Anda di halaman 1dari 121

PERILAKU BERSARANG ORANGUTAN KALIMANTAN

(Pongo pygmaeus wurmbii, Tiedemann 1808) DI TIPE HABITAT


YANG BERBEDA DI STASIUN PENELITIAN
CABANG PANTI, TAMAN NASIONAL GUNUNG PALUNG,
KALIMANTAN BARAT

MUHAMAD RUSDA YAKIN

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013 M/1434 H
PERILAKU BERSARANG ORANGUTAN KALIMANTAN
(Pongo pygmaeus wurmbii, Tiedemann 1808) DI TIPE HABITAT
YANG BERBEDA DI STASIUN PENELITIAN
CABANG PANTI, TAMAN NASIONAL GUNUNG PALUNG,
KALIMANTAN BARAT

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

MUHAMAD RUSDA YAKIN


108095000008

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013 M/1434 H
PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN KEASLIAN SKRIPSI INI BENAR-

BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN

SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI

ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, Januari 2013

Muhamad Rusda Yakin


NIM. 108095000008
Perilaku Bersarang Orangutan Kalimantan
(Pongo pygmaeus wurmbii, Tiedemann
JAKARTA
MUHAMAD RUSDA YAKIN 1808) di Tipe Habitat yang Berbeda di
2013 M/ 1434 H
Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman
Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat
ABSTRAK

MUHAMAD RUSDA YAKIN. Perilaku Bersarang Orangutan Kalimantan


(Pongo pygmaeus wurmbii, Tiedeman 1808) di Tipe Habitat yang Berbeda di
Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman Nasional Gunung Palung,
Kalimantan Barat. Skripsi. Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Januari
2013.

Perilaku bersarang mempunyai peran penting bagi kehidupan orangutan meskipun


perilaku bersarang merupakan aktivitas dengan persentasi yang kecil, karena
fungsi sarang di antaranya adalah sebagai tempat beristirahat dan tempat
berlindung dari cuaca buruk seperti panas dan hujan. Perilaku bersarang
orangutan berhubungan dengan kondisi habitat, karena sebaran sarang orangutan
dipengaruhi oleh letak pohon buah dan topografi hutan. Terdapat tujuh tipe habitat
di Stasiun Penelitian Cabang Panti: hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar,
hutan tanah aluvial, hutan batu berpasir dataran rendah, hutan granit dataran
rendah, hutan granit dataran tinggi, dan hutan pegunungan. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan karakteristik sarang orangutan
hanya di lima tipe habitat (hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, hutan tanah
aluvial, hutan batu berpasir dataran rendah, dan hutan granit dataran rendah) dan
perilaku bersarang orangutan pada kelas umur yang sama ketika berada di tipe
habitat yang berbeda. Metode line transect digunakan untuk mencari sarang
orangutan di lima tipe habitat, sedangkan untuk perilaku bersarang digunakan
metode focal animal sampling. Analisis data menggunakan uji Kruskal-Wallis dan
Mann-Whitney (SPSS 17). Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa terdapat
perbedaan rata-rata ketinggian sarang, ketinggian pohon sarang dan diameter
batang pohon sarang orangutan di lima tipe habitat. Sedangkan untuk perilaku
bersarang, tidak terdapat perbedaan perilaku bersarang orangutan pada kelas umur
yang sama ketika berada di tipe habitat yang berbeda tetapi terdapat perbedaan
rata-rata ketinggian sarang, ketinggian pohon sarang dan diameter batang pohon
sarang orangutan berdasarkan kelas umur. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberi masukan bagi program konservasi orangutan di Stasiun Penelitian
Cabang Panti dan bagi konservasi orangutan secara luas.

Kata kunci: orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii), karakteristik


sarang, perilaku bersarang, tipe habitat yang berbeda, konservasi
ABSTRACT

MUHAMAD RUSDA YAKIN. Bornean Orangutan (Pongo pygmaeus


wurmbii, Tiedeman 1808) Nesting Behaviour in Different Habitat Types of
Cabang Panti Research Site, Gunung Palung National Park, West
Kalimantan. Essay. Biology Course, Faculty of Science and Technology,
Syarif Hidayatullah State Islamic University, Jakarta. January 2013.

Nesting behaviour has important roles for orangutan life although it is the small
percentage activity, because orangutan can use nest for resting and taking shelter
from bad weather such as heat force and rain. Orangutan nesting behaviour has
correlation with habitat condition, because orangutan nest distribution is
influenced by fuit tree location and forest topography. There are seven different
habitat types in Cabang Panti Research Site: peat swamp, freshwater swamp,
alluvial bench, lowland sandstone, lowland granite, upland granite, and
mountaine. The study aimed to know differences of orangutan nest characteristic
only in five different habitat types (peat swamp, freshwater swamp, alluvial
bench, lowland sandstone, and lowland granite) and orangutan nesting behaviour
when make nest in different habitat types. The line transect method was used to
observe orangutan nest in five different habitat types and for orangutan nesting
behaviour the focal animal sampling was used. Data were analyzed by Kruskal-
Wallis and Mann-Whitney (SPSS 17). Based on the results of analysis, there are
differences on orangutan nest height average, nest tree height, and nest tree stem
diameter in five habitat types. Whereas for orangutan nesting behaviour, there is
no difference on similar age class orangutans when make nest in different habitat
types but there are differences on orangutan nest height average, nest tree height,
and nest tree stem diameter based on age classes. Results of this study are
expected to give input for orangutan conservation program in Cabang Panti
Research Site and orangutan conservation extensively.

Keyword: bornean orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii), nest characteristic,


nesting behaviour, different habitat types, conservation
Aku persembahkan karya ini untuk
“Kera Merah Si Pematah Ranting”

Pada setiap ranting yang dipatahkan, tercurah asa untuk melanjutkan hidup
esok pagi. Dan pada setiap sarang yang ditemukan, tersirat pesan yang tak
pernah sempat dikatakan “selamatkan kami”
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT Yang Maha

Kuasa, atas segala rahmat, hidayah, inayah dan karunia-Nya sehingga skripsi ini

dapat terselesaikan. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi besar

Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang setia

sampai akhir zaman.

Skripsi ini berjudul “Perilaku Bersarang Orangutan Kalimantan

(Pongo pygmaeus wurmbii, Tiedemann 1808) di Tipe Habitat yang Berbeda di

Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman Nasional Gunung Palung,

Kalimantan Barat”, disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan

program studi S1 pada Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Selama penelitian dan penyusunan skripsi ini penulis telah banyak

mendapatkan bantuan dan motivasi dari berbagai pihak baik secara langsung

maupun tidak langsung, untuk itu dalam kesempatan ini perkenankanlah penulis

menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada:

1. Kedua orangtua, Mama dan almarhum Bapak yang telah membesarkan

dan mendidik dengan kasih sayang dan doa, dengan restu dan bimbingan

yang tidak terbanding dengan apapun. Serta untuk Nunu dan Abdu, yang

selalu memberikan motivasi dan semangat “kuliah ini pasti berakhir, dan

selanjutnya giliran kalian”

i
2. Dr. Cheryl D. Knott, dari Department of Anthropology-Boston

University, USA, selaku direktur Gunung Palung Orangutan Project

(GPOP) dan Gunung Palung Orangutan Conservation Program

(GPOCP)/ Yayasan Palung, yang telah memberikan kesempatan dan

support materi untuk melakukan penelitian orangutan di Stasiun

Penelitian Cabang Panti

3. Dr. Gail Angela Campbell-Smith, selaku manajer GPOP, atas bantuan

dan saran serta waktu untuk berdiskusi selama melakukan penelitian di

Stasiun Penelitian Cabang Panti yang sangat berperan penting bagi

penelitian ini

4. Dr. Agus Salim, M.Si, selaku Dekan Fakultas Sains dan teknologi beserta

seluruh Pembantu Dekan beserta seluruh Staf akademik Fakultas Sains

dan Teknologi terima kasih atas pelayanan administrasi

5. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud., selaku ketua Program Studi

Biologi UIN Syarif Hidayatullah dan seluruh dosen Biologi, terima kasih

atas pelayanan administrasi dan ilmu berharga bagi penulis

6. Dr. Sri Suci Utami Atmoko, dari Fakultas Biologi Universitas Nasional,

selaku pembimbing kedua yang telah membimbing, memberikan ilmu,

memberikan kritik dan saran selama peneliti berada di lapangan dan

ketika penyusunan skripsi

7. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si, dari Program Studi Biologi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, selaku pembimbing pertama yang telah

ii
mengajarkan, membimbing, memberikan kritik dan saran terhadap

penelitian dan penyusunan skripsi

8. Dini Fardila, M.Si dan Pascal Sukandar, M.Si, selaku penguji pada

seminar proposal dan seminar hasil, terima kasih atas kritik dan saran

yang diberikan

9. Nani Radiastuti, M.Si, selaku penguji dan Priyanti, M.Si, selaku

pembimbing akademik dan penguji di sidang skripsi, terima kasih atas

saran, bimbingan dan nasihatnya selama penulis menjalani kuliah hingga

akhir penyelesaian skripsi ini

10. Tri Wahyu Susanto, M.Si yang telah membantu, memberikan support

dan mengajarkan ilmu baru bagi penulis, menjadi guru diskusi dan

memberikan nasihat selama penyusunan skripsi, terima kasih banyak dan

jangan bosan untuk “ditanya”

11. Kepala Balai Taman Nasional Gunung Palung (BTNGP) A. Haris

Sudjoko S.H, beserta staff (mas Ibrahim, mas Frangky, mas heri, mas

Ais, mas Sapon, mbak Yunita, pak Cek dan kawan-kawan yang tidak

bisa saya sebutkan satu-persatu, terima kasih atas izin yang diberikan,

dan terima kasih atas waktunya selama di lapangan serta ketika peneliti

berada di Balai Taman Nasional

12. Keluarga besar Gunung Palung Orangutan Conservation Program

(GPOCP)/Yayasan Palung, Andrew (eks-manager YP), bang Tito, mbak

Mona, mbak Asni, mbak May, dan bang Tang terima kasih atas bantuan

serta waktu untuk diskusi, serta bang Samad, Reno, Rauf dan kawan-

iii
kawan Yayasan Palung lainnya yang tidak bisa dituliskan satu persatu

terima kasih banyak atas bantuan selama peneliti berada di Ketapang dan

support-nya terhadap penelitian ini

13. Keluarga besar Stasiun Penelitian Cabang Panti, Asisten OH dan Crew,

tim OH: Bang Hasan, Bang Hardi, Bang Miran, Yayat (eks-assistant),

Surya (eks-assistant), Alex (eks-assistant), dan Margaret Gavin,

terimakasih atas kebersamaan selama di camp dan di luar camp. Tim

KKL: Loren (manager project), Bang Randa, Bang Busran, dan Bang

Albani, serta Kery terima kasih atas kebersamaan juga atas bantuannya

dalam identifikasi pohon sarang. Serta ibu Inah (juru masak) atas

masakan terenak di Cabang Panti yang membantu menaikkan berat badan

penulis hingga “15 KG” dalam kurang dari 5 bulan, bang Udin dan

lainnya, terima kasih yang tak terhingga

14. Keluarga bapak Suhaidi (kepala dusun Sedahan Jaya), beserta ibu

Hamidah, Esi, dan keluarga besarnya terima kasih tak terhingga atas

bantuan, kebersamaan serta tempat tinggal dan keperluan hidup yang tak

terhitung harganya yang diberikan kepada peneliti selama berada di

Sedahan Jaya. Keluarga bapak Burhanudin dan ibu Nilawati, Erwin dan

keluarga terima kasih tak terhingga atas kesediaannya memberikan

tempat menginap serta jamuannya kepada peneliti ketika berada di Teluk

Melano, ini merupakan pengalaman yang tak ternilai harganya

iv
15. Yayat Aryadi, Melinda, Betty, Raju dan Eko. Kawan baru di Sukadana,

merasa beruntung kenal dengan kalian, semoga pertemanan kita terus

berjalan selamanya

16. Angga Prathama Putra, M.Si, Eko Prasetyo, S.Si dan Didik Prasetyo,

M.Si, atas motivasi, kritik dan saran serta bimbingannya selama

penelitian dan penyusunan skripsi

17. Putri Taniasari, S.Si dan Muhammad Wantoso, S.Si, selaku teman

diskusi, terima kasih atas waktu diskusi selama ini, terus semangat

18. Juli Wahyu Wulandari, atas kebersamaan dan motivasi yang diberikan,

terima kasih atas kesetiaan yang tak ada habisnya dan untuk “27 Juli”

yang penuh makna

19. Untari Uni Comara, Maulya Arfi, S.Si, dan Ahmad Jaelani, S.Si, senang

sekali bisa berjuang bersama, terus semangat berkarya

20. Keluarga besar KPP (Kelompok Pengamat Primata) Tarsius Fakultas

Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah, terima kasih atas

hangatnya semangat dan ilmu berharga yang kita cari bersama terutama

untuk “ketukan palu presidium sidang”

21. Teman – teman biologi angkatan 2008, terima kasih yang luar biasa

kepada kalian untuk kebersamaan dan semangat, salam lestari

Semoga jasa-jasa kalian dibalas oleh Sang Maha Pengasih, dan semoga

skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya. “Amin”.

Ciputat, Januari 2013

Penulis

v
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................ i


DAFTAR ISI ........................................................................................... vi
DAFTAR TABEL .................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1


1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah .................................................................. 3
1.3 Pembatasan Masalah ................................................................. 3
1.4 Hipotesis ................................................................................... 4
1.5 Tujuan Penelitian ...................................................................... 4
1.6 Manfaat Penelitian .................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 6


2.1 Bio-Ekologi Orangutan ............................................................. 6
2.2 Perilaku Bersarang Orangutan .................................................. 8
2.3 Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman Nasional Gunung
Palung ...................................................................................... 12

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................ 15


3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................... 15
3.2 Peralatan Penelitian .................................................................. 18
3.3 Cara Kerja ................................................................................. 19
3.3.1 Objek Penelitian Orangutan Focal ................................. 19
3.3.2 Pencarian Objek Penelitian Orangutan Focal ................ 20
3.3.3 Metode Pengumpulan Data ............................................ 20
vi
3.3.3.1 Data Karakteristik Sarang Tiap Habitat ............. 21
3.3.3.2 Data Perilaku dan Karakteristik Sarang
Orangutan Focal ................................................. 24
3.4 Analisis Data ............................................................................. 26

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................... 28


4.1 Karakteristik Sarang Orangutan di Lima Tipe Habitat ............. 28
4.1.1 Kelas Sarang Orangutan ................................................. 28
4.1.2 Posisi Sarang Orangutan ................................................. 30
4.1.3 Ketinggian Sarang dan Pohon Sarang Orangutan .......... 32
4.1.4 Diameter Batang Pohon Sarang Orangutan .................... 36
4.1.5 Diameter Kanopi Pohon Sarang Orangutan ................... 37
4.1.6 Jenis Pohon Sarang Orangutan ....................................... 40
4.2 Perilaku Bersarang Orangutan Focal di Tiap Tipe Habitat ....... 41
4.2.1 Perilaku Bersarang Orangutan Remaja di Dua Tipe
Habitat ............................................................................ 44
4.2.2 Perilaku Bersarang Orangutan Betina Dewasa di Tiga
Tipe Habitat .................................................................... 47
4.2.3 Perilaku Bersarang Orangutan Betina Dewasa dengan
Anak di Empat Tipe Habitat .......................................... 50
4.2.4 Perilaku Bersarang Orangutan Jantan Berpipi di Dua
Tipe Habitat .................................................................... 53
4.3 Perilaku Bersarang Orangutan Berdasarkan Kelas Umur ......... 55
4.3.1 Posisi Sarang Orangutan .................................................. 55
4.3.2 Durasi Pembuatan Sarang Orangutan .............................. 57
4.3.3 Jarak Pohon Pakan Terakhir dengan Pohon Sarang
Orangutan ........................................................................ 59
4.3.4 Jarak Pohon Sarang Orangutan dengan Pohon pakan
Pertama ............................................................................ 61
4.3.5 Ketinggian Sarang dan Pohon Sarang Orangutan .......... 63
4.3.6 Diameter Batang Pohon Sarang Orangutan ..................... 65
vii
4.3.7 Jenis Pohon Sarang Orangutan ........................................ 66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................. 68


5.1 Kesimpulan ............................................................................... 68
5.2 Saran ......................................................................................... 68

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 70


LAMPIRAN ............................................................................................ 74

viii
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Daftar orangutan yang diikuti selama penelitian ...................... 19


Tabel 2. Kelas umur orangutan yang diuji data bersarangnya ................ 42

ix
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Foto orangutan kalimantan duduk di sarangnya, Taman


Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat ....................... 11
Gambar 2. Peta lokasi Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman
Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat ....................... 13
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian, Stasiun Penelitian Cabang Panti,
Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat ........... 17
Gambar 4. Rata-rata suhu udara dan curah hujan di Stasiun Penelitian
Cabang Panti bulan Oktober 2011-Februari 2012 ............... 18
Gambar 5. Line transect ; A midline 1 km dan B midline 300 m .......... 21
Gambar 6. Posisi sarang orangutan ........................................................ 23
Gambar 7. Persentase (%) kelas sarang orangutan di kelima tipe
habitat................................................................................... 29
Gambar 8. Persentase (%) posisi sarang orangutan di kelima tipe
habitat................................................................................... 30
Gambar 9. Rata-rata ketinggian (m) sarang dan pohon sarang
orangutan di kelima tipe habitat........................................... 33
Gambar 10. Rata-rata diameter batang (cm) pohon sarang orangutan di
kelima tipe habitat ................................................................ 36
Gambar 11. Rata-rata diameter (m) kanopi pohon sarang orangutan
pada kelima tipe habitat ....................................................... 38
Gambar 12. Jenis pohon sarang orangutan pada kelima tipe habitat ....... 40
Gambar 13. Persentase (%) sarang siang dan malam orangutan yang
diikuti ................................................................................... 43
Gambar 14. Persentase (%) sarang malam yang dibuat oleh masing-
masing kelas umur orangutan di tiap habitat ...................... 44
Gambar 15. Persentase (%) posisi sarang malam orangutan ................... 56

x
Gambar 16. Rata-rata durasi (menit) pembuatan sarang malam
orangutan ............................................................................. 58
Gambar 17. Rata-rata jarak (m) dari pohon pakan terakhir ke pohon
sarang malam orangutan ...................................................... 59
Gambar 18. Rata-rata jarak (m) dari pohon sarang malam ke pohon
pakan pertama orangutan .................................................... 61
Gambar 19. Rata-rata ketinggian (m) sarang dan pohon sarang malam
orangutan ............................................................................. 63
Gambar 20. Rata-rata diameter batang (cm) pohon sarang malam
orangutan ............................................................................. 65
Gambar 21. Jenis pohon sarang malam orangutan................................... 67

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1A. Persentase ketersediaan bunga dan buah sumber pakan


orangutan periode Oktober 2011-Februari 2012 ............... 74
1B. Persentase ketersediaan bunga dan buah sumber pakan
orangutan periode Januari 2008-September 2012 ............. 73
Lampiran 2. Posisi sarang orangutan ........................................................ 75
Lampiran 3. Kelas sarang orangutan ......................................................... 76
Lampiran 4. Gambaran kondisi lima tipe habitat di Stasiun Penelitian
Cabang Panti ........................................................................ 77
Lampiran 5. Uji Kruskall-Wallis karakteristik sarang hasil survei ........... 78
Lampiran 6. Uji Mann-Whitney karakteristik sarang hasil survei ............ 79
Lampiran 7. Uji Mann-Whitney perilaku bersarang orangutan remaja di
dua tipe habitat ..................................................................... 85
Lampiran 8. Uji Kruskal-Wallis perilaku bersarang orangutan betina
dewasa di tiga tipe habitat .................................................... 86
Lampiran 9. Uji Mann-Whitney jarak sarang malam ke pohon pakan
pertama orangutan betina dewasa di dua tipe habitat ........ 87
Lampiran 10. Uji Kruskal-Wallis perilaku bersarang orangutan betina
dewasa dengan anak di empat tipe habitat ........................ 88
Lampiran 11. Uji Mann-Whitney perilaku bersarang orangutan jantan
berpipi di dua tipe habitat .................................................. 90
Lampiran 12. Uji Kruskal-Wallis perilaku bersarang orangutan
orangutan berdasarkan kelas umur .................................... 92
Lampiran 13. Uji Mann-Whitney ketinggian sarang orangutan
berdasarkan kelas umur ..................................................... 94
Lampiran 14. Uji Mann-Whitney ketinggian pohon sarang orangutan
berdasarkan kelas umur ..................................................... 95

xii
Lampiran 15. Uji Mann-Whitney diameter batang pohon sarang
orangutan berdasarkan kelas umur .................................... 96
Lampiran 16. Pohon yang dijadikan sebagai material sarang orangutan
(survei dan ikut orangutan Focal) ..................................... 97
Lampiran 17. Beberapa individu orangutan yang diambil data
bersarangnya ...................................................................... 99
Lampiran 18. Distribusi sarang orangutan ................................................ 100

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Orangutan merupakan satwa soliter yang cenderung hidup sendiri dan

memiliki pergerakan lambat dalam rimbunan pohon-pohon di hutan (Kuncoro,

2004). Aktivitas utama orangutan dipenuhi oleh kegiatan makan kemudian

aktivitas istirahat, sosial dan bergerak di antara pepohonan, sedangkan aktivitas

membuat sarang merupakan kegiatan yang dilakukan dalam persentasi waktu

yang relatif kecil (Galdikas, 1986).

