutan aluvial merupakan hutan yang banyak digunakan oleh orangutan dalam
Hal tersebut karena orangutan banyak memanfaatkan sumber pakan yang berada
sarang dibuat lebih tinggi untuk mengurangi rasa terganggu akibat kehadiran
manusia ketika orangutan berada di sarangnya. Selain itu, hutan tanah aluvial di
Cabang Panti lokasinya berdekatan dekat Camp penelitian dan berada sepanjang
Whitney diketahui bahwa perbedaan tersebut terletak antara hutan rawa gambut
dengan hutan tanah aluvial, hutan rawa gambut dengan hutan granit dataran
rendah, hutan rawa air tawar dengan hutan tanah aluvial, hutan tanah aluvial
dengan hutan batu berpasir dataran rendah, dan hutan batu berpasir dataran rendah
ketinggian pohon sarang antara hutan batu berpasir dataran rendah dengan hutan
ketinggian sarang antara keduanya. Hal ini memperlihatkan bahwa tidak harus
ketika terdapat perbedaan rata-rata ketinggian pohon sarang, berbeda juga rata-
sarang lebih tinggi sesuai dengan struktur hutan. Jadi, ketinggian pohon dalam
yang terlihat pada Gambar 10, rata-rata diameter paling besar ditemukan di hutan
tanah aluvial dan paling kecil ditemukan di hutan granit dataran rendah.
Gambar 10. Rata-rata diameter batang (cm) pohon sarang orangutan di kelima tipe
habitat (A; hutan rawa gambut n=42, B; hutan rawa air tawar n=26,
C; hutan tanah aluvial n=22, D; hutan batu berpasir dataran rendah
n=23, E; hutan granit dataran rendah n=13)
diketahui bahwa perbedaan terletak antara hutan rawa gambut dengan hutan tanah
aluvial, hutan rawa gambut dengan hutan batu berpasir dataran rendah, hutan rawa
37
air tawar dengan hutan tanah aluvial, dan hutan tanah aluvial dengan hutan granit
dataran rendah.
rata-rata diameter batang pohon sarang terdapat perbedaan antara hutan tanah
aluvial dan hutan granit dataran rendah. Hal ini menegaskan bahwa ketiga
parameter ini tidak mesti menunjukkan hal yang sama. Ketika di habitat a dengan
habitat b terdapat perbedaan pada rata-rata ketinggian sarang, tidak mesti terdapat
perbedaan juga pada ketinggian pohon sarang dan diameter batang pohon
sarangnya.
penambahan ketinggian lokasi. Akan tetapi pemilihan besar batang pohon ini
lebih cenderung terlihat sejalan dengan pemilihan posisi dan ketinggian pohon
sarang. Hal ini yang kemudian menyebabkan kenapa di hutan tanah aluvial
cenderung pemilihan diameter batangnya lebih besar di antara tipe habitat yang
lain.
cenderung terlihat tidak jauh berbeda. Rata-rata diameter kanopi pohon tempat
Gambar 11. Rata-rata diameter (m) kanopi pohon sarang orangutan di kelima tipe
habitat (A; hutan rawa gambut n=42, B; hutan rawa air tawar n=26,
C; hutan tanah aluvial n=22, D; hutan batu berpasir dataran rendah
n=23, E; hutan granit dataran rendah n=13)
perbedaan bermakna rata-rata diameter kanopi pohon sarang di kelima tipe habitat
membuat sarangnya pada pohon dengan diameter kanopi 7-8 M di 5 tipe habitat
yang ada.
39
sarang pada pohon dengan diameter kanopi yang baik, cukup ranting untuk
kanopi ini diharapkan dapat memberikan gambaran bahwa diameter kanopi pohon
pada pohon Shorea spp. (11%), jenis pohon ini dilihat dari keseluruhan sarang
yang ditemukan pada kelima tipe habitat yang ada (sebagaimana tersaji pada
Gambar 12). Seringnya penggunaan Shorea spp. sebagai material sarang diduga
karena jenis pohon ini mempunyai ranting yang lentur, kuat dan daun yang
memilih jenis pohon tertentu yang baginya dirasa kuat dan nyaman, terutama
dengan daun lebar dan banyak percabangan serta tidak terlalu tinggi.
