Anda di halaman 1dari 19

1.

1 Latar Belakang
Makanan memegang peranan penting bagi kelangsungan hidup manusia
karena makanan adalah sumber energi utama bagi manusia. Tanpa makanan
manusia tidak akan dapat memenuhi kebutuhan energinya yang digunakan untuk
melakukan aktivitasnya sehari – hari. Jumlah penduduk semakin lama semakin
padat, hal ini akan berpengaruh kepada berbagai sektor kehidupan, tidak terkecuali
kebutuhan akan pangan. Dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka akan
semakin meningkatkan kebutuhan akan makanan yang tidak hanya sehat,
melainkan makanan yang bergizi dan juga aman untuk dikonsumsi.
Namun, pada kenyataannya belum semua penduduk dapat menikmati
makanan yang aman untuk dikonsumsi. Hal ini ditandai dengan banyaknya kasus
kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh makanan (foodborne disease),
contohnya diare akut. Foodborne disease adalah penyakit yang disebabkan karena
mengkonsumsi makanan atau minuman yang tercemar. Timbulnya penyakit yang
disebabkan oleh makanan, tidak lain karena sumber makanan itu sendiri
terkontaminasi atau tercemar oleh mikroorganisme atau mikroba patogen. Selain itu,
zat kimia beracun, atau zat berbahaya lain dapat menyebabkan foodborne disease
jika zat-zat tersebut terdapat dalam makanan. Makanan yang berasal baik dari
hewan maupun tumbuhan dapat berperan sebagai media pembawa mikroorganisme
penyebab penyakit pada manusia.1
Sumber pangan hewani yang relatif murah dan mudah dalam
mendapatkannya adalah unggas. Produk unggas antara lain telur dan daging
mentah sering menyebabkan foodborne disease atau keracunan makanan jika
terkontaminasi bakteri dan dikonsumsi oleh manusia. Bakteri patogen yang biasanya
mengkontaminasi telur dan daging unggas adalah Salmonella enteritidis. Selain telur
dan daging unggas, Salmonella enteritidis juga dapat mengkontaminasi daging sapi,
susu dan olahannya (keju, eskrim, mentega, mayonnaise, dll.) serta ikan dan
olahannya. Berbagai macam makanan yang beresiko terhadap kontaminasi bakteri,
terutama kontaminasi Salmonella enteritidis harus sangat diperhatikan dalam cara
pengolahan makananannya. Pengolahan makanan yang tidak benar, akan
menyebabkan resiko terkontaminasi tersebut semakin besar. Jika kontaminasi tidak
dapat dicegah, resiko kesakitan dan kematian akibat makanan akan semakin tinggi.
Dalam makalah ini, kami ingin menjelaskan tentang Salmonella enteritidis
penyebab terjadinya foodborne disease. Dengan adanya makalah ini, diharapkan
pengetahuan tentang kontaminasi bakteri pada makanan penyebab infeksi manusia
semakin meningkat sehingga tindakan pencegahan dapat segera dilakukan.
Sehingga berbagai masalah kesehatan yang berkaitan dengan foodborne disease
dapat berkurang dan mutu pangan yang ada di sekitar kita akan semakin meningkat.

BAB II
ISI

A. DEFINISI SALMONELLA ENTERITICA / ENTERITICA SEROVER ( S.


ENTERITIDIS) 3
Menurut Gianella (2001) menyatakan bahwa genus Salmonella merupakan
anggota famili Enterobacteriaceae yaitu bakteri yang terdapat dalam saluran
pencernaan manusia dan hewan. Salmonella memiliki dua jenis spesies yaitu
Salmonella enteritica dan Salmonella bongori. Salmonella enteritica memiliki enam
subspesies yaitu subspesies I : subspesies enteritica; subspesies II : subspesies
salamae; subspesies IIIa : subspesies arizonae; subspesies IIIb : subspesies
diarizonae; subspesies IV : subspesies hautenae dan subspesies V: subspesies
indica. Pengelompokan subspesies dibedakan berdasarkan sifat sifat biokimianya.
Berdasarkan sifat-sifat biokimianya, S. Enteritidis merupakan subspesies enteritica.
Berdasarkan struktur antigennya subspesies dibagi menjadi serovar/serotipe.
Untuk menuliskan nama serotipe, misalnya cara lama S. enteritidis menjadi S.
enteritica subspesies enteritica serotipe Enteritidis menjadi Salmonella ser Enteritidis
dan saat ini penulisannya menjadi Salmonella Enteritidis (Murray 1991).
Salmonella diklasifikasikan dalam group sesuai dengan klasifikasi Kaufman-
White yang didasarkan pada antigen badan somatik O (ohne) dan antigen flagel H
(hauch). Genus ini mempunyai struktur antigen yang tidak stabil dan dapat
mengalami perubahan sewaktu-waktu dan bakteri ini pada suatu saat dapat
membentuk variasi secara tiba-tiba (Kaufmann 1972). S. Enteritidis bersifat Gram
negatif, berbentuk batang pendek, tidak berspora dengan ukuran 0,7-1,5 x 2,0-5,0
mm, umumnya bergerak dengan flagella peritrikus. S. Enteritidis tidak
memfermentasi laktosa dan sukrosa, akan tetapi membentuk asam dan juga gas
dari glukosa, maltosa, dan mannitol. S. Enteritidis memberi reaksi positif terhadap
sitrat, lisin, ornithin dekarboksilase, serta memberi reaksi negatif pada indol dan
urease. Karakteristik lainnya yaitu dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit, dapat
memfermentasi dulsitol, memproduksi H2S, dan tumbuh secara optimal pada suhu
37 oC (Cox et al. 2000).3

