Anda di halaman 1dari 120

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK DALAM

PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN


DIKAITKAN DENGAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN
BPHTB DAN PPh

TESIS

Oleh

LINDA
067011048/MKn

K O LA
E
H
S
PA

A
N

C
A S A R JA
S

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK DALAM
PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN
DIKAITKAN DENGAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN
BPHTB DAN PPh

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan


dalam Program Studi Magister Kenotariatan
Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

LINDA
067011048/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Judul Tesis : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA
PIHAK DALAM PELAKSANAAN JUAL BELI
TANAH DAN BANGUNAN DIKAITKAN DENGAN
KEWAJIBAN PEMBAYARAN BPHTB DAN PPH
Nama Mahasiswa : Linda
Nomor Pokok : 0607011048
Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui
Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)


Ketua

(Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn) (Dr. Budiman Ginting, SH, MHum)
Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Ir. T .Chairun Nisa, B.M.Sc)

Tanggal Lulus :

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Telah Diuji
Pada Tanggal

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN


Anggota : Notaris/PPAT Syahril Sofyan, SH, MKn
Dr. Budiman Ginting, SH, MHum
Notaris/PPAT Syafnil Gani, SH, MHum
Chadidjah Dalimunthe, SH, Mhum

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
ABSTRAK

Undang-Undang menentukan seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)


hanya boleh menandatangani akta jual beli setelah kepadanya diserahkan fotocopi
bukti pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan/atau Bangunan (BPHTB) yang menjadi kewajiban penjual dan pembeli. Apabila
PPAT yang melanggar ketentuan seperti yang disebut diatas, maka akan dikenakan
sanksi berupa denda sebesar Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah).
Meskipun Buku III KUHPerdata yang mengatur perihal perikatan (verbintenis)
menyebutkan bahwa kesepakatan antara penjual dan pembeli saja sudah cukup
mengikat dan menimbulkan kewajiban bagi penjual untuk menyerahkan tanah
dan/atau bangunannya dan pembeli untuk menyerahkan uangnya sebesar yang telah
disepakati, namun dari segi pembuktian yang diatur dalam Buku IV KUHPerdata
menyebutkan khusus untuk jual beli wajib dilaksanakan dengan pembuatan akta
otentik, dengan ancaman kebatalan bagi pihak-pihak yang melanggarnya. Pembuatan
Akta Otentik oleh Pejabat Umum yang berwenang, baru bisa dilaksanakan apabila
pajak yang berlaku bagi pengalihan tanah dan atau bangunan dilaksanakan sesuai
ketentuan perpajakan. Akan tetapi yang menjadi permasalahan dari penelitian ini
adalah proses penerimaan BPHTB yakni pembatasan waktu penerimaan BPHTB
sampai pukul 11.00 WIB (Sebelas Waktu Indonesia Bagian Barat).
Penelitian ini bersifat Deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah
metode pendekatan yuridis normatif, sementara untuk mendukung penelitian
normatif, dilakukan wawancara dengan beberapa informan yang dianggap layak dan
mengetahui proses pembuatan akta jual beli tanah dan bangunan. Bahan utama dari
penelitian ini adalah data sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan
berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier dengan menggunakan metode
deduktif serta disajikan dalam bentuk deskriptif.
Hasil Penelitian ini menunjukan bahwa karena dengan adanya batas lokasi
tempat pembayaran BPHTB sehingga mengakibatkan proses pembayaran pajak
khususnya BPHTB untuk perbuatan hukum jual beli menjadi terhambat.Selain
masalah pembayaran pajak BPHTB, kendala lain juga timbul dari wajib pajak.
Kendala yang dimaksud adalah apabila salah satu pihak misalnya pihak penjual telah
melakukan pembayaran pajak, tetapi pihak pembeli belum melakukan pembayaran
pajak, agar pihak penjual dapat terlindungi maka dilakukan perjanjian jual beli.
Mengenai kendala dalam pembayaran pajak BPHTB hendaknya dapat dilakukan
melalui ATM (Automatic Teller Machine).

Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Jual Beli Tanah dan/atau Bangunan, PPh &
BPHTB

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
ABSTRACT

The regulations had determined for a notary to sign a deed of established of


trading only after a notary received the copies evidence of income tax payment and
rights achievements of land and/or building fees which become the duty of seller and
buyer. If there were a notary whom disobey the regulations mentioned above, than
the punishment will be accused as fine amount Rp 7,500,000,- (seven millions and
five hundreds thousands rupiahs). Even though civil code book III which regulate the
commitment (verbintenis) mentioned that the agreement between seller and buyer
party has just enough to tie up and occur the responsibility for the seller party to hand
over land and/or building and for the buyer party to submitted the money as much as
the deal, however seen from authentication point of view that had been regulated in
civil code book IV mention specifically for trading the making the authentic of a deed
of established is a must, followed by threat of abrogation to parties whom disobey it.
The making of authentic a deed of established of, by an authority public notary can be
accomplished whenever the prevail tax for transferring of land use and building is
done as the taxation certain prevail. However the objective of this research is about
the acceptance process of rights for land use and/or building fees that is acceptance
time delimitation of rights for land use and/or building until 11.00 pm (Indonesian
time zone).
The research is a descriptive research. The characteristics of the research that
is used is normative juridical approach, mean while to support normative research,
interviewed with a several capable sources that knowing well the making of a deed of
established of trading the land an building process has been done. The main material
for this research are secondary data by collecting the materials as law prime material,
secondary and tertiary by using deductive method and displayed in descriptive form.
The result of this research revealed because of the delimitation of payment
location has impacting to the tax payment process especially in law deed of trading is
obstructed. Another obstacle is occurred from tax obligatory. The obstacle that
purposed is whenever one of the parties for example the seller party had
accomplished the tax payment, but at the buyer party had not accomplished the tax
payment, in order to protect the seller party, the trading agreement need to be done.
About the obstacle of rights achievements for land use and/or building tax payment
wish it could be done through the ATM (Automatic Teller Machine).

Key Word: Law Protection, Land and/or Building trading, Income Tax and Rights
Achievements for land use and/or Building fees

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan, kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayahNYA, dengan mengkaruniakan kesehatan dan

kelapangan berpikir kepada penulis sehingga akhirnya dapat menyelesaikan penulisan

tesis ini yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK

DALAM PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN

DIKAITKAN DENGAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN BPHTB DAN PPh”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi

untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Kenotariatan pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan tesis ini penulis mendapat

bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak dan untuk itu penulis ingin

mengaturkan ucapan terima kasih yang tiada terhingga dan penghargaan yang

setinggi-tingginya terutama kepada: Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN,

Notaris/PPAT Syahril Sofyan, SH, MKn dan Dr. Budiman Ginting, SH, MHum

selaku Komisi Pembimbing.

Selanjutnya ucapan terima kasih kepada :

1. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, selaku Rektor Universitas Sumatera

Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk

mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magister.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswa Program

Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi

Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara.

4. Notaris/PPAT Syafnil Gani, SH, MHum, selaku Komisi Penguji yang telah

memberikan masukan dan pengarahan demi memperkaya penulisan tesis ini.

5. Chadidjah Dalimunthe, SH, MHum, Selaku Komisi Penguji yang telah

memberikan masukan dan pengarahan demi memperkaya penulisan tesis ini.

6. Para Dosen pada Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera.

7. Para Notaris/PPAT, di wilayah Medan yang telah memberi kesempatan dan

membantu penulis dalam penelitian juga telah memberi masukan dan saran-

saran untuk mendukung penulisan tesis ini.

8. Para Staf Sekretariat Program Studi Magister Kenotariatan yang telah

membantu dalam mengurus administrasi selama perkuliahan.

9. Kepada teman-teman seperjuangan lainnya yang tidak dapat penulis ucapkan

satu persatu terima kasih atas dukungan dan persahabatannya.

Secara khusus penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga

kepada suami tercinta SIAMIN dan ananda tersayang FELIX FANADY, dan Ibunda

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
tercinta serta keluarga besar penulis semuanya yang tidak dapat penulis ucapkan satu

persatu, semoga do’a dan kasih sayang mereka tetap menyertai penulis.

Semoga segala bantuan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis

mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, Amin……….

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu

penulis sangat mengharapkan saran dan kritik demi kemajuan kita bersama.

Akhir kata semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan kita semua atas

perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Agustus 2008

Penulis,

Linda

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
RIWAYAT HIDUP

Nama : Linda

Tempat / Tanggal Lahir : Medan / 05 Juni 1981

Alamat : Jalan Gatot Subroto Nomor 35 Medan

Pendidikan :

- SD : Tahun 1987 s/d 1993


SD Perguruan Kristen Kalam Kudus
Medan, Sumatera Utara.

- SMP : Tahun 1993 s/d 1996


SMP Perguruan Kristen Kalam Kudus
Medan, Sumatera Utara.

- SMA : Tahun 1996 s/d 1999


SMA Perguruan Kristen Kalam Kudus
Medan, Sumatera Utara.

- Perguruan Tinggi / S 1 : Tahun 1999 s/d 2003


Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa
Medan, Sumatera Utara.

- Perguruan Tinggi / S 2 : Tahun 2006 s/d 2008


Sekolah Pascasarjana Program Magister
Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara,
Medan, Sumatera Utara.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK............................................................................................. i

ABSTRACT .......................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ........................................................................... iii

RIWAYAT HIDUP ............................................................................... vi

DAFTAR ISI ......................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1

A. Latar Belakang Permasalahan ............................................................ 1

B. Permasalahan .................................................................................... 12

C. Tujuan Penelitian............................................................................... 13

D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 14

E. Keaslian Penelitian ............................................................................ 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ............................................................ 16

1. Kerangka Teori ........................................................................... 16

2. Konsepsi ..................................................................................... 27

G. Metodologi Penelitian ....................................................................... 38

1. Sifat Penelitian ............................................................................ 38

2. Jenis Penelitian ............................................................................ 39

3. Bahan-Bahan Penelitian .............................................................. 40

4. Alat Pengumpulan Data ............................................................... 41

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
5. Analisis Data ............................................................................... 41

BAB II BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP


PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN JUAL BELI
TANAH DAN/ATAU BANGUNAN DIKAITKAN
DENGAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN BPHTB DAN
PPh .................................................................................... 43
A. Pengertian Jual Beli Tanah dan Bangunan........................ 43
B. Pengertian Hukum Pajak dalam Peraturan Perpajakan
yang Berlaku dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah
dan Bangunan .................................................................. 60
C. Hak dan Kewajiban Penjual dan Pembeli Atas Jual Beli
Tanah dan Bangunan ....................................................... 71

BAB III PERAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT)


DALAM KAITANNYA DENGAN BPHTB DAN
PPh ATAS JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN 77
A. Peran PPAT Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris
Terhadap Setiap Transaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan 77
B. Prosedur dan Syarat-Syarat Pembayaran PPh dan BPHTB.. 86

BAB IV KENDALA DAN UPAYA MENGATASINYA DALAM


PEMBAYARAN BPHTB DAN PPh ATAS JUAL BELI
TANAH DAN BANGUNAN................................................ 93
A. Kendala-Kendala dalam Pembayaran BPHTB dan PPh ..... 93
B. Upaya – Upaya Mengatasi dalam Kendala Pembayaran
BPHTB dan PPh .............................................................. 98

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................ 101


A. Kesimpulan ..................................................................... 101
B. Saran ............................................................................... 102

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 104

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku

di Indonesia, setiap pelaksanaan peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah

obyek pajak. Sebagai obyek pajak, peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan

dikenakan pajak dari kedua sisi, yaitu dari sisi penjual dan pembeli. Bagi pihak

penjual dikenakan Pajak Penghasilan (yang selanjutnya disingkat dengan PPh) yang

diperoleh dari penjualan tanah dan/atau bangunan. Sementara itu bagi pihak pembeli

dikenakan pajak yang berupa Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan

(yang selanjutnya disingkat dengan BPHTB). Pembayaran pajak yang menyangkut

PPh dan BPHTB adalah jual beli tanah yang ada haknya.

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang – Undang

(yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi)

yang langsung dapat ditujukan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran

umum. 1

Fungsi pajak ada dua yaitu, fungsi budgetair (sumber keuangan negara) dan

fungsi regulerend (mengatur).

1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)

1
Mardiasmo, Perpajakan (edisi revisi), Andi Offset, Yogyakarta, 2005, hal 1.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Pajak mempunyai fungsi budgetair artinya pajak merupakan salah satu
sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin
maupun pembangunan, sebagai sumber keuangan negara. Upaya tersebut
ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan
pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak
Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan lain-lain.

2. Fungsi Regulerend (Mengatur)


Pajak mempunyai fungsi mengatur artinya pajak sebagai alat untuk
mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial
dan ekonomi, dan mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang
keuangan. 2

Wajib pajak adalah subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak.

Karena yang menjadi subjek pajak adalah pihak yang memperoleh hak atas tanah

dan/atau bangunan, yang menjadi wajib pajak tentulah pihak yang memperoleh hak

atas tanah dan bangunan sesuai dengan perolehan hak yang terjadi. Kewajiban

pembayaran pajak ini harus dilakukan oleh wajib pajak pada saat terutangnya pajak

sesuai ketentuan Undang-Undang. Bila kewajiban ini belum terpenuhi, perolehan hak

akan tertunda. Dalam hal ini, pejabat yang berwenang tidak akan mengesahkan

perolehan hak tersebut sebelum BPHTB terutang dibayar/dilunasi oleh wajib pajak. 3

PPh yang diperoleh dari penjualan tanah dan/atau bangunan bagi penjual

tersebut bersifat final, hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 48 Tahun 1994, tertanggal 27 Desember 1994 tentang Pembayaran Pajak

Penghasilan atas penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan,

2
Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus, Salemba Empat, Jakarta, 2004, hal. 2.
3
Marihot P. Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2003, hal. 73.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1995 (selanjutnya disingkat dengan PP No. 48

Tahun 1994).

Pada Pasal 1 Peraturan Pemerintah tersebut diatur:


1. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan
dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dibayar pajak
penghasilan.
2. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah:
a. Penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak,
penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan
pihak lain selain pemerintah.
b. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak atau cara
lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan
pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang
tidak memerlukan persyaratan khusus.
c. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak atau cara
lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus. 4

Besarnya PPh yang harus dibayar oleh penjual diatur dalam Pasal 4 Peraturan

Pemerintah tersebut, yaitu sebesar 5 % (lima persen) dari jumlah bruto nilai

pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan 5.

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 ini

kemudian diubah berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27

Tahun 1996, tertanggal 16 April 1996 tentang Perubahan atas Peraturan

Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas

Penghasilan Dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau bangunan (selanjutnya

disingkat dengan PP

4
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan dari Peralihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
5
Ibid. Pasal 4.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
No. 27 Tahun 1996) Perubahan tersebut diantaranya mengenai: 6

1. Besarnya pajak, dibedakan antara PPh yang berlaku bagi wajib pajak

developer yang menjual barang dagangannya sebesar 2 % (dua persen), dan

wajib pajak lain dan developer yang menjual tanah dan/atau bangunan yang

bukan merupakan barang dagangannya sebesar 5 % (lima persen).

2. Sifat final PPh tersebut diubah, bagi wajib pajak developer yang menjual

barang dagangannya dapat dikompensasikan dengan pajak terutang pada

tahun berjalan, sedangkan bagi wajib pajak lainnya dan developer yang

menjual tanah dan/atau bangunan selain barang dagangannya bersifat final.

Pembayaran PPh dilakukan oleh Wajib Pajak/wakilnya/kuasanya ke kas

Negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (yang selanjutnya disingkat dengan

SSP) melalui Bank Persepsi yang ditunjuk atau Kantor Pos, sebelum akta pengalihan

hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh dan dihadapan Pejabat

Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disingkat dengan PPAT).

Khusus mengenai pajak yang dibebankan kepada pembeli, yang berupa


BPHTB diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, juncto Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2000, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun
1997, tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Dalam Pasal 1
angka (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan/atau Bangunan, dirumuskan sebagai berikut: “Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan/atau Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah
dan/atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.”

6
Pasal 4 Juncto Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 Tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
BPHTB merupakan pajak yang terutang dan harus dibayar oleh pihak yang

memperoleh suatu hak atas tanah dan bangunan agar akta risalah lelang, atau surat

keputusan pemberian hak dapat dibuat dan ditandatangani oleh pejabat yang

berwenang.

Mengenai saat terutang pajak yang berupa BPHTB tersebut diatur dalam Pasal

9 ayat (1) Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2000 (selanjutnya disebut UU

BPHTB), yaitu:

a. Jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta.

b. Tukar menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta.

c. Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta.

d. Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan

haknya ke kantor Pertanahan.

e. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak

tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta.

f. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak adalah sejak tanggal

dibuat dan ditanda-tanganinya akta.

g. Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang.

h. Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai

kekuatan hukum tetap.

i. Hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan

peralihan haknya ke kantor pertanahan.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
j. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak

adalah sejak tanggal ditanda-tanganinya dan diterbitkannya surat

keputusan pemberian hak.

k. Pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditanda

tanganinya dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak.

l. Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya

akta.

m. Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta.

n. Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.

o. Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.

Timbulnya utang pajak dari Wajib Pajak BPHTB atas pengalihan hak atas

tanah dan bangunan adalah pada saat dibuat dan ditandatanganinya akta dihadapan

PPAT. Pembayaran dari Wajib Pajak tidak didasarkan pada Surat Keterangan Pajak,

akan tetapi timbul dengan sendirinya karena pada saat yang ditentukan oleh Undang-

Undang sekaligus syarat-syarat subyektif dan obyektif terpenuhi.

Sistem pemungutan BPHTB adalah self assessment system di mana Wajib

Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang

terutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Atas Tanah dan

Bangunan (selanjutnya disingkat dengan SSB) dan/atau melaporkannya tanpa

mendasarkan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Pajak yang terutang dibayar ke Kas Negara melalui Kantor Pos dan atau Bank

Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat

pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pembayaran

atau penyetoran BPHTB dari Wajib Pajak dan memindahbukukan saldo penerimaan

BPHTB ke Bank Operasional V BPHTB, yang wewenang penunjukannya

dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Anggaran 7 dengan Keputusan Direktur

Jenderal Anggaran Nomor KEP-04/A/2002 tanggal 28 Januari 2002 tentang

Penunjukan Bank Persepsi BPHTB dan Bank Operasional V BPHTB.

BPHTB terutang dibayar ditempat pembayaran BPHTB di wilayah

Kabupaten/Kota yang meliputi letak tanah dan/atau bangunan dengan menggunakan

dan mengisi SSB.

Sebagai konsekuensi dari ketentuan tersebut, Pasal 9 ayat (2) UU BPHTB

menentukan pajak yang terutang harus sudah dilunasi pada saat terjadinya perolehan

hak sebagaimana telah disebutkan. Ketentuan mengenai waktu pembayaran pajak

oleh pembeli ini dipertegas lagi dengan kewajiban bagi PPAT, dan Pejabat lelang

Negara untuk menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan

dimaksud setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak yang menjadi

kewajibannya (Pasal 24 UU Nomor 20 Tahun 2000) dan bagi PPAT dan pejabat

lelang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dikenakan denda sebesar

7
Departemen Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan Tentang Penunjukan Tempat dan
Tata Cara Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Kepmen Keuangan
No.517/KMK.04/2000, Pasal 4 ayat (1).

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran (Pasal 26

ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2000).