40
Gambar 12. Jenis pohon sarang orangutan di kelima tipe habitat (genus n=40,
sarang n=127)
Selain sebagai material sarang, Shorea spp. juga merupakan salah satu
data) genus ini tidak termasuk ke dalam top 50 sumber pakan orangutan di
Cabang Panti, selain Shorea spp. masih ada beberapa jenis pohon sarang yang
juga merupakan sumber pakan bagi orangutan di Stasiun Penelitian Cabang Panti
(Lampiran 16). Walaupun Shorea spp. mendominasi pohon sarang, belum pernah
tersebut.
bersarangnya dapat diuji statistik. Hal ini karena kurangnya data bersarang dari
ke dalam 4 kelas umur orangutan yaitu remaja, betina dewasa, betina dewasa
bahwa tipe habitat yang potensial tersedianya sumber pakan bagi orangutan
adalah hutan tanah aluvial kemudian disusul oleh hutan batu berpasir dataran
rendah dan hutan rawa air tawar, namun pada kenyataannya selama penelitian ini
42
tersebut. Kembali kepada asumsi sebelumnya bahwa hal ini dipengaruhi oleh
habitat, dan analisis hanya ditujukan pada perilaku membuat sarang malam. Hal
demikian terkait sedikitnya sarang siang yang dibuat oleh masing-masing kelas
sarang siang dan sarang malam yang dibuat oleh orangutan focal disajikan dalam
Gambar 13. Persentase (%) sarang siang dan malam orangutan yang diikuti
(remaja n sarang=8, betina dewasa n sarang=13, betina dewasa
dengan anak n sarang=19, jantan berpipi n sarang=7)
25% sarang siang dibandingkan srang malam yang dibuat oleh masing-masing
kawasan penelitian akan membuat sarang siang apabila hujan deras dan pernah
satu kali kejadian pembuatan sarang siang oleh orangutan baru karena takut atas
kehadiran pengamat.
Serupa dengan yang ditemukan oleh Rayadin et al. (2009), dari 92 buah
sarang yang dibuat oleh orangutan di Taman Nasional Kutai, Birawa dan Meratus,
hanya terdapat 2 buah sarang siang. Sementara itu Prasetyo et al. (2009)
menyatakan bahwa jumlah sarang siang yang dibuat orangutan berbeda-beda bagi
setiap individu, hal ini dibatasi oleh tingkat kemandirian individu orangutan
tersebut. Misalnya pada bayi orangutan yang mulai belajar membuat sarang,
Gambar 14. Persentase (%) sarang malam yang dibuat oleh masing-masing kelas
umur orangutan di tiap habitat (remaja n sarang=6, betina dewasa n
sarang=12, betina dewasa dengan anak n sarang=16, jantan berpipi n
sarang=6)
semua tipe habitat, tetapi dalam penelitian ini paling sedikit orangutan membuat
sarang malamnya di dua tipe habitat. Kemudian, uji statistik dilakukan untuk
malam dibuat di hutan rawa gambut dan empat sarang malam dibuat di hutan batu
perilaku dalam membuat sarang dan karakter sarang yang dibuat oleh orangutan
Perilaku yang diuji ialah mengenai rata-rata durasi yang diperlukan oleh
orangutan remaja untuk membuat sarang malam, didapatkan bahwa ketika berada
di hutan rawa gambut rata-rata durasi yang diperlukan utnuk membuat sarang
malam adalah 8 menit (SD +/- 2,83 menit) dan ketika di hutan batu berpasir
dataran rendah rata-rata durasi membuat sarang malam orangutan ini adalah 5,5
menit (SD +/- 0,71 menit). Setelah dilakukan uji Mann-Whitney, diketahui bahwa
tidak ada perbedaan bermakna rata-rata durasi membuat sarang orangutan remaja
ketika berada di hutan rawa gambut dan hutan batu berpasir dataran rendah
tailed)= 0,221).
orangutan remaja, di hutan rawa gambut dan hutan batu berpasir dataran rendah
berturut-turut ketinggian sarang orangutan ini yaitu 40 m (SD +/- 7,07 m) dan 22
m (SD +/- 4 m). Setelah dilakukan uji Mann-Whitney, diketahui ada perbedaan
bermakna rata-rata ketinggian sarang orangutan remaja di hutan rawa gambut dan
gambut merupakan orangutan baru yang sebelumnya diduga kuat belum pernah
diikuti (tim peneliti, diskusi langsung). Selama pengamatan, orangutan remaja ini
46
agresif. Orangutan remaja ini ketika membuat sarang malam memilih tempat yang
remaja di hutan rawa gambut dan di hutan batu berpasir dataran rendah (Mann-
dan 27,5 m (SD +/- 5 m). Pemilihan pohon sarang yang tinggi oleh orangutan
remaja di hutan rawa gambut ini masih berkaitan dengan kondisi orangutan
tersebut yang ketakutan, sehingga memilih pohon sarang yang tinggi untuk
gangguan yang mungkin akan muncul ketika orangutan tersebut berada di dalam
pohon sarang malam orangutan remaja di hutan rawa gambut adalah 97,5 cm (SD
+/- 17,68 cm) dan di hutan batu berpasir dataran rendah adalah 41 cm (SD +/-
14,45 cm). Setelah dilakukan uji Mann-Whitney, diketahui bahwa tidak ada
remaja di hutan rawa gambut dan hutan batu berpasir dataran rendah (Mann-
0,064).