Gambar 1 Bakteri Salmonella Enteritidis (Cox et al. 2000)3

B. HABITAT DAN DISTRIBUSI S. ENTERITIDIS3


S. enteritidis adalah salah satu genus bakteri dari famili Enterobacteriaceae,
bersifat Gram negatif, berbentuk batang dan tidak berspora, motil dengan flagella
peritrikus, bersifat fakultatif anaerobik, katalase positif, oksidase negatif, mampu
memfermentasi karbohidrat dengan menghasilkan asam dan gas serta dapat
menggunakan sitrat sebagai sumber karbon. Bakteri ini dapat tumbuh optimum pada
suhu 35-37oC dan pH 6,5-7,5.
Berdasarkan skema Kauffman-White, S. enteritidis termasuk dalam grup D
Salmonella dengan struktur antigeniknya adalah O:1,9,12 dan H:g,m;1,7
(SERBENIUK, 2002; SUPARDI dan SUKAMTO, 1999).
Habitat utama S. enteritidis berada dalam saluran pencernaan hewan
berdarah panas (PORTILLO, 2000). Bakteri ini juga dapat ditemukan pada feses
maupun dari lingkungan, seperti: air, tanah, tanaman, debu, dapur atau
kantor. Pangan asal ternak yang sering terkontaminasi S. enteritidis adalah telur dan
olahannya, daging ayam, daging sapi, susu dan olahannya seperti es krim dan keju,
ikan dan olahannya udang, kacang-kacangan, saus, salad, kue, mentega,
mayonnaise maupun coklat. (DUGUID dan NORTH, 1991; SUPARDI dan
SUKAMTO, 1999 ).
S. enteritidis dikenal sebagai patogen yang penting baik pada unggas
maupun manusia. Phenomena keracunan makanan pada manusia berkaitan erat
dengan meningkatnya jumlah ayam dan telur ayam yang terkontaminasi oleh
serotipe S. enteritidis (THORNS et al., 1996). Dilaporkan terdapat 3 macam serotipe
S. enteritidis yang berkaitan dengan egg-borne disease outbreak yang terjadi di
negara-negara Eropa, Amerika, dan Inggris. Wabah salmonellosis pada manusia
tersebut disebabkan oleh S. enteritidis phage tipe 4, 8 dan 23 (DHILLON et al.,
1999; FANTASIA dan FILETICI, 1994; HICKMAN-BRENNER et al., 1991). Dari
beberapa kasus salmonellosis diketahui bahwa S. enteritidis phage tipe 4
merupakan serotipe yang paling pathogen terhadap ayam terutama ayam petelur
(ALISANTOSA et al., 2000; GAST dan BENSON,
1995). Strain S. enteritidis phage tipe 4 selain ditemukan pada kelompok induk
petelur dan bibit ayam petelur juga dapat diisolasi dari ayam pedaging dan bibit
ayam pedaging (BARROW, 1993; DHILLON et al., 1999; DUGUID dan NORTH,
1991; GAST, 1997; LISTER, 1988). Di Indonesia, S. enteritidis phage tipe 4 awalnya
ditemukan dari ayam umur satu hari atau day old chick (DOC) yang ternyata berasal
dari peternakan pembibitan parent stock maupun grand parent (POERNOMO,
2000).

C. PENYEBARAN S. ENTERITIDIS3
Salmonellosis merupakan foodborne disease kedua yang paling umum
dilaporkan di dunia (ARS, 2001). Di Eropa, wabah salmonellosis telah dilaporkan
sejak lebih dari 20 tahun yang lalu. Pada tahun 1980-an terjadi peningkatan yang
nyata wabah S. enteritidis di beberapa negara di Eropa. Pada umumnya penyakit ini
bersifat epidemik yang terjadi secara bersamaan di beberapa bagian dunia. Selama
tahun 1990 penyakit terus menyebar sampai negara-negara berkembang dan
mencapai puncaknya pada tahun 1992. Setelah tahun 1992 wabah S. enteritidis di
beberapa negara terlihat mulai menurun, berhubungan dengan implementasi kontrol
terhadap infeksi Salmonella di peternakan yang lebih baik serta perhatian
masyarakat yang lebih besar terhadap resiko yang timbul (SCHLUNDT et al., 2004).
Di Indonesia, S. enteritidis ditemukan pertama kali pada tahun 1991 dari
ayam yang diperoleh dari Rumah Potong Ayam di Jakarta. Pada pertengahan tahun
1994 infeksi S. enteritidis pada ayam yang terjadi secara sporadis mulai sering
dilaporkan (POERNOMO et al., 1997). Dalam kurun waktu 1989-1996 di
laboratorium Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) telah berhasil mengisolasi S.
enteritidis sebanyak 87 isolat. Dalam periode tahun 1996-1999 jumlahnya meningkat
menjadi 259 isolat (POERNOMO dan BAHRI, 1997; SOEDARMONO et al., 2001).
Dalam periode tahun 1999-2003 S. enteritidis diisolasi sebanyak 305 isolat
(POERNOMO, 2004). Dari 53 isolat S. enteritidis telah dilakukan phage typing,
diketahui bahwa 2 isolat termasuk phage tipe 2 dan 46 isolat adalah phage tipe 4.
Lima isolat berikutnya belum diketahui phage tipenya. S. enteritidis yang ditemukan
di Indonesia kemungkinan besar berasal dari negara Eropa karena isolat tersebut
ditemukan bersamaan dengan masuknya bibit ayam petelur maupun bibit ayam
pedaging dari luar negeri dan phage tipe yang ditemukan sama yaitu phage tipe 4
(POERNOMO, 2000).
Isolat-isolat S. enteritidis yang telah diisolasi di Balitvet berasal dari ayam,
telur ayam, bulu ayam, litter paper box, daging ayam, pakan ayam, karkas ayam,
embrio ayam, air lingkungan peternakan, dari hewan lain seperti tikus, kucing,
burung bayan, burung makao, dan juga dari manusia. Wilayah penyebaran bakteri
S. enteritidis tersebut meliputi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Pulau Bulan
dan Sumatera Utara (POERNOMO, 2004).