Sampai disini tidak ada masalah yang ditimbulkan dengan berlakunya perundang-undangan perpajakan terhadap
pelaksanaan penjualan dan pembelian tanah dan/atau bangunan, karena secara teoritis setiap pelaksanaan penjualan dan
pembelian tanah dan/atau bangunan baru akan dilaksanakan setelah pajak-pajak yang diwajibkan sebagaimana telah diterangkan
tersebut dibayarkan seluruhnya. Namun dalam pelaksanaannya di lapangan hal tersebut mengalami beberapa kendala.

Dalam pelaksanaan jual beli, pada umumnya para penjual dan/atau pembeli
melakukan pembayaran pajak pada saat perbuatan hukum jual beli tersebut dilakukan
dihadapan PPAT.
Demi menjaga kemungkinan agar tidak terjadinya penundaan pembayaran
pajak, biasanya pembayaran pajak yang menjadi kewajiban penjual maupun pembeli
dalam pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan dilakukan pada hari dan tanggal akta
jual belinya ditandatangani oleh para pihak di hadapan PPAT, dan demi menjaga
kepastian pembayaran pajak tersebut dilakukan oleh para pihak, biasanya PPAT yang
bersangkutan dengan sukarela membantu para pihak untuk membayarkan pajak
tersebut kepada instansi yang berwenang melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi.
Pembayaran pajak harus dilakukan sebelum akta jual beli dilakukan
dihadapan PPAT, meskipun sedemikian rupa kinerja PPAT untuk memprioristakan
pembayaran pajak tersebut, tetap saja ada masalah yang ditemukan di lapangan,
seperti yang akan penulis kutip dari Artikel Renvoi yang akan disebut di bawah ini
tentang Notaris Kecewa Pelayanan Bank Persepsi.
Masalah yang timbul di lapangan itu adalah seperti yang terjadi pada Bank
Sumut Cabang Utama Medan dinilai sangat kaku dalam melayani para wajib
pajak, pada tanggal 27 Desember 2007 dari pagi pukul 08.00 WIB mereka
telah mengantri selama kurang lebih 2 jam di depan teller, tapi pihak bank
tidak mau menerima BPHTB kecuali PPh sedangkan sebelum melakukan
pembuatan Akta Jual Beli harus lebih dulu membayar BPHTB dan PPh, jadi
apa artinya jika hanya PPh saja yang harus dibayarkan dan hal ini tetap saja
menghambat pembuatan Akta Jual Beli. Sebenarnya Bank Sumut tidak
menolak atas pembayaran BPHTB tersebut, namun karena telah diberi waktu
oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) selaku BO III (bank operasional III) yang
merupakan pengumpul dana dari bank persepsi penerima BPHTB dan PPh
untuk melimpahkan penyetoran ke Kas Negara. Batas yang diberikan BO III
selambat-lambatnya pada pukul 14.00 WIB (Empat belas Waktu Indonesia
Bagian Barat) dan jika tidak sesuai waktu tersebut, maka bank persepsi akan
dikenakan sanksi. Selama ini, Bank Sumut Cabang Utama Medan selalu
melayani penerimaan pemasukan negara atas BPHTB dan PPh hingga pukul
11.00 WIB. 8 (Sebelas Waktu Indonesia Bagian Barat).

8
Artikel Renvoi, Notaris Kecewa Pelayanan Bank Persepsi, Februari 2008 No. 9.57.V.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Selain itu implikasi tentang penanggalan bukti pembayaran pajak tersebut
terhadap tanggal dan nomor akta yang dibuat oleh PPAT menjadi tantangan bagi
PPAT. Apabila PPAT berpedoman pada fakta perbuatan hukum jual beli tersebut
dilakukan, maka akta jual beli yang dibuat akan tetap diberi nomor, hari dan tanggal
saat perbuatan hukum tersebut secara nyata dilakukan, dengan resiko bagi PPAT
yang bersangkutan akan terkena sanksi denda sebesar Rp. 7.500.000.,- (tujuh juta
lima ratus ribu rupiah) setiap akta karena melakukan penandatanganan akta sebelum
lunasnya pembayaran PPh dan BPHTB.
Namun, apabila pejabat tersebut mempertimbangkan demi menghindari

kewajiban membayar denda yang mengancam dirinya, nomor dan tanggal akta yang

dicantumkan dalam aktanya akan ditentukan setelah atau setidak-tidaknya sama

dengan tanggal yang tercantum dalam bukti pembayaran pajak yang menjadi

kewajiban penjual dan pembeli dibayarkan ke Bank Persepsi atau Kantor Pos.

Apabila Pilihan kedua yang dilaksanakan, hal ini akan sangat bertentangan dengan

prinsip hukum yang menjadi kewajiban Notaris yang ditunjuk sebagai mitra

Pemerintah untuk menjamin kepastian tanggal dari suatu perbuatan hukum yang

dibuat di hadapannya, sebagaimana itu diatur dalam Pasal 15 (1) Peraturan Jabatan

Notaris di Indonesia, UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Peraturan jabatan Notaris

dimana disebutkan:

“Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,


perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh suatu Peraturan Perundang-
undangan dan/atau yang dikhendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang”.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
PPAT seharusnya tetap menjaga dan menjunjung tinggi fungsinya sebagai

pejabat umum yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mencatat dan menjamin tanggal

dari perbuatan hukum yang dilakukan dihadapannya agar akta yang dibuatnya dapat

memenuhi syarat sebagai akta otentik. Pertimbangan perlunya dituangkan dalam

bentuk akta otentik adalah untuk menjamin kepastian hukum guna melindungi pihak-

pihak. 9

Suatu akta akan memiliki karakter yang otentik, jika akta itu mempunyai daya

bukti antara para pihak dan terhadap pihak ketiga, sehingga hal itu merupakan

jaminan bagi para pihak bahwa perbuatan-perbuatan atau keterangan-keterangan yang

dikemukakan memberikan suatu bukti yang tidak dapat dihilangkan.

“Akta yang dibuat Notaris adalah akta otentik dan otensitasnya itu bertahan
terus, bahkan sampai sesudah ia meninggal dunia. Tanda tangannya pada
waktu akta itu tetap mempunyai kekuatan, walaupun ia tidak dapat lagi
menyampaikan keterangan mengenai kejadian-kejadian pada saat pembuatan
akta itu. Apabila Notaris untuk sementara waktu diberhentikan atau dipecat
dari jabatannya, maka akta-akta tersebut tetap memiliki kekuatan sebagai akta
otentik, tetapi akta-akta itu haruslah telah dibuat sebelum pemberhentian atau
pemecatan sementara waktu itu dijatuhkan”. 10

Namun, denda yang diberlakukan oleh Menteri Keuangan yang dibebankan

terhadap Notaris/PPAT yang membuat dan menandatangani akta sebelum kewajiban

pembayaran PPh dan BPHTB dipenuhi menjadi kendala bagi PPAT untuk melakukan

fungsi dan kewajibannya sebagaimana diamanahkan oleh peraturan perUndang-

Undangan yang berlaku, bahkan apabila PPAT tersebut kurang berhati-hati ada

9
Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center for Documentation Studies of
Business Law (CDSBL), Yogyakarta, 2003, hal. 49.
10
Ibid.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
kemungkinan akan mendapat tuntutan hukum di kemudian hari atas dasar perbuatan

pidana, karena telah memasukkan data palsu ke dalam aktanya.

Dalam hal ini yang dimaksud dengan perbuatan pidana dengan memasukkan

data palsu ke dalam aktanya adalah melakukan pergeseran nomor dan tanggal akta

jual beli sesuai dengan bukti pembayaran pajaknya.

Mengingat adanya dilema bagi PPAT mengenai kondisi sebagaimana telah

diuraikan tersebut, dalam penelitian ini akan dibahas mengenai peraturan

perundang-undangan yang ada yang berkaitan dengan pelaksanaan jual beli tanah

dan bangunan, serta perlindungan hukum terhadap para pihak dalam pelaksanaan

jual beli tanah dan bangunan berkaitan dengan pembayaran pajak yang

diwajibkan.

Pembahasan mengenai perlindungan hukum terhadap para pihak dalam

pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan dikaitkan dengan kewajiban pembayaran

BPHTB dan PPh adalah dalam hal pemenuhan kewajiban pajak, di mana untuk

melihat kesesuaian pembayaran pajak yang akan dilakukan oleh wajib pajak, dan

juga membahas tentang kendala pembayaran BPHTB dan PPh. Berdasarkan uraian

diatas, maka penulis tertarik untuk menulis tesis ini dengan judul: Perlindungan

Hukum Terhadap Para Pihak dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah dan Bangunan

Dikaitkan dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB dan PPh.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
B. Permasalahan

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka permasalahan yang akan dibahas

dalam penelitian tesis ini adalah:

1. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum para pihak dalam pelaksanaan jual

beli tanah dan bangunan dikaitkan dengan kewajiban pembayaran BPHTB dan

PPh ?

2. Bagaimana peran PPAT untuk melindungi para pihak dalam pelaksanaan

pembayaran dan penyetoran BPHTB dan PPh terhadap jual beli tanah dan

bangunan ?

3. Apakah kendala yang terdapat dalam pembayaran PPh dan BPHTB tersebut serta

bagaimana upaya mengatasinya?

C. Tujuan Penelitian

Bertitik tolak dari rumusan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai

dalam penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap para pihak dalam

kewajiban pembayaran BPHTB dan PPh.

2. Untuk mengetahui peran PPAT melindungi para pihak dalam hal penyetoran

BPHTB dan PPh atas jual beli tanah dan bangunan tersebut.

3. Untuk mengetahui kendala yang terdapat dalam pembayaran PPh dan BPHTB

serta upaya untuk mengatasinya.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
D. Manfaat Penelitian

Di samping mengetahui tujuan yang hendak dicapai, penulisan ini juga diharapkan

dapat memberikan manfaat. Manfaat penulisan ini dapat diklasifikasikan atas dua

jenis yaitu Manfaat Teoritis dan Manfaat Praktis.

a. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat tentang

pemahaman kewajiban pembayaran pajak oleh penjual dan pembeli dalam

pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan.

b. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dapat diterapkan

dalam kalangan masyarakat, Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah itu

sendiri.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas

Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

menunjukkan bahwa penelitian dengan judul: “Perlindungan Hukum Terhadap Para

Pihak dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah dan Bangunan Dikaitkan dengan

Kewajiban Pembayaran BPHTB dan PPh” ini belum ada yang membahasnya.

Namun penulis ada menemukan beberapa tesis karya mahasiswa, yang

mengangkat tentang Perpajakan atas Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
dalam hal Jual beli, akan tetapi permasalahan yang diangkat tidak sama dengan para

penulis sebelumnya, yaitu:

1. Penelitian oleh SHIRLEY (NIM : 067011080), dengan judul tesis: Pelaksanaan

Undang-Undang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan Dikaitkan

dengan Tugas Notaris/PPAT dalam pembuatan Akta Hibah Atas Tanah dan/atau

Bangunan di Kota Medan, dengan pokok permasalahan dalam penelitian tersebut

adalah:

a. Bagaimanakah kepatuhan Notaris/PPAT terhadap pelaksanaan UU BPHTB

dalam penandatanganan akta hibah tanah dan/atau bangunan?

b. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan kepatuhan dan ketidakpatuhan

Notaris/PPAT terhadap UU BPHTB atas hibah tanah dan/atau Bangunan?

c. Apakah akibat hukum dari ketidakpatuhan Notaris/PPAT terhadap UU

BPHTB dalam pembuatan akta hibah atas tanah dan/atau bangunan?

2. Penelitian oleh JANSEN RICARDO SITANGGANG (NIM : 067011121),

dengan judul tesis: Penerapan Prinsip Kepastian Hukum dan Keadilan Dalam

Pengenaan BPHTB Terhadap Subjek Pajak Pada Proses Perolehan Hak Atas

Tanah Dan Atau Bangunan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Jo.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, dengan pokok permasalahan dalam

penelitian tersebut adalah:

a. Bagaimana kepastian hukum diterapkan dalam undang-undang tentang

BPHTB ini

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
b. Bagaimana prinsip keadilan dalam pengenaan BPHTB terhadap subjek hukum

dalam proses perolehan hak atas tanah dan atau bangunan?

3. Penelitian oleh Rahmaida (2005), dengan judul tesis: Peningkatan Penerimaan

Pajak Atas Transaksi Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (studi penelitian

di kantor pelayanan pajak bumi dan bangunan medan dua), dengan pokok

permasalahan dalam penelitian tersebut adalah:

a. Bagaimana pelaksanaan penerimaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau

Bangunan pada Kantor Pelayanan Bumi dan Bangunan Medan Dua.

b. Faktor-faktor apa yang menjadi penghambat dalam penerimaan Bea Perolehan

Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan

Bangunan Medan Dua.

c. Upaya-upaya apa yang dilakukan untuk meningkatkan penerimaan Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan pada Kantor Pelayanan Pajak

Bumi dan Bangunan Medan Dua.

Berdasarkan penelusuran tersebut maka dapat dipastikan penelitian ini dapat

dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi 11. Sedang kerangka teori merupakan landasan dari teori

atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari

permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran

atau butir-butir pendapat teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak

disetujui. 12

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan

arahan/petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati. 13 Karena penelitian ini

merupakan penelitian hukum maka kerangka teori diarahkan secara ilmu hukum dan

mengarahkan diri kepada unsur hukum.

Untuk itu dalam tulisan ini akan diuraikan tentang Perlindungan Hukum

Terhadap Para Pihak dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah dan Bangunan Dikaitkan

dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB dan PPh berdasarkan data-data kepustakaan

dan perundang-undangan.

Dalam pemungutan pajak ada dikenal beberapa sistem pemungutan pajak

yaitu:

1. Official Assessment System

Official Assessment System adalah di mana wewenang pemungutan pajak ada

pada fiskus. Fiskus berhak menentukan besarnya utang pajak orang pribadi maupun

11
JJ. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting M. Hisyam, Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 203.
12
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Madju, Bandung, 1994, hal. 80.
13
Bandingkan Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja.
Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 35.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
badan dengan mengeluarkan ketetapan pajak, yang merupakan bukti timbulnya suatu

utang pajak. Jadi, dalam sistem ini para wajib pajak bersifat Pasif dan menunggu

ketetapan fiskus mengenai utang pajaknya.

2. Semi Self Assessment System

Semi Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak di mana

wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang dari wajib pajak berada

pada kedua belah pihak, yaitu wajib pajak dan fiskus. 14 Mekanisme pelaksanaan

dalam sistem ini berdasarkan suatu anggaran bahwa wajib pajak pada awal tahun

menaksir sendiri besarnya utang pajak terutang yang sesungguhnya ditetapkan oleh

fiskus.

Penerapan Semi Self Assessment System bersama-sama dengan Withholding

System, yang pada waktu itu dikenal dengan sebutan tata cara Menghitung Pajak

sendiri (MPS) dan Menghitung Pajak Orang (MPO) dilaksanakan pada periode 1968-

1983.

3. Withholding System 15

Withholding System adalah suatu sistem pemungutan pajak di mana pihak

ketiga memungut dan menyetorkan pajak ke kas negara atas nama wajib pajak,

kewenangan tersebut diatur dalam peraturan pajak. Sehingga pada prinsipnya

14
Rimsky K. Judisseno, Perpajakan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal 3.
15
Ibid

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Withholding System telah diatur dalam Undang-Undang Perpajakan dengan tarif yang

pasti besarnya dan pembayarannya dapat sebagai angsuran pajak atau bersifat final.

4. Self Assessment System 16

Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak di mana wajib

pajak menghitung dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus disetorkan.

Penekanannya adalah wajib pajak harus aktif menghitung dan melaporkan jumlah

pajak terutangnya tanpa campur tangan fiskus.

Sistem ini diberlakukan untuk memberikan kepercayaan yang sebesar-

besarnya bagi masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat

dalam menyetorkan pajaknya. Dengan menyadari kelemahan-kelemahan yang

ditimbulkan sistem tersebut di atas, maka pada umumnya menggunakan Self

Assessment System.

Selain dikenal dengan adanya sistem pemungutan pajak, juga ada teori

pemungutan pajak, yaitu:

a. Teori Asuransi

Dimana teori ini menjelaskan bahwa Negara melindungi keselamatan

jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus

membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena

memperoleh jaminan perlindungan tersebut.17

b. Teori Kepentingan

16
Mardiasmo, Op.Cit, hal 8.
17
Ibid, hal. 3.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Teori ini mengukur besarnya pajak sesuai dengan besarnya kepentingan

wajib pajak yang dilindungi. Semakin besar kepentingan yang harus

dilindungi, maka pajak yang dibayarnyapun lebih besar. Teori asuransi

dan Teori Kepentingan banyak ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai

dengan sifat hukum pajak itu sendiri, yaitu tidak ada imbalan yang

langsung dapat ditunjuk.

c. Teori Daya Pikul

Menurut Rimsky K. Judisseno, teori daya pikul merupakan pembebanan

pajak itu harus sama beratnya untuk setiap orang sesuai dengan daya

pikulnya masing-masing. 18

d. Teori Asas Daya Beli

Bahwa pajak yang dipungut merupakan usaha untuk menarik daya beli

dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara, yang kemudian

sebagai balasannya negara akan menyalurkannya kembali dalam bentuk

pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan

seluruh masyarakat lebih diutamakan.

“Menurut teori ini maka fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagai

gejala dalam masyarakat, dapat disamakan dengan pompa, yaitu

mengambil daya beli masyarakat untuk rumah tangga dalam masyarakat

untuk rumah tangga negara, dan kemudian menyalurkannya kembali

18
Rimsky K. Judisseno, Pajak dan Strategi Bisnis (Suatu Tinjuan tentang Kepastian Hukum
dan Penerapan Akuntansi di Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, hal 9.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
kepada masyarakat dengan maksud memelihara dan untuk membawanya

kearah tertentu. Teori ini mengajarkan, bahwa penyelenggaraan

kepentingan masyarakat inilah yang dianggap sebagai dasar keadilan

pemungutan pajak, bukan kepentingan individu demikian pula bukan

kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi


19
keduanya itu.

e. Teori Bakti

Penekanan teori ini terletak pada negara yang mempunyai hak untuk

memungut pajak dari warganya sebagai tindak lanjut teori kepentingan

dalam hal penyediaan fasilitas umum yang diselenggarakan oleh Negara,

maka dengan pajak inilah masyarakat dapat menunjukkan salah satu

baktinya kepada Negara. 20

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998

tentang Peraturan Jabatan PPAT, tidak secara eksplisit mengatur secara tegas

kewajiban PPAT untuk menjamin kepastian tanggal dari akta yang dibuat

dihadapannya, tetapi apabila memperhatikan bagian menimbang, definisi, tugas dan

kewenangan pejabat pembuat akta tanah pada peraturan pemerintah tersebut

sebagaimana di bawah ini : 21

19
R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT. Eresco Bandung, 1995, hal
35-36.
20
Op.Cit, hal. 10.
21
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
a. Bagian menimbang huruf b :
Bahwa dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah tersebut dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah
telah ditetapkan jabatan PPAT yang diberi kewenangan untuk membuat
alat bukti mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun
yang akan dijadikan dasar pendaftaran.
b. Bab I, ketentuan umum, Pasal 1 butir (1) :
Pejabat pembuat akta tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat
umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik
mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak
milik atas satuan rumah susun.
c. Bab II, tugas pokok dan kewenangan PPAT, Pasal 2 ayat (1) :
PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah
dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun,
yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran
tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

Dalam ketiga ketentuan tersebut disebutkan PPAT diberikan kewenangan

untuk membuat alat bukti yang berupa akta otentik. Mengenai istilah dari akta otentik

sendiri dapat diperoleh dari Pasal 1870 KUHPerd, yang menjelaskan bahwa akta

otentik memberikan diantara para pihak, beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-

orang yang mendapat hak dari pada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa

yang dimuat di dalamnya. 22

Pasal 1868 KUHPerd menjelaskan maksud dengan :

22
Soegondo, Notodisurjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Edisi 1, Cetakan 2
PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta, 1993, hal. 8.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan
oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang
berkuasa untuk itu di tempat dimana akta itu dibuatnya.”

