1
1
1 Latar Belakang
Makanan memegang peranan penting bagi kelangsungan hidup manusia
karena makanan adalah sumber energi utama bagi manusia. Tanpa makanan
manusia tidak akan dapat memenuhi kebutuhan energinya yang digunakan untuk
melakukan aktivitasnya sehari – hari. Jumlah penduduk semakin lama semakin
padat, hal ini akan berpengaruh kepada berbagai sektor kehidupan, tidak terkecuali
kebutuhan akan pangan. Dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka akan
semakin meningkatkan kebutuhan akan makanan yang tidak hanya sehat,
melainkan makanan yang bergizi dan juga aman untuk dikonsumsi.
Namun, pada kenyataannya belum semua penduduk dapat menikmati
makanan yang aman untuk dikonsumsi. Hal ini ditandai dengan banyaknya kasus
kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh makanan (foodborne disease),
contohnya diare akut. Foodborne disease adalah penyakit yang disebabkan karena
mengkonsumsi makanan atau minuman yang tercemar. Timbulnya penyakit yang
disebabkan oleh makanan, tidak lain karena sumber makanan itu sendiri
terkontaminasi atau tercemar oleh mikroorganisme atau mikroba patogen. Selain itu,
zat kimia beracun, atau zat berbahaya lain dapat menyebabkan foodborne disease
jika zat-zat tersebut terdapat dalam makanan. Makanan yang berasal baik dari
hewan maupun tumbuhan dapat berperan sebagai media pembawa mikroorganisme
penyebab penyakit pada manusia.1
Sumber pangan hewani yang relatif murah dan mudah dalam
mendapatkannya adalah unggas. Produk unggas antara lain telur dan daging
mentah sering menyebabkan foodborne disease atau keracunan makanan jika
terkontaminasi bakteri dan dikonsumsi oleh manusia. Bakteri patogen yang biasanya
mengkontaminasi telur dan daging unggas adalah Salmonella enteritidis. Selain telur
dan daging unggas, Salmonella enteritidis juga dapat mengkontaminasi daging sapi,
susu dan olahannya (keju, eskrim, mentega, mayonnaise, dll.) serta ikan dan
olahannya. Berbagai macam makanan yang beresiko terhadap kontaminasi bakteri,
terutama kontaminasi Salmonella enteritidis harus sangat diperhatikan dalam cara
pengolahan makananannya. Pengolahan makanan yang tidak benar, akan
menyebabkan resiko terkontaminasi tersebut semakin besar. Jika kontaminasi tidak
dapat dicegah, resiko kesakitan dan kematian akibat makanan akan semakin tinggi.
Dalam makalah ini, kami ingin menjelaskan tentang Salmonella enteritidis
penyebab terjadinya foodborne disease. Dengan adanya makalah ini, diharapkan
pengetahuan tentang kontaminasi bakteri pada makanan penyebab infeksi manusia
semakin meningkat sehingga tindakan pencegahan dapat segera dilakukan.
Sehingga berbagai masalah kesehatan yang berkaitan dengan foodborne disease
dapat berkurang dan mutu pangan yang ada di sekitar kita akan semakin meningkat.
BAB II
ISI
C. PENYEBARAN S. ENTERITIDIS3
Salmonellosis merupakan foodborne disease kedua yang paling umum
dilaporkan di dunia (ARS, 2001). Di Eropa, wabah salmonellosis telah dilaporkan
sejak lebih dari 20 tahun yang lalu. Pada tahun 1980-an terjadi peningkatan yang
nyata wabah S. enteritidis di beberapa negara di Eropa. Pada umumnya penyakit ini
bersifat epidemik yang terjadi secara bersamaan di beberapa bagian dunia. Selama
tahun 1990 penyakit terus menyebar sampai negara-negara berkembang dan
mencapai puncaknya pada tahun 1992. Setelah tahun 1992 wabah S. enteritidis di
beberapa negara terlihat mulai menurun, berhubungan dengan implementasi kontrol
terhadap infeksi Salmonella di peternakan yang lebih baik serta perhatian
masyarakat yang lebih besar terhadap resiko yang timbul (SCHLUNDT et al., 2004).