Infeksi S. enteritidis pada ternak dan kontaminasi vertical-horizontal


Kontaminasi vertikal dikenal juga sebagai kontaminasi transovarial
(transovarial contaminated). Teori penularan vertikal menyebutkan bahwa S.
Enteritidis pada telur ayam, berasal dari induk ayam yang terinfeksi (Cox et al.
2000). Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan ayam yang sedang bertelur
dan diinfeksi dengan S. Enteritidis, ternyata mengakibatkan telur-telur tersebut
terinfeksi dengan strain S. Enteritidis yang sama (FSIS dan FDA 1998). S. Enteritidis
dapat menginfeksi telur yang berasal dari induk ayam yang sehat dimana
kontaminasi terjadi sebelum kulit telur terbentuk, letak infeksi biasanya di putih telur
dekat membran kuning telur (CDC 2003). FSIS dan FDA (1998) telah melakukan
survei mengenai keberadaan S. Enteritidis di telur. Hasil survey membuktikan
adanya S. Enteritidis di kerabang, kuning dan putih telur. Selain telur, FSIS dan FDA
(1998) melakukan survei tentang keberadaan S. Enteritidis di tubuh ayam petelur.
Hasil dari survei tersebut ditemukan S. Enteritidis di organ usus buntu, hati, ginjal,
indung telur dan saluran indung telur.4
Kontaminasi S. Enteritidis pada kerabang telur ayam secara horizontal,
diakibatkan oleh infeksi dari saluran reproduksi induk ayam bagian bawah dan/atau
kontaminasi feses dari induk ayam saat pengeraman. Kontaminasi ini
difasilitasi dengan kondisi kerabang-kerabang telur yang lembab, penyimpanan
pada suhu tinggi dan kerusakan kerabang telur. Kontaminasi pada kerabang telur,
tidak hanya meningkatkan resiko terjadinya kontaminasi pada isi telur, tetapi juga
meningkatkan resiko terjadinya kontaminasi silang pada telur disekitarnya dan
produk-produk berbahan telur lainnya. Sejumlah penelitian menunjukkan adanya
penetrasi dan multiplikasi S. Enteritidis diantara telur-telur ayam. Faktor-faktor yang
mempengaruhi penetrasi S. Enteritidis di antara telur-telur tersebut, yaitu: kualitas
kerabang telur, banyaknya pori-pori pada kerabang telur, temperatur, kelembaban
dan tekanan uap. Penetrasi pada isi telur meningkat dengan lamanya kontak dengan
bahan-bahan yang terkontaminasi, khususnya selama penyimpanan dan
kelembaban pada temperatur tinggi (FSIS dan FDA 1998; Cox et al. 2000) .4
Infeksi S. enteritidis pada induk petelur diawali dengan tertelannya bakteri
melalui pakan atau air minum. Selanjutnya bakteri tersebut masuk dan
memperbanyak diri dalam saluran pencernaan maupun peritoneum (ALISANTOSA
et al., 2000; SHIVAPRASAD et al.; 1990). Bakteri kemudian akan menembus
dinding usus sehingga menimbulkan reaksi inflamasi, selanjutnya dapat menembus
mukosa masuk ke dalam sistem pertahanan limfatik dan dapat mencapai saluran
darah sehingga dapat menyebabkan bakteremia atau abses (SUPARDI dan
SUKAMTO, 1999).
Selanjutnya bakteri tersebut akan menyebar ke organ lain seperti organ
reproduksi (ovarium dan oviduk). Diduga transpor bakteri tersebut diperantarai oleh
makrofag yang terdapat pada saluran pencernaan. Infeksi S. enteritidis pada
ovarium induk ayam petelur dapat menyebabkan penularan S. enteritidis secara
vertikal (infeksi transovarial) ke telurtelur ayam yang dihasilkan sehingga anak-anak
ayam yang ditetaskan dapat bertindak sebagai pembawa atau karier S. enteritidis.
Anak ayam tersebut akan tumbuh dan berkembang menjadi dara atau induk dewasa
yang dapat menyebabkan kontaminasi telur selanjutnya (HARA-KUDO et al., 2001;
THIAGARAJAN et al., 1994; WANG dan SLAVIK, 1998).
Infeksi transovarial terjadi melalui kontak langsung S. enteritidis pada kuning
telur atau albumin selama proses pembentukan telur (oviposition) yaitu selama
perjalanan sel telur dari ovarium menuju infundibulum dan oviduk, sebelum telur
tertutup kerabang dan sebelum terlindungi oleh antibacterial albumin (DUGUID dan
NORTH, 1991; MIYAMOTO et al., 1998). Penularan secara vertikal ini juga
disebutkan sebagai kontaminasi internal pada telur (HARAKUDO et al., 2001;
WANG dan SLAVIK, 1998).3