Walaupun merupakan aktivitas yang memilki presentasi paling kecil

dilakukan, bersarang merupakan aktivitas yang mempunyai peran penting bagi

kehidupan orangutan karena sarang yang dibuat mempunyai fungsi tertentu yang

menunjang aktivitas harian orangutan. Menurut Dalimunthe (2009), fungsi sarang

adalah sebagai tempat beristirahat setelah seharian melakukan aktivitas hariannya.

Selain itu, sarang juga berfungsi sebagai tempat berlindung dari cuaca yang buruk

seperti panas dan hujan.

Orangutan memilih tempat yang menguntungkan dalam membangun

sarangnya dengan mempertimbangkan letak pohon berbuah terdekat dan topografi

daerah sehingga tempat bersarang terdistribusi secara acak. Umumnya orangutan

membangun sarang pada tempat-tempat yang dapat memberikan pandangan yang

luas ke sebagian besar areal hutan (Rijsken, 1978). Pemilihan tempat bersarang ini

1
2

sangat dipengaruhi oleh keadaan habitat termasuk kondisi vegetasi di mana

orangutan tersebut tinggal.

Menurut Kudus (2000), habitat merupakan komponen utama dalam

pelestarian satwa, untuk hidup dan berkembang biaknya satwa memerlukan

kondisi lingkungan yang sesuai dan mendukung terutama dalam hal penyediaan

tempat berlindung, bermain, bersarang dan berkembang biak. Oleh karena itu,

perilaku bersarang orangutan diduga berkaitan erat dengan kondisi habitat tempat

tinggal orangutan tersebut.

Orangutan di Stasiun Penelitian Cabang Panti menjalani kehidupannya

pada kondisi habitat yang beranekaragam, berdasarkan Knott (1999) ada tujuh

tipe habitat di Stasiun Penelitian Cabang Panti yaitu hutan rawa gambut (peat

swamp forest), hutan rawa air tawar (freshwater forest), hutan tanah aluvial

(alluvial bench), hutan batu berpasir dataran rendah (lowland sandstone forest),

hutan granit dataran rendah (lowland granite forest), hutan granit dataran tinggi

(upland granite forest), dan hutan pegunungan (mountaine forest). Tipe habitat

yang beranekaragam ini merupakan satu hal menarik yang dimiliki oleh areal

hutan Stasiun Penelitian Cabang Panti.

Penelitian yang berkaitan dengan sarang orangutan di Taman Nasional

Gunung Palung pernah dilakukan oleh Johnson pada tahun 2005, namun

penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui sebaran dan populasi orangutan.

Penelitian tentang perilaku bersarang orangutan juga telah banyak dilakukan, di

antaranya pada tahun 2006 oleh Didik Prasetyo di Stasiun Penelitian Orangutan

Tuanan dan oleh Andrea Gibson di Taman Nasional Sebangau. Maka, untuk
3

mengetahui bagaimana karakteristik dan perilaku bersarang orangutan pada

berbagai tipe habitat, dilakukan penelitian ini di Stasiun Penelitian Cabang Panti,

Taman Nasional Gunung Palung. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat

menggambarkan bagaimana karakteristik dan perilaku bersarang orangutan di

tipe-tipe habitat yang ada dan kemudian dapat digunakan sebagai informasi

pendukung upaya pelestarian orangutan di kawasan tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

Terkait dengan latar belakang di atas, masalah yang muncul dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Adakah perbedaan karakteristik sarang orangutan di masing-masing tipe

habitat?

2. Adakah perbedaan perilaku bersarang orangutan di masing-masing tipe

habitat?

1.3. Pembatasan Masalah

Masalah penelitian ini dibatasi pada karakteristik sarang dan perilaku

bersarang orangutan di tipe-tipe habitat yang ada di Stasiun Penelitian Cabang

Panti, Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat.


4

1.4. Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah yang ada maka hipotesis dari penelitian

ini adalah:

1. Ada perbedaan karakteristik sarang orangutan di masing-masing tipe

habitat

2. Ada perbedaan perilaku bersarang orangutan di masing-masing tipe

habitat

1.5. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui ada atau tidaknya perbedaan karakteristik sarang yang dibuat

oleh orangutan di masing-tipe habitat

2. Mengetahui ada atau tidaknya perbedaan perilaku orangutan dalam

membuat sarang ketika berada di habitat yang satu dengan habitat yang

lain dan perilaku bersarang orangutan berdasarkan kelas umur

1.6. Manfaat Penelitian

1. Dengan diketahui ada atau tidaknya perbedaan karakteristik sarang yang

dibuat maka diharapkan dapat menjelaskan bagaimana kecenderungan

karakter sarang yang dibuat di masing-maing tipe habitat yang ada

2. Dengan diketahui ada atau tidaknya perbedaan perilaku membuat sarang

di masing-masing tipe habitat di antara orangutan pada kelas umur yang

berbeda, maka diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai


5

bagaimana bentuk penyesuaian diri orangutan terhadap keadaan masing-

masing tipe habitat

3. Data yang didapat diharapkan bisa mendukung upaya konservasi

orangutan di Stasiun Penelitian Cabang Panti, lebih luas lagi untuk upaya

konservasi orangutan secara komprehensif


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bio-Ekologi Orangutan

Orangutan merupakan kera besar yang hanya ditemukan di Asia. Selama

zaman pleistosen mereka tersebar ke Asia Tenggara dari Cina bagian selatan ke

Pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa (Wich et al., 2004). Secara morfologi,

perilaku, sitogenetik, dan genetika molekuler, taksonomi orangutan dipisahkan

menjadi dua jenis yaitu Pongo pygmaeus yang terdapat di Borneo (Kalimantan,

Sabah dan Serawak) dan Pongo abelii yang tersebar di Sumatera bagian utara

(Aceh dan Sumatera Utara) (Zhang et al., 2001).

Populasi orangutan liar diperkirakan tersisa 54567 individu di Borneo

dan 6667 individu di Sumatera (Soehartono et al., 2007). Penurunan populasi

yang terus terjadi disebabkan terus berkurangnya areal hutan yang merupakan

habitat alami bagi orangutan akibat penebangan, konversi, dan kebakaran hutan.

Penurunan populasi orangutan juga disebabkan tingginya perburuan terhadap

orangutan yang dipicu oleh tingginya tingkat perdagangan orangutan untuk

dijadikan hewan peliharaan (Meijaard et al., 2001).

Rijksen and Meijaard (1999), menambahkan bahwa kondisi kepunahan

orangutan akan terus bertambah parah selama terus terjadi pengrusakan habitat

dalam skala luas dan perburuan liar untuk dijadikan sebagai hewan peliharaan. Di

tingkat nasional, orangutan dilindungi oleh Peraturan Menteri Kehutanan Nomor :

P. 53/ Menhut-IV/ 2007. Di tingkat internasional, IUCN Red List Edisi tahun

6
7

2002 mengkategorikan orangutan sumatera dalam status Critically Endangered,

artinya sudah sangat terancam kepunahan sedangkan orangutan kalimantan

dikategorikan Endangered atau langka (Soehartono et al., 2007) dan kedua

spesies ini tidak boleh diperdagangkan secara komersial karena berada dalam

daftar Appendix I CITES (Cites Secretariat, 1998).

Orangutan dapat hidup di berbagai tipe dan kondisi habitat, mulai dari

hutan hujan tropis dataran rendah, rawa-rawa, hingga hutan perbukitan (Supriatna

dan Wahyono, 2000). Bailey (1984) dalam Muin (2007) menyebutkan bahwa

habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan perlindungan.

Salah satu komponen habitat terpenting bagi orangutan adalah pohon, sebab

orangutan sebagai mamalia arboreal terbesar dengan berat betina 40 kg dan jantan

80 kg.

Habitat optimal bagi orangutan adalah habitat yang mencakup paling

sedikit dua tipe lahan utama yaitu tepi sungai dan dataran tinggi kering yang

berdekatan. Kalimantan sendiri secara umum memiliki lima tipe habitat yang

ditempati oleh orangutan, yaitu dataran banjir dan rawa gambut, hutan aluvial/

daerah sepanjang sungai, dataran tinggi di kaki bukit, hutan subpegunungan dan

pegunungan, serta hutan tebang pilih/ hutan sekunder (Meijaard et al., 2001).

Distribusi orangutan dipengaruhi oleh sebaran habitat yang memiliki

ketersedian makanan yang tersedia sepanjang tahun dan apabila lokasi tersebut

sudah tidak produktif lagi, maka orangutan akan terus bermigrasi ke daerah lain

dimana habitat tersebut menyimpan ketersedian makanan yang lebih baik dari

habitat sebelumnya (Buij et al., 2002; Susanto, 2006). Menurut Meijaard et al.
8

(2001), hanya beberapa individu yang tetap tinggal di suatu daerah meskipun

ketersediaan makanan rendah, sedangkan individu lainnya segera berpindah untuk

mencari daerah lain.

Menurut Galdikas (1986), buah merupakan jenis makanan yang lebih

dominan untuk dimakan oleh orangutan, kehidupan orangutan tergantung dari

kondisi habitatnya yang mendukung akan adanya ketersedian makanan yang

cukup bagi kehidupannya. Agar dapat bertahan hidup, maka suatu populasi

orangutan menggantungkan hidupnya pada komposisi pepohonan dan liana yang

menyediakan makanan selama musim produktif secara terus-menerus sepanjang

tahun dan dalam jarak penjelajahan yang masih bisa dijangkau, habitat orangutan

yang berkualitas baik dipenuhi pepohonan (contoh: Alangium spp. dan Palaquium

spp.) dan (contoh: liana yang 30–50% menyediakan buah-buahan sebagai sumber

pakan orangutan.

2.2. Perilaku Bersarang Orangutan

Perilaku bersarang pada orangutan merupakan perilaku yang hanya

dilakukan oleh kera besar lainnya seperti simpanse, bonobo dan gorilla yang

melakukan aktivitas tersebut secara reguler (Ergenter, 1990 dalam Kuncoro,

2004). Perilaku bersarang orangutan bukanlah perilaku berdasarkan naluri tetapi

lebih kepada perilaku yang muncul setelah dipelajari, bayi orangutan akan

mengikuti dan berlatih cara membuat sarang kepada induknya (Prasetyo et al.,

2009).
9

Galdikas (1986) melihat aktivitas bersarang meliputi perlakuan terhadap

cabang pohon dan pematahan dahan dalam rangka menyusun sarang untuk tidur,

yang diawali dengan mematahkan dan mengumpulkan cabang-cabang pohon

untuk kemudian disusun menjadi sarang utuh, tetapi terkadang hanya berbentuk

atap sebagai pelindung kepala jika hujan. Yosiba (1964); Margianto (2000) dalam

Susanto (2006) mengatakan bahwa orangutan biasanya dalam membangun sarang

terlebih dahulu memilih material sarang yang akan digunakan untuk membuat

sarangnya, yaitu daun-daunan, cabang dan ranting-ranting kecil.

Orangutan membuat sarang baru pada pohon setiap malamnya, sarang

tersebut terdiri dari susunan dahan yang dibuat dalam beberapa menit pada tempat

yang cocok misalnya di puncak pohon atau di cagak dahan. Dahan tersebut

dipatahkan dan dibengkokkan, kemudian diletakkan tumpang tindih dan ditutupi

dengan dahan-dahan kecil. Beberapa orangutan membuat sarang lebih besar dan

lebih kompleks dari orangutan lain. Orangutan terkadang juga menggunakan

sarang lama dengan menggunakan cabang-cabang segar dari pohon sarang

tersebut dan menggunakan sarang yang telah diperbaiki ini sebagai tempat

bermalam (MacKinnon, 1971; Galdikas, 1984 dalam Paulina et al., 2001).

Menurut McGrew (1992) dan Ergenter (1998) dalam Prasetyo (2006),

proses pembuatan sarang pada kera besar memiliki 3 tahap utama, yaitu:

a. Pembuatan pondasi sarang, merupakan tahap yang sangat menentukan

dari kesempurnaan bentuk sarang, material pondasi sarang berasal dari

dahan pohon yang sangat kuat yang disusun menjadi satu sehingga

terbentuk struktur yang saling menyilang.


10

b. Pembuatan matras sarang, tahap yang dilakukan setelah pondasi sarang

selesai dibuat, material dari matras berasal dari ranting- ranting yang

terdapat disekitar pondasi sarang yang ditumpuk di atas pondasi sarang.

Tujuan dari tahap ini adalah untuk menambah ketebalan sarang, dan

beberapa kasus dijumpai matras digunakan sebagai pelindung saat hujan

c. Pembuatan penopang kepala sebagai tahap akhir dari proses pembuatan

sarang, biasanya individu kera besar akan mengambil beberapa ranting

dan diletakkan pada posisi kepala di dalam sarang sebagai “bantal”.

Orangutan ketika membangun sarangnya, terkadang menambahkan

benda-benda tertentu yang dibuat sendiri dan/ atau bagian tambahan pada sarang

untuk menambah kenyamanan sarang tersebut. Benda-benda yang dimaksud dapat

berupa “bantal” dan “selimut” dari bagian pohon, sedangkan untuk bagian

tambahan sarang bisa berupa atap dan sarang kosong di dekat sarang utama

(second bunk nest) (Prasetyo et al., 2009).

Bantal merupakan ranting kecil berdaun yang disusun pada salah satu sisi

sarang. Selimut merupakan ranting lentur berdaun yang diletakkan di atas tubuh

setelah orangutan berbaring di sarangnya. Atap merupakan penutup yang dibuat

dari jalinan dahan yang dianyam sehingga susunannya kuat dan hampir kedap air.

Sedangkan sarang kosong merupakan bangunan menyerupai panggung yang

dibuat di atas sarang (Prasetyo, 2006).

Selain sarang malam, orangutan juga membuat sarang siang. Pembuatan

sarang siang cenderung tidak sebaik sarang malam dari segi kekuatan

konstruksinya, serta biasanya pada sarang siang tidak ditemukan bantal atau
11

bagian tambahan sarang lain. Hal ini yang kemudian membuat perbedaan yang

jelas terhadap durasi pembuatan, sarang siang cenderung dibuat dengan durasi

lebih singkat dibandingkan sarang malam (Prasetyo et al., 2009).

Gambar 1. Foto orangutan Kalimantan duduk di sarangnya, Taman Nasional


Gunung Palung, Kalimantan Barat (Laman, 2009)

Prasetyo et al. (2009) menjelaskan bahwa sarang orangutan dapat dibuat

pada posisi yang berbeda di pohon, terdapat empat posisi yang umum digunakan

oleh orangutan yaitu posisi 1, 2, 3, dan 4 serta posisi yang tidak lazim yaitu posisi

0. Kemudian Sugardjito (1983) menambahkan bahwa posisi sarang di atas

puncak pohon (posisi 3) dan dahan pohon (posisi 1 dan 2), baik pada satu batang

maupun pada dua batang mempunyai keuntungan bagi orangutan yaitu tidak

terhalangnya pandangan dan jangkauan yang dapat mencakup sebagian besar dari

penjuru hutan. Selain itu, posisi ini juga memudahkan orangutan dalam
12

melakukan pergerakan sewaktu keluar dari sarang. Dari segi keamanan, posisi ini

menghindarkan orangutan dari ancaman predator.

2.3. Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman Nasional Gunung Palung

Stasiun Penelitian Cabang Panti dibangun pada pertengahan tahun 1980

dan kegiatan penelitiannya diselenggarakan secara terus menerus setelah itu

sampai saat ini. Habitat-habitat di Stasiun Penelitian Cabang Panti letaknya

berdekatan sehingga hanya terdapat sedikit perbedaan dalam curah hujan, garis

lintang, musim, diversitas sinar gamma, dan tekanan predator. Rata-rata curah

hujan di kawasan penelitian yaitu 4266 mm/ tahun, dan suhu harian berkisar

antara 25o-26oc (http://gunungpalung.net, 2011).

Stasiun Penelitian Cabang Panti terletak di kawasan Taman Nasional

Gunung Palung, secara geografis Taman Nasional ini terletak pada kordinat

01o00’-01o20’ LS dan 109o00’-110o25’ BT. Secara umum iklim kawasan ini

termasuk klasifikasi iklim A (Schmidt dan Ferguson). Keadaan suhu rata-rata

bulanan 26,4-29 0C, kelembaban rata-rata 88,3% dengan kelembaban minimum

76,4% dan maksimum 90,2%. Sedangkan hujan terjadi sepanjang tahun yakni

berkisar antara 181-190 hari hujan per tahun dengan curah hujan rata-rata 3000

mm per tahun (http://ditjenphka.dephut.go.id, 2012).


13

Gambar 2. Peta lokasi Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman Nasional Gunung
Palung, Kalimantan Barat (Susanto, 2012)

Kawasan Taman Nasional Gunung Palung yang berada di daerah hilir

termasuk ke dalam tiga Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu sebelah utara dan

timur termasuk ke dalam DAS Simpang, sebelah timur DAS Pawan dan sebelah

selatan termasuk DAS Tulak (http://ditjenphka.dephut.go.id, 2012). Sebagian

besar habitat Taman Nasional didominasi oleh jenis-jenis tumbuhan dari family

Dipterocarpaceae seperti meranti (Shorea spp.), kruing (Dipterocarpus spp.) dan

kapur (Dryobalanops spp.). selain itu ditemukan juga durian (Durio carinatus),

rambutan hutan (Nephelium sp.), pluntan (Arthocarpus sp.), dan ara (Ficus spp.)

(Badan Planologi Kehutanan, 2002).

Selain keindahan floranya, Taman Nasional Gunung Palung juga

memiliki berbagai jenis satwa yang tidak kalah indah. Beberapa jenis satwa di

kawasan ini antara lain orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii), kelampiau


14

(Hylobathes albibarbis), kelasi (Prebytis rubicunda), bekantan (Nasalis larvatus),

kijang (Muntiacus muntjak pleiharicus), beruang madu (Helarctos malayanus

euryspilus), beruk (Macaca nemestrina nemestrina), kukang (Nyticebus coucang

borneanus), rangkong badak (Buceros rhinoceros borneoensis), kancil (Tragulus

napu borneanus), ayam hutan (Gallus gallus), enggang gading (Rhinoplax vigil),

buaya siam (Crocodylus siamensis), kura-kura gading (Orlitia borneensis), dan

penyu tempayan (Caretta caretta), serta tupai kenari (Rheithrosciurusmacrotis)

(Badan Planologi Kehutanan, 2002).


