Anda di halaman 1dari 17

A.

Definisi

Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena bronkitis
kronis atau emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif, bisa disertai hiperaktivitas
bronkus dan sebagian bersifat reversible. Bronkitis kronis ditandai dengan batuk-batuk hamper
setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu
tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun. Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang
ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara (Mansjoer, 2000).

B. Etiologi

Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Mansjoer (2000) adalah :

1. Kebiasaan merokok.
2. Polusi udara.
3. Paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi akibat kerja.
4. Riwayat infeksi saluran nafas.
5. Bersifat genetik yaitu defisiensi alfa satu antitripsin.

Brashers (2007) menambahkan faktor-faktor yang menyebabkan penyakit paru obstruksi


kronis adalah :

1. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok menderita
PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami penurunan fungsi paru secara
cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan fungsi
paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi pada anak.
2. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok. Pada
kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang
diturunkan yang menyebabkan awitan awal emfisema.
3. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan dengan
rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko
terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan
klamidia mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.
4. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan resiko
morbiditas PPOK.
C. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis menurut Mansjoer (2000) pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis adalah :

1. Batuk.
2. Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen.
3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas.

Reeves (2001) menambahkan manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis adalah :

Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi kronis
pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi
dahak khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang berkembang
menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok)
memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi dahak yang semakin banyak.

Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan berat badan
yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu secara maksimal
melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab pekerjaannya.
Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu melakukan
kegiatan sehari-hari.

Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan yang cukup
drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makin melimpah,
penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan
pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem (GI) gastrointestinal.
Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak mengeluarkan
tenaga dalam melakukan pernafasan.

D. Patofisiologi

Patofisiologi menurut Brashers (2007), Mansjoer (2000) dan Reeves (2001) adalah :

Asap rokok, polusi udara dan terpapar alergen masuk ke jalan nafas dan mengiritasi
saluran nafas. Karena iritasi yang konstan ini , kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-
sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun, dan lebih banyak lendir yang dihasilkan
serta terjadi batuk, batuk dapat menetap selama kurang lebih 3 bulan berturut-turut. Sebagai
akibatnya bronkhiolus menjadi menyempit, berkelok-kelok dan berobliterasi serta tersumbat
karena metaplasia sel goblet dan berkurangnya elastisitas paru. Alveoli yang berdekatan dengan
bronkhiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis mengakibatkan fungsi makrofag
alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri, pasien
kemudian menjadi rentan terkena infeksi.

Infeksi merusak dinding bronchial menyebabkan kehilangan struktur pendukungnya dan


menghasilkan sputum kental yang akhirnya dapat menyumbat bronki. Dinding bronkhial menjadi
teregang secara permanen akibat batuk hebat. Sumbatan pada bronkhi atau obstruksi tersebut
menyebabkan alveoli yang ada di sebelah distal menjadi kolaps. Pada waktunya pasien
mengalami insufisiensi pernafasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi, dan
peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas total paru sehingga terjadi kerusakan
campuran gas yang diinspirasi atau ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.

Pertukaran gas yang terhalang biasanya terjadi sebagai akibat dari berkurangnya
permukaan alveoli bagi pertukaran udara. Ketidakseimbangan ventilasi–perfusi ini menyebabkan
hipoksemia atau menurunnya oksigenasi dalam darah. Keseimbangan normal antara ventilasi
alveolar dan perfusi aliran darah kapiler pulmo menjadi terganggu. Dalam kondisi seperti ini,
perfusi menurun dan ventilasi tetap sama. Saluran pernafasan yang terhalang mukus kental atau
bronkospasma menyebabkan penurunan ventilasi, akan tetapi perfusi akan tetap sama atau
berkurang sedikit.

Berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaran udara menyebabkan perubahan pada


pertukaran oksigen dan karbondioksida. Obstruksi jalan nafas yang diakibatkan oleh semua
perubahan patologis yang meningkatkan resisten jalan nafas dapat merusak kemampuan paru-
paru untuk melakukan pertukaran oksigen atau karbondioksida. Akibatnya kadar oksigen
menurun dan kadar karbondioksida meningkat. Metabolisme menjadi terhambat karena
kurangnya pasokan oksigen ke jaringan tubuh, tubuh melakukan metabolisme anaerob yang
mengakibatkan produksi ATP menurun dan menyebabkan defisit energi. Akibatnya pasien lemah
dan energi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi juga menjadi berkurang yang
dapat menyebabkan anoreksia.

