Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

KONSEP NAFS dan RUH dalam ISLAM

Dan

KONSEKUENSI MENYATU dan TERPISAHNYA


RUH dengan JASAD

oleh :

YOLANDA PUTRI.D

NIM : 1306142010065

Kelas : 1B

Dosen Pembimbing:

Dra.BISWARNI

STIkes YARSI SUMBAR

BUKITTINGGI

TAHUN AJARAN 2013/2014


KATA PENGANTAR

Dengan Hormat,

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan rahmat
Nya,sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini sesuai jadwal dan waktu yang telah
ditentukan.

Dalam pembuatan tugas ini yang berjudul” “KONSEP NAFS dan RUH dalam ISLAM
Dan KONSEKUENSI MENYATU dan TERPISAHNYA RUH dengan JASAD juga
tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu saya menyampaikan terima kasih
kepada semua pihak yang terkait:

1.Pembimbing yang telah memberikan masukan dan arahan

2. Pihak yang telah memberikan dukungan

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun demi
penulisan dikemudian hari.

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................

DAFTAR ISI.....................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................

Latar Belakang.......................................................................................

Tujuan...................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................

Konsep nafs dan ruh dalam islam............................................................

Konsekuensi menyatu dan terpisahnya ruh dan jasad..............................

BAB III PENUTUP............................................................................................

Kesimpulan.............................................................................................

Saran.......................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Secara bahasa dalam kamus al-Munjid, nafs (jama’nya nufus dan anfus) berarti ruh
(roh) dan ‘ain (diri sendiri). Sedangkan dalam kamus al- Munawir disebutkan bahwa kata
nafs (jamaknya anfus dan nufus) itu berarti roh dan jiwa, juga berarti al-jasad (badan, tubuh),
al-sahsh (orang), al-sahsh alinsan (diri orang), al-dzat atau al’ain (diri sendiri). Sedangkan
menurut Dawan Raharjo dalam Ensiklopedia al-Qur’an disebutkan bahwa dalam al-Qur’an
nafs yang jama’nya anfus dan nufus diartikan jiwa (soul), pribadi (person), diri (self atau
selves), hidup (life), hati (heart), atau pikiran (mind), di samping juga dipakai untuk beberapa
arti lainnya.

Hubungan antara jiwa dan jasad juga menjadi pembahasan dalam kajian filsafat Islam.
Namun, disini kita mungkin hanya mengemukakan pendapat Ibnu Sina.Menurut Ibn Sina
antara jasad dan jiwa memiliki korelasi sedemikian kuat, saling bantu membantu tanpa henti-
hentinya. Jiwa tidak akan pernah mencapai tahap fenomenal tanpa adanya jasad. Begitu tahap
ini dicapai ia menjadi sumber hidup, pengatur, dan potensi jasad, bagaikan nakhoda (al-
rubban) begitu memasuki kapal ia menjadi pusat penggerak, pengatur dan potensi bagi kapal
itu.

Jika bukan karena jasad, maka jiwa tidak akan ada, karena tersedianya jasad untuk
menerima, merupakan kemestian baginya wujudnya jiwa, dan spesifiknya jasad terhadap jiwa
merupakan prinsip entitas dan independennya jiwa. Tidak mungkin terdapat jiwa kecuali jika
telah terdapat materi fisik yang tersedia untuknya. Sejak pertumbuhannya, jiwa memerlukan,
tergantung, dan diciptakan karena (tersedianya) jasad.

TUJUAN
1. Agar kita dapat mengetahui konsep nafs dan ruh dalam islam

2. Agar kita dapat mengetahui konsekuensi menyatu dan terpisahnya ruh dengan jasad
BAB II
ISI
Konsep Nafs dan Ruh dalam Islam
Secara bahasa dalam kamus al-Munjid, nafs (jama’nya nufus dan anfus) berarti ruh
(roh) dan ‘ain (diri sendiri). Sedangkan dalam kamus al- Munawir disebutkan bahwa kata
nafs (jamaknya anfus dan nufus) itu berarti roh dan jiwa, juga berarti al-jasad (badan, tubuh),
al-sahsh (orang), al-sahsh alinsan (diri orang), al-dzat atau al’ain (diri sendiri). Sedangkan
menurut Dawan Raharjo dalam Ensiklopedia al-Qur’an disebutkan bahwa dalam al-Qur’an
nafs yang jama’nya anfus dan nufus diartikan jiwa (soul), pribadi (person), diri (self atau
selves), hidup (life), hati (heart), atau pikiran (mind), di samping juga dipakai untuk beberapa
arti lainnya.

Dalam kitab Lisan al-Arab, Ibnu Manzur menjelaskan bahwa kata nafs dalam bahasa
Arab digunakan dalam dua pengertian yakni nafs dalam pengertian nyawa, dan nafs yang
mengandung makna keseluruhan dari sesuatu dan hakikatnya menunjuk kepada diri pribadi.
Setiap manusia memiliki dua nafs, nafs akal dan nafs ruh. Hilangnya nafs akal
menyebabkan manusia tidak dapat berpikir namun ia tetap hidup, ini terlihat ketika manusia
dalam keadaan tidur. Sedangkan hilangnya nafs ruh, menyebabkan hilangnya kehidupan.

Para ahli tasawuf membagi perkembangan jiwa menjadi tiga tingkatan:

 Tingkat pertama manusia cenderung untuk hanya memenuhi naluri rendahnya yang
disebut dengan jiwa hayawaniyah/ kebinatangan (nafs ammarah) berdasar pada surat
Yusuf (12) ayat 53.
 Tingkat kedua, manusia sudah mulai untuk menyadari kesalahan dan dosanya, ketika
telah berkenalan dengan petunjuk Ilahi, di sini telah terjadi apa yang disebutnya
kebangkitan rohani dalam diri manusia. Pada waktu itu manusia telah memasuki jiwa
kemanusiaan, disebut dengan jiwa kemanusiaan (nafs lawwamah) berdasar pada surat
al-Qayimah (73) ayat 2.
 Tingkat ketiga adalah jiwa ketuhanan yang telah masuk dalam kepribadian manusia,
disebut jiwa ketuhanan (nafs muthmainnah) berdasar pada surat al-Infithar (89) ayat
27-30. Tingkatan jiwa ini hampir sama dengan konsep psikoanalisanya Freud yaitu Id,
Ego, dan Superego13.

Fazlurrahman menjelaskan terkait dengan tingkatan-tingkatan jiwa bahwa sebaiknya


dipahami sebagai keadaan-keadaan, aspek-aspek, watak-watak, atau kecenderungan pribadi
manusia yang bersifat psikis (yang berbeda dengan Phisik), yang tidak dipahami sebagai
sebuah substansi yang terpisah. Maka nafs (jiwa) sebaiknya dipahami sebagai totalitas daya-
daya ruhani berikut interaksinya dan aktualisasinya dalam kehidupan manusia. Quraish
Shihab cenderung memahami nafs sebagai sesuatu yang merupakan hasil perpaduan jasmani
dan ruhani manusia. Perpaduan yang kemudian menjadikan yang bersangkutan mengenal
perasaan, emosi, dan pengetahuan serta dikenal dan dibedakan dengan manusia-manusia
lainnya.

Kata nafs dalam surat al-Qaaf (50) ayat 16, mengandung makna hati sebagai potensi
internal pada diri manusia yang aktif membisikkan (mutawaswisu bihi nafsuhu/apa yang
dibisikkan oleh hatinya). Nafs dalam pengertian ini diasumsikan sebagai gerak imanen (gerak
dalam) yang bersifat qalbiyah (ke-hati-an), dan sebagai pusat grativasi manusia, pusat
komando yang mengatur seluruh potensi kemanusiaan. Nafs ini berisi impuls-impuls yang
berupa rasa sedih, rasa benci, rasa iri hati, yang terkumpul dalam hati. Nafs diciptakan oleh
Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi menampung serta mendorong manusia
berbuat kebaikan dan keburukan.