Sejak 1961, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10

tahun 1961, Notaris tidak lagi berhak membuat perjanjian pemindahan hak atas tanah.

Wewenang itu selanjutnya diberikan kepada PPAT yang khusus diangkat oleh dahulu

Menteri Agraria, sekarang Kepala Badan Pertanahan Nasional (yang selanjutnya

disingkat dengan BPN), dan para camat yang juga diberikan wewenang sebagai

PPAT. Para Notaris pada umumnya juga merangkap sebagai Pejabat Pembuat Akta

Tanah. 23

Apabila ini terjadi, akta jual beli yang dibuat oleh Notaris tersebut akan menjadi

cacat hukum dalam pembuatannya, karena pemindahan hak atas tanah yang ada

haknya adalah merupakan kewenangan dari PPAT. Dalam hal ini akta yang dibuat

oleh Notaris tersebut akan kehilangan otentiknya dan dapat merugikan para pihak.

Istilah akta jual beli PPAT yang dikenal dalam masyarakat luas, secara hukum

mempunyai pengertian berupa alat bukti bahwa telah dibuat perikatan berdasarkan

perjanjian jual beli atas tanah dan/atau bangunan oleh para pihak, pembuktian

telah dibuatnya perikatan tersebut berupa akta yang dibuat oleh pejabat tertentu

yang oleh peraturan perundangan diberi kewenangan untuk itu, yaitu PPAT.

23
Ibid, hal. 9.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Pasal 1320 KUHPerd, mengandung unsur-unsur dari perikatan yang timbul

dari perjanjian, yaitu adanya: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan

untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.

Azas kebebasan untuk membuat perjanjian atau lazim kita kenal dengan azas

kebebasan berkontrak ternyata dalam uraian Pasal 1338 KUHPerdata, yang

menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai

Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Pasal tersebut mengandung

pengertian bahwa setiap orang diberi hak untuk membuat perjanjian mengenai

apapun dan dengan isi pengaturan yang bagaimanapun, asal saja tidak bertentangan

dengan ketertiban umum dan kesusilaan.

Pada dasarnya suatu perjanjian harus memuat beberapa unsur perjanjian


yaitu: 24
1. Unsur Essentialia, sebagai unsur pokok yang wajib ada dalam perjanjian,
seperti identitas para pihak yang harus dicantumkan didalam suatu
perjanjian.
2. Unsur Naturalia, merupakan unsur yang dianggap ada dalam perjanjian,
walaupun tidak dituangkan secara tegas dalam perjanjian, seperti itikad
baik dari masing-masing pihak dalam perjanjian.
3. Unsur Accidentialia, yaitu unsur tambahan yang diberikan oleh para pihak
dalam perjanjian.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dinyatakan bahwa dengan

memperhitungkan sah atau tidaknya suatu perjanjian tergantung dengan dipenuhinya

Pasal yang termuat dalam 1320 KUHPerdata. Apabila syarat-syarat tersebut

terpenuhi, Pasal 1338 KUHPerdata menetapkan bahwa:

24
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Cet.VII, Alumni, Bandung, 1985, hal. 20.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
a. Perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang

membuatnya, dalam arti sebagai lex Specialis, khusus bagi para pihak

yang membuat perjanjian tersebut.

b. Pengakhiran suatu perjanjian hanya dapat dilakukan dengan persetujuan

para pihak atau karena Undang-Undang menyatakan telah berakhir.

c. Perjanjian harus ditaati oleh para pembuat perjanjian (pacta sun servada).

Dalam perjanjian yang berisi jual beli, Pasal 1457 KUHPerdata memberikan

defenisinya, yaitu:

“Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain
untuk membayar harga yang telah dijanjikan.”

R. Subekti25, perkataan jual beli menunjukkan bahwa dari satu pihak

dinamakan menjual (verkoopt) sedangkan dari pihak lain dinamakan membeli

(koopt). Itu adalah sesuai dengan istilah Belanda. istilah ini mencakup dua perbuatan

yang bertimbal balik.

Sesuai prinsip hukum Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, syarat-

syarat untuk terjadinya perjanjian jual beli, cukup jika kedua belah pihak sudah

mencapai persetujuan tentang barang dan harganya. Khusus mengenai perjanjian

yang bersifat jual beli ini, Pasal 1458 dan Pasal 1459 KUHPerdata mengatur bahwa:

Jual beli ini dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika
setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan
harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya

25
R. Subekti, Aneka Perjanjian cet 10, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 1-2.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
belum dibayar. Namun hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah
kepada si pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut hukum.
Jadi hak milik yang diperjual belikan baru dianggap beralih/berpindah kepada
pembeli setelah dilakukan penyerahan atas barang tersebut dari penjual
kepada pembeli.

Dengan demikian perjanjian jual beli harus diikuti oleh penyerahan barang

agar terjadi peralihan kepemilikan atas barang yang diperjualbelikan. Pemilikan baru

berganti setelah adanya pemindahan hak milik atas barang tersebut, yang ditandai

oleh “penyerahan” barang tersebut.26

Perbedaan cara penyerahan antara benda bergerak dan benda tidak bergerak,

erat sekali kaitannya dengan kedudukan berkuasa (bezit) atas benda-benda tersebut.

Menurut Pasal 1977 KUHPerd, Bezit ialah suatu keadaan lahir, dimana seorang

menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum

dilindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda sebenarnya ada pada

siapa. Bezit atas benda-benda bergerak berlaku sebagai titel yang sempurna, artinya

barang siapa yang menguasai benda bergerak dianggap sebagai pemilik. Sedangkan

Bezit atas benda-benda tidak bergerak belum tentu adalah pemilik atas benda-benda

tersebut. 27

Prof. Subekti menguraikan Pasal 1977 KUHPerdata secara lengkap, sebagai

berikut: 28

26
Sri Soedewi, Hukum Perdata, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 67.
27
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata, Hak-hak yang Memberi Kenikmatan
Jilid I, Cetakan Kedua, Ind. – Hil. Co, Jakarta, 2002, hal. 45.
28
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. XXXI, Intermasa, Jakarta, 2003, hal. 186.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
“Bezit berlaku sebagai titel yang sempurna, dengan itu dimaksudkan bahwa
siapa saja yang dengan jujur memperoleh suatu barang bergerak dari seorang
bezitter, seketika itu juga memperoleh hak milik atas barang itu.”

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsep diartikan

sebagai suatu konstruksi metal, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang

berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis. 29

Dalam penelitian tesis ini, perlu kiranya didefenisikan beberapa pengertian

tentang konsep-konsep dalam penelitian tesis ini.

Dalam pelaksanaan jual beli tanah dan/atau bangunan perlu kiranya terlebih

dahulu memahami arti jual beli tersebut.

Jual beli merupakan perjanjian yang bersifat timbal balik, sebagaimana itu

dapat disimpulkan dari isi Pasal 1457 KUHPerd : Jual beli adalah suatu persetujuan

dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu

kebendaan dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Dalam Jual

beli senantiasa terdapat dua sisi hukum perdata, yaitu hukum kebendaan dan hukum

perikatan. Dari sisi hukum kebendaan, jual beli menimbulkan hak bagi kedua belah

pihak atas tagihan yang berupa penyerahan kebendaan pada satu pihak, dan

pembayaran harga jual pada pihak lainnya. Sedangkan dari sisi hukum perikatan, jual

beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban dalam bentuk
29
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 307.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh pembeli

kepada penjual. 30

Dalam pelaksanaan jual beli berarti telah terjadinya pengalihan hak atas tanah

dan/atau bangunan yang mengakibatkan kewajiban bagi masing-masing pihak untuk

melakukan pembayaran pajak. Sebagai obyek pajak, peralihan hak atas tanah dan/

atau bangunan dikenakan pajak dari kedua sisi, yaitu dari sisi penjual dan pembeli.

Bagi pihak penjual dikenakan PPh yang diperoleh dari penjualan tanah dan/atau

bangunan. Sementara itu bagi pihak pembeli dikenakan pajak yang berupa BPHTB.

Dengan adanya pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan maka dikenakan pajak

atas pengalihan tersebut seperti dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak

Penghasilan Nomor 17 Tahun 2000, dinyatakan bahwa atas penghasilan berupa

bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan

sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan

atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

Dalam bidang perpajakan, menurut Pasal 1 ayat (2), Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 48 tahun 1994, tanggal 27 Desember 1994, yang mulai

berlaku pada 1 Januari 1995, bahwa yang dimaksud pengalihan hak atas tanah

dan/atau bangunan adalah:

30
Gunawan Widjaja; Kartini Muljadi, Jual Beli, Seri Hukum Perikatan, Ed.1, Cet. 2, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 27.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
a. Penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak,

penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak

lain selain pemerintah.

b. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain

yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus.

c. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain

kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan

umum yang memerlukan persyaratan khusus.

Selain kewajiban pembayaran PPh yang dikenakan kepada pihak yang

memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, pihak

lawannya kepada siapa ia mengalihkan hak atas tanah dan bangunannya juga

berkewajiban untuk membayar pajak yang berupa BPHTB. Kewajiban membayar

pajak bagi penerima hak atas tanah dan/atau bangunan diatur dalam Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB, yang diumumkan pada Lembaran Negara

tahun 1997, Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3688, diundangkan pada

tanggal 29 Mei 1997. Semula Undang-Undang ini ditetapkan berlaku mulai 01

Januari 1998, tetapi dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1997 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1998, waktu berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tersebut ditunda

menjadi mulai berlaku 30 Juni 1998. Undang-Undang tersebut telah diubah dengan

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000, perubahan atas Undang-Undang Nomor 21

tahun 1997 tentang BPHTB yang mulai berlaku pada tanggal 01 Januari 2001. 31

Pengertian PPh mengandung dua kata yang mempunyai pengertian disatukan

satu sama lain. Yang pertama mengenai arti dari pajak adalah suatu kewajiban dari

masyarakat untuk menyerahkan sebagian dana kepada negara dalam membiayai

kepentingan umum serta keperluan negara lainnya, yang pelaksanaannya diatur oleh

Undang-Undang. Kedua mengenai arti penghasilan adalah jumlah uang yang diterima

atas usaha yang dilakukan orang-perorangan, badan atau bentuk usaha lainnya yang

dapat digunakan aktivitas ekonomi seperti mengkomsumsi dan/atau menimbun serta

menambah kekayaan. 32

Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tidak memberikan

pengertian yang terperinci mengenai defenisi PPh, tetapi hanya memberikan

pengertian dari objek PPh, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1) (d)

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, yaitu:

“Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan


kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang
berasal dari Indonesia, yang dapat dipakai untuk komsumsi atau untuk
menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dalam
bentuk apapun, termasuk karena keuntungan, karena penjualan atau karena
pengalihan harta…”

31
Muhammad Rusjdi, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan, & Bea Materai, PT. Indeks, Jakarta, 2005, hal. 127.
32
Rimsky K. Judisseno, Pajak dan Strategi Bisnis (Suatu Tinjauan tentang Kepastian Hukum
dan Penerapan Akuntansi di Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, hal 9.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Jelas bahwa Undang-Undang ini menganut prinsip perpajakan atas

penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu pengenaan pajak atas setiap tambahan

kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak dari manapun

asalnya yang dapat dipergunakan untuk komsumsi atau menambah kekayaan wajib

pajak tersebut. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib

pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan wajib pajak tersebut untuk

ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk membiayai

kegiatan rutin, pembangunan dan kepentingan umum serta keperluan negara lainnya.

BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perbuatan atau peristiwa hukum

yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang

pribadi atau badan. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah

termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya sebagaimana dimaksud

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan

Perundang-undangan lainnya. Yang menjadi objek pajak BPHTB adalah perolehan

hak atas tanah dan bangunan yang meliputi jual beli, tukar menukar, hibah, hibah

wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak

yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan

keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha,

peleburan usaha, pemekaran usaha, hadiah, pemberian hak baru karena pelepasan

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
hak, dan pemberian hak baru di luar pelepasan hak. 33 Hak atas tanah diatur dalam

UUPA Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 16 ayat (1) adalah: Hak Milik, Hak Guna Usaha,

Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut

Hasil Hutan, dan Hak-hak lain yang tidak termasuk diatas akan ditetapkan dalam

Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebut dalam

Pasal 53. Yang menjadi objek BPHTB adalah: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak

Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Milik atas Satuan Rumah Susun dan Hak

Pengelolaan.

Objek BPHTB yang disebutkan diatas merupakan pengenaan PPh dan

BPHTB yang dapat dijabarkan lebih lanjut, yaitu:

1. Hak Milik

Hak Milik adalah hak atas tanah yang sifatnya terpenuh, terkuat,

turun temurun yang dapat beralih dan dialihkan kepada orang lain yang

ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia. Hak Milik tidak dapat dipunyai

oleh orang asing. Hak Milik juga dapat dimiliki oleh badan-badan tertentu

yang ditunjuk oleh Pemerintah, yang mempunyai fungsi sosial tanah.

Penggunaan tanah Hak Milik oleh orang yang bukan pemiliknya dibatasi

dan diatur oleh Peraturan Pemerintah. Hak Milik harus didaftarkan dan

dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan (ikatan

33
Valentina Sri S., Aji Suryo, Perpajakan Indonesia, Seri Belajar untuk Mahasiswa Cet. I
UPP MPP YKPN, Yogyakarta, 2003, hal. 2.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
hipotik atau kredit verband). Semua warga negara Indonesia sama haknya

untuk memiliki tanah Hak Milik tanpa memandang jenis kelamin dan ras.

2. Hak Guna Usaha

Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang

dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu guna

perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. Hak Guna Usaha hanya

diberikan kepada orang atau badan hukum yang melakukan kegiatan

pertanian saja. Dalam hal peralihan HGU sebelum diperoleh hak atas

tanah harus sudah dibayar BPHTB adalah sesuai dengan ketentuan UU

BPHTB, akan tetapi sebaiknya pengenaan pajak BPHTB ini dikenakan

setelah seseorang memperoleh hak atas tanah tersebut baru diwajibkan

untuk membayar pajak BPHTB, karena dalam HGU belum terjadinya

perolehan hak secara nyata yang dituabgkan dalam bentuk akta otentik,

di mana seseorang masih sebatas mengunakan tanah dan belum adanya

perolehan hak atas tanah tersebut. Hak Guna Usaha diatur dalam Pasal 28-

34 Undang-Undang Pokok Agraria (yang selanjutnya disingkat dengan

UUPA).

3. Hak Guna Bangunan

Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai

bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu

paling lama 30 tahun. Dengan demikian Hak Guna Bangunan adalah suatu

hak yang memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk dapat

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
mendirikan bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri. Berlainan

dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan tidak mengenai pertanian,

karena itu tanah yang dapat diberikan Hak Guna Bangunan meliputi baik

tanah yang merupakan milik orang atau pihak lain maupun tanah yang

langsung dikuasai oleh negara. Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal

35-40 UUPA.

4. Hak Pakai

Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil

dari tanah yang langsung dikuasai oleh negara atau tanah milik orang lain,

yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam

keputusan pemberiannya oleh pejabat berwenang yang memberikannya

atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian

sewa menyewa atau perjanjian pengelolaan tanah, segala sesuatu asal

tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA. Hak Pakai

merupakan hak atas tanah baik untuk tanah bangunan maupun tanah

pertanian. Perkataan “menggunakan” menunjuk pada tanah bangunan

sedangkan perkataan “memungut hasil” menujuk pada tanah pertanian.

Hak Pakai dapat diberikan oleh Pemerintah tetapi dapat pula diberikan

oleh pemilik tanah. Perkataan orang lain pada defenisi hak pakai harus

diartikan luas dan meliputi juga badan-badan hukum yang mempunyai

tanah hak milik. Hak Pakai diatur dalam Pasal 41-43 UUPA.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
5. Hak Atas Satuan Rumah Susun

Hak Atas Satuan Rumah Susun adalah hak atas bangunan gedung

bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam

bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal

maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat

dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian,

yang dilengkapi dengan berbagai benda bersama dan tanah bersama.

6. Hak Pengelolaan

Hak Pengelolaan merupakan suatu hak atas tanah yang sama sekali

tidak ada dalam UUPA, karena itu khusus hak ini demikian pula luasnya

hak terdapat diluar ketentuan UUPA. 34

Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang

kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang

haknya, antara lain berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah

untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari

tanah tersebut kepada pihak ketiga. 35 Saat ini Hak Pengelolaan diberikan

kepada instansi Pemerintah, Pemerintah daerah administrasi (Orotita

Batam), Badan Usaha Milik Negara (misalnya Perum Perumnas), dan

badan hukum swasta lainnya. Hak Pengelolaan dimaksudkan untuk

memberikan kewenangan kepada instansi pemerintah atau badan hukum

34
A.P. Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Mandar Maju, Bandung,
1989, hal. 1.
35
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000, Penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf f.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
yang ditunjuk oleh negara/pemerintah untuk melaksanakan Hak

Menguasai Negara atas tanah.

Selain Objek BPHTB, Terdapat beberapa subjek pajak yang oleh peraturan

Perundang-undangan tidak dikenakan BPHTB, yaitu:

1. Perwakilan diplomatik, konsulat, berdasarkan atas perlakuan timbal balik.

2. Negara atau penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan

pembangunan guna kepentingan umum.

3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan

Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau

melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan

organisasi tersebut.

4. Orang pribadi atau badan karena wakaf.

5. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

6. Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan

hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama.

Besarnya BPHTB adalah 5 % (lima persen) dari Nilai Perolehan Objek Pajak

Kena Pajak (yang selanjutnya disingkat dengan NPOPKP). NPOPKP diperoleh

dengan cara mengurangi Nilai Perolehan Objek Pajak (yang selanjutnya disingkat

dengan NPOP) - Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (yang selanjutnya

disingkat dengan NPOPTKP). NPOPTKP untuk masing-masing daerah tidak sama

dan ditentukan secara regional. Undang-Undang hanya mengatur mengenai ketentuan

maksimal NPOPTKP, yaitu sebesar Rp. 60.000.000,- (Enam Puluh Juta Rupiah).

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Khusus untuk perolehan hak atas tanah yang disebabkan adanya hak waris atau hibah

wasiat yang diterima dalam garis keturunan lurus atau derajat ke atas atau satu derajat

ke bawah, termasuk suami/isteri ditetapkan secara regional paling banyak

Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah).

Menurut Undang-Undang BPHTB harus telah dilunasi pada saat terjadinya

perolehan hak. PPAT dan Kepala Kantor Lelang Negara hanya dapat menandatangani

akta pemindahan hak atas tanah dan bangunan pada saat wajib pajak menyerahkan

bukti pembayaran berupa Surat Setoran BPHTB, dengan ancaman denda sebesar

Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran, bagi

yang melanggarnya. 36 PPAT dan Kepala Kantor Lelang Negara selambat-lambatnya

tanggal 10 bulan berikutnya, wajib melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang

perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada Direktorat Jenderal Pajak,

dengan sanksi administratif dan denda sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh

ribu rupiah) untuk setiap laporan.

Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus

didefenisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil

dalam penelitian ini. Maka konsepsi yang telah diuraikan di atas, yaitu:

1. Kewajiban perpajakan adalah sebagai kewajiban kenegaraan dan

merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan

pembangunan nasional. 37

36
Valentina Sri S, Aji Suryo, Op.Cit. hal. 8-9.
37
Perpajakan adalah wajib pajak menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 yang sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
9 Tahun 1994 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang, sesuai dengan

Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: Pajak dan pungutan lain yang bersifat

memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang. 38

3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 adalah Pajak Perolehan Hak Atas

Tanah dan/atau Bangunan. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

tentang Pajak perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah:

BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan

atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.

4. Objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Perolehan hak terjadi karena adanya perbuatan hukum atas tanah dan

bangunan yaitu: pemindahan hak dan pemberian hak baru. 39

G. Metodologi Penelitian

1. Sifat Penelitian

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif, artinya penelitian ini bertujuan

untuk menggambarkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta (individu,


40
kelompok atau keadaan), dan untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi.

38
Marsono, Susunan dalam Satu Naskah UUD 1945 dengan Perubahan Perubahannya 1999-
2002, CV Eko Jaya, Jakarta, 2005.
39
Pasal 2 ayat 2 bagian a dan b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1997
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000
tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
40
Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Garanit, Jakarta, hal. 58.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Dengan penelitian yang bersifat deskriptif dimaksudkan untuk melukiskan

keadaan objek atau peristiwanya, 41 kemudian menelaah dan menjelaskan serta

menganalisa data secara mendalam dengan mengujinya dari berbagai peraturan

perundangan yang berlaku maupun dari berbagai pendapat ahli hukum sehingga dapat

diperoleh gambaran tentang data faktual yang berhubungan dengan Perlindungan

Hukum Terhadap Para Pihak dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah dan Bangunan

Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB dan PPh.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam tesis ini adalah metode

pendekatan yuridis normatif, 42 yaitu dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang

relevan dengan tema penelitian, meliputi penelitian terhadap azas-azas hukum,

sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah

serta dapat menganalisa permasalahan yang dibahas. Sementara itu untuk mendukung

penelitian normatif, dilakukan wawancara dengan beberapa informan yang dianggap

layak dan mengetahui proses pembuatan Akta Jual Beli Atas Tanah dan Bangunan.

Informasi yang didapat dari informan ini dijadikan sebagai data pendukung untuk

menambah dan memperkuat data sekunder yaitu bahan-bahan primer, sekunder, dan

tertier.

41
Sutrisno Hadi, Metodelogi Research, Andi Offset, Yogyakarta, 1989, hal. 3.
42
Penelitian Hukum Normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder, lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum
Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 13.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
3. Bahan-Bahan Penelitian

Bahan-Bahan Penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah

menggunakan penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan dibantu dengan data

yang diperoleh dari lapangan yang berkaitan dengan objek penelitian ini.

Dalam penelitian hukum normatif, data yang diperlukan adalah data

sekunder. 43 Data sekunder dan bahan pustaka tersebut adalah sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan bahan peraturan perundang-undangan yakni

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2000 dan bahan hukum dari masa kolonial belanda yang masih berlaku, antara

lain KUHPerdata.

b. Bahan hukum sekunder, antara lain buku-buku rujukan, hasil karya ilmiah

dari kalangan hukum dan berbagai makalah yang berkaitan dengan

pelaksanaan jual beli tanah dan/atau bangunan.

c. Bahan Hukum Tertier, antara lain berupa kamus umum, kamus hukum,

ensiklopedia, majalah, surat kabar, artikel dan jurnal-jurnal hukum serta

laporan ilmiah.

43
Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2004, hal. 121.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Pedoman Wawancara, yang berisikan daftar pertanyaan yang akan digunakan

dalam wawancara dengan para informan, yakni dari beberapa Notaris/PPAT

di Kota Medan yang sering membuat Akta Jual Beli Tanah dan atau

Bangunan yang terhadap peristiwa hukum jual beli tersebut terkait dengan

kewajiban pembayaran BPHTB dan PPh bagi pembeli dan penjual.

2. Studi Kepustakaan, yaitu menghimpun data dari hasil penelaahan bahan

kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

5. Analisis Data

Analisis data terhadap data sekunder mengenai perlindungan hukum terhadap

para pihak dalam pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan dikaitkan dengan

kewajiban pembayaran BPHTB dan PPh setelah diadakan terlebih dahulu

pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan, dan kemudian dievaluasi sehingga

diketahui validitasnya , lalu dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif

dengan logika deduksi, yaitu berpikir dari hal yang umum menuju hal yang lebih

khusus, dengan menggunakan perangkat normatif, yaitu dengan cara melakukan

interprestasi dan konstruksi hukum atas peristiwa hukum konkrit yang terjadi

terutama hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pihak penjual

dan pembeli dalam kaitannya dengan kewajiban pembayaran BPHTB dan PPh bagi

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
pihak penjual dan pembeli atas transaksi yang dibuat mereka dihadapan PPAT

di Kota Medan. Dari kegiatan interprestasi data sekunder yang diperoleh diharapkan

dapat menghasilkan kesimpulan yang sesuai dengan permasalahan dan tujuan

penelitian.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
BAB II

BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK


DALAM PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DAN/ATAU
BANGUNAN DIKAITKAN DENGAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN BPHTB DAN PPh

A. Pengertian Jual Beli Tanah dan Bangunan

Jual beli tanah adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah hak

kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah itu berpindah kepada yang

menerima penyerahan). 44

UUPA tidak memberi penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan jual

beli tanah, tetapi biarpun demikian mengingat bahwa hukum agraria kita sekarang ini

memakai sistem dan azas-azas hukum adat, maka pengertian jual beli tanah sekarang

harus pula diartikan sebagai perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik

(penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada

saat itu juga menyerahkan harganya kepada penjual, yaitu menurut pengertian hukum

adat. 45

Di dalam Pasal 1457 KUHPerdata dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan

jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya

untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak lain untuk membayar harga yang telah

dijanjikan dan juga dalam Pasal 1458 KUHPerdata disebutkan “Jual Beli dianggap

44
Effendi Perangin-angin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Pandang Praktisi
Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1986, hal. 1.
45
Ibid, hal. 13.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai

kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum

diserahkan dan harganya belum dibayar. 46

Perjanjian atau perikatan secara hukum masuk ke wilayah hukum keperdataan

karena mengatur kepentingan-kepentingan perorangan, dan mendapat pengaturannya

dalam Buku III KUHPerdata.

Buku III KUHPerdata berjudul perihal perikatan (Verbintenis), ialah suatu

hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi

hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan

orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. 47 Sebenarnya istilah

perikatan dalam KUHPerdata sendiri mempunyai arti lebih luas dari sekedar

perjanjian, karena dalam Buku III KUHPerdata, selain diatur mengenai perikatan-

perikatan yang timbul karena adanya persetujuan/perjanjian, juga diatur mengenai

perikatan-perikatan yang timbul karena Undang-Undang. Perikatan yang timbul

karena Undang-Undang, misalnya perikatan yang timbul karena adanya perbuatan

yang melanggar hukum (Onrechtmatige daad) dan perikatan yang timbul karena

perbuatan pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan

(Zaakwaarneming). Sebagian besar Buku III KUHPerdata ditujukan untuk perikatan-

perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian, jadi berisi hukum perjanjian. 48

46
R. Subekti, AnekaPerjanjian, Alumni, Bandung, 1977, hal. 1-2.
47
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XXXI, Jakarta Intermasa, 2003, hal. 122.
48
Ibid. Subekti memberikan penjelasan bahwa perikatan merupakan suatu pengertian abstrak,
sedangkan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang konkrit.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Mengenai Perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata, ada dikenal dengan

Perjanjian Bernama. Perjanjian Bernama yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang

diatur dalam KUHPerdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini misalnya: jual beli,

tukar menukar, sewa menyewa, dan lain-lain. Selain dikenal dengan adanya

perjanjian bernama ada juga perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, Jadi

dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu, dan ketentuan yang

ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai Undang-Undang bagi masing-masing

pihak. 49 Lebih dari itu, tidak saja orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja

asal tidak melanggar ketertiban umum yang diatur dalam bagian khusus Buku III

KUHPerdata, tetapi pada umumnya juga dibolehkan menyampingkan peraturan-

peraturan yang termuat dalam Buku III KUHPerdata itu. Dengan kata lain peraturan-

peraturan yang ditetapkan dalam Buku III KUHPerdata itu hanya disediakan dalam

hal para pihak yang berkontrak itu tidak membuat peraturan sendiri. 50 Jadi Buku III

KUHPerdata merupakan hukum pelengkap (Aanvullend recht), bukan hukum yang

memaksa (Dwingend recht).

Dengan adanya sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, maka hal itu telah

menimbulkan hak dan kewajiban sesuai dengan apa yang telah disepakati. Jadi

Undang-Undang tidak mensyaratkan adanya bukti tertulis untuk sahnya suatu

perikatan. Dengan tercapainya kata sepakat diantara para pihak saja, telah cukup bagi

49
R.M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, 1978,
hal. 10.
50
Op.Cit, hal. 127-128.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
perjanjian tersebut untuk mengikat dan menimbulkan hak serta kewajiban bagi para

pihak yang membuatnya.

Namun demikian perjanjian ini akan sangat lemah sifatnya, karena akan

sangat tergantung dari itikad baik masing-masing pihak. Apabila salah satu pihak

yang berkewajiban untuk melakukan suatu prestasi tidak memenuhi kewajibannya

(prestasinya) kepada pihak lainnya dan menyangkal telah membuat perjanjian itu,

atau menyatakan mengakui membuat perjanjian tetapi tidak sesuai seperti yang

dituntut oleh lawannya, maka pihak yang menuntut pemenuhan prestasilah yang

berkewajiban untuk membuktikkan tentang adanya janji tersebut.

Pengaturan pembuktian tentang adanya janji dalam pemenuhan prestasi diatur

dalam Buku IV KUHPerdata ini kurang disetujui oleh Prof. Subekti, karena

seharusnya pembuktian masuk dalam wilayah hukum acara, sedangkan KUHPerdata

pada umumnya mengatur mengenai hukum materiil. Memang ada pendapat yang

menyatakan bahwa hukum acara sendiri dapat dibagi menjadi hukum acara formil

dan hukum acara materiil, sedangkan peraturan mengenai alat-alat pembuktian

termasuk dalam hukum acara materiil. Rupanya pembentuk Undang-Undang pada

waktu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dilahirkan

menganut pendapat ini. Sedangkan di Indonesia peraturan mengenai pembuktian

telah dimasukkan dalam H.I.R. yang memuat hukum acara yang berlaku

di Pengadilan Negeri. 51

51
Ibid, hal. 176.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Karena Undang-Undang menentukan pihak yang menuntutlah yang

berkewajiban untuk membuktikkan haknya, sehingga karena itu untuk menjamin

kepastian dipenuhinya prestasi dari masing-masing pihak yang membuat perjanjian

diperlukanlah adanya suatu alat bukti dalam setiap perjanjian. Alat bukti tersebut

menurut ketentuan Pasal 1866 bisa berupa: bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi,

persangkaan, pengakuan dan sumpah. Alat bukti tulisan (surat) dapat dibedakan

menjadi surat-surat akta dan surat-surat lain. Surat akta ialah suatu tulisan yang

semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu

akta harus selalu ditandatangani. Sedangkan surat yang berbentuk akta masih dapat

dibedakan lagi menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.

Akta otentik (akta resmi) ialah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan

seorang pejabat umum yang menurut Undang-Undang ditugaskan untuk membuat

surat-surat akta tersebut, sedangkan akta dibawah tangan (onderhand) ialah tiap akta

yang tidak dibuat oleh atau dengan perantaraan seorang pejabat umum. 52 Jika pihak

yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal

tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang

tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akta di bawah tangan tersebut memperoleh

suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan akta resmi. Tetapi apabila tandatangan

tersebut disangkal, maka sesuai ketentuan Pasal 1865 KUHPerdata, pihak yang

mengajukan surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran

penandatanganan atau isi akta tersebut. Sebaliknya dalam akta otentik, pihak yang
52
Ibid, hal. 179.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
menyangkal tandatangannya pada suatu akta resmi diwajibkan untuk membuktikan

bahwa tandatangan itu palsu, dengan kata lain pejabat umum yang membuat akta

tersebut telah melakukan pemalsuan surat.

Kesaksian haruslah mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata

kepala sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi, dan tidak diperbolehkan

seorang saksi memberikan keterangan dengan cara menarik kesimpulan dari peristiwa

yang dilihat atau dialaminya, karena yang berhak menarik kesimpulan adalah hakim.

Pembuktian yang berupa kesaksian tidaklah sekuat pembuktian yang berupa tulisan,

hal ini dapat kita simpulkan dengan adanya ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam

praktek, seperti misalnya:

1. Seorang hakim tidaklah terikat untuk menerima dan mengambil sebagai bahan

pertimbangan atas keterangan saksi dalam memutuskan suatu perkara, jadi

hakim berhak untuk menerima atau tidak atas keterangan seorang saksi.

2. Pihak lawan berhak menolak seorang saksi yang diketahuinya mempunyai

hubungan kekeluargaan yang sangat erat dengan pihak yang berperkara.

3. Seseorang berhak untuk menolak menjadi saksi.

4. Selanjutnya Undang-Undang menetapkan bahwa keterangan satu orang saksi

tidaklah cukup.

Persangkaan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang

sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang nyata ini dapat ditarik kesimpulan bahwa

suatu peristiwa lain yang harus dibuktikan juga sudah terjadi. Dalam hukum

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
pembuktian terdapat dua persangkaan, yaitu persangkaan yang ditetapkan oleh

Undang-Undang dan persangkaan oleh hakim.

Sedangkan mengenai pengakuan, menyatakan suatu pengakuan yang

dilakukan di depan hakim merupakan suatu pembuktian yang sempurna tentang

kebenaran hal atau peristiwa yang diakui, sehingga harus diterima oleh seorang

hakim sesuai seperti apa yang ternyata dalam pengakuan ini. Menurut penilaian Prof.

Subekti, pendapat Undang-Undang ini tidaklah sesuai dengan uraian mengenai

pembuktian yang berupa kesaksian. Dalam pembuktian yang berupa pengakuan

di depan hakim, seorang hakim haruslah menerima, atau dengan kata lain terpaksa

untuk menerima dan menganggap suatu peristiwa yang telah diakui memang benar-

benar telah terjadi, meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya bahwa peristiwa itu

sungguh-sungguh telah terjadi. Sedangkan dalam kesaksian hakim bebas untuk

menerima atau tidak menerima atas keterangan seorang saksi.

Alat pembuktian yang terakhir menurut Undang-Undang adalah sumpah,

dimana sumpah ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumpah yang

menentukan (Decissoire eed) dan sumpah tambahan (Supletoir eed). Istilah tersebut

juga dikenal dengan sumpah Promissoir yaitu sumpah untuk berjanji menentukan

sesuatu dan sumpah Assertoir yaitu sumpah untuk memberi keterangan guna

meneguhkan bahwa sesuatu benar demikian atau tidak. 53 Sumpah yang menentukan

adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada

53
Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2002, hal.
179.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
pihak lawannya dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa

oleh hakim. Apabila pihak yang diperintahkan bersedia mengangkat sumpah dengan

perumusan sumpah yang disusun oleh pihak lawannya, maka ia akan dimenangkan

oleh hakim. Tetapi bila ia menolak untuk mengangkat sumpah yang diperintahkan

oleh lawannya dan mengembalikan kepada pihak lawannya untuk melakukan

sumpah, ia dikalahkan oleh hakim. Sumpah tambahan adalah suatu sumpah yang

diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang berperkara, apabila hakim itu

berpendapat bahwa di dalam suatu perkara sudah terdapat permulaan pembuktian,

yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan

untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Jadi perbedaan

prinsip antara sumpah yang menentukan (Decissoire eed) dan sumpah tambahan

(Supletoir eed) adalah sumpah yang menentukan (Decissoire eed) diperintahkan oleh

pihak lawan dan yang diperintahkan mempunyai hak untuk mengembalikan sumpah

tersebut kepada pihak lawan, sedangkan sumpah tambahan (Supletoir eed)

diperintahkan oleh hakim dan yang diperintahkan tidak mempunyai hak

mengembalikan sumpah 54.

Dari ke lima macam alat pembuktian yang telah diuraikan tersebut,

pembuktian dengan suatu akta memang suatu cara pembuktian yang paling utama,

maka dapatlah dimengerti mengapa pembuktian dengan tulisan ini oleh Undang-

Undang disebutkan sebagai cara pembuktian nomor satu dan demikian itu Undang-

Undang untuk beberapa perbuatan atau perjanjian yang dianggap sangat penting,
54
Ibid, hal. 184-185.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
mengharuskan pembuktian suatu akta. 55 Suatu akta otentik ialah suatu akta yang

didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan

pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.

Pegawai umum yang dimaksud dapat berupa: PPAT, hakim, jurusita, pegawai catatan

sipil dan lain sebagainya.

Ketentuan Pasal 617 KUHPerdata, yang mengharuskan penjualan,

penghibahan, pembagian, pembebanan atau pemindahtanganan benda tidak bergerak

dibuat dalam bentuk akta otentik atas ancaman kebatalan. Sedemikian pentingnya

pembuktian berupa akta otentik pada terjadinya pengalihan benda tidak bergerak

tersebut, hingga oleh Undang-Undang diberikan ancaman batal bagi pihak-pihak

yang tidak mengindahkannya. Apabila suatu perbuatan dilaksanakan dengan

pembuatan akta otentik, maka menurut Pasal 1870 KUHPerdata telah memberikan

diantara para pihak beserta ahli waris-ahli waris atau orang-orang yang mendapat hak

dari pada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.

Suatu akta otentik merupakan alat pembuktian berupa suatu surat berbentuk

akta yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut Undang-

Undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akta tersebut, sedangkan akta

di bawah tangan (onderhand) ialah tiap akta yang tidak dibuat oleh atau dengan

perantaraan seorang pejabat umum. Menurut Pasal 1868 KUHPerdata, bahwa suatu

akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-

55
Ibid, hal. 178-179.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu

di tempat di mana akta dibuatnya.

Jadi unsur-unsur yang terkandung dalam suatu akta otentik adalah: 56


1. Dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu.
2. Dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang.
3. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai
kewenangan untuk membuat akta itu ditempat di mana akta itu dibuatnya.

Suatu akta otentik haruslah mempunyai bentuk yang ditentukan oleh Undang-

Undang. Namun apabila syarat ini tidak terpenuhi, akta yang bersangkutan tidaklah

menjadi batal, akan tetapi akan kehilangan sifat otentiknya, karenanya akan berlaku

sebagai akta di bawah tangan. Apabila hal itu sampai terjadi pada jual beli atas benda

tidak bergerak Pasal 617 KUHPerdata memberikan ancaman kebatalan.

