Disusun oleh:
Septiawan PM, S.Ked
G1A214045
Pembimbing:
dr. Hj. Rini Kartika, M. Kes
A. DEFINISI
Gout merupakan gangguan metabolik yang sudah dikenal oleh
Hipokrates pada zaman Yunani kuno dan dianggap sebagai penyakit
kalangan social elite yang disebabkan karena terlau banyak makan,
minum anggur, dan seks.
Gout merupakan istilah yang dipakai untuk sekelompok
gangguan metabolic yang ditandai oleh meningkatnya konsentrasi asam
urat (hiperurisemia). Maka, gout adalah gangguan yang disebabkan oleh
penimbunan asam urat, suatu produk akhir metabolism purin, dalam
jumlah berlebihan di jaringan. Penyakit ini ditandai dengan serangan
rekuren artritis akut, kadang-kadang disertai pembentukan agregat-
agregat kristal besar yang disebut tofi, dan deformitas sendi kronis.
Artritis Pirai atau artritis gout adalah kelompok penyakit
heterogen sebagai akibat deposisi kristal monosodium urat pada
jaringan atau akibat supersaturasi asam urat di dalam cairan
ekstraselular. Gangguan metabolisme yang mendasari gout adalah
hiperurisemia yang didefenisikan sebagai peninggian kadar urat lebih
dari 7.0 ml/dl dan 6.0 mg/dl.
C. EPIDEMIOLOGI
Pada keadaan normal kadar urat serum pada laki-laki mulai
meningkat setelah pubertas. Pada perempuan kadar urat tidak meningkat
sampai setelah menopause karena estrogen meningkatkan ekskresi asam
urat melalui ginjal. Setelah menopause, kadar urat serum meningkat
seperti pada pria.
Gout jarang ditemukan pada perempuan. Sekitar 95% kasus
adalah laki-laki. Gout dapat ditemukan diseluruh dunia, pada semua ras
manusia. Ada prevalensi familial dalam penyakit gout yang
mengesankan suatu dasar genetic dari penyakit ini. Namun, ada
sejumlah factor yang agaknya mempengaruhi timbulnya penyakit ini,
termasuk diet, berat badan, dan gaya hidup.
8 – 8,9 40 11 27,5
>9 10 9 90,0
Total 2463 86 3,5
Purin
Jalur normal
Xantin Ginjal
Xantin oksidase
Asam urat
Urin
Kristalisasi dalam
jaringan
Perubahan-perubahan
pada jaringan akibat gout Fagositosis
Kristal leukosit
Peradangan dan
kerusakan jaringan
F. DIAGNOSIS
Gout harus dipertimbangkan pada setiap pasien laki-laki yang
mengalami artritis monoartikular, terutama pada ibu jari kaki,
yangawitannya terjadi secara akut. Peningkatan kadar asam urat serum
sangat membantu dalam membuat diagnosis tetapi tidak spesifik, karena
ada sejumlah obat-obatan yang juga dapat meningkatkan kadar asam
urat serum. Demikian pula, cukup banyak orang yang mengalami
hiperurisemia asimtomatik.
Suatu pemeriksaan lain untuk mendiagnosis gout adalah dengan
melihat respons dari gejala-gejala pada sendi terhadap pemberian
kolkisisn. Kolkisin adalah obat yang menghambat aktivitas fagositik
leukosit sehingga memberikan perubahan yang dramatis dan cepat
meredakan gejala-gejala. Perubahan radiologic selain dari
pembengkakan jaringan lunak juga biasa ditemukan pada tahap awal
gout. Adanya Kristal-kristal asam urat dalam cairan synovial sendi yang
terserang juga dapat dianggap bersifat diagnostik.
G. FAKTOR RESIKO
Faktor-faktor yang berperanan dalam perkembangan gout
bergantung pada faktor penyebab terjadinya hiperurisemia, seperti :
Diet tinggi purin : dapat memicu terjadinya serangan gout
pada orang yang mempunyai kelainan bawaan dalam
metabolism purin sehingga terjadi peningkatan produksi asam
urat.
Minuman beralkohol : alkohol dapat menimbulkan serangan
gout karena alkohol meningkatkan produksi urat. Kadar laktat
darah meningkat sebagai akibat produk sampingan dari
metabolism normal alkohol. Asam laktat menghambat ekskresi
asam urat oleh ginjal sehingga terjadi peningkatan kadarnya
dalam serum.
Obat-obatan : obat-obat tertentu dapat menghambat ekskresi
asam urat oleh ginjal sehingga dapat menyebabkan serangan
gout. Yang termasuk diantaranya adalah aspirin dosis rendah (
< 1 sampai 2 g/hari), sebagian besar diuretic, levodopa,
diazoksid, asam nikotinat, asetazolamid, ddan etambutol.
H. DIAGNOSIS BANDING
I. PENCEGAHAN
Mengurangi konsumsi makanan yang mengandung purin tinggi
(pembatasan purin)
Banyak minum air putih karena dapat membantu membuang
purin yang ada dalam tubuh
Makan makanan yang mengandung potassium tinggi seperti
sayur dan buah-buahan
Tidak mengkonsumsi alcohol, tidak mengkonsumsi soft drink
secara berlebihan
Tidak terlalu sering mengkonsumsi obat-obatan yang dapat
meningkatkan asam urat (misal : aspirin)
J. TATA LAKSANA
Pengobatan gout bergantung pada tahap penyakitnya.
Hiperurisemia asimtomatik biasanya tidak membutuhkan pengobatan.
Serangan akut arthritis gout diobati dengan obat-obatan antiinflamsi
nonsteroid (OAINS) atau kolkisin. Obat-obat ini diberikan dalam dosis
tinggi untuk mengurangi peradangan akut sendi. Kemudian dosis
diturunkan secara bertahap dalam beberapa hari.
Pengobatan gout kronik adalah berdasarkan usaha untuk
menurunkan produksi asam urat atau meningkatkan ekskresi asam urat
oleh ginjal. Obat allopurinol menghambat pembentukan asam urat dari
prekursornya (xantin dan hipoxantin) dengan menghambat enzim xantin
oksidase. Obat ini dapat diberikan sekali sehari.
Obat-obatan urikosurik dapat meningkatkan ekskresi asam urat
dengan menghambat reabsorpsi tubulus ginjal. Supaya agen-agen
urikosurik ini dapat bekerja dengan efektif dibutuhkan fungsi ginjal
yang memadai. Kreatinin klirens perlu diperiksa untuk menentukan
fungsi ginjal (normal adalah 115-120 ml/menit). Probenesid dan
sulfinpirazon adalah jenis agen urikosurik yang banyak dipakai. Jika
seorang pasien menggunakan agen urikosurik ia memerlukan masukan
cairan sekurang-kurangnya 1500 ml/hari agar dapat meningkatkan
ekskresi asam urat. Semua produk aspirin harus dihindari karena
menghambat kerja urikosurik obat-obat itu.