Dari kata nafs dalam al-Qur’an, timbul kata nafsu yang dalam kata bahasa Indonesia
telah berubah sama sekali artinya yang artinya syahwat, bersifat pejoratif, berkonotasi
seksual. Pada hal kata nafs yang bermakna nafsu sendiri itu sendiri bersifat netral, bisa baik
dan buruk. Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal kata nafsu yang dipahami sebagai
daya yang terdapat dalam diri setiap manusia. Nafsu ini walaupun tidak tampak dirasakan
kehadirannya ketika seseorang terdorong dengan dukungan emosi atau perasaan yang kental,
untuk bertindak dan memuaskan batinya. Nafsu ini disebut juga nafsu syahwat (libido).
Tetapi bernafsu tidak hanya identik dengan seks, bernafsu bisa digunakan untuk sebagainya.
Dalam al-Qur’an sendiri menyebutkan bahwa syahwat adalah merupakan anugerah dari
Tuhan (QS:31;14).

Dalam bahasa Inggris nafsu disebut juga passion, lust, desire, yang bersifat netral,
identik dengan berhasrat dalam bahasa Indonesia. Namun dalam pengertian sehari-hari di
Indonesia mengandung konotasi negatif. Padahal nafsu sendiri adalah gejala alamiah, dan
juga manusiawi, karena ia merupakan bagian dari instink, naluri atau tabiat yang sudah ada
pada manusia sejak lahir.

Sebagaimana dalam surat Yusuf (12) ayat 253 yang menjelaskan bahwa nafsu pada
umumnya mendorong kepada kehendak-kehendak rendah yang menjurus hal-hal yang
negatif. Namun ada pula nafsu yang mendapat rahmat yang membawa kepada kebaikan yang
kelak dalam perkembangan ilmu tasawuf disebut sebagai al-nafs al-muthmainnah atau
kepribadian yang mengandung sifat kasih sayang. Dari sini dapat dijelaskan bahwa dalam al-
Qur’an ada dua jenis nafsu, yaitu nafsu yang berdampak negatif akan dilaknat oleh Allah, dan
nafsu yang positif akan mendapatkan rahmat-Nya.

Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa nafs atau nafsu, emosi, memiliki


kecenderungan terhadap kejelekan. Namun demikian emosi yang ada pada manusia ibarat
pisau bermata dua, emosi dapat membawa bencana, tetapi juga mendorong manusia
mencapai puncak keilmuan yang sangat tinggi. Sebenarnya dalam al-Qur’an terdapat dua
kata yang sama-sama diartikan nafsu yaitu kata nafs itu sendiri dan hawa dan ahwa berarti
hasrat (desire), hawa nafsu (lust). Kata hawa atau bahwa disebut 17 kali dalam al-Qur’an.

Secara etimologis, kata hawa bermakna kosong, jauh, sedangkan dari sudut
leksiologis kata tersebut bermakna kecenderungan atau kecintaan kepada yang jelek,
kecenderungan hati kepada kejelekan. Al-Raghib menambahkan bahwa kecenderungan jiwa
pada syahwat disebut al-hawa, karena ia menjatuhkan seseorang akan kehidupan dunia ini
kedalam kecelakaan dan dalam kehidupan akhirat ke dalam neraka.

Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa pengertian hawa nafsu itu berhubungan erat
dengan syahwat, sehingga menurut Toshihiku Izutsu, kata hawa merupakan sinonim dari kata
syahwat, yakni suatu kata yang bermakna keinginan atau nafsu. Bahkan dalam konteks
tersebut kata syahwat dapat menggantikan kata hawa tanpa menyebabkan perubahan makna
yang nyata. Dalam surat al-Zumar (39) ayat 92, disebutkan bahwa kata nafs yang berarti ruh,
yaitu ketika Allah mengambil alih (yutawaffa) nafs (ruh) dari badan manusia. Para mufassir
menjelaskan bahwa terputusnya ruh dzahir dan ruh batin menyebabkan kematian. Jika
hanya ruh dzahirnya saja yang terputus maka hanya akan menyebabkan menusia tidak dapat
berfikir, seperti ketika manusia dalam keadaan tidur. Oleh karena itu jika manusia telah
sampai pada ajalnya maka Allah akan mencabut nafs ruh al-hayat sekaligus nafs ruh al-aql.
Dalam al-Qur’an dibedakan antara ruh dan nafs, pada kedua kata itu bukanlah
sinonim. Kata ruh disebutkan sebanyak 21 kali, antara lain menunjuk arti pembawa wahyu
(QS:26;192-195), dan ruh yang membuat hidup manusia (QS:15;126). Sedangkan kata nafs
dalam al-Qur’an semua memiliki pengertian dzat secara umum terdiri dari dua unsur material
dan immatrial, yang akan mati dan terbunuh (QS: 32;9). Dengan kemutlakan seperti ini, maka
kata nafs bukanlah sinonim dari kata al-ruh.

Dalam al-Qur’an, nafs adalah sesuatu yang dikenai sifat-sifat tenang dan rela (QS:al-
Fajr;27), penuh harap-harap cemas dan takut (QS:al-A’raf;205), mencari keyakinan (QS;an-
Naml;146), terpengaruh (QS:al-Hasyr;9), menipu (QS:al-Baqarah;9), dengki (QS : al-
Baqarah;109), dan was-was (QS : al-Qaaf;16). Kata nafs juga berkaitan dengan iman serta
kafir, dan petunjuk serta sesat (QS:al-Nisa’15, al-An’am;92), juga dosa dan taqwa (QS:al-
Nisa’107, nafs yang dikenai beban ta’lif (QS : al-An’am; 152, al-Taubah; 7), sebagaimana ia
mendapat balasan pahala dan siksa (QS:al-Fajr;27, al-Muzammil;20, al-Isra’14).

Sedangkan al-jism atau al-jasad tidak disebutkan al-Qur’an untuk membicarakan


balasan dan perhitungan amal. Kata al-jasad disebut hanya 4 kali, yang berarti gambaran dan
bentuk (QS:al-A’raf;148, Thaaha;88, al-Anbiya’;8, Shaad;344). Begitu juga kata al-jism
disebut hanya 2 kali, sekali dalam bentuk mufrad dalam cerita tentang Thaluth (QS:al-
Baqarah;247), dan lainnya dalam bentuk jama’ tentang orang-orang munafiq (QS:al-
Munafiqun;4). Hal ini berarti Allah menghindari penggunaan kata al-Jasad dan al-jism untuk
pembicaraan tentang akherat, karena ingin memberitahukan bahwa pahala dan siksa di
akherat tidak berkaitan dengan jasad saja, melainkan juga berkaitan dengan nafs.

Dengan demikian, bahwa dengan adanya kenyataan jarangnya al-Qur’an


menggunakan kata al-jism dan al-jasad membuat kata nafs masuk ke dalam pemikiran Islam
dengan arti ruh. Mereka berfikir bahwa kematian atau terbunuhnya jiwa akan menjadikan
kosong dan berhentinya kehidupan. Ini dapat dilihat sebagian kamus bahasa menyebut kata
al-ruh itu dengan kata nafs. Sehingga masalah ini menjadi diskursus oleh pemikir dan filosof,
namun kalau diperhatikan mereka jarang membedakan antara ruh dan nafs. Mereka
menyembutkan ruh pada hal yang dimaksudkan adalah nafs, dan sebaliknya.

Fazlur Rahman menjelaskan mengenai nafs dalam al-Qur’an, kata ini dalam filsafat
dan tasawuf Islam telah menjadi konsep tentang jiwa dengan pengertian bahwa ia adalah
substansi yang terpisah dari jasmani. Jiwa yang dikatakan juga sebagai diri atau batin
manusia memang dinyatakan oleh al-Qur’an dengan realitas pada manusia, tetapi ia tidak
terpisah secara eklusif dari raga. Dengan kata lain, menurut Fazlur Rahman, al-Qur’an tidak
mendukung doktrin dualisme yang radikal antara jiwa dan raga. Menurut penafsirannya nafs
yang sering diterjemahkan menjadi jiwa (soul), sebenarnya berarti pribadi, perasaan, atau
aku.