Penyebaran S. enteritidis secara kontak langsung dan tidak langsung3


S. enteritidis yang telah memperbanyak diri dalam saluran pencernaan
selanjutnya akan diekskresikan melalui feses dan dapat menyebabkan penularan
bakteri tersebut secara horizontal ke dalam telur dengan cara menempel pada
permukaan kerabang telur (THIAGARAJAN et al., 1994). Selanjutnya bakteri akan
mengadakan penetrasi ke dalam telur dan mencemari bagian dalam telur (kuning
telur dan albumin) melalui pori-pori kerabang telur yang tidak tertutup oleh cuticle
(kulit ari atau selaput luar kerabang telur). Cuticle ini berperan sebagai selaput yang
menghalangi penetrasi bakteri ke dalam telur dengan cara menurunkan
permeabilitas kerabang telur sehingga pori-pori kerabang menjadi tertutup. Membran
atau selaput bagian luar dan dalam pada permukaan kerabang juga berperan
penting sebagai barrier perlindungan telur. Pada selaput bagian dalam lebih banyak
berperan karena tersusun oleh protein dan mengandung sangat banyak lysozime
yang dapat mencegah infeksi bakterial (WANG dan SLAVIK, 1998). Penularan
secara horizontal ini juga disebut kontaminasi eksternal pada telur (HARA-KUDO et
al., 2001; WANG dan SLAVIK, 1998).
Kontaminasi S. enteritidis pada makanan dapat diperantarai oleh vector
mekanik dan biologik seperti rodensia, burung-burung liar, lalat, kecoa, kumbang,
kutu, parasit maupun manusia. Pupuk dilaporkan dapat sebagai sarana kontaminasi
S. enteritidis di peternakan. Keberadaan S. enteritidis juga dapat ditemukan di tanah,
air, udara, kayu, debu, feses dan tanaman seperti buah-buahan dan sayuran (GAST,
1997; SCHLUNDT et al., 2004; SERBENIUK, 2002; WARD et al., 2003). HOLT et al.
(1998) menyampaikan bahwa beberapa faktor predisposisi seperti adanya
mikotoksin, perubahan komposisi pakan yang diberikan, stress dan molting pada
induk ayam dapat meningkatkan keparahan infeksi Salmonella yang ditularkan
melalui transmisi horizontal.

D. PENCEMARAN S. ENTERITIDIS PADA PRODUK PANGAN ASAL TERNAK3


Bahan pangan asal hewan terutama unggas, produk unggas berupa daging
dan telur mentah sering ditemukan pada kasus sporadik dan wabah salmonellosis
pada manusia (SCHLUNDT et al., 2004; DILLON et al., 1999). Salmonella mungkin
terdapat pada makanan dalam jumlah tinggi tetapi tidak selalu menimbulkan
perubahan dalam hal warna, bau maupun rasa dari makanan tersebut. Pada
umumnya semakin tinggi jumlah Salmonella dalam suatu makanan semakin besar
timbulnya gejala infeksi pada manusia yang mengkonsumsi makanan tersebut dan
semakin cepat timbulnya gejala klinis (SUPARDI dan SUKAMTO, 1999).
VOUGHT dan TATINI (1998) mengemukakan bahwa wabah salmonellosis di
Inggris telah terjadi pada orang dewasa akibat mengkonsumsi es krim yang
terkontaminasi S. enteritidis sebanyak ≥ 107 CFU. Pada orang dewasa yang
mengkonsumsi makanan terkontaminasi bakteri tersebut sebanyak 105- 106 CFU
dilaporkan tidak menunjukkan gejala klinis penyakit. Namun beberapa penelitian
menyatakan bahwa sejumlah kecil S. enteritidis dalam makanan (≤105 CFU) telah
dapat menyebabkan infeksi. Hal ini dapat terjadi karena produk makanan tersebut
mengandung banyak lipid dan atau gula yang dapat melindungi Salmonella dari
barrier lambung yang bersifat asam sehingga bakteri tersebut dapat mencapai usus
halus dan menimbulkan gejala penyakit.

Pencemaran S. enteritidis pada telur3


Telur merupakan salah satu sumber nutrisi yang bergizi tinggi karena
mengandung zat-zat makanan yang dibutuhkan oleh manusia. Namun akhir akhir ini
telur telah banyak dilaporkan sebagai sumber infeksi S. enteritidis pada manusia
(WANG dan SLAVIK, 1998). Bakteri S. enteritidis dalam jumlah besar yang terdapat
di dalam telur lebih sering sebagai penyebab penyakit (CDC, 2001). Di beberapa
negara di Eropa dan Amerika wabah salmonellosis berasal dari makanan yang
mengandung telur dengan kualitas terbaik (grade A) yang terkontaminasi secara
vertical (THIAGARAJAN et al., 1994; TIMONEY et al., 1989).
Lebih dari 44% wabah salmonellosis yang terjadi di dunia melibatkan
konsumsi telur, produk asal telur yang terkontaminasi akibat kontaminasi pada saat
telur diinkubasi selama pengeraman dan cara memasak telur yang kurang sempurna
seperti dimasak setengah matang atau dikonsumsi masih mentah. Telur-telur yang
telah dibekukan atau dikeringkan, telur-telur utuh yang tidak disimpan dalam
refrigerator baik selama di retailer, di rumahrumah atau pada usaha katering juga
dapat mengkontaminasi makanan. (BARROW, 1993; CDC, 2001; LILLEHOJ, 2000;
SUPARDI danSUKAMTO, 1999; WHO, 2002). 129

