Anda di halaman 1dari 9

Melibatkan banyak dimensi untuk mencapai efektivitas pelayanan, serta

kebutuhan terhadap pelayanan publik yang dapat dipertanggung jawabkan

(responsibility), memiliki daya tanggap yang kuat (responsiveness) dan mampu

mewakili kepentinag masyarakat (representativeness) berdasar ketentuan hukum

dan aturan yang berlaku dengan pancaran hati nurani (accountability). Penerapan

konsep new public service dalam pelayanan publik ini menjadi semakin penting

karena senantiasa berhubungan dengan khalayak masyarakat ramai yang memiliki

keaneka ragaman kepentingan dan tujuan.

Paradigma new public service pelayanan publik berdasarkan teori

demokrasi dengan mengajarkan adanya egliter dan persamaan hak diantara warga

negara. Pada model ini kepentinagan publik dirumuskan sebagai hasil dialog dari

beberapa nilai yang ada dalam masyarakat. Kepentingan publik bukan hanya

dirumuskan oleh elit politik tetapi juga secara bersama-sama dengan pengguna

pelayanan publik. Dasar teoritis pelayan publik yang ideal menurut paradigma new

public service yaitu pelayanan publik yang harus responsif terhadap berbagai

kepentingan dan nilai – nilai publik yang ada. Tugas pemerintah darah adalah

melakukan negosiasi dan mengelaborasi berbagai kepentinagan masyarakat dan

kelompok komunitas, hal ini mengandung pengertian bahwa karakter dan nilai yang

terkandung didalam pelayanan publik tersebut harus berisi preferensi nilai-nilai yang

ada di dalam masyarakat. Karakter pelayanan publik juga harus selalu berubah

mengikuti perkembangan masyarakat, hal ini karena perubahan lingkungan bersifat

dinamis. (Dwiyanto, 2006:145).

Pemahaman demikian secara tematik merupakan alasan fundamental

dari kehendak publik untuk menyusun perangkat hukum dalam rangka membangun

pelayan-pe;ayan publik (public servicer) yang mengedepankan prinsip-prinsip


demokrasi, transparasi, akuntabilitas, responsibilitas dengan paradigma baru (the

new paradigm), berubahnya birokrasi sebagai pangreh menjadi abdi (pelayan)

masyarakat. Disamping itu pelayan publik model baru harus bersifat non-

diskriminatif sebagaimana dimaksud dasar teoritis yang digunakan yaitu teori

demokrasi yang menjamin adanya persamaan warga negara tanpa membeda-

bedakan asal-usul, kesukaan, ras, etnik, agama, dan latar belakang kepartaian. Ini

berarti setiap warga negara diperlakukan secara sama ketika berhadapan dengan

birokrasi politik untuk menerima pelayanan sepanjang syarat-syarat yang dibutuhkan

terpenuhi. Hubungan yang terjalin antara birokrat publik dengan warga negara

adalah hubungan impersonal sehingga terhindar dari sifat neptisme dan

primodialisme ( Denhardt dan Denhardt, 2003:28-29).

Preskripsi tersebut hampir bertolak belkang dengan praktek pelayanan

publik yang dimotori oleh pemerintah, termasuk untuk konteks indonesia

kontemporer. Sebagai pelaksana kontrak sosial yang digariskan sebelumnya,

pemerintah justru menimbulkan banyak masalah bagi publik yang menjadi kliennya.

Sangat masuk akal jika pemerintah kemudian mendapat berbagai stigma negatif.

Jauh dari menjadi bagian dari solusi (a part of solution), pemerintah justru menjadi

bagian dari masalah (a part of problem), bahkan masalah utama dalam proses

penyelenggaraan pelayanan publik (Weiss, 1995:112). Perubahan-perubahan yang

terjadi pada era reformasi hanya mengubah strukturnya saja dari bagian

pemerintahan negara RI, sementara kulturnya masih tetap seperti yang lama.