Adapun predikat yang beberapa kali disebut dalam al-Qur’an hanyalah dan
seharusnya dipahami sebagai kaidah-kaidah, aspek-aspek, watak-watak, dan kecenderungan-
kecenderungan yang ada pada pribadi manusia. Hal ini seharusnya dipahami sebagai aspek
mental, sebagai lawan dari aspek phisik, tetapi tidak sebagai substansi yang terpisah.
Sedangkan diskursus menganai jiwa oleh para pemikir muslim seperti al-Ghazali yang
mengkaji konsep nafs secara mendalam.

Menurut al-Ghazali nafs itu mempunyai dua arti, arti nafs yang pertama adalah nafsu-
nafsu rendah yang kaitannya dengan raga dan kejiwaan, seperti dorongan agresif (al-
ghadlab), dan dorongan erotik (al-syahwat), yang keduanya dimiliki oleh hewan dan
manusia. Adapun nafs yang kedua adalah nafs muthmainah yang lembut, halus, suci dan
tenang yang diundang oleh Tuhan sendiri dengan lembutnya untuk masuk ke dalam surga-
Nya (QS:al-Fajr;27-28).

Konsep Ruh Menurut Islam

Manusia adalah makhluk sempurna yang kehadirannya menjadi tanda tanya besar
bagi berbagai kalangan, terutama para ilmuan dan filosof. Hampir semua kalangan tidak ingin
mengabaikan fenomena besar dari penciptaan tersebut. Jasad, akal, perasaan dan jiwa yang
merupakan unsur penting manusia adalah bagian yang paling sering dibahas dalam kajian
keilmuan. Umumnya penelitian ilmiah hingga saat ini hanya mampu mengetahui unsur-unsur
fisik yang ada pada manusia. Namun unsur dibalik fisik terutama jiwa masih menjadi
‘misterius’ dan perdebatan yang panjang dikalangan ilmuan dan para filosof. Karena
kebenaran tetang hal tersebut masih sulit dibuktikan secara jelas.

Dalam tradisi keilmuan Barat persolaan jiwa oleh sebahagian ilmuan tidak menjadi
perhatian utama, karena kebenarannya masih dianggap spekulatif dan cenderung subjektif.
Ilmu psikologi modern -yang menjadi referensi dalam kajian kejiwaan saat ini- secara umum
belum mampu mengurai secara jelas hakikat dari jiwa manusia. Kajiannya hanya mampu
mengurai prinsip-prinsip umum dan gejala dari jiwa manusia. Umumnya masih berupa
kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya hipotesis dari pengalaman seorang ilmuan atau
peneliti. Sigmunt Freud salah satu contoh yang membangun psikologi dari pengalaman
kejiwaannya. Ia sering diagungkan sebagai bapak psikologi modern, karena telah
membangun sebuah teori psikoanalisa dalam ilmu psikologi. Jika dibaca dalam sejarah
hidupnya mulai sejak kecil ia sudah menjadi cacian oleh anak-anak lain dengan sebutan
“anjing Yahudi” maka dari kejadian ini yang mempengaruhi dirinya merasa kurang harga diri
atau minder. Dari perasaan tersebut kemudian ia menyimpulkan bahwa ada unsur “het
onbewuste” (ketidaksadaran) pada diri manusia.

Dalam kondisi ketidaksadaran jiwa, “complex seksual” (seks yang memuncak) yang
terkandung dalam dirinya memegang peranan penting sehingga mempengaruhi sikap
seseorang seperti marah, sedih, senang, duka dan lain-lain. Apa yang disimpulkan Sigmunt
Freud hanya berdasarkan pengalaman individu dan analisis umum dari kondisi jiwa manusia
yang ia pahami dari pengalaman hidup. Dalam hal ini keakuratan analisisnya masih
debathable. Makanya setelah itu bermunculan aliran-aliran psikologi lainnya seperti
psikoalitis Gustav Yung dan Behaviorisme yang membantah teori yang digagas oleh
Sigmund Freud. Ini menandakan bahwa ilmu jiwa dalam kajian Barat masih sulit untuk
ditemukan kebenarannya, selain karena mengutamakan supremasi rasio dan analisis empiris,
juga karena tidak memiliki pedoman kebenaran. Hal ini yang sangat berbeda dengan Islam.

Dalam tradisi keilmuan Islam kajian jiwa manusia justru mendapat perhatian penting.
Hampir semua ulama, kaum sufi dan filosof muslim ikut berbicara tentangnya dan
menganggapnya sebagai bagian yang lebih dahulu diketahui oleh seorang manusia. Karena
dimensi jiwa dalam Islam lebih tinggi dari sekedar dimensi fisik karena jiwa merupakan
bagian metafisika. Ia sebagai penggerak dari seluruh aktifitas fisik manusia. Meskipun saling
membutuhkan antara jiwa dan jasad, namun peran jiwa akan lebih banyak mempengaruhi
jasad. Kesimpulan-kesimpulan tersebut selain berdasarkan analisis keilmuan tapi terpenting
Islam memiliki pedoman yang menjelaskan tentang hakikat tersebut (baca: jiwa) yaitu Al-
Qur’an dan Hadist.

Dari pedoman ini yang kemudian kajian tentang jiwa menjadi lebih luas dalam Islam
dibandingkan dalam tradisi diluarnya. Maka, menarik untuk dibahas dan pentingnya untuk
diketahui bagaimana Islam menjelaskan tentang jiwa baik dari eksistensi, potensi maupun
hakikatnya. Karena dimensi jiwa adalah bagian ayat-ayat kauniyah dimana peran akal
menjadi utama dalam hal ini. Selain memudahkan manusia mengetahui eksistensi dirinya
juga terpenting mengetahui jiwanya akan memudahkan manusia mengenal Tuhannya.

Definisi Jiwa

Kata jiwa berasal dari bahasa arab (‫ )النفس‬atau nafs’ yang secara harfiah bisa
diterjemahkan sebagai jiwa, dalam bahasa Inggris disebut soul atau spiri. Secara istilah kata
jiwa dapat merujuk pada beberapa pandangan ulama dan filusuf muslim. Para filosof muslim
-terutama al-Kindi, al-Farabi dan Ibn Sina- umumnya sepakat mendefiniskan bahwa jiwa
adalah “kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik dan memiliki
kehidupan yang energik.” Secara lebih rinci yang dimaksudkan ‘kesempurnaan awal bagi
fisik yang bersifat alamiah’ adalah bahwa manusia dikatakan menjadi sempurna ketika
menjadi makhluk yang bertindak. Sebab jiwa merupakan kesempurnaan pertama bagi fisik
alamiah dan bukan bagi fisik buatan. Kemudian makna ‘mekanistik’ adalah bahwa badan
menjalankan fungsinya melalui perantara alat-alat, yaitu anggota tubuhnya yang beragam.
Sedangkan makna ‘memiliki kehidupan yang energik’ adalah bahwa di dalam dirinya
terkandung kesiapan hidup dan persiapan untuk menerima jiwa.

Agaknya definisi jiwa di atas sedikit berbeda dengan Ibn Hazm juga mendefinisikan
jiwa bukan substansi tapi ia adalah non-fisik. Jiwa mempersepsikan semua hal, mengatur
tubuh, bersifat efektif, rasional, memiliki kemampuan membedakan, memiliki kemampuan
dialog dan terbebani. Jiwa adalah letak munculnya berbagai perasaan, kesedihan,
kebahagiaan, kemarahan, dan sebagainya. Lebih jauh Ikhwan ash-Shafa mendefiniskan jiwa
sebagai substansi ruhaniah yang mengandung unsur langit dan nuraniyah, hidup dengan
zatnya, mengetahui dengan daya, efektif secara tabiat, mengalami proses belajar, aktif di
dalam tubuh, memanfaatkan tubuh serta memahami bentuk segala sesuatu.