47
diketahui bahwa perilaku membuat sarang dan karakter sarang yang dibuat
terutama pada individu orangutan remaja yang kondisinya normal dalam artian
tidak memperlihatkan perilaku yang tidak lazim ketika orangutan tersebut diikuti.
tersebut selalu berperilaku agresif sepanjang hari, pada kondisi inilah peneliti
malam, 2 di hutan rawa air tawar, 5 di hutan tanah aluvial dan 5 di hutan batu
perilaku dalam membuat sarang dan karakter sarang yang dibuat oleh orangutan
orangutan betina dewasa ketika membuat sarang, di hutan rawa air tawar rata-rata
durasi membuat sarang orangutan ini adalah 6,5 menit (SD +/- 0,71 menit), di
hutan tanah aluvial 7,25 menit (SD +/- 1,71 menit) dan di hutan batu berpasir
dataran rendah 5,4 menit (SD +/- 0,89 menit). Setelah dilakukan uji Kruskal-
Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna durasi membuat sarang
48
pakan terakhir ke pohon sarang malam, orangutan betina dewasa ketika berada di
hutan rawa air tawar menempuh jarak rata-rata 107 m (SD +/- 131,52 m) dari
pohon pakan terakhir ke pohon sarang malamnya, di hutan tanah aluvial 32,8 m
(SD +/- 18,29 m) dan ketika berada di hutan batu berpasir dataran rendah 39,2 m
(SD +/- 34,51 m). Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak
ada perbedaan bermakna rata-rata jarak dari pohon pakan terakhir ke pohon
sarang malam orangutan betina dewasa di ketiga tipe habitat (Chi-Square = 0,185;
pakan pertama, orangutan betina dewasa di hutan tanah aluvial menempuh jarak
rata-rata 32,67 m (SD +/- 34,19 m) dan ketika berada di hutan batu berpasir
dataran rendah 79 m (SD +/- 14,14 m). Setelah dilakukan uji Mann-Whitney,
diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna rata-rata jarak dari pohon sarang
malam ke pohon pakan pertama orangutan betina dewasa di kedua tipe habitat
tailed)= 0,248).
orangutan betina dewasa di hutan rawa air tawar adalah 24 m (SD +/- 1,41 m), di
hutan tanah aluvial 20,2 m (SD +/- 3,35 m) dan ketika berada di hutan batu
berpasir dataran rendah, rata-rata ketinggian sarang malam orangutan ini adalah
49
19,2 m (SD +/- 3,56 m). Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa
tidak ada perbedaan bermakna rata-rata ketinggian sarang malam orangutan betina
dewasa di ketiga tipe habitat (Chi-Square = 3,263; df= 2; Asymp. Sig.= 0,196).
betina dewasa di hutan rawa air tawar adalah 26,5 m (SD +/- 2,12 m), di hutan
tanah aluvial 24 m (SD +/- 2,53 m) dan di hutan batu berpasir dataran rendah
adalah 27,29 m (SD +/- 12,31 m). Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui
bahwa tidak ada perbedaan bermakna rata-rata ketinggian pohon sarang orangutan
betina dewasa di ketiga tipe habitat (Chi-Square = 1,377; df= 2; Asymp. Sig.=
0,502).
pohon sarang malam orangutan betina dewasa, ketika berada di hutan rawa air
tawar rata-rata diameter batang pohon sarang malam orangutan ini adalah 19,5 cm
(SD +/- 0,71 cm), di hutan tanah aluvial 26,98 cm (SD +/- 10,63 cm) dan di batu
berpasir dataran rendah adalah 52,11 cm (SD +/- 50,23 cm). Setelah dilakukan uji
batang pohon sarang malam orangutan betina dewasa di ketiga tipe habitat (Chi-
terhadap parameter perilaku dan karakteristik sarang yang diuji, karena hanya satu
individu yang diikuti mewakili kelas umur orangutan betina dewasa ini. Hal ini
memberikan gambaran bahwa orangutan pada kelas umur yang sama cenderung
50
yang berbeda, tetapi tentu saja tetap menyesuaikan diri terhadap kondisi habitat
sarang malam, 6 sarang malam dibuat di hutan rawa gambut, 3 di hutan rawa air
tawar, 2 di hutan tanah aluvial, dan 5 di hutan batu berpasir dataran rendah.