Selain itu, jalan nafas yang terhambat dapat mengurangi daerah permukaan yang tersedia
untuk pernafasan, akibat dari perubahan patologis ini adalah hiperkapnia, hipoksemia dan
asidosis respiratori. Hiperkapnia dan hipoksemia menyebabkan vasokontriksi vaskular
pulmonari, peningkatan resistensi vaskular pulmonary mengakibatkan hipertensi pembuluh
pulmonary yang meningkatkan tekanan vascular ventrikel kanan atau dekompensasi ventrikel
kanan.
E. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis


menurut Doenges (2000) antara lain :

1. Sinar x dada dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya diafragma,


peningkatan area udara retrosternal, penurunan tanda vaskularisasi atau bula
(emfisema), peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkhitis), hasil normal selama
periode remisi (asma).
2. Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah
fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat
disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi misalnya bronkodilator.
3. Peningkatan pada luasnya bronkhitis dan kadang-kadang pada asma, penurunan
emfisema.
4. Kapasitas inspirasi menurun pada emfisema.
5. Volume residu meningkat pada emfisema, bronchitis kronis dan asma.
6. Forced Expiratory Volume (FEV1) atau FVC. Rasio volume ekspirasi kuat dengan
kapasitas vital kuat menurun pada bronchitis dan asma.
7. Analisa Gas Darah (AGD) memperkirakan progresi proses penyakit kronis misalnya
paling sering PaO2 menurun, dan PaCO2 normal atau meningkat (bronkhitis kronis
dan emfisema) tetapi sering menurun pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis
respiratorik ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).
8. Bronkogram dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kolaps
bronkhial pada ekspirasi kuat (emfisema), pembesaran duktus mukosa yang terlihat
pada bronkus.
9. Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).
10. Kimia darah antara lain alfa satu antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi
dan diagnosa emfisema primer.
11. Sputum, kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen,
pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
12. Elektrokardiogram (EKG). Deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma
berat), disritmia atrial (bronchitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF
(bronchitis, emfisema), aksis vertikal QRS (emfisema).
13. Elaktrokardiogram (EKG) latihan, tes stress membantu dalam mengkaji derajat
disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan atau
evaluasi program latihan.
F. Komplikasi

Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2000) adalah infeksi
nafas yang berulang, pneumotoraks spontan, eritrositosis karena keadaan hipoksia kronik, gagal
nafas dan kor pulmonal.

Reeves (2001) menambahkan komplikasi pernafasan utama yang bisa terjadi pada pasien
dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis yaitu gagal nafas akut (Acute Respiratory Failure),
pneumotoraks dan giant bullae serta ada satu komplikasi kardiak yaitu penyakit cor-pulmonale.

1. Acute Respiratory Failure (ARF).

Acute Respiratory Failure (ARF) terjadi ketika ventilasi dan oksigenasi tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan tubuh saat istirahat. Analisa gas darah bagi pasien penyakit paru
obstruksi menahun menunjukkan tekanan oksigen arterial PaO2 sebesar 55 mm Hg atau kurang
dan tekanan karbondioksida arterial (PaCO2) sebesar 50 mm Hg atau lebih besar. Jika pasien
atau keluarganya membutuhkan alat-alat bantu kehidupan maka pasien tersebut dilakukan
intubasi dan diberi sebuah respirator untuk ventilasi secara mekanik.

2. Cor Pulmonale.

Cor pulmonale atau dekompensasi ventrikel kanan merupakan pembesaran ventrikel


kanan yang disebabkan oleh overloading akibat dari penyakit pulmo. Komplikasi jantung ini
terjadi sebagai mekanisme kompensasi sekunder bagi paru-paru yang rusak pada penderita
penyakit paru obstruksi menahun.

Cor pulmonary merupakan contoh yang tepat dari sistem kerja tubuh secara menyeluruh.
Apabila terjadi malfungsi pada satu sistem organ maka hal ini akan merembet ke sistem organ
lainnya. Pada penderita dengan penyakit paru obstruksi menahun, hipoksemia kronis
menyebabkan vasokonstriksi kapiler paru-paru yang kemudian akan meningkatkan resistensi
vaskuler pulmonari. Efek domino dari perubahan ini terjadi peningkatan tekanan dalam paru-
paru mengakibatkan ventrikel kanan lebih kuat dalam memompa sehingga lama-kelamaan otot
ventrikel kanan menjadi hipertrofi atau membesar.