Dalam karyanya Ahwal an-Nafs, Ibnu Sina tidak membantah pendapat di atas. Ia
membenarkan pendapat –disertai dengan argumen yang panjang- yang mengatakan bahwa
jiwa adalah substansi ruhani yang memancar kepada raga dan menghidupkannya lalu
menjadikannya alat untuk mendapatkan pengetahuan dan ilmu, sehingga dengan keduanya ia
bisa menyempurnakan dirinya dan mengenal Tuhannya.

Jika merujuk pada pendapat kalangan sufi, akan terlihat definisi yang sangat kontras
dari apa yang dipahami oleh para filosof muslim. Hampir seluruh sufi sepakat bahwa jiwa
adalah sumber segala keburukan dan dosa. Sebab ia adalah sumber syahwat dan keinginan
meraih kesenangan. Al-Qusyairi mempertegas bahwa jiwa itu berwujud sendiri. Ia
merupakan unsur halus yang dititipkan dalam raga manusia. Unsur halus ini merupakan
tempat akhlak yang sakit. Jika diperhatikan dari penjelasan tersebut barangkali jiwa yang
dimaksudkan kaum sufi lebih mengarah pada istilah hawa nafsu. Jika jiwa dalam makna itu
yang dimaksudkan, maka jelas berbeda dengan pandangan filosof muslim yang menganggap
jiwa adalah ruh yang berupa zat dan substansi.

Mendefinisakan jiwa bukanlah perkara yang mudah bahkan lebih sukar daripada
membuktikan adanya. Maka, wajar ketika ditemukan ada perbedaan dalam memahami arti
dari jiwa, karena perbedaan tersebut sebenarnya hanya karena metode dan cara pandang yang
berbeda antara para filosof dan kalangan Sufi. Metode analisis filosof lebih berpijak pada
mantiq dan logika, sedangkan sufi lebih mengedepankan akal dan intuisi, sehingga ini yang
membuat kesimpulan berbeda. Terpenting di sini adalah bahwa definisi jiwa mengacu pada
substansi utama yang ada pada diri manusia, yang memiliki peran sentral mengatur gerak dari
tubuh dan memiliki daya dan cara kerjanya sendiri. Tentu akan jauh lebih luas dari sekedar
definisi jika melihat bagaimana Al-Qur’an dan Hadist menjelaskan tentang keberadaan jiwa.

Istilah Jiwa dalam Hadist Rasulullah saw.

Selain dalam Al-Qur’an, beberapa hadist Rasulullah saw. juga menyinggung persoalan
jiwa. Sama halnya dengan Al-Qur’an kata nafs (jiwa) juga digunakan dalam makna yang
beragam. Dalam hadist Rasulullah saw., penggunaan kata nafs (jiwa) dapat ditemukan dalam
berbagai bentuk diantaranya:

1. Nafs dalam arti perasaan dan perilaku

Lafaz nafs dalam hadist sering mengandung makna wijdaan, suluuk, syu’uur (feeling),
maupun ihsaas (sensasion) yang semuanya menunjuk kepada sesuatu yang terbetik atau
bergejolak di dalam diri manusia. Dengan sesuatu inilah manusia kemudian memiliki
perasaan dan emosi terhadap sesuatu yang selanjutnya diterjemahkan ke dalam tingkah laku.
Seperti beberapa hadist berikut:
Ummul Mu’minin ‘Aisyah berkata, “Suatu hari, Rasulullah saw., keluar dari kediaman
saya dengan perasaan gembira (thibb an-nafs). Akan tetapi ketika kembali beliau terlihat
sedih sehingga saya terdorong untuk menanyakan penyebabnya. Beliau kemudian menjawab,

“Sesungguhnya saya tadi masuk ke dalam Ka’bah. Tiba-tiba muncul pemikiran kalau saya
tadi tidak melakukan hal tersebut. Hal itu disebabkan saya khawatir akan memberatkan umat
saya yang dating kemudian.” (HR. Muslim).

Dalam hadist lain, Rasulullah saw. mengisyaratkan bahwa ketenangan dan


ketenteraman hati seorang mukmin sangat terkait dengan keridhaan Allah swt. dan
pencapaian pahala dari-Nya. Diriwayatkan bahwa Abu Thalhah al-Anshari berkata, “Suatu
pagi, Rasulullah saw. Terlihat gembira (thibb an-nafs). Bisa-bisa kegembiraan tersebut
terpancar jelas dari wajah beliau sehingga para sahabat berkomentar, “Wahai Rasulullah
saw., engkau terlihat gembira sekali hari ini. Wajah engkau tampak berseri-seri. Rasulullah
saw. Kemudian bersabda,

“Benar, tadi malaikat datang kepadaku dari Tuhanku azza Wajalla dan seraya berkata,
“siapa saja di antara umatmu yang bershalawat satu kali kepada mu maka Allah swt. Akan
menuliskan baginya sepuluh kebaikan, menghapus sepuluh kesalahannya, mengangkat
derajatnya sepuluh tingkat, serta menjauhkannya dari kebalikannya (kehinaan) sebanyak itu
pula.”” (HR. Ahmad).

Lebih lanjut, Rasulullah saw. juga menerangkan bahwa fitrah (karakter dasar)
manusia adalah baik (cenderung kepada kebaikan) dan sesungguhnya Allah menjadikannya
sebagai tolak ukur (hakim) terhadap apa-apa yang akan dilakukan atau diusahakannya.
Artinya, jika nurani merasa tenang dan mantap terhadap sesuatu maka sesuatu itu halal dan
baik. Sebaliknya, jika nurani menentang maka hal itu menandakan sesuatu itu dosa dan
penyimpangan dari kebenaran. Walaupun demikian, walaupun demikian, hal tersebut
mempunyai persyaratan bahwa nurani yang dimaksud adalah yang senantiasa berserah diri
kepada Allah.

Diriwayatkan bahwa Muslim bin Musykam berkata bahwa dia mendengar al-
Khusyani berkata, “saya pernah bertanya kepada Rasulullah saw., ‘beri tahukanlah kepada
saya bagaimana caranya mengetahui bahwa sessuatu itu di halalkan atau diharamkan bagi
saya.’ Rasulullah saw. Kemudian berdiri. Setelah meluruskan pandangannya beliau bersabda,
“Sesuatu yang baik itu adalah yang membuat perasaan (nafs) tenteram dan hati tenang.
Sebaliknya, dosa itu adalah yang membuat perasaan tidak tenang dan hati gelisah sekalipun
orang banyak memberikan fatwa.” (HR. Ahmad).

2. Nafs dalam arti zat atau esensi manusia

Disamping makna di atas, kata nafs juga dipakai dalam arti zat/esensi manusia itu
sendiri yang dengan keberadaannya setiap tindakan manusia menjadi bernilai. Seperti dalam
hadist Rasulullah saw.;

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah bertanya kepada Abdullah bin Amru bin
‘Ash, “Engkau orang yang senatiasa puasa sepanjang hari dan melakukan shalat sepanjang
malam?” Abdullah menjawab, “Benar.” Rasulullah saw. kemudian berkata, “Jika kamu
teruskan kebiasaan seperti itu maka matamu akan sakit dan jiwamu akan menjadi letih.
Tidak dibolehkan melakukan puasa dahr (setiap hari). Berpuasa tiga hari (disetiap
pertengahan bulan) adalah laksana berpuasa sepanjang tahun.”Abdullah lalu berkata,
“Akan tetapi, saya measa sanggup melakukan yang lebih dari itu.” Rasulullah saw.
selanjutnya menjawab, “Jika demikian maka berpuasalah seperti puasanya Dawud a.s., yaitu
berpuasa sehari kemudian berbuka sehari…” (HR Bukhari).