sarang dan karakter sarang yang dibuat oleh orangutan betina dewasa dengan anak
orangutan betina dewasa dengan anak ketika berada di hutan rawa gambut rata-
rata membutuhkan waktu 5,33 menit (SD +/- 1,53 menit) dalam membuat sarang
malam, di hutan rawa air tawar 7 menit (SD +/- 2 menit), di hutan tanah aluvial 5
menit (SD +/- 0 menit), dan di hutan batu berpasir dataran rendah 6,67 menit (SD
+/- 2,31 menit). Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak ada
malam, orangutan betina dewasa dengan anak di hutan ketika berada di hutan
rawa gambut rata-rata menempuh jarak 69,75 m (SD +/- 55,19 m) dari pohon
51
pakan terakhir ke pohon sarang malam, di hutan rawa air tawar 15,5 m (SD +/-
14,85 m), di hutan tanah aluvial 30,5 m (SD +/- 4,95 m), dan di hutan batu
berpasir dataran rendah adalah 19,67 m (SD +/- 21,13 m). Setelah dilakukan uji
jarak dari pohon pakan terakhir ke pohon sarang malam orangutan betina dewasa
dengan anak di keempat tipe habitat (Chi-Square = 4,008; df= 3; Asymp. Sig.=
0,261).
pohon pakan pertama, orangutan betina dewasa dengan anak di hutan rawa
gambut rata-rata menempuh jarak 50,33 m (SD +/- 46,02 m), di hutan rawa air
tawar 87,5 m (SD +/- 17,68 m), di hutan tanah aluvial 23,5 m (SD +/- 9,19 m),
dan di hutan batu berpasir dataran rendah 10,5 m (SD +/- 2,12 m). Setelah
dilakukan uji Kruskal Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna
jarak dari pohon sarang malam ke pohon pakan pertama orangutan betina dewasa
dengan anak di keempat tipe habitat (Chi-Square = 4,133; df= 3; Asymp. Sig.=
0,247).
betina dewasa dengan anak di hutan rawa gambut adalah 25,4 m (SD +/- 9,37 m),
di hutan rawa air tawar 27,67 m (SD +/- 2,52 m), di hutan tanah aluvial 20,5 m
(SD +/- 0,71 m), dan di hutan batu berpasir dataran rendah 21,2 m (SD +/- 2,18
m). Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan
anak di keempat tipe habitat (Chi-Square = 4,420; df= 3; Asymp. Sig.= 0,220).
52
dewasa dengan anak, ketika berada di hutan rawa gambut rata-rata ktinggian
pohon sarang malam orangutan ini adalah 32,17 m (SD +/- 10,96 m), di hutan
rawa air tawar 31,67 m (SD +/- 3,51 m), di hutan tanah aluvial 30 m (SD +/- 7,07
m), dan di hutan batu berpasir dataran rendah 24,4 m (SD +/- 2,30 m). Setelah
ketinggian pohon sarang orangutan betina dewasa dengan anak di keempat tipe
orangutan betina dewasa dengan anak ketika berada di hutan rawa gambut
membuat sarang malam pada pohon dengan rata-rata DBH 52,68 cm (SD +/-
42,22 cm), di hutan rawa air tawar 33,27 cm (SD +/- 8,17 cm), di hutan tanah
aluvial 23,5 cm (0,71 cm), dan di hutan batu berpasir dataran rendah 26,2 cm (SD
+/- 9,67 cm). Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak ada
dewasa dengan anak di keempat tipe habitat (Chi-Square = 5,412; df= 3; Asymp.
Sig.= 0,144).
dewasa dengan anak sejalan dengan yang ditemukan pada orangutan betina
dewasa. Dari semua parameter perilaku dan karakteristik sarang yang diuji
ketika orangutan tersebut berada pada beberapa tipe habitat yang berbeda.
53
malam, 4 sarang malam di hutan rawa gambut dan 2 sarang malam di hutan rawa
air tawar. Dilakukan uji statistik untuk mengetahui perilaku dalam membuat
sarang dan karakter sarang yang dibuat oleh orangutan jantan berpipi di dua tipe
habitat tersebut.
berpipi ketika berada di hutan rawa gambut memerlukan rata-rata waktu 4,75
menit (SD +/- 0,5 menit) untuk membuat sarang malam dan ketika berada di hutan
rawa air tawar memerlukan rata-rata waktu 5 menit (SD +/- 0 menit). Setelah
durasi membuat sarang malam orangutan jantan berpipi ketika berada di hutan
rawa gambut dan di hutan rawa air tawar (Mann-Whitney U= 3,000; Wilcoxon
malam, orangutan jantan berpipi ketika berada di hutan rawa gambut menempuh
rata-rata jarak 27,13 m (SD +/- 20,72 m) dan di hutan rawa air tawar 19 m (SD +/-
9,89 m). Setelah dilakukan uji Mann-Whitney, diketahui bahwa tidak ada
perbedaan bermakna rata-rata jarak dari pohon pakan terakhir ke pohon sarang
pohon pakan pertama, orangutan jantan berpipi di hutan rawa gambut menempuh
54
rata-rata jarak 130,67 m (SD +/- 43,09 m) dan di hutan rawa air tawar 21 m (SD
+/- 5,66 m). Setelah dilakukan uji Mann-Whitney, diketahui bahwa tidak ada
perbedaan bermakna rata-rata jarak dari pohon sarang malam ke pohon pakan
malam orangutan jantan berpipi di hutan rawa gambut adalah 10 m (SD +/- 0 m)
dan di hutan rawa air tawar 11 m (SD +/- 1,41 m). Setelah dilakukan uji Mann-
berpipi, ketika berada di hutan rawa gambut rata-rata ketinggian pohon sarang
orangutan ini 13,67 m (SD +/- 1,21 m) dan di hutan rawa air tawar 14,25 m (SD
+/- 2,48 m). Setelah dilakukan uji Mann-Whitney, diketahui bahwa tidak ada
orangutan jantan berpipi, ketika membuat sarang di hutan rawa gambut rata-rata
diameter batang pohon sarang yang digunakan adalah 12,83 cm (SD +/- 2,54 cm)
dan di hutan rawa air tawar 14,85 cm (SD +/- 3,04 cm). Setelah dilakukan uji
batang pohon sarang malam orangutan jantan berpipi di kedua tipe habitat (Mann-
0,402).
