Anda di halaman 1dari 14

Williams Gynecology, 3e >

Bab 29: Lesi pra-invasif pada area genital bawah


Pendahuluan
Ruang lingkup ginekologi umumnya mencakup diagnosa dan penatalaksanaan penyakit pra-
invasif pada area genital bawah, yang paling umum yaitu serviks uteri. Sejak tes Pap
diperkenalkan secara luas di tahun 1950an, skrining kanker serviks telah mampu mengurangi
angka insiden dan mortalilas kanker serviks invasif sebesar lebih dari 70 persen (Howlader,
2014). Angka ini benar adanya, meskipun insiden lesi pra-invasif terus terjadi (Kurdgelashvili,
2013). Sekitar 7 persen wanita di AS yang menjalani tes Pap mendapati hasil abnormal (Wright,
2012). Hasil yang abnormal ini berimplikasi pada pemeriksaan tindak lanjut, biasanya melalui
kolposkopi dan biopsi. Hasil histologi bisa lebih jelas dan dapat memperjelas penatalaksaan apa
yang sesuai.
Konsep neoplasia serviks sebagai sebuah spektrum telah menjadi perdebatan seiring
bertambahnya pengetahuan tentang infeksi human papillomavirus (HPV). Displasia skuamosa
ringan saat ini dianggap sebagai bukti infeksi HPV yang hanya berlangsung sementara waktu
dan mungkin tidak akan berkembang lebih jauh. Lesi skuamosa displastik sedang sampai parah
dianggap sebagai prekursor kanker yang sebenarnya. Laporan sitologi saat ini menjelaskan
konsep dua-sistem ini (Solomon, 2002). Di tahun 1989, nomenklatur sistem Bethesda
menggantikan NIS dengan Lesi Intraepitelial Skuamosa (LIS). Karena perubahan sitologi dan
histologi antara infeksi HPV dan NIS 1 tidak dapat dibedakan secara pasti dan kerena kemiripan
riwayat alaminya, maka keduanya dikategorikan sebagai lesi intraepitel skuamosa derajat
rendah (LIS-DR). Begitu juga, NIS 2, NIS 3, dan CIS sulit untuk dibedakan, dan merupakan
prekursor kanker yang lebih tepat, serta dikategorikan sebagai lesi intraepitel skuamosa
derajat tinggi (LIS-DT). Perbedaan diagnose antara LIS-DR dan LIS-DT lebih akurat dan secara
biologis lebih Nampak, serta secara klinis lebih berarti dari pada diagnosa dengan sistem SIN.
Nomeklatur dua-sistem inilah yang saat ini disarankan dan memberi arahan bagaimana
penatalaksanaan lesi-lesi tersebut dikelompok sebagaimana mestinya (Darragh, 2012).
Pertimbangan Anatomi
Gambar 29-2
Lesi jinak pada area genital bawah. A. Kondiloma cenderung multifokal, tidak simetris dan
memiliki papilla yang timbul dari basis tunggal. B. Micropapilomatosis labialis adalah varian
anatomi vulva normal yang dapat dijumpai disepanjang area labia minor dalam dan vagina
bawah. Berbeda dengan karakter kondilomata, tonjolan Micropapilomatosis labialis ini sama
secara ukuran dan bentuk, serta muncul dari basis dimana tonjolan tersebut melekat.
Serviks
Sambungan Skuamakolumner
Selama embriogenesis, migrasi epitel skuamosa bertingkat ke atas dari sinus urogenital dan plat
vagina diperkirakan menggantikan epitel mullerian (Ulfelder, 1976). Proses ini biasanya
berhenti di dekat os serviks eksternal, membentuk SCJ (squamocolumnar junction/ sambungan
skuamakolumner) awal. Jika terlihat pada ektoserviks/serviks luar, SCJ berwarna pink, epitel
skuamosa lembut dekat dengan epitel kolumnar merah yang mengelilingi os serviks dalam.
Terkadang migrasi ini tidak tuntas sehingga menghasilkan SCJ pada forniks bagian atas vagina.
Hal ini merupakan varian normal dan juga terlihat dengan paparan DES rahim.
Epitel kolumnar pada umumnya disebut dengan “glandular”. Ini karena epitel kolumnar
menghasilkan lendir dan lapisan jaringan lipatannya (infolding) yang dalam secara histologi
mirip dengan jaringan glandular (Fig. 29-3). Tetapi, kelenjar yang sebenarnya, yang
mengandung acini dan duktus tidak akan muncul pada serviks (Ulfelder, 1976).
Gambar 29-3
Anatomi endoserviks. A. Penampakan sagital serviks. Di gambar ini, porsi kanal endoserviks
di dalam kotak. (dimodifikasi dengan seizin Eastman NJ, Hellman LM: Williams Obstetrics 12th
ed., New York: Appleton-Century-Crofts, Inc; 1961.) B. Endoserviks dilapisi oleh kolumnar
sederhana yaitu epitel penghasil musin. Kriptus dan tonjolan eksofitik tampak pesudopapila
ketika dilihat secara menyilang.
Lokasi SCJ beragam sesuai dengan usia dan status hormon (Fig. 29-4). Selama masa reproduksi,
SCJ berada diluar diatas ektoserviks, khususnya selama masa remaja, kehamilan dan dengan
kombinasi penggunaan hormon kontrasepsi. SCJ turun ke kanal endoserviks selama proses
metaplasia skuamosa alami dan pada keadaan minimnya esterogen seperti masa menopause,
masa menyusui yang berkepanjangan, dan penggunaan kontrasepsi progestin jangka panjang.
Gambar 29-4
Lokasi sambungan skuamosa-kolumner (SCJ) bervariasi. A. SCJ terletak di ektoserviks dan
divisualisasikan secara penuh. B. SCJ terletak didalam kanal endoserviks dan tidak terlihat.