Pencemaran S. enteritidis pada produk daging ayam3


Kontaminasi pada ternak unggas dapat terjadi sebelum disembelih yaitu
akibat kontaminasi horizontal eksternal pada telurtelur saat pengeraman telur ayam
pedaging sehingga akan dihasilkan daging ayam yang terkontaminasi oleh S.
enteritidis, selama penyembelihan, selama atau setelah pengolahan (GAST, 1997;
SUPARDI dan SUKAMTO, 1999). COOPER (1994) mengemukakan bahwa proses
produksi di rumah pemotongan ayam tidak dapat menjamin produk akhir produksi
tersebut bebas S. enteritidis.
Tingkat prevalensi kontaminasi pada daging beku di UK sebesar 80% sedang
di USA sebesar 50% pada daging ayam mentah. Tingkat kontaminasi S.enteritidis
pada daging ayam segar tampaknya rendah yaitu 17 CFU/ 100 gram kulit ayam
adan maksimum 1,4 x 103 CFU/gram makanan (COOPER, 1994).
Pertumbuhan S. enteritidis pada daging ayam diduga juga dapat terjadi pada
saat disimpan di retailer, saat transportasi, penyimpanan di dapur-dapur,
pemanasan saat memasak yang kurang sempurna sehingga bakteri tersebut masih
dapat hidup (WHO, 2002). Daging ayam yang tercemar S. enteritidis selain sebagai
penyebab wabah salmonellosis karena mengkonsumsinya juga berpotensi sebagai
sumber kontaminasi silang terhadap makanan lain dan menyebabkan wabah
selanjutnya. Namun kontaminasi silang ini sulit dideteksi. Pada beberapa kejadian
mungkin tidak diketahui dan tidak dilaporkan (DUGUID dan NORTH, 1991).
Pada umumnya faktor utama kontaminasi silang terjadi pada saat
menyiapkan, mengolah dan memasak makanan di dapur. Kontaminasi terjadi
melalui kontak langsung dengan daging ayam atau perkakas dapur yang tercemar
S. enteritidis atau tangan yang tidak dicuci bersih. Kontaminasi silang ini sering
ditemukan di dapur-dapur rumah makan, hotel, rumah sakit atau pengusaha katering
(DUGUID dan NORTH, 1991; CDC, 2001). Terjadinya kontaminasi silang juga
dipengaruhi oleh beberapa factor seperti water availability (Aw), pH, packaging
athmosphere, kompetitif dengan mikroflora lain dalam usus dan waktu penyimpanan
(COOPER, 1994).

E. GEJALA KLINIS AKIBAT INFEKSI S. ENTERITIDIS3


Gejala klinis pada salmonellosis tergantung pada sifat virulensi dan invasi
bakteri, jumlah bakteri yang teringesti, daya tahan tubuh hospes yang dipengaruhi
oleh umur dan kesehatan penderita (SUPARDI dan SUKAMTO, 1999).
Ayam semua umur dapat terserang S. enteritidis namun yang paling rentan
adalah DOC. Anak ayam umur 1 hari lebih rentan terhadap infeksi S. enteritidis dari
anak ayam umur 7 hari atau 4 minggu. Kadang-kadang infeksi tersebut
menyebabkan timbulnya penyakit dan kematian yang sangat tinggi pada anak ayam
umur kurang dari 1 minggu (ALISANTOSA et al., 2000; DHILLON et al., 1999;
LISTER, 1988).
Pada anak ayam yang mati, pada bagian mukosa intestinalnya terlihat lesi
foki nekrotik, sekum berkeju, limpa dan hati bengkak, kemerahan, terdapat foci
nekrotik, ginjal membesar dan kongesti. Perihepatitis fibrinopurulen dan perikarditis.
Lesi lain kadang-kadang diamati adanya panofthalmitis, arthritis purulen, airsacculitis
dan omfalitis. Anak ayam umur 24 jam yang terinfeksi melalui kontak horizontal
dapat mensekresikan S. enteritidis sampai umur 28 minggu (GAST, 1997).
Infeksi S. enteritidis pada ternak atau pada ayam umur lebih dari 2 minggu
biasanya tidak menimbulkan gejala klinis dan tidak mematikan, tetapi ayam yang
sembuh dari infeksi dapat menjadi karier menahun yang sewaktu waktu dapat
mengekskresikan bakteri S. enteritidis pada fesesnya. Kadang kadang pada ternak
atau inang spesifik, salmonellosis dapat menimbulkan gejala klinis enteritis.
Manifestasi gejala klinis tersebut dapat berupa septikemia, enterokolitis, anoreksia,
diare profus dan kadang-kadang meningitis, pneumonia, dan encephalitis (GAST,
1997; POERNOMO et al., 1997).

Patogenesis Salmonellosis
Manusia yang terinfeksi oleh bakteri S. enteritidis biasanya bersifat khas
dengan masa inkubasi antara 5-72 jam tetapi gejala umumnya terjadi dalam waktu
12-36 jam setelah menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi. Diawali
dengan diare, dehidrasi, sakit perut, mual-mual, dan muntah. Kadang-kadang
demam ringan. Umumnya gejala berlangsung selama 2-7 hari seringkali penderita
sembuh tanpa pengobatan antibiotika. Salmonella umumnya diekskresi dalam
jumlah besar dalam feses pada awal terjadinya keracunan. Selanjutnya jumlah
Salmonella yang diekskresi menurun dan status karier pada infeksi ini umumnya
jarang terjadi dibandingkan dengan infeksi oleh S. typhi. Namun pada usia yang
lebih muda, bayi, orang-orang tua dan orang orang dengan sistem imun lemah,
penyakit ini dapat menjadi parah. Pada pasien ini, infeksi dapat meluas dari usus ke
sirkulasi darah dan menyebar ke bagian tubuh lain dan dapat menyebabkan
kematian jika tidak diobati dengan antibiotic yang tepat (CDC, 2001; GAST, 1997;
GRAU, 1989).3
S. Enteritidis tidak mempengaruhi kualitas suatu makanan, serta tidak
menimbulkan kerusakan dan pembusukan pada telur. Namun apabila manusia
memakan telur yang terkontaminasi dan tidak dimasak sempurna atau setengah
matang, maka akan mengakibatkan penyakit pada manusia (CDC 2003).
Salmonellosis menyebabkan berbagai gejala seperti gastroenteritis,
demam enterik, septikemia dan infeksi fokal. Salah satu gejala yang ditimbulkan oleh
infeksi S. Enteritidis adalah gastroenteritis. Patogenesis ini sangat tergantung dari
faktor virulensi bakteri yaitu: (1) kemampuan invasi sel, (2) lapisan lipopolisakarida
yang lengkap, (3) kemampuan replikasi intrasel, dan (4)
kemungkinan perbanyakan toksin. Setelah bakteri dicerna, organisme tersebut
berkoloni di ileum dan kolon, memasuki epitel usus dan terjadi proliferasi epitel dan
folikel limfoid (Gianella 2001).4
Tahap selanjutnya yaitu menginduksi membran enterosit yang terganggu
dan menstimulasi pinositosis organisme. Invasi tergantung dari pengaturan sel
sitoskeleton dan kemungkinan melibatkan peningkatan fosfat inositol dan kalsium
sel. Perlekatan dan invasi tersebut di bawah regulasi genetik dan melibatkan gen-
gen ganda pada kromosom plasmid. Selanjutnya, patogenesis enterokolitis dan
diare akibat salmonellosis dapat dilihat pada gambar 4 berikut ini.