Perubahan diet yang ketat biasanya tidak diperlukan dalam
pengobatan gout.menghindari makanan tertentu yang dapat memicu
serangan mungkin dapat membantu seorang pasien, tetapi ini biasanya
diketahui dengan mencoba-coba sendiri, yang berbeda-beda bagi tiap-
tiap orang. Yang pasti, makanan yang mengandung purin yang tinggi
dapat menimbulkan persoalan. Makanan ini termasuk daging dari alat-
alat dalaman seperti hepar, ginjal, pankreas, dan otak.
Asam Ribonukleat
Diet dari sel
Purin
Jalur normal
Hipoxantin
Xantin Oksidase
Xantin Ginjal
Xantin Oksidase †
Urin
Asam Urat
Kristalisasi
dalam jaringan
Perubahan-perubahan
pada jaringan akibat
gout
Fagositosis kristal
Leukosit #
Peradangan ¶
dan
kerusakan jaringan
Keterangan simbol merupakan lokasi mekanisme kerja obat-obatan:
• Alopurinol # Kolkisin
† Probenesid dan sulfinpirazon ¶ OAINS
Jika pola makan tidak dirubah, kadar asam urat dalam darah yang
berlebihan akan menimbulkan menumpuknya kristal asam urat.
Apabila kristal terbentuk dalam cairan sendi, maka akan terjadi
penyakit gout (asam urat). Lebih parah lagi jika penimbunan ini terjadi
dalam ginjal, tidak menutup kemungkinan akan menumpuk dan
menjadi batu asam urat (batu ginjal). Jadi, sangat jelas, diet adalah jalan
yang utama.
Tujuan diet rendah purin:
b) Karena asam urat lebih mudah larut dalam urine yang alkalis, diet
rendah purin harus mengandung lebih banyak hidrat arang dan
lebih sedikit lemak dengan jumlah cairan yang memadai untuk
membantu pengeluaran kelebihan asam urat.
Panduan nilai gizi yang diberikan pada pasien yang menderita penyakit batu
ginjal jenis asam urat dan gout adalah sebagai berikut:
Dengan komposisi diet ini diharapkan terjadi penurunan kadar asam urat
dalam darah, sehingga tujuan diet dapat tercapai.
1. Menghindari makanan yang kaya akan purin seperti jerohan, ekstrak daging,
sardin, jamur kering, asparagus, dan alkohol termasuk makanan hasil
peragian seperti tape.
2. Mengonsumsi kacang-kacangan dan biji-bijian dalam jumlah wajar
(moderat) mengingat jenis tanaman yang akan bertunas dan tumbuh, banyak
mengandung nukleotida purin.
3. Minum air mineral sebanyak 200 cc (satu gelas belimbing) setiap 2-3 jam
pada siang hari dan pada saat terbangun untuk buang air kecil pada malam
hari.
4. Minum tablet natrium bikarbonat satu tablet/hari agar urine menjadi lebih
alkalis dapat dianjurkan untuk memudahkan ekskresi asam urat, khususnya
pada penderita yang menggunakan tablet alopurinol. Sari buah (khususnya
buah yang tidak masam) dan sayuran juga membuat urine lebih alkalis.
5. Meminum muniman tradisional seperti larutan kunyit dan temulawak yang
mengandung curcumin dapat mengurangi reaksi inflamasi pada sendi.
6. Melakukan diet rendah lemak, karena lemak cenderung menjadi
penghambat pengeluaran asam urat.
7. Selain diet rendah lemak, diperlukan pula diet rendah protein, karena
kandungan protein dapat meningkatkan kadar asam urat dalam darah.
Anjuran asupan protein disarankan pada penderita maksimal di kisaran 50-
70 g/hari.
Bagi penderita asam urat, pola diet yang harus diikuti adalah memberikan
kalori sesuai kebutuhan tubuh. Sedangkan karbohidrat sebaiknya dari kabohidrat
komplek seperti nasi, singkong, ubi dan roti. Hindari karbohidrat sederhana seperti
gula, sirup atau permen. Fruktosa dalam karbohidrat sederhana dapat meningkatkan
kadar asam urat serum.
Penderita asam urat harus menjalani diet rendah protein karena protein dapat
meningkatkan asam urat, terutama protein hewani. Protein diberikan 50-70 g per
hari. Sedangkan sumber protein yang dianjurkan adalah sumber protein nabati dan
protein yang berasal dari susu, keju dan telur.
Dan juga disarankan untuk banyak minum air putih, minimal 2.5 liter/hari.
Konsumsi cairan yang tinggi dapat membantu mengeluarkan asam urat melalui
urin. Sedangkan alkohol,tape dan brem harus dijauhi. Bahan pangan mengandung
alkohol ini dapat meningkatkan asam laktat plasma, asam yang dapat menghambat
pengeluaran asam urat dari dalam tubuh melalui urin.
Makanan untuk diet asam urat menjadi tiga jenis, yaitu bahan makanan yang
tinggi purin, kandungan purin sedang dan rendah.
M. KOMPLIKASI
Gout dapat merusak ginjal, sehingga ekskresi asam urat akan
bertambah buruk. Kristal-kristal asam urat dapat terbentuk dalam
interstitium medulla, papila, dan piramid sehingga timbul proteinuria
dan hipertensi ringan. Batu ginjal asam urat dapat terbentuk sebagai
akibat sekunder dari gout. Batu biasanya berukuran kecil, bulat dan
tidak terlihat pada pemeriksaan radiografi.
Komplikasi lainnya seperti :
Deformitas pada sendi/persendian yang terserang.
Urolitiasis akibat deposit kristal urat pada saluran kemih.
Nepropathy akibat deposit kristal urat dalam interstisial
ginjal.
Radang sendi akibat asam urat (gout artritis).
Komplikasi hiperurisemia pada ginjal (berupa batu
ginjal,gangguan ginjal akut dan kronis akibat asam urat).
N. PROGNOSIS
Tanpa terapi yang adekuat serangan dapat berlangsung berhari-hari
bahkan beberapa minggu. Semakin muda usia pasien pada saat
mengidap penyakit, maka semakin besar kemungkinan menjadi
progresif. Arthritis tofi kronik terjadi setelah serangan akut berulang
tanpa terapi yang adekuat.