Di Indonesia, S. enteritidis ditemukan pertama kali pada tahun 1991 dari
ayam yang diperoleh dari Rumah Potong Ayam di Jakarta. Pada pertengahan tahun
1994 infeksi S. enteritidis pada ayam yang terjadi secara sporadis mulai sering
dilaporkan (POERNOMO et al., 1997). Dalam kurun waktu 1989-1996 di
laboratorium Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) telah berhasil mengisolasi S.
enteritidis sebanyak 87 isolat. Dalam periode tahun 1996-1999 jumlahnya meningkat
menjadi 259 isolat (POERNOMO dan BAHRI, 1997; SOEDARMONO et al., 2001).
Dalam periode tahun 1999-2003 S. enteritidis diisolasi sebanyak 305 isolat
(POERNOMO, 2004). Dari 53 isolat S. enteritidis telah dilakukan phage typing,
diketahui bahwa 2 isolat termasuk phage tipe 2 dan 46 isolat adalah phage tipe 4.
Lima isolat berikutnya belum diketahui phage tipenya. S. enteritidis yang ditemukan
di Indonesia kemungkinan besar berasal dari negara Eropa karena isolat tersebut
ditemukan bersamaan dengan masuknya bibit ayam petelur maupun bibit ayam
pedaging dari luar negeri dan phage tipe yang ditemukan sama yaitu phage tipe 4
(POERNOMO, 2000).
Isolat-isolat S. enteritidis yang telah diisolasi di Balitvet berasal dari ayam,
telur ayam, bulu ayam, litter paper box, daging ayam, pakan ayam, karkas ayam,
embrio ayam, air lingkungan peternakan, dari hewan lain seperti tikus, kucing,
burung bayan, burung makao, dan juga dari manusia. Wilayah penyebaran bakteri
S. enteritidis tersebut meliputi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Pulau Bulan
dan Sumatera Utara (POERNOMO, 2004).
Patogenesis Salmonellosis
Manusia yang terinfeksi oleh bakteri S. enteritidis biasanya bersifat khas
dengan masa inkubasi antara 5-72 jam tetapi gejala umumnya terjadi dalam waktu
12-36 jam setelah menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi. Diawali
dengan diare, dehidrasi, sakit perut, mual-mual, dan muntah. Kadang-kadang
demam ringan. Umumnya gejala berlangsung selama 2-7 hari seringkali penderita
sembuh tanpa pengobatan antibiotika. Salmonella umumnya diekskresi dalam
jumlah besar dalam feses pada awal terjadinya keracunan. Selanjutnya jumlah
Salmonella yang diekskresi menurun dan status karier pada infeksi ini umumnya
jarang terjadi dibandingkan dengan infeksi oleh S. typhi. Namun pada usia yang
lebih muda, bayi, orang-orang tua dan orang orang dengan sistem imun lemah,
penyakit ini dapat menjadi parah. Pada pasien ini, infeksi dapat meluas dari usus ke
sirkulasi darah dan menyebar ke bagian tubuh lain dan dapat menyebabkan
kematian jika tidak diobati dengan antibiotic yang tepat (CDC, 2001; GAST, 1997;
GRAU, 1989).3
S. Enteritidis tidak mempengaruhi kualitas suatu makanan, serta tidak
menimbulkan kerusakan dan pembusukan pada telur. Namun apabila manusia
memakan telur yang terkontaminasi dan tidak dimasak sempurna atau setengah
matang, maka akan mengakibatkan penyakit pada manusia (CDC 2003).