Setelah menginvasi epitel usus, bakteri ini menginduksi respon inflamasi yang
dapat menyebabkan ulserasi dan peningkatan sitokin sehingga menghambat
sintesis protein. Mekanisme tersebut belum diketahui secara pasti. Namun, invasi
pada mukosa menyebabkan sel epitel mensintesis dan melepaskan berbagai sitokin
proinflamasi, seperti IL-1, IL-6, IL8, TNF2. Hal ini membangkitkan respon inflamasi
akut dan juga meningkatkan terjadinya kerusakan usus karena reaksi inflamasi usus.
Akibat reaksi tersebut, dapat terjadi gejala panas-dingin, nyeri perut, lekositosis dan
diare. Feses dapat mengandung lekosit polimorfonuklear (PMN), darah dan lendir.
Patogenesis munculnya diare secara ringkas dapat dilihat pada gambar 5.
Invasi mukosa usus diikuti aktivasi adenylate cyclase dan peningkatan
keseimbangan sekresi siklik AMP (c-AMP). Mekanisme tersebut juga belum
diketahui dengan pasti, kemungkinaan adanya keterlibatan produksi lokal dari
prostaglandin atau komponen lain dari prostaglandin akibat reaksi inflamasi. Strain-
strain Salmonella mengeluarkan satu atau lebih substansi enterotoksin yang
menstimulasi sekresi usus, namun peran toksin tersebut pada pathogenesis S.
Enteritidis masih belum pasti. Orang dewasa dan anak-anak yang berisiko untuk
terinfeksi S. Enteritidis dari telur adalah wanita hamil dan orang-orang dengan
sistem imun yang lemah, meningkatkan risiko timbulnya penyakit yang lebih serius.
Pada orang-orang ini, bakteri dengan jumlah yang relatif kecil sudah dapat
mengakibatkan penyakit (WHO 2005; Berkeley 2002).4
Penderita yang terinfeksi S. Enteritidis menimbulkan gejala berupa diare,
demam, kedinginan, nyeri perut, nyeri kepala, yang dimulai 12 sampai 72 jam
setelah mengkonsumsi telur mentah atau setengah matang yang telah
terkontaminasi (Blumenthal 2002). Penyakit tersebut dapat bertahan sampai 4- 7
hari. Meskipun banyak penderita dapat sembuh sempurna tanpa pemberian
antibiotika. Namun, diare dapat berlebihan dan memerlukan perawatan rumah
sakit (FSIS & FDA 1998; Hecht 2004). Pada penderita dengan risiko tinggi, infeksi
dapat menyebar dari usus ke aliran darah atau ke tempat lain di seluruh tubuh dan
dapat menyebabkan kematian tanpa pengobatan antibiotika pada penderita (CDC
2003).4

