Laporan Pendahuluan
Laporan Pendahuluan
Definisi
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena bronkitis
kronis atau emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif, bisa disertai hiperaktivitas
bronkus dan sebagian bersifat reversible. Bronkitis kronis ditandai dengan batuk-batuk hamper
setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu
tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun. Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang
ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara (Mansjoer, 2000).
B. Etiologi
Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Mansjoer (2000) adalah :
1. Kebiasaan merokok.
2. Polusi udara.
3. Paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi akibat kerja.
4. Riwayat infeksi saluran nafas.
5. Bersifat genetik yaitu defisiensi alfa satu antitripsin.
1. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok menderita
PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami penurunan fungsi paru secara
cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan fungsi
paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi pada anak.
2. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok. Pada
kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang
diturunkan yang menyebabkan awitan awal emfisema.
3. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan dengan
rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko
terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan
klamidia mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.
4. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan resiko
morbiditas PPOK.
C. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis menurut Mansjoer (2000) pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis adalah :
1. Batuk.
2. Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen.
3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas.
Reeves (2001) menambahkan manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis adalah :
Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi kronis
pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi
dahak khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang berkembang
menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok)
memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi dahak yang semakin banyak.
Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan berat badan
yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu secara maksimal
melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab pekerjaannya.
Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu melakukan
kegiatan sehari-hari.
Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan yang cukup
drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makin melimpah,
penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan
pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem (GI) gastrointestinal.
Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak mengeluarkan
tenaga dalam melakukan pernafasan.
D. Patofisiologi
Patofisiologi menurut Brashers (2007), Mansjoer (2000) dan Reeves (2001) adalah :
Asap rokok, polusi udara dan terpapar alergen masuk ke jalan nafas dan mengiritasi
saluran nafas. Karena iritasi yang konstan ini , kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-
sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun, dan lebih banyak lendir yang dihasilkan
serta terjadi batuk, batuk dapat menetap selama kurang lebih 3 bulan berturut-turut. Sebagai
akibatnya bronkhiolus menjadi menyempit, berkelok-kelok dan berobliterasi serta tersumbat
karena metaplasia sel goblet dan berkurangnya elastisitas paru. Alveoli yang berdekatan dengan
bronkhiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis mengakibatkan fungsi makrofag
alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri, pasien
kemudian menjadi rentan terkena infeksi.
Pertukaran gas yang terhalang biasanya terjadi sebagai akibat dari berkurangnya
permukaan alveoli bagi pertukaran udara. Ketidakseimbangan ventilasi–perfusi ini menyebabkan
hipoksemia atau menurunnya oksigenasi dalam darah. Keseimbangan normal antara ventilasi
alveolar dan perfusi aliran darah kapiler pulmo menjadi terganggu. Dalam kondisi seperti ini,
perfusi menurun dan ventilasi tetap sama. Saluran pernafasan yang terhalang mukus kental atau
bronkospasma menyebabkan penurunan ventilasi, akan tetapi perfusi akan tetap sama atau
berkurang sedikit.
Selain itu, jalan nafas yang terhambat dapat mengurangi daerah permukaan yang tersedia
untuk pernafasan, akibat dari perubahan patologis ini adalah hiperkapnia, hipoksemia dan
asidosis respiratori. Hiperkapnia dan hipoksemia menyebabkan vasokontriksi vaskular
pulmonari, peningkatan resistensi vaskular pulmonary mengakibatkan hipertensi pembuluh
pulmonary yang meningkatkan tekanan vascular ventrikel kanan atau dekompensasi ventrikel
kanan.
E. Pemeriksaan penunjang
Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2000) adalah infeksi
nafas yang berulang, pneumotoraks spontan, eritrositosis karena keadaan hipoksia kronik, gagal
nafas dan kor pulmonal.
Reeves (2001) menambahkan komplikasi pernafasan utama yang bisa terjadi pada pasien
dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis yaitu gagal nafas akut (Acute Respiratory Failure),
pneumotoraks dan giant bullae serta ada satu komplikasi kardiak yaitu penyakit cor-pulmonale.
Acute Respiratory Failure (ARF) terjadi ketika ventilasi dan oksigenasi tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan tubuh saat istirahat. Analisa gas darah bagi pasien penyakit paru
obstruksi menahun menunjukkan tekanan oksigen arterial PaO2 sebesar 55 mm Hg atau kurang
dan tekanan karbondioksida arterial (PaCO2) sebesar 50 mm Hg atau lebih besar. Jika pasien
atau keluarganya membutuhkan alat-alat bantu kehidupan maka pasien tersebut dilakukan
intubasi dan diberi sebuah respirator untuk ventilasi secara mekanik.