Pergeseran paradigma administrasi publik dari new public management

menuju new public service menurut kondisi active citizenship yang menempatkan

masyarakat sebagai pemilik pemerintahan. Era ini ditandai dengan adanya

partisipasi masyarakat yang efektif dalam administrasi publik. Namun demikian,


dukungan terhadap pastisipasif secara otomatis berlangsung dalam pemerintahan

karena ada banyak persoalan yang bisa saja menghambat. Persoalan, praktek dan

studi administrasi publik di berbagai negara terus berkembang. Berbagai perubahan

terjadi seiring dengan berkembangnya komplesitas persoalan yang dihadapi oleh

pejabat publik. Terjadinya perubahan perilaku warga negara terhadap

penyelenggaraan negara, membuat warga negara semakin intens memperhatikan

kinerja pemerintah dan peranan warga negara dalam penetapan kebijakan-kebijakan

pemerintah.

1.1.2 Permasalahan Pelayanan Publik dalam Pengelolaan Sampah di Indonesia

Bank dunia dalam World Development Report (2004:18-24) dan hasil

penelitian Governance and Desentralization Survey (GDS) (2002:12) melaporkan

bahwa pelayanan publik di Indinesia masih sangat rendah. Rendahnya kualitas

pelayanan publik merupakan msalah klasik di Indonesia. Selanjutnya, Bank Dunia

(2007:1) dalam laporan Doing Business 2010: Reforming trhough Difficult Times,

Indonesia mengalami peningkatan dari peringkat 129 ke peringkat dunia ke-122

dalam hal kemudahan berusaha sebagai hasil langkah-langkah reformasi yang

diselenggarakan oleh Indonedia. Indonesia juga berhasil meningkatkan transparansi,

akuntabilitas pelayanan publik namun belum berhasil meningkatkan pemerataan

pelayanan publik. Meskipun mengalami peningkatan, pelayanan publik masih sulit

diakses kelompok miskin, selain juga menjadi salah satu penyebab ekonomi biaya

tinggi (high cost economy) yang membebani kinerja ekonomi. Dssentralisasi dalam

beberapa hal telah berhasil mendokumentasikan sejumlah inovasi baru daerah yang

dikembangkan pada masa implementasi otonomi daerah. Namun dalam hal lain
masyarakat lokal belum sepenuhnya menikmati desentralisasi yang diberikan ke

daerah.

Governance and Desentralization Survey (2001:2-3) menemukan tiga

masalah penting yang banyak terjadi dilapangan dalam penyelenggaraan pelayanan

publik, pertama, besarnya diskriminasi pelayanan. Penyelenggaraan pelayan masih

sangat dipengaruhi oleh hubungan kerabat, kesamaan afiliasi politik, etnis, dan

agama. Fenomena semacam ini masih marak walaupun telah diberlakukan UU No.

28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dari KKN yang secara

tegas menyatakan keharusan adanya kesamaan pelayanan, bukan diskriminasi.

Kedua, tidak adanya kepatian biaya dan waktu pelayanan. Ketiga, rendahnya tingkat

kepuasan masyarakatterhadap pelayanan publik. Ini merupakan konsekuensi logis

dari adanya diskriminasi pelayanan dan ketidakpastian tersebut.

Usaha terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik yang dilakukan

oleh birokrasi pemerintahan bukanlah pekerjaan mudah mengingat perbaharuan

tersebut menyangkut berbagai aspek yang telah membudaya dalam lingkaran

birokrasi pemerintahan. Di antara beberapa aspek tersebut adalah kultur birokrasi

yang tidak kondusif yang telah lama mewarnai pola pikir birokrat sejak era kolonial

dahulu. Prosedur dan etika pelayanan yang berkembang dalam birokrasi kita sangat

jauh dari nilai –nilai dan praktik yang menghargai warga bangsa sebagai warga

negara yang berdaulat. Prosedur pelayanan misalnya, tidak dibuat ubtuk

mempermudah pelayanan, tetapi lebih untuk melakukan kontrol terhadap perilaku

warga sehingga prosedurnya berbelit-belit dan rumit (Dwiyanto, 2003:111-114).