F. DETEKSI S. ENTERITIDIS PADA TERNAK DAN PRODUKNYA3


Diagnosa salmonellosis dilakukan berdasarkan pada sejarah penyakit, gejala
klinis atau kelainan pascamati dan pemeriksaan laboratorium dengan cara
mengadakan isolasi dan identifikasi S. enteritidis baik secara biokemik maupun
serotiping. Pemeriksaan sampel yang berupa bahan makanan yang diberikan, air
minum, dan bahan lain seperti sampel muntahan, feses atau darah, perlu dilakukan
untuk mendeteksi kemungkinan adanya Salmonella (DHARMOJONO, 2001;
POERNOMO, 2004).
Isolasi dan identifikasi Salmonella dalam bahan pangan dengan
menggunakan metode konvensional memerlukan waktu selama 7 hari untuk hasil
positif sedangkan apabila hasil negatif diperlukan waktu sekitar 3-4 hari. Selain itu
diperlukan banyak bahan media. alat, biaya dan tenaga. Akhir-akhir ini telah banyak
dikembangkan beberapa metode deteksi cepat terhadap Salmonella seperti
enzyme-linked immunosorbent assays (ELISAs), metode immunodifusi, metode
hibridisasi asam nukleat maupun polymerase chain reaction (PCR) (YEH et al.,
2002; DE PAULA et al., 2002). Beberapa keunggulan metode deteksi cepat tersebut
adalah waktu pemeriksaan yang lebih cepat, hasil pemeriksaan yang lebih tepat,
lebih sensitive dan lebih spesifik dibandingkan dengan metode konvensional (FENG,
2001).
Program monitoring dan surveilan residu dan cemaran mikroba bertujuan
untuk memperoleh gambaran tingkat kandungan residu dan cemaran mikroba pada
bahan pangan asal hewan yang beredar di Indonesia serta member perlindungan
pada masyarakat konsumen melalui bahan pangan asal hewan yang tidak
mengandung cemaran mikroba atau residu yang dapat membahayakan kesehatan
konsumen. Cara pengawasan residu dan cemaran mikroba meliputi pemantauan
(monitoring) di seluruh mata rantai produksi, pangamatan (surveillance) terhadap
suatu masalah residu dalam bahan pangan asal hewan dan dampaknya pada
kesehatan manusia dan pemeriksaan (inspection) residu dan cemaran mikroba pada
bahan pangan asal hewan di laboratorium penguji yang berwenang (MOERAD,
2003).
Pengembangan Sistem Jaringan Kerja Pengawas Kesmavet merupakan
pengawasan penanganan kesehatan daging, susu dan telur. Pengawasan
penanganan kesehatan daging berupa pemulihan kondisi hewan, pemeriksaan
antemortum, proses penyembelihan, pemeriksaan post mortum, pelayuan daging,
pengangkutan, peredaran dan pengolahan. Pengawasan penanganan kesehatan
susu meliputi kesehatan ternak, higiene sanitasi lingkungan peternakan atau tempat
pemerahan susu atau KUD, penanganan dan penyimpanan. Sedang pengawasan
penanganan kesehatan telur adalah kegiatan pengawasan terhadap kesehatan
unggas, lingkungan dan kandang, pengemasan, pengangkutan. Adapun
kelembagaan yang terlibat adalah Pemerintah Pusat, Dinas Daerah dan
Laboratorium (MOERAD, 2003).
Pengawasan Salmonella di peternakan melibatkan pentingnya sanitasi dan
higienik terhadap kandang, peralatan dan lingkungan peternakan serta fumigasi
penetasan telur ayam untuk mengurangi keberadaan bakteri pathogen dalam
pengeraman di peternakan. Meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat
terhadap resiko yang timbul (BARROW, 1993; OIE, 2000; SCHLUNDT et al., 2001;).
Pemberantasan vektor (burung-burung liar, rodentia dan serangga) di sekitar
peternakan. Diadakan rotasi tempat penggembalaan. Usaha ini dilakukan untuk
mencegah penularan Salmonella secara horizontal (DHARMOJONO, 2001).
Vaksinasi terhadap S. enteritidis di Indonesia tidak direkomendasikan.
(Antibodi yang terbentuk karena vaksinasi dapat “mengacaukan” pemeriksaan
Pullorum test yang rutin dilakukan akibat adanya reaksi silang antara Salmonella
spp. yang terdapat dalam Grup D). Hal ini juga karena sistem proteksi humoral yang
tidak bagus, karena yang bekerja Cell Mediated Immunity (CMI) (ARIYANTI et al.,
2004). Usaha lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi kontaminasi S. enteritidis
pada bahan pangan asal ternak antara lain menyimpan telur ayam dalam refrigerator
sampai akan digunakan, yang sebelumnya telur ayam dicuci dengan bersih
menggunakan air hangat suhu 65,5 oC selama 3 menit atau dengan larutan deterjen
pada suhu 45 oC (SUPARDI dan SUKAMTO, 1999).
Telur-telur yang retak dan kotor karena feses sebaiknya dibuang, menyimpan
telur-telur pada temperatur yang panas (40-140)oC selama lebih dari 2 jam tidak
dianjurkan, menghindari makan telur mentah (minuman yang dicampur dengan telur
atau jamu, bahan dalam pembuatan es krim) atau telur setengah matang,
menghindari restoran yang menyediakan makanan dari telur-telur mentah yang tidak
dimasak dengan matang dan tidak dipasteurisasi (CDC, 2001). Menghindari minum
susu yang tidak dipasteurisasi. Memasak dengan sempurna semua produk ternak
seperti daging, telur, susu, ikan dan produk olahannya. Mencuci tangan sebelum
dan sesudah memegang daging dan telur mentah. Menggunakan alat-alat memasak
yang telah dicuci bersih (DUGUID dan NORTH, 1991; SCHLUNDT et al., 2004;
SERBENIUK, 2002).
Penyimpanan telur dalam suhu rendah sangat penting untuk mencegah
pertumbuhan kontaminan S. enteritidis dalam telur (HARAKUDO et al., 2001).
HUMPREY (1990) menyatakan bahwa S. enteritidis tidak dapat tumbuh dan
berkembang dalam kuning telur yang telah diinokulasi yang disimpan pada suhu
4oC dan 8oC. Pada temperatur 10oC S. enteritidis tumbuh lambat tetapi bakteri
tersebut tumbuh relatif cepat dalam waktu yang pendek apabila disimpan pada
temperature 12oC. Menurut GAST dan BEARD dalam HARAKUDO et al. (2001)
melaporkan bahwa jumlah S. enteritidis pada telur-telur yang terkontaminasi secara
alam meningkat apabila disimpan pada suhu 25oC selama 7 hari namun tingkat
kontaminasi tidak berubah apabila
disimpan pada suhu 7oC selama 7 hari. Pemanasan merupakan cara yang
paling banyak dilakukan untuk membunuh Salmonella (SUPARDI dan SUKAMTO,
1999). Bakteri Salmonella akan mati dalam pemanasan 60oC selama beberapa
menit dalam larutan telur namun temperatur tersebut tidak membunuh bakteri dalam
telur ayam karena panas tersebut lambat menembus masuk ke dalam isi telur ayam
yang mengandung masa yang kental. Pada telur ayam terinfeksi yang direbus
dengan temperatur 100oC dapat membunuh Salmonella pada kerabang telur, tetapi
beberapa penelitian menunjukkan bahwa cara tersebut menghasilkan putih telur
yang matang tetapi sebagian kuning telur masih setengah matang/lunak sehingga
tidak membunuh bakteri dalam kuning telur. S. enteritidis masih dapat ditemukan
pada kuning telur yang direbus atau dikeringkan selama 4 menit, tetapi bakteri
tersebut tidak dapat diisolasi dari telur ayam terinfeksi yang direbus atau dikeringkan
selama 8 menit (DUGUID dan NORTH, 1991).
Pemanasan yang direkomendasikan untuk membunuh Salmonella di dalam
makanan umumnya adalah selama paling sedikit 12 menit pada suhu 66oC atau 78-
83 menit pada suhu 60oC. Perlakuan lain yang dapat membunuh Salmonella adalah
dengan asam asetat, H2O2, radiasi ionisasi, radiasi ultraviolet, pemanasan dengan
oven mikrowave (GAST, 1997; SUPARDI dan SUKAMTO, 1999).
Penggunaan antibiotika untuk pengobatan salmonellosis prapanen3
Meskipun pengobatan sering diberikan untuk mencegah infeksi Salmonella
tetapi tidak efektif, karena tidak memberikan hasil yang memuaskan (GAST, 1997).
Pengobatan dengan antibiotika secara klinik mungkin dapat menyembuhkan atau
efektif dalam menekan jumlah kematian sel bakteri tetapi tidak menghilangkan
infeksi atau mengeliminasi penyakit dari peternakan (DHARMOJONO, 2001;
POERNOMO, 2004). Pemberian antibiotika tersebut dilaporkan dapat menyebabkan
perubahan kepekaan ayam terhadap infeksi Salmonella dan dapat menimbulkan
resistensi obat pada Salmonella (GAST, 1997; BARROW, 2000).
Resistensi bakteri terhadap antibiotika dikendalikan oleh adanya plasmid
yang disebut faktor R atau akibat dari mutasi terjadinya transfer kromosom melalui
suatu plasmid F+. (SUPARDI dan SUKAMTO, 1999). Adanya kontroversi dalam
penggunaan antibiotika pada kasus-kasus salmonellosis pada saluran pencernaan
karena antibiotika peroral dapat merusak mikroflora usus. Aplikasi antibiotika perlu
dipertimbangkan dalam penentuan jenis antibiotika karena Salmonella bersifat
intraseluler, oleh karena itu sebaiknya memilih obat yang dapat mengadakan
penetrasi ke dalam sel. Dilihat dari aspek bakteriologik Salmonella dalam alat
pencernaan sulit dihilangkan karena bakteri sudah berada dalam sirkulasi sistem
empedu dan secara intermiten bakteri akan masuk ke dalam lumen alat pencernaan
bersama empedu tersebut dan diekskresikan melalui feses yang dapat mencemari
lingkungan dan dapat menginfeksi hewan lain atau manusia, bahkan tidak jarang
Salmonella bertahan hidup dalam jaringan limphatik (DHARMOJONO, 2001).