Salmonellosis menyebabkan berbagai gejala seperti gastroenteritis,
demam enterik, septikemia dan infeksi fokal. Salah satu gejala yang ditimbulkan oleh
infeksi S. Enteritidis adalah gastroenteritis. Patogenesis ini sangat tergantung dari
faktor virulensi bakteri yaitu: (1) kemampuan invasi sel, (2) lapisan lipopolisakarida
yang lengkap, (3) kemampuan replikasi intrasel, dan (4)
kemungkinan perbanyakan toksin. Setelah bakteri dicerna, organisme tersebut
berkoloni di ileum dan kolon, memasuki epitel usus dan terjadi proliferasi epitel dan
folikel limfoid (Gianella 2001).4
Tahap selanjutnya yaitu menginduksi membran enterosit yang terganggu
dan menstimulasi pinositosis organisme. Invasi tergantung dari pengaturan sel
sitoskeleton dan kemungkinan melibatkan peningkatan fosfat inositol dan kalsium
sel. Perlekatan dan invasi tersebut di bawah regulasi genetik dan melibatkan gen-
gen ganda pada kromosom plasmid. Selanjutnya, patogenesis enterokolitis dan
diare akibat salmonellosis dapat dilihat pada gambar 4 berikut ini.
Setelah menginvasi epitel usus, bakteri ini menginduksi respon inflamasi yang
dapat menyebabkan ulserasi dan peningkatan sitokin sehingga menghambat
sintesis protein. Mekanisme tersebut belum diketahui secara pasti. Namun, invasi
pada mukosa menyebabkan sel epitel mensintesis dan melepaskan berbagai sitokin
proinflamasi, seperti IL-1, IL-6, IL8, TNF2. Hal ini membangkitkan respon inflamasi
akut dan juga meningkatkan terjadinya kerusakan usus karena reaksi inflamasi usus.
Akibat reaksi tersebut, dapat terjadi gejala panas-dingin, nyeri perut, lekositosis dan
diare. Feses dapat mengandung lekosit polimorfonuklear (PMN), darah dan lendir.
Patogenesis munculnya diare secara ringkas dapat dilihat pada gambar 5.
Invasi mukosa usus diikuti aktivasi adenylate cyclase dan peningkatan
keseimbangan sekresi siklik AMP (c-AMP). Mekanisme tersebut juga belum
diketahui dengan pasti, kemungkinaan adanya keterlibatan produksi lokal dari
prostaglandin atau komponen lain dari prostaglandin akibat reaksi inflamasi. Strain-
strain Salmonella mengeluarkan satu atau lebih substansi enterotoksin yang
menstimulasi sekresi usus, namun peran toksin tersebut pada pathogenesis S.
Enteritidis masih belum pasti. Orang dewasa dan anak-anak yang berisiko untuk
terinfeksi S. Enteritidis dari telur adalah wanita hamil dan orang-orang dengan
sistem imun yang lemah, meningkatkan risiko timbulnya penyakit yang lebih serius.
Pada orang-orang ini, bakteri dengan jumlah yang relatif kecil sudah dapat
mengakibatkan penyakit (WHO 2005; Berkeley 2002).4
Penderita yang terinfeksi S. Enteritidis menimbulkan gejala berupa diare,
demam, kedinginan, nyeri perut, nyeri kepala, yang dimulai 12 sampai 72 jam
setelah mengkonsumsi telur mentah atau setengah matang yang telah
terkontaminasi (Blumenthal 2002). Penyakit tersebut dapat bertahan sampai 4- 7
hari. Meskipun banyak penderita dapat sembuh sempurna tanpa pemberian
antibiotika. Namun, diare dapat berlebihan dan memerlukan perawatan rumah
sakit (FSIS & FDA 1998; Hecht 2004). Pada penderita dengan risiko tinggi, infeksi
dapat menyebar dari usus ke aliran darah atau ke tempat lain di seluruh tubuh dan
dapat menyebabkan kematian tanpa pengobatan antibiotika pada penderita (CDC
2003).4
G. CARA PENGENDALIAN
Cara pengendalian S. Enteritidis
Sumber utama terjadinya infeksi pada manusia adalah peternakan.