OSTEOARTRITIS
A. Definisi Osteoartritis
Osteoartritis lutut adalah penyakit sendi degeneratif non inflamasi
yang ditandai dengan degenerasi tulang rawan sendi, hipertropi tulang pada
tepiannya, dan perubahan membran sinovial, disertai dengan nyeri dan
kekakuan lutut. Akan tetapi, proses penyakitnya tidak hanya mengenai tulang
rawan sendi namun juga mengenai seluruh sendi, termasuk tulang
subkondral, ligamentum, kapsul dan jaringan synovial serta jaringan
periartikular lutut.1,3
B. Epidemiologi
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit persendian yang kasusnya
paling umum dijumpai secara global. Diketahui bahwa OA diderita oleh 151
juta jiwa di seluruh dunia dan mencapai 24 juta jiwa di kawasan Asia
Tenggara. Osteoartritis umumnya menyerang penderita berusia lanjut pada
sendi-sendi penopang berat badan, terutama sendi lutut, panggul (koksa),
lumbal dan servikal. Dari sekian banyak sendi yang dapat terserang OA, lutut
merupakan sendi yang paling sering dijumpai terserang OA Osteoartritis lutut
merupakan penyebab utama rasa sakit dan ketidakmampuan dibandingkan
OA pada bagian sendi lainnya. Berdasarkan data WHO, 40% penduduk
dunia yang berusia lebih dari 70 tahun mengalami OA lutut. Prevalensi OA
lutut pada pasien wanita berumur 75 tahun ke atas dapat mencapai 35% dari
jumlah kasus yang ada. Prevalensi OA lutut berdasar diagnosis radiologis di
Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15,5% pada pria dan 12,7% pada
wanita. Diperkirakan juga bahwa satu sampai dua juta lanjut usia di
Indonesia menjadi cacat karena OA.1,2
C. Klasifikasi Osteoartritis
1. Osteoartritis primer (idiopatik)
Merupakan osteoartritis yang tidak diketahui penyebabnya dan
tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun perubahan lokal
pada sendinya, dapat mengenai satu atau beberapa sendi. Osteoartritis jenis
ini terutama ditemukan pada wanita kulit putih, usia pertengahan dan
umumnya bersifar poliartikuler dengan nyeri yang akut disertai rasa panas
pada bagian distal interfalang yang selanjutnya terjadi pembengkakan
tulang yang disebut nodus heberden.4
2. Osteoartritis sekunder
Merupakan osteoartritis yang disebabkan oleh penyakit yang
menyebabkan kerusakan pada synovial sendi sehingga menimbulkan
osteoartritis sekunder.4
b. Jenis kelamin
Prevalensi OA pada laki-laki sebelum usia 50 tahun lebih
tinggi dibandingkan perempuan, tetapi setelah usia lebih dari 50 tahun
prevalensi perempuan lebih tinggi menderita OA dibandingkan laki-
laki. Perbedaan tersebut menjadi semakin berkurang setelah
menginjak usia 80 tahun. Hal tersebut diperkirakan karena pada masa
usia 50 – 80 tahun wanita mengalami pengurangan hormon estrogen
yang signifikan.7 Hormone estrogen memiliki pengaruh terhadap
aktivitas pembentukan tulang terutamanya dalam merangsang
aktivitas sel osteoblast. 1,4
c. Ras
Prevalensi OA lutut pada penderita di negara Eropa dan
Amerika tidak berbeda, sedangkan suatu penelitian membuktikan
bahwa ras Afrika – Amerika memiliki risiko menderita OA lutut 2 kali
lebih besar dibandingkan ras Kaukasia. Penduduk Asia juga memiliki
risiko menderita OA lutut lebih tinggi dibandingkan Kaukasia.4,8
Suatu studi lain menyimpulkan bahwa populasi kulit berwarna lebih
banyak terserang OA dibandingkan kulit putih.1,7,9
d. Faktor keturunan
Banyak peneliti yang setuju bahwa faktor herediter juga
berperan pada timbulnya OA, misalnya pada ibu dari seorang wanita
dengan OA terdapat 2 kali lebih sering mengalami OA dan anak-
anaknya perempuan cenderung mempunyai 3 kali lebih sering
daripada ibu dan anak perempuan-perempuan dari wanita tanpa OA.
Adanya mutasi dalam gen prokolagen II atau gen-gen struktural lain
untuk unsur-unsur tulang rawan sendi seperti kolagen tipe IX dan XII,
protein pengikat atau proteoglikan dikatakan berperan dalam
timbulnya kecenderungan familial pada OA tertentu (terutama OA
banyak sendi). 1,4
e. IMT
Berat badan yang berlebih nyata berkaitan dengan
meningkatnya risiko untuk timbulnya OA baik pada wanita maupun
pada pria. Obesitas ini sering berhubungan dengan terjadinya
osteoartritis pada daerah lutut. Untuk orang yang memiliki indeks
massa tubuh tinggi pada pemeriksaan dasar, risiko relatif mengalami
OA lutut dalam 36 tahun mendatang adalah 1,5 untuk laki-laki dan 2,1
untuk perempuan. Untuk OA lutut yang parah, risiko relatif meningkat
menjadi 1,9 untuk laki-laki dan 3,2 untuk perempuan, yang
mengisyaratkan bahwa kegemukan berperan lebih besar dalam
etiologi kasus OA lutut yang parah.1
Berdasarkan peneltian yg dilakukan di Framingham, dikatakan
bahwa orang muda yang mempunyai riwayat obesitas akan lebih
mudah terkena osteoartritis saat berusia 30an. Dan dikatakan juga
bahwa wanita yang obesitas akan tiga kali beresiko terkena
osteoartritis dari pada wanita yang mempunyai postur tubuh yang
kurus.10
2. Faktor biomekanik
a. Trauma
Trauma besar dan penggunaan sendi berulang merupakan
faktor risiko untuk OA. Pada manusia atau model hewan, insufisiensi
ligamentum krusiatum anterior dan kerusakan (dan pengangkatan)
meniskus menimbulkan OA lutut. Kerusakan tulang rawan sendi
dapat terjadi pada saat cedera atau saat sesudahnya (selama
penggunaan sendi yang terkena), bahkan tulang rawan yang normal
akan mengalami degenerasi bila sendi tidak stabil.1
b. Pekerjaan
Osteoartritis banyak ditemukan pada pekerja fisik
berat,terutama yang banyak menggunakan kekuatan yang bertumpu
pada lutut. Prevalensi lebih tinggi menderita OA lutut ditemukan pada
kuli pelabuhan, petani dan penambang dibandingkan pada pekerja
yang tidak banyak menggunakan kekuatan lutut seperti pekerja
administrasi.11 Terdapat hubungan signifikan Antara pekerjaan yang
menggunakan kekuatan lutut dan kejadian OA lutut.12
c. Kepadatan tulang
Tingginya kepadatan tulang dikatakan dapat meningkatkan
risiko timbulnya OA. Hal ini mungkin timbul karena tulang yang lebih
padat (keras) tak membantu mengurangi benturan beban yang
diterima oleh tulang rawan sendi. Akibatnya tulang rawan sendi
menjadi lebih mudah robek. Faktor ini diduga berperan pada lebih
tinggi nya OA pada orang gemuk dan pelari dan kaitan negatif antara
osteoporosis dan OA.1
E. Patogenesis Osteoartritis
Penyakit osteoartritis sangatlah berhubungan dengan tulang rawan,
dimana tulang rawan itu merupakan sasaran perubahan utama degeneratif
pada osteoartritis. OA itu juga dipandang sebagai akibat dari proses penuaan
yang tidak dapat dihindari. Tulang rawan sendi memiliki letak strategis, yaitu
di ujung-ujung tulang untuk melakukan dua fungsi: (1) menjamin gerakan
yang hampir tanpa gesekan di dalam sendi, berkat adanya cairan sinovium;
dan (2) sendi adalah penerima beban, menebarkan beban ke seluruh
permukaan sendi sedemikian sehingga tulang di bawahnya dapat menerima
benturan dan berat tanpa mengalami kerusakan. Kedua fungsi ini
mengharuskan tulang rawan elastin dan memiliki daya regang yang tinggi.