jantan berpipi cenderung sejalan dengan kelas umur orangutan yang lain, yaitu
kebutuhan tertentu terkait perilaku bersarang dan karakteristik sarang yang dibuat,
sehingga ketika berada di beberapa habitat yang berbeda orangutan akan tetap
yang berpengaruh seperti adanya musuh dan predator serta kondisi habitat tempat
Sarang malam yang dibuat oleh orangutan target lebih banyak pada
seluruh sarang malamnya pada posisi 2 (100%), dan orangutan betina dewasa
dengan anakpun lebih sering membuat sarang malam pada posisi 2 (50%).
Sedangkan orangutan betina dewasa dan jantan berpipi lebih sering membuat
sarang malamnya pada posisi 1 (42% dan 50%) seperti tersaji pada Gambar 15.
56
Gambar 15. Persentase (%) posisi sarang malam orangutan (remaja n=6, betina
dewasa n=12, betina dewasa dengan anak n=16, jantan berpipi n=6)
dewasa dengan anak membuat sarang posisi 2 adalah karena berkaitan dengan
mereka beristirahat di dalamnya. Sarang posisi 2 berada di ujung, jauh dari batang
utama, muncul asumsi bahwa pada posisi ini kecil resiko datangnya gangguan
dari hewan lain yang mungkin datang dari bawah melalui batang utama pohon.
membuat sarangnya dekat dan mengikuti sarang orangutan betina dewasa dengan
sarang di dekat sarang induknya memberikan keamanan yang lebih besar bagi
orangutan tersebut.
57
sarang pada posisi 1, diduga posisi inilah yang sesuai dengan kebutuhan membuat
betina dewasa dengan anak dan orangutan remaja, orangutan betina dewasa dan
jantan berpipi cenderung lebih berani dan mandiri dan tidak perlu melakukan
pada posisi 1, 2, dan 3 serta jarang sekali membuat sarang pada posisi 4.
kondisi pohon yang ada, hal ini menunjukkan bahwa selain mempunyai
orangutan pembuat sarang, selain itu berhubungan dengan ada atau tidaknya
bagian-bagian tambahan pada sarang yang dibuat. Orangutan yang secara fisik
terlihat kuat yang digambarkan dengan ukuran tubuh yang relatif besar diduga
Gambar 16. Rata-rata durasi (menit) pembuatan sarang malam orangutan (remaja
n=4, betina dewasa n=11, betina dewasa dengan anak n=11, jantan
berpipi n=6)
dibandingkan dengan kelas umur orangutan yang lain. Setelah dilakukan uji
Penelitian Cabang Panti pada kelas umur yang berbeda cenderung menggunakan
durasi yang sama ketika membuat sarang malam. Hal ini berbeda dengan yang
59
Lamandau (Taniasari, 2012), di mana terdapat perbedaan antara kelas umur yang
Rata-rata jarak yang ditempuh dari pohon pakan terakhir menuju pohon
sarang malam oleh orangutan cenderung semakin dekat bila diperhatikan dari
mulai orangutan remaja, betina dewasa, betina dewasa dengan anak menuju jantan
berpipi. Orangutan remaja menempuh jarak paling dekat menuju pohon sarang
malamnya dan orangutan jantan berpipi menempuh jarak paling jauh menuju
Gambar 17. Rata-rata jarak (m) dari pohon pakan terakhir ke pohon sarang
malam orangutan (remaja n=2, betina dewasa n=11, betina dewasa
dengan anak n=11, jantan berpipi n=6)
60
menempuh jarak yang paling dekat untuk menentukan pohon tempat membuat
sarang malam dibandingkan kelas umur orangutan yang lain. Setelah dilakukan
uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna rata-rata jarak
pohon pakan terakhir ke pohon sarang malam keempat kelas umur orangutan
jauh di antara masing-masing kelas umur orangutan, namun setelah dilakukan uji
stasistik ternyata tidak terdapat perbedaan bermakna. Hal ini karena ada
(2006) hal tersebut memang jarang dilakukan oleh orangutan sebagaimana yang
umur, namun dapat dilihat pada Gambar 17 bahwa orangutan jantan berpipi
cenderung membuat sarang yang lebih dekat dari pohon pakan terakhir,
Yamagiwa (2002) menambahkan bahwa pada gorila silver back, yang merupakan
61
kelas umur yang setara dengan orangutan jantan berpipi, diprediksi menggunakan
pertama di esok paginya terlihat bervariasi. Sebagaimana terlihat pada Gambar 18.