Perawatan penyakit jantung paru meliputi pemberian oksigen dosis rendah dibatasi
hingga 2 liter per menit, diuretik untuk menurunkan edema perifer dan istirahat. Edema perifer
merupakan efek domino yang lain karena darah balik ke jantung dari perifer atau sistemik
dipengaruhi oleh hipertrofi ventrikel kanan. Digitalis hanya digunakan pada penyakit jantung
paru yang juga menderita gagal jantung kiri.
3. Pneumothoraks.

Pneumotoraks merupakan komplikasi PPOM serius lainnya. Pnemo berarti udara


sehingga pneumotoraks diartikan sebagai akumulasi udara dalam rongga pleural. Rongga pleural
sesungguhnya merupakan rongga yang khusus yakni berupa lapisan cairan tipis antara lapisan
viseral dan parietal paru-paru Fungsi cairan pleural adalah untuk membantu gerakan paru-paru
menjadi lancar dan mulus selama pernafasan berlangsung. Ketika udara terakumulasi dalam
rongga pleural, maka kapasitas paru-paru untuk pertukaran udara secara normal, menjadi
melemah dan hal ini menyebabkan menurunnya kapasitas vital dan hipoksemia.

4. Giant Bullae.

Pneumotoraks seringkali dikaitkan dengan komplikasi PPOM lainnya yaitu pembentukan


giant bullae. Jika pneumotoraks adalah udara yang terakumulasi di rongga pleura. Tetapi bullae
adalah timbul karena udara terperangkap di parenkim paru-paru. Sehingga alveoli yang menjadi
tempat menangkapnya udara untuk pertukaran gas menjadi benar-benar tidak efektif. Bullae
dapat menyebabkan perubahan fungsi pernafasan dengan cara 2 hal yaitu dengan menekan
jaringan paru-paru, mengganggu berlangsungnya pertukaran udara. Jika udara yang terperangkap
dalam alveoli semakin meluas maka semakin banyak pula kerusakan yang terjadi di dinding
alveolar.

G. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer
(2000) adalah :

1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.


2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini
umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka
digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman
penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang
memproduksi beta laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin
pada pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat
penyembuhan dam membantu mempercepat kenaikan peak flow rate.
Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksasebrasi. Bila terdapat
infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotic
yang lebih kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan adrenergik.
Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide
250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-
0,5 g iv secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x 0,25-
0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap
pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif
dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II
dengan PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri
dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari
depresi. Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis
adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.

Asih (2003) menambahkan penatalaksanaan medis pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis adalah :