Kedua ciri ini dihasilkan oleh dua komponen utama tulang rawan: suatu tipe
khusus kolagen (tipe II) dan proteoglikan dan keduannya dikeluarkan oleh
kondrosit.1,2,3
a) Pemeriksaan Radiologi
Diagnosis OA selain dari gambaran klinis, juga dapat ditegakkan dengan
gambaran radiologis.
Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA, ialah:
Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada daerah
yang menanggung beban)
Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral
Kista tulang
Osteofit pada pinggir sendi
Perubahan struktur anatomi sendi
c) Pemeriksaan Marker
Destruksi rawan sendi pada OA melibatkan proses degradasi matriks
molekul yang akan dilepaskan kedalam cairan tubuh, seperti dalam cairan sendi,
darah, dan urin. Beberapa marker molekuler dari rawan sendi dapat digunakan
dalam diagnosis, prognostik dan monitor penyakit sendi seperti RA dan OA dan
dapat digunakan pula mengidentifikasi mekanisme penyakit pada tingkat
molekuler.
Marker yang dapat digunakan sebagai uji diagnostik pada OA antara lain:
Keratan sulfat, Konsentrasi fragmen agrekan, fragmen COMP (cartilage
alogometric matrix protein), metaloproteinase matriks dan inhibitornya dalam
cairan sendi. Keratan sulfat dalam serum dapat digunakan untuk uji diagnostik
pada OA generalisata. Marker sering pula digunakan untuk menentukan
beratnya penyakit, yaitu dalam menentukan derajat penyakit.
Selain sebagai uji diagnostik marker dapat digunakan pula sebagai
marker prognostik untuk membuat prediksi kemungkinan memburuknya
penyakit. Pada OA maka hialuronan serum dapat digunakan untuk membuat
prediksi pada pasien OA lutut akan terjadinya progresivitas OA dalam 5 tahun.
Peningkatan COMP serum dapat membuat prediksi terhadap progresivitas
penggunaan untuk petanda lainnya maka marker untuk prognostik ini masih
diteliti lagi secara prospektif dan longitudinal dengan jumlah pasien yang lebih
besar.
Marker dapat digunakan pula untuk membuat prediksi terhadap respons
pengobatan. Pada OA maka analisa dari fragmen matriks rawan sendi yang
dilepaskan dan yang masih tertinggal dalam rawan sendi mungkin dapat
memberikan informasi penting dari perangai proses metabolik atau peranan dari
protease. Sebagai contoh maka fragmen agrekan yang dilepaskan dalam cairan
tubuh dan yang masih tertinggal dalam matriks, sangatlah konsisten dengan
aktivitas 2 enzim proteolitik yang berbeda fungsinya terhadap matriks rawan
sendi pada OA. Enzim tersebut ialah strolielisin dan agrekanase. Penelitian
penggunaan marker ini sedang dikembangkan.
I. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pasien dengan osteoarthritis adalah:
1. Meredakan nyeri
2. Mengoptimalkan fungsi sendi
3. Mengurangi ketergantungan kepada orang lain dan meningkatkan kualitas
hidup
4. Menghambat progresivitas penyakit
5. Mencegah terjadinya komplikasi
Terapi non-farmakologis:
Edukasi : memberitahukan tetang penyakitnya, bagaimana menjaganya agar
penyakitnya tidak bertambah parah serta persendiannya tetap dapat dipakai
Menurunkan berat badan : Berat badan berlebih merupakan faktor resiko
dan faktor yang akan memperberat penyakit OA. Oleh karenanya berat
badan harus selalu dijaga agar tidak berlebihan. Apabila berat badan
berlebihan, maka harus diusahakan penurunan berat badan, bila mungkin
mendekati berat badan ideal.
Terapi fisik dan Rehabilitasi medik/fisioterapi
o Terapi ini untuk melatih pasien agar persendiannya tetap dapat
dipakai dan melatih pasien untuk melindungu sendi yang sakit.
o Fisioterapi, yang berguna untuk mengurangi nyeri, menguatkan otot,
dan menambah luas pergerakan sendi.
Terapi Farmakologis:
A. Obat Sistemik
1. Analgesik oral
o Non narkotik: parasetamol
o Opioid (kodein, tramadol)
3. Chondroprotective
Yang dimaksud dengan chondoprotectie agent adalah obat-obatan
yang dapat menjaga dan merangsang perbaikan (repair) tuamg rawan sendi
pada pasien OA, sebagian peneliti menggolongkan obat-obatan tersebut
dalam Slow Acting Anti Osteoarthritis Drugs (SAAODs) atau Disease
Modifying Anti Osteoarthritis Drugs (DMAODs). Sampai saat ini yang
termasuk dalam kelompok obat ini adalah: etrasiklin, asam hialuronat,
kondrotin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin-C, superoxide desmutase dan
sebagainya.
Tetrasiklin dan derivatnya mempunyai efek menghambat kerja
enzime MMP. Salah satu contohnya doxycycline. Sayangnya obat
ini baru dipakai oleh hewan belum dipakai pada manusia.
Glikosaminoglikan, dapat menghambat sejumlah enzim yang
berperan dalam degradasi tulang rawan, antara lain: hialuronidase,
protease, elastase dan cathepsin B1 in vitro dan juga merangsang
sintesis proteoglikan dan asam hialuronat pada kultur tulang rawan
sendi. Pada penelitian Rejholec tahun 1987 pemakaian GAG selama
5 tahun dapat memberikan perbaikan dalam rasa sakit pada lutut,
naik tangga, kehilangan jam kerja (mangkir), yang secara statistik
bermakna.