Dalam hadist lain, Rasulullah saw. bersabda,

“Mimpi itu muncul dari tiga sumber: ucapan batin (nafs) manusia, gangguan setan, serta
berita gembira dari Allah swt.. oleh karena itu, siapa yang bermimpi melihat sesuatu yang
tidak disukainya maka janganlah menceritakannya kepada orang lain, tetapi hendaklah ia
segera bangun dan melakukan shalat.” (HR. Bukhari).

3. Nafs dalam arti ruh manusia

Lafaz nafs kebanyakan dipergunakan dalam makna ruh. Dalam hal ini bisa dilihat dari
beberapa hadist berikut;

Anas bin Malik r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya tentang perbuatan-
perbuatan yang dikategorikan dosa besar. Beliau lalu menjawab,“Mempersekutukan Allah
swt. Durhaka terhadap kedua orang tua, membunuh jiwa dan melakukan sumpah palsu.”
(HR Bukhari).
Abu Hurairah r.a juga diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “hindarilah tuuh
perkara yang menghancurkan!”. Para sahabat lalu bertanya, “apa saja ke tujuh perkara itu,
wahai Rasulullah saw.?” Beliau menjawab, Mempersekutukan Allah swt., (melakukan) sihir,
membunuh jiwa yang diharankam Allah swt. Kecuali dengan alasan yang benar, memakan
riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, serta menuduh perempuan mukmin
yang baik dan shaleh (melakukan perbuatan perzinaan.”(HR Bukhari).

Beberapa hadist di atas hanya sebagai contoh lafaz nafs yang menjadi referensi utama
dalam kajian jiwa. Tentu masih banyak hadist-hadist yang lainnya yang menjelaskan secara
lebih detail hingga sifat-sifat, karakter dan tabiat jiwa.

Seminal konsep jiwa yang terkandung dalam al-Qur’an dan hadist Rasulullah saw.
tersebut –dan beberapa yang lainnya yang tidak tersebutkan dalam pembahasan di atas-
kemudian menjadi perhatian oleh para ulama hingga mengembangkannya menjadi sebuah
konsep dalam keilmuan Islam, terutama bagi para filosof muslim dan kalangan sufi yang
secara intens dan mendalam membahas tentang persolan ini (baca: jiwa).

Pengertian 9 Ruh dalam Diri

Menurut ilmu batin pada diri manusia terdapat sembilan jenis Roh. Masing-masing
roh mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Ke sembilan macam roh yang ada pada manusia itu
adalah sebagai berikut:

1. Roh Idhofi (Roh Idhofi) : adalah roh yang sangat utama bagi manusia. Roh Idofi juga
disebut ”JAUHAR AWAL SUCI”, karena roh inilah maka manusia dapat hidup. Bila roh
tersebut keluar dari raga, maka manusia yang bersangkutan akan mati. Roh ini sering disebut
”NYAWA”. Roh Idhofi merupakan sumber dari roh-roh lainnya pun akan turut serta. Tetapi
sebaliknya kalau salah satu roh yang keluar dari raga, maka roh Idhofi tetap akan tinggal
didalam jasad dan manusia itu tetap hidup.

Bagi mereka yang sudah sampai pada irodat allah atau kebatinan tinggi, tentu akan bisa
menjumpai roh ini dengan penglihatannya. Dan wujudnya mirip diri sendiri, baik rupa
maupun suara serta segala sesuatunya. Bagai berdiri di depan cermin.
Meskipun roh-roh yang lain juga demikian, tetapi kita dapat membedakannya dengan roh
yang satu ini. Alamnya roh idhofi berupa nur terang benderang dan rasanya sejuk tenteram
(bukan dingin). Tentu saja kita dapat menjumpainya bila sudah mencapai tingkat “INSAN
KAMIL”.
2. Roh Robbani : Roh yang dikuasai dan diperintah oleh roh idofi. Alamnya roh ini ada dalam
cahaya kuning diam tak bergerak. Bila kita berhasil menjumpainya maka kita tak mempunyai
kehendak apa-apa. Hatipun terasa tenteram. Tubuh tak merasakan apa-apa.

3. Roh Rohani : Roh inipun juga dikuasai oleh roh idofi. Karena adanya roh Rohani ini, maka
manusia memiliki kehendak dua rupa. Kadang-kadang suka sesuatu, tetapi di lain waktu ia
tak menyukainya. Roh ini mempengaruhi perbuatan baik dan perbuatan buruk.

Kalau manusia ditinggalkan oleh roh rohani ini, maka manusia itu tidak mempunyai nafsu
lagi, sebab semua nafsu manusia itu roh rohani yang mengendalikannya. Maka, kalau
manusia sudah bisa mengendalikan roh rohani ini dengan baik, ia akan hidup dalam
kemuliaan. Roh rohani ini sifatnya selalu mengikuti penglihatan yang melihat.

Dimana pandangan kita tempatkan, disitu roh rohani berada. Sebelum kita dapat
menjumpainya, terlebih dulu kita akan melihat bermacam-macam cahaya bagai kunang-
kunang. Setelah cahaya-cahaya ini menghilang, barulah muncul roh rohani itu.

4. Roh Nurani : Roh ini dibawah pengaruh roh-roh Idofi. Roh Nurani ini mempunyai
pembawa sifat terang. Karena adanya roh ini menjadikan manusia yang bersangkutan jadi
terang hatinya. Roh Nurani ini hanya menguasai nafsu Mutmainah saja. Maka bila manusia
ditunggui Roh Nurani maka nafsu Mutmainahnya akan menonjol, mengalahkan nafsu-nafsu
lainnya.

Hati orang itu jadi tenteram, perilakunya pun baik dan terpuji. Air mukanya bercahaya, tidak
banyak bicara, tidak ragu-ragu dalam menghadapi segala sesuatu, tidak protes bila ditimpa
kesusahan. Suka, sedih, bahagia dan menderita dipandang sama.

5. Roh Kudus (Roh Suci) : Roh yang di bawah kekuasaan Roh Idhofi juga. Roh ini
mempengaruhi orang yang bersangkutan mau memberi pertolongan kepada sesama manusia,
mempengaruhi berbuat kebajikan dan mempengaruhi berbuat ibadah sesuai dengan
kepercayaan yang dianutnya.
6. Roh Rohmani : Roh dibawah kekuasaan roh idhofi pula. Roh ini juga disebut Roh
Pemurah. Karena diambil dari kata ”Rahman” yang artinya pemurah. Roh ini mempengaruhi
manusia bersifat sosial, suka memberi.

7. Roh Jasmani : Roh yang juga di bawah kekuasaan Roh Idofi. Roh ini menguasai seluruh
darah dan urat syaraf manusia. Karena adanya roh jasmani ini maka manusia dapat
merasakan adanya rasa sakit, lesu, lelah, segar dan lain-lainnya. Bila Roh ini keluar dari
tubuh, maka ditusuk jarumpun tubuh tidak terasa sakit. Kalau kita berhasil menjumpainya,
maka ujudnya akan sama dengan kita, hanya berwarna merah.

Roh jasmani ini menguasai nafsu amarah dan nafsu hewani. Nafsu hewani ini memiliki sifat
dan kegemaran seperti binatang, misalnya: malas, suka setubuh, serakah, mau menang sendiri
dan lain sebagainya.

8. Roh Nabati : ialah roh yang mengendalikan perkembangan dan pertumbuhan badan. Roh
ini juga di bawah kekuasaasn ruh Idhofi.

9. Roh Rewani : ialah roh yang menjaga raga kita. Bila Roh Rewani keluar dari tubuh maka
orang yang bersangkutan akan tidur. Bila masuk ke tubuh orang akan terjaga. Bila orang tidur
bermimpi dengan arwah seseorang, maka roh rewani dari orang bermimpi itulah yang
menjumpainya.

Jadi mimpi itu hasil kerja roh rewani yang mengendalikan otak manusia. Roh Rewani ini juga
di bawah kekuasaan Roh Idofi. Jadi kepergian Roh Rewani dan kehadirannya kembali diatur
oleh Roh Idhofi. Demikian juga roh-roh lainnya dalam tubuh, sangat dekat hubungannya
dengan roh Idofi.