1. Penatalaksanaan medis untuk asma adalah penyingkiran agen penyebab dan


edukasi atau penyuluhan kesehatan. Sasaran dari penatalaksanaan medis asma adalah
untuk meningkatkan fungsi normal individu, mencegah gejala kekambuhan, mencegah
serangan hebat, dan mencegah efek samping obat. Tujuan utama dari berbagai medikasi
yang diberikan untuk klien asma adalah untuk membuat klien mencapai relaksasi
bronkial dengan cepat, progresif dan berkelanjutan. Karena diperkirakan bahwa
inflamasi adalah merupakan proses fundamental dalam asma, maka inhalasi steroid
bersamaan preparat inhalasi beta dua adrenergik lebih sering diresepkan. Penggunaan
inhalasi steroid memastikan bahwa obat mencapai lebih dalam ke dalam paru dan tidak
menyebabkan efek samping yang berkaitan dengan steroid oral. Direkomendasikan
bahwa inhalasi beta dua adrenergik diberikan terlebih dahulu untuk membuka jalan
nafas, kemudian inhalasi steroid akan menjadi lebih berguna.
2. Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis kronis didasarkan pada pemeriksaan
fisik, radiogram dada, uji fungsi pulmonari, dan analisis gas darah. Pemeriksaan ini
mencerminkan sifat progresif dari penyakit. Pengobatan terbaik untuk bronkitis kronis
adalah pencegahan, karena perubahan patologis yang terjadi pada penyakit ini bersifat
tidak dapat pulih (irreversible). Ketika individu mencari bantuan medis untuk mengatasi
gejala, kerusakan jalan nafas sudah terjadi sedemikian besar.
3. Jika individu berhenti merokok, progresi penyakit dapat ditahan. Jika merokok
dihentikan sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan pada
akhirnya mencapai tingkat seperti bukan perokok. Bronkodilator, ekspektoran, dan
terapi fisik dada diterapkan sesuai yang dibutuhkan. Penyuluhan kesehatan untuk
individu termasuk konseling nutrisi, hygiene respiratory, pengenalan tanda-tanda dini
infeksi, dan teknik yang meredakan dispnea, seperti bernafas dengan bibir
dimonyongkan, beberapa individu mendapat terapi antibiotik profilaktik, terutama
selama musim dingin. Pemberian steroid sering diberikan pada proses penyakit tahap
lanjut.
4. Penatalaksanaan medis bronkhiektasis termasuk pemberian antibiotik, drainase
postural untuk membantu mengeluarkan sekresi dan mencegah batuk, dan bronkoskopi
untuk mengeluarkan sekresi yang mengental. Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk
menegakkan diagnosa. Terkadang diperlukan tindakan pembedahan bagi klien yang
terus mengalami tanda dan gejala meski telah mendapat terapi medis. Tujuan utama dari
pembedahan ini adalah untuk memulihkan sebanyak mungkin fungsi paru. Biasanya
dilakukan segmentektomi atau lubektomi. Beberapa klien mengalami penyakit dikedua
sisi parunya, dalam kondisi seperti ini, tindakan pembedahan pertama-tama dilakukan
pada bagian paru yang banyak terkena untuk melihat seberapa jauh perbaikan yang
terjadi sebelum mengatasi sisi lainnya.
5. Penatalaksanaan medis emfisema adalah untuk memperbaiki kualitas hidup,
memperlambat progresi penyakit, dan mengatasi obstruksi jalan nafas untuk
menghilangkan hipoksia. Pendekatan terapeutik menurut Asih (2003) mencakup
tindakan pengobatan dimaksudkan untuk mengobati ventilasi dan menurunkan upaya
bernafas, pencegahan dan pengobatan cepat infeksi, terapi fisik untuk memelihara dan
meningkatkan ventilasi pulmonal, memelihara kondisi lingkungan yang sesuai untuk
memudahkan pernafasan dan dukungan psikologis serta penyuluhan rehabilitasi yang
berkesinambungan.
H. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pengkajian

Pengkajian pada pasien dengan Penyakit paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2000)
adalah :

a. Aktivitas dan istirahat

1) Gejala :

a) Keletihan, kelemahan, malaise.


b) Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas.
c) Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi.
d) Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan.

2) Tanda :

a) Keletihan.
b) Gelisah, insomnia.
c) Kelemahan umum atau kehilangan masa otot.

b. Sirkulasi

1) Gejala

a) Pembengkakan pada ekstrimitas bawah.

2) Tanda :

a) Peningkatan tekanan darah.


b) Peningkatan frekuensi jantung atau takikardia berat atau disritmia.
c) Distensi vena leher atau penyakit berat.
d) Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung.
e) Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan diameter AP dada)
f) Warna kulit atau membrane mukosa normal atau abu-abu atau sianosis, kuku tabuh dan
sianosis perifer.
g) Pucat dapat menunjukkan anemia.

c. Integritas ego

1) Gejala :

a) Peningkatan faktor resiko.


b) Perubahan pola hidup.

2) Tanda :

a) Ansietas, ketakutan, peka rangsang.

d. Makanan atau cairan

1) Gejala :

a) Mual atau muntah.


b) Nafsu makan buruk atau anoreksia (emfisema).
c) Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan.
d) Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan menunjukkan
edema (bronchitis).

2) Tanda :

a) Turgor kulit buruk.


b) Edema dependen.
c) Berkeringat.
d) Penurunan berat badan, penurunan masa otot atau lemak subkutan (emfisema).
e) Palpasi abdominal dapat menyatakan hepatomegali (bronchitis).

e. Hygiene

1) Gejala :

a) Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas


sehai-hari.