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama lima bulan, dari Oktober 2011 hingga

Februari 2012 dan berlokasi di Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman Nasional

Gunung Palung, Kalimantan Barat. Stasiun Penelitian Cabang Panti berada di

kawasan Taman Nasional Gunung Palung (1°13’ S, 110°7’ E) yang memiliki luas

sekitar 2.100 ha dari keseluruhan 90.000 ha luas kawasan Taman Nasional.

Stasiun penelitian ini terdiri dari tujuh tipe habitat (Knott, 1999 dan Marshall,

2004), yaitu:

1. Hutan rawa gambut (peat swamp), kondisi tanah di hutan ini terdiri dari

tanah rawa yang tertutupi gambut atau timbunan bahan organik.

Kedalaman rawa mulai dari beberapa sentimeter hingga puluhan meter.

Air di hutan ini mempunyai derajat keasaman (pH) yang rendah yaitu

kurang dari 4. Hutan ini terletak pada ketinggian 5-20 m dpl.

2. Hutan rawa air tawar (freshwater swamp), merupakan hutan rawa yang

kaya akan mineral dan memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi.

Tanah di hutan ini cenderung digenangi oleh air bening dengan pH lebih

dari 6, sering terjadi banjir musiman. Secara geografis, hutan ini

sebagaimana hutan rawa gambut terletak pada ketinggian 5-20 m dpl.

3. Hutan tanah aluvial (alluvial bench), tanah di hutan ini merupakan tanah

endapan yang subur, hutan ini juga memiliki keanekaragaman jenis

15
16

tumbuhan yang tinggi. Seringkali tanah di hutan ini tergenang air yang di

antaranya akibat luapan sungai, namun cepat juga air tersebut mengalir

meninggalkan tanah yang semula tergenang. Hutan ini terdapat di

sepanjang aliran sungai air putih, pada ketinggian 5-50 m dpl.

4. Hutan batu berpasir dataran rendah (lowland sandstone), merupakan

hutan yang tanahnya mengandung batuan pasir berlapis tanah lempung

dan serpihan batu yang tipis. Hutan ini berada pada ketinggian 20-200 m

dpl.

5. Hutan granit dataran rendah (lowland granite), yang merupakan habitat

dataran rendah dengan kondisi tanah berbatu, berada pada ketinggian

200-400 m dpl.

6. Hutan granit dataran tinggi (upland granite), merupakan habitat di

dataran tinggi yang kondisi tanahnya berbatu, berada pada ketinggian

350-800 m dpl.

7. Hutan pegunungan (montaine), merupakan habitat yang berada pada

ketinggian 750-1100 m dpl. Terdapat pada lapisan granit namun

kebanyakan tanah terlapisi substansial kering dan tanah berpasir (dari

pelapukan substrat granit) sama seperti yang ditemukan di hutan rawa

gambut.

Masing-masing tipe habitat di Stasiun Penelitian Cabang Panti

mempunyai karakteristik tertentu yang membedakan satu dengan yang lain. Letak

ketujuh tipe habitat di Stasiun Penelitian Cabang Panti disajikan pada Gambar 3.
17

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian, Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman


Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat (Tim Peneliti Cabang
Panti, 2007)

Berdasarkan hasil pengukuran suhu udara selama bulan Oktober 2011

sampai Februari 2012, diketahui bahwa rata-rata suhu udara paling tinggi terjadi
18

pada bulan Oktober 2011 dan rata-rata suhu udara paling rendah terjadi pada

bulan Februari 2012. Sedangkan hasil pengukuran curah hujan menunjukkan

bahwa rata-rata curah hujan paling tinggi terjadi pada bulan Nopember 2011 dan

rata-rata curah hujan paling rendah terjadi pada bulan Februari 2012. Perubahan

rata-rata suhu udara dan curah hujan setiap bulannya dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Rata-rata suhu udara dan curah hujan di Stasiun Penelitian Cabang
Panti bulan Oktober 2011-Februari 2012 (Tim Peneliti Cabang Panti)

3.2. Peralatan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu binokuler Leupold,

jam tangan digital Casio illuminator, Global Positioning System (GPS) Garmin 60

CSx, kompas peta Eiger, camcorder Canon FS100, focal tabulasi (data sheet),

peta areal penelitian, parang, ponco, alat tulis, papan jalan, head lamp Eiger dan
19

Energizer , pita dan plat aluminium tagging, tali rafia, benang, hip chain, diameter

tape, ketapel dan meteran gulung.

3.3. Cara Kerja

3.3.1. Objek Penelitian Orangutan Focal

Objek dalam penelitian ini adalah orangutan liar sebanyak 9 individu

yang dibedakan berdasarkan empat kelas umur, yaitu:

1. Remaja

2. Betina dewasa

3. Betina dewasa dengan anak

4. Jantan berpipi

Tabel 1. Daftar orangutan yang diikuti selama penelitian

Nama Estimasi Periode Pengambilan


No. Kelas Umur
Orangutan Umur Data
10-11 Oktober 2011
1 Betsy Remaja ♀ 12-13 tahun
20-22 Feb 2012
2 Dagol Remaja ♀ 13 tahun 24-25 Nopember 2011
3 Adul 1 Remaja ♂ Baru 2-3 Feb 2012
27-29 Oktober 2011
24-29 Jan 2012
4 Walimah Betina dewasa 15 tahun 30 Nopember-2
Desember 2011
24-29 Januari 2012
Betina dewasa 8-13 Oktober 2011
5 Beth 33-35 tahun
dengan anak 19 Feb 2012
Betina dewasa
6 Bibi 22-25 tahun 21 Nopember 2011
dengan anak
Betina dewasa
7 Ceri Baru 3-4 Feb 2012
dengan anak
Betina dewasa Belum
8 Asny 13-17 Feb 2012
dengan anak diketahui
9 Codet Jantan berpipi 27-35 tahun 18-23 Oktober 2011
20

3.3.2. Pencarian Objek Penelitian Orangutan Focal

Pencarian orangutan dilakukan dengan menelusuri transek secara acak

atau dengan dugaan paling kuat di mana daerah potensial ditemukannya

orangutan, biasanya dengan melihat ketersediaan buah. Pencarian dilakukan

dengan berjalan pelan namun berkonsentrasi atau menunggu di bawah pohon

pakan yang sedang berbuah.

Ciri-ciri yang dilihat untuk dijadikan sebagai tanda keberadaan orangutan

adalah suara yang ditimbulkan akibat aktivitas makan dan berpindah tempat, bau

urin atau feses dan vokalisasi yang dilakukan oleh orangutan (long call atau kiss

squeak). Pencatatan data aktivitas harian dilakukan pada individu orangutan yang

telah dapat diamati sampai membuat sarang tidur dan kemudian dipastikan akan

bermalam di sarang yang dibuat. Keesokkan harinya fokus pengambilan data

dilakukan kembali pada individu orangutan tersebut hingga batas waktu

pengambilan data satu individu telah selesai. Penandaan lokasi bersarang individu

dilakukan menggunakan Global Positioning System (GPS), kemudian data posisi

sarang tersebut diolah menjadi sebuah peta dengan menggunakan perangkat lunak

ArcGis 9.2.

3.3.3. Metode Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis data yaitu data survei dan

data ikut. Data survei disajikan terlebih dahulu baru kemudian data ikut, hal ini

terkait asumsi bahwa survei merupakan prosedur awal sebelum dilakukannya

pengambilan data ikut orangutan.


21

3.3.3.1. Data Karakteristik Sarang Tiap Habitat

Data karakteristik sarang pada masing-masing tipe habitat dikumpulkan

menggunakan metode Line transect survey (Johnson et al., 2005). Line transect

dibuat pada masing-masing tipe habitat, line transect di setiap habitatnya

mempunyai panjang midline total 1,3 km yang terbagi menjadi dua, yaitu midline

1 km dan 300 m. Adanya dua model midline ini menyesuaikan dengan kondisi

transect pada masing-masing tipe habitat, karena ada tipe habitat yang hanya bisa

dibuat midline tidak lebih dari +/- 1 km. Kedua midline dibuat terpisah

menyesuaikan kondisi transek pada masing-masing habitat.

Menghindari overlaping dalam pengamatan sarang, pada masing-masing

midline dibuat batas setiap 100 m menggunakan pita tagging. Pencarian sarang

dilakukan dengan berjalan menelusuri midline sambil mengamati samping kanan

dan kiri, jarak pandang yang dimiliki pengamat saat mencari sarang berkisar

antara 30-50 m tergantung kondisi pepohonan pada setiap habitat. Pencarian

sarang pada masing-masing midline hanya dilakukan satu kali.

Gambar 5. Line transect ; A midline 1 km dan B midline 300 m


22

Pencarian sarang pada setiap line transect-nya dimulai pada titik 1 km

atau 300 m menuju titik 0 m midline, hal ini dilakukan sesuai kenyamanan

peneliti. Setiap sarang yang ditemukan kemudian ditandai menggunakan plat

tagging dan lokasi menggunakan GPS. Adapun data sarang yang diambil meliputi

kelas, posisi dan tinggi. Selain itu, diambil pula data pohon sarang yang meliputi

tinggi, diameter batang, diameter kanopi dan genus pohon sarang.

Kelas sarang dalam penelitian ini dikategorikan menjadi lima kelas

berdasarkan kondisi dan umur sarang orangutan menurut van Schaik et al. (1995):

1. Kelas A, merupakan sarang baru yang daunnya masih segar berwarna

hijau dan umurnya tidak lebih dari satu minggu

2. Kelas B, merupakan sarang yang bagian atasnya sudah layu berwarna

coklat sedangkan bagian bawahnya masih berwarna hijau

3. Kelas C, merupakan sarang dengan kondisi seluruh daun yang sudah

layu berwarna coklat serta berlubang

4. Kelas D, merupakan sarang yang kondisinya sudah berlubang serta

daunnya sudah banyak yang hilang

5. Kelas E, merupakan sarang yang sudah tidak berdaun, tinggal pondasinya

saja namun masih dapat terlihat bentuk sarangnya.

Posisi sarang dalam penelitian ini dikategorikan menjadi 5 menurut

Prasetyo (2006), yaitu:

1. Posisi 0: Sarang dibuat di atas tanah

2. Posisi 1: Sarang berada pada pangkal percabangan pohon utama

3. Posisi 2: Sarang berada pada ujung percabangan pohon


23

4. Posisi 3: Sarang berada pada ujung pohon utama

5. Posisi 4: Sarang dibuat dari dua pohon atau lebih

Gambar 6. Posisi sarang orangutan (Prasetyo, 2006)

Pengukuran tinggi sarang dan pohon sarang dilakukan menggunakan

perbandingan pohon yang pendek serta masih dapat diukur secara pasti dengan

meteran, kemudian dibandingkan dengan ketinggian sarang dan pohon sarang.

Namun jika tidak ada pohon yang dapat dijangkau dengan meteran maka

pengukuran dilakukan dengan membuat batas ukur dari tanah setinggi dua meter

pada pohon sarang, kemudian dikalilipatkan setiap dua meter ke atas pohon

sampai batas ketinggian sarang ataupun pohon sarang (Cannon et al., 2004).

Pengukuran diameter batang dilakukan menggunakan diameter tape,

batas ukur pada batang menggunakan ketinggian 1,3 meter dari tanah dengan

asumsi bahwa tinggi tersebut merupakan tinggi dada orang dewasa (diameter in

centimeter at breast high). Sedangkan untuk mengukur diameter kanopi

digunakan meteran gulung, diukur jari-jari kanopi terpanjang dan terpendek lalu
24

diambil rata-rata dan dikali dua, karena diameter merupakan dua kali panjang jari-

jari (Gibson, 2006).

Identifikasi jenis pohon sarang, terutama yang belum bisa diketahui

secara langsung dilakukan dengan mengambil sampel kulit batang dan daun,

kemudian sampel dibawa ke camp untuk diketahui jenisnya. Cara ini seperti yang

biasa dilakukan oleh tim peneliti cabang panti (tim KKL dan OH) di Stasiun

Penelitian Cabang Panti. Pengambilan kulit batang menggunakan parang, diambil

sedikit bagian kulit batang utama. Pengambilan daun menggunakan ketapel,

diamati pula menggunakan binokuler untuk mencocokkan dengan daun-daun yang

ada di bawah pohon. Proses identifikasi dibantu dengan dokumentasi data pohon,

buku identifikasi dan oleh tim peneliti cabang panti yang sudah terlatih untuk

mengenali jenis pohon dari sampel kulit batang dan daun (Cannon et al., 2004).

3.3.3.2. Data Perilaku dan Karakteristik Sarang Orangutan Focal

Pengumpulan data perilaku bersarang orangutan dilakukan dengan

mengikuti orangutan sepanjang aktivitas hariannya, di mana pengumpulan data

perilaku harian orangutan dilakukan dengan menggunakan metode focal animal

sampling yang difokuskan pada satu individu orangutan sebagai objek atau

sasaran dalam setiap pengamatan. Pencatatan data perilaku bersarang orangutan

dilakukan setiap menitnya (continous recording).

Pengamatan dilakukan satu hari penuh, mulai orangutan tersebut bangun

di pagi hari sampai tidak melakukan aktivitas di malam hari dan orangutan

tersebut tidur. Lama pengambilan data maksimal setiap individu orangutan adalah
25

5 hari dalam satu bulan, hal ini bertujuan untuk menghindari stress pada

orangutan yang diakibatkan karena tingginya tingkat perjumpaan dengan manusia.

Pengambilan data perilaku bersarang meliputi seluruh aktivitas individu

target dalam membuat sarang, yaitu mematahkan ranting, membawa (dari pohon

lain) dan menyusun ranting sampai selesai membuat sarang. Perilaku bersarang

lain seperti twig bitting dan perilaku khas lainnya dimasukkan pula ke dalam

tabulasi data. Adapun data perilaku bersarang yang diambil adalah:

1. Jam mulai dan selesai pembuatan sarang (durasi)

2. Jarak antara pohon pakan terakhir dengan pohon sarang

3. Jarak antara pohon sarang dengan pohon pakan pertama

Pengukuran jarak antara pohon pakan terakhir dengan pohon sarang dan

antara pohon sarang dengan pohon pakan pertama menggunakan meteran. Tetapi

untuk jarak yang jauh yaitu apabila sudah tidak memungkinkan digunakan

meteran, maka pengukuran jarak dilakukan menggunakan bantuan GPS. Yaitu

dengan mengukur jarak antar waypoint yang sudah diambil.

Pengambilan data karakteristik sarang dilakukan secara vertikal, yaitu

mengamati semua karakteristik sarang secara tegak lurus dari tanah. Adapun data

yang diambil adalah posisi sarang, kondisi (baru/dipakai lagi atau diperbaiki) dan

tinggi sarang. Selain itu juga diambil data pohon sarang yang meliputi tinggi,

diameter batang dan jenis pohon.

Ketika melakukan pengambilan data perilaku dan karakteristik sarang

orangutan pada kelas umur orangutan yang sama di setiap tipe habitat, terdapat

variasi jumlah habitat yang digunakan oleh masing-masing kelas umur orangutan.
26

Orangutan remaja, membuat sarang hanya di dua tipe habitat yaitu hutan rawa

gambut dan hutan batu berpasir dataran rendah. Orangutan betina dewasa

membuat sarang di tiga tipe habitat, yaitu hutan rawa air tawar, hutan tanah

aluvial dan hutan batu berpasir dataran rendah. Orangutan betina dewasa dengan

anak membuat sarang di empat tipe habitat, yaitu hutan rawa gambut, hutan rawa

air tawar, hutan tanah aluvial dan hutan batu berpasir dataran rendah. Orangutan

jantan berpipi membuat sarang pada dua tipe habitat, yaitu hutan rawa gambut dan

hutan rawa air tawar. Perbedaan jumlah habitat yang digunakan oleh masing-

masing kelas umur orangutan tersebut karena berbedanya jumlah individu

orangutan yang diikuti pada masing-masing kelas umur orangutan.

3.4. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisa menggunakan tehnik pengujian statistik

nonparametrik. Hal ini karena tidak ada anggapan bahwa data-data yang diperoleh

ditarik dari suatu populasi dengan distribusi tertentu, sehingga data-data yang

diperoleh berdistribusi secara bebas atau dengan kata lain objek penelitian tidak

diberikan perlakuan (Siegel, 1990).

Alasan lain digunakannya tehnik pengujian statistik nonparametrik

adalah karena data-data pada penelitian ini tidak memenuhi asumsi statistik

parametrik yang salah satunya adalah data harus mempunyai sebaran yang

normal. Sebaran data-data penelitian ini tidak normal setelah dilakukan uji

normalitas menggunakan tehnik pengujian Skewness-Kurtosis dan Kolmogorov-

Smirnov. Penyebab ketidaknormalan sebaran data yaitu sedikit jumlah data, serta
27

perbedaan yang jauh jumlah data pada setiap variabel yang dibandingkan

(berdasarkan tipe habitat dan berdasarkan kelas umur).

Pengujian data dilakukan menggunakan software SPSS 17 (Statistic

Programme for Scientific and Social science) untuk Windows. Tehnik pengujian

yang digunakan adalah Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney. Uji Kruskal-Wallis

digunakan untuk menguji karakter sarang hasil survei, yaitu untuk mengetahui ada

atau tidaknya pebedaan karakter sarang yang ditemukan pada kelima tipe habitat.

Apabila hasil uji menunjukkan adanya perbedaan bermakna, maka dilanjutkan uji

Mann-Whitney untuk mengetahui antara habitat yang mana perbedaan itu

ditemukan.

Uji Kruskal-Wallis juga dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya

perbedaan perilaku bersarang orangutan pada setiap tipe habitat, apabila setelah

diuji diketahui ada perbedaan bermakna maka dilakukan uji Mann-Whitney untuk

mengetahui antara habitat yang mana perbedaan itu ditemukan. Uji Mann-

Whitney tidak selalu digunakan setelah uji Kruskal-Wallis, tetapi uji ini langsung

dilakukan ketika variabel yang diuji tidak lebih dari dua. Selain itu, uji Kruskal-

Wallis dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan perilaku

bersarang orangutan berdasarkan kelas umur, apabila diketahui ada perbedaan

bermakna maka dilakukan uji Mann-Whitney untuk mengetahui antara kelas umur

yang mana perbedaan tersebut ditemukan.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Sarang Orangutan di Lima Tipe Habitat

Survei sarang dilakukan di 5 tipe habitat dari keseluruhan 7 tipe habitat

di kawasan penelitian. Hal ini karena kedua tipe habitat lain lokasinya sulit

dijangkau. Selain itu, di kedua habitat ini tidak dilakukan pencarian orangutan

untuk diikuti dan diambil datanya, namun orangutan kerap terlihat secara sporadis

di kedua tipe habitat tersebut (Knott, 1999). Tipe habitat yang berhasil dilakukan

survei meliputi hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, hutan tanah aluvial,

hutan batu berpasir dataran rendah dan hutan granit dataran rendah.

4.1.1. Kelas Sarang Orangutan

Sarang-sarang yang dijumpai pada saat survei dilakukan paling sering

berupa sarang kelas C, D dan E. Sarang yang dijumpai di hutan rawa gambut,

hutan rawa air tawar dan hutan batu berpasir dataran rendah berturut-turut paling

banyak merupakan sarang kelas D (41%, 50% dan 55%). Berbeda dengan di hutan

tanah aluvial paling sering ditemukan sarang kelas E (41%), dan di hutan granit

dataran rendah paling sering ditemukan sarang kelas C (39%). Dengan kata lain

lebih mudah menemukan sarang kelas C, D, dan E dibandingkan sarang kelas A

dan B selama penelitian ini dilakukan. Sebagaimana tersaji pada Gambar 7.