2. Cor Pulmonale.
Cor pulmonary merupakan contoh yang tepat dari sistem kerja tubuh secara menyeluruh.
Apabila terjadi malfungsi pada satu sistem organ maka hal ini akan merembet ke sistem organ
lainnya. Pada penderita dengan penyakit paru obstruksi menahun, hipoksemia kronis
menyebabkan vasokonstriksi kapiler paru-paru yang kemudian akan meningkatkan resistensi
vaskuler pulmonari. Efek domino dari perubahan ini terjadi peningkatan tekanan dalam paru-
paru mengakibatkan ventrikel kanan lebih kuat dalam memompa sehingga lama-kelamaan otot
ventrikel kanan menjadi hipertrofi atau membesar.
Perawatan penyakit jantung paru meliputi pemberian oksigen dosis rendah dibatasi
hingga 2 liter per menit, diuretik untuk menurunkan edema perifer dan istirahat. Edema perifer
merupakan efek domino yang lain karena darah balik ke jantung dari perifer atau sistemik
dipengaruhi oleh hipertrofi ventrikel kanan. Digitalis hanya digunakan pada penyakit jantung
paru yang juga menderita gagal jantung kiri.
3. Pneumothoraks.
4. Giant Bullae.
G. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer
(2000) adalah :
Asih (2003) menambahkan penatalaksanaan medis pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis adalah :
Pengkajian pada pasien dengan Penyakit paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2000)
adalah :
1) Gejala :
2) Tanda :
a) Keletihan.
b) Gelisah, insomnia.
c) Kelemahan umum atau kehilangan masa otot.
b. Sirkulasi
1) Gejala
2) Tanda :
c. Integritas ego
1) Gejala :
2) Tanda :
1) Gejala :
2) Tanda :
e. Hygiene
1) Gejala :
2) Tanda :
1) Gejala :
2) Tanda :
g. Keamanan
1) Gejala :
a) Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat atau faktor lingkungan.
b) Adanya atau berulangnya infeksi.
c) Kemerahan atau berkeringan (asma).
h. Seksualitas
1) Gejala :
a) Penurunan libido.
i. Interaksi sosial
1) Gejala :
a) Hubungan ketergantungan.
b) Kurang sistem pendukung.
c) Kegagalan dukungan dari atau terhadap pasangan atau orang terdekat.
d) Penyakit lama atau kemampuan membaik.
2) Tanda :
1) Gejala :
Engram (2000) menambahkan pengkajian data dasar pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis adalah :
Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges
(2000) adalah :
Engram (2000) menambahkan diagnose keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis adalah :
Intervensi Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges
(2000) adalah :
Intervensi :
Mandiri :
1) Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas misalnya mengi, krekels,
ronkhi.
2) Kaji atau pantau frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi atau ekspirasi.
3) Catat adanya derajat dispnea, misalnya keluhan lapar udara, gelisah, ansietas,
distress pernafasan, penggunaan otot bantu.
4) Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat tidur,
duduk pada sandaran tempat tidur.
5) Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
6) Observasi karakteristik batu, misalnya batuk menetap, batuk pendek, basah.
Bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan upaya batuk.
7) Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung.
Memberikan air hangat. Anjurkan masukan cairan antara sebagai pengganti
makanan.
Kolaborasi :
1) Berikan obat sesuai indikasi.
c. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply oksigen (obstruksi jalan
nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
Intervensi :
Mandiri :
Kolaborasi :
1) Awasi dan gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.
2) Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi pasien.
3) Berikan penekan SSP (antiansietas, sedative, atau narkotik) dengan hati-hati.
4) Bantu intubasi, berikan atau pertahankan ventilasi mekanik dan pindahkan ke UPI
sesuai instruksi untuk pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis NANDA NIC
NOC. Yogyakarta : Media Action.
Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta : FIP. IKIP.
Asih, Niluh Gede Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah Klien dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.
Jakarta : Salemba Medika
Brashers, Valentina L. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan dan Manajemen Edisi 2.
Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Engram, Barbara. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 1. Jakarta : EGC
Buku Kedokteran.
Hidayat, Azis Alimul. 2008. Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Kasanah. 2011. Analisis Keakuratan Kode Diagnosis Penyakit Paru Obstruksi Kronis
Eksasebrasi Akut Berdasarkan ICD 10 Pada Dokumen Rekam Medis Pasien Rawat Inap Di
RSUD SRAGEN. Sragen : Jurnal Keperawatan.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Nursalam. 2001. Proses dan Prinsip Keperawatan : Konsep dan Praktik. Jakarta : Salemba
Medika.
Reeves, Charlene J. 2001. Buku Satu Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika.
Rumah Sakit Margono Soekardjo Purwokerto. 2014. Data Rekam Medik. Rumah Sakit Margono
Soekardjo Purwokerto : tidak dipublikasikan.