Anda di halaman 1dari 6

Bab I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada tanggal 20 Juli 2017 terjadi hal yang mengejutkan para


pecinta musik dunia, di hari kamis malam waktu setempat Chester
Bennington vokalis band legendaris dunia Linkin Park diberitakan
meninggal dunia dengan cara gantung diri akibat depresi yang
dideritanya.
Peristiwa ini langsung menjadi pembicaraan di hampir semua
media sosial, di twitter tagar-tagar yang berkaitan dengan Chester
Bennington dan Linkin Park berada di puncak trending topic dunia
termasuk Indonesia. Tidak hanya rasa duka, para pengguna media sosial
juga menggunakan momen kematian Chester Bennington untuk
menggemakan kesadaran tentang kesehatan mental. Ada yang mencoba
memberi pengertian tentang apa yang tengah dirasakan oleh orang-orang
yang mengalami depresi, ada pula yang mengingatkan publik untuk
memperhatikan orang terdekat mereka yang menunjukan tanda-tanda
depresi. (Liputan 6)
Diperkirakan 800.000 orang mati bunuh diri di seluruh dunia setiap
tahunnya. Jika dirata-rata, maka setiap 40 detik terjadi satu kasus bunuh
diri di dunia. WHO (World Health Organization) merilis data terakhir
mengenai fenomena bunuh diri di dunia tahun 2015 diestimasi mencapai
angka 788.000. Disebutkan bahwa persoalan mental merupakan
penyebab utama terjadinya bunuh diri. Lebih dari 90 persen kasus bunuh
diri terkait dengan sakit mental seperti depresi, skizofrenia, dan
sebagainya (Saraceno, 2010).
Di Indonesia sendiri pada 2015 Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat setidaknya ada 812 kasus bunuh diri di seluruh wilayah
Indonesia. Angka tersebut hanyalah yang tercatat dikepolisian, jumlah Riil
di lapangan bisa jadi jauh lebh tinggi.(DataBooks, Kata data), Sedangkan
WHO memiliki data tersendiri, angka kematian akibat bunuh diri di
Indonesia pada 2012 adalah 10.000, tren angka tersebut meningkat
dibandingkan tahun 2010 yang hanya setengahnya, yakni sebesar 5.000.
Data dari LSM IMAJI (Inti Mata Jiwa), Organisasi yang bergerak
dalam kesehatan jiwa dan upaya pencegahan bunuh diri melakukan
penelitian dari tahun 2015 sampai dengan Agustus 2017 dan hasilnya
mengatakan 80% orang bunuh diri dikarenakan depresi, sebagian besar
jumlah korban bunuh diri diidentifikasi menderita penyakit menahun,
selanjutnya masalah ekonomi, masalah keluarga dan memiliki masalah
kejiwaan (BBCNews).
Data-data diatas menunjukan adanya hubungan positif antara
bunuh diri dan depresi, dalam Riset Kesehatan Dasar (RisKesDas) tahun
2013 sendiri memang tidak disebutkan dengan pasti berapa jumlah
penderita depresi di Indonesia, Riskesdas 2013 mengungkap jumlah
penduduk dengan gangguan mental emosional, dimana depresi adalah
salah satu anggotanya menunjukan pravelensi sebesar 14 juta orang atau
6% dari jumlah penduduk Indonesia. (depkes.go.id)

َ َ ًَْ َ ْ ِّ ‫َر‬ ُ ُ َ ْ ُ َ َ ْ َ ُّ ُ
‫الّش َوالخ ْْ ِي ِفتنة ۗ َوِإل ْينا‬ ‫س ذ ِائقة ال َم ْو ِت ۗ َون ْبلوك ْم ِب‬
ٍ ‫كل ن‬
‫ف‬
َ ُ
‫ت ْر َج ُعون‬

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-
benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al-
Anbiya : 35)