28
29

Gambar 7. Persentase (%) kelas sarang orangutan di kelima tipe habitat (hutan
rawa gambut n= 39, hutan rawa air tawar n= 24, hutan tanah aluvial
n= 22, hutan batu berpasir dataran rendah n= 22, hutan granit dataran
rendah n= 13)

Prasetyo (2006), menjelaskan bahwa sebaran sarang orangutan

dipengaruhi oleh sebaran pohon pakan di suatu kawasan. Perbedaan persentasi

kelas sarang terbanyak di lima tipe habitat di Stasiun Penelitian Cabang Panti

diduga kuat dipengaruhi oleh sebaran pohon pakan di masing-masing tipe habitat

tersebut, terutama berkaitan dengan pohon pakan yang berbuah. Sarang orangutan

banyak dujumpai pada habitat yang menyediakan banyak pohon pakan, dan

sarang-sarang baru cenderung banyak ditemukan pada habitat yang menyediakan

banyak pohon yang sedang berbuah.

Menurut Sugardjito (1986), orangutan liar biasanya membuat sarang di

sekitar pohon pakan terakhir atau pada kondisi tertentu sarang tersebut dibuat di

pohon pakan terakhir. Muncul asumsi bahwa pada saat survei dilakukan, hanya

sedikit pohon pakan yang mendukung bagi orangutan di masing-masing tipe

habitat yang ada. Sedikitnya pohon pakan ini berkaitan dengan musim buah yang

terjadi di kawasan penelitian.


30

Berdasarkan Marshall and Knott (unpublished data), ketersediaan bunga

dan buah selama penelitian ini dilakukan adalah 9,92% (Lampiran 1A). Dengan

persentase tertinggi pada bulan November (10,7%) dan paling rendah pada bulan

Februari (8,6%). Sedangkan pernah tercatat di Cabang Panti dari Januari 2008

sampai September 2012 ketersediaan bunga dan buah mencapai 19% yaitu pada

bulan Oktober 2009.

4.1.2. Posisi Sarang Orangutan

Sarang hasil survei yang ditemukan di hutan rawa gambut, hutan rawa air

tawar, hutan tanah aluvial dan hutan granit dataran rendah paling banyak

ditemukan pada posisi 1 (43%, 46%, 73% dan 69%). Sedangkan di hutan batu

berpasir dataran rendah paling banyak ditemukan sarang pada posisi 2 (50%).

Sebagaimana tersaji pada Gambar 8.

Gambar 8. Persentase (%) posisi sarang orangutan di kelima tipe habitat (hutan
rawa gambut n=39, hutan rawa air tawar n=24, hutan tanah aluvial
n=22, hutan batu berpasir dataran rendah n=22, hutan granit dataran
rendah n=13)
31

Berdasarkan pengamatan di lapangan, sarang posisi 1 biasanya dibuat

pada pohon yang memiliki ukuran batang utama dan percabangan yang tidak

terlalu besar. Hal ini dapat menggambarkan bahwa di hutan rawa gambut, hutan

rawa air tawar, hutan tanah aluvial dan hutan granit dataran rendah lebih sering

orangutan membuat sarangnya pada pohon dengan ukuran batang utama dan

percabangan yang tidak terlalu besar.

Keadaan berbeda ditemukan di hutan batu berpasir dataran rendah, paling

banyak ditemukan sarang pada posisi 2 di mana berdasarkan yang teramati di

lapangan bahwa posisi ini biasanya ditemukan pada pohon dengan ukuran batang

utama dan percabangan besar. Ukuran cabang yang besar tersebut diperlukan

untuk menopang bobot orangutan pada saat berada dalam sarangnya di ujung

percabangan. Dapat digambarkan bahwa di tipe habitat ini orangutan lebih sering

membuat sarang pada pohon dengan ukuran batang utama dan percabangan besar.

Asumsi yang muncul terkait perbedaan posisi sarang yang paling sering

ditemukan di setiap tipe habitat adalah berhubungan dengan individu kelas umur

orangutan yang membuat sarang di habitat tersebut. Lebih banyak ditemukan

sarang posisi 2 (sarang diujung pohon) di hutan batu berpasir dataran rendah

diduga karena orangutan yang lebih sering membuat sarang di hutan tersebut

adalah orangutan muda dan orangutan dengan anak. Hal ini untuk

memaksimalkan perlindungan pada saat menggunakan sarang, karena pada posisi

ini orangutan mempunyai waktu untuk mengetahui kehadiran predator yang

memanjat dari batang pohon dan mempunyai waktu lebih banyak untuk

menghindari predator tersebut dengan berpindah ke pohon lain.


32

Terkait dengan posisi sarang, menurut Prasetyo et al. (2009) posisi

sarang 1, 2 dan 3 merupakan posisi yang umum ditemukan di hutan rawa Suaq

Balimbing dan hutan dataran kering di Ketambe. Kondisi ini berbeda dengan yang

ditemukan di hutan rawa gambut Tuanan dan Sebangau, lebih umum ditemukan

sarang posisi 4. Rayadin et al. (2009) menambahkan bahwa sarang posisi 1, 2 dan

3 juga umum ditemukan di Taman Nasional Kutai, Birawa dan Meratus. Dengan

demikian, posisi sarang orangutan yang ditemukan di Stasiun Penelitian Cabang

Panti lebih mirip dengan di Suaq Balimbing, Ketambe, Taman Nasional Kutai,

Birawa dan Meratus.

4.1.3. Ketinggian Sarang dan Pohon Sarang Orangutan

Hasil survei sarang di setiap tipe habitat menunjukkan bahwa ketinggian

sarang orangutan cenderung terlihat bervariasi, begitupun dengan ketinggian

pohon sarang. Berdasarkan pengamatan di lapangan, sering sekali sarang

orangutan berada cukup tinggi (>30 m) di atas pohon sehingga disaat pencarian

sarang dilakukan pengamat harus benar-benar memperhatikan pohon-pohon yang

dilewati untuk mencari keberadaan sarang.

Berdasarkan yang teramati di lapangan, sarang terletak lebih rendah

dibandingkan ketinggian pohon secara keseluruhan. Meskipun sarang berada pada

ujung batang pohon, tetapi selalu ada percabangan pohon yang menjulang ke atas

sehingga pada akhirnya ketinggian pohon selalu melebihi ketinggian sarang.

Variasi ketinggian dan pohon sarang disajikan pada Gambar 9.


33

Sarang
Pohon

Gambar 9. Rata-rata ketinggian (m) sarang orangutan di kelima tipe habitat (A;
hutan rawa gambut n=39, B; hutan rawa air tawar n=24, C; hutan
tanah aluvial n=22, D; hutan batu berpasir dataran rendah n=22, E;
hutan granit dataran rendah n=13) dan ketinggian (m) pohon sarang
orangutan di kelima tipe habitat (A; hutan rawa gambut n=42, B;
hutan rawa air tawar n=26, C; hutan tanah aluvial n=22, D; hutan batu
berpasir dataran rendah n=23, E; hutan granit dataran rendah n=13)

Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa terdapat

perbedaan bermakna rata-rata ketinggian sarang orangutan di kelima tipe habitat

(Chi-Square =23,082; df= 4; Asymp. Sig.= 0,000). Menggunakan uji Mann-

Whitney diketahui bahwa perbedaan ketinggian sarang terletak antara hutan rawa

gambut dengan hutan tanah aluvial, hutan rawa gambut dengan hutan granit

dataran rendah, hutan rawa air tawar dengan hutan tanah aluvial, dan hutan tanah

aluvial dengan hutan batu berpasir dataran rendah.

Sarang orangutan di hutan rawa gambut rata-rata lebih rendah

dibandingkan dengan di hutan tanah aluvial, begitupun juga bila dibandingkan

dengan sarang orangutan di hutan granit dataran rendah. Hal ini diduga
34

dipengaruhi oleh rata-rata tinggi pohon di habitat tersebut, selain itu juga

dipengaruhi oleh rendahnya tingkat kehadiran manusia di rawa gambut karena

terletak jauh dari camp penelitian.

Hutan tanah aluvial, memiliki perbedaan dengan hutan rawa air tawar

dan hutan batu berpasir dataran rendah. Sarang orangutan di hutan tanah aluvial

rata-rata lebih tinggi dibandingkan kedua hutan yang lainnya. Hai ini terkait

dengan intensitas kehadiran manusia di tipe habitat ini karena merupakan jalan

lintas yang sering dilalui untuk menuju hutan rawa air tawar maupun hutan rawa

gambut dan dekat dengan camp penelitian.

Meskipun dalam penelitian ini menemukan bahwa sarang orangutan di

hutan tanah aluvial cenderung dibuat lebih tinggi dibandingkan hutan lainnya

yang diduga karena faktor kehadiran manusia, berdasarkan Susanto (2012) justru

hutan aluvial merupakan hutan yang banyak digunakan oleh orangutan dalam

melakukan aktivitas hariannya, juga berdasarkan jumlah sarang yang ditemukan.

Hal tersebut karena orangutan banyak memanfaatkan sumber pakan yang berada

di hutan tanah aluvial.

Gibson (2006) menjelaskan bahwa tingginya sarang yang dibuat

bertujuan untuk menghindari gangguan yang mungkin ada ketika orangutan

menggunakan sarangnya ketika tidur. Sebagaimana pada hutan tanah aluvial,

sarang dibuat lebih tinggi untuk mengurangi rasa terganggu akibat kehadiran

manusia ketika orangutan berada di sarangnya. Selain itu, hutan tanah aluvial di

Cabang Panti lokasinya berdekatan dekat Camp penelitian dan berada sepanjang

aliran sungai air putih yang kadang kala meluap.


35

Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa terdapat

perbedaan bermakna ketinggian pohon sarang orangutan di kelima tipe habitat

(Chi-Square =28,323; df= 4; Asymp. Sig.= 0,000). Menggunakan uji Mann-

Whitney diketahui bahwa perbedaan tersebut terletak antara hutan rawa gambut

dengan hutan tanah aluvial, hutan rawa gambut dengan hutan granit dataran

rendah, hutan rawa air tawar dengan hutan tanah aluvial, hutan tanah aluvial

dengan hutan batu berpasir dataran rendah, dan hutan batu berpasir dataran rendah

dengan hutan granit dataran rendah.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan rata-rata

ketinggian pohon sarang antara hutan batu berpasir dataran rendah dengan hutan

granit dataran rendah tidak dibarengi dengan adanya perbedaan rata-rata

ketinggian sarang antara keduanya. Hal ini memperlihatkan bahwa tidak harus

ketika terdapat perbedaan rata-rata ketinggian pohon sarang, berbeda juga rata-

rata ketinggian sarangnya.

Berkaitan dengan kondisi hutan, Rijsken (1978) menjelaskan bahwa

orangutan dalam menentukan ketinggian sarang juga menyesuaikan dengan

struktur hutan yang di mana orangutan tersebut berada. Untuk meminimalkan

kemungkinan diserang oleh predator, orangutan rentan bahaya akan membangun

sarang lebih tinggi sesuai dengan struktur hutan. Jadi, ketinggian pohon dalam

suatu hutan juga mempengaruhi pemilihan pohon untuk dijadikan sebagai

material sarang oleh orangutan.


36

4.1.4. Diameter Batang Pohon Sarang Orangutan

Sarang-sarang orangutan yang ditemukan berada pada pohon dengan

diameter batang yang cenderung bervariasi di setiap habitatnya. Sebagaimana

yang terlihat pada Gambar 10, rata-rata diameter paling besar ditemukan di hutan

tanah aluvial dan paling kecil ditemukan di hutan granit dataran rendah.

Gambar 10. Rata-rata diameter batang (cm) pohon sarang orangutan di kelima tipe
habitat (A; hutan rawa gambut n=42, B; hutan rawa air tawar n=26,
C; hutan tanah aluvial n=22, D; hutan batu berpasir dataran rendah
n=23, E; hutan granit dataran rendah n=13)

Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis diketahui bahwa terdapat perbedaan

bermakna diameter batang pohon sarang di kelima tipe habitat (Chi-square =

15,596 ; df = 4 dan Asymp. Sig. = 0,004). Menggunakan uji Mann-Whitney

diketahui bahwa perbedaan terletak antara hutan rawa gambut dengan hutan tanah

aluvial, hutan rawa gambut dengan hutan batu berpasir dataran rendah, hutan rawa
37

air tawar dengan hutan tanah aluvial, dan hutan tanah aluvial dengan hutan granit

dataran rendah.

Berbeda dengan rata-rata ketinggian sarang dan ketinggian pohon sarang,

rata-rata diameter batang pohon sarang terdapat perbedaan antara hutan tanah

aluvial dan hutan granit dataran rendah. Hal ini menegaskan bahwa ketiga

parameter ini tidak mesti menunjukkan hal yang sama. Ketika di habitat a dengan

habitat b terdapat perbedaan pada rata-rata ketinggian sarang, tidak mesti terdapat

perbedaan juga pada ketinggian pohon sarang dan diameter batang pohon

sarangnya.

Berdasarkan Gambar 10, diketahui bahwa fluktuasi diameter batang pada

kelima tipe habitat yang berbeda ketinggian, tidak menunjukkan adanya

kecenderungan pemilihan pohon dengan diameter batang tertentu mengikuti

penambahan ketinggian lokasi. Akan tetapi pemilihan besar batang pohon ini

lebih cenderung terlihat sejalan dengan pemilihan posisi dan ketinggian pohon

sarang. Hal ini yang kemudian menyebabkan kenapa di hutan tanah aluvial

cenderung pemilihan diameter batangnya lebih besar di antara tipe habitat yang

lain.

4.1.5. Diameter Kanopi Pohon Sarang Orangutan

Rata-rata diameter kanopi pohon sarang pada masing-masing tipe habitat

cenderung terlihat tidak jauh berbeda. Rata-rata diameter kanopi pohon tempat

ditemukannya sarang orangutan disajikan pada Gambar 11.


38

Gambar 11. Rata-rata diameter (m) kanopi pohon sarang orangutan di kelima tipe
habitat (A; hutan rawa gambut n=42, B; hutan rawa air tawar n=26,
C; hutan tanah aluvial n=22, D; hutan batu berpasir dataran rendah
n=23, E; hutan granit dataran rendah n=13)

Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa memang tidak ada

perbedaan bermakna rata-rata diameter kanopi pohon sarang di kelima tipe habitat

(Chi-square = 7,036 ; df = 4 dan Asymp. Sig. = 0,134). Pemilihan diameter kanopi

pohon berkaitan dengan kebutuhan tertentu bagi orangutan dalam membuat

sarang, misalnya menyesuaikan dengan kondisi ranting yang kemudian digunakan

sebagai material sarang. Tidak adanya perbedaan pada penggunaan diameter

kanopi di semua tipe habitat menunjukkan bahwa orangutan cenderung konsisten

dalam memilih diameter kanopi pohon sarang. Hasil pengamatan di lapangan

menunjukkan bahwa orangutan di Stasiun Penelitian Cabang Panti rata-rata

membuat sarangnya pada pohon dengan diameter kanopi 7-8 M di 5 tipe habitat

yang ada.
39

Sejauh ini, penulis belum menemukan literatur yang dengan terfokus

membahas mengenai ukuran diameter kanopi pohon sarang orangutan. Namun,

berdasarkan yang teramati di lapangan orangutan tentunya akan membangun

sarang pada pohon dengan diameter kanopi yang baik, cukup ranting untuk

dijadikan sebagai material sarang. Dengan hasil pengamatan mengenai diameter

kanopi ini diharapkan dapat memberikan gambaran bahwa diameter kanopi pohon

sarang orangutan di Cabang panti berkisar antara 7-8 m atau dirata-ratakan

menjadi 7,5 m..

4.1.6. Jenis Pohon Sarang Orangutan

Sarang orangutan di Cabang Panti paling sering ditemukan dibangun

pada pohon Shorea spp. (11%), jenis pohon ini dilihat dari keseluruhan sarang

yang ditemukan pada kelima tipe habitat yang ada (sebagaimana tersaji pada

Gambar 12). Seringnya penggunaan Shorea spp. sebagai material sarang diduga

karena jenis pohon ini mempunyai ranting yang lentur, kuat dan daun yang

rimbun. Sebagaimana van Schaik (2006) menyebutkan bahwa orangutan akan

memilih jenis pohon tertentu yang baginya dirasa kuat dan nyaman, terutama

dengan daun lebar dan banyak percabangan serta tidak terlalu tinggi.
40

Gambar 12. Jenis pohon sarang orangutan di kelima tipe habitat (genus n=40,
sarang n=127)

Berbeda dengan di Taman Nasional Sebangau (Gibson, 2006) dan

Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan (Prasetyo, 2006), orangutan lebih sering

menggunakan pohon Elaeocarpus mastersii sebagai material sarangnya. Berbeda

juga dengan di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau (Taniasari, 2012), orangutan

eks-rehabilitasi paling sering menggunakan pohon Syzigium spp. sebagai material

sarangnya. Muncul asumsi bahwa jenis-jenis pohon yang digunakan sebagai

material sarang bergantung dari ketersediaan pohon tersebut di tempat orangutan

tinggal, namun pada kenyataannya pohon Elaeocarpus mastersii dan Syzigium

spp. terdapat juga di Stasiun Penelitian Cabang Panti.


41

Selain sebagai material sarang, Shorea spp. juga merupakan salah satu

sumber pakan orangutan meskipun berdasarkan Marshall and Knott (unpublished

data) genus ini tidak termasuk ke dalam top 50 sumber pakan orangutan di

Cabang Panti, selain Shorea spp. masih ada beberapa jenis pohon sarang yang

juga merupakan sumber pakan bagi orangutan di Stasiun Penelitian Cabang Panti

(Lampiran 16). Walaupun Shorea spp. mendominasi pohon sarang, belum pernah

sekalipun dalam penelitian ini menemukan orangutan membuat sarang malam

menggunakan Shorea spp. sebagai material sarang setelah makan di pohon

tersebut.

4.2. Perilaku Bersarang Orangutan Focal di Tiap Tipe Habitat

Sebanyak 9 individu orangutan telah diikuti dalam penelitian ini, namun

pada akhirnya hanya sebanyak 7 individu orangutan yang data perilaku

bersarangnya dapat diuji statistik. Hal ini karena kurangnya data bersarang dari

kedua individu lainnya yang diakibatkan sulitnya menemukan orangutan target di

areal penelitiaan. Kemudian, ketujuh individu orangutan tersebut dikelompokkan

ke dalam 4 kelas umur orangutan yaitu remaja, betina dewasa, betina dewasa

dengan anak dan jantan berpipi.

Sulitnya menemukan orangutan target selama penelitian dikaitkan lagi

dengan ketersediaan sumber pakan, sebagaimana yang disebutkan Susanto (2006)

bahwa tipe habitat yang potensial tersedianya sumber pakan bagi orangutan

adalah hutan tanah aluvial kemudian disusul oleh hutan batu berpasir dataran

rendah dan hutan rawa air tawar, namun pada kenyataannya selama penelitian ini
42

masih terbilang sulit untuk menemukan orangutan target pada habitat-habitat

tersebut. Kembali kepada asumsi sebelumnya bahwa hal ini dipengaruhi oleh

ketersediaan sumber pakan di Cabang Panti saat penelitian ini dilakukan.