Gambar 18. Rata-rata jarak (m) dari pohon sarang malam ke pohon pakan
pertama orangutan (remaja n=2, betina dewasa n=8, betina dewasa
dengan anak n=12, jantan berpipi n=5)
menempuh jarak yang paling jauh untuk menentukan pohon pakan pertama
setelah bangun di pagi hari dibandingkan kelas umur orangutan yang lain. Setelah
rata-rata jarak pohon sarang malam ke pohon pakan pertama keempat kelas umur
orangutan (Gambar 17), terlihat bahwa jarak yang ditempuh dari pohon pakan
semakin dekat dari orangutan remaja sampai jantan berpipi. Tetapi pada data jarak
pohon sarang dengan pohon pakan pertama ini tidak seperti demikian, terjadi
fluktuasi pada jantan berpipi di mana rata-rata jarak yang ditempuh dari pohon
sarang menuju pohon pakan pertama cenderung paling jauh di antara kelas umur
yang lain.
pada jarak rata-rata paling dekat (<30 m) dengan pohon pakan terakhir
dibandingkan kelas umur yang lain, namun menempuh jarak rata-rata paling jauh
(>80 m) dalam menentukkan pohon pakan pertamanya. Hal ini diduga orangutan
kelompok umur orangutan yang lain, dan ketika pada pagi harinya setelah bangun
tidur mampu menempuh jarak yang cukup jauh untuk menemukan pohon pakan
pertamanya.
menjadikan sumben pakan tersebut sebagai sumber pakan pertama di esok harinya
setelah bangun tidur. Dia juga menambahkan, sebagaimana pada pohon pakan
63
terakhir, kelompok yang tidak dominan akan membuat sarang lebih jauh untuk
masing kelas umur, begitupun dengan ketinggian pohon sarang yang digunakan.
Sarang
Pohon
Gambar 19. Rata-rata ketinggian (m) sarang malam orangutan (A; remaja n=6, B;
betina dewasa n=12, C; betina dewasa dengan anak n=15, D; jantan
berpipi n=6) dan ketinggian (m) pohon sarang malam orangutan (A;
remaja n=6, B; betina dewasa n=12, C; betina dewasa dengan anak
n=17, D; jantan berpipi n=6)
jantan berpipi, betina dewasa dengan jantan berpipi, dan betina dewasa dengan
lainnya. Keadaan yang sama terjadi di Tuanan (Prasetyo, 2006), di mana golongan
umur orangutan jantan berpipi cenderung memilih ketinggian sarang malam yang
lebih rendah (5-9 m) dibandingkan dengan golongan umur orangutan yang lainnya
(10-14 m).
dengan jantan berpipi, betina dewasa dengan jantan berpipi dan betina dewasa
oleh orangutan jantan berpipi lebih rendah dibandingkan dengan golongan umur
orangutan yang lainnya. Meskipun pemilihan ketinggian pohon sarang ini sangat
pengamatan hal ini juga dipengaruhi oleh rasa aman yang ingin didapatkan oleh
jantan berpipi lebih cocok membuat sarangnya pada pohon yang cenderung lebih
65
banyak energi apabila harus memanjat pohon yang tinggi dan juga menghindari
Gambar 20. Rata-rata diameter batang (cm) pohon sarang malam orangutan
(remaja n=6, betina dewasa n=12, betina dewasa dengan anak n=17,
jantan berpipi n=6)
bermakna rata-rata diameter batang pohon sarang malam keempat kelas umur
dengan betina dewasa, remaja dengan jantan berpipi, betina dewasa dengan jantan
lebih kecil dibandingkan dengan golongan umur yang lainnya. Selain itu pada
diameter batang pohon ini terdapat perbedaan juga antara orangutan remaja
dengan orangutan betina dewasa, ini dikaitkan dengan kondisi orangutan remaja
baru yang diduga belum pernah diikuti sehingga orangutan ini agresif, selama
pengamatan berada pada pohon besar dan tidak berani untuk berpindah pohon.