Surat Al-Anbiya ayat 35 diatas menjelaskan bahwa setiap individu


pasti akan mendapatkan ujian, baik itu ujian keburukan atau kebaikan.
Ujian dengan keburukan akan muncul sebagai pengalaman yang tidak
menyenangkan berupa kehilangan, kemunduran, kerugian atau
kegagalan, ataupun hanya seperti yang dikatakan oleh Freud sebagai
“Everyday Misery”.
Emosi marah dan sedih disertai perasaan menyakitkan yang
muncul akibat suatu pengalaman negatif adalah hal yang wajar dan
biasanya terjadi sementara, bahkan pengalaman tersebut dapat
memunculkan kesempatan bagi perkembangan dan peningkatan pribadi
seseorang.
Namun saat kesedihan terus berlanjut dan mengganggu
kehidupan sehari-hari, ini mungkin merupakan indikasi adanya gangguan
depresi. Tingkat keparahan, durasi dan adanya gejala lainnya adalah
faktor yang membedakan depresi klinis dengan kesedihan normal.
Depresi masuk dalam kategori gangguan mood (perasaan) dengan
ditandai dengan kesedihan yang amat sangat, perasaan tidak berarti dan
bersalah, menarik diri dari orang lain, siklus tidur terganggu, kehilangan
minat serta kesenangan dalam aktivitas yang biasa dilakukan dan ide
berbahaya seperti menyakiti orang lain atau pun bunuh diri.
Diagnosis gangguan depresi juga dapat dilihat dari ada atau
tidaknya gejala episode depresi disertai dengan gejala psikotik. Gejala
psikotik yang didapatkan seperti adanya waham, halusinasi, atau stupor
depresif. Jika tanda tanda depresi dimiliki seseorang kemudian muncul
pula gejala gejala psikotik maka biasa disebut dengan gangguan depresi
dengan gejala psikotik.
Penderita depresi mempunyai negatif self scema (skema diri
negatif) atau dipresogenic schemata yaitu pola berpikir negatif dalam
menginterpretasikan sesuatu atau peristiwa baik yang dialami secara
nyata maupun tidak nyata, bila yang menekan negatif life event maka ada
kecenderungan untuk berkembang kearah pola berpikir yang
menyimpang (cognitive distortions). Pola berpikir menyimpang pada
penderita depresi meliputi pandangan negatif tentang diri, dunia dan
masa depannya yang dikenal dengan “tri tunggal pola pikir negatif”.
(Namora)
Gangguan depresi umumnya terjadi saat stres yang dialami oleh
seseorang tidak kunjung reda, depresi yang dialami berkolerasi dengan
kejadian dramatis yang menimpa seseorang seperti kematian seseorang
yang dikenal, kehilangan pekerjaan, trauma dengan kejadian tertentu,
masalah keuangan, kegagalan atau kehilangan orang terdekat.
Stres menurut Gunarsa (dalam Yosep) adalah gangguan pada
tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan
kehidupan yang dipengaruhi oleh lingkungan maupun individu dalam
lingkungan tersebut.
Respon stress dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu respon
fisiologis, kognitif, emosi dan tingkah laku. Respon fisiologis ditandai
dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung dan sistem
pernapasan. Respon kognitif dapat dilihat dari terganggunya proses
kognitif Individu, seperti pikiran menjadi kacau, menurunya daya
konsentrasi, pikiran berulang dan pikiran tak wajar. Respon emosi dapat
muncul secara luas seperti takut, cemas, malu, sedih dan marah. Dan
respon tingkah laku dapat berupa Fight, yaitu melawan situasi yang
menekan atau Flight menghindari situasi yang menekan.
Allah SWT telah mengingatkan dalam surat Al-Baqoroh 286

‫سا إِّ هَل ُو ْسعا اها‬


ً ‫َّللاُ نا ْف‬
‫ف ه‬ ُ ‫اَل يُ اك ِّل‬
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya”
maka manusia tidak perlu mengalami stres yang berkepanjangan dalam
menghadapi suatu tekanan hidup yang kemudian membuat individu
menjadi berpeluang menderita depresi, karena setiap masalah (stressor)
selalu ada cara untuk menghadapinya.
Manusia memiliki suatu mekanisme yang disebut strategi coping,
meskipun terkadang strategi coping yang dipilih oleh individu tidak selalu
berhasil meredam stres. Seperti pendapat Carel et.al (dalam paser dan
smith) kegagalan dari fungsi coping yang digunakan dapat saja terjadi,
jika individu tidak menggunakan coping skill yang cukup untuk
menghadapi situasi berbahaya, sehingga akhirnya individu akan
mengalami kepercayaan diri yang rendah dan percaya mereka tidak akan
dapat menghadapi permasalahan.
Coping itu sendiri dapat diartikan sebuah cara atau perilaku
individu untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Lazarus dan
Folkman (dalam wangsadjaja) mendefinisikan coping sebagai perubahan
kognitif dan perilaku yang berlangsung secara terus menerus, untuk
mengatasi tuntutan eksternal atau internal yang dinilai sebagai beban
atau melampaui sumber daya yang dimiliki oleh individu tersebut
Selain stress dan coping, kepribadian juga berhubungan erat
dengan depresi, karena kepribadian merupakan suatu organisasi dinamis
yang dimiliki seseorang dan akan menentukan tingkah laku serta
pemikiran individu secara khas sehingga seseorang dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungan dan menghadapi suatu permasalahan. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ni Komang yang
menyimpulkan adanya hubungan tipe kepribadian ekstrovert introvert
dengan depresi pada lanjut usia.
Berdasarkan latar belakang di atas, sangat penting bagi kita untuk
memperhatikan secara mendalam gambaran stres yang sedang dihadapi
dan strategi apa yang digunakan untuk menyesuaikan diri dalam
melawan stres yang dialami oleh penderita depresi yang disertai dengan
gejala psikotik tersebut dan bagaimana sebenarnya kepribadian yang dia
miliki.
Dengan rumusan masalah tersebut penulis mengajukan penelitian
dengan judul “Gambaran Stres, Coping dan Kepribadian pada
Penderita Depresi yang Disertai Gejala Psikotik”.

B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini adalah
bagaimana gambaran Gambaran Stres, Coping dan Kepribadian
seseorang yang mengalami gangguan depresi disertai gejala psikotik.

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Gambaran Stres, Coping dan
Kepribadian seseorang yang mengalami gangguan depresi disertai gejala
psikotik.

D. Manfaat Penelitian
Apabila penelitian ini dilaksanakan, maka hasil penelitiannya akan
bermanfaat sebagai:
1. Teoritis
Sebagai bahan informasi penting untuk perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya untuk psikologi abnormal dan psikologi klinis.
2. Praktis
a. Sebagai informasi penting bagi keluarga yang memiliki anggota
keluarga yang mengalami depresi, agar lebih bisa memahami,
menerima, merawat serta memberikan pendekatan yang positif.
b. Bagi masyarakat umum, agar bisa menerima, memahami, dan
bisa melakukan pendekatan yang positif pada orang yang
mengalami depresi bukan malah mengejek dan mengucilkannya.
c. Memberi inspirasi bagi orang lain yang menderita gangguan yang
serupa maupun yang tidak memderita gangguan serupa agar
mampu keluar dari masalahnya dan berbuat lebih baik lagi.

Anda mungkin juga menyukai