G. CARA PENGENDALIAN
Cara pengendalian S. Enteritidis
Sumber utama terjadinya infeksi pada manusia adalah peternakan.
Mengurangi keberadaan S. Enteritidis pada hewan/ternak, secara signifikan juga
akan mengurangi paparan bakteri tersebut pada manusia. Salah satu pengendalian
yang penting adalah menjaga kebersihan peternakan. Penelitian menunjukkan
bahwa pembersihan secara intensif dan penggunaan desinfektan dapat mengurangi
keberadaan bakteri tersebut (Berkeley 2002). Telur seperti juga daging, hasil ternak,
susu dan bahan olahan lainnya akan aman bila diolah dengan baik. Telur ayam akan
aman bila disimpan dalam pendingin (refrigerator) tersendiri dan dimasak serta
dikonsumsi segeram (Blumenthal 2002).
Diperkirakan 100 sel S. Enteritidis pada 100 gram telur, akan memudahkan
timbulnya penyakit. Penyimpanan telur pada pendingin secara adekuat dapat
mencegah perbanyakan bakteri tersebut pada telur, sehingga telur sebaiknya
disimpan pada pendingin, sampai saat akan digunakan. Pemasakan juga akan
mengurangi jumlah bakteri yang ada pada telur, namun putih telur dan kuning telur
yang belum matang, akan berisiko lebih besar menimbulkan infeksi dibandingkan
dengan telur yang telah matang karena S. Enteritidis akan mati karena pemanasan
paling sedikit selama 12 menit pada suhu 66 oC atau 77-83 menit pada suhu 60 oC
(Blumenthal 2002; CDC 2003).
Untuk mengurangi risiko infeksi S. Enteritidis pada telur yang akan
dikonsumsi, dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: (1) simpan telur
pada pendingin, (2) buang telur yang telah pecah atau kotor, (3) cuci tangan dan
rebus peralatan rumah tangga dengan sabun dan air setelah kontak dengan telur
mentah, (4) makan segera telur setelah dimasak dan jangan menyimpan telur
matang pada suhu kamar lebih dari 4 jam, (5) dinginkan telur yang belum digunakan,
(6) hindarkan makan telur mentah (seperti telur campuran es krim produksi rumah
tangga atau telur mentah yang dicampur dalam minuman) dan (7) hindari memakan
makanan restoran yang menggunakan bahan telur mentah atau telur yang tidak
dipasteurisasi (WHO 2002).
Amerika Serikat telah melakukan upaya pengendalian untuk mengurangi
wabah S. Enteritidis. CDC telah meminta departemen kesehatan, rumah sakit, dan
tempat-tempat perawatan untuk menggunakan peralatan spesifik dengan tujuan
mengurangi risiko infeksi. Beberapa negara bagian di sana diminta untuk
mendinginkan telur-telur dari produsen sebelum sampai ke konsumen. Departemen
Pertanian Amerika Serikat menilai kelayakan peternakan yang memproduksi ayam
petelur untuk memastikan telah terbebas dari S. Enteritidis. Telur-telur yang
diketahui telah terkontaminasi dari peternakan, dilakukan pasteurisasi. USFDA telah
mengeluarkan petunjuk penanganan telur di pengecer makanan dan akan
memonitor ayam-ayam yang sedang bertelur (CDC 2003).4
Daftar Pustaka

1. http://www.deptan.go.id/bbkptgpriok/admin/rb/foodborne.pdf
2. anonim. 2004. Foodborne Disease. NSW Multicultural Health Communication
Service. Indonesia.
3. Ariyanti, Tati dan Supar. Cemaran Salmonella Enteritidis pada Ternak dan
Produknya. Balai Penelitian Veteriner. Bogor.
4. Satyaningsih, Febya. 2007. Studi Salmonella Enteritidis pada Telur Ayam Ras di
Pasar Tradisional Kabupaten Tangerang (Tesis). Sekolah Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor.Bogor

Anda mungkin juga menyukai