Kondroitin sulfat, merupakan komponen penting pada jaringan
kelompok vertebra, dan terutama terdapat pada matriks ekstraseluler
sekeliling sel. Menurut penelitian Ronca dkk (1998), efektivitas
kondroitin sulfat pada pasien OA mungkin melalui 3 mekanisme
utama, yaitu : 1. Anti inflamasi 2. Efek metabolik terhadap sintesis
hialuronat dan proteoglikan. 3. Anti degeneratif melalui hambatan
enzim proteolitik dan menghambat oksigen reaktif.
Vitamin C, dalam penelitian ternyata dapat menghambat aktivitas
enzim lisozim dan bermanfaat dalam terapi OA
Superoxide Dismutase, dapat diumpai pada setiap sel mamalia dam
mempunyai kemampuan untuk menghilangkan superoxide dan
hydroxyl radicals. Secara in vitro, radikal superoxide mampu
merusak asam hialuronat, kolagen dan proteoglikan sedang
hydrogen peroxyde dapat merusak kondroitin secara langsung.
Dalam percobaan klinis dilaporkan bahwa pemberian superoxide
dismutase dapat mengurangi keluhan-keluhan pada pasien OA. (Fifi
& Brandt, 1992)
2. Asam hialuronat
Disebut juga vicosupplement oleh karena salah satu manfaat obat
ini adalah memperbaiki viskositas cairan synovial. Obat ini diberikan
intra-artikuler. Obat ini memegang peranan penting dalam pembentukan
matriks tulang rawan melalui agregasi dengan proteoglikan.
Di Indonesia terdapat 3 sediaan injeksi Hyaluronan. Penyuntikan
intra artikular biasanya untuk sendi lutut (paling sering), sendi bahu dan
koksa. Diberikan berturut-turut 5 sampai 6 kali dengan interval satu
minggu masing-masing 2 sampai 2,5 ml Hyaluronan. Teknik
penyuntikan harus aseptik, tepat dan benar. Kalau tidak dapat timbul
berbagai penyulit seperti artritis septik, nekrosis jaringan dan abses
steril. Perlu diperhatikan faktor alergi terhadap unsur/bahan dasar
hyaluronan misalnya harus dicari riwayat alergi terhadap telur. (ada 3
sediaan di Indonesia diantaranya adalah Hyalgan, dan Osflex.
3. Stem sells
Akhir-akhir ini banyak penelitian baru mengenai penggunaan
stem sel untuk terapi OA terutama OA pada lutut, salah satunya di Iran.
Dilakukan penelitian selama periode satu tahun, dengan menyuntikan
stem sel intraartikular kepada pasien dengan OA lutut yang berat.
Didapatkan hasil ysng puas dan tidak ditemukan efek samping lokal atau
sistemik. Nyeri, status fungsional lutut, dan berjalan kaki cenderung
ditingkatkan hingga enam bulan pasca injeksi, setelah itu rasa sakit
tampaknya sedikit meningkat dan kemampuan pasien berjalan sedikit
menurun. Perbandingan gambar resonansi magnetik (MRI) pada awal
dan enam bulan pasca-suntikan sel didapatkan peningkatan ketebalan
tulang rawan, perluasan jaringan perbaikan atas tulang subchondral dan
penurunan yang cukup besar dalam ukuran patch pembengkakan
subchondral dalam tiga dari enam pasien.
Selanjutnya, terapi ini memiliki potensi regenerasi kartilago
artikular yang hancur dalam lutut osteoarthritic. Menurut hasil
penelitian ini, disimpulkan bahwa semua parameter dievaluasi muncul
semakin meningkatkan hingga enam bulan pasca injeksi. Nilai ini
sedikit berkurang sampai 12 bulan pasca injeksi. Untuk alasan ini, dapat
disimpulkan bahwa suntikan kedua akan membutuhkan enam bulan
setelah injeksi pertama. (Emadedin, 2012)
D. Pembedahan
Sebelum diputuskan untuk terapi pembedahan, harus dipertimbangkan
terlebih dahulu risiko dan keuntungannya.
Pertimbangan dilakukan tindakan operatif bila :
1. Deformitas menimbulkan gangguan mobilisasi
2. Nyeri yang tidak dapat teratasi dengan penganan medikamentosa
dan rehabilitatif
J. Prognosis Osteoartritis
Prognosis osteoartritis umunya baik. Sebagian besar nyeri dapat
diatasi dengan obat-obatan konservatif. Hanya pada kasus-kasus berat yang
memerlukan operasi.8
RHEUMATOID ARTRITIS
I. DEFINISI
Artritis reumatoid adalah penyakit multisistem kronis yang penyebabnya
tidak diketahui. Terdapat berbagai manifestasi sistemik pada penyakit ini,
karakteristiknya adalah peradangan yang menetap pada cairan sendi (sinovitis),
biasanya menyerang area sekitar sendi dengan distribusi yang simetris. 1,2,3
Potensi dari inflamasi yang terjadi pada cairan sendi dapat menyebabkan
kerusakan kartilago, erosi pada tulang, dan perubahan yang lebih lanjut pada
integritas sendi sebagai tanda khas pada penyakit ini. Walaupun berpotensi
merusak, artritis reumatoid cukup bervariasi. Beberapa penderita hanya
menunjukkan penyakit oligoartikular yang ringan dengan durasi yang singkat
disertai dengan kerusakan sendi yang minimal, sedangkan pada penderita yang lain
dapat menunjukkan poliartritis progresif yang ditandai kerusakan fungsional.1
Beberapa penelitian mengatakan bahwa artritis reumatoid mengalami
penuruanan dalam hal frekuensi dan tingkat keberatannya. Sebagian besar, tanda
dari artritis reumatoid adalah homogen, dan pola dari perubahan sendi dipengaruhi
oleh lingkungan dan faktor genetik. Artriris reumatoid dihubungkan dengan
penyakit ekstra-artikular yang secara konsisten lebih sedikit terjadi pada orang Asia
dan Afrika dibanding dengan orang Kaukasia.4
II. EPIDEMIOLOGI
Artritis reumatoid merupakan penyakit yang jarang pada laki-laki dibawah
umur 30 tahun. Insiden penyakit ini memuncak pada umur 60-70 tahun. Pada
wanita, prevalensi penyakit ini meningkat dari pertengahan abad ke-20 dan konstan
pada level umur 45-65 tahun dengan masa puncak 65-75 tahun.4
Prevalensi dari artritis reumatoid mendekati 0,8 % dari populasi (kisaran 0,3
- 2,1%), wanita terkena tiga kali lebih sering dibandingkan dengan laki-laki.