Tabel 2. Kelas umur orangutan yang diuji data bersarangnya

Jumlah hari Lama waktu


Kelas umur
No. Nama individu ikut pengamatan
orangutan
(hari) (menit)
Adul dan
1 Remaja 5 2470
Betsy
2 Betina dewasa Walimah 12 6595
Betina dewasa Asny, Beth
3 13 7498
dengan anak dan Ceri
4 Jantan berpipi Codet 6 3164

Uji statistik yang dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan

perilaku membuat sarang masing-masing kelas umur orangutan di setiap tipe

habitat, dan analisis hanya ditujukan pada perilaku membuat sarang malam. Hal

demikian terkait sedikitnya sarang siang yang dibuat oleh masing-masing kelas

umur orangutan sehingga dikhawatirkan tidak dapat mewakili perilaku membuat

sarang siang orangutan di Stasiun Penelitian Cabang Panti, perbandingan jumlah

sarang siang dan sarang malam yang dibuat oleh orangutan focal disajikan dalam

bentuk persentase sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 13.


43

Gambar 13. Persentase (%) sarang siang dan malam orangutan yang diikuti
(remaja n sarang=8, betina dewasa n sarang=13, betina dewasa
dengan anak n sarang=19, jantan berpipi n sarang=7)

Pembuatan sarang siang jarang dilakukan oleh orangutan yang diikuti

selama penelitian ini, terlihat perbandingannya pada Gambar 13 paling banyak

25% sarang siang dibandingkan srang malam yang dibuat oleh masing-masing

golongan umur orangutan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, orangutan di

kawasan penelitian akan membuat sarang siang apabila hujan deras dan pernah

satu kali kejadian pembuatan sarang siang oleh orangutan baru karena takut atas

kehadiran pengamat.

Serupa dengan yang ditemukan oleh Rayadin et al. (2009), dari 92 buah

sarang yang dibuat oleh orangutan di Taman Nasional Kutai, Birawa dan Meratus,

hanya terdapat 2 buah sarang siang. Sementara itu Prasetyo et al. (2009)

menyatakan bahwa jumlah sarang siang yang dibuat orangutan berbeda-beda bagi

setiap individu, hal ini dibatasi oleh tingkat kemandirian individu orangutan

tersebut. Misalnya pada bayi orangutan yang mulai belajar membuat sarang,

sering membuat sarang kecil di siang hari setiap harinya.


44

Gambar 14. Persentase (%) sarang malam yang dibuat oleh masing-masing kelas
umur orangutan di tiap habitat (remaja n sarang=6, betina dewasa n
sarang=12, betina dewasa dengan anak n sarang=16, jantan berpipi n
sarang=6)

Masing-masing kelas umur orangutan tidak membuat sarang malam di

semua tipe habitat, tetapi dalam penelitian ini paling sedikit orangutan membuat

sarang malamnya di dua tipe habitat. Kemudian, uji statistik dilakukan untuk

mengetahui ada tidaknya perbedaan perilaku bersarang masing-masing kelas

umur orangutan di setiap tipe habitatnya.

4.2.1. Perilaku Bersarang Orangutan Remaja di Dua Tipe Habitat

Orangutan remaja selama diikuti membuat 6 sarang malam. Dua sarang

malam dibuat di hutan rawa gambut dan empat sarang malam dibuat di hutan batu

berpasir dataran rendah. Kemudian, dilakukan uji statistik untuk mengetahui


45

perilaku dalam membuat sarang dan karakter sarang yang dibuat oleh orangutan

remaja di dua tipe habitat tersebut.

Perilaku yang diuji ialah mengenai rata-rata durasi yang diperlukan oleh

orangutan remaja untuk membuat sarang malam, didapatkan bahwa ketika berada

di hutan rawa gambut rata-rata durasi yang diperlukan utnuk membuat sarang

malam adalah 8 menit (SD +/- 2,83 menit) dan ketika di hutan batu berpasir

dataran rendah rata-rata durasi membuat sarang malam orangutan ini adalah 5,5

menit (SD +/- 0,71 menit). Setelah dilakukan uji Mann-Whitney, diketahui bahwa

tidak ada perbedaan bermakna rata-rata durasi membuat sarang orangutan remaja

ketika berada di hutan rawa gambut dan hutan batu berpasir dataran rendah

(Mann-Whitney U= 0,500; Wilcoxon W= 3,500; Z= -1,225; Asymp. Sig. (2-

tailed)= 0,221).

Selanjutnya mengenai karakter sarang yaitu rata-rata ketinggian sarang

orangutan remaja, di hutan rawa gambut dan hutan batu berpasir dataran rendah

berturut-turut ketinggian sarang orangutan ini yaitu 40 m (SD +/- 7,07 m) dan 22

m (SD +/- 4 m). Setelah dilakukan uji Mann-Whitney, diketahui ada perbedaan

bermakna rata-rata ketinggian sarang orangutan remaja di hutan rawa gambut dan

hutan batu berpasir dataran rendah (Mann-Whitney U= 0,000; Wilcoxon W=

10,000; Z= -1,967; Asymp. Sig. (2-tailed)= 0,049).

Perbedaan ketinggian sarang di atas diduga karena perbedaan kondisi

individu orangutan yang diambil data bersarangnya, orangutan remaja di rawa

gambut merupakan orangutan baru yang sebelumnya diduga kuat belum pernah

diikuti (tim peneliti, diskusi langsung). Selama pengamatan, orangutan remaja ini
46

terus saja ketakutan terhadap kehadiran pengamat dan menunjukkan perilaku

agresif. Orangutan remaja ini ketika membuat sarang malam memilih tempat yang

lebih tinggi dibanding orangutan remaja yang lain.

Sejalan dengan ketinggian sarang, setelah dilakukan uji Mann-Whitney

terhadap rata-rata ketinggian pohon sarang orangutan remaja, diketahui terdapat

perbedaan yang bermakna antara rata-rata ketinggian pohon sarang orangutan

remaja di hutan rawa gambut dan di hutan batu berpasir dataran rendah (Mann-

Whitney U= 0,000; Wilcoxon W= 10,000; Z= -1,967; Asymp. Sig. (2-tailed)=

0,049). Rata-rata ketinggian pohonnya berturut-turut yaitu 42 m (SD +/- 7,07 m)

dan 27,5 m (SD +/- 5 m). Pemilihan pohon sarang yang tinggi oleh orangutan

remaja di hutan rawa gambut ini masih berkaitan dengan kondisi orangutan

tersebut yang ketakutan, sehingga memilih pohon sarang yang tinggi untuk

mendapatkan rasa aman dalam menggunakan sarangnya dan menghindari

gangguan yang mungkin akan muncul ketika orangutan tersebut berada di dalam

sarangnya (Gibson, 2006).

Berbeda dengan ketinggian pohon sarang, rata-rata diameter batang

pohon sarang malam orangutan remaja di hutan rawa gambut adalah 97,5 cm (SD

+/- 17,68 cm) dan di hutan batu berpasir dataran rendah adalah 41 cm (SD +/-

14,45 cm). Setelah dilakukan uji Mann-Whitney, diketahui bahwa tidak ada

perbedaan bermakna antara diameter batang pohon sarang malam orangutan

remaja di hutan rawa gambut dan hutan batu berpasir dataran rendah (Mann-

Whitney U= 0,000; Wilcoxon W= 10,000; Z= -1,852; Asymp. Sig. (2-tailed)=

0,064).
47

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan terhadap orangutan remaja,

diketahui bahwa perilaku membuat sarang dan karakter sarang yang dibuat

cenderung tidak menunjukkan adanya perbedaan yang sangat jauh terlihat,

terutama pada individu orangutan remaja yang kondisinya normal dalam artian

tidak memperlihatkan perilaku yang tidak lazim ketika orangutan tersebut diikuti.

Tetapi ada pengecualian terhadap satu individu orangutan remaja yang

sebelumnya belum pernah diikuti. Saat peneliti melakukan pengamatan, orangutan

tersebut selalu berperilaku agresif sepanjang hari, pada kondisi inilah peneliti

menyebutnya tidak lazim sehingga ditemukan adanya perbedaan perilaku

bersarang orangutan remaja tersebut.

4.2.2. Perilaku Bersarang Orangutan Betina Dewasa di Tiga Tipe Habitat

Orangutan betina dewasa selama diikuti membuat sebanyak 12 sarang

malam, 2 di hutan rawa air tawar, 5 di hutan tanah aluvial dan 5 di hutan batu

berpasir dataran rendah. Kemudian, dilakukan uji statistik untuk mengetahui

perilaku dalam membuat sarang dan karakter sarang yang dibuat oleh orangutan

betina dewasa di tiga tipe habitat tersebut.

Perilaku pertama mengenai rata-rata durasi yang diperlukan oleh

orangutan betina dewasa ketika membuat sarang, di hutan rawa air tawar rata-rata

durasi membuat sarang orangutan ini adalah 6,5 menit (SD +/- 0,71 menit), di

hutan tanah aluvial 7,25 menit (SD +/- 1,71 menit) dan di hutan batu berpasir

dataran rendah 5,4 menit (SD +/- 0,89 menit). Setelah dilakukan uji Kruskal-

Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna durasi membuat sarang
48

malam orangutan betina dewasa di ketiga tipe habitat tersebut (Chi-Square

=3,645; df= 2; Asymp. Sig.= 0,161).

Perilaku selanjutnya mengenai rata-rata jarak yang ditempuh dari pohon

pakan terakhir ke pohon sarang malam, orangutan betina dewasa ketika berada di

hutan rawa air tawar menempuh jarak rata-rata 107 m (SD +/- 131,52 m) dari

pohon pakan terakhir ke pohon sarang malamnya, di hutan tanah aluvial 32,8 m

(SD +/- 18,29 m) dan ketika berada di hutan batu berpasir dataran rendah 39,2 m

(SD +/- 34,51 m). Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak

ada perbedaan bermakna rata-rata jarak dari pohon pakan terakhir ke pohon

sarang malam orangutan betina dewasa di ketiga tipe habitat (Chi-Square = 0,185;

df= 2; Asymp. Sig.= 0,912).

Sedangkan untuk rata-rata jarak dari pohon sarang malam ke pohon

pakan pertama, orangutan betina dewasa di hutan tanah aluvial menempuh jarak

rata-rata 32,67 m (SD +/- 34,19 m) dan ketika berada di hutan batu berpasir

dataran rendah 79 m (SD +/- 14,14 m). Setelah dilakukan uji Mann-Whitney,

diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna rata-rata jarak dari pohon sarang

malam ke pohon pakan pertama orangutan betina dewasa di kedua tipe habitat

(Mann-Whitney U= 1,000; Wilcoxon W= 7,000; Z= -1,155; Asymp. Sig. (2-

tailed)= 0,248).

Mengenai karakter sarang yang dibuat, rata-rata ketinggian sarang malam

orangutan betina dewasa di hutan rawa air tawar adalah 24 m (SD +/- 1,41 m), di

hutan tanah aluvial 20,2 m (SD +/- 3,35 m) dan ketika berada di hutan batu

berpasir dataran rendah, rata-rata ketinggian sarang malam orangutan ini adalah
49

19,2 m (SD +/- 3,56 m). Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa

tidak ada perbedaan bermakna rata-rata ketinggian sarang malam orangutan betina

dewasa di ketiga tipe habitat (Chi-Square = 3,263; df= 2; Asymp. Sig.= 0,196).

Karakter sarang berikutnya adalah rata-rata ketinggian pohon tempat

dibuatnya sarang malam, rata-rata ketinggian pohon sarang malam orangutan

betina dewasa di hutan rawa air tawar adalah 26,5 m (SD +/- 2,12 m), di hutan

tanah aluvial 24 m (SD +/- 2,53 m) dan di hutan batu berpasir dataran rendah

adalah 27,29 m (SD +/- 12,31 m). Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui

bahwa tidak ada perbedaan bermakna rata-rata ketinggian pohon sarang orangutan

betina dewasa di ketiga tipe habitat (Chi-Square = 1,377; df= 2; Asymp. Sig.=

0,502).

Karakter sarang terakhir yang diuji mengenai rata-rata diameter batang

pohon sarang malam orangutan betina dewasa, ketika berada di hutan rawa air

tawar rata-rata diameter batang pohon sarang malam orangutan ini adalah 19,5 cm

(SD +/- 0,71 cm), di hutan tanah aluvial 26,98 cm (SD +/- 10,63 cm) dan di batu

berpasir dataran rendah adalah 52,11 cm (SD +/- 50,23 cm). Setelah dilakukan uji

Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna rata-rata diameter

batang pohon sarang malam orangutan betina dewasa di ketiga tipe habitat (Chi-

Square = 1,159; df= 2; Asymp. Sig.= 0,560).

Secara keseluruhan, tidak ditemukan adanya perbedaan bermakna

terhadap parameter perilaku dan karakteristik sarang yang diuji, karena hanya satu

individu yang diikuti mewakili kelas umur orangutan betina dewasa ini. Hal ini

memberikan gambaran bahwa orangutan pada kelas umur yang sama cenderung
50

mempertahankan perilakunya dalam membuat sarang ketika berada di habitat

yang berbeda, tetapi tentu saja tetap menyesuaikan diri terhadap kondisi habitat

tempat orangutan tersebut berada.

4.2.3. Perilaku Bersarang Orangutan Betina Dewasa dengan Anak di

Empat Tipe Habitat

Orangutan betina dewasa dengan anak selama diikuti telah membuat 16

sarang malam, 6 sarang malam dibuat di hutan rawa gambut, 3 di hutan rawa air

tawar, 2 di hutan tanah aluvial, dan 5 di hutan batu berpasir dataran rendah.

Kemudian, dilakukan uji statistik untuk mengetahui perilaku dalam membuat

sarang dan karakter sarang yang dibuat oleh orangutan betina dewasa dengan anak

di empat tipe habitat tersebut.

Perilaku pertama mengenai rata-rata durasi membuat sarang malam,

orangutan betina dewasa dengan anak ketika berada di hutan rawa gambut rata-

rata membutuhkan waktu 5,33 menit (SD +/- 1,53 menit) dalam membuat sarang

malam, di hutan rawa air tawar 7 menit (SD +/- 2 menit), di hutan tanah aluvial 5

menit (SD +/- 0 menit), dan di hutan batu berpasir dataran rendah 6,67 menit (SD

+/- 2,31 menit). Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak ada

perbedaan bermakna durasi membuat sarang orangutan betina dewasa di keempat

tipe habitat (Chi-Square = 2,093; df= 3; Asymp. Sig.= 0,553).

Mengenai rata-rata jarak dari pohon pakan terakhir ke pohon sarang

malam, orangutan betina dewasa dengan anak di hutan ketika berada di hutan

rawa gambut rata-rata menempuh jarak 69,75 m (SD +/- 55,19 m) dari pohon
51

pakan terakhir ke pohon sarang malam, di hutan rawa air tawar 15,5 m (SD +/-

14,85 m), di hutan tanah aluvial 30,5 m (SD +/- 4,95 m), dan di hutan batu

berpasir dataran rendah adalah 19,67 m (SD +/- 21,13 m). Setelah dilakukan uji

Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna rata-rata

jarak dari pohon pakan terakhir ke pohon sarang malam orangutan betina dewasa

dengan anak di keempat tipe habitat (Chi-Square = 4,008; df= 3; Asymp. Sig.=

0,261).

Perilaku berikutnya mengenai rata-rata jarak dari pohon sarang malam ke

pohon pakan pertama, orangutan betina dewasa dengan anak di hutan rawa

gambut rata-rata menempuh jarak 50,33 m (SD +/- 46,02 m), di hutan rawa air

tawar 87,5 m (SD +/- 17,68 m), di hutan tanah aluvial 23,5 m (SD +/- 9,19 m),

dan di hutan batu berpasir dataran rendah 10,5 m (SD +/- 2,12 m). Setelah

dilakukan uji Kruskal Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna

jarak dari pohon sarang malam ke pohon pakan pertama orangutan betina dewasa

dengan anak di keempat tipe habitat (Chi-Square = 4,133; df= 3; Asymp. Sig.=

0,247).

Mengenai karakter sarang, rata-rata ketinggian sarang malam orangutan

betina dewasa dengan anak di hutan rawa gambut adalah 25,4 m (SD +/- 9,37 m),

di hutan rawa air tawar 27,67 m (SD +/- 2,52 m), di hutan tanah aluvial 20,5 m

(SD +/- 0,71 m), dan di hutan batu berpasir dataran rendah 21,2 m (SD +/- 2,18

m). Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan

bermakna bermakna ketinggian sarang malam orangutan betina dewasa dengan

anak di keempat tipe habitat (Chi-Square = 4,420; df= 3; Asymp. Sig.= 0,220).
52

Mengenai rata-rata ketinggian pohon sarang malam orangutan betina

dewasa dengan anak, ketika berada di hutan rawa gambut rata-rata ktinggian

pohon sarang malam orangutan ini adalah 32,17 m (SD +/- 10,96 m), di hutan

rawa air tawar 31,67 m (SD +/- 3,51 m), di hutan tanah aluvial 30 m (SD +/- 7,07

m), dan di hutan batu berpasir dataran rendah 24,4 m (SD +/- 2,30 m). Setelah

dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna

ketinggian pohon sarang orangutan betina dewasa dengan anak di keempat tipe

habitat (Chi-Square = 5,673; df= 3; Asymp. Sig.= 0,129).

Karakter sarang selanjutnya adalah diameter batang pohon sarang malam,

orangutan betina dewasa dengan anak ketika berada di hutan rawa gambut

membuat sarang malam pada pohon dengan rata-rata DBH 52,68 cm (SD +/-

42,22 cm), di hutan rawa air tawar 33,27 cm (SD +/- 8,17 cm), di hutan tanah

aluvial 23,5 cm (0,71 cm), dan di hutan batu berpasir dataran rendah 26,2 cm (SD

+/- 9,67 cm). Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak ada

perbedaan bermakna diameter batang pohon sarang malam orangutan betina

dewasa dengan anak di keempat tipe habitat (Chi-Square = 5,412; df= 3; Asymp.

Sig.= 0,144).

Hasil yang ditemukan pada perilaku membuat sarang orangutan betina

dewasa dengan anak sejalan dengan yang ditemukan pada orangutan betina

dewasa. Dari semua parameter perilaku dan karakteristik sarang yang diuji

menggunakan Kruskall-Wallis tidak ditemukan adanya perbedaan bermakna

ketika orangutan tersebut berada pada beberapa tipe habitat yang berbeda.
53

4.2.4. Perilaku Bersarang Orangutan Jantan Berpipi di Dua Tipe Habitat

Orangutan jantan berpipi selama penelitian ini telah membuat 6 sarang

malam, 4 sarang malam di hutan rawa gambut dan 2 sarang malam di hutan rawa

air tawar. Dilakukan uji statistik untuk mengetahui perilaku dalam membuat

sarang dan karakter sarang yang dibuat oleh orangutan jantan berpipi di dua tipe

habitat tersebut.

Mengenai rata-rata durasi membuat sarang malam, orangutan jantan

berpipi ketika berada di hutan rawa gambut memerlukan rata-rata waktu 4,75

menit (SD +/- 0,5 menit) untuk membuat sarang malam dan ketika berada di hutan

rawa air tawar memerlukan rata-rata waktu 5 menit (SD +/- 0 menit). Setelah

dilakukan uji Mann-Whitney, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna

durasi membuat sarang malam orangutan jantan berpipi ketika berada di hutan

rawa gambut dan di hutan rawa air tawar (Mann-Whitney U= 3,000; Wilcoxon

W= 13,000; Z= -0,707; Asymp. Sig. (2-tailed)= 0,480).

Mengenai rata-rata jarak dari pohon pakan terakhir ke pohon sarang

malam, orangutan jantan berpipi ketika berada di hutan rawa gambut menempuh

rata-rata jarak 27,13 m (SD +/- 20,72 m) dan di hutan rawa air tawar 19 m (SD +/-

9,89 m). Setelah dilakukan uji Mann-Whitney, diketahui bahwa tidak ada

perbedaan bermakna rata-rata jarak dari pohon pakan terakhir ke pohon sarang

malam orangutan jantan berpipi di kedua tipe habitat (Mann-Whitney U= 4,000;

Wilcoxon W= 7,000; Z= 0,000; Asymp. Sig. (2-tailed)= 1,000).