Perbedaan Jiwa dan Ruh

Sebagaimana halnya para filosof muslim, kaum sufi umumnya juga membedakan
antara jiwa dan ruh. Namun sepertinya kedua terma tersebut lebih banyak yang
membedakannya. Abu Bakar bin Yazdanidar –salah seorang sufi- mengatakan, “Ruh adalah
ladang kebaikan, sebab ia sumber rahmat. Sedangkan jiwa dan jasad adalah ladang
keburukan, sebab ia sumber syahwat. Watak ruh adalah berkehendak pada kebaikan,
sedangkan watak jiwa berkehendak kepada keburukan dan hawa. Jika ruh –menurut al-Hakim
at-Tirmidzi- bersifat kealamluhuran, kelangitan, halus serta diciptakan dari campuran udara
dan air, maka jiwa adalah bersifat kebumian (ardhiyyah) yang kotor dan diciptakan dari tanah
dan api. Kebiasaan ruh adalah ketaatan, sedangkan kebiasaan jiwa adalah syahwat dan
kesenangan duniawi.

Menurut at-Tirmidzi jiwa dan ruh adalah dua lokus kebaikan dan keburukan pada diri
manusia. Keduanya memang memiliki perbedaan yang mencolok terutama dalam tabiat dan
unsur esensinya yaitu jiwa bagian dari ruh. Ruh bersifat dingin sedang jiwa bersifat panas.
Ruh menurutnya memiliki fungsi yang berbeda-beda. Di antara ruh ada yang berfungsi untuk
kehidupan, mengetahui dan keabadian. Tapi semuanya adalah ruh yang menuju kepada arah
luhur. Ini yang membedakan dengan jiwa yang tabiatnya menuju sesuatu yang rendah.

Sesungguhnya perbedaan mengenai ruh dan jiwa sangat jelas digambarkan oleh kaum
sufi. Meskipun sebagian ulama ada yang menyamakan antara jiwa dan ruh seperti Ibnu
Qayyim dan al-Ghazali. Jiwa adalah ruh itu sendiri. Pendapat ini juga diikuti sebagian besar
para filusuf muslim.
Konsekuensi Menyatu dan Terpisahnya Ruh dengan Jasad

Hubungan antara jiwa dan jasad juga menjadi pembahasan dalam kajian filsafat Islam.
Namun, disini kita mungkin hanya mengemukakan pendapat Ibnu Sina.Menurut Ibn Sina
antara jasad dan jiwa memiliki korelasi sedemikian kuat, saling bantu membantu tanpa henti-
hentinya. Jiwa tidak akan pernah mencapai tahap fenomenal tanpa adanya jasad. Begitu tahap
ini dicapai ia menjadi sumber hidup, pengatur, dan potensi jasad, bagaikan nakhoda (al-
rubban) begitu memasuki kapal ia menjadi pusat penggerak, pengatur dan potensi bagi kapal
itu.

Jika bukan karena jasad, maka jiwa tidak akan ada, karena tersedianya jasad untuk
menerima, merupakan kemestian baginya wujudnya jiwa, dan spesifiknya jasad terhadap jiwa
merupakan prinsip entitas dan independennya jiwa. Tidak mungkin terdapat jiwa kecuali jika
telah terdapat materi fisik yang tersedia untuknya. Sejak pertumbuhannya, jiwa memerlukan,
tergantung, dan diciptakan karena (tersedianya) jasad. Dalam aktualisasi fungsinya, jiwa
mempergunakan dan memerlukan jasad, misalnya berpikir yang merupakan fungsi
spesifiknya tak akan sempurna kecuali jika indera turut membantu dengan jiwa sebagai
penggerak atau motorik.

Selanjutnya dalam pandangannya pikiran –yang merupakan bagian jiwa- mempunyai


pengaruh yang luar biasa terhadap fisik. Berdasarkan pengalaman medisnya, Ibn Sina
menyatakan bahwa sebenarnya secara fisik orang-orang sakit, hanya dengan kekuatan
kemauannyalah dapat menjadi sembuh. Begitu juga orang yang sehat, dapat benar-benar
menjadi sakit bila terpengaruh oleh pikirannya bahwa ia sakit. Demikian pula, jika sepotong
kayu diletakkan melintang di atas jalan sejengkal, orang dapat berjalan di atas kayu tersebut
dengan baik.

Akan tetapi jika kayu diletakkan sebagai jembatan yang di bawahnya terdapat jurang
yang dalam, orang hampir tidak dapat melintas di atasnya, tanpa benar-benar jatuh. Hal ini
disebabkan ia menggambarkan kepada dirinya sendiri tentang kemungkinan jatuh sedemikian
rupa, sehingga kekuatan alamiah jasadnya menjadi benar-benar seperti yang digambarkan itu.

Korelasi antara jiwa dan jasad, menurut Ibn Sina tidak terdapat pada satu individu
saja. Jiwa yang cukup kuat, bahkan dapat menyembuhkan dan menyakitkan badan lain tanpa
mempergunakan sarana apapun. Dalam hal ini ia menunjukkan bukti fenomena hipnotis dan
sugesti (al-wahm al’amil) serta sihir. Mengenai masalah ini, Hellenisme memandang sebagai
benar-benar ghaib, sementara Ibn Sina mampu mengkaji secara ilmiah dengan cara
mendeskripsikan betapa jiwa yang kuat itu mampu mempengaruhi fenomena yang bersifat
fisik. Dengan demikian ia telah berlepas diri dari kecenderungan Yunani yang menganggap
hal-hal tersebut sebagai gejala paranatural, pada campur tangan dewa-dewa.

Mengenai keabadian jiwa, baik Ibnu Sina maupun al-Ghazali meyakini bahwa jiwa
akan tetap ada (kekal) setelah jasad hancur. Karena hakikat jiwa –menurut al-Ghazali-
bersifat kealam-luhuran (‘uluwiyyah samawiyyah). Meskipun jiwa akan tetap kekal abadi,
namun keabadian jiwa bukanlah keabadian yang hakiki sebagaimana keabadian dan
kekekalan yang Maha Kekal. Keabadian jiwa menurut Ibnu Sina sebagai sesuatu yang
mempunyai awal tetapi tidak mempunyai akhir. Ini berarti kekekalan jiwa adalah kekekalan
karena dikekalkan Allah pada akhirnya yang tidak berujung, sedangkan awalnya adalah baru
dan dicipta. Artinya jiwa punya akhir tidak punya awal. Jiwa tidak mungkin digambarkan
sebelum adanya tubuh.

Demikian pemahaman jiwa dalam pandangan filosof muslim. Jika kita melihat
kesimpulan-kesimpulan yang dikemukakan berlandaskan penalaran ilmiah dan lebih
mengendepankan logika. hampir tidak ditemukan argumentasi mereka berdasarkan dari dalil-
dalil al-Qur’an dan Hadist. Dilihat sekilas konsep yang dikembangkan oleh mereka memang
seperti itu adanya secara ril terjadi pada jiwa manusia. Sesungguhnya apa yang disimpulkan
tentu sesuatu lebih dapat diterima dalam tradisi keilmuan Islam dibandingkan konsep yang
ditawarkan oleh filosof Yunani maupun Barat yang sama sekali tidak mengarah pada
hubungan vertikal dengan Sang Pencipta.