Prevalensi penyakit ini meningkat dengan umur, dan jenis kelamin, perbedaannya
dikurangi pada kelompok usia tua. Penyakit ini menyerang orang-orang di seluruh
dunia dari berbagai suku bangsa. Onset dari penyakit ini sering pada dekade ke-
empat dan ke-lima dari kehidupan. 1,5,6
Faktor resiko genetik tidak sepenuhnya dihitung pada insiden terjadinya
artritis reumatoid, hanya menyatakan bahwa faktor lingkungan juga berperan
penting pada penyebab dari penyakit ini. Hal ini ditekankan pada penelitian
epidemiologi di Afrika yang mengindikasikan cuaca dan urbanisasi merupakan
pengaruh utama pada insiden dan tingkat keberatan dari artritis reumatoid pada
kelompok dengan latar belakang genetik yang serupa.1
III. ETIOLOGI
Penyebab artritis reumatoid masih belum diketahui. Dikatakan bahwa artritis
reumatoid mungkin merupakan manifestasi dari respon terhadap agen infeksius
pada orang-orang yang rentan secara genetik. Karena distibusi artritis reumatoid
yang luas, hal ini menimbulkan hipotesis bahwa jika penyebabnya adalah agen
infeksius, maka organisme tersebut haruslah tersebar secara luas. Beberapa
kemungkinan agen penyebab tersebut diantaranya termasuk mikoplasma, virus
Epstein-Barr (EBV), sitomegalovirus, parvovirus, dan virus rubella, tapi
berdasarkan bukti-bukti, penyebab ini ataupun agen infeksius yang lain yang
menyebabkan artritis reumatoid tidak muncul pada penderita artritis reumatoid.1
Walupun etiologi dari artritis reumatoid belum diketahui, namun nampaknya
multifaktorial. Terdapat kerentanan genetik yang jelas, dan penelitian pada orang
kembar mengindikasikan indeks sekitar 15-20%. Sebanyak 70% dari pasien artrirtis
reumatoid ditemukan human leucocyte antigen-DR4 (HLA-DR4), sedangkan
faktor lingkungan seperti merokok dan agen infeksius dikatakan memiliki peranan
penting pada etiologi, namun kontribusinya sampai saat ini belum
terdefinisikan.1,5,7
Gambar 1 : Gambaran skematik dari sendi sinvial. (1) periosteum, (2) lapisan fibrous
terluar dari kapsul, (3) lapisan sinovial bagian dalam dari kapsul, (4) lemak dan jaringan
lunak longgar, (5) celah artikular, (6) kartilago, (7) tulang, (8) bare area. [dikutip dari
kepustakaan 5]
b. Ligamentum kapsuler
Sendi dikelilingi dan ditutupi oleh jaringan fibrosa yang mengikat tulang-
tulang yang berkaitan. Jaringan tersebut cukup regang sehingga pergerakan
dapat dilakukan tapi juga cukup kuat untuk dapat melindungi dari jejas.
c. Membran sinovial
Membran sinovial disusun oleh sel epitel dan berfungsi:
- Melapisi kapsul
- Menutupi bagian tulang di dalam sendi yang tidak ditutupi oleh kartilago
sendi
- Menutupi seluruh struktur intrakapsuler yang tidak menyokong berat tubuh
d. Cairan sinovial
Cairan sinovial merupakan cairan kental dengan konsistensi menyerupai putih
telur dan disekresikan oleh membran sinovial kedalam kavitas sinovial, dan
berfungsi:
- Menyediakan nutrisi untuk struktur di dalam kavitas sinovial
- Mengandung fagosit yang mengeliminasi mikroba dan debris seluler
- Berfungsi sebagai lubrikan
- Mempertahankan stabilitas sendi
- Mencegah terpisahnya kedua ujung tulang yang berlengketan, seperti
sedikit air yang terdapat diantara dua permukaan kaca
e. Struktur intrakapsular lainnya
Beberapa sendi memiliki struktur-struktur yang terdapat di dalam kapsul, tetapi
berada di luar membran sinovial yang membantu mempertahankan stabilitas,
contohnya bantalan lemak dan meniskus pada sendi lutut. Jika struktur tersebut
tidak menyokong berat tubuh, biasanya struktur tersebut tidak ditutupi oleh
membran sinovial
f. Struktur ekstrakapsular
- Ligamentum, yang bergabung dengan kapsul memberikan stabilitas lebih
lagi pada kebanyakan sendi
- Otot atau tendon, juga menyediakan stabilitas. Selain itu otot dan tendon
juga meregang melintasi sendi ketika terjadi pergerakan. Jika otot
berkontraksi, otot tersebut akan memendek dan menarik dua tulang
sehingga semakin berdekatan.
g. Suplai darah dan persarafan
Saraf dan pembuluh darah yang melintasi sendi biasanya bertugas menyuplai
kapsul dan otot yang menggerakkannya.
V. PATOFISIOLOGI
Artritis reumatoid adalah proses inflamasi kompleks yang merupakan hasil
reaksi dari berbagai populasi sel imun dengan aktivasi dan proliferasi dari fibroblas
sinovial. Respon inflamasi ini menyerang cairan sinovial pada persendian, bursa
dan tendon, serta jaringan lain di seluruh tubuh. Orang-orang yang menderita
penyakit ini menunjukkan tanda-tanda klinik yang bermacam-macam dan
distribusinya pada muskuloskeletal. Dalam jaringan sinovial, proses inflamasi
terjadi secara jelas, menimbulkan edema dan proliferasi kapiler dan sel mesenkim.
Pada jaringan sendi dan cairan sinovial, terjadi akumulasi dari leukosit yang
menghasilkan enzim lisosom dan proinflamasi lain, serta mediator-mediator toksik.
Kemudian, dengan teraktivasinya sel-sel imun dan fibroblas sinovial, mediator ini
dapat merusak kartilago persendian yang bedekatan. Jika proses ini terus berlanjut
dan tidak dikendalikan, permukaan sendi akan hancur, dan secara bertahap terjadi
fibrosis pada jaringan fibrosa kapsul persendian dan jaringan sendi atau terlihat
ankilosis pada tulang.9
Destruksi jaringan sendi terjadi melalui dua cara. Pertama adalah destruksi
akibat proses pencernaan oleh karena produksi protease, kolagenase dan enzim-
enzim hidrolitik lainnya. Enzim-enzim ini memecah kartilago, ligamen, tendon dan
tulang pada sendi, serta dilepaskan bersama dengan radikal oksigen dan metabolit
asam arakidonat oleh leukosit polimorfonuklear dalam cairan sinovial. Proses ini
diduga adalah bagian dari respon autoimun terhadap antigen yang diproduksi secara
lokal. Kedua adalah, destruksi jaringan juga terjadi melalui kerja panus reumatoid.