Pejabat umum yang membuat suatu akta otentik haruslah mempunyai

kewenangan untuk itu, yaitu: 57

1. Kewenangan sepanjang menyangkut jenis akta yang dibuatnya. Tidak


setiap pejabat umum dapat membuat semua akta, akan tetapi seorang
pejabat umum hanya dapat membuat akta-akta tertentu yang ditugaskan
atau dikecualikan kepadanya berdasarkan Undang-Undang.
2. Kewenangan sepanjang menyangkut orang-orangnya, untuk siapa akta
tersebut dibuat. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris, memberikan larangan bagi Notaris untuk membuat akta-
akta yang memberikan suatu hak dan atau keuntungan bagi:
a. Notaris, isteri atau suami Notaris.
b. Saksi, isteri atau suami Notaris.
c. Orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris atau
saksi baik hubungan darah dalam garis lurus keatas atau ke bawah
tanpa pembatasan derajat maupun hubungan perkawinan sampai
dengan derajat ketiga.

56
Lumban, Tobing, G.H.S, S.H, Peraturan Jabatan Notaris, cet. Ke 3, Erlangga, Jakarta,
1983, hal. 48.
57
Ibid, hal. 49.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
3. Kewenangan sepanjang menyangkut tempat dimana akta tersebut dibuat.
Notaris hanya berwenang untuk membuat akta di dalam wilayah
jabatannya.
4. Kewenangan sepanjang mengenai waktu pembuatannya. Notaris hanya
berwenang membuat akta selama memangku jabatannya, selama diangkat,
selama cuti dan setelah pensiun atau dipecat dari jabatannya tidak
berwenang lagi membuat akta.

Dalam hal pelaksanaan untuk melakukan jual beli, maka para pihak seperti

penjual dan pembeli harus memenuhi syarat-syarat untuk terjadinya suatu perjanjian

jual beli. Adapun syarat-syarat tersebut diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

a. Kesepakatan para pihak

Pengertian sepakat diartikan sebagai pernyataan kehendak yang

disetujui oleh para pihak (overeenstemende Wilsverklaring), dan

persetujuan kehendak itu sendiri adalah kesepakatan. Sepakat berarti telah

terjadinya kesepakatan antara para pihak terlebih dahulu terhadap hal-hal

yang pokok dari perjanjian yang diadakan antara para pihak tersebut.

Kesepakatan tersebut terjadi secara timbal balik di mana pihak yang satu

menyetujui dan mengetahui isi dari maksud perjanjian tersebut begitu

sebaliknya.

b. Kecakapan untuk berbuat sesuatu

Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan kewenangan diatur

dalam Pasal 1329 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1331 KUHPerdata.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Setiap orang adalah cakap

untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh Undang-Undang

dinyatakan tidak cakap”.

Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, hal ini mempunyai arti

bahwa orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum.

Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah

cakap menurut hukum. Namun tidak semuanya cakap untuk melakukan

perbuatan hukum. Sistem Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia

menghendaki kepada para Notaris untuk memperhatikan bahwa ada

beberapa subjek-subjek hukum yang karena Undang-Undang dibatasi

penggunaan haknya dalam lalu lintas hukum. Oleh karena itu tidak semua

subjek hukum yang datang menghadap ke kantor Notaris adalah cakap dan

dapat dilayani untuk pembuatan akta-akta Notaris.

Orang-orang yang menurut Undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk

melakukan perbuatan hukum adalah: 58

1. Orang-orang yang belum dewasa, yaitu anak yang belum mencapai umur
18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
2. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan yaitu orang-orang
dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, mata gelap, dan pemboros.
3. Orang-orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk melakukan
perbuatan-perbuatan hukum tertentu.

58
Lihat Pasal 1330 KUHPerdata jo Pasal 433 KUHPerdata jo Pasal 47 Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan orang yang cakap untuk

melakukan perbuatan hukum adalah orang yang dewasa, dan sehat akal

pikirannya serta tidak dilarang oleh suatu Undang-Undang untuk melakukan

perbuatan-perbuatan hukum tertentu.

c. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, berupa prestasi yang

perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian, dan merupakan objek perjanjian.

Sebagai syarat yang ketiga ini untuk sahnya suatu perjanjian adalah

perjanjian itu harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang

diperjanjikan sebagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah

pihak jika timbul perselisihan.

Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya

ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul

perselisihan dalam perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga

perselisihan itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada objek

perjanjian. Akibat tidak dipenuhinya syarat ini, perjanjian batal demi

hukum. 59

59
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1986, hal. 94.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
d. Suatu sebab yang halal

Suatu sebab yang halal sebagai syarat keempat untuk sahnya

perjanjian sering juga disebut dengan oorzaak (bahasa belanda) dan cause

(bahasa latin).

Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian,

yang mendorong orang membuat perjanjian. Tapi yang dimaksud dengan

causa yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu bukanlah sebab dalam

arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian,

melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang

menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak. 60

Dua syarat yang pertama disebut syarat-syarat subjektif karena mengenai

pihak-pihak atau subjek yang terdapat dalam suatu perjanjian, sedangkan dua syarat

yang terakhir disebut syarat objektif karena mengenai perjanjian itu sendiri atau objek

hukum yang dilakukan. 61

Perlu untuk dijelaskan bahwa yang dimaksud sebab yang halal disini adalah

isi dari perjanjian itu sendiri. Sebab tersebut merupakan sebab yang halal mempunyai

arti bahwa yang menjadi isi dari perjanjian tersebut tidak menyimpang dari ketentuan

perundang-undangan yang berlaku di samping tidak menyimpang dari norma-norma

ketertiban dan kesusilaan sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1337

KUHPerdata. Dalam jual beli pada umumnya, yang menjadi sebab perjanjian adalah

60
Ibid.
61
R. Subekti, Op.Cit, hal. 17.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
di satu pihak (pembeli) ingin mendapatkan barangnya dan di pihak lain (penjual)

berkeinginan untuk mendapatkan uangnya.

Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang

membuatnya. Jadi dalam pasal ini terkandung 3 (tiga) macam asas utama dalam

perjanjian, yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas konsesualisme, dan asas pacta sun

servanda. Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas

kepribadian.

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas ini megandung pengertian bahwa semua orang bebas untuk

mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian dengan siapapun juga,

bebas menentukan isi dan syarat-syarat dari perjanjian tersebut, bebas

menentukan bentuk perjanjian, dan bebas juga menentukan pada hukum

mana perjanjian yang dibuat itu akan ditundukkan

b. Asas Konsensualisme

Asas ini merupakan suatu persetujuan yang dibuat secara sah dalam

Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Pasal ini erat hubungannya dengan Pasal

1370 KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian yang pertama yaitu

sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya.

c. Asas Pacta Sun Servanda

Asas ini berlaku dengan adanya akibat dari perjanjian yang dibuat dan

berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
d. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik ini terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang

menyatakan bahwa semua perjanjian yang hendak dilakukan harus

dilaksanakan dengan rasa itikad baik.

Menurut Subekti, pengertian Itikad Baik dapat ditemui dalam hukum

benda (pengertian subjektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang

diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata (pengertian objektif). 62

Dalam Hukum Benda, itikad Baik artinya kejujuran atau bersih,

sedangkan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata pengertian Itikad Baik

adalah bahwa dalam pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan

mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.

Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata juga memberikan

kekuasaan pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian

jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.

e. Asas Kepribadian

Asas ini terkandung dalam Pasal 1315 KUHPerdata dan Pasal 1340

KUHPerdata. Dalam Pasal 1315 KUHPerdata disebutkan bahwa pada

umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau

meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya. Selanjutnya

dalam Pasal 1340 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian

berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.


62
Subekti, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hal. 42.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Jadi pada dasarnya suatu kunci untuk melakukan kesepakatan adalah dengan

telah dipenuhinya kelima unsur di atas, bagaimana pula seperti yang telah

dikemukakan di atas bahwa perjanjian berdasarkan kesepakatan itu akan lemah

sifatnya apabila masing-masing pihak dalam melakukan kesepakatan jual beli

tersebut tidak beritikad baik, seperti yang dipaparkan oleh Seorang Notaris/PPAT

Kota Medan Mengatakan bahwa terhadap judul penelitian tesis penulis tentang

Perlindungan Hukum terhadap Para Pihak dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah dan

Bangunan Dikaitkan dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB dan PPh. Di mana

dalam judul penulis tertulis Perlindungan Hukum terhadap Para Pihak, itu berarti

mencakup Perlindungan Hukum terhadap Penjual, Pembeli dan PPAT.Beliau

mengatakan ada sebuah contoh yang dapat penulis kutip yang pernah beliau

hadapi dalam melaksanakan jual beli, masing-masing pihak telah menandatangani

Akta Jual Beli tersebut dan mereka telah sepakat terhadap segala isi yang

tercantum di dalam akta tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1 dan

Pasal 5 Akta Jual Beli yang dibuat dihadapan PPAT, tetapi dalam kasus ini yang

terjadi bahwa setelah 3 (tiga) tahun kemudian, pembeli melakukan permasalahan

luas tanah yang tidak sesuai, dimana di dalam sertifikat luas tanah adalah 105 m2,

dan PBB 95 m2. Sementara berdasarkan pemeriksaan pembeli dengan melakukan

pengukuran sendiri mengatakan luas tanah sebenarnya adalah hanya 100 m2.

Pembeli menuntut penjual membayar ganti rugi sebanyak Rp.50.000.000 (Lima

Puluh Juta Rupiah). Di sini dipertanyakan dimanakah perlindungan hukum

terhadap penjual yang bertikad baik yang kemudian dirugikan karena luas tanah

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
tersebut. Bukannya pengukuran luas tanah adalah merupakan hak dari Kepala

Kantor Badan Pertanahan, jadi apabila hendak melakukan penuntutan seharusnya

aparat penegak hukum kita harus memproses sesuai jalur yang ada dengan

mengembalikannya ke Kantor Badan Pertanahan untuk melakukan pengecekan

kembali. Dengan adanya hal ini telah menimbulkan kerugian bagi penjual,

sehingga tidak adanya perlindungan hukum bagi penjual. Sedangkan

perlindungan hukum terhadap pembeli dapat kebalikan dari peristiwa di atas

dimana penjual yang tidak beritikad baik sehingga merugikan pembeli. 63

Berdasarkan uraian di atas, apabila luas tanah ex sertifikat dengan NJOP ex

SPPT PBB tidak sama, maka harus dilakukan penyesuaian dengan mengikuti nilai

riil yang tertinggi karena sesuai dengan amanah dari Pasal 6 UU BPHTB, dan ini

merupakan tugas PPAT untuk melakukan penyesuaian terhadap luas tanah

tersebut.

B. Pengertian Hukum Pajak dalam Peraturan Perpajakan yang Berlaku dalam


Pembuatan Akta Jual Beli Tanah dan Bangunan

Dengan adanya peraturan perpajakan yang berlaku dalam hal pembuatan akta

jual beli, di mana setiap pengalihan hak atas tanah melalui jual beli harus terlebih

dahulu melakukan pembayaran pajak, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui

arti dari pajak.

63
Edy, SH, Notaris/PPAT, Kota Medan, Wawancara tanggal 03 Mei 2008.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah: peralihan kekayaan dari pihak

rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya

digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai

public investment. 64

Unsur-unsur dari pajak tersebut, dapat disimpulkan sebagai berikut: 65


1. Iuran dari rakyat kepada negara
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang
(bukan barang).
2. Berdasarkan Undang-Undang
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan Undang-Undang serta
aturan pelaksanaannya.
3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat
ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-
pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Hukum pajak sering disebut hukum fiskal, sebenarnya pengertian istilah fiskal

dengan pajak ada perbedaannya. 66 Hukum pajak mengandung dua pengertian yang

disatukan satu sama lain, yang pertama, pengertian hukum adalah kumpulan aturan-

aturan/norma-norma dan yang kedua adalah pengertian pajak.

Hukum Pajak adalah kumpulan aturan-aturan/norma-norma yang mengatur

hubungan antara kewenangan Pemerintah/Negara sebagai pemungut pajak (Fiskus)

dengan masyarakat sebagai pembayar pajak (wajib pajak). Dengan perkataan lain

hukum pajak mengatur:

64
Rochmat Soemitro, Pajak dan Pembangunan, Eresco, Bandung-Jakarta, 1974, hal. 8.
65
Mardiasmo, Perpajakan (edisi revisi), Andi Offset, Yogyakarta, 2006, hal. 1.
66
Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Cetakan Ketiga, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta,
1999, hal. 24.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
1. Subjek Pajak

2. Objek Pajak

3. Kewajiban Wajib Pajak terhadap Pemerintah

4. Timbulnya dan Hapusnya Hutang Pajak

5. Penagihan Pajak

6. Pengajuan keberatan dan banding pada peradilan pajak

Menurut Rochmat Soemitro, ada 2 macam hukum pajak, yaitu: 67

1. Hukum Pajak Materiil, memuat norma-norma yang menerangkan antara lain


keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa
yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif),
segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan
hukum antara pemerintah dan wajib pajak
Contoh: Undang-Undang Pajak Penghasilan

2. Hukum Pajak Formil, memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum


materiil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materiil).
Hukum ini memuat antara lain:
a. Tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.
b. Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak
mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang
pajak.
c. Kewajiban wajib pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/
pencatatan dan hak-hak wajib pajak misalnya mengajukan keberatan dan
banding.
Contoh: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Selain dua macam hukum pajak yang disebutkan di atas, pajak juga dapat

dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu:

1. Menurut Golongannya

67
Mardiasmo, Op.Cit. hal. 5.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Menurut Golongannya pajak dapat dilihat dari pajak langsung maupun pajak

tidak langsung. 68 Yang dimaksud dengan pajak langsung adalah pajak yang

dikenakan langsung atau dipikulkan kepada pribadi wajib pajak dan tidak dapat

dibebankan kepada pihak lain, biasanya pengenaan pajak ini bersifat periodik dan

berulang-ulang. Sedangkan pajak tidak langsung adalah pajak di mana wajib

pajak dapat melimpahkan kewajiban pajaknya kepada pihak lain (atau pihak

ketiga).

2. Menurut Sifatnya

Dari segi sifatnya pajak dibagi atas pajak subjektif adalah pajak yang

didasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak,

contohnya PPh sedangkan pajak objektif adalah pajak yang berpangkal pada

objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak, contohya Pajak

Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

3. Menurut Lembaga Pemungutannya

Berdasarkan dari lembaga pemungutannya pajak dibagi atas dua (2) hal

pokok, yaitu Pajak Pusat (Negara) dan Pajak Daerah. Pajak Pusat yaitu pajak

yang dipungut oleh pemerintah pusat (Negara) yang dipergunakan untuk

membiayai pembiayaan rumah tangga negara. Pajak ini terbagi atas beberapa

jenis pajak, yaitu:

a. PPh adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh wajib

pajak dalam tahun pajak.


68
Ibid, hal. 5.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

PPN adalah pajak yang dipungut atas penyerahan barang-barang kena pajak

dan atas jasa kena pajak di dalam negeri. 69 Sedangkan Pajak Penjualan Atas

Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan barang kena

pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pabrik kepada siapapun

atau pada waktu impor barang kena pajak yang tergolong mewah atas

importir. 70

c. Pajak Bumi dan Bangunan (yang selanjutnya disingkat dengan PBB) adalah

pajak yang dikenakan atas bumi dan bangunan berdasarkan ketentuan dalam

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang PBB. 71

d. BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau

bangunan. 72 Hal ini sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB.

e. Bea Materai adalah pajak yang dikenakan atas suatu dokumen berdasarkan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai. 73

f. Sedangkan Pajak Daerah adalah Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah

yang dipergunakan untuk membiayai rumah tangga daerah, misalnya pajak

69
Untung Sukadji, Pajak Pertambahan Nilai, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal.
21.
70
Achmad Tjahyono dan Triyono Wahyudi, Perpajakan Indonesia, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, hal. 3.
71
Waluyo, Perpajakan Indonesia Buku 2, Penerbit Salemba Empat, 2002, hal. 41.
72
Marihot Pahala Siahaan, Op.Cit. hal. 42.
73
Ibid, hal. 97.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
hotel, pajak restoran, dan lain sebagainya (Pasal 1 Angka 6 UU Nomor 34

Tahun 2000).

Dalam bidang perpajakan, menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 48 Tahun 1994, tanggal 27 Desember 1994, yang mulai berlaku

pada 1 Januari 1995 tersebut menyatakan bahwa: Orang pribadi atau badan yang

menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau

bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a, wajib membayar

sendiri PPh yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum akta,

keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah

dan atau bangunan ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang. Dan PPAT, Camat,

Pejabat Lelang, atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai dengan perundang-

undangan yang berlaku hanya boleh menandatangani akta, keputusan, perjanjian,

kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan

apabila kepadanya oleh orang atau badan dimaksud diserahkan fotocopi dengan

menunjukkan aslinya bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Pajak (yang

selanjutnya disingkat dengan SSP).

Besarnya PPh yang harus dibayar oleh orang pribadi atau badan yang

memperoleh penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan menurut Pasal

4 PP Nomor 48 Tahun 1994 tersebut adalah 5 % (lima persen) dari jumlah bruto nilai

tertinggi diantara nilai pengalihan berdasarkan akta pengalihan hak dan NJOP atas

tanah dan/atau bangunan. Sedangkan NJOP atas tanah dan/atau bangunan ditentukan

menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (yang selanjutnya disingkat dengan

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
SPPT) yang diterbitkan oleh Kantor PBB setempat, yang berlaku pada tahun dimana

pengalihan hak tersebut dilaksanakan. Atau bila SPPT yang dimaksud belum

diterbitkan karena tanah dan bangunan yang dimaksud belum terdaftar, berdasarkan

Surat Ketetapan yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor PBB yang wilayah

wewenangnya meliputi tempat dimana tanah dan bangunan tersebut berada.

Ketentuan mengenai pembayaran PPh ini kemudian mengalami perubahan

berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tertanggal 16 April 1996,

Nomor 27 Tahun 1996, tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 48

Tahun 1994 tentang Pembayaran PPh dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau

Bangunan, yang telah diumumkan pada lembaran Negara tahun 1996, Nomor 44, dan

berlaku sejak saat ditetapkan yaitu tanggal 16 April 1996.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1996, beberapa ketentuan

sebelumnya mengalami perubahan antara lain ketentuan mengenai besarnya PPh yang
74
sebelumnya sebesar 5 % (lima persen), diubah menjadi:

a. Bagi orang Pribadi atau badan yang memperoleh penghasilan dari pengalihan
hak atas tanah dan bangunan adalah 5 % (lima persen), kecuali bagi Wajib
Pajak Badan yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan (developer) yang menjual rumah sederhana dan rumah
sangat sederhana dan rumah susun sederhana adalah sebesar 2 % (dua persen).
b. Bagi wajib pajak orang pribadi, yayasan atau organisasi sejenis dan wajib pajak
badan developer, yang memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan pembayaran PPh bersifat final.
c. Bagi wajib pajak badan lainnya dan wajib pajak badan developer yang
memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
di luar dari usaha pokoknya, pembayaran pajak penghasilannya merupakan
pembayaran PPh Pasal 25 yang dapat diperhitungkan dengan pajak penghasilan
yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.
74
PP No. 27 Tahun 1996 Op.Cit, Pasal 4 dan 8.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
d. Bagi wajib pajak orang pribadi yang penghasilannya melebihi penghasilan tidak
kena pajak (PTKP) yang memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan kurang dari Rp. 60.000.000,- (Enam Puluh Juta
Rupiah) wajib membayar PPh sebesar 5 % (lima persen) dari jumlah bruto
penghasilan dan harus dibayar sendiri oleh wajib pajak dengan SSP Final
sebelum akhir tahun pajak yang bersangkutan.