Perilaku berikutnya mengenai rata-rata jarak dari pohon sarang malam ke

pohon pakan pertama, orangutan jantan berpipi di hutan rawa gambut menempuh
54

rata-rata jarak 130,67 m (SD +/- 43,09 m) dan di hutan rawa air tawar 21 m (SD

+/- 5,66 m). Setelah dilakukan uji Mann-Whitney, diketahui bahwa tidak ada

perbedaan bermakna rata-rata jarak dari pohon sarang malam ke pohon pakan

pertama orangutan jantan berpipi di kedua tipe habitat (Mann-Whitney U= 0,000;

Wilcoxon W= 3,000; Z= -1,732; Asymp. Sig. (2-tailed)= 0,083).

Berkaitan dengan karakter sarang yang dibuat, rata-rata ketinggian sarang

malam orangutan jantan berpipi di hutan rawa gambut adalah 10 m (SD +/- 0 m)

dan di hutan rawa air tawar 11 m (SD +/- 1,41 m). Setelah dilakukan uji Mann-

Whitney, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna rata-rata ketinggian

sarang malam orangutan jantan berpipi di kedua tipe habitat (Mann-Whitney U=

2,000; Wilcoxon W= 12,000; Z= -1,414; Asymp. Sig. (2-tailed)= 0,157).

Mengenai rata-rata ketinggian pohon sarang malam orangutan jantan

berpipi, ketika berada di hutan rawa gambut rata-rata ketinggian pohon sarang

orangutan ini 13,67 m (SD +/- 1,21 m) dan di hutan rawa air tawar 14,25 m (SD

+/- 2,48 m). Setelah dilakukan uji Mann-Whitney, diketahui bahwa tidak ada

perbedaan bermakna rata-rata ketinggian pohon sarang malam orangutan jantan

berpipi di kedua tipe habitat (Mann-Whitney U= 5,000; Wilcoxon W= 26,000; Z=

-0,337; Asymp. Sig. (2-tailed)= 0,736).

Berikutnya mengenai rata-rata diameter batang pohon sarang malam

orangutan jantan berpipi, ketika membuat sarang di hutan rawa gambut rata-rata

diameter batang pohon sarang yang digunakan adalah 12,83 cm (SD +/- 2,54 cm)

dan di hutan rawa air tawar 14,85 cm (SD +/- 3,04 cm). Setelah dilakukan uji

Mann-Whitney, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna rata-rata diameter


55

batang pohon sarang malam orangutan jantan berpipi di kedua tipe habitat (Mann-

Whitney U= 3,500; Wilcoxon W= 24,500; Z= -0,838; Asymp. Sig. (2-tailed)=

0,402).

Perilaku bersarang yang dijumpai pada orangutan kelas umur orangutan

jantan berpipi cenderung sejalan dengan kelas umur orangutan yang lain, yaitu

muncul asumsi kuat bahwa masing-masing kelas umur orangutan mempunyai

kebutuhan tertentu terkait perilaku bersarang dan karakteristik sarang yang dibuat,

sehingga ketika berada di beberapa habitat yang berbeda orangutan akan tetap

mempertahankan perilaku bersarangnya namun tetap memperhatikan faktor-faktor

yang berpengaruh seperti adanya musuh dan predator serta kondisi habitat tempat

orangutan tersebut membuat sarang malam.

4.3. Perilaku Bersarang Orangutan Berdasarkan Kelas Umur

4.3.1. Posisi Sarang Orangutan

Sarang malam yang dibuat oleh orangutan target lebih banyak pada

posisi 1 dan 2. Selama pengambilan data dilakukan, orangutan remaja membuat

seluruh sarang malamnya pada posisi 2 (100%), dan orangutan betina dewasa

dengan anakpun lebih sering membuat sarang malam pada posisi 2 (50%).

Sedangkan orangutan betina dewasa dan jantan berpipi lebih sering membuat

sarang malamnya pada posisi 1 (42% dan 50%) seperti tersaji pada Gambar 15.
56

Gambar 15. Persentase (%) posisi sarang malam orangutan (remaja n=6, betina
dewasa n=12, betina dewasa dengan anak n=16, jantan berpipi n=6)

Berdasarkan pengamatan di lapangan, alasan kenapa orangutan betina

dewasa dengan anak membuat sarang posisi 2 adalah karena berkaitan dengan

perilaku melindungi anaknya dari ganggguan yang mungkin muncul ketika

mereka beristirahat di dalamnya. Sarang posisi 2 berada di ujung, jauh dari batang

utama, muncul asumsi bahwa pada posisi ini kecil resiko datangnya gangguan

dari hewan lain yang mungkin datang dari bawah melalui batang utama pohon.

Orangutan remaja, berdasarkan apa yang teramati di lapangan kerap

membuat sarangnya dekat dan mengikuti sarang orangutan betina dewasa dengan

anak. Perilaku tersebut menunjukkan bahwa orangutan remaja belum sepenuhnya

mandiri, masih memerlukan perlindungan dari orangutan dewasa. Membuat

sarang di dekat sarang induknya memberikan keamanan yang lebih besar bagi

orangutan tersebut.
57

Selanjutnya orangutan betina dewasa dan jantan berpipi, sering membuat

sarang pada posisi 1, diduga posisi inilah yang sesuai dengan kebutuhan membuat

sarang dua golongan umur orangutan tersebut. Dibandingkan dengan orangutan

betina dewasa dengan anak dan orangutan remaja, orangutan betina dewasa dan

jantan berpipi cenderung lebih berani dan mandiri dan tidak perlu melakukan

tindakan yang sangat waspada di dalam memilih posisi bersarangnya.

Pembuatan sarang malam pada posisi 1 dan 2 di Stasiun Penelitian

Cabang Panti juga ditemukan pada orangutan eksrehabilitasi di Suaka

Margasatwa Sungai Lamandau oleh Taniasari (2012), orangutan eksrehabilitasi di

Suaka Margasatwa Sungai Lamandau lebih sering membuat sarang berturut-turut

pada posisi 1, 2, dan 3 serta jarang sekali membuat sarang pada posisi 4.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, pemilihan posisi ini juga dipengaruhi oleh

kondisi pohon yang ada, hal ini menunjukkan bahwa selain mempunyai

kebutuhan tertentu terkait perilaku bersarangnya, orangutan juga menyesuaikan

diri dengan keadaan hutan yang ditempati.

4.3.2. Durasi Pembuatan Sarang Orangutan

Berdasarkan pengamatan di lapangan, durasi yang dibutuhkan oleh

orangutan untuk membuat sarang cenderung berhubungan dengan individu

orangutan pembuat sarang, selain itu berhubungan dengan ada atau tidaknya

bagian-bagian tambahan pada sarang yang dibuat. Orangutan yang secara fisik

terlihat kuat yang digambarkan dengan ukuran tubuh yang relatif besar diduga

mempunyai energi yang besar untuk mematahkan ranting sehingga durasi


58

pembuatan sarang relatif singkat. Durasi membuat sarang orangutan berdasarkan

kelas umur disajikan pada Gambar 16.

Gambar 16. Rata-rata durasi (menit) pembuatan sarang malam orangutan (remaja
n=4, betina dewasa n=11, betina dewasa dengan anak n=11, jantan
berpipi n=6)

Berdasarkan gambar di atas, terlihat bahwa orangutan jantan berpipi

memerlukan waktu yang paling sedikit untuk membuat sarang malamnya

dibandingkan dengan kelas umur orangutan yang lain. Setelah dilakukan uji

Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna durasi pembuatan

sarang malam keempat kelas umur orangutan (Chi-square = 5,479 ; df = 3 dan

Asymp. Sig. = 0,140).

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa orangutan liar di Stasiun

Penelitian Cabang Panti pada kelas umur yang berbeda cenderung menggunakan

durasi yang sama ketika membuat sarang malam. Hal ini berbeda dengan yang
59

ditemukan pada orangutan eks-rehabilitasi di Suaka Margasatwa Sungai

Lamandau (Taniasari, 2012), di mana terdapat perbedaan antara kelas umur yang

berbeda dalam membuat sarang malamnya.

4.3.3. Jarak Pohon Pakan Terakhir dengan Pohon Sarang Orangutan

Rata-rata jarak yang ditempuh dari pohon pakan terakhir menuju pohon

sarang malam oleh orangutan cenderung semakin dekat bila diperhatikan dari

mulai orangutan remaja, betina dewasa, betina dewasa dengan anak menuju jantan

berpipi. Orangutan remaja menempuh jarak paling dekat menuju pohon sarang

malamnya dan orangutan jantan berpipi menempuh jarak paling jauh menuju

pohon sarang malamnya. Sebagaimana yang tersaji pada Gambar 17.

Gambar 17. Rata-rata jarak (m) dari pohon pakan terakhir ke pohon sarang
malam orangutan (remaja n=2, betina dewasa n=11, betina dewasa
dengan anak n=11, jantan berpipi n=6)
60

Berdasarkan Gambar 17, terlihat bahwa orangutan jantan berpipi

menempuh jarak yang paling dekat untuk menentukan pohon tempat membuat

sarang malam dibandingkan kelas umur orangutan yang lain. Setelah dilakukan

uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna rata-rata jarak

pohon pakan terakhir ke pohon sarang malam keempat kelas umur orangutan

(Chi-square = 1,581 ; df = 3 dan Asymp. Sig. = 0,664).

Meskipun terlihat pada gambar 19 bahwa jarak rata-rata berbeda cukup

jauh di antara masing-masing kelas umur orangutan, namun setelah dilakukan uji

stasistik ternyata tidak terdapat perbedaan bermakna. Hal ini karena ada

perbedaan jumlah individu orangutan yang diikuti pada masing-masing kelas

umur, seperti juga terlihat pada standar deviasi di gambar tersebut.

Penelitian ini tidak menemukan adanya individu orangutan yang

menggunakan pohon pakan terakhir sebagai pohon sarangnya. Menurut Prasetyo

(2006) hal tersebut memang jarang dilakukan oleh orangutan sebagaimana yang

terjadi di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan.

Meskipun tidak terdapat perbedaan yang bermakna di antara 4 kelas

umur, namun dapat dilihat pada Gambar 17 bahwa orangutan jantan berpipi

cenderung membuat sarang yang lebih dekat dari pohon pakan terakhir,

sebagaimana yang terjadi di Taman Nasional Sebangau (Gibson, 2006).

Sebagaimana Sugardjito (1983) di Stasiun Penelitian Orangutan Ketambe dan

Gibson (2006) di Taman Nasional Sebangau menemukan bahwa golongan umur

orangutan ini cenderung menguasai sumber pakan. Bahkan Basabose dan

Yamagiwa (2002) menambahkan bahwa pada gorila silver back, yang merupakan
61

kelas umur yang setara dengan orangutan jantan berpipi, diprediksi menggunakan

pohon pakan terakhir sebagai pohon sraang malam.

4.3.4. Jarak Pohon Sarang Orangutan dengan Pohon Pakan Pertama

Rata-rata antara pohon sarang malam orangutan dengan pohon pakan

pertama di esok paginya terlihat bervariasi. Sebagaimana terlihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Rata-rata jarak (m) dari pohon sarang malam ke pohon pakan
pertama orangutan (remaja n=2, betina dewasa n=8, betina dewasa
dengan anak n=12, jantan berpipi n=5)

Berdasarkan gambar di atas, terlihat bahwa orangutan jantan berpipi

menempuh jarak yang paling jauh untuk menentukan pohon pakan pertama

setelah bangun di pagi hari dibandingkan kelas umur orangutan yang lain. Setelah

dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna


62

rata-rata jarak pohon sarang malam ke pohon pakan pertama keempat kelas umur

orangutan (Chi-square = 4,449 ; df = 3 dan Asymp. Sig. = 0,217).

Berdasarkan data jarak pohon pakan terakhir dengan pohon sarang

orangutan (Gambar 17), terlihat bahwa jarak yang ditempuh dari pohon pakan

terakhir menuju pohon sarang orangutan berdasarkan kelas umur cenderung

semakin dekat dari orangutan remaja sampai jantan berpipi. Tetapi pada data jarak

pohon sarang dengan pohon pakan pertama ini tidak seperti demikian, terjadi

fluktuasi pada jantan berpipi di mana rata-rata jarak yang ditempuh dari pohon

sarang menuju pohon pakan pertama cenderung paling jauh di antara kelas umur

yang lain.

Orangutan jantan berpipi pada penelitian ini membuat sarang malamnya

pada jarak rata-rata paling dekat (<30 m) dengan pohon pakan terakhir

dibandingkan kelas umur yang lain, namun menempuh jarak rata-rata paling jauh

(>80 m) dalam menentukkan pohon pakan pertamanya. Hal ini diduga orangutan

jantan berpipi mempunyai energi yang lebih besar dibandingkan dengan

kelompok umur orangutan yang lain, dan ketika pada pagi harinya setelah bangun

tidur mampu menempuh jarak yang cukup jauh untuk menemukan pohon pakan

pertamanya.

Sementara itu, Gibson (2006) dalam penelitiannya di hutan gambut

Taman Nasional Sebangau mendeskripsikan bahwa kelompok dominan cenderung

membuat sarang di dekat sumber pakan karena mempunyai rencana untuk

menjadikan sumben pakan tersebut sebagai sumber pakan pertama di esok harinya

setelah bangun tidur. Dia juga menambahkan, sebagaimana pada pohon pakan
63

terakhir, kelompok yang tidak dominan akan membuat sarang lebih jauh untuk

menghindari kelompok dominan (jantan berpipi) yang mungkin membuat sarang

di dekat sumber pakan tersebut.

4.3.5. Ketinggian Sarang dan Pohon Sarang Orangutan

Rata-rata ketinggian sarang orangutan cenderung bervariasi pada masing-

masing kelas umur, begitupun dengan ketinggian pohon sarang yang digunakan.

Variasi ketinggian tersebut sebagaimana tersaji pada Gambar 19.

Sarang
Pohon

Gambar 19. Rata-rata ketinggian (m) sarang malam orangutan (A; remaja n=6, B;
betina dewasa n=12, C; betina dewasa dengan anak n=15, D; jantan
berpipi n=6) dan ketinggian (m) pohon sarang malam orangutan (A;
remaja n=6, B; betina dewasa n=12, C; betina dewasa dengan anak
n=17, D; jantan berpipi n=6)

Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa terdapat

perbedaan bermakna ketinggian sarang malam keempat kelas umur orangutan


64

(Chi-square = 18,267 ; df = 3 dan Asymp. Sig. = 0,000). Uji Mann-Whitney

membuktikan bahwa perbedaan tersebut terletak antara orangutan remaja dengan

jantan berpipi, betina dewasa dengan jantan berpipi, dan betina dewasa dengan

anak dengan jantan berpipi.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, orangutan jantan berpipi

cenderung membuat sarang lebih rendah dibandingkan dengan 3 golongan umur

lainnya. Keadaan yang sama terjadi di Tuanan (Prasetyo, 2006), di mana golongan

umur orangutan jantan berpipi cenderung memilih ketinggian sarang malam yang

lebih rendah (5-9 m) dibandingkan dengan golongan umur orangutan yang lainnya

(10-14 m).

Berdasarkan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa terdapat perbedaan

bermakna rata-rata ketinggian pohon sarang malam keempat kelas umur

orangutan (Chi-square = 18,915 ; df = 3 dan Asymp. Sig. = 0,000). Setelah

dilakukan uji Mann-Whitney terlihat bahwa perbedaan terletak antara remaja

dengan jantan berpipi, betina dewasa dengan jantan berpipi dan betina dewasa

dengan anak dengan jantan berpipi.

Sejalan dengan ketinggian sarang, pemilihan ketinggian pohon sarang

oleh orangutan jantan berpipi lebih rendah dibandingkan dengan golongan umur

orangutan yang lainnya. Meskipun pemilihan ketinggian pohon sarang ini sangat

dipengaruhi oleh kondisi kawasan (Prasetyo, 2006), namun berdasarkan

pengamatan hal ini juga dipengaruhi oleh rasa aman yang ingin didapatkan oleh

orangutan tersebut ketiga menggunakan sarangnya. Dengan kata lain, orangutan

jantan berpipi lebih cocok membuat sarangnya pada pohon yang cenderung lebih
65

rendah (+/- 13 m) diduga disebabkan postur tubuhnya yang besar memerlukan

banyak energi apabila harus memanjat pohon yang tinggi dan juga menghindari

resiko terjatuh pada saat tidur

4.3.6. Diameter Batang Pohon Sarang Orangutan

Rata-rata diameter batang pohon sarang yang digunakan oleh orangutan

cenderung bervariasi pada masing-masing kelas umur orangutan tersebut. Variasi

yang dimaksud sebagaimana tersaji pada Gambar 20.

Gambar 20. Rata-rata diameter batang (cm) pohon sarang malam orangutan
(remaja n=6, betina dewasa n=12, betina dewasa dengan anak n=17,
jantan berpipi n=6)

Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis diketahui bahwa terdapat perbedaan

bermakna rata-rata diameter batang pohon sarang malam keempat kelas umur

orangutan (Chi-square = 18,376 ; df = 3 dan Asymp. Sig. = 0,000). Dengan uji

Mann-Whitney diketahui bahwa perbedaan terletak antara orangutan remaja


66

dengan betina dewasa, remaja dengan jantan berpipi, betina dewasa dengan jantan

berpipi, dan betina dewasa dengan anak dengan jantan berpipi.

Seperti dua parameter sebelumnya, jantan berpipi memilih ukuran pohon

lebih kecil dibandingkan dengan golongan umur yang lainnya. Selain itu pada

diameter batang pohon ini terdapat perbedaan juga antara orangutan remaja

dengan orangutan betina dewasa, ini dikaitkan dengan kondisi orangutan remaja

baru yang diduga belum pernah diikuti sehingga orangutan ini agresif, selama

pengamatan berada pada pohon besar dan tidak berani untuk berpindah pohon.

4.3.7. Jenis Pohon Sarang Orangutan

Jenis pohon yang paling sering digunakan sebagai material sarang oleh

orangutan target menunjukkan hasil yang sesuai dengan jenis pohon sarang hasil

survei. Orangutan di Stasiun Penelitian Cabang Panti paling sering menggunakan

Shorea spp., (Gambar 21). Sebagai material sarangnya. Ini berbeda dengan yang

ditemukan pada orangutan di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan (Prasetyo,

2006), lebih sering ditemukan Elaeocarpus mastersii sebagai material sarang.

Menurut Cannon & Leighton (2004), di Stasiun Penelitian Cabang Panti

hutan rawa gambut (peat) didominasi oleh famili Sapotaceae (24%), hutan rawa

air tawar (freshwater swamp) didominasi oleh famili Melastomataceae (42%),

hutan tanah aluvial (alluvium) didominasi oleh famili Dipterocarpaceae (38%),

hutan batu berpasir (sandstone) didominasi oleh famili Olacaceae (36%), dan

hutan granit (granite) didominasi oleh famili Dipterocarpaceae (50%). Knott

(1999) dan Marshall (2004) mendeskripsikan lebih detail bahwa di hutan rawa
67

gambut didominasi oleh famili Sapotaceae (Palaquium spp.), hutan rawa air tawar

didominasi oleh famili Melastomataceae (Pternandra spp.), hutan tanah aluvial

didominasi oleh famili Dipterocarpaceae (Dipterocarpus spp.), hutan batu

berpasir dataran rendah dan hutan granit dataran rendah didominasi oleh famili

Myrtaceae (Syzigium spp.).