Panus merupakan jaringan granulasi vaskular yang terbentuk dari sinovium yang
meradang dan kemudian meluas ke sendi. Disepanjang pinggir panus, terjadi
destruksi kolagen dan proteoglikan melalui produksi enzim oleh sel di dalam panus
tersebut.10
Hiperplasia sinovial dan formasi ke dalam panus merupakan patogenesis
artritis reumatoid yang fundamental. Proses ini dimediasi oleh produksi dari
berbagai sitokin, contohnya tumor necrosis factor α (TNF-α) dan interleukin-1 (IL-
1) oleh antigen presenting cells dan sel T. TNF-α dan IL-1 juga memiliki peranan
penting dalam destruksi tulang.5,7
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis dari artritis reumatoid dengan anamnesis dan pemeriksaan yang
dikorelasikan dengan data laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Karakteristik
pasien, termasuk umur, jenis kelamin dan etnis, sangat penting, karena hal tersebut
berhubungan dengan resiko dan tingkat keberatan dari penyakit.2
VI.1 Gambaran Klinis
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita artritis
reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang
bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang bervariasi.10
1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan
menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya
2. Poliartritis simetris, terutama pada sendi perifer: termasuk sendi-sendi di
tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalang distal.
Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
3. Kekakuan pagi hari, selama lebih dari satu jam: dapat bersifat generalisata
tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan
kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung selama
beberapa menit dan selalu kurang dari satu jam
4. Artritis erosif: merupakan ciri khas dari penyakit ini pada gambaran
radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi
tulang.
5. Deformitas: kerusakan struktur penunjang sendi meningkat dengan
perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi
metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa adalah
beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai. Pada kaki terdapat
protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dan subluksasi
metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terserang dan mengalami
pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerak
ekstensi.
6. Nodul-nodul rheumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada
sekitar sepertiga orang dewasa pasien artritis reumatoid. Lokasi yang paling
sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku) atau sepanjang
permukaan ekstensor dari lengan. Walaupun demikan, nodul-nodul ini dapat
juga timbul pada tempat lainnya. Adanya nodul-nodul ini biasanya
merupakan petunjuk dari suatu penyakit yang aktif dan lebih berat.
7. Manifestasi ekstra-artikular; artritis reumatoid juga dapat menyerang organ-
organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata,
dan pembuluh darah dapat rusak.
Dibawah ini merupakan tabel revisi kriteria untuk klasifikasi dari artritis
reumatoid dari American Rheumatism Association tahun 1987
Gambar 5: C. Swelling dan erosi pada sendi MTP 5. D. Nodul subkutaneus multipel pada
tangan [dikutip dari kepustakaan 13]
Tanda pada foto polos awal dari artritis reumatoid adalah peradangan
periartikular jaringan lunak bentuk fusiformis yang disebabkan oleh efusi sendi dan
inflamasi hiperplastik sinovial. Nodul reumatoid merupakan massa jaringan lunak
yang biasanya tampak diatas permukaan ekstensor pada aspek ulnar pergelangan
tangan atau pada olekranon, namun adakalanya terlihat diatas prominensia tubuh,
tendon, atau titik tekanan. Karakteristik nodul ini berkembang sekitar 20% pada
penderita artritis reumatoid dan tidak terjadi pada penyakit lain, sehingga
membantu dalam menegakkan diagnosis.6
VI.4.2 CT Scan
Computer tomography (CT) memiliki peranan yang minimal dalam
mendiagnosis artritis reumatoid. Walaupun demikian, CT scan berguna dalam
memperlihatkan patologi dari tulang, erosi pada sendi-sendi kecil di tangan yang
sangat baik dievaluasi dengan kombinasi dari foto polos dan MRI.14
CT scan jarang digunakan karena lebih rendah dari MRI dan memiliki
kerugian dalam hal radiasi. CT scan digunakan sebatas untuk mengindikasikan
letak destruksi tulang dan stabilitas tertinggi tulang secara tepat, seperti pada
pengaturan pre-operatif atau pada tulang belakang.5
Pada artritis gout akut, terjadi pembengkakan yang mendadak dan nyeri yang
luar biasa, biasanya pada sendi ibu jari kaki, sendi metatarsofalangeal. Artritis
bersifat monoartrikular dan menunjukkan tanda-tanda peradangan lokal. Mungkin
terdapat demam dan peningkatan sejumlah leukosit. Serangan dapat dipicu oleh
pembedahan, trauma, obat-obatan, alkohol, atau stres emosional. Sendi-sendi lain
dapat terserang, termasuk sendi jari tangan, lutut, mata kaki, pergelangan tangan,
dan siku.16
Gambar 9 : Pembengkakan dan erosi pada sendi PIP-5 [dikutip dari kepustakaan 13]
VII.2 OSTEOARTRITIS
Osteoartritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak. Penyakit ini bersifat
kronik, berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan ditandai oleh adanya
deteorisasi dan abrasi rawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru pada
permukaan persendian. Gambaran klinis osteoartritis umumnya berupa nyeri sendi,
terutama apabila sendi bergerak atau menanggung beban. Nyeri tumpul ini
berkurang bila sendi digerakkan atau bila memikul beban tubuh. Dapat pula terjadi
kekakuan sendi setelah sendi tersebut tidak digerakkan beberapa lama, tetapi
kekakuan ini akan menghilang setelah digerakkan. Kekakuan pada pagi hari, jika
terjadi, biasanya hanya bertahan selama beberapa menit, bila dibandingkan dengan
kekakuan sendi di pagi hari yang disebabkan oleh artritis reumatoid yang terjadi
lebih lama.17
Gambar 10: Penyempitan celah sendi medial yang asimetrik [dikutip dari kepustakaan 13]
Gambaran Artritis
Gout Osteoartritis
Radiologi Reumatoid
Periartrikular, Intermitten, tidak
Soft tissue swelling Esentrik, tophi
simetris sejelas yang lain
Menurun di
Mineralisasi Baik Baik
periartrikular
Kadang-kadang
Kalsifikasi Tidak Tidak
pada tophi
Baik hingga
Celah sendi Menyempit Menyempit
menyempit
Punched out
Ya, pada
Erosi Tidak dengan garis
intraartikular
sklerotik
Menjalar ke tepi
Produksi tulang Tidak Ya
korteks
Bilateral,
Simetri Asimetri Bilateral, simetri
simetri
Kaki,
Proksimal ke pergelangan
Lokasi Distal ke proksimal
distal kaki, tangan dan
siku
Seagull appearance
Karakteristik yang Pembentukan
Poliartrikular pada sendi
membedakan kristal
interfalangeal
VIII. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi dari artritis reumatoid adalah (1) mengurangi nyeri, (2)
mengurangi inflamasi, (3) menjaga struktur persendian, (4) mempertahankan fungsi
sendi, dan (5) mengontrol perkembangan sistemik.1,10
Adapun penatalaksanaan dari artritis reumatoid adalah sebagai berikut:
1. Obat-obatan
a. Non-steroid anti-inflammatoy drugs (NSAID)
Kelompok obat ini mengurangi peradangan dengan menghalangi proses
produksi mediator peradangan. Tepatnya, obat ini menghambat sintetase
prostaglandin atau siklooksigenase. Enzim-enzim ini mengubah asam
lemak sistemik andogen, yaitu asam arakidonat menjadi prostaglandin,
prostasiklin, tromboksan dan radikal-radikal oksigen. Obat standar yang
sudah dipakai sejak lama dalam kelompok ini adalah aspirin.10
Selain aspirin, NSAID yang lain juga dapat menyembuhkan artritis
reumatoid. Produksi dari prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan ini
memberikan efek analgesik, anti-inflamasi, dan anti-piretik.1
b. Disease-modifying antirheumatic drugs (DMARD)
Kelompok obat-obatan ini termasuk metotrexat, senyawa emas, D-
penicilamine, antimalaria, dan sulfasalazine. Walaupun tidak memiliki
kesamaan kimia dan farmakologis, pada prakteknya, obat-obat ini
memberikan beberapa karakteristik.1
Pemberian obat ini baru menjadi indikasi apabila NSAID tidak dapat
mengendalikan artritis reumatoid. Beberapa obat-obatan yang telah
disebutkan sebelumnya tidak disetujui oleh U.S Food and Drugs
Administration untuk dipakai sebagai obat artritis reumatoid. Tujuan
pengobatan dengan obat-obat kerja lambat ini adalah untuk mengendalikan
manifestasi klinis dan menghentikan atau memperlambat kemajuan
penyakit.10
2. Terapi glukokortikoid
Terapi glukokortikoid sistemik dapat memberikan efek untuk terapi
simptomatik pada penderita artritis reumatoid. Prednison dosis rendah (7,5
mg/hari) telah menjadi terapi suportif yang berguna untuk mengontrol gejala.