Jenis pohon yang paling sering digunakan sebagai material sarang oleh
orangutan target menunjukkan hasil yang sesuai dengan jenis pohon sarang hasil
Shorea spp., (Gambar 21). Sebagai material sarangnya. Ini berbeda dengan yang
hutan rawa gambut (peat) didominasi oleh famili Sapotaceae (24%), hutan rawa
hutan batu berpasir (sandstone) didominasi oleh famili Olacaceae (36%), dan
(1999) dan Marshall (2004) mendeskripsikan lebih detail bahwa di hutan rawa
67
gambut didominasi oleh famili Sapotaceae (Palaquium spp.), hutan rawa air tawar
berpasir dataran rendah dan hutan granit dataran rendah didominasi oleh famili
Gambar 21. Jenis pohon sarang malam orangutan (genus n=20, sarang n=43)
pohon sarang tertentu yang dilakukan oleh orangutan, pemilihan jenis pohon
pemilihan genus pohon sarang orangutan juga dipengaruhi oleh ketersediaan jenis
tersebut cenderung tidak berkaitan dengan genus pohon yang paling dominan.
BAB V
5.1. Kesimpulan
yang sama ketika berada pada lima tipe habitat yang berbeda, tetapi
(remaja, betina dewasa, betina dewasa dengan anak dan jantan berpipi)
membuat sarang serta jarak antara pohon pakan terakhir dengan pohon
sarang dan jarak antara pohon sarang dengan pohon pakan pertama.
5.2. Saran
68
69
beberapa jenis yang sering digunakan sebagai material sarang juga merupakan
kemungkinan adanya aksi penebangan liar dan pemanfaatan yang tidak bijaksana
Anonim. 2002. Data dan informasi kehutanan profinsi Kalimantan Barat. Pusat
inventarisasi dan statistik kehutanan: Badan Planologi Kehutanan,
Departemen Kehutanan.
Basabose, A.K. and J. Yamagiwa. 2002. Factors affecting nesting site choice in
chimpanzees at Tshibati, Kahuzi-Biega National Park: Influence of
sympatric gorillas. Journal of International Primatology 23(2): 263-
281.
Buij, R., S.A. Wich, A.H. Lubis and E.H.M. Sterck. 2002. Seasonal movements in
the Sumatran orangutan (Pongo pygmaeus abelii) and consequences
for conservation. Biological Conservation 107(83-87).
Cannon, C.H. and M. Leighton. 2004. Tree species distributions across five
habitats in a Bornean rain forest. Journal of Vegetation Science 15:
257-266.
Kudus, R.S. 2000. Analisis hubungan antar dimensi sarang dan karakteristik
individu orangutan (Pongo pygmaeus pygmaeus, Linnaeus 1760) di
Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Skripsi
Sarjana. Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Marshall, A.J. 2004. Population ecology of gibbons and leaf monkeys across a
gradient of Bornean forest types. Ph.D. Dissertation. Department of
Anthropology, Harvard University, Cambridge, MA, USA: xv + 248
hlm.
Muin, A. 2007. Analisis tipologi pohon tempat bersarang dan karakteristik sarang
orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii, Grooves 2001) di Taman
Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Tesis. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rayadin, Y. and Takashi, S. 2009. Individual Variation in Nest Size and Nest Site
Features of The Bornean Orangutans (Pongo pygmaeus). American
Journal of Primatology 71:393–399.
Rijksen, H.D. 1978. A field Study On Sumatran Orang Utans ( Pongo pgymaeus
abelii, Lesson 1827) : Ecology, Behaviour, and Conservation. H.
Veenman & Zonen. Wageningen.
Rijksen, H.D., dan Meijaard, E. 1999. Our vanishing relative. The status of wild
orangutans at the close of the twentieth century. Kluwer Academic
Publishers, Dordrecht. The Netherlands.
Soehartono, T., Susilo, H.D., Andayani, N., Utami Atmoko, S.S., Sihite, J., Saleh,
C., Sutrisno, A., 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi
Orangutan Indonesia 2007-2017. PHKA KEMENHUT RI. Jakarta.
Susanto, T.W. 2012. Pola jelajah dan pemanfaatan habitat orang utan (Pongo
pygmaeus wurmbii) di Stasiun Penelitian Cabang panti, Taman
Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat. Tesis. FMIPA, Program
Pascasarjana, Program Studi Biologi, Universitas Indonesia. Depok.
van Schaik, C.P. 2006. Antara Orangutan Kera merah dan Bangkitnya
Kebudayaan Manusia. Yayasan BOSF. Jakarta.
Wich, S.A., Utami Atmoko, S.S., Mitra Setia, T., Rijksen, H.D., Schurmann, C.,
van Hoof, J.A.R.A.M., van Schaik, C.P. 2004. Life History of Wild
Sumatran Orangutan (Pongo abelii). Journal of Human Evolution.
Zhang, Y., O.A. Ryder & Y. Zhang. 2001. Genetic divergence of orangutan
subspecies (Pongo pygmaeus). J. Mol. Evol. 52: 516-526.