Definisi mati menurut Al-Qur’an

Mati menurut pengertian secara umum adalah keluarnya Ruh dari jasad, kalau
menurut ilmu kedokteran orang baru dikatakan mati jika jantungnya sudah berhenti
berdenyut. Mati menurut Al-Qur’an adalah terpisahnya Ruh dari jasad dan hidup adalah
bertemunya Ruh dengan Jasad. Kita mengalami saat terpisahnya Ruh dari jasad sebanyak dua
kali dan mengalami pertemuan Ruh dengan jasad sebanyak dua kali pula. Terpisahnya Ruh
dari jasad untuk pertama kali adalah ketika kita masih berada dialam Ruh, ini adalah saat
mati yang pertama. Seluruh Ruh manusia ketika itu belum memiliki jasad. Allah
mengumpulkan mereka dialam Ruh dan berfirman sebagai disebutkan dalam surat Al A’raaf
172:

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami),
kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu
tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)”, (Al A’raaf 172)

Selanjutnya Allah menciptakan tubuh manusia berupa janin didalam rahim seorang
ibu, ketika usia janin mencapai 120 hari Allah meniupkan Ruh yang tersimpan dialam Ruh
itu kedalam Rahim ibu, tiba-tiba janin itu hidup, ditandai dengan mulai berdetaknya jantung
janin tersebut. Itulah saat kehidupan manusia yang pertama kali, selanjutnya ia akan lahir
kedunia berupa seorang bayi, kemudian tumbuh menjadi anak anak, menjadi remaja, dewasa,
dan tua sampai akhirnya datang saat berpisah kembali dengan tubuh tersebut.

Ketika sampai waktu yang ditetapkan, Allah akan mengeluarkan Ruh dari jasad.
Itulah saat kematian yang kedua kalinya. Allah menyimpan Ruh dialam barzakh, dan
jasad akan hancur dikuburkan didalam tanah. Pada hari berbangkit kelak, Allah akan
menciptakan jasad yang baru, kemudia Allah meniupkan Ruh yang ada di alam barzakh,
masuk dan menyatu dengan tubuh yang baru sebagaimana disebutkan dalam surat Yasin ayat
51:

51- Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka ke luar dengan segera dari
kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. 52- Mereka berkata: “Aduh celakalah
kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah
yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-rasul (Nya). (Yasin
51-52)

Itulah saat kehidupan yang kedua kali, kehidupan yang abadi dan tidak akan
adalagi kematian sesudah itu. Pada saat hidup yang kedua kali inilah banyak manusia yang
menyesal, karena telah mengabaikan peringatan Allah. Sekarang mereka melihat akibat dari
perbuatan mereka selama hidup yang pertama didunia dahulu. Mereka berseru mohon pada
Allah agar dizinkan kembali kedunia untuk berbuat amal soleh, berbeda dengan yang telah
mereka kerjakan selama ini sebagaimana disebutkan dalam surat As Sajdah ayat 12:

Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang
berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): “Ya
Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia),
kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang
yakin”. (As Sajudah 12)

Itulah proses mati kemudian hidup, selanjutnya mati dan kemudian hidup kembali
yang akan dialami oleh semua manusia dalam perjalanan hidupnya yang panjang dan tak
terbatas. Proses ini juga disebutkan Allah dalam surat Al Baqaqrah ayat 28:

Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah
menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali,
kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan? (Al Baqarah 28)

Demikianlah definisi mati menurut Al-Qur’an, mati adalah saat terpisahnya Ruh dari
Jasad. Kita akan mengalami dua kali kematian dan dua kali hidup. Jasad hanya hidup jika ada
Ruh, tanpa Ruh jasad akan mati dan musnah. Berarti yang mengalami kematian dan musnah
hanyalah jasad sedangkan Ruh tidak akan pernah mengalami kematian.

Pada saat mati yang pertama, jasad belum ada namun Ruh sudah ada dan hidup
dialam Ruh. Pada saat hidup yang pertama Ruh dimasukan kedalam jasad , sehingga jasad
tersebut bisa hidup. Pada saat mati yang kedua, Ruh dikeluarkan dari jasad , sehingga jasad
tersebut mati, namun Ruh tetap hidup dan disimpan dialam barzakh. Jasad yang telah
ditinggalkan oleh Ruh akan mati dan musnah ditelan bumi. Pada saat hidup yang kedua,
Allah menciptakan jasad yang baru dihari berbangkit, jasad yang baru itu akan hidup setelah
Allah memasukan Ruh yang selama ini disimpan dialam barzak kedalam tubuh tersebut.
Kehidupan yang kedua ini adalah kehidupan yang abadi, tidak ada lagi kematian atau
perpisahan antara Ruh dengan jasad sesudah itu.

Kalau kita amati proses hidup dan mati diatas ternyata yang mengalami kematian dan
musnah hanyalah jasad, sedangkan Ruh tidak pernah mengalami kematian dan musnah. Ruh
tetap hidup selamanya, ia hanya berpindah pindah tempat, mulai dari alam Ruh, alam Dunia,
alam Barzakh dan terakhir dialam Akhirat. Pada saat datang kematian pada seseorang yang
sedang menjalani kehidupan didunia ini, maka yang mengalami kematian hanyalah jasadnya
saja, sedangkan Ruhnya tetap hidup dialam barzakh. Allah mengingatkan hal tersebut dalam
surat Al Baqarah ayat 154 :

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah,
(bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu h idup, tetapi kamu tidak
menyadarinya. (Al Baqarah 154)

Demikianlah definisi mati menurut Al-Qur’an, mati adalah saat terpisahnya Ruh dari
Jasad. Kita akan mengalami dua kali kematian dan dua kali hidup. Jasad hanya hidup jika ada
Ruh, tanpa Ruh jasad akan mati dan musnah. Berarti yang mengalami kematian dan musnah
hanyalah jasad sedangkan Ruh tidak akan pernah mengalami kematian. Tak ada yang
mengingkari hal itu termasuk kalangan atheis sekalipun.

Namun yang namanya keimanan tak mandeg sebatas ini saja. Telah menjadi perkara
mendasar dalam Islam, yakni keyakinan adanya alam setelah kematian, yakni alam barzakh,
atau lazim disebut alam kubur. Kematian, dalam pandangan Islam, bukanlah ujung dari
segala kehidupan makhluk.

Syariat telah demikian gamblang menerangkan bahwasanya masih ada alam lain
(alam barzakh kemudian alam akhirat) yang akan dilalui manusia pasca kematian. Maka,
membincangkan alam kubur, jelas erat kaitannya dengan akidah. Karena alam kubur adalah
bagian dari hal ghaib yang tidak semua orang (termasuk sebagian umat Islam) mau
meyakininya.

Nyatanya, masih saja ada yang berlogika untuk mementahkan perkara akidah ini.
Seakan-akan segala hal bisa dilihat dari kacamata logika mereka. Sebagian lagi menolak
dengan merangkum beragam syubhat (keraguan) yang kesudahannya adalah menolak hadits-
hadits yang menerangkan tentang berbagai peristiwa di alam kubur. Melogikakan alam kubur
dan beragam peristiwa yang terjadi di dalamnya tentu saja hanya akan menimbulkan erosi
akidah, yang ujung-ujungnya kita bisa meragukan bahkan menghampakan eksistensi Allah.

Sebagai Dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Islam telah menggaris bawahi
dengan tebal bahwa keimanan bukanlah atas dasar selera manusia sehingga ia bisa bebas
memilih sekehendak hati. Di mana ia hanya mau menerima hal-hal yang masuk akal dan
menolak hal-hal yang bertentangan dengan akal. Ia hanya mengimani hal-hal yang bisa
diendus oleh panca indera sementara yang ghaib justru dia kufuri. Demikian juga dia hanya
mau mempraktikkan syariat yang dianggapnya ringan sementara syariat yang (dalam
anggapannya) berat meski hukumnya wajib justru ia tinggalkan.

Hakikat keimanan dalam Islam, adalah pembenaran secara total terhadap segala kabar
yang diberitakan Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah yang kemudian mewujud dalam
praktik anggota tubuh, berupa ucapan maupun perbuatan. Sehingga bukan keimanan
namanya jika ber-Islam hanya atas dasar eling (ingat) atau yang di kalangan sufi diistilahkan
dengan tahap ma’rifat.

Disamping itu, jika setiap makhluk bisa menginderai hal-hal ghaib niscaya keimanan
itu menjadi tiada harganya. Karena selain perkara itu bukan lagi merupakan hal ghaib, maka
menjadi tidak terbedakan lagi antara mukmin dan orang kafir. Karena semua orang dengan
mudah akan mengimani itu semua.