Pemerintah juga telah secara terurat bertekad untuk memperbaiki

pelayanan publik, yang dapat dilihat antara lain dalam GBHN yang ingin

mewujudkan birokrasi yang sesuai dengan hati nurani rakyat, dikeluarkannya surat
keputusan MENPAN No. 81/1993 tentang Pedoman Penganugerahan Piala Abdi

Satya-bakti dan Inpres 1/1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan

Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat. Di daerah-daerah Tingkat II juga telah

dibentuk UPMT (Unit Pelayanan Masyarakat Terpadu). Namun demikian, pelayanan

publik di Indonesia masih juga memiliki banyak permasalahan.

Salah satu permasalahan yang menjadi indikator rendahnya kualitas

pelayanan publik di Indonesia adalah berkaitan dengan pelayanan terhadap

perbaikan kualitas lingkungan hidup di perkotaan. Agglomerasi memberikan

keuntungan berupa pertumbuhan ekonomi, ketenagakerjaan, menaikkan

pendapatan dan meningkatkan ekspor. Dalam hal ini agglomerasi memberikan

dampak negatif yaitu pemusatan limbah baik industri, rumah tangga dan kegiatan

transportasi dikawasan perkotaan memiliki pengaruh yang serius dan melahirkan

bahaya terhadap kesehatan dan kehidupan penduduk perkotaan di Indonesia (World

Development Bank, 2004:2).

Salah satu tantangan yang dihadapi oleh pengelola perkotaan dalam

pelayanan publik adalah penanganan masalah persampahan. Fenomena

persampahan yang berada pada 384 kota di Indonesia. Tercatat meningkat dari 80,2

juta ton/hari pada tahun 2006. Penanganan sampah yang diangkut dan dibuang ke

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sebesar 10,4%, dibakar sebesar 24,8 %, hanyut

ke sungai 1,9 % dan tidak tertangani sebesar 62,9%. Rendahnya penangnan

tersebut selain disebabkan oleh semakin meningkatnya penduduk perkotaan, juga

terbatasnya kendaraan pengangkut sampah, serta sistem pengelolaan TPA yang

kurang tepat dan tidak ramah lingkungan . besarnya timbunan sampah yang belum

tertangani, menyebabkan berbagai fenomena permasalahan baik langsung maupun

tidak langsung bagi penduduk perkotaan. Selain menimbulkan bau dan sumber
berbagai penyakit menular, sampah padat mengganggu parit/selokan,

mengakibatkan banjir pada musim hujan , memberi kontribusi terhadap polusi udara

di perkotaan juga pudarnya nilai-nilai keindahan kota karena maraknya tumpukan-

tumpukan sampah (Bank Dunia, 2008:2).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2007, dari 384 kota

yang menimbulkan sampah mencapai 137.446,32 atau meningkat 71,3 dari tahun

2000 sebesar 80.235,87 ton setiap hari. Penanganan sampah yang diangkut dan

dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah sebesar 4,4 %, yang dibakar

sebesar 38,7 %, yang dibuang ke sungai 4,2 %, dan tidak tertangani sebear 52,7 %

(Bappenas 2007). Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya

pertambahan penduduk dan arus urbanisasi yang pesat telah menyebabkan

timbulan sampah pada daerah perkotaan semakin tinggi , kendaraan pengangkut

yang jumlah maupun kondisinya kurang memadai, sistem pengelolaan TPA yang

kurang tepat dan tidak ramah lingkungan, dan belum diterapkannya pendekatan

reduce, reuse dan recycle (3R). Besarnya timbunan sampah yang tidak dapat

ditangani tersebut akan menyebabkan berbagai permasalahan baik langsung

maupun tidak langsung bagi penduduk kota. Dampak langsung dari penanganan

sampah yang kurang bijaksana diantaranya adalah berbagai penyakit menular

maupun penyakit kulit serta gangguan pernafasan, sedangkan dampak tidak

langsungnya diantaranya adalah bahaya banjir yang disebabkan oleh terhambtanya

arus air disungai karena terhalang timbunan sampah yang dibuang ke sungai.