Wajib pajak atau kuasanya wajib membayar pajak yang terutang dengan

menggunakan SSB ke tempat pembayaran BPHTB yang ditunjuk oleh Direktur

Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan di wilayah Kabupaten/kota yang

meliputi letak tanah dan/atau bangunan. 75 Dalam jangka waktu lima tahun terhitung

sejak terutangnya pajak, Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan kurang bayar (yang selanjutnya

disingkat dengan SKBKB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan

lain ternyata jumlah pajak terutang kurang bayar. Jumlah kekurangan pajak terutang

dalam SKBKB kurang bayar ditambah dengan sanksi sebesar 2 % (dua persen)

perbulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak

saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKB.

Penjelasan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, disebutkan bahwa wajib

pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak

kepada Direktorat Jenderal Pajak. Kelebihan pembayaran BPHTB menurut Peraturan

Menteri Keuangan Nomor 30 Tahun 2005 dapat terjadi dalam hal:

1. Pajak yang dibayar lebih besar daripada yang seharusnya terutang.

75
Departemen Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 517/2000.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
2. Pajak yang terutang yang dibayarkan oleh wajib pajak sebelum akta

ditandatangani, namun perolehan hak atas tanah dan bangunan tersebut

batal.

Usaha memperoleh pengembalian kelebihan bayar BPHTB, wajib pajak harus

mengajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia yang jelas kepada Direktur

Jenderal Pajak, up. Kepala Kantor PBB/Kepala Kantor Pelayanan Pratama yang

wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan atau bangunan. Direktur Jenderal Pajak

setelah melakukan pemeriksaan kantor dan pemeriksaan lapangan, dalam jangka

waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan harus telah

memberikan keputusan. Apabila jangka waktu pemberian keputusan tersebut

terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, permohonan

pembayaran kelebihan pembayaran pajak tersebut dianggap telah dikabulkan dan

surat ketetapan bea perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan lebih bayar harus

diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan. 76

Keputusan Direktur Jenderal Pajak dapat berupa: 77

1. Kurang bayar, dengan menerbitkan SKBKB, yaitu bila jumlah pembayaran


pajak ternyata lebih kecil dari pajak yang terutang.
2. Lebih bayar, dengan menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan lebih bayar, yaitu bila jumlah pembayaran pajak ternyata
lebih besar dari pajak yang terutang, atau telah dilakukan pembayaran pajak
yang tidak seharusnya.
3. Tetap, dengan menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan nihil, yaitu bila jumlah pembayaran pajak ternyata sama dengan pajak
yang terutang.

76
UU Nomor 20 Tahun 2000, Op.Cit.
77
Muhammad Rusjdi, Op.Cit, hal. 171-172.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Kelebihan pembayaran BPHTB diperhitungkan terlebih dahulu dengan utang

pajak, baik di pusat maupun cabang-cabangnya. Utang pajak yaitu pajak yang masih

harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang

tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat keputusan lain berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 78 Pengembalian kelebihan

pembayaran BPHTB atas utang pajak dilakukan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan

sejak diterbitkannya surat ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau

Bangunan lebih bayar dengan tahap-tahap dan perincian waktu paling lama sebagai

berikut:

1. 12 bulan : Terhitung sejak permohonan pengembalian kelebihan

pembayaran BPHTB diajukan, Direktur Jenderal Pajak

melakukan pemeriksaan kantor dan lapangan, serta

memberikan keputusan.

2. 1 bulan : terhitung sejak jangka waktu tersebut butir (1) terlampaui

dalam hal direktur jenderal pajak tidak memberikan

keputusan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,

permohonan dianggap dikabulkan dan direktur jenderal

pajak harus memberikan keputusannya; keputusan direktur

jenderal pajak, berupa : kurang bayar, lebih bayar, nihil.

3. 2 bulan : Direktur Jenderal Pajak mengembalikan kelebihan bayar

dengan cara terlebih dahulu:


78
Departemen Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30 Tahun 2005.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
a. menerbitkan surat keputusan pengembalian kelebihan

pembayaran BPHTB.

b. menerbitkan surat perintah membayar kelebihan

BPHTB.

Jadi waktu yang diperlukan untuk mengurus pengembalian pembayaran BPHTB

lebih bayar paling lama adalah 13 (tiga belas) bulan, terhitung sejak surat

permohonan pengembalian pembayaran BPHTB lebih bayar diajukan kepada

Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 memberikan ketentuan

dengan tegas waktu yang menjadi saat yang menentukan pajak terutang. Secara

umum ada 5 saat/waktu yang ditentukan menjadi saat pajak terutang, yaitu:

1. Tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta

2. Tanggal penunjukan pemenang lelang.

3. Tanggal didaftarkannya perolehan hak ke kantor pertanahan.

4. Tanggal putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan

5. Tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak.

Saat yang paling banyak digunakan sebagai saat pajak terutang adalah sejak

tanggal dibuat dan ditandatangani akta. Hal ini dapat dimengerti karena sebagian

besar perolehan hak yang terjadi berkaitan atau dibuktikan dengan adanya akta

otentik. Yang dimaksud dengan sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
adalah tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta pemindahan hak dihadapan

PPAT. Hal yang sangat penting dari suatu akta otentik sebagai alat pembuktian

adalah kapan akta otentik dibuat. Saat atau tanggal akta otentik dibuat berarti

tanggal diresmikannya akta otentik tersebut.

Pajak yang terutang dibayar ke kas negara melalui kantor pos dan atau bank

persepsi yang telah ditunjuk dengan menggunakan SSB.

C. Hak dan Kewajiban Penjual dan Pembeli atas Jual Beli Tanah dan
Bangunan

Penjual dan pembeli masing-masing mempunyai hak dan kewajiban.

Sebagaimana diketahui bahwa subjek hukum adalah manusia dan badan hukum yang

masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. 79

Subjek yang berupa manusia harus memenuhi syarat-syarat umum untuk

melakukan suatu perbuatan hukum secara sah.

Pasal 1476 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1470 KUHPerdata adalah

peraturan istimewa, karena untuk itu tidak melarang jual beli pihak-pihak dengan kata

lain setiap orang boleh mengadakan jual beli asal memenuhi syarat-syarat yang telah

ditentukan di dalam Undang-Undang.

Subjek jual beli adalah penjual dan pembeli yaitu anasir-anasir yang bertindak

aktif, maka obyek jual beli adalah barang yang dijual atau dibeli.

79
Qiram Syamsuddin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Penerbit Liberty Yogyakarta,
1985. hal. 38-39.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Ada beberapa hal yang terpenting dalam obyek jual beli, yaitu:

a. Benda/barang yang diperjualbelikan.

Maksudnya barang yang diperjualbelikan tersebut harus terlihat nyata

sehingga pembeli dapat mengetahui bentuk benda/barang yang hendak

diperjualbelikan tersebut.

b. Mengenai harga barang objek jual beli.

Maksudnya objek jual beli misalnya rumah, setelah diketahui dengan jelas

bentuk objek yang hendak dijual maka pembeli juga harus mengetahui

dengan jelas mengenai harga barang atas objek tersebut. Kesepakatan

harga barang antara kedua belah pihak harus jelas.

c. Musnahnya barang yang dijual.

Maksudnya musnahnya barang atau objek yang hendak diperjualbelikan

tersebut akan mengakibatkan kebatalan jual beli tersebut dilakukan oleh

para pihak yang hendak melakukan jual beli.

Dalam Pasal 1459 KUHPerdata, hak milik tidak dengan sendirinya menurut

hukum berpindah kepada pembeli, melainkan milik itu baru berpindah sesudah

barang yang dibeli atau diserahkan sesuai dengan aturan penyerahan yang ditetapkan.

Kalau demikian tanpa mengurangi maksud dari Pasal tersebut, penyerahan barang

objek jual beli tidak hanya penyerahan barangnya semata-mata, tapi meliputi

penyerahan barang dan penguasaan serta hak milik dari barang kepada pembeli.

Kewajiban Pembeli yang paling utama tentunya kewajiban untuk membayar

harga sesuai dengan ketentuan Pasal 1513 KUHPerdata. Pembeli wajib

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
menyelesaikan pelunasan harga bersamaan dengan penerimaan barang. Pembeli yang

menolak untuk membayar berarti telah melakukan “Perbuatan Melawan Hukum”

(Pasal 1365 KUHPerdata). Di samping pembeli hendak melakukan pembayaran atas

barang yang diterimanya, pembeli juga berkewajiban untuk membayar pajak yakni

pajak BPHTB. Pajak tersebut dibayar sebelum dibuatnya akta jual beli atas tanah dan

bangunan tersebut.

Kewajiban penjual menurut Pasal 1474 KUHPerdata pada pokoknya terdiri

atas:

1. Kewajiban untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.

2. Kewajiban memberi jaminan (Vijwaring) bahwa barang yang dijualnya itu

tidaklah mempunyai sangkutan apapun, tuntutan maupun pembebanan.

Selain kewajiban tersebut penjual juga berkewajiban untuk membayar


pajak atas PPh dari penjualan tanah dan bangunan tersebut sebelum akta
jual beli tersebut dilakukan dihadapan PPAT.
Dalam hal penyerahan barang, maka yang wajib diserahkan oleh penjual dan

pembeli adalah: 80

1. Pemindahan barang yang dijual ke dalam penguasaan dan pemilikan

pembeli.

2. Segala sesuatu yang merupakan bagian dari barang yang dijual yang

dihajatkan untuk penggunaan barang itu selama-lamanya.

80
Djohari Santoso dan Achmad Ali, Hukum Perjanjian Indonesia, Penerbit Perpustakaan Fak.
Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1989, hal. 129.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
3. Surat-surat bukti pemilikan atas benda, jika oleh kebiasaan atau Undang-

Undang disyaratkan adanya surat-surat tersebut bagi jenis benda seperti

itu.

Dengan adanya hak dan kewajiban antara masing-masing pihak pembeli dan

penjual maka perlu kiranya ada suatu bentuk perlindungan hukum bagi masing-

masing pihak tersebut.

Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum terhadap transaksi atas tanah dan

bangunan mencakup perlindungan hukum terhadap pembeli, penjual maupun

terhadap PPAT itu sendiri. Perlindungan para pihak tersebut dapat dijabarkan lebih

lanjut yakni sebagai berikut: 81

a. Perlindungan hukum terhadap penjual, contohnya apabila dalam suatu


transaksi pengalihan hak atas tanah dimana masing-masing pihak baik
penjual maupun pembeli berkewajiban membayar pajak. Penjual
berkewajiban membayar PPh atas pengalihan hak atas tanahnya dan
pembeli berkewajiban membayar Pajak BPHTB atas perolehan hak atas
tanah tersebut. Di mana dalam hal ini si penjual tersebut telah terlebih
dahulu melakukan pembayaran PPh atas pengalihan hak atas tanah
tersebut dan pembeli belum melakukan pembayaran Pajak BPHTB, agar
transaksi jual beli hak atas tanah yang hendak diperjualbelikan itu tidak
dapat dibatalkan secara sepihak maka hendaklah dilakukan antisipasi
dengan memberikan perlindungan hukum terhadap penjual yang telah
melakukan pembayaran pajak tersebut. Perlindungan hukum yang
dimaksud adalah dengan terlebih dahulu melakukan perjanjian jual beli.
Dasar hukumnya mengacu kepada Pasal 1338 ayat (3) dan Pasal 1320
KUHPerdata. Hal ini dilakukan untuk mencegah agar pihak pembeli tidak
dapat membatalkan secara sepihak jual beli tersebut padahal pihak penjual
telah melakukan pembayaran PPh maka dengan adanya perjanjian jual beli
tersebut pihak pembeli tidak dapat membatalkan sepihak atas objek tanah
yang telah diperjanjikan tersebut. Perjanjian jual beli yang telah dilakukan
dengan lunas, dapat dicantumkan dengan kuasa menjual tetapi apabila
perjanjian jual beli yang dilakukan belum lunas tidak boleh dicantumkan
81
Syahril Sofyan, SH, MKn, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 04 Juli 2008.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
klausula kuasa menjual akan tetapi untuk memberikan perlindungan
hukum bagi pihak penjual maka pihak pembeli harus membayar panjar
terlebih dahulu sesuai dengan besarnya biaya pajak BPHTB atau lebih
besar jumlahnya dari pajak BPHTB. Kuasa menjual ini diberikan oleh
penjual kepada pembeli apabila karena sesuatu hal penjual berhalangan
atau tidak dapat memberikan bantuannya dalam melangsungkan jual beli
di hadapan pejabat yang berwenang, maka dengan adanya kuasa tersebut
pembeli dapat bertindak sendiri untuk melakukan jual beli dihadapan
PPAT untuk melakukan pembalikan nama.

b. Contoh lain dalam hal memberikan perlindungan hukum kepada para


pihak misalnya apabila pihak pembeli telah melakukan pembayaran
BPHTB tetapi pihak penjual belum melakukan pembayaran PPh dengan
alasan tidak mempunyai dana yang cukup maka pihak pembeli dapat
membantu membayar terlebih dahulu PPh tersebut dengan membuat suatu
perjanjian pendahuluan misalnya panjar atas objek tanah yang hendak
diperjualbelikan tersebut. Panjar yang telah dilakukan oleh pembeli
tersebut akan diperhitungkan kembali setelah diadakan jual beli di
hadapan PPAT Perhitungan panjar tersebut berdasarkan nilai tertinggi dari
transaksi harga jual. Tetapi Apabila NJOP lebih tinggi dari harga jual
maka yang dipergunakan dalam perhitungan panjar adalah NJOP. 82 Dilain
sisi apabila pihak penjual yang telah terlebih dahulu membantu melakukan
pembayaran pajak BPHTB, maka untuk mengantisipasi agar pihak penjual
tidak dirugikan apabila pembeli tersebut hendak membatalkan secara
sepihak jual beli tersebut maka dapat dilakukan dengan meminta panjar
kepada pembeli sebesar biaya pajak BPHTB atau lebih besar jumlahnya
dari pembayaran pajak BPHTB. Jadi apabila transaksi jual beli tersebut
tidak jadi, penjual tidak akan rugi karena telah tertutupi biaya pembayaran
PPh nya dengan panjar BPHTB oleh si pembeli.

c. Perlindungan Hukum terhadap PPAT, contohnya apabila akta jual beli


yang pada intinya akan mengalihkan hak atau memindahkan hak, maka
PPAT sebelum membuat akta tersebut terlebih dahulu melakukan
pemeriksaan sertifikat hak atas tanah pada Kantor Pertanahan Setempat
dan setelah mendapatkan bukti pembayaran pajak, PPAT baru dapat
melaksanakan akta jual beli tersebut. Hal ini bertujuan untuk menjamin
kepastian hukum terhadap keadaan dari tanah yang akan diperjanjikan
tersebut dan guna untuk menghindari agar pihak yang akan mendapatkan
hak berupa tanah dari objek jual beli tersebut tidak mendapatkan masalah
atau kerugian dari tanah yang akan dimilikinya tersebut, sehingga dapat
memberikan perlindungan hukum di kemudian hari terhadap PPAT itu
82
Tjong Deddy Iskandar, SH, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 18 Juli 2008.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
sendiri karena PPAT tersebut telah melakukan tugasnya dengan
melakukan pemeriksaan terhadap objek tanah sebelum melakukan jual
beli.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
BAB III

PERAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT ) DALAM


KAITANNYA DENGAN BPHTB DAN PPh ATAS JUAL BELI
TANAH DAN BANGUNAN

A. Peran PPAT Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris Terhadap


Setiap Transaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan

Menurut Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang

Jabatan Notaris, menjelaskan kewenangan seorang Notaris dan menyatakan bahwa:

“Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,


perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang”.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, tentang Jabatan

Notaris pada tanggal 6 Oktober 2004, ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai

Notaris yang berlaku sebelumnya, yaitu:

1. Reglement Op Het Notaris Ambt in Indonesia (Stb. 1860: 3) sebagaimana

telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara 1945 Nomor 101.

2. Ordonansi 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil

Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 700).

4. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum

(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Berita

Negara Nomor 4379).

5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/janji

Jabatan Notaris.

Secara tegas dinyatakan tidak berlaku lagi. 83

Menurut Penjelasan Undang-Undang Jabatan Notaris menjelaskan bahwa:

Negara Indonesia adalah Negara hukum, yang menjamin adanya kepastian, ketertiban

dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Dalam hukum

nasional alat bukti yang terutama adalah alat bukti tertulis, dan untuk menjamin

adanya kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum dalam kehidupan

bermasyarakat diperlukan alat bukti tertulis yang berupa akta otentik agar dapat

menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subyek hukum dalam

masyarakat.

Bagian umum penjelasan tersebut juga diuraikan bahwa akta otentik sebagai

alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan

83
Indonesia, Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris, UU Nomor 30 Tahun 2004,
Ketentuan Penutup.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang

perbankan, pertanahan, kegiatan sosial dan lain-lain, kebutuhan akan pembuktian

tertulis berupa akta otentik semakin meningkat sejalan dengan berkembangnya

tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik

pada tingkat nasional, regional, maupun global. Melalui akta otentik yang

menentukan secara jelas hak dan kewajiban, dapat diciptakan kepastian dan sekaligus

pula diharapkan dapat dihindari terjadinya sengketa atau kalaupun sengketa tersebut

tidak dapat dihindari, maka dalam proses penyelesaian sengketa tersebut akta otentik

yang merupakan alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh memberi sumbangan

nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat.

Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan Perundang-

undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum.

Selain akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan PPAT, bukan saja karena

diharuskan oleh Peraturan Perundang-undangan, tetapi juga karena dikhendaki oleh

pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi

kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan

sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan. 84

Berdasarkan Pasal 1 angka 7 dan Pasal 38 angka 1 Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang dimaksud dengan Akta Notaris adalah

Akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara

84
Lihat, Penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
yang ditetapkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, yaitu setiap Akta Notaris

terdiri atas: Awal Akta, Badan Akta dan Akhir Akta.

Akta yang dibuat oleh Notaris harus dibacakan dihadapan para penghadap,

para saksi sebelum ditandatangani oleh penghadap, saksi-saksi dan Notaris.

Peraturan tentang jabatan PPAT di Indonesia diatur dalam Peraturan

Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 1998, Pasal 1 angka (1) (Diundangkan dalam

Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3746)

Tentang PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-

akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak

milik atas satuan rumah susun.

PPAT pada umumnya adalah Notaris. Berkaitan dengan fungsi Notaris

sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dalam bidang

hukum, namun demikian berdasarkan kebutuhan maka pemerintah menunjuk

beberapa pejabat lain sebagai PPAT khusus. Hal ini diatur di dalam Pasal (1) angka

(2) dan (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1998 tentang PPAT.

Pasal 1 angka (1) dinyatakan bahwa PPAT Sementara adalah pejabat

pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan

membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. Menurut A.P.