Kematian dalam Pandangan Agama

Dalam bahasa Yunani ‘kematian’ disebut thanatos. Thanatos berarti bentuk kematian
atau keadaan mati. Tetapi kata ini juga dipakai untuk mengungkapkan hal berbahaya yang
mematikan, bagaimana kematian, ancaman kematian. Thanatos berarti membuat seseorang
mati, membunuh, dan mengakibatkan sesuatu hal berbahaya yang mematikan. Kematian
adalah jangka waktu ketika kita melewati dengan sendiri dunia yang tidak kelihatan.

Mati menurut pengertian secara umum adalah keluarnya Ruh dari jasad, kalau
menurut ilmu kedokteran orang baru dikatakan mati jika jantungnya sudah berhenti
berdenyut. Mati menurut Al-Qur’an adalah terpisahnya Ruh dari jasad dan hidup adalah
bertemunya Ruh dengan Jasad. Kita mengalami saat terpisahnya Ruh dari jasad sebanyak dua
kali dan mengalami pertemuan Ruh dengan jasad sebanyak dua kali pula. Terpisahnya Ruh
dari jasad untuk pertama kali adalah ketika kita masih berada dialam Ruh, ini adalah saat mati
yang pertama. Seluruh Ruh manusia ketika itu belum memiliki jasad.

Komaruddin (2005) kematian adalah keniscayaan, tidak satu jiwa pun mampu
menghindarinya. Sedikit sekali yang mau menerimanya, dan hampir semua orang merasa
sangat berat meninggalkan hidup ini. Seperti yang tertera dalam Al’Quran “Setiap sorang
diantara mereka menginginkan seandainya dia diberi umur seribu tahun…, “(QS Al-Baqarah
[2]:96). Bahkan bukan hanya seribu tahun,yang diinginkan adalah kekekalan selama-
lamanya. Keinginan hidup kekal itu, antara lain disebabkan karena umur manusia tidak
sepanjang harapan dan cita-citanya. Ketidaksiapan manusia dalam memaknai kematian
tersebut didasari atas rasa takut, boleh jadi juga rasa takut itu disebabkan karena pemikiran
tentang sanak keluarga yang akan ditinggal. Kecemasan ini diusik dengan janji bagi yang taat
agar tak perlu risau karena para malaikat akan mengurus mereka (QS Fushshilat [41]:30-31).

Sebagai mahluk ciptaan, ternyata hidup manusia itu terbatas. Manusia sama sekali
tidak bisa mempertahankan apa yang diinginkan. Kedudukan manusia yang tinggi maupun
besarnya kekuasaan yang digenggam, akan “melorot” bila saatnya tiba. Kekayaan yang
melimpah, juga akan “terkuras” kalau rentang waktunya sudah habis. Nyawa sekalipun
segera pupus manakala “masa pakainya habis”.

Kematian tidak perlu diminta. Akan datang sendiri, tidak perlu mendaftar atau
mencalonkan diri. Data setiap mahluk sudah tercatat. Nama, tempat dan tanggal lahir, jenis
kelamin, bangsa, agama, maupun latar belakang aktivitas selama hidup. Termasuk hal-hal
paling kecil, maupun niat yang masih tersembunyi di dalam hati. Semua terdata utuuh dan
lengkap. Lebih lengkap daripada data Badan Pusat Statistik.

Spilka et al (1977) berpendapat ada delapan persepsi manusia tentang kematian, yaitu:

1) Kematian sebagai penderitaan dan kesendirian. Dalam hal ini kematian dipandang
sebagai penderitaan karena terkait dengan hilangnya kemampuan dan kesadaran serta bentuk
isolasi dari kehidupan.

2) Kematian sebagai salah satu tahap perjalanan hidup menuju akhirat di mana manusia
akan mendapatkan ganjaran sesuai perbuatannya. Kematian merupakan pintu menuju tempat
pembalasan, justifikasi dan keabadian.

3) Kematian sebagai peristiwa alamiah yang terjadi pada semua mahluk hidup. Kematian
adalah sesuatu yang terjadi tanpa ada konsekuensi atau akibat dan peristiwa tidak penting
yang terjadi pada setiap mahluk yang ada di dunia.

4) Kematian sebagai sesuatu yang gaib. Akhir kehidupan adalah sesuatu yang misterius,
tidak dapat dimengerti oleh pikiran manusia, dan sesuatu yang ambigu.
5) Kematian sebagai satu kesalahan karena meninggalkan orang-orang yang harus
ditanggunng.

6) Kematian sebagai keberanian. Kematian merupakan suatu kesempatan untuk


menunjukkan karakter dan kekuatan, realisasi final nilai tertinggi yang dianut seseorang.

7) Kematian sebagai kegagalan. Kematian merupakan kegagalan dan kekalahan individu,


puncak frustasi dan ketidakberdayaan.

8) Kematian sebagai perjalanan akhir sebagai mahluk. Kematian hanyalah kesimpulan


alamiah dari kehidupan, titik terminal tanpa ada apa-apa di belakangnya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Sesungguhnya Islam memiliki sebuah konsep yang utuh mengenai jiwa. Setiap para
ulama memiliki sebuah pandangan yang mengakar kuat pada tradisi Islam. Meskipun kita
melihat kecenderungan para filosof muslim mengutip banyak pemahaman jiwa dari para
filosof Yunani seperti Aristoteles, Plato, Galien, Platonis dan lainnya. Namun sejatinya
konsep yang dikembangkan berdasarkan cara pandang seorang muslim sehingga apa yang
dikemukakan tidak keluar dari worldview Islam. Pemahaman yang beragam dalam
memahami eksistensi jiwa ini juga dalam rangka memahami kebenaran Mutlak yaitu Sang
Pencipta. Maka ketika seseorang memahami dirinya –yaitu jiwa beserta seluruh yang ada
pada diri manusia- maka ia akan mengenal TuhanNya. Seperti kata Ali bin Abi Thalib, man
‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu (barang siapa mengenal dirinya (jiwa), maka ia akan
mengenal Tuhannya.

Baik para sufi dan filosof muslim –yang memiliki perbedaan dalam mengkaji
persoalan jiwa- sebenarnya memiliki titik temu yaitu bahwa jiwa merupakan unsur yang tidak
tampak yang menggerakkan jasad manusia, ia berasal dari Allah yang semestinya harus
selalu dijaga agar senantiasa berada dalam kondisi yang bersih. Ketika jiwa yang ada pada
diri manusia tidak dibimbing dengan cahaya kebaikan -maka seperti yang digambarkan Ibn
Sina- ia menjerit dan mengharap kembali kepada Tuhannya seperti perumpaan yang sangat
indah digambarkannya bahwa, “Nafs (jiwa) dalam jasad itu bagaikan burung yang terkurung
dalam sangkar,merindukan kebebasannya di alam lepas, menyatu kembali dengan alam
ruhani, yaitu alam asalnya. Setiap kali ia mengingat alam asalnya, ia pun menangis karena
rindu ingin kembali.” Wallahu’alam.

SARAN
Dengan mengetahui konsep ruh dan jiwa akan memperkuat keimanan kita
kepada Allah SAW dan akan menambah pengetahuan kita tentang agama.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahan

A.W. Munawwir dan Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawwir versi Indonesia-Arab, cet. I,
Surabaya, Pustaka Progressif, 2007.

Abdur Raziq al-Kasyani, Ishthalahat ash-Shufiyyah, Kairo, Dar al-Ma’arif, 1984.

Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds fi Madarij Ma’rifah an-Nafs, Kairo, Maktabah al-Jundi, 1968.

Al-Hakim at-Tirmidzi, Bayan al-Firaq baina ash-Shadr wa wa al-Qalb wa al-Fuad wa Lubb,


Kairo, Dar Ihya al-Kitab al-Arbi, 1958.

Anda mungkin juga menyukai