2) Tanda :

a) Kebersihan buruk, bau badan.


f. Pernafasan

1) Gejala :

a) Nafas pendek, umumnya tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala menonjol


pada emfisema , khususnya pada kerja, cuaca atau episode berulangnya sulit
nafas (asma), rasa dada tertekan, ketidakmampuan untuk bernafas (asma).
b) Lapar udara kronis.
c) Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari terutama saat bangun
selama minimal 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi
sputum (hijau, putih atau kuning) dapat banyak sekali (bronkhitis kronis).
d) Episode batuk hilang-timbul, biasanya tidak produktif pada tahap dini
meskipun dapat menjadi produktif (emfisema).
e) Riwayat pneumonia berulang, terpajan oleh polusi kimia atau iritan pernafasan
dalam jangka panjang misalnya rokok sigaret atau debu atau asap misalnya
asbes, debu batubara, rami katun, serbuk gergaji.
f) Faktor keluarga dan keturunan misalnya defisiensi alfa antritipsin (emfisema).
g) Penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus.

2) Tanda :

a) Pernafasan biasanya cepat, dapat lambat, fase ekspirasi memanjang dengan


mendengkur, nafas bibir (emfisema).
b) Lebih memilih posisi 3 titik (tripot) untuk bernafas khususnya dengan
eksasebrasi akut (bronchitis kronis).
c) Penggunaan otot bantu pernafasan misalnya meninggikan bahu, retraksi fosa
supraklavikula, melebarkan hidung.
d) Dada dapat terlihat hiperinflasi dengan peninggian diameter AP (bentuk barrel
chest), gerakan diafragma minimal.
e) Bunyi nafas mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema), menyebar,
lembut, atau krekels lembab kasar (bronkhitis), ronki, mengi, sepanjang area
paru pada ekspirasi dan kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai
penurunan atau tak adanya bunyi nafas (asma).
f) Perkusi ditemukan hiperesonan pada area paru misalnya jebakan udara dengan
emfisema, bunyi pekak pada area paru misalnya konsolidasi, cairan, mukosa.
g) Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 sampai 5 kata sekaligus.
h) Warna pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku. Keabu-abuan keseluruhan,
warna merah (bronkhitis kronis, biru menggembung). Pasien dengan emfisema
sedang sering disebut pink puffer karena warna kulit normal meskipun
pertukaran gas tak normal dan frekuensi pernafasan cepat.
i) Tabuh pada jari-jari (emfisema).

g. Keamanan

1) Gejala :

a) Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat atau faktor lingkungan.
b) Adanya atau berulangnya infeksi.
c) Kemerahan atau berkeringan (asma).

h. Seksualitas

1) Gejala :

a) Penurunan libido.

i. Interaksi sosial

1) Gejala :

a) Hubungan ketergantungan.
b) Kurang sistem pendukung.
c) Kegagalan dukungan dari atau terhadap pasangan atau orang terdekat.
d) Penyakit lama atau kemampuan membaik.

2) Tanda :

a) Ketidakmampuan untuk membuat atau mempertahankan suara karena distress


pernafasan.
b) Keterbatasan mobilitas fisik.
c) Kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain.

j. Penyuluhan atau pembelajaran

1) Gejala :

a) Penggunaan atau penyalahgunaan obat pernafasan.


b) Kesulitan menghentikan merokok.
c) Penggunaan alkohol secara teratur.
d) Kegagalan untuk membaik.
2) Rencana pemulangan :

a) Bantuan dalam berbelanja, transportasi, kebutuhan perawatan diri, perawatan


rumah atau mempertahankan tugas rumah.
b) Perubahan pengobatan atau program terapeutik.

Engram (2000) menambahkan pengkajian data dasar pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis adalah :

a. Riwayat atau adanya faktor-faktor penunjang :

1) Merokok produk tembakau (faktor-faktor penyebab utama).


2) Tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara berat.
3) Riwayat alergi pada keluarga.
4) Riwayat asma pada masa kanak-kanak.
b. Riwayat atau adanya faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi, seperti alergen
(serbuk, debu, kulit, serbuk sari, jamur) stress emosional, aktivitas fisik berlebihan,
polusi udara, infekasi saluran nafas, kegagalan program pengobatan yang dianjurkan.
c. Pemeriksaan fisik yang berdasarkan pengkajian sistem pernafasan (Apendiks A) yang
meliputi :

1) Manifestasi klasik dari Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :

a) Peningkatan dispnea (paling sering ditemukan).


b) Penggunaan otot-otot aksesori pernafasan (retraksi otot-otot abdominal,
mengangkat bahu saat inspirasi, nafas cuping hidung).
c) Penurunan bunyi nafas.
d) Takipnea.
e) Ortopnea.

Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges
(2000) adalah :

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma, peningkatan


produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau
kelemahan.
b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply oksigen (obstruksi
jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea,
kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas
(kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit
kronis, malnutrisi.

Engram (2000) menambahkan diagnose keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis adalah :

a. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan supply O2.


b. Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk menetap.

Intervensi Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges
(2000) adalah :

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma, peningkatan


produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau kelemahan.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien akan


mempertahankan jalan nafas yang paten dengan bunyi nafas bersih atau jelas dengan kriteria
hasil pasien akan menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas misalnya batuk
efektif dan mengeluarkan sekret.

Intervensi :

Mandiri :

1) Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas misalnya mengi, krekels,
ronkhi.
2) Kaji atau pantau frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi atau ekspirasi.
3) Catat adanya derajat dispnea, misalnya keluhan lapar udara, gelisah, ansietas,
distress pernafasan, penggunaan otot bantu.
4) Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat tidur,
duduk pada sandaran tempat tidur.
5) Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
6) Observasi karakteristik batu, misalnya batuk menetap, batuk pendek, basah.
Bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan upaya batuk.
7) Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung.
Memberikan air hangat. Anjurkan masukan cairan antara sebagai pengganti
makanan.

Kolaborasi :
1) Berikan obat sesuai indikasi.

a) Bronkodilator misalnya albuterol (ventolin).


b) Analgesik, penekan batuk atau antitusif misalnya dextrometorfan.
c) Berikan humidifikasi tambahan misalnya nebulizer ultranik, humidifier aerosol
ruangan.
d) Bantu pengobatan pernafasan misalnya fisioterapi dada.

c. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply oksigen (obstruksi jalan
nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien menunjukkan


perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan
bebas gejala distress pernafasan dengan kriteria hasil pasien akan berpartisipasi dalam program
pengobatan dalam tingkat kemampuan atau situasi.

Intervensi :

Mandiri :

1) Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori, nafas


bibir, ketidakmampuan berbicara atau berbincang.
2) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah
untuk bernafas. Dorong nafas dalam perlahan atau nafas bibir sesuai kebutuhan
atau toleransi individu.
3) Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran mukosa.
4) Dorong mengeluarkan sputum, penghisapan bila di indikasikan.
5) Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan atau bunyi
tambahan.
6) Palpasi fremitus.
7) Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya perubahan.
8) Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan kalem.
Batasi aktivitas pasien atau dorong untuk tidur atau istirahat di kursi selama
fase akut. Mungkinkan pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan
tingkatkan sesuai toleransi individu.
9) Awasi tanda vital dan irama jantung.

Kolaborasi :
1) Awasi dan gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.
2) Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi pasien.
3) Berikan penekan SSP (antiansietas, sedative, atau narkotik) dengan hati-hati.
4) Bantu intubasi, berikan atau pertahankan ventilasi mekanik dan pindahkan ke UPI
sesuai instruksi untuk pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Amin, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis NANDA NIC
NOC. Yogyakarta : Media Action.

Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta : FIP. IKIP.

Asih, Niluh Gede Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah Klien dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.
Jakarta : Salemba Medika

Brashers, Valentina L. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan dan Manajemen Edisi 2.
Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Engram, Barbara. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 1. Jakarta : EGC
Buku Kedokteran.

Hidayat, Azis Alimul. 2008. Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Kasanah. 2011. Analisis Keakuratan Kode Diagnosis Penyakit Paru Obstruksi Kronis
Eksasebrasi Akut Berdasarkan ICD 10 Pada Dokumen Rekam Medis Pasien Rawat Inap Di
RSUD SRAGEN. Sragen : Jurnal Keperawatan.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Nazir. 2000. Metode Penelitian. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Nursalam. 2001. Proses dan Prinsip Keperawatan : Konsep dan Praktik. Jakarta : Salemba
Medika.

Reeves, Charlene J. 2001. Buku Satu Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika.

Rumah Sakit Margono Soekardjo Purwokerto. 2014. Data Rekam Medik. Rumah Sakit Margono
Soekardjo Purwokerto : tidak dipublikasikan.

Anda mungkin juga menyukai