Parlindungan, PPAT Sementara ini adalah Camat atau Kepala Desa tertentu untuk

melaksanakan tugas PPAT, karena di daerah tersebut belum cukup PPAT. 85

85
A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, CV. Mandar Madju, Bandung, 1999,
hal. 177.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
PPAT adalah pejabat yang berwenang membuat akta untuk perjanjian-

perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan suatu hak baru

atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai

tanggungan. Yang dapat diangkat menjadi PPAT ialah: 86

a. Notaris.
b. Pegawai-pegawai dan bekas pegawai dalam lingkungan Direktorat
Jenderal Agraria yang dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup
tentang Peraturan-peraturan Pendaftaran Tanah dan Peraturan-peraturan
lainnya yang bersangkutan dengan persoalan peralihan hak atas tanah.
c. Para pegawai pamong praja yang pernah melakukan tugas seorang PPAT.
d. Orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang diadakan oleh
Direktorat Jenderal Agraria.

Dasar hukum dari kewenangan Notaris selaku PPAT dalam melakukan

Pemeriksaan sertifikat hak atas tanah tersebut sebelum dilakukan transaksi atas tanah

tersebut antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah

beserta benda-benda yang berkaitan dengan Tanah.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

3 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah.

86
Efendi Perangin, SH., Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah dari sudut Pandang
Praktisi Hukum, Ed.1 Cet. 4, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 3-4.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Peran PPAT dalam melindungi para pihak terhadap pelaksanaan jual beli

tanah dan/atau bangunan adalah dengan melakukan pemeriksaan sertifikat (cek

bersih) sebelum ditandatanganinya akta oleh para pihak. Secara Materiil kewenangan

pemeriksaan sertifikat hak atas tanah tersebut terletak pada Kantor Badan Pertanahan

Nasional setempat, sedangkan PPAT hanya secara formil saja yakni melakukan

pemeriksaan sertifikat ke Kantor Badan Pertanahan Nasional. Jadi pada intinya

pemeriksaan sertifikat tersebut telah bersih atau tidak, bukan merupakan hak dari

PPAT tetapi merupakan hak dari BPN yang menentukan apakah sertifikat tersebut

bersih dengan arti tidak terdapat silang sengketa maupun terikat suatu hak

tanggungan pada bank. Pentingnya pemeriksaan sertifikat hak atas tanah tersebut

merupakan suatu hal yang diharuskan, agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan para

pihak-pihak maupun pihak ketiga. Hal ini dilakukan bertujuan untuk menjamin

kepastian hukum terhadap keadaan dari tanah yang akan diperjanjikan tersebut. Hal

tersebut sangat penting untuk menghindari agar pihak yang akan mendapatkan hak

berupa tanah dari obyek jual beli tanah tersebut tidak mendapatkan masalah atau

kerugian dari tanah yang dimilikinya tersebut.

Sementara itu, berkenaan dengan tata cara pembuatan akta jual beli tanah

dan/atau bangunan dikaitkan dengan ketentuan perpajakan, seorang PPAT tunduk

kepada ketentuan dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000

tentang BPHTB di mana akta pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan

ditandatangani apabila telah melunasi SSB, diserahkan kepada PPAT bersangkutan,

serta menyerahkan satu lembar fotocopy dari SSB tersebut. Apabila pembeli sebagai

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
wajib pajak tidak membayar BPHTB maka secara otomatis akta jual beli secara

PPAT tidak dapat dilaksanakan.

Dalam hal peran PPAT terhadap pembayaran pajak adalah memberitahukan

kepada wajib pajak agar segera melakukan pembayaran pajak supaya akta jual

belinya dapat dilakukan, dan sebagai seorang PPAT kita juga dapat membantu para

klien untuk membayar pajaknya apabila para klien tidak mengetahui tata cara

pembayaran pajak tersebut atau awam mengenai perpajakan. 87 Pembayaran Pajak

tersebut sebenarnya memang kewajiban dari masing-masing wajib pajak tapi pada

kenyataannya para PPAT yang membantu melakukan pembayaran pajak seperti yang

dikemukakan oleh seorang PPAT, bahwa itu adalah merupakan fee tanpa ada

pungutan lain dalam hal membantu pembayaran pajak itu, tetapi ada juga yang para

wajib pajak yang hanya tidak bisa mengisi formulir pembayaran pajak tersebut, dan

PPAT hanya membantu melakukan pengisian formulir tetapi pembayaran dilakukan

oleh wajib pajak tersebut. 88

Keterkaitan PPAT dalam pelaksanaan pemungutan BPHTB, telah dijelaskan

sebagai pejabat umum yang mengesahkan terjadinya transaksi pengalihan hak atas

tanah dan bangunan di mana disyaratkan agar sebelum menandatangani akta dipenuhi

segala syarat-syarat termasuk di dalamnya pembayaran pajak-pajak.

Disinilah peranan PPAT muncul untuk memberikan informasi sekaligus

sebagai “First Gate” (Gerbang Pertama) dalam pengamanan penerimaan BPHTB

87
Tjong Deddy Iskandar, SH, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 03 Mei 2008.
88
Edy, SH, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 03 Mei 2008.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
sebelum melakukan Akta Jual Beli. Pada tahap ini PPAT harus dapat memberikan

gambaran yang jelas tentang bentuk-bentuk pajak yang akan dikenakan kepada para

pihak pada setiap transaksi peralihan hak atas tanah, pihak penjual dan pihak pembeli

masing-masing mempunyai kewajiban dalam hal pembayaran pajak. Untuk Pihak

penjual menanggung PPh yaitu sebagai konsekwensi dari penghasilan yang ia peroleh

atas dasar pemindahan haknya sedangkan bagi pihak pembeli diwajibkan membayar

BPHTB dari hak yang ia peroleh.

Seorang PPAT mempunyai tanggung jawab yang besar selain memastikan

para pihak untuk melakukan pembayaran pajak sebelum akta jual beli tersebut

dilakukan, maka seorang PPAT harus juga melakukan pengecekan/pemeriksaan

terhadap sertifikat hak atas tanah. Dasar hukum dari kewenangan PPAT dalam

melakukan pemeriksaan sertifikat hak atas tanah telah dijelaskan sebelumnya bahwa

seorang PPAT dalam melaksanakan tugasnya apabila adanya pengalihan hak atas

tanah sebelum diadakan atau dilaksanakannya pengalihan hak atas tanah tersebut

dibuat dalam akta otentik maka harus dilakukan pemeriksaan sertifikat hak atas tanah

seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 3 Tahun 1997.

Kewenangan pemeriksaan sertifikat hak atas tanah pada Kantor Pertanahan

setempat adalah didasarkan kepada kewenangan PPAT tersebut dalam pembuatan

akta. Pentingnya pemeriksaan sertifikat hak atas tanah tersebut merupakan suatu hal

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
yang diharuskan, hal ini guna mengetahui bahwa objek tanah tersebut bebas dari

silang sengketa maupun tidak terikat hak tanggungan pada suatu bank.

Sementara itu, dasar hukum sebelum dipergunakan ketentuan sebagaimana

yang telah disebutkan di atas untuk kewenangan PPAT dalam melakukan

pemeriksaan sertifikat hak atas tanah adalah hanya bersifat umum yang secara tersirat

dapat dikatakan merupakan tanggung jawab moril dari seorang pejabat umum dalam

membuat suatu akta otentik seperti:

1. Berdasarkan KUHPerdata yaitu dalam Pasal 1868 KUHPerdata tentang

akta otentik.

2. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris Stbl. 1860 No. 3 jo Pasal 1

angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, bahwa jika

tahapan pembuatan akta tidak dapat dilakukan sebelum pemeriksaan sertifikat hak

atas tanah tersebut dilakukan. Ketentuan yang demikian terlihat jelas sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/

Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No. 3 Tahun 1997 yang menyebutkan:

1. Sebelum Melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebanan


hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, Notaris/PPAT wajib
terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai
kesesuaian sertifikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang
bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan setempat
dengan memperlihatkan sertifikat asli.
2. Pemeriksaan sertifikat hak atas tanah yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan
untuk setiap pembuatan akta oleh Notaris/PPAT dengan ketentuan bahwa untuk
pembuatan akta pemindahan hak atau pembebanan hak atas bagian-bagian tanah
hak induk dalam rangka pemasaran hasil dan pengembangan oleh perusahaan real
estat, kawasan industri dan pengembangan sejenis, cukup dilakukan pemeriksaan

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
sertifikat induk 1 (satu) kali, kecuali apabila Notaris/PPAT yang bersangkutan
menganggap perlu dilakukan pemeriksaan sertifikat ulang.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas mengenai Pasal 97 Peraturan

Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) tersebut, maka terlihat

dengan jelas bahwa hal tersebut telah memberikan kewenangan kepada PPAT untuk

melakukan pemeriksaan sertifikat hak atas tanah jika PPAT tersebut melakukan

pembuatan akta Jual Beli.

B. Prosedur dan Syarat-Syarat Pembayaran PPh dan BPHTB

Pembayaran PPh dilakukan oleh Wajib Pajak ke Kas Negara dengan

menggunakan SSP melalui Bank Persepsi atau Bank yang melayani pembayaran

Pajak Penghasilan tersebut sebelum akta pengalihan hak atas tanah dan bangunan

ditandatangani oleh dan dihadapan PPAT. Demikian halnya dengan pembayaran

pajak atas BPHTB dilakukan oleh wajib pajak ke kas negara dengan menggunakan

SSB.

Suatu Perolehan hak atas tanah dan bangunan pada dasarnya hasil dari proses

peralihan hak. Hal ini dapat terjadi karena dua hal yaitu beralih dan dialihkan. Yang

dimaksud dengan dialihkan adalah suatu peralihan hak yang dilakukan dengan

sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemilik asalnya dan menjadi milik pihak

lain. Dengan kata lain terjadinya karena adanya suatu perbuatan hukum tertentu,

seperti wasiat, hibah, jual beli, tukar menukar dan hibah wasiat. 89

89
K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 180.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Subjek dalam peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah orang

pribadi (nature person) atau badan (legal person). Orang pribadi atau badan yang

dimaksud di sini bisa berkedudukan sebagai pembeli atau penjual. Bagi pembeli

dikenakan pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diterimanya

yaitu BPHTB sedangkan bagi penjual dikenakan PPh atas penjualan tanah.

Sedangkan objek pajak pembeli adalah perolehan hak atas tanah dan/atau

bangunan, hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2000 tentang BPHTB Bagi pihak penjual maka yang menjadi objek adalah

penghasilan yang diperoleh penjual atas tambahan ekonomi yang diterimanya dalam

hal terjadinya peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

PPh atas penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah atau bangunan diatur

dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 (diundangkan

dalam Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3985) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983

tentang Pajak Penghasilan, dalam Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa atas

penghasilan-penghasilan tertentu penanganan pajaknya diatur dengan Peraturan

Pemerintah (PP), pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: Atas Penghasilan berupa

penghasilan dari pengalihan berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan

tertentu lainnya pengenaan pajaknya diatur dengan peraturan pemerintah.

Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan dibedakan:

1. Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan oleh pribadi.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
2. Pengalihan Hak oleh wajib pajak badan yang usaha pokoknya melakukan

pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (wajib pajak real estat).

3. Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang dilakukan oleh wajib

pajak badan diluar usaha pokoknya.

Untuk melakukan pembayaran PPh, terlebih dahulu harus mengisi formulir

SSP dengan mencantumkan nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dari

wajib pajak yang mengalihkan hak serta mencantumkan lokasi tanah dan/atau

bangunan serta nama pembeli. Bagi Wajib Pajak yang belum mempunyai NPWP,

maka dalam SSP dicantumkan NPWP sebagai berikut: Bagi Wajib Pajak Badan diisi

01.000.000.0.XXX.000, bagi Wajib Pajak Orang Pribadi diisi 04.000.000.0.XXX.000

dimana XXX adalah kode kantor pelayanan pajak tempat pihak yang mengalihkan

berdomisili.

Tata cara pembayaran PPh dalam hal Peralihan Hak Atas Tanah dan/atau

Bangunan dilakukan dengan cara:

1. Mengisi SSP yang biasanya sudah tersedia di kantor PPAT dan biasanya

dalam pengisian dibantu oleh para pegawai PPAT. Formulir SSP ini

terdiri dari 5 (lima) rangkap, yaitu:

a. Lembar pertama : untuk arsip wajib pajak

b. Lembar kedua : untuk kantor pelayanan pajak (KPP) melalui KPKN

c. Lembar ketiga : untuk dilaporkan oleh wajib pajak ke KPP

d. Lembar keempat : untuk Bank Persepsi/kantor pos dan giro.

e. Lembar kelima : untuk arsip wajib pungut atau pihak lain

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
2. Setelah SSP diisi oleh wajib pajak, maka wajib pajak membayar sendiri

atau biasanya dalam melakukan pembayaran PPh tersebut dapat juga

dibantu oleh petugas PPAT ke tempat pembayaran yang ditunjuk. Hal ini

disebabkan para klien biasanya ingin penyelesaiannya sekaligus dengan

pembuatan akta. Mengenai tempat pembayaran biasanya dilakukan di:

a. Bank Persepsi, yaitu Bank Pemerintah dan Bank Swasta devisa yang

ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pembayaran pajak

dari wajib pajak.

b. Kantor Pos dan Giro.

c. Tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh menteri keuangan.

Dalam pengenaan PPh berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan

Nomor 17 Tahun 2000 dan peraturan pelaksanaannya, dasar pengenaan pajak dalam

peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan, bagi pihak penjual adalah jumlah bruto

nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Hal ini sesuai dengan Peraturan

Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 1999 Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi: “Besarnya

PPh sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan

Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 adalah sebesar 5 % (lima persen) dari jumlah

bruto nilai pengalihan hak atas tanah/atau bangunan. Sedangkan mengenai besarnya

tarif PPh yang dikenakan terhadap pihak penjual yang melakukan perbuatan hukum

peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan berdasarkan ketentuan Peraturan

Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 sebesar 5 % (lima persen) dari nilai bruto

pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Cara menghitung PPh:

PPh = Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) X Tarif

= Nilai Jual Bruto X 5 %

Cara menghitung BPHTB:

BPHTB = (Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) – Nilai Perolehan Objek

Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) X tarif

= (NPOP – NPOPTKP) X 5 %

Tarif pajak BPHTB yang dikenakan terhadap orang pribadi/badan yang

mengalihkan tanah dan bangunan adalah 5 % (lima persen) dari jumlah bruto nilai

pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang dikurangkan terlebih dahulu dengan

NPOPTKP. 90

Tata cara pembayaran pajak atas BPHTB dalam hal Peralihan Hak Atas Tanah

dan/atau Bangunan dilakukan dengan cara:

1. Mengisi SSB yang biasanya sudah tersedia di kantor PPAT dan biasanya

dalam pengisian dibantu oleh para pegawai PPAT. Formulir SSB ini

terdiri dari 6 (enam) rangkap, yaitu:

a. Lembar pertama : untuk wajib pajak sebagai bukti pembayaran.

b. Lembar kedua : untuk kantor pelayanan pajak Bumi dan Bangunan

(KPPBB) melalui Bank/Kantor Pos Operasional V.

90
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan, Pasal 5.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
c. Lembar ketiga : untuk KPPBB disampaikan oleh wajib pajak.

d. Lembar keempat : untuk kantor penerimaan pembayaran (Bank/Kantor

Pos Persepsi).

e. Lembar kelima : untuk PPAT/Notaris, Kepala Kantor Lelang/Pejabat

Lelang, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

f. Lembar keenam : untuk Dipenda Kota Medan.

2. Setelah Surat Setoran BPHTB diisi oleh wajib pajak, maka wajib pajak

membayar sendiri atau biasanya dalam melakukan pembayaran pajak

BPHTB tersebut dapat juga dibantu oleh petugas PPAT ke tempat

pembayaran yang ditunjuk. Hal ini disebabkan para klien biasanya ingin

penyelesaiannya sekaligus dengan pembuatan akta. Mengenai tempat

pembayaran biasanya dilakukan di Bank Persepsi, yaitu Bank Pemerintah

yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pembayaran pajak

dari wajib pajak

Mengenai besarnya tarif PPh yang dikenakan terhadap pihak penjual yang

melakukan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan

berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 sebesar 5 %

(lima persen) dari Nilai Bruto Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

Sedangkan untuk BPHTB berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2000 yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah

NJOP.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditentukan sebesar:

i. Harga transaksi, dalam hal jual beli.

ii. Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB), apabila besarnya

NJOP sebagaimana dimaksud tidak diketahui atau NJOP lebih rendah

daripada NJOP PBB.

Jadi pada dasarnya PPh dan Pajak BPHTB saling berkaitan yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain dalam hal peralihan hak atas tanah dan bangunan karena
sebelum melakukan perbuatan hukum dalam Akta Jual Beli dihadapan PPAT, kedua
pajak tersebut harus telah lunas dibayar oleh wajib pajak, sehingga wajib pajak dapat
memperlihatkan fotocopi pembayaran pajak tersebut sebagai bukti bahwa telah
dilakukan pembayaran atas kedua pajak tersebut.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
BAB IV

KENDALA DAN UPAYA MENGATASINYA DALAM


PEMBAYARAN BPHTB DAN PPh ATAS
JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN

A. Kendala-Kendala dalam Pembayaran BPHTB dan PPh

Peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan yang berkaitan dengan

pelaksanaan jual beli atas tanah dan bangunan, membawa perubahan mendasar pada

pelaksanaan tugas seorang PPAT. Hal ini terutama karena waktu jatuh tempo

pembayaran PPh oleh penjual dan BPHTB oleh pembeli harus telah dibayar pada saat

akta pengalihan atas tanah dan bangunan ditandatangani dihadapan PPAT.

Keterkaitan PPAT dalam pelaksanaan pemungutan BPHTB adalah sebagai pejabat

umum yang mengesahkan terjadinya transaksi pengalihan hak atas tanah dan

bangunan dimana disyaratkan agar sebelum menandatangani akta dipenuhi segala

syarat-syarat termasuk di dalamnya pembayaran pajak-pajak. Sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dalam suatu pelaksanaan jual beli tanah

dan/atau bangunan, penjual dan pembeli setelah mencapai kesepakatan mengenai

harga tanah dan atau bangunannya segera datang ke kantor PPAT untuk melakukan

jual beli dihadapan PPAT. Namun kemauan para pihak untuk segera membuat dan

menandatangani akta jual beli di hadapan PPAT ini tidak serta merta bisa

dilaksanakan, karena PPAT harus melakukan pengecekan sertifikat asli ke kantor

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
pertanahan yang berwenang dan mempersiapkan formulir SSP untuk pembayaran

PPh dan formulir SSB untuk Pembayaran BPHTB.

Dalam praktek tahapan sebagaimana diuraikan tersebut sulit untuk diterapkan

secara tegas, banyak yang menjadi hambatan dalam pengalihan tanah tersebut

sehingga menimbulkan kendala dalam pembayaran pajak. Kendala tersebut berupa:

1. Kendala Intern

Maksudnya adalah kendala yang timbul dari dalam lingkungan

masyarakat. Hal tersebut timbul karena kurangnya sosialisasi mengenai

tata cara pembayaran pajak sehingga masih membutuhkan jasa PPAT

untuk membantu melakukan pembayaran pajak secara langsung ke bank-

bank persepsi yang ditunjuk. Selain itu tingkat kesadaran masyarakat juga

masih sangat terbatas pada kewajiban pembayaran pajak lainnya, misalnya

PBB, dimana masyarakat sudah memahami kewajiban mereka masing-

masing untuk melakukan pembayaran pajak.