Walaupun demikian, bukti-bukti terbaru mengatakan bahwa terapi
glukokortikoid dosis rendah dapat memperlambat progresifitas erosi tulang.1
3. Operasi
Operasi memiliki peranan penting dalam penanganan penderita artritis
reumatoid dengan kerusakan sendi yang parah. Meskipun artroplasti dan
penggantian total sendi dapat dilakukan pada beberapa sendi, prosedur yang
paling sukses adalah operasi pada pinggul, lutut, dan bahu. Tujuan realistik dari
prosedur ini adalah mengurangi nyeri dan mengurangi disabilitas.1
IX. PROGNOSIS
Beberapa tampakan klinis pada pasien artritis reumatoid nampaknya
memiliki nilai prognostik. Remisi dari aktivitas penyakit cenderung lebih banyak
terjadi pada tahun pertama. Jika aktivitas penyakit berlangsung lebih dari satu tahun
biasanya prognosis buruk. Wanita kulit putih cenderung memiliki sinovitis yang
lebih persisten dan lebih erosif dibanding pria.1
Harapan hidup rata-rata orang dengan artritis reumatoid memendek 3-7 tahun
dari orang normal. Peningkatan angka mortalitas tampaknya terbatas pada pasien
dengan penyakit sendi yang lebih berat, sehubungan dengan infeksi dan perdarahan
gasrointestinal. Faktor yang dihubungkan dengan kematian dini mencakup
disabilitas, durasi dan tingkat keparahan penyakit, penggunaan glukokortikoid,
umur onset, serta rendahnya status sosio-ekonomi dan pendidikan.1
DAFTAR PUSTAKA
1. Lipsky, Peter E. Rheumatoid Arthritis. In: Kasper LK, Fauci AS, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, and Jameson JL, editors. Harrison’s Principles of
Internal Medicine 16th ed. New York: McGraw-Hill; 2005.p.1968-76
2. Kent PD and Matteson EL, editors. Clinical Feature and Differential
Diagnosis. In: St.Clair EW, Pisetsky DS, and haynes BF, editors. Rheumatoid
Arthritis 1st ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.11-23
3. Calleja, Michele. Rheumatoid Arthritis, Spine. [Online]. 2009. [cited 2011
March 3]:[2 screens]. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/398955-overview
4. Snaith, Michael L. ABC of Rheumatology 3rd ed. London: BMJ Books;
2004.p.50-5
5. Sommer OF, Kladosek A, Weiller V, Czembirek H, Boeck M, and Stiskal S.
Rheumatoid Arthritis: A Practical Guide to State-of-the-Art Imaging, Image
Interpretation, and Clinical Implications. Austria: RadioGraphics; 2005.p.381-
398
6. Eisenberg RL and Johnson NM, editors. Comprehensive Radiographic
Pathology 4th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2003.p.1134-5
7. Coote A and Haslam P, editors. Crash Course Rheumatology and Orthopaedics
1st ed. New York : Mosby; 2004.p.51-9
8. Waugh A and Grand A, editors. Rose and Wilson Anatomy and Physiology in
Health and Illness 9th ed. Edinburg: Churchill Livingstone; 2001.p.414-5
9. Cothran Jr RL and Matinez S, editors. Radiographic Findings. In: St.Clair EW,
Pisetsky DS, and haynes BF, editors. Rheumatoid Arthritis 1st ed. New York:
Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.80-9
10. Carter, Michael A. Arthritis Reumatoid. Dalam: Price, SA and Wilson LM,
editors. Patofisiologi Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC; 2005.hal.1385-91
11. Mettler , Fred A. Essentials of Radiology 2nd ed. New York: Elsevier Saunders;
2004.p.310-1
12. Brant WE and Helms CA, editors. Fundamentals of Diagnostic Radiology 2 nd
ed. New York: Lippicott Williams & Wilkins; 2007.p.1135
13. Berquist, Thomash H. Musculoskeletal Imaging Companion 2nd ed. New York:
Lippicott Williams & Wilkins; 2007.p.803-6
14. Tsou, Ian YY. Rheumatoid Arthritis, Hands. [Online]. 20010. [cited 2011
March 3]:[3 screens]. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/401271-overview
15. Wakefield RJ, Conaghan PG, and Emery P, editors. Ultrasonography and
Magnetic Resonance Imaging for Diagnosis and Managenet. In: St.Clair EW,
Pisetsky DS, and haynes BF, editors. Rheumatoid Arthritis 1st ed. New York:
Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.98-104
16. Carter, Michael A. Gout Dalam: Price, SA and Wilson LM, editors.
Patofisiologi Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC; 2005.hal.1402-6
17. Carter, Michael A. Osteoarthritis. Dalam: Price, SA and Wilson LM, editors.
Patofisiologi Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC; 2005.hal.1380-3