Gambar 21. Jenis pohon sarang malam orangutan (genus n=20, sarang n=43)

Prasetyo (2006) menjelaskan bahwa terdapat indikasi pemilihan jenis

pohon sarang tertentu yang dilakukan oleh orangutan, pemilihan jenis pohon

sarang bertujuan untuk mendapatkan kenyamanan di saat tidur dan penghematan

energi pada saat proses membuat sarang. Berdasarkan pengamatan di lapangan,

pemilihan genus pohon sarang orangutan juga dipengaruhi oleh ketersediaan jenis

pohon di kawasan penelitian meskipun pada akhirnya diketahui bahwa pemilihan

tersebut cenderung tidak berkaitan dengan genus pohon yang paling dominan.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat

ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan rata-rata ketinggian sarang, ketinggian pohon sarang

dan diameter batang pohon sarang orangutan. Tetapi tidak terdapat

perbedaan rata-rata diameter kanopi pohon sarang orangutan pada lima

tipe habitat yang berbeda di Stasiun Penelitian Cabang Panti.

2. Tidak terdapat perbedaan perilaku bersarang orangutan pada kelas umur

yang sama ketika berada pada lima tipe habitat yang berbeda, tetapi

terdapat perbedaan perilaku bersarang orangutan berdasarkan kelas umur

(remaja, betina dewasa, betina dewasa dengan anak dan jantan berpipi)

yaitu dalam hal karakteristik sarang yang meliputi rata-rata ketinggian

sarang, ketinggian pohon sarang dan diameter batang pohon sarang.

Sedangkan untuk perilaku, tidak terdapat perbedaan rata-rata durasi

membuat sarang serta jarak antara pohon pakan terakhir dengan pohon

sarang dan jarak antara pohon sarang dengan pohon pakan pertama.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, terutama mengenai jenis pohon yang sering

digunakan oleh orangutan sebagai material sarangnya, perlu dilakukan

68
69

peningkatan manajemen kawasan untuk menjamin kelestarian jenis pohon

tersebut di Stasiun Penelitian Cabang Panti. Terlebih lagi karena terdapat

beberapa jenis yang sering digunakan sebagai material sarang juga merupakan

pohon yang bernilai ekonomis, maka perlu dilakukan pengawasan terhadap

kemungkinan adanya aksi penebangan liar dan pemanfaatan yang tidak bijaksana

oleh pihak-pihak tertentu yang kurang bertanggung jawab.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1998. Checklist of CITES Species. CITES Secretariat/ World


Conservation Monitoring Centre, Châtelaine-Genève.

Anonim. 2002. Data dan informasi kehutanan profinsi Kalimantan Barat. Pusat
inventarisasi dan statistik kehutanan: Badan Planologi Kehutanan,
Departemen Kehutanan.

Anonim. 2011. Tentang Gunung Palung. http://gunungpalung.net/. Diakses pada


tanggal 3 Desember 2012 pukul 21.53 WIB.

Anonim. 2012. Taman Nasional Gunung Palung. http://ditjenphka.dephut.go.id.


Diakses pada tanggal 3 Desember 2012 pukul 23.08 WIB.

Basabose, A.K. and J. Yamagiwa. 2002. Factors affecting nesting site choice in
chimpanzees at Tshibati, Kahuzi-Biega National Park: Influence of
sympatric gorillas. Journal of International Primatology 23(2): 263-
281.

Buij, R., S.A. Wich, A.H. Lubis and E.H.M. Sterck. 2002. Seasonal movements in
the Sumatran orangutan (Pongo pygmaeus abelii) and consequences
for conservation. Biological Conservation 107(83-87).

Cannon, C.H. and M. Leighton. 2004. Tree species distributions across five
habitats in a Bornean rain forest. Journal of Vegetation Science 15:
257-266.

Dalimunthe, N.P. 2009. Estimasi kepadatan orangutan Sumatera (Pongo abelii)


berdasarkan jumlah sarang di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung
Leuser. Skripsi Sarjana. Departeman Biologi Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Galdikas, B.M.F. 1986. Adaptasi Orangutan di Suaka Tanjung Putting


Kalimantan Tengah. UI press. Jakarta.

Gibson, A. 2006. Orangutan nesting preferences in a disturbed tropical deep-peat


swamp forest, Central Kalimantan, Indonesia. Thesis. Departement of
Conservation Management, Otley College, Charity Lane, Otley,
Ipswich, suffolk. United Kingdom.

Johnson, A. E., C. D. Knott, B. Pamungkas, M. Pasaribu and A. J. Marshall. 2005.


A survey of the orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) population in
and around Gunung Palung National Park, West Kalimantan,
70
71

Indonesia based on nest counts. Biological Conservation 121: 495–


507.

Knott, C.D. 1999. Reproductive, physiological and behavioral responses of


orangutans in Borneo to fluctuations in food availability. Ph.D.
Dissertation. Harvard University: x + 373 hlm.

Kudus, R.S. 2000. Analisis hubungan antar dimensi sarang dan karakteristik
individu orangutan (Pongo pygmaeus pygmaeus, Linnaeus 1760) di
Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Skripsi
Sarjana. Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kuncoro, P. 2004. Aktivitas harian orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus


Linnaeus, 1760) rehabilitan di Hutan Lindung Pegunungan Meratus,
Kalimantan Timur. Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Udayana. Bali.

Marshall, A.J. 2004. Population ecology of gibbons and leaf monkeys across a
gradient of Bornean forest types. Ph.D. Dissertation. Department of
Anthropology, Harvard University, Cambridge, MA, USA: xv + 248
hlm.

Meijaard, E., H.D. Rijksen, S.N. Kartikasari. 2001. Di Ambang Kepunahan,


Kondisi Orangutan Liar di Awal Abad ke-21. Penyunting S.N.
Kartikasari. The Gibbon Foundation Indonesia. Jakarta.

Muin, A. 2007. Analisis tipologi pohon tempat bersarang dan karakteristik sarang
orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii, Grooves 2001) di Taman
Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Tesis. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Paulina, L.E. Djuwantoko dan P. Yuda. 2001. Penggunaan habitat orangutan


(Pongo pygmaeus pygmaeus) rehabilitan di hutan lindung Sungai
Wain, Kalimantan Timur. Biota VI (3): 117-122.

Prasetyo, D. 2006. Intelegensi orangutan berdasarkan teknik dan budidaya


perilaku membuat sarang. Tesis. Program Studi Biologi Pascasarjana
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan. Universitas Indonesia.

Prasetyo, D., M. Ancrenaz, H. C. Morrogh-Bernard, S. S. U. Atmoko, S. A. Wich


and C. P. Van Schaik. 2009. Nest building in orangutan. Wich-Chap
19.indd, 271.
72

Rayadin, Y. and Takashi, S. 2009. Individual Variation in Nest Size and Nest Site
Features of The Bornean Orangutans (Pongo pygmaeus). American
Journal of Primatology 71:393–399.

Rijksen, H.D. 1978. A field Study On Sumatran Orang Utans ( Pongo pgymaeus
abelii, Lesson 1827) : Ecology, Behaviour, and Conservation. H.
Veenman & Zonen. Wageningen.

Rijksen, H.D., dan Meijaard, E. 1999. Our vanishing relative. The status of wild
orangutans at the close of the twentieth century. Kluwer Academic
Publishers, Dordrecht. The Netherlands.

Siegel, S. 1990. Statistik Non Parametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Cet. 4.


Terjemahan Zanzawi Suyuti dan Landung Simatupang. Gramedia.
Jakarta.

Soehartono, T., Susilo, H.D., Andayani, N., Utami Atmoko, S.S., Sihite, J., Saleh,
C., Sutrisno, A., 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi
Orangutan Indonesia 2007-2017. PHKA KEMENHUT RI. Jakarta.

Sugardjito, J. 1983. Selecting Nest-Site of Sumatran Orangutan (Pongo pygmaeus


72abelii) in The Gunung Leuser National Park, Indonesia. Primates
24(4): 467-474.

Sugardjito, J. 1986. Ecology constraint on the behaviour of Sumatran orangutan in


the Gunung Leuser National Park, Indonesia. Ph.D. Thesis. Utrecth
University. Utrecth: iii+ 144 hlm.

Supriatna J. dan Hendras E.W. 2000. Panduan lapangan primata Indonesia.


Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Susanto, T.W. 2006. Pemanfaatan ruang aktivitas antar individu orangutan


(Pongo pygmaeus wurmbii, Tiedemann 1808) jantan di Stasiun
Penelitian Orangutan Tuanan, Kalimantan Tengah. Skripsi. Fakultas
Biologi Universitas Nasional. Jakarta.

Susanto, T.W. 2012. Pola jelajah dan pemanfaatan habitat orang utan (Pongo
pygmaeus wurmbii) di Stasiun Penelitian Cabang panti, Taman
Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat. Tesis. FMIPA, Program
Pascasarjana, Program Studi Biologi, Universitas Indonesia. Depok.

Taniasari, P. 2012. Sebaran dan perilaku bersarang orangutan (Pongo pygmaeus


wurmbii, Tiedemann 1808) eksrehabilitasi di Suaka Margasatwa
Sungai Lamandau, Kalimantan Tengah. Skripsi. Program Studi
Biologi, Fakultas Sains dan teknologi, UIN Syarif Hidayatullah.
Jakarta.
73

van Schaik, C.P. 2006. Antara Orangutan Kera merah dan Bangkitnya
Kebudayaan Manusia. Yayasan BOSF. Jakarta.

van Schaik, C.P., S. Poniran., S.S. Utami, M. Griffith, S. Djojosudharmo, T.


Mitrasetia, J. Sugardjito, H.D Rijsken, U.S. Seal, T. Faust, K.
Traylorholzer, dan R. Tilson. 1995. Estimates of Orangutan
Distribution and Status in Sumatera. Plenum Press. New York.

Wich, S.A., Utami Atmoko, S.S., Mitra Setia, T., Rijksen, H.D., Schurmann, C.,
van Hoof, J.A.R.A.M., van Schaik, C.P. 2004. Life History of Wild
Sumatran Orangutan (Pongo abelii). Journal of Human Evolution.

Zhang, Y., O.A. Ryder & Y. Zhang. 2001. Genetic divergence of orangutan
subspecies (Pongo pygmaeus). J. Mol. Evol. 52: 516-526.
74

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1A. Persentase ketersediaan bunga dan buah sumber pakan


orangutan di Stasiun Penelitian Cabang Panti periode
Oktober 2011 - Februari 2012 (Marshall and Knott,
unpublished data)

Keterangan: M=Mature, R=Ripe, I=Immature, B=Bud dan F=Flower

Lampiran 1B. Persentase ketersediaan bunga dan buah sumber pakan


orangutan di Stasiun Penelitian Cabang Panti periode
Januari 2008 - September 2012 (Marshall and Knott,
Unpublished Data)

Keterangan: M=Mature, R=Ripe, I=Immature, B=Bud dan F=Flower


75

Lampiran 2. Posisi sarang orangutan (Dok. pribadi, 2012)

A B

C D

Keterangan:
A. Sarang posisi 1, di pangkal percabangan
B. Sarang posisi 2, di ujung percabangan
C. Sarang posisi 3, di ujung batang utama
D. Sarang posisi 4, dibuat dari dua pohon
76

Lampiran 3. Kelas sarang orangutan (Dok. pribadi, 2012)

A D

B E

Keterangan: A (sarang kelas A) daun hijau segar, B (sarang kelas B) sebagian


daun hijau dan sebagian coklat), C (sarang kelas C) daun berwarna
coklat, D (sarang kelas D) daun berwarna coklat dan tidak utuh, dan
E (sarang kelas E) sebagian besar tinggal pondasi sarang.
77

Lampiran 4. Gambaran kondisi lima tipe habitat di Stasiun Penelitian


Cabang Panti (Dok. pribadi, 2012)

A D

B E

Keterangan: A=Rawa Gambut, B=Rawa Air Tawar, C=Tanah Aluvial, D=Batu


Berpasir Dataran Rendah, E=Granit Dataran Rendah
78

Lampiran 5. Uji Kruskall-Wallis karakteristik sarang hasil survei

Mean
Tipe Habitat N
Rank

Tinggi Sarang Hutan rawa gambut 39 46,05


Hutan rawa air tawar 24 54,63
Hutan tanah aluvial 22 88,61
Hutan batu berpasir dataran rendah 22 58,34
Hutan granit dataran rendah 13 70,77
Total 120
Tinggi Pohon Hutan rawa gambut 42 50,01
Sarang Hutan rawa air tawar 26 60,54
Hutan tanah aluvial 22 94,57
Hutan batu berpasir dataran rendah 23 50,85
Hutan granit dataran rendah 13 82,81
Total 126
DBH Pohon Hutan rawa gambut 42 50,65
Sarang Hutan rawa air tawar 26 60,10
Hutan tanah aluvial 22 85,11
Hutan batu berpasir dataran rendah 23 74,17
Hutan granit dataran rendah 13 56,35
Total 126
Diameter Hutan rawa gambut 42 51,76
Kanopi Pohon Hutan rawa air tawar 26 66,08
Sarang
Hutan tanah aluvial 22 73,68
Hutan batu berpasir dataran rendah 23 69,04
Hutan granit dataran rendah 13 69,23
Total 126

Test Statisticsa,b
Tinggi Tinggi Pohon DBH Pohon Diameter Kanopi
Sarang Sarang Sarang Pohon Sarang
Chi-Square 23.082 28.323 15.596 7.036
Df 4 4 4 4
Asymp. Sig. ,000 ,000 ,004 0,134
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Tipe Habitat
* Keterangan: Terdapat perbedaan yang bermakna (P<0,05) ketinggian sarang,
ketinggian, DBH dan diameter kanopi pohon sarang orangutan di
lima tipe habitat yang berbeda
79

Lampiran 6. Uji Mann-Whitney karakteristik sarang hasil survei

A. Ketinggian sarang orangutan

Tipe Habitat N Mean Rank Sum of Rank


Hutan rawa gambut 39 30,78 1200,50
Hutan rawa air tawar 24 33,98 815,50
Total 63
Hutan rawa gambut 39 22,96 895,50
Hutan tanah aluvial 22 45,25 995,50
Total 61
Hutan rawa gambut 39 28,45 1109,50
Hutan batu berpasir dataran rendah 22 35,52 781,50
Total 61
Hutan rawa gambut 39 23,86 930,50
Hutan granit dataran rendah 13 34,42 447,50
Total 52
Hutan rawa air tawar 24 18,04 433,00
Hutan tanah aluvial 22 29,45 648,00
Total 46
Hutan rawa air tawar 24 22,79 547,00
Hutan batu berpasir dataran rendah 22 24,27 534,00
Total 46
Hutan rawa air tawar 24 17,31 415,50
Hutan granit dataran rendah 13 22,12 287,50
Total 37
Hutan tanah aluvial 22 28,50 627,00
Hutan batu berpasir dataran rendah 22 16,50 363,00
Total 44
Hutan tanah aluvial 22 19,91 438,00
Hutan granit dataran rendah 13 14,77 192,00
Total 35
Hutan batu berpasir dataran rendah 22 16,55 364,00
Hutan granit dataran rendah 13 20,46 266,00
Total 35
80

Test Statisticsb

A-B A-C A-D A-E B-C

Mann-Whitney U 420,500 115,500 392,500 150,500 133,00


Wilcoxon W 1200,500 895,500 1109,500 930,500 433,00
Z -,675 -4,720 -1,500 -2,183 -2,886
Asymp. Sig. (2- ,500 0,000 ,134 ,029 ,004
tailed)
Exact Sig. [2*(1- - - - - -
tailed Sig.)]

B-D B-E C-D C-E D-E

Mann-Whitney U 247,000 115,500 110,000 101,000 111,000


Wilcoxon W 527,000 415,500 363,000 192,000 364,000
Z -,375 -1,291 -3,108 -1,438 -1,096
Asymp. Sig. (2- ,708 ,197 ,002 ,150 ,237
tailed) ,150
a
Exact Sig. [2*(1- - ,200 - ,159a ,287a
tailed Sig.)]
a. Not corrected for ties
b. Grouping variable: Tipe habitat
* Keterangan: Terdapat perbedaan yang bermakna (P<0,05) ketinggian sarang
orangutan antara A dengan C, A dengan E, B dengan C, dan C
dengan D.
A=Hutan rawa gambut
B=Hutan rawa air tawar
C=Hutan tanah aluvial
D=Hutan batu berpasir dataran rendah
E=Hutan granit dataran rendah
81

B. Ketinggian pohon sarang orangutan

Tipe Habitat N Mean Rank Sum of Rank


Hutan rawa gambut 42 32,98 1385,00
Hutan rawa air tawar 26 36,96 961,00
Total 68
Hutan rawa gambut 42 24,17 1015,00
Hutan tanah aluvial 22 48,41 1065,00
Total 64
Hutan rawa gambut 42 33,10 1390,00
Hutan batu berpasir dataran rendah 23 32,83 755,00
Total 65
Hutan rawa gambut 42 24,27 1019,50
Hutan granit dataran rendah 13 40,04 520,50
Total 55
Hutan rawa air tawar 26 19,29 501,50
Hutan tanah aluvial 22 30,66 674,50
Total 48
Hutan rawa air tawar 26 26,75 695,50
Hutan batu berpasir dataran rendah 23 23,02 529,50
Total 49
Hutan rawa air tawar 26 18,04 469,00
Hutan granit daratan rendah 13 23,29 311,00
Total 39
Hutan tanah aluvial 22 30,66 674,50
Hutan batu berpasir dataran rendah 23 15,67 360,50
Total 45
Hutan tanah aluvial 22 19,34 425,50
Hutan granit dataran rendah 13 15,73 204,50
Total 35
Hutan batu berpasir dataran rendah 23 15,33 352,50
Hutan granit dataran rendah 13 24,12 313,50
Total 36
82

Test Statisticsb

A-B A-C A-D A-E B-C

Mann-Whitney U 482,000 112,000 479,000 116,500 150,500


Wilcoxon W 1385,000 1015,000 755,000 1019,500 501,500
Z -,811 -4,964 -,055 -3,113 -2,810
Asymp. Sig. (2- ,417 ,000 ,956 ,002 ,005
tailed)
Exact Sig. [2*(1- - - - - -
tailed Sig.)]

B-D B-E C-D C-E D-E

Mann-Whitney U 253,500 118,000 84,500 113,500 76,500


Wilcoxon W 529,500 469,000 360,500 204,500 352,500
Z -,913 -1,526 -3,831 -1,015 -2,410
Asymp. Sig. (2- ,361 ,127 ,000 ,310 ,016
tailed)
Exact Sig. [2*(1- - ,134a - ,319a ,015a
tailed Sig.)]
a. Not corrected for ties
b. Grouping variable: Tipe habitat
* Keterangan: Terdapat perbedaan yang bermakna (P<0,05) ketinggian pohon
sarang orangutan antara A dengan C, A dengan E, B dengan C, C
dengan D, dan D dengan E.
A=Hutan rawa gambut
B=Hutan rawa air tawar
C=Hutan tanah aluvial
D=Hutan batu berpasir dataran rendah
E=Hutan granit dataran rendah
83

C. DBH pohon sarang orangutan

Tipe Habitat N Mean Rank Sum of Rank


Hutan rawa gambut 42 32,81 1378,00
Hutan rawa air tawar 26 37,23 968,00
Total 68
Hutan rawa gambut 42 25,93 1089,00
Hutan tanah aluvial 22 45,05 991,00
Total 64
Hutan rawa gambut 42 29,21 1227,00
Hutan batu berpasir dataran rendah 23 39,91 918,00
Total 65
Hutan rawa gambut 42 27,20 1142,50
Hutan granit dataran rendah 13 30,58 397,50
Total 55
Hutan rawa air tawar 26 20,54 534,00
Hutan tanah aluvial 22 29,18 642,00
Total 48
Hutan rawa air tawar 26 22,56 586,50
Hutan batu berpasir dataran rendah 23 27,76 638,50
Total 49
Hutan rawa air tawar 26 20,27 527,00
Hutan granit daratan rendah 13 19,46 253,00
Total 39
Hutan tanah aluvial 22 24,25 533,50
Hutan batu berpasir dataran rendah 23 21,80 501,50
Total 45
Hutan tanah aluvial 22 21,14 465,00
Hutan granit dataran rendah 13 12,69 165,00
Total 35
Hutan batu berpasir dataran rendah 23 20,70 476,00
Hutan granit dataran rendah 13 14,62 190,00
Total 36
84

Test Statisticsb

A-B A-C A-D A-E B-C

Mann-Whitney U 475,000 186,000 324,000 239,500 183,000


Wilcoxon W 1378,000 1089,000 1227,000 1142,500 534,000
Z -,896 -3,906 -2,186 -,664 -2,132
Asymp. Sig. (2- ,370 ,000 ,029 ,507 ,033
tailed)
Exact Sig. [2*(1- - - - - -
tailed Sig.)]