Berdasarkan data Bank Dunia (2008:2) tampak bahwa pada saat ini

sampah sulit dikelola karena berbagai hal, antara lain : cepatnya perkembangan

teknologi, lebih cepat daripada kemampuan masayarakat untuk mengelola dan

memahami persoalan sampah, meningkatnya tingkat hidup masyarakat yang tidak


disertai dengan keselarasan pengetahuan tentang sampah, meningkatnya biaya

operasional pengelolaan sampah, pengelolaan sampah yang tidak efisien dan tidak

benar menimbulkan permasalan pencemaran udara, tanah dan air serta

menurunnya estetika, ketidakmampuan memelihara barang, mutu produk teknologi

yang rendah akan mempercepat menjadi sampah, semakin sulitnya mendapat lahan

sebagai tempat pembuangan akhir sampah, semakin banyaknya masyarakat yang

keberatan bahwa daerahnya dipakai tempat pembuangan sampah, sulitnya

menyimpan sampah yang cepat busuk, karena cuaca yang panas, sulitnya mencario

partisipai masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya dan memelihara

kebersihan, serta pembiayaan yang tidak memadai, mengingat bahwa sampai saat

ini kebanyakan sampah dikelola oleh pemerintah.

1.1.3 Prospek Implementasi New Public Service terhadap Efektifitas Pelayanan

Publik dalam Pengelolaan Sampah di Kota Jambi

New Public Service merupakan paradigma yang relatif masih baru dalam

kajian administrasi negara. New Public Service berakar dari teori demokrasi

kewargaan, model komunitas dan masyarakat sipil, teori organisasi humanis dan

administrasi negara baru serta administrasi negara post modern. New Public Service

berusaha menutupi kekurangan-kekurangan pada paradigma OPA (Old Publik

Administration) dan NPM (New Public Management) dengan menawarkan sejumlah

opsi. Inti dari paradigma New Public Service adalah mereposisi peran negara dan

pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. New Public

Management berhasil diterapkan di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Selandia

Baru dan beberapa negara maju lainnya, tetapi banyak negara berkembang,
termasuk indonesia dan negara miskin, seperti negara-negara di kawasan benua

Afrika yang gagal menerapkan konsep New Public Management karena tidak sesuai

dengan landasan ideologi, politik, ekonomi, dan sosial budaya negara yang

bersangkutan. Akhirnya negara tersebut tetap miskin dan tidak menunjukkan adanya

tanda-tanda kemajuan.

Implementasi New Public Service di negara berkembang seperti

Indonesia yang sangat rendah seperti pengelolaan sampah.

Timbunan sampah dikota Jambi pada tahun 2006 perharinya mencapai

1.284,643 M3 dengan sumber sampah terbesar bersal dari rumah tangga sebesar

535,781,36 M3. Tidak semua sampah dapat diangkut ke TPA setiap harinya, selama

beberapa tahun terakhir tingkat pelayanan pengangkutan sampah dikota Jambi

mencapai rata-rata 40%.

Tabel 1. Timbunan Sampah dan Jumlah Sampah yang Terangkut di Kota Jambi dari
tahun 2001 sampai dengan tahun 2006
terangkut/tahun (M3)

Persentase sampah
yang terangkut (%)
sampah/tahun (M3)

terangkut/hari (M3)
sampah/hari (M3)

Jumlah sampah

Jumlah sampah
Timbunan

Timbunan
Tahun

yang

2001 1050,5 378.180 425,00 153.000 40,46


2002 1089,00 395.040 450,00 162.000 41,32
2003 1150,89 414.320 480,00 172.800 41,71
2004 1162,1 418.356 482,00 173.520 41,47
2005 1167,95 420.462 540,00 194.400 46,23
2006 1248,64 449.510 560,00 201.600 44,85
Sumber : Laporan Tahunan Kantor Kebersihan dan Pemakaman Kota Jambi, 2007.
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa jumlah produksi sampah di

kota jambi selalu mengalama kenaikan tiap tahun. Jenis dan kualitas sampah juga

bertambah seiring dengan kehidupan masyarakat yang cenderung konsumeristis.

Kondisi ini memaksa pemerintah kota Jambi memacu kemampuan untuk mengelola

sampah dengan baik dan benar berdasarkan pengetahuan yang sebetulnya relatif

minim. Namun demikian, niat baik

Anda mungkin juga menyukai