Mengurangi keberadaan S. Enteritidis pada hewan/ternak, secara signifikan juga
akan mengurangi paparan bakteri tersebut pada manusia. Salah satu pengendalian
yang penting adalah menjaga kebersihan peternakan. Penelitian menunjukkan
bahwa pembersihan secara intensif dan penggunaan desinfektan dapat mengurangi
keberadaan bakteri tersebut (Berkeley 2002). Telur seperti juga daging, hasil ternak,
susu dan bahan olahan lainnya akan aman bila diolah dengan baik. Telur ayam akan
aman bila disimpan dalam pendingin (refrigerator) tersendiri dan dimasak serta
dikonsumsi segeram (Blumenthal 2002).
Diperkirakan 100 sel S. Enteritidis pada 100 gram telur, akan memudahkan
timbulnya penyakit. Penyimpanan telur pada pendingin secara adekuat dapat
mencegah perbanyakan bakteri tersebut pada telur, sehingga telur sebaiknya
disimpan pada pendingin, sampai saat akan digunakan. Pemasakan juga akan
mengurangi jumlah bakteri yang ada pada telur, namun putih telur dan kuning telur
yang belum matang, akan berisiko lebih besar menimbulkan infeksi dibandingkan
dengan telur yang telah matang karena S. Enteritidis akan mati karena pemanasan
paling sedikit selama 12 menit pada suhu 66 oC atau 77-83 menit pada suhu 60 oC
(Blumenthal 2002; CDC 2003).
Untuk mengurangi risiko infeksi S. Enteritidis pada telur yang akan
dikonsumsi, dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: (1) simpan telur
pada pendingin, (2) buang telur yang telah pecah atau kotor, (3) cuci tangan dan
rebus peralatan rumah tangga dengan sabun dan air setelah kontak dengan telur
mentah, (4) makan segera telur setelah dimasak dan jangan menyimpan telur
matang pada suhu kamar lebih dari 4 jam, (5) dinginkan telur yang belum digunakan,
(6) hindarkan makan telur mentah (seperti telur campuran es krim produksi rumah
tangga atau telur mentah yang dicampur dalam minuman) dan (7) hindari memakan
makanan restoran yang menggunakan bahan telur mentah atau telur yang tidak
dipasteurisasi (WHO 2002).
Amerika Serikat telah melakukan upaya pengendalian untuk mengurangi
wabah S. Enteritidis. CDC telah meminta departemen kesehatan, rumah sakit, dan
tempat-tempat perawatan untuk menggunakan peralatan spesifik dengan tujuan
mengurangi risiko infeksi. Beberapa negara bagian di sana diminta untuk
mendinginkan telur-telur dari produsen sebelum sampai ke konsumen. Departemen
Pertanian Amerika Serikat menilai kelayakan peternakan yang memproduksi ayam
petelur untuk memastikan telah terbebas dari S. Enteritidis. Telur-telur yang
diketahui telah terkontaminasi dari peternakan, dilakukan pasteurisasi. USFDA telah
mengeluarkan petunjuk penanganan telur di pengecer makanan dan akan
memonitor ayam-ayam yang sedang bertelur (CDC 2003).4
Daftar Pustaka
1. http://www.deptan.go.id/bbkptgpriok/admin/rb/foodborne.pdf
2. anonim. 2004. Foodborne Disease. NSW Multicultural Health Communication
Service. Indonesia.
3. Ariyanti, Tati dan Supar. Cemaran Salmonella Enteritidis pada Ternak dan
Produknya. Balai Penelitian Veteriner. Bogor.
4. Satyaningsih, Febya. 2007. Studi Salmonella Enteritidis pada Telur Ayam Ras di
Pasar Tradisional Kabupaten Tangerang (Tesis). Sekolah Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor.Bogor