74
DAFTAR LAMPIRAN
A B
C D
Keterangan:
A. Sarang posisi 1, di pangkal percabangan
B. Sarang posisi 2, di ujung percabangan
C. Sarang posisi 3, di ujung batang utama
D. Sarang posisi 4, dibuat dari dua pohon
76
A D
B E
A D
B E
Mean
Tipe Habitat N
Rank
Test Statisticsa,b
Tinggi Tinggi Pohon DBH Pohon Diameter Kanopi
Sarang Sarang Sarang Pohon Sarang
Chi-Square 23.082 28.323 15.596 7.036
Df 4 4 4 4
Asymp. Sig. ,000 ,000 ,004 0,134
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Tipe Habitat
* Keterangan: Terdapat perbedaan yang bermakna (P<0,05) ketinggian sarang,
ketinggian, DBH dan diameter kanopi pohon sarang orangutan di
lima tipe habitat yang berbeda
79
Test Statisticsb
Test Statisticsb
Test Statisticsb
Mean Sum of
Tipe Habitat N
Rank Rank
Test Statisticsb
Durasi
Tinggi Tinggi DBH
Membuat
Sarang Pohon Pohon
Sarang
Mann-Whitney U ,500 0,000 0,000 0,000
Wilcoxon W 3,500 10,000 10,000 10,000
Z -1,225 -1,967 -1,967 -1,852
Asymp. Sig. (2-tailed) ,221 ,049 ,049 ,064
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,333a ,133a ,133a ,133a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Tipe habitat
* Keterangan: Terdapat perbedaan yang bermakna (P<0,05) ketinggian sarang dan
ketinggian pohon sarang orangutan remaja ketika berada di hutan
rawa gambut dan hutan batu berpasir dataran rendah
86
Mean
Tipe Habitat N
Rank
Test Statisticsa,b
Durasi Jarak Pohon Ketinggian DBH
Ketinggian
Membuat Pakan ke Pohon Pohon
Sarang
Sarang Sarang Sarang Sarang
Chi-Square 3,654 0,185 3,263 1,377 1,159
Df 2 2 2 2 2
Asymp. Sig. 0,161 ,912 ,196 ,502 ,560
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Tipe Habitat
* Keterangan: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna (P>0,05) perilaku
bersarang orangutan betina dewasa ketika berada di hutan rawa
air tawar, hutan tanah aluvial dan hutan batu berpasir dataran
rendah.
87
Test Statisticsb
Jarak Sarang ke Pohon
Pakan Pertama
Mann-Whitney U 1,000
Wilcoxon W 7,000
Z -1,155
Asymp. Sig. (2-tailed) ,248
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,400
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Tipe habitat
* Keterangan: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna (P>0,05) rata-rata jarak
sarang malam ke pohon pakan pertama orangutan betina dewasa
ketika berada di hutan tanah aluvial dan hutan batu berpasir
dataran rendah
88
Mean
Tipe Habitat N
Rank
Test Statisticsa,b
Durasi Jarak Pohon Jarak Ketinggian DBH
Ketinggian
Membuat Pakan ke Sarang ke Pohon Pohon
Sarang
Sarang Sarang Pohon Sarang Sarang
Chi-Square 2,093 4,008 4,133 4,420 5,673 5,412
Df 3 3 3 3 3 3
Asymp. Sig. ,553 ,261 ,247 ,220 ,129 ,144
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Tipe Habitat
* Keterangan: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna (P>0,05) perilaku
bersarang orangutan betina dewasa ketika berada di hutan rawa
gambut, hutan rawa air tawar, hutan tanah aluvial dan hutan batu
berpasir dataran rendah.
90
Mean Sum of
Tipe Habitat N
Rank Rank
Test Statisticsb
Durasi Jarak Pohon Jarak Sarang
Membuat Pakan ke ke Pohon
Sarang Sarang Pakan
Mann-Whitney U 3,000 4,000 ,000
Wilcoxon W 13,000 7,000 3,000
Z -,707 ,000 -1,732
Asymp. Sig. (2-tailed) ,480 1,000 ,083
a
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,800 1,000a ,200a
Mean
Kelas Umur Orangutan N
Rank
Test Statisticsa,b
Durasi Jarak Pohon Jarak Ketinggian DBH
Ketinggian
Membuat Pakan ke Sarang ke Pohon Pohon
Sarang
Sarang Sarang Pohon Sarang Sarang
Chi-Square 5,479 1,581 4,449 18,267 18,915 18,376
Df 3 3 3 3 3 3
Asymp. Sig. ,140 ,664 ,217 ,000 ,000 ,000
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Kelas umur orangutan
* Keterangan: Terdapat perbedaan yang bermakna (P<0,05) ketinggian sarang,
ketinggian pohon sarang dan DBH pohon sarang orangutan
berdasarkan kelas umur orangutan.
94
Test Statisticsb
Test Statisticsb
Test Statisticsb
A D
B E
C F
Tanah
Rawa gambut aluvial Batu Granit
berpasir dataran
dataran rendah
rendah
Granit
dataran
tinggi