2. Kendala Ekstern
91
Maksudnya adalah kendala yang timbul dari pihak bank persepsi

yang telah ditunjuk untuk menerima pembayaran pajak BPHTB. Kendala

ini terjadi karena adanya aturan-aturan yang begitu kaku yang telah

ditetapkan oleh pihak bank dimana batas waktu penerimaan penyetoran

BPHTB adalah sampai pukul 11.00 WIB (sebelas Waktu Indonesia


91
Bank Rakyat Indonesia, cabang Putri Hijau Medan.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Bagian Barat), lewat dari itu tidak dapat lagi diterima meskipun antrian

masih panjang.

3. Kendala Prosedural

Kendala ini hampir sama dengan kendala intern yang timbul karena

kurangnya kesadaran dari wajib pajak sendiri untuk membayar pajak yang

menjadi kewajibannya, sehingga hal tersebut menimbulkan hambatan

psikologis di mana PPAT seakan-akan mempunyai tanggung jawab yang

seharusnya bukan merupakan tugas pokok seorang PPAT untuk

melakukan penyetoran PPh dan BPHTB atas pengalihan tanah.

Kendala tersebut menimbulkan masalah dalam pelaksanaan jual beli. Jual beli

terjadi apabila penjual dan pembeli telah sepakat mengenai harga tanah dan

bangunannya segera datang ke kantor PPAT untuk melakukan akta jual beli

dihadapan PPAT, namun kemauan para pihak untuk segera membuat dan

menandatangani akta jual beli di hadapan PPAT ini tidak serta merta bisa

dilaksanakan, karena PPAT harus melakukan pengecekan sertifikat asli ke Kantor

Pertanahan. 92

Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, hal yang serupa juga dikatakan

oleh seorang Notaris/PPAT kota medan bahwa apabila telah dilakukan pengecekan

atau pemeriksaan sertifikat hak atas tanah oleh PPAT dalam membuat akta jual beli,

dan dinyatakan bersih maka para wajib pajak dapat segera melakukan pembayaran

92
Rahanum, SH, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 30 April 2008.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
pajak serta menyerahkan berkas-berkas seperti identitas diri guna keperluan

administrasi agar akta jual beli dapat segera dilakukan. 93

Dalam praktek tahapan sebagaimana diuraikan tersebut sulit untuk diterapkan,

banyak yang menjadi kendala terutama dalam hal pembayaran pajak. Sebelum

melakukan penandatanganan Akta Jual Beli, terlebih dahulu harus melakukan

pembayaran pajak yang berkaitan dengan Jual beli tersebut, terkadang terdapatnya

kendala dalam pembayaran pajak, seperti yang dikemukakan oleh Seorang

Notaris/PPAT Kota Medan. Beliau mengatakan kendala yang sering dijumpai adalah

Pihak Bank tidak mau menerima pembayaran BPHTB dalam proses pendebitan dari

Rekening Tabungan, meskipun telah mengisi formulir penarikan pendebitan. Pihak

Bank tetap meminta agar dilakukan setoran tunai terhadap pembayaran pajak BPHTB

tersebut.94

Pembayaran pajak tentu mempunyai masing-masing kendala bagi kalangan

PPAT, kendala yang dirasakan sangat menghambat adalah dengan adanya batas

waktu penyetoran yang ditetapkan oleh pihak bank yaitu sampai jam 11.00 WIB

(sebelas Waktu Indonesia Bagian Barat). Belum lagi ditentukan hanya Bank Persepsi

saja yang boleh menerima pembayaran BPHTB, lain halnya pembayaran PPh, dapat

dilakukan di Bank mana saja yang dapat menerima pembayaran PPh. Mengapa

Pembayaran BPHTB harus dikecualikan, seandainya saja dapat dilakukan sama

seperti pembayaran PPh, hal ini akan sangat membantu dan tidak menghambat

93
Poeryanto Poedjiaty, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 30 April 2008.
94
Edy, SH, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 03 Mei 2008.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
kinerja kerja. 95 Apabila pembayaran pajak belum dapat dilakukan sementara penjual

atau pembeli hendak ke luar kota maka mereka dapat menandatangani akta

pengikatan jual beli serta memberikan kuasa, supaya jika pajak tersebut telah lunas

dibayar dapat segera dilakukan akta jual beli dihadapan PPAT. 96 Lain halnya seperti

yang dikemukakan oleh seorang Notaris/PPAT Kota Medan. Beliau mengatakan

kendala pembayaran pajak BPHTB tersebut sudah lama terjadi dan tidak ada

penyelesaiannya sehingga terkadang para klien yang diminta untuk membuat

pengikatan jual beli tersebut tidak setuju dengan alasan harus mengeluarkan 2 (dua)

kali pembayaran akta, semua masalah tersebut karena pembayaran BPHTB,

seandainya saja tempat pembayaran BPHTB tidak ditentukan dan dapat dilakukan

di Bank manapun seperti halnya pembayaran PPh, alangkah bagusnya sehingga tidak

terjadinya pengantrian panjang pada loket BPHTB di Bank Persepsi, di mana apabila

batas waktu yang telah ditetapkan telah habis meskipun masih banyak nasabah yang

mengantri tetap pembayaran BPHTB tersebut tidak dapat dilakukan, dan harus

menunggu keesokan harinya. 97

Kendala lain yang ditemukan adalah pada saat pembayaran pajak yang akan

dilakukan pada akhir tahun dimana padatnya orang yang melakukan transaksi

pembayaran pajak, contohnya akhir tahun 2007 masuk ke tahun 2008, jika ada

pembuatan akta jual beli pada awal tahun 2008, di mana Surat Pemberitahuan

Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) tersebut belum terbit,

95
Tjong Deddy Iskandar, SH, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 03 Mei 2008.
96
Rahanum, SH, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 30 April 2008.
97
Poeryanto Poedjiaty, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 30 April 2008.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
maka dapat mempergunakan NJOP menurut SPPT PBB tahun sebelumnya, yakni

tahun 2007. Bilamana berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain

ternyata jumlah pajak yang terutang kurang dibayar, Direktur Jenderal Pajak dapat

menerbitkan SKBKB. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKB

sebagaimana dimaksud ditambah dengan sanksi berupa bunga sebesar 2 % (dua

persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan,

dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKB. 98

Hal tersebut tentu saja menjadi kendala tersendiri bagi para Notaris-Notaris di

Kota Medan ini, yang pada umumnya hendak melakukan pembayaran pajak akhir

tahun. 99

B. Upaya-upaya Mengatasi dalam Kendala Pembayaran

BPHTB dan PPh

Upaya yang dilakukan oleh PPAT dalam mengatasi kendala pembayaran pajak

BPHTB dan PPh tersebut adalah dengan terlebih dahulu membuat suatu perjanjian

jual beli secara notaris antara para pihak tersebut yang belum dapat melakukan

pembayaran pajak sebagaimana mestinya, sehingga para pihak tetap bisa

melaksanakan jual beli tersebut meskipun belum dengan akta PPAT. Dengan

98
Edy, SH, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 03 Mei 2008.
99
Ibid.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
dibuatnya akta perjanjian jual beli antara para pihak merupakan upaya yang

ditempuh notaris.

Seorang PPAT sebelum melaksanakan jual beli dihadapan masing-masing pihak.

PPAT tersebut terlebih dahulu melakukan pengecekan sertifikat (cek bersih)

di BPN. Cek bersih tersebut dilakukan guna untuk mengetahui apakah objek tanah

tersebut terdapat silang sengketa atau terikatnya hak tanggungan pada suatu bank.

Jika dinyatakan bersih oleh BPN, terlepas dari silang sengketa, maka PPAT

tersebut baru dapat melanjutkan pembuatan akta jual beli setelah para pihak telah

melakukan pembayaran pajak yang menjadi kewajibannya, yakni BPHTB dan

PPh.

Upaya lain yang dilakukan oleh Pemerintah agar tidak terjadinya penyelewengan

pajak oleh pihak manapun maka pemerintah menetapkan suatu sanksi terhadap

penyelewengan/pelanggaran pembayaran pajak. Bagi penyelewengan pajak harus

dikenakan sanksi. Meskipun pelanggaran tersebut dilakukan oleh PPAT dengan

melanggar ketentuan penandatanganan akta sebelum dilakukan pembayaran pajak

akan dikenakan sanksi sebesar Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah)

untuk setiap pelanggaran. Hal ini diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang BPHTB

Nomor 20 Tahun 2000. Denda yang cukup besar ini dimaksudkan agar PPAT

dapat berhati-hati dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sehingga tidak

menyimpang dari ketentuan Undang-Undang BPHTB.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Selain sanksi pelanggaran ketentuan penandatanganan akta, Undang-Undang

BPHTB juga mengatur sanksi terhadap pejabat yang berwenang yang melanggar

ketentuan pelaporan. Adanya sanksi ini dimaksudkan agar pejabat yang berwenang

melaporkan setiap akta atau penerbitan hak atas tanah dan bangunan yang

dilakukannya. Pasal 26 Undang-Undang BPHTB Nomor 20 Tahun 2000

menentukan apabila pejabat berwenang tidak memenuhi ketentuan pembuatan dan

penyampaian laporan akan dikenakan sanksi sebagai berikut:

1. PPAT/Notaris yang melanggar ketentuan pelaporan dikenakan sanksi

administrasi dan denda sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu

rupiah) untuk setiap pelaporan.

2. Kepala Kantor Lelang Negara yang melanggar ketentuan pelaporan

dikenakan sanksi menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 30

Tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Upaya-upaya tersebut dilakukan agar pelaksanaan jual beli tetap dapat dilakukan

dengan akta perjanjian jual beli secara Notaris meskipun pembayaran pajak belum

dapat dilakukan. Dan upaya tersebut dapat memaksimalkan proses penerimaan

pajak dapat dijalankan sesuai prosedur yang ada tanpa adanya penyimpangan.

Pembayaran pajak hendaknya dapat lebih disosialisasikan kepada masyarakat

sehingga masyarakat benar-benar memahami tata cara pembayaran pajak, bukan

hanya memahami pembayaran PBB, tetapi dapat juga mengetahui pembayaran

pajak lainnya seperti pembayaran PPh dan Pajak BPHTB yang sudah menjadi

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
kewajiban dari wajib pajak tersebut untuk melakukan penyetoran atau pembayaran

pajak sebelum melakukan perbuatan hukum akta jual beli dihadapan PPAT.

Dengan adanya beragam upaya diharapakan kedepannya pembayaran PPh dan

BPHTB tidak mengalami kendala atau hambatan baik secara intern maupun

ekstern.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan dapat diberikan kesimpulan sebagai

berikut:

1. Bentuk Perlindungan Hukum atas transaksi jual beli hak atas tanah dan

bangunan itu mencakup perlindungan terhadap penjual maupun pembeli.

a. Perlindungan Hukum yang dapat diberikan oleh PPAT adalah dengan

terlebih dahulu membuat suatu perjanjian jual beli. Dengan adanya

perjanjian jual beli tersebut dapat mengikat kedua belah pihak, sehingga

perjanjian tersebut tidak dapat dibatalkan secara sepihak Dasar Hukumnya

mengacu kepada Pasal 1338 ayat (3) dan Pasal 1320 KUHPerdata.

b. Perjanjian jual beli yang telah dilakukan dengan lunas dapat dicantumkan

klausula kuasa menjual, tetapi apabila perjanjian jual beli tersebut belum

lunas, maka dilakukan perjanjian pendahuluan berupa panjar atas objek

tanah tersebut. Perhitungan panjar tersebut berdasarkan nilai tertinggi dari

transaksi harga jual, tetapi apabila NJOP lebih tinggi dari harga jual maka

yang dipergunakan dalam perhitungan panjar adalah NJOP.

2. Peran PPAT dalam melindungi para pihak adalah terlebih dahulu melakukan

pemeriksaan sertifikat secara formil ke Kantor Badan Pertanahan setempat

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
sebelum dilaksanakannya jual beli, hal ini guna menghindari objek tanah

tersebut terdapat silang sengketa maupun terikatnya hak tanggungan pada

suatu bank. Sedangkan dalam hal pembayaran pajak, PPAT hanya dapat

memberikan jasa tambahan secara sukarela untuk membantu membayar pajak

pada bank-bank persepsi yang ditunjuk untuk itu. Namun dalam hal ini PPAT

tidak mendapatkan honorarium ataupun ongkos dalam penyetoran BPHTB,

karena pada kenyataannya insentif yang diberikan ditarik kembali.

3. Kendala dalam pembayaran pajak timbul karena ditetapkannya waktu dan

tempat pembayaran untuk melakukan penyetoran Pajak BPHTB. Kendala

tersebut dirasakan sangat menghambat proses jual beli karena apabila hanya

PPh yang dapat dibayar tetapi pajak BPHTB belum dapat dibayar karena

adanya pembatasan waktu dan tempat tertentu untuk melakukan pembayaran

pajak BPHTB. Dengan adanya kendala tersebut maka akta jual beli tidak

dapat dilakukan dihadapan PPAT.

B. Saran

1. Apabila salah satu pihak baik pihak penjual atau pihak pembeli yang

mengadakan transaksi hak atas tanah tidak dapat membayar PPh atau Pajak

BPHTB maka hendaknya dilakukan perjanjian jual beli terlebih dahulu agar

pihak pihak yang mengadakan transaksi atas tanah tersebut terlindungi karena

telah adanya perjanjian jual beli diantara mereka sehingga pihak penjual

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
maupun pihak pembeli tidak dapat membatalkan secara sepihak atas

perjanjian jual beli tersebut.

2. Disarankan kepada pemerintah untuk membentuk suatu peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan pemberian insentif kepada PPAT atas

kontribusinya dalam hal pembayaran BPHTB. Dengan memperhatikan kepada

SK Walikota Medan No. 973/313 K tanggal 17 Maret 2006 perihal dokumen

dan daftar realisasi pembayaran biaya operasional BPHTB tahun anggaran

2006 atas kontribusinya yang telah diberikan kepada PPAT, yang pada

kenyataannya ditarik kembali sebagaimana dapat dilihat dalam lampiran.

3. Hendaknya pihak Bank Persepsi tidak membatasi waktu dan tempat

penyetoran pajak BPHTB kepada pihak yang ingin mengadakan transaksi jual

beli. Hal tersebut memerlukan peninjauan kembali mengenai batas waktu

penerimaan setoran pajak yang berlaku pada bank-bank persepsi, sehingga

para pihak tersebut mempunyai hak-hak yang tidak dapat dikesampingkan

karena dengan adanya aturan-aturan yang begitu kaku terhadap proses

pembayaran pajak yang telah ditetapkan oleh bank persepsi. Seharusnya

pembayaran BPHTB dapat disamakan seperti pembayaran pajak lainnya yang

dapat dilakukan di bank manapun baik bank swasta maupun negeri. Dan

diharapkan juga pembayaran pajak tersebut dapat dilakukan melalui

Automatic Teller Machine (ATM). Hal ini untuk memudahkan penjual dan

pembeli dalam hal pembayaran dilakukan pada hari libur dan juga

meringankan tugas dari PPAT.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Adi, Rianto, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Garanit, Jakarta.

Brotodiharjo, R. Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT. Eresco, Bandung, 1995.

Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Cetakan Ketiga, PT. Raja Grafindo Perkasa,
Jakarta, 1999.

Hadi, Sutrisno, Metodelogi Research, Andi Offset, Yogyakarta, 1989.

Hasbullah, Husni Frieda, Hukum Kebendaan Perdata, Hak-hak yang Memberi


Kenikmatan Jilid I, Cetakan Kedua, Ind. – Hil.Co, Jakarta, 2002.

K. Judisseno, Rimsky, Perpajakan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996.

__________, Pajak dan Strategi Bisnis (Suatu tinjauan tentang kepastian hukum dan
penerapan akuntansi di indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2002.

K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Madju, Bandung, 1994.

Muhammad, Abdul Kadir Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1986.

__________, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Mardiasmo, Perpajakan (edisi revisi), Andi Offset, Yogyakarta, 2005.

Marsono, Susunan Dalam Satu Naskah UUD 1945 dengan Perubahan Perubahannya
1999-2002, CV Eko Jaya, Jakarta, 2005.

Meliala, Syamsuddin Qiram, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Penerbit Liberty


Yogyakarta, 1985.

Mertokusumo, Soedikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty


Yogyakarta, 2002.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja. Rosdakarya, Bandung,
1993.

Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center for Documentation
Studies of Business Law (CDSBL), Yogyakarta, 2003.

Notodisurjo, Soegondo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Edisi 1,


Cetakan 2, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993.

Parlindungan A.P , Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, C.V. Mandar Madju,
Bandung, 1989.

_________, Pendaftaran Tanah di Indonesia, C.V. Mandar Madju, Bandung, 1999.

Perangin-angin, Effendi, Hukum Agraria Indonesia suatu Telaah dari Pandang


Praktisi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1986.

_________, Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah dari sudut Pandang Praktisi
Hukum, Ed.1 Cet.4, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997.

Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1996.

Resmi, Siti, Perpajakan Teori dan Kasus, Salemba Empat, Jakarta, 2004.

R. Subekti, Aneka Perjanjian, cet 10 , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.

_________, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. XXXI, Intermasa, Jakarta, 2003.

_________, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1977.

_________, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1985.

_________, Hukum Pembuktian, PT. Pradyna Paramita, Jakarta, 2001.

Rusjdi, Muhammad, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan, & Bea Materai, PT. Indeks, Jakarta, 2005.

Santoso, Djohari dan Ali, Achmad, Hukum Perjanjian Indonesia, Penerbit


Perpustakaan Fak. Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1989.

Siahaan, P. Marihot, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Soedewi, Sri, Hukum Perdata, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981.

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.

Suryodiningrat, R.M, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung,


1978.

Soemitro, Rochmat, Pajak dan Pembangunan, Eresco, Bandung-Jakarta,1974.

Sukadji, Untung, Pajak Pertambahan Nilai, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2001.

Tjahyono, Achmad dan Wahyudi, Triyono, Perpajakan Indonesia, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004.

Tobing, Lumban, G.H.S, Peraturan Jabatan Notaris, cet. Ke 3, Erlangga, Jakarta,


1983.

Valentina Sri S., Aji Suryo, Perpajakan Indonesia, Seri Belajar untuk Mahasiswa
Cet. I, UPP MPP YKPN, Yogyakarta, 2003.

Waluyo, Perpajakan Indonesia Buku 2, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2002.

Widjaja, Gunawan, Kartini Muljadi, Jual Beli, Seri Hukum Perikatan, Ed.1, Cet. 2
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Wuisman. JJJ. M., Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting M. Hisyam,


Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996.

Makalah, Jurnal, Majalah dan Wawancara

Artikel Renvoi, Notaris Kecewa Pelayanan Bank Persepsi, Februari 2008 No.
9.57.V.

Bank Rakyat Indonesia, Cabang Putri Hijau Medan.

Edy, Notaris/PPAT, Kota Medan, Wawancara tanggal 03 Mei 2008.

Poeryanto Poedjiaty, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 30 April 2008.

Rahanum, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 30 April 2008.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Syahril Sofyan, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 04 Juli 2008.

Tjong, Deddy Iskandar, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 03 Mei 2008
dan 18 Juli 2008.

Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan, Pasal 5.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Ketentuan Penutup.

Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan


dari Peralihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan atas Peraturan


Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan
atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat


Pembuat Akta Tanah.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30 Tahun 2005.

Keputusan Menteri Keuangan, tentang Penunjukan Tempat dan Tata Cara


Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Kepmen
Keuangan No.517/KMK.04/2000, Pasal 4 ayat (1).

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 517/2000.

Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.
Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban
Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.

Anda mungkin juga menyukai