B-D B-E C-D C-E D-E

Mann-Whitney U 235,500 162,000 225,500 74,000 99,000


Wilcoxon W 586,500 253,000 501,500 165,000 190,000
Z -1,272 -,209 -,625 -2,357 -1,664
Asymp. Sig. (2- ,203 ,835 ,532 ,018 ,096
tailed)
Exact Sig. [2*(1- - ,848a - ,018a ,100a
tailed Sig.)]
a. Not corrected for ties
b. Grouping variable: Tipe habitat
* Keterangan: Terdapat perbedaan yang bermakna (P<0,05) DBH pohon sarang
orangutan antara A dengan C, A dengan D, B dengan C, dan C
dengan E
A=Hutan rawa gambut
B=Hutan rawa air tawar
C=Hutan tanah aluvial
D=Hutan batu berpasir dataran rendah
E=Hutan granit dataran rendah
85

Lampiran 7. Uji Mann-Whitney perilaku bersarang orangutan remaja di


dua tipe habitat

Mean Sum of
Tipe Habitat N
Rank Rank

Durasi Hutan rawa gambut 2 3,25 6,50


Membuat Hutan batu berpasir dataran rendah 2 1,75 3,50
Sarang Total 4
Tinggi Hutan rawa gambut 2 5,50 11,00
Sarang Hutan batu berpasir dataran rendah 4 2,50 10,00
Total 6
Tinggi Pohon Hutan rawa gambut 2 5,50 11,00
Sarang Hutan batu berpasir dataran rendah 4 2,50 10,00
Total 6
DBH Pohon Hutan rawa gambut 2 5,50 11,00
Sarang Hutan batu berpasir dataran rendah 4 2,50 10,00
Total 6

Test Statisticsb
Durasi
Tinggi Tinggi DBH
Membuat
Sarang Pohon Pohon
Sarang
Mann-Whitney U ,500 0,000 0,000 0,000
Wilcoxon W 3,500 10,000 10,000 10,000
Z -1,225 -1,967 -1,967 -1,852
Asymp. Sig. (2-tailed) ,221 ,049 ,049 ,064
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] ,333a ,133a ,133a ,133a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Tipe habitat
* Keterangan: Terdapat perbedaan yang bermakna (P<0,05) ketinggian sarang dan
ketinggian pohon sarang orangutan remaja ketika berada di hutan
rawa gambut dan hutan batu berpasir dataran rendah
86

Lampiran 8. Uji Kruskal-Wallis perilaku bersarang orangutan betina


dewasa di tiga tipe habitat

Mean
Tipe Habitat N
Rank

Durasi Membuat Hutan rawa air tawar 2 7,00


Sarang Hutan tanah aluvial 4 8,00
Hutan batu berpasir dataran rendah 5 4,00
Total 11
Jarak Pohon Hutan rawa air tawar 2 7,50
Pakan ke Sarang Hutan tanah aluvial 5 6,30
Hutan batu berpasir dataran rendah 5 6,30
Total 12
Ketinggian Hutan rawa air tawar 2 10,50
Sarang Hutan tanah aluvial 5 6,00
Hutan batu berpasir dataran rendah 5 5,40
Total 12
Ketinggian Hutan rawa air tawar 2 11,0
Pohon Sarang Hutan tanah aluvial 6 8,25
Hutan batu berpasir dataran rendah 7 6,93
Total 15
DBH Pohon Hutan rawa air tawar 2 5,00
Sarang Hutan tanah aluvial 6 8,00
Hutan batu berpasir dataran rendah 7 8,86
Total 15

Test Statisticsa,b
Durasi Jarak Pohon Ketinggian DBH
Ketinggian
Membuat Pakan ke Pohon Pohon
Sarang
Sarang Sarang Sarang Sarang
Chi-Square 3,654 0,185 3,263 1,377 1,159
Df 2 2 2 2 2
Asymp. Sig. 0,161 ,912 ,196 ,502 ,560
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Tipe Habitat
* Keterangan: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna (P>0,05) perilaku
bersarang orangutan betina dewasa ketika berada di hutan rawa
air tawar, hutan tanah aluvial dan hutan batu berpasir dataran
rendah.
87

Lampiran 9. Uji Mann-Whitney jarak sarang malam ke pohon pakan pertama


orangutan betina dewasa di dua tipe habitat

Tipe Habitat N Mean Rank Sum of Rank


Hutan tanah aluvial 3 2,33 7,00
Hutan batu berpasir dataran rendah 2 4,00 8,00
Total 5

Test Statisticsb
Jarak Sarang ke Pohon
Pakan Pertama
Mann-Whitney U 1,000
Wilcoxon W 7,000
Z -1,155
Asymp. Sig. (2-tailed) ,248
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,400
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Tipe habitat
* Keterangan: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna (P>0,05) rata-rata jarak
sarang malam ke pohon pakan pertama orangutan betina dewasa
ketika berada di hutan tanah aluvial dan hutan batu berpasir
dataran rendah
88

Lampiran 10. Uji Kruskal-Wallis perilaku bersarang orangutan betina


dewasa dengan anak di empat tipe habitat

Mean
Tipe Habitat N
Rank

Durasi Membuat Hutan rawa gambut 3 4,50


Sarang Hutan rawa air tawar 3 7,67
Hutan tanah aluvial 2 4,50
Hutan batu berpasir dataran rendah 3 6,83
Total 11
Jarak Pohon Hutan rawa gambut 4 8,25
Pakan ke Sarang Hutan rawa air tawar 2 3,00
Hutan tanah aluvial 2 6,50
Hutan batu berpasir dataran rendah 3 4,67
Total 11
Jarak Sarang ke Hutan rawa gambut 3 5,00
Pohon Pakan Hutan rawa air tawar 2 8,00
Hutan tanah aluvial 2 4,50
Hutan batu berpasir dataran rendah 2 2,50
Total 9
Ketinggian Hutan rawa gambut 5 8,70
Sarang Hutan rawa air tawar 3 12,00
Hutan tanah aluvial 2 5,75
Hutan batu berpasir dataran rendah 5 5,80
Total 15
Ketinggian Hutan rawa gambut 6 10,17
Pohon Sarang Hutan rawa air tawar 3 12,33
Hutan tanah aluvial 2 5,25
Hutan batu berpasir dataran rendah 5 5,50
Total 16
DBH Pohon Hutan rawa gambut 6 11,42
Sarang Hutan rawa air tawar 3 9,67
Hutan tanah aluvial 2 4,25
Hutan batu berpasir dataran rendah 5 6,00
Total 16
89

Test Statisticsa,b
Durasi Jarak Pohon Jarak Ketinggian DBH
Ketinggian
Membuat Pakan ke Sarang ke Pohon Pohon
Sarang
Sarang Sarang Pohon Sarang Sarang
Chi-Square 2,093 4,008 4,133 4,420 5,673 5,412
Df 3 3 3 3 3 3
Asymp. Sig. ,553 ,261 ,247 ,220 ,129 ,144
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Tipe Habitat
* Keterangan: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna (P>0,05) perilaku
bersarang orangutan betina dewasa ketika berada di hutan rawa
gambut, hutan rawa air tawar, hutan tanah aluvial dan hutan batu
berpasir dataran rendah.
90

Lampiran 11. Uji Mann-Whitney perilaku bersarang orangutan jantan


berpipi di dua tipe habitat

Mean Sum of
Tipe Habitat N
Rank Rank

Durasi Membuat Hutan rawa gambut 4 3,25 13,00


Sarang Hutan rawa air tawar 2 4,00 8,00
Total 6
Jarak Pohon Hutan rawa gambut 4 3,50 14,00
Pakan ke Sarang Hutan rawa air tawar 2 3,50 7,00
Total 6
Jarak Sarang ke Hutan rawa gambut 3 4,00 12,00
Pohon Pakan Hutan rawa air tawar 2 1,50 3,00
Total 5
Ketinggian Hutan rawa gambut 4 3,00 12,00
Sarang Hutan rawa air tawar 2 4,50 9,00
Total 6
Ketinggian Hutan rawa gambut 6 4,33 26,00
Pohon Sarang Hutan rawa air tawar 2 5,00 10,00
Total 8
DBH Pohon Hutan rawa gambut 6 4,08 24,50
Sarang Hutan rawa air tawar 2 5,75 11,50
Total 8
91

Test Statisticsb
Durasi Jarak Pohon Jarak Sarang
Membuat Pakan ke ke Pohon
Sarang Sarang Pakan
Mann-Whitney U 3,000 4,000 ,000
Wilcoxon W 13,000 7,000 3,000
Z -,707 ,000 -1,732
Asymp. Sig. (2-tailed) ,480 1,000 ,083
a
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,800 1,000a ,200a

Ketinggian Ketinggian DBH Pohon


Sarang Pohon Sarang Sarang
Mann-Whitney U ,000 5,000 3,500
Wilcoxon W 3,000 26,000 24,500
Z -1,732 -,337 -,838
Asymp. Sig. (2-tailed) ,083 ,736 ,402
a a
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,200 ,857 ,429a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Tipe habitat
* Keterangan: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna (P>0,05) perilaku
bersarang orangutan jantan berpipi ketika berada di hutan rawa
gambut dan hutan rawa aor tawar.
92

Lampiran 12. Uji Kruskal-Wallis perilaku bersarang orangutan orangutan


berdasarkan kelas umur

Mean
Kelas Umur Orangutan N
Rank

Durasi Membuat Remaja 4 20,38


Sarang Betina dewasa 11 19,00
Betina dewasa dengan anak 11 16,59
Jantan berpipi 6 9,17
Total 32
Jarak Pohon Pakan Remaja 2 21,00
ke Sarang Betina dewasa 11 16,68
Betina dewasa dengan anak 11 14,73
Jantan berpipi 6 12,92
Total 30
Jarak Sarang ke Remaja 2 19,50
Pohon Pakan Betina dewasa 8 13,88
Betina dewasa dengan anak 12 11,13
Jantan berpipi 5 18,90
Total 27
Ketinggian Sarang Remaja 6 27,08
Betina dewasa 12 18,42
Betina dewasa dengan anak 15 25,03
Jantan berpipi 6 3,50
Total 39
Ketinggian Pohon Remaja 6 29,25
Sarang Betina dewasa 12 19,04
Betina dewasa dengan anak 17 25,65
Jantan berpipi 6 3,50
Total 41
DBH Pohon Sarang Remaja 6 31,92
Betina dewasa 12 19,13
Betina dewasa dengan anak 17 24,38
Jantan berpipi 6 4,25
Total 41
93

Test Statisticsa,b
Durasi Jarak Pohon Jarak Ketinggian DBH
Ketinggian
Membuat Pakan ke Sarang ke Pohon Pohon
Sarang
Sarang Sarang Pohon Sarang Sarang
Chi-Square 5,479 1,581 4,449 18,267 18,915 18,376
Df 3 3 3 3 3 3
Asymp. Sig. ,140 ,664 ,217 ,000 ,000 ,000
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Kelas umur orangutan
* Keterangan: Terdapat perbedaan yang bermakna (P<0,05) ketinggian sarang,
ketinggian pohon sarang dan DBH pohon sarang orangutan
berdasarkan kelas umur orangutan.
94

Lampiran 13. Uji Mann-Whitney ketinggian sarang orangutan berdasarkan


kelas umur

Kelas Umur Orangutn N Mean Rank Sum of Rank


Remaja 6 12,50 75,00
Betina desawa 12 8,00 96,00
Total 18
Remaja 6 12,08 72,50
Betina dewasa dengan anak 15 10,57 158,50
Total 21
Remaja 6 9,50 57,00
Jantan berpipi 6 3,50 21,00
Total 12
Betina dewasa 12 10,92 131,00
Betina dewasa dengan anak 15 16,47 247,00
Total 27
Betina dewasa 12 12,50 150,00
Jantan berpipi 6 3,50 21,00
Total 18
Betina dewasa dengan anak 15 14,00 210,00
Jantan berpipi 6 3,50 21,00
Total 21

Test Statisticsb

A-B A-C A-D B-C B-D C-D

Mann-Whitney U 18,00 38,500 ,000 53,000 ,000 ,000


Wilcoxon W 96,000 158,500 21,000 131,000 21,000 21,000
Z -1,700 -,521 -3,011 -1,816 -3,429 -3,553
Asymp. Sig. (2-tailed) ,089 ,602 ,003 ,069 ,001 ,000
a a a a
Exact Sig. [2*(1-tailed ,102 ,622 ,002 ,075 ,000a ,000a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelas umur orangutan
* Keterangan: Terdapat perbedaan yang bermakna (P<0,05) ketinggian sarang
antara orangutan kelas umur A-D, B-D dan C-D.
A= Remaja
B= Betina dewasa
C= Betina dewasa dengan anak
D= Jantan berpipi
95

Lampiran 14. Uji Mann-Whitney ketinggian pohon sarang orangutan


berdasarkan kelas umur

Kelas Umur Orangutn N Mean Rank Sum of Rank


Remaja 6 12,67 76,00
Betina desawa 12 7,92 95,00
Total 18
Remaja 6 14,08 84,50
Betina dewasa dengan anak 17 11,26 191,50
Total 23
Remaja 6 9,50 57,00
Jantan berpipi 6 3,50 21,00
Total 12
Betina dewasa 12 11,63 139,50
Betina dewasa dengan anak 17 17,38 295,50
Total 29
Betina dewasa 12 12,50 150,00
Jantan berpipi 6 3,50 21,00
Total 18
Betina dewasa dengan anak 17 15,000 255,00
Jantan berpipi 6 3,50 21,00
Total 23

Test Statisticsb

A-B A-C A-D B-C B-D C-D

Mann-Whitney U 17,000 38,500 ,000 61,500 ,000 ,000


Wilcoxon W 95,000 191,500 21,000 139,500 21,000 21,000
Z -1,833 -,889 -2,903 -1,815 -3,389 -3,584
Asymp. Sig. (2-tailed) ,067 ,374 ,004 ,069 ,001 ,000
a a a a
Exact Sig. [2*(1-tailed ,083 ,392 ,002 ,073 ,000a ,000a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelas umur orangutan
* Keterangan: Terdapat perbedaan yang bermakna (P<0,05) ketinggian pohon
sarang antara orangutan kelas umur A-D, B-D dan C-D.
A= Remaja
B= Betina dewasa
C= Betina dewasa dengan anak
D= Jantan berpipi
96

Lampiran 15. Uji Mann-Whitney DBH pohon sarang orangutan


berdasarkan kelas umur

Kelas Umur Orangutn N Mean Rank Sum of Rank


Remaja 6 13,33 80,00
Betina desawa 12 7,58 91,00
Total 18
Remaja 6 16,08 96,50
Betina dewasa dengan anak 17 10,56 179,50
Total 23
Remaja 6 9,50 57,00
Jantan berpipi 6 3,50 21,00
Total 12
Betina dewasa 17 12,42 149,00
Betina dewasa dengan anak 12 16,82 286,00
Total 29
Betina dewasa 12 12,13 145,50
Jantan berpipi 16 4,25 25,50
Total 18
Betina dewasa dengan anak 17 15,00 255,00
Jantan berpipi 6 3,50 21,00
Total 23

Test Statisticsb

A-B A-C A-D B-C B-D C-D

Mann-Whitney U 13,000 26,500 ,000 71,000 4,500 ,000


Wilcoxon W 91,000 179,500 21,000 14,900 25,500 21,000
Z -2,154 -1,717 -2,887 -1,374 -2,953 -3,573
Asymp. Sig. (2-tailed) ,031 ,086 ,004 ,170 ,003 ,000
a a a a
Exact Sig. [2*(1-tailed ,032 ,087 ,002 ,180 ,001a ,000a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelas umur orangutan
* Keterangan: Terdapat perbedaan yang bermakna (P<0,05) DBH pohon sarang
antara orangutan kelas umur A-B, A-D, B-D dan C-D.
A= Remaja
B= Betina dewasa
C= Betina dewasa dengan anak
D= Jantan berpipi
97

Lampiran 16. Pohon yang dijadikan sebagai material sarang orangutan


(survei dan ikut orangutan Focal)

Sumber pakan Material sarang


No. Taksa
orangutan orangutan Focal
1 Aglaia spp. Ya Tidak
2 Alangium spp. Ya Tidak
3 Alphonsia spp. Tidak Ya
4 Aphorusa spp. Tidak Tidak
5 Arthocarpus spp. Ya Ya
6 Baccaurea spp. Ya Ya
7 Boea spp. Tidak Tidak
8 Cabera montiana Tidak Tidak
9 Callophylum spp. Ya Ya
10 Campnosperma spp. Tidak Ya
11 Chaetocarpus spp. Ya Tidak
12 Dacryodes spp. Tidak Tidak
13 Diospyros spp. Ya Tidak
14 Dipterocarpus spp. Ya Ya
15 Durio spp. Ya Tidak
16 Dyera spp. Tidak Ya
17 Eleocarpus spp. Ya Tidak
18 Eugenia spp. Ya Ya
19 Eusideroxylon spp. Tidak Ya
20 Fordia spp. Tidak Tidak
21 Garcinia spp. Ya Tidak
22 Genua spp. Ya Ya
23 Gironierra spp. Ya Tidak
24 Gluta spp. Tidak Ya
25 Goniothalamus spp. Tidak Tidak
26 Gonystylus spp. Tidak Tidak
27 Grewia spp. Ya Ya
28 Gymnacrantera spp. Tidak Ya
29 Hydnocarpus spp. Ya Ya
30 Irvingia spp. Ya Tidak
31 Koompassia spp. Tidak Ya
32 Lithocarpus spp. Ya Ya
33 Litsea spp. Tidak Tidak
34 Malothus spp. Tidak Tidak
35 Mangifera spp. Ya Tidak
36 Memecylon spp. Tidak Tidak
37 Moulthonianthus spp. Tidak Tidak
98

38 Myristica spp. Ya Tidak


39 Nuclea spp. Tidak Tidak
40 Ocanostesis spp. Tidak Tidak
41 Palaquium spp. Ya Ya
42 Planconia spp. Tidak Tidak
43 Polyalthia spp. Ya Tidak
44 Prunus spp. Tidak Tidak
45 Randia spp. Tidak Tidak
46 Santiria spp. Ya Tidak
47 Scapium spp. Ya Tidak
48 Shorea spp. * Ya Ya
49 Stemonurus spp. Tidak Tidak
50 Syzigium spp. Ya Ya
51 Xanthophyllum spp. Ya Ya
Keterangan: * Tidak termasuk Top 50 tumbuhan pakan orangutan (Marshall dan
Knott, unpublished data)
99

Lampiran 17. Beberapa individu orangutan yang diambil data bersarangnya

A D

B E

C F

Keterangan: A=Betsy, B=Beth, C=Asny, D=Walimah, E=Codet dan F=Bibi (Dok.


Tim Peneliti Cabang Panti, 2011).
100

Lampiran 18. Distribusi sarang orangutan (Sumber data sekunder: GPOP)

Tanah
Rawa gambut aluvial Batu Granit
berpasir dataran
dataran rendah
rendah

Rawa air tawar

Granit
dataran
tinggi

Anda mungkin juga menyukai