Metaplasia Skuamosa
Pada masa pubertas, meningkatnya level estrogen dapat meningkatkan glikogenasi dari epitel
skuamosa non-keratin pada area genital bawah (Lower Genital Tract/LGT). Dalam
menyediakan sumber karbohidrat, glikogen menjadikan flora vagina didominasi oleh
lactobacillus yang menghasilkan asam laktat. pH vagina yang dihasilkan oleh asam ditengarai
menjadi stimulus metaplasia skuamosa, yang merupakan penggantian kolumnar oleh epitel
skuamosa pada serviks secara normal. Sel cadangan yang relatif tidak terdiferensiasi yang
mendasari epitel serviks merupakan prekursor sel metaplastik baru yang tampak, yang
berdiferensiasi lebih jauh ke dalam epitel skuamosa. Proses normal ini menciptakan
memperluas jalur metaplastik dan mematangkan epitel skuamosa yang disebut dengan zona
transformasi (ZT), antara epitel kolumnar bawaan (asli) dan epitel skuamosa (Gambar. 29-5).
GAMBAR 29-5
Skema yang menggambarkan tanda serviks yang relevan. Sambungan skuoma-kolumner (SCJ)
awal menandai lokasi berhentinya migrasi epitel skuamosa ke atas selama perkembangan
embrio. Lokasi SCJ bergerak seiring bertambahnya usia dan status hormon. Dengan keadaan
estrogen yang lebih tinggi, SCJ berpindah ke luar. Dengan keadaan estrogen rendah dan dengan
metaplasia skuamosa, SCJ bergerak mendekati os serviks. Zona transformasi terdiri dari jalur
metaplasia skuamosa yang terletak di antara SCJ awal dan SCJ baru (SJC saat ini). Seiring
matangnya epitel metaplastik, epitel metaplastik bergerak keluar ke area yang relatif lebih baru
dan kurang matang dan menjadi tidak dapat dibedakan dari epitel skuamosa awal.
Zona Transformasi dan Neoplasi Serviks
Hampir semua neoplasia serviks, baik skuamosa dan kolumnar, berkembang dalam ZT,
biasanya bersebelahan dengan SCJ baru atau yang tengah berlangsung. Cadangan serviks dan
sel metaplastik yang belum matang tampak sangat rentan terhadap efek onkogenik HPV dan co-
karsinogen (Stanley, 2010a). Aktivitas metaplasia skuamosa paling tinggi berlangsung selama
masa remaja dan kehamilan. Hal ini mungkin menjadi penyebab mengapa usia awal aktivitas
seksual pertama dan kehamilan pertama merupakan faktor risiko kanker serviks.
HUMAN PAPILOMAVIRUS
Virologi dasar
HPV berperan signifikan sebagai penyebab hampir semua neoplasia serviks dan proporsi
neoplasia vulva, vaginal, dan anus yang signifikan kemudian terbentuk. HPV umumnya
menginfeksi skuamosa manusia atau sel epitel metaplastik. HPV merupakan virus DNA untai-
ganda dengan kapsid protein unik pada masing-masing jenis virus. Lebih dari 150 jenis HPV
yang berbeda telah berhasil teridentifikasi dan dari berbagai jenis tersebut hampir 40 jenis
menginfeksi LGT (Doorbar, 2012).
Genom HPV sirkuler hanya terdiri dari 9 open reading frame yang dapat diidentifikasi (Stanley,
2010a). Disamping satu wilayah regulator, enam gen "awal/Early" (E) mengatur fungsi awal
siklus hidup virus, termasuk perawatan DNA, replikasi, dan transkripsi. Gen awal diekspresikan
pada lapisan epitel skuamosa bawah (Gambar. 29-6). Dua gen "akhir/Late" menyandikan
protein kapsid mayor (L1) dan minor (L2). Protein ini diekspresikan dalam lapisan epitel
superfisial di akhir siklus hidup virus dan pada saat berkumpulnya partikel virus baru yang
menular. Ekspresi gen HPV yang berurutan terjadi bersamaan dan bergantung pada diferensiasi
epitel skuamosa. Dengan demikian, selesainya siklus hidup virus hanya terjadi dalam epitel
skuamosa yang utuh dan benar-benar berbeda (Doorbar, 2012). Sehingga hampir tidak
mungkin untuk mengkultur HPV secara in vitro. HPV adalah virus yang tidak berlendir, dan oleh
karena itu infeksinya tergantung pada deskuamasi normal sel epitel yang terinfeksi. Infeksi
baru dimulai saat protein kapsid L1 dan L2 mengikat membran basal epitel dan / atau sel basal,
yang memungkinkan masuknya partikel virus HPV ke dalam sel penjamu baru (Sapp, 2009).

GAMBAR 29-6
Siklus hidup human papillomavirus berakhir bersamaan dengan diferensiasi epitel skuamosa.
Gen awal termasuk onkogen E6 dan E7 diekspresikan dengan sekuat-kuatnya dalam lapisan
basal dan para basal. Gen akhir mengkodekan protein kapsid yang kemudian diekspresikan
pada lapisan superfisial. Virus sempurna dikeluarkan selama deskuamasi normal dari skuamasi
superfisial. Gen akhir tidak diekspresikan secara kuat pada lesi neoplastik derajat tinggi.
HPV genital merupakan penyakit seksual menular (PSM) yang paling umum di Amerika Serikat,
dan sebagian besar orang dewasa yang aktif secara seksual juga pernah terinfeksi (Dunne,
2014). Sebagian besar insiden infeksi HPV berkembang pada perempuan dengan usia dibawah
25 tahun. Prevalensi pada perempuan di AS berusia 14-57 tahun adalah 27 persen. Yang
tertinggi berada pada usia 20 hingga 24 tahun (45 persen) dan prevalensinya menurun seiring
bertambahnya usia (Dunne, 2007). Secara klinis, jenis HPV diklasifikasikan pada HPV Resiko
Tinggi (RT) dan Resiko rendah (RR) tergantung dari kekuatan hubungannya dengan kanker
serviks. HPV RR jenis 6 dan 11 menjadi faktor penyebab sebagian besar kutil genital, Papiloma
laring dan infeksi HPV subklinis minor. Infeksi HPV-RR jarang terjadi jika terjadi maka
onkogenik.
Sebaliknya, saat ini infeksi HPV-RT yang menetap dianggap sebagai awal kanker serviks. Jenis
HPV-RT meliputi 16, 18, 31, 33, 35, 45, dan 58, bersama dengan beberapa jenis yang tidak
umum yang mencakup sekitar 95 persen kasus kanker serviks di seluruh dunia (Muñoz, 2003).
HPV 16 merupakan jenis yang paling onkogenik, yang merupakan presentase NIS 3 (45 persen)
dan kanker serviks (55 persen) terbesar di seluruh dunia. HPV jenis ini juga merupakan jenis
paling umum pada kanker anogenital dan orofaring yang terkait HPV lainnya (Schiffman, 2010;
Smith, 2007). Meskipun prevalensi HPV 18 jauh lebih rendah daripada HPV 16 pada populasi
umum, HPV 18 ditemukan pada 13 persen karsinoma sel skuamosa serviks, dan pada proporsi
adenokarsinoma serviks dan karsinoma adenoskuamosa yang lebih tinggi (sekitar 40 persen)
(Bruni, 2010; Smith, 2007). Secara bersama-sama, HPV 16 dan 18 menyumbang sekitar 70
persen kanker serviks di seluruh dunia, 68 persen karsinoma sel skuamosa, dan 85 persen
adenokarsinoma (Bosch, 2008). HPV jenis 45 merupakan jenis paling umum yang ditemukan di
kanker serviks (de Sanjose, 2010). HPV 16 terjadi pada lebih dari 1 kasus pada 5 infeksi HPV
serviks dan merupakan HPV yang paling umum yang ditemukan di antara lesi tingkat rendah
dan pada wanita tanpa neoplasia (Bruni, 2010; Herrero, 2000). Dengan demikian, infeksi HPV-
RT tidak menyebabkan neoplasia pada kebanyakan wanita yang terinfeksi, dan faktor penjamu,
virus, dan lingkungan lainnya juga menentukan perkembangan neoplasia LGT.
Penularan
Faktor resiko yang paling berpengaruh terhadap terjangkitnya infeksi HPV adalah jumlah
pasangan seksual sepanjang hidup dan jumlah pasangan seksual saat ini serta hubungan
seksual pada usia dini (Burk, 1996; Fairley, 1994; Franco, 1995). HPV genital ditularkan secara
langsung, bisasanya melalui senggama, kontak langsung dengan kulit genital, selaput lendir,
atau cairan tubuh dari individu yang terinfeksi kutil maupun HPV sub klinis. Infeksi HPV yang
tidak nampak (subklinis) diduga banyak terjadi. HPV diperkirakan dapat mengakses lapisan sel
basal dan membran basal melalui mikroabrasi pada epitel genital selama kontak seksual.
Setelah terinfeksi, sel basal ini bisa menjadi reservoir virus (Stanley, 2010b).
Infeksi HPV-RT serviks umumnya mengharuskan adanya hubungan seksual langsung.
Penularan HPV melalui genital-oral atau genital-tangan mungkin terjadi tetapi tidak umum jika
dibandingkan dengan penularan melalui genital ke genital (Winer, 2003). Angka HPV-RT Positif,
sitologi serviks, neoplasia pada wanita yang melakukan hubungan seksual dengan sesama
wanita juga sama dengan wanita heteroseksual, tetapi mereka lebih jarang menjalani skrining
kanker serviks. Wanita dengan atau tanpa pengalaman seksual dengan pria memiliki resiko
yang sama, hal ini menunjukkan bahwa kontak digital, oral, dan mungkin obyek juga membawa
resiko infeksi HPV-RT (Marrazzo, 2000). Oleh karena itu, seluruh wanita yang aktif secara
seksual harus menjalani skrining kanker serviks menurut rekomendasi terkini terlepas dari
orientasi seksual mereka.
Deteksi HPV genital, termasuk HPV-RT, telah dilaporkan pada perempuan yang keliatannya
tidak pernah melakukan hubungan seksual dan wanita muda. (Doerfler, 2009; Winer, 2003).
Meskipun demikian, kutil genital yang berkembang pada anak setelah bayi merupakan pertanda
kemungkinan adanya kekerasan seksual. Infeksi HPV dengan kontak non seksual, autoinokulasi,
atau penularan fomite (benda yang terkontaminasi) nampaknya mungkin terjadi. Hal ini
didukung oleh laporan jenis HPV non-genital pada kasus kutil genital pada anak dan remaja
yang minor tetapi signifikan. (Cohen, 1990; Obalek, 1990; Siegfried, 1997).
Infeksi HPV kongenital melalui transmisi vertikal (dari Ibu ke janin atau bayi yang baru lahir)
diluar kolonisasi kulit temporer jarang terjadi. Konjungtivis, laring, vulva, atau kutil perianal
ada saat kelahiran atau berkembang dalam 1 hingga 3 tahun setelah kelahiran dan kebanyakan
disebabkan oleh paparan HPV ibu pada periode perinatal (Cohen, 1990). Infeksi tidak berkaitan
dengan kutil genital ibu atau rute kelahiran (Silverberg, 2003; Syrjänen, 2010). Karena itu,
kelahiran cesar pada umumnya tidak direkomendasikan bagi ibu yang terinfeksi HPV.
Pengecualian bagi kutil genital besar yang dapat mengganggu kelahiran atau menyebabkan
avulsi atau perdarahan dengan pembesaran serviks atau kelahiran vaginal.
Dampak Infeksi
Infeksi HPV genital menyebabkan berbagai dampak (Fig. 29-7). Hal ini dapat secara luas
dikelompokkan kedalam infeksi laten maupun infeksi yang terlihat. Infeksi yang terlihat bisa
jadi produktif yaitu menghasilkan partikel virus berbahaya, atau bisa juga menyebabkan
neoplastik yang menyebabkan penyakit atau malignasi pra-invasif. Sebagian infeksi produktif
merupakan infeksi subklinis tetapi persentasenya dalam menyebabkan kutil genital klinis
nampak relatif lebih kecil. Infeksi HPV dapat berlangsung sementara atau menetap. Neoplasia
derajat tingi (NIS 3 atau lebih parah) merupakan dampak HPV genital yang paling tidak umum,
yang memerlukan persistensi HPV.
GAMBAR 29-7
Riwayat alami infeksi human papillomavirus (HPV) pada genital berbeda antara individu satu
dengan individu lainnya dan berbeda dari waktu ke waktu. Sebagian besar merupakan infeksi
subklinis. Resolusi spontan merupakan dampak yang paling umum. Sedangkan neoplasia
merupakan wujud infeksi HPV yang paling tidak umum yang berkembang sebagai hasil infeksi
yang menetap dengan gabungan DNA HPV.
Infeksi laten (tersembunyi) merujuk pada sel-sel yang terinfeksi tetapi tak bergerak. Tidak ada
efek jaringan yang terdeteksi karena virus tersebut tidak secara aktif mereplikasi diri. Virus
tersebut berada di bawah level yang dapat dideteksi. Sehingga, tidak dapat dipastikan apakah
pembersihan HPV yang nampak mencerminkan pembasmian jaringan yang terinfeksi yang
sebenarnya ataukah mencerminkan latensinya.
Infeksi Produktif dicirikan oleh terpenuhinya siklus hidup virus dan produksi partikel virus
menular yang berlimpah (Stanley, 2010a). Ekspresi dan kumpulan gen virus berakhir
bersamaan dengan diferensiasi skuamosa terminal, diakhiri dengan deskuamasi skuamosa yang
terinfeksi. Infeksi ini memiliki potensi malignasi yang kecil atau bahkan tidak berpotensi sama
sekali karena gen HPV tetaplah episom dan onkogennya diekspresikan dalam level yang sangat
rendah (Durst, 1985; Stoler, 1996).
Pada area genital perempuan dan laki-laki, infeksi HPV produktif menyebabkan kutil genital
yang terlihat (kondiloma akuminata) atau infeksi sub klinis yang lebih umum. Infeksi subklinis
ini mungkin secara tidak langsung teridentifikasi sebagai abnormalitas sitologi derajat-rendah,
abnormalitas kolposkopi atau abnormalitas histologi. Akan tetapi, keseleruhuan observasi
diagnosis tersebut subyektif dan tidak dapat dibuktikan ulang. Tes HPV lebih akurat mendeteksi
infeksi HPV tetapi terbatas pada jenis HPV dan muatan virusnya.
Dengan infeksi neoplastik (NIS 3 dan kanker serviks), gen HPV sirkuler terganggu dan
bergabung pada lokasi secara acak di kromosom penjamu (Gambar. 30-1). Selanjutnya terjadi
transkipsi onkogen E6 dan E7 yang tidak dapat dicegah (Durst, 1985; Stoler, 1996).
Onkoprotein E6 dan E7 yang diproduksi bercampur dan mempercepat degradasi p53 dan pRb,
yang merupakan protein kunci supresi tumor yang diproduksi oleh penjamu (Gambar. 30-2).
Hal ini membuat sel yang terinfeksi rawan terhadap transformasi malignasi karena hilangnya
kendali lingkaran sel, proliferasi sel, dan akumulasi mutasi DNA dari waktu ke waktu (Doorbar,
2012).
Pada lesi pra-invasif resultan, diferensiasi dengan epitel normal tidaklah jelas dan tidak
lengkap. Derajat disrupsi digunakan untuk menilai histologi sebagai derajat rendah (mencakup
perubahan HPV dan NIS 1) atau derajat tinggi (NIS 2, NIS 3, and KIS). Rata-rata usia diagnosa
penyakit serviks derajat rendah lebih muda ketimbang usia lesi derajat tinggi dan kanker
invasif. Sehingga, penyakit penyakit tersebut dianggap berkembang dari lesi derajat sedang ke
derajat tinggi dari waktu ke waktu. Teori alternatif menyebutkan bahwa lesi derajat rendah
umumnya akut, temporer dan tidak onkogenik. Lesi derajat tinggi dan kanker umumnya
monoclonal dan timbul dari de novo ketimbang penyakit derajat rendah yang telah ada
sebelumnya (Baseman, 2005; Kiviat, 1996).
Patogen neoplasia yang berkaitan dengan HPV pada situs anogenital lainnya mirip dengan
pathogen pada serviks. Infeksi HPV genital biasanya multifokal dan kebanyakan melibatkan
serbiks Neoplasia pada satu situs meningkatkan resiko neoplasia lainnya di LGT (Spitzer, 1989).
Riwayat Alami Infeksi
Infeksi dengan HPV, kebanyakan jenis Resiko Tinggi sangat umum terjadi setelah aktivitas
seksual awal (Brown, 2005; Winer, 2003). Infeksi ini kebanyakan disertai dengan hubungan
seksual awal dan infeksi ini tidak menjadi bukti hubungan seksual dengan banyak orang
(Collins, 2002).
Sebagian besar infeksi HPV dan lesi terkait lainnya, baik itu klinis atau subklinis sembuh secara
spontan khususnya pada remaja dan wanita muda (Ho, 1998; Moscicki, 1998). Tetapi kemudian
belum jelas apakah hal itu merupakan tanda resolusi yang sebenarnya atau sensitivitas tes yang
terbatas (Winer, 2011). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa infeksi HPV-RR dapat
sembuh lebih cepat ketimbang HPV-RT (Moscicki, 2004; Schlecht, 2003; Woodman, 2001).
Perempuan dengan usia lebih muda kebanyakan mengalami perubahan tipe HPV dimana hal ini
lebih mencerminkan transiensi (temporernya) infeksi dan infeksi berulang oleh paangan
seksual baru ketimbang menunjukkan persistensi (Ho, 1998; Rosenfeld, 1992). Infeksi simultan
atau sekunsial dengan jenis HPV ganda umum terjadi (Schiffman, 2010).
Infeksi HR HPV yang menetap menyebabkan berkembangnya neoplasia serviks. Infeksi HPV
minor dapat terus menetap, tetapi kebanyakan perempuan muda (65 persent) dengan infeksi
HPV 16/18 yang berlangsung lebih dari 6 bulan mengembangkan SIL (Trottier, 2009). Resiko
progresi neoplasi derajat tinggi meningkat seiring usia, karena infeksi HPV pada wanita yang
lebih tua mencerminkan persistensi infeksi tersebut (Hildesheim, 1999). Imunitas yang
dimediasi sel sepertinya berperan penting dalam persistensi infeksi HPV dan progresi atau
regresi lesi lunak dan neoplastik.
Diagnosa Infeksi
Infeksi HPV biasanya didasarkan pada lesi klinis atau hasil sitologi, histologi, dan kolposkopi,
yang kesemuanya bersifat subyektif dan sering kali tidak akurat. Selain itu, serologi bukan
menjadi metode yang reliabel dan tidak dapat membedakan infeksi masa lalu dengan infeksi
saat ini (Dillner, 1999). Sebagaimana telah dicatat, budaya HPV tidak dapat dilakukan. Dengan
demikian, diagnosis hanya dikonfirmasi dengan deteksi asam nukleat HPV dengan metode yang
mencakup hibridisasi in situ, pengujian amplifikasi asam nukleat (NAAT), reaksi berantai
polymerase (PCR), atau metode lainnya (Molijn, 2005). Saat ini, penggunaan klinis empat jenis
tes HPV-RT telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA), dan semua menggunakan
NAAT untuk mendeteksi HPV-RT tipe 13 atau 14. Dua dari tes ini secara khusus melaporkan
adanya HPV 16 atau HPV 18 untuk membantu stratifikasi risiko dan penatalaksanaan yang
sesuai. Karena keterbatasan tes klinis, hasil tes negatif tidak berarti infeksi HPV hilang. Oleh
karena itu, tes ini tidak diindikasikan atau berguna untuk skrining penyakit menular seksual
rutin. Tes HPV-RR tidak memiliki indikasi dan dapat menghabiskan biaya, evaluasi lebih lanjut,
dan perawatan yang tidak perlu.
Peran tes HPV-RT secara klinis untuk skrining kanker serviks dan untuk pengawasan SIL terus
berkembang. Tes ini tidak ditawarkan sebagai pemeriksaan infeksi HPV di luar pedoman saat
ini. Yaitu, penggunaan klinis tes HPV-RT yang tepat meliputi: penyertaan dengan tes lain yaitu
skrining sitologi serviks pada wanita berusia 30 tahun atau lebih, triase atau pengawasan hasil
sitologi abnormal tertentu dan NIS yang tidak terobati, dan pengawasan pasca pengobatan
(Davey, 2014). Satu tes jenis tes HR HPV (tes HPV cobas) baru-baru ini telah disetujui
penggunannya oleh FDA sebagai tes skrining yang berdiri sendiri untuk kanker serviks pada
wanita berusia 25 tahun ke atas. Apabila kutil genital yang khas ditemukan pada wanita muda
atau jika neoplasia serviks derajat tinggi atau kanker invasif teridentifikasi mealalui sitologi
atau histologi, maka dapat diasumsikan terjadi infeksi HPV, dan pengujian HPV tidak
diperlukan. Karena tingginya prevalensi HPV pada wanita muda (kurang dari usia 25), tes HPV-
RT untuk skrining kanker serviks tidaklah disarankan. FDA tidak menyetujui penggunaan tes
HPV pada wanita setelah histerektomi penuh, dan saat ini tidak terdapat pedoman
penatalaksanaan terhadap hasil tes HPV pada wanita kategori ini.
Pengobatan Infeksi
Indikasi pengobatan penyakit area genital bawah (LGT) yang berkaitan dengan HPV mencakup
kutil simtomatik, neoplasia derajat tigggi atau kanker invasi. Tidak ada pengobatan yang efektif
yang dapat menyembuhkan infeksi HPV subklinis maupun tersembunyi. Kerusakan LGT fisik
mungkin diakibatkan oleh upaya yang tidak realistis untuk membasmi infeksi HPV, yang
biasanya terbatas pada upaya yang dilakukan sendiri. Anjuran untuk perilaku sehat dan
penatalaksanaan kompromi imun yang optimal merupakan langkah yang bijaksana. Pengobatan
LSIL serviks (perubahan HPV atau NIS 1) tidaklah diperlukan dan hanya dipertimbangkan
setelah observasi setidaknya selama 2 tahun.
Berbagai macam modalitas telah tersedia untuk mengobati kutil genital dan modalitas tersebut
dipilih menurut ukuran lesi, lokasi, dan jumlahhnya (Rosales, 2014). Misalnya pembersihan
atau pembasmian mekanis, imunomodulator topikal atau koagulasi termal. (Table 3-15).
Pemeriksaan yang dilakukan terhadap pasangan laki-laki tidak akan memberi faedah apa-apa
terhadap wanitanya baik itu dalam hal infeksi ulang yang berpengaruh atau mengubah arah
klinis atau mengubah hasil pengobatan kutil genital dan neoplasia LGT (Pusat kontrol dan
pencegahan penyakit, 2010).
Pencegahan Infeksi
Perilaku
Tidak melakukan hubungan seksual, kemudian menunda hubungan seksual dini, dan memiliki
pasangan seksual terbatas merupakan strategi-strategi yang logis untuk menghindari infeksi
HPV genital dan dampak negatifnya. Akan tetapi, tidak terdapat bukti yang berasal dari uji
ilmiah ataupun modifikasi praktik seksual. Kondom tidak dapat melindungi seseorang dari
semua potensi infeksi HPV pada kulit kelamin. Oleh karenya, kondom tidak sepenuhnya mampu
melindungi tetapi hanya mungkin mengurangi keterjangkitan dan penularan HPV. Winer dan
rekan (2003) melakukan penelitian prospektif pertama tentang penggunaan kondom pada laki-
laki dan menunjukkan angka penurunan HPV yang signifikan pada perempuan muda meskipun
tidak digunakan secara konsisten.
Vaksin
Berbagai jenis vaksin memiliki efektifitas yang sangat menjanjikan yang berfungsi dalam
pencegahan dan kemungkinan kekambuhan sekuel pada mereka yang sudah terinfeksi.
Imunitas lokal dan humoral mungkin dapat mencegah terjadinya infeksi, dan vaksin profilaksis
dapat menghasilkan produksi antibodi humoral jenis tertentu yang mampu mencegah infeksi
HPV baru dengan menghalangi masuknya ke sel inang (Stanley, 2010b). Vaksin-vaksin tersebut
tidak mencegah peralihan HPV positif atau mengatasi infeksi yang sudah ada sebelumnya.
Vaksin HPV berpotensi mencegah malignasi setidaknya pada 6 bagian tubuh yaitu serviks,
vulva, vagina, penis, saluran anus, dan orofaring.
Saat ini, tiga jenis vaksin HPV telah disetujui penggunaannya oleh FDA untuk pencegahan
infeksi HPV dan neoplasia serviks. Ketiganya menggunakan teknologi penghasil genetik untuk
memproduksi sintesa protein kapsid dari tiap jenis HPV yang dimasukkan kedalam vaksin.
Partikel yang mirip dengan partikel dihasilkan seperti virus sangatlah imunogenik tetapi tidak
membahayakan karena partikel tersebut tidak memiliki DNA virus (Stanley, 2010b).
Vaksin cervarix (HPV2) merupakan vaksin yang memiliki dua fungsi (bivalen) terhadap HPVs16
dan 18. Gardasil (HPV4) merupakan vaksin quadrivalen terhadap HPV tipe 6, 11, 16 dan 18.
HPV4 saat ini sedang digantikan oleh Gardasil 9 (HPV9), yang merupkan vaksin non-avalen.
HPV9 melindungi dari segala jenis HPV dan HPV4 serta tipe 31, 33, 45, 52 dan 58. Cakupan tipe
HPV-RT tambahan tersebut secara teoritis dapat mencegah persentasi kanker serviks dari 65
hingga sekitar 80 persen. Ketiga vaksin tersebut mengandung adjuvant pencegah yang dapat
meningkatkan response imun terhadap antigen vaksin. Ketiga vaksin tersebut diberikan dalam
3 dosis intramuscular selama periode 6 bulan. Rinciannya dosis kedua diberikan 1 hingga 2
bulan setelah dosis pertama, dan dosis ketiga diberikan 6 bulan setelah dosis pertama. Jadwal
dosis yang berkepanjangan sepertinya tidak mengurangi imunogenisitas. Strategi pemberian
vaksin yang optimal adalah dilakukan sebelum adanya hubungan seksual awal, sehingga
manfaat terbesarnya dapat diperoleh. Namun, riwayat aktivitas seksual sebelumnya, penyakit
yang berkaitan dengan HPV, atau tes HPV positif tidak seharusnya menghalangi pemberian
vaksin. Tes HPV tidak direkomendasikan sebelum vaksinasi (American College of Obstetricians
and Gynecologists, 2014a). Komite Penasehat untuk Praktik Imun (ACIP) saat ini menyarankan
vaksin HPV diberikan secara rutin pada perempuan berusia 11 hingga 12 tahun (sedini
mungkin usia 9 tahun). Vaksinasi juga disarankan pada perempuan usia 13 hingga 26 tahun
yang belum pernah divaksinasi sebelumnya (Markowitz, 2014; Petrosky, 2015). Vaksinya dapat
diberikan selama masa menyusui tetapi tidak dapat diberikan selama kehamilan (American
College of Obstetricians and Gynecologists, 2014a). Perempuan-perempuan dengan
immuncompromised (yang tidak memiliki imun yang baik) perlu menerima vaksin dan
menunjukkan tingka serokonversi yang tinggi terlepas dari resiko teoritis tumpulnya respons
imun.
Ketiga vaksin tersebut menunjukkan efektivitas yang hampir 100 persen dalam mencegah
insiden infeksi dan neoplasi serviks derajat tinggi dari tipe HPV yang dimasukkan kedalam
vaksin (kelompok Penelitian selanjutnya II, 2007; Paavonen, 2009; Joura, 2015). HPV4 dan
HPV9 juga memberikan proteksi terhadap HPV tipe 6 dan 11, yang menyebabkan semua jenis
kutil genital dan papilloma laring dan berbagai abnormalitas sitologi derajat rendah lainnya.
HPV4 dan HPV9 juga dapat dipakai untuk pencegahan kutil genital baik pada laki-laki maupun
perempuan. FDA juga telah menyetujii penggunaan kedua vaksin tersebut untuk pencegahan
neoplasia vagina, vulva dan anal. HPV2 tidak mencegah kutil genital. Penggunaan HPV2 untuk
pencegahan penyakit LGT ekstraserviks tidak disetuji, meskipun secara teoritis harus
dilakukan.
Vaksin HPV merupakan vaksin imunogenik dengan proteksi yang terus berlangsung selama
setidaknya 5 sampai 8 tahun setelah vaksinasi (Ferris, 2014; Harper, 2006). Tidak ada bukti
yang mendukung perlunya menaikkan dosis setelahnya. Vaksin tersebut sangatlah aman, cukup
dapat ditolerir dan dapat diberikan bersamaan dengan vaksinasi lain yang direkomendasikan.
Karena vaksin HPV hanya dapat mencegah sebagian besar kanker serviks yang berkaitan
dengan HPV, dan tidak mencegah semuanya, skrining kanker serviks harus terus dilakukan
disetiap pedoman saat ini. Negara-negara dengan angka vaksinasi yang tinggi memilki
penurunan angka kutil anogenital yang drastis dan juga diprediksi memiliki penurunan pada
abnormalitas Pap dan neoplasia serviks (Ali, 2013). Meskipun tingkat vaksinasi di AS tidak
cukup optimal, infeksi vaksin tipe HPV4 pada remaja AS telah menurun sebesar 56 persen sejak
pengenalan vaksin di tahun 2006 (Stokley, 2014).
NEOPLASI INTRAEPITELIAL SERVIKS
Faktor Resiko
Henk dan rekan (2010) memperkirakan bahwa terdapat 412.000 kasus terdiagnosa NIS di AS
setiap tahun. Faktor resikonya mirip dengan faktor resiko kanker serviks invasif, dan NIS sangat
berkaitan erat dengan infeksi HPV-RT yang menetap di genital dan meningkatnya usia (Table
29-1) (Ho, 1995; Kjaer, 2002; Remmink, 1995).
TABLE 29-1 Faktor resiko Neoplasia Serviks
Faktor Demografis
• Etnis (Negara-negara Amerika Latin, Etnis minoritas AS)
• Status sosial-ekonomi rendah
• Meningkatnya Usia
Faktor resiko perilaku
• Hubungan seksual dini
• Memiliki pasangan seksual yang banyak
• Memiliki Pasangan pria dengan pasangan seksual sebelumnya yang banyak
• Merokok
• Defisiensi vitamin
Faktor resiko Medis
• Resiko tinggi Infeksi human papillomavirus serviks
• Hormon eksogen (kombinasi hormone kontraseptif)
• Paritas
• Supresi imun
• Skrining yang tidak memadai
Median usia diagnosa kanker serviks di AS (dalam 5 dekade terakhir) mendekati median NIS
pada satu dekade kemudian. Pada wanita yang lebih tua, infeksi HPV akan lebih menetap
ketimbang berhasil disembuhkan. Usia yang lebih tua berkaitan dengan menurunnya
kompetensi imun dan memungkinkan akumulasi mutasi genetik dari waktu ke waktu yang
dapat menyebabkan transformasi sel malignasi. Selain itu, faktor sosial-ekonomi yang
merugikan dan menurunnya kebutuhan perawatan pra-kelahiran dan kontrasespsi
menyebabkan perempuan-perempuan menjalani skrining yang lebih sedikit.
Faktor perilaku beresiko terhadap NIS juga menggambarkan faktor resiko terhadap
terjangkitnya HPV dan meliputi aktivitas seksual secara dini, memiliki pasangan seksual
banyak, dan persetubuhan dengan patner lelaki (Buckley, 1981; de Vet, 1994; Kjaer, 1991).
Disamping positifnya HPV dan status sosial ekonomi, konsumsi rokok juga meningkatkan resiko
penyakit pra-invasif (Castle, 2004; Plummer, 2003).
Kekurangan vitamin-vitamin tertentu seperti A, C, E, beta-karoten dan asam folik mungkin
dapat mengubah imunitas sel terhadap infeksi HPV. Hal ini mungkin dapat menyebabkan
tersebarnya persistensi infeksi dan neoplasia serviks (Paavonen, 1990). Akan tetapi, di AS, tidak
adanya hubungan antara defisiensi diet dan kanker serviks mungkin mencerminkan status
kecukupan nutrisi yang relatif baik bahkan pada wanita-wanita berpenghasilan rendah
(Amburgey, 1993).
Kombinasi kontrasepsi oral (COCs) berhubungan dengan meningkatnya kanker serviks pada
pengguna yang sedang memakai (International Collaboration of Epidemiological studies of
Cervical Cancer, 2007). Kemungkinan mekaniskmenya adalah meningkatnya persistensi infeksi
HPV dan ekspresi onkogen (de Villiers, 2003). Sebaliknya, berbagai penelitian tidak berhasil
menemukan peningkatan resiko NIS pada pengguna kontrasepsi hormonal atau terapi hormone
pasca menopous (Castle, 2005; Harris, 2009; Yasmeen, 2006). Paparan DES di Rahim
nampaknya meningkatkan resiko berkembangnya penyakit serviks derajat-tinggi disamping
peningkatan resiko adenokarsinoma sel serviks dan vagina yang jelas (Hoover, 2011)..
Meningkatnya paritas berkorelasi dengan resiko kanker serviks, tetapi tidak jelas apakah hal ini
berkaitan dengan aktivitas seksual dini, efek paparan progestin, atau faktor lainnya. Supresi
imun selama masa kehaliman, pengaruh hormon pada epitel serviks dan trauma fisik yang
berkaitan dengan persalinan vaginal juga dianggap berpengaruh (Brinton, 1989; Muñoz, 2002).
Wanita dengan supresi imun umumnya menunjukkan peningkatan risiko NIS dan tingkat
keparahan lesi yang lebih tinggi, pola lesi multifokal, dan lesi pada beberapa situs LGT. Wanita-
wanita tersebut juga mengalami tingkat kegagalan dalam pengobatan, persistensi, dan
kambuhnya penyakit LGT yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita imunokompeten.
Secara khusus, wanita yang positif human immunodeficiency virus (HIV) memiliki tingkat hasil
Pap dan NIS abnormal yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan HIV-negatif.
Penerima transplantasi juga berisiko mengembangkan malignasi setelah transplantasi,
termasuk neoplasma LGT dan saluran anus (Gomez-Lobo, 2009). Wanita dengan pengobatan
supresi imun untuk gangguan lainnya juga memiliki tingkat neoplasia LGT yang lebih tinggi.
Skrining yang tidak memadai menjadi faktor resiko lainnya. Dari seluruh wanita yang
didiagnosa kanker serviks di AS, sekitar 60 persennya belum pernah diskrining atau menjalani
tes Pap dalam 5 tahun sebelumnya (10 persen) (American College of Obstetricians and
Gynecologists, 2012b). Tidak adanya skrining menjadi penyebab utama tingginya angka kanker
serviks pada wanita dengan status sosial-ekonomi yang tidak menguntungkan, khususnya
wanita-wanita etnis minoritas, penduduk daerah terpencil, wanita tua, dan imigran baru
(Benard, 2007).
Riwayat Alami
Lesi pra-invasif dapat mengalami kemunduran secara spontan, tetap stabil, atau progresif.
Risiko perkembangan kanker invasif meningkat seiring meningkatnya keparahan NIS.
Perkiraan progress NIS, persistensi (menetap stabil), dan regresi (kemunduran) dijelaskan
dalam review oleh Ostor (1993) dan ditunjukkan pada Tabel Table 29-2. Lesi derajat rendah
dianggap sebagai manifestasi infeksi HPV akut, dan paling cepat mengalami kemunduran dalam
beberapa tahun. Lesi derajat tinggi cenderung tidak terjadi. Castle and coworkers (2009b)
menghitung bahwa sekitar 40 persen NIS 2 mengalami kemunduran secara spontan dalam
waktu 2 tahun. Kemunduran ini lebih sering (lebih besar dari 60 persen) terjadi pada wanita
muda dan sehat (Moscicki, 2010). NIS 2 dianggap sebagai campuran lesi derajat rendah dan
derajat tinggi yang lebih sulit dibedakan secara histologis, ketimbang progresi dari NIS 1 ke NIS
3. Risiko progresi kanker invasif harus dibiopsi jika tidak maka tidak dapat terobati. Lesi NIS 3
kira-kira terjadi 30 persen selama 30 tahun (McCredie, 2008).
Tabel 29-2 Riwayat alami Lesi Neoplasi Intraepitelial Serviks (NIS)
Progres ke Invasi
Regresi (%) Persistensi (%) Progres ke KIS (%)
(%)
NIS 1 57 32 11 1
NIS 2 43 35 22 5
NIS 3 32 <56 – >12

KIS = Karsinoma in Situ.


Diproduksi kembali dengan seizing Ostor AG: Natural history of cervical intraepithelial neoplasia:
a critical review. Int J Gynecol Pathol 1993 Apr;12(2):186–192.

DIAGNOSA NEOPLASIA SERVIKS


Skrining kanker serviks idealnya dapat menemukan lesi pra-inflamasi yang dapat dibasmi atau
ditemukan pada kanker serviks pada stadium yang dapat diobati. Skrining kanker serviks
sebelumnya hanya terbatas pada sitologi serviks. Tetapi, dalam satu dekade terakhir, tes HPV-
RT juga menjadi alat skrining penting.
Secara umum, lesi LGT pra-invasif hanya terlihat dengan pemeriksaan dengan sarana tambahan.
Kecuali untuk VIN, yang umumnya terlihat, teraba, atau keduanya. Hanya lesi serviks di salah
satu ujung spektrum penyakit neoplastik yang sangat terlihat, yaitu kanker kondilomata dan
kanker invasif. Dengan demikian, semua gejala neoplasia serviks dan lesi serviks yang
mencurigakan yang dapat terlihat jelas membutuhkan biopsi secepatnya.
Sitologi serviks
Pemeriksaan sitologi serviks merupakan salah satu kesuksesan terbesar dalam sejarah
pengobatan modern. Pemeriksaan ini mampu mendeteksi hampir seluruh neoplasia serviks
umumnya pada saat pra-malignasi berkepanjangan atau fase invasif tersembunyi ketika hasil
pengobatan optimal. Glass-slide konvensional (yang biasa disebut Pap smear) dan tes Pap
berbasis cairan sama-sama dapat diterima untuk keperluan skrining menurut semua pedoman
saat ini (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2012b; Saslow, 2012; U.S.
Preventive Services Task Force, 2012).
Sitologi serviks yang diperkenalkan di tahun 1940an belum pernah diuji dalam uji acak
terkendali atau uji acak tersamar (Koss, 1989). Akan tetapi, negara-negara dengan program
skrining yang telah terorganisir telah secara konsisten menyadari penurunan angka insiden dan
mortalitas kanker serviks secara drastis. Pap tes secara konsisten memiliki spesifitas yang
tinggi, mendekati 98 persen. Tetapi, estimasi sensitivitasnya untuk deteksi NIS 2 atau yang lebih
parah jauh lebih rendah dan bervariasi mulai dari 45 hingga 65 persen (Whitlock, 2011).
Sensitivitas yang tidak sempurna ini diimbangi dengan rekomendasi skrining secara berulang
sepanjang hidup. Meskipun insiden karsinoma skuamosa serviks terus menurun, insiden
adenokarsinoma relatif dan absolut telah meningkat, khususnya pada wanita usia di bawah 50
tahun (Herzog, 2007). Adenokarsinoma dan karsinoma adenoskuamosa setidaknya menjadi
bagian 20 persen dari angka kanker serviks. Peningkatan ini mungkin disebabkan oleh
sensitivitas tes Pap untuk deteksi adenokarsinoma yang lebih rendah dibandingkan untuk
deteksi kanker skuamosa dan lesi prekursornya.
Tes Pap negatif-palsu mungkin disebabkan oleh kesahalan pengambilan sample (sampling
error), dimana sel abnormal tidak tampak di tes Pap, atau karena kesalahan skrining (screening
error) dimana sel-selnya tampak tetapi terlewatkan atau salah klasifikan oleh pemeriksa
(Wilkinson, 1990). Pengukuran jaminan kualitas yang semestinya dan teknologi skrining slide
yang terkomputerisasi dapat mengatasi kesalahan skrining. Penatalaksanaan hasil abnormal
yang tidak optimal oleh pelayan kesehatan dan juga kelalaian pasien untuk mengikuti tindak
lanjut juga berperan dalam terjadinya kanker serviks yang seharusnya dapat dihindari. Klinisi
dapat memaksimalkan manfaat skrining dengan memperoleh spesimen sitologi yang optimal
dan dengan mematuhi pedoman penatalaksanaan hasil tes abnormal berbasis-temuan ilmiah
(evidence-based) yang saat ini ada.

Anda mungkin juga menyukai