Anda di halaman 1dari 17

Skrining kanker serviks pada kondisi dengan sumber daya yang terbatas

Pendahuluan. Kanker serviks merupakan malignasi paling umum pada perempuan di negara-
negara berkembang, dan lebih dari 85 persen kematian akibat kanker serviks terjadi di negara
berkembang. [1,2] Strategi skrining kanker serviks yang efektif dan pengobatan (treatmen)
neoplasia intraepitelial serviks yang menjadi tahap awal kanker telah berlangsung selama lebih
dari 70 tahun dan jika diterapkan dapat mengurangi insiden dan mortalitas penyakit ini secara
drastic. [3,4]. Akan tetapi, strategi standar seperti sitologi serviks, tes HPV (human papilloma
virus), dan kolposkopi sering kali tidak dapat dilakukan di negara berkembang karena
permasalahan ekonomi dan insfrastruktur lainnya. Perbedaan ketersediaan sumber daya
layanan kesehatan dan beban penyakit (disease burden) antar satu negara dengan negara
lainnya dan di dalam sebuah negara menyebabkan pengambilan kesimpulan mengenai strategi
skrining kanker yang efektif bagi seluruh negara berkembang sulit dilakukan. Pembahasan
kondisi di negara-negara tertentu berada diluar lingkup topik review ini. Oleh karena itu,
skrining kanker serviks pada sistem layanan kesehatan yang tidak memungkinkan sitologi atau
kolposkopi akan di ulas di artikel ini. Pendekatan umum dan pengujian terhadap skrining
kanker serviks akan didiskusikan secara terpisah.
Epidemiologi- kanker serviks merupakan 12% persen dari seluruh kasus kanker yang terjadi
pada perempuan di seluruh dunia, dan menjadi kanker paling umum ke empat setelah kanker
payudara, paru-paru, dan kanker usus besar [1]. Lebih dari 85% kasusnya terdiagnosa di
negara-negara berkembang, serta di negara berkembang kanker serviks menjadi kasus kanker
yang paling umum pada perempuan [5]. Link berikut ini menyakikan tingkat kanker serviks
dalam skala global dari database GLOBOCAN Badan kesehatan Dunia (WHO)
incidence (insiden) dan mortality (mortalitas).
Hambatan dalam skrining kanker serviks. -- Hambatan-hambatan dalam menerapkan
program prevensi kanker serviks mencakup persaingan prioritas dalam tuntutan layanan
kesehatan, permasalahan ekonomi, sosial dan politik [6].
Masalah pelayanan kesehatan utama yang tak kalah pentingnya dengan pencegahan kanker
serviks adalah kematian ibu dan bayi dan penyakit menular (misalnya, tuberkulosis, malaria,
dan human immunodeficiency virus [HIV]). Tantangan yang dihadapi sistem pelayanan
kesehatan di seluruh dunia dapat digambarkan sebagai berikut: Pada tahun 2002, ada 510.000
kasus kematian (0,9 persen dari total kematian) berkaitan dengan kondisi ibu dan 2.464.000
kematian (4,3 persen dari total kematian) karena kondisi perinatal di seluruh dunia. Meskipun
kanker serviks menjadi kasus yang lazim, penyakit ini menyebabkan angka kematian yang lebih
rendah (239.000 kematian; atau 0,4 persen dari total kematian) [7]. Infeksi HIV juga penting
diperhatikan, karena bukan hanya prioritas utama di beberapa daerah, tetapi juga dapat
memperburuk neoplasia serviks. Selain itu, dengan terbatasnya sumber daya layanan
kesehatan, layanan kesehatan yang ada cenderung berfokus pada penyembuhan, bukan layanan
pencegahan.
Faktor ekonomi juga menjadi hambatan penerapan skrining. Negera berkembang mencakup 84
persen dari keseluruhan populasi dunia, 90 persen beban penyakit (disease burden), 20 persen
produk domestic bruto (GDP), tetapi hanya 12 persen dari total belanja kesehatan [8].
Disparitas belanja kesehatan per kapita antara negara maju dan negara berkembang amatlah
besar. Belanja kesehatan tahunan per kapita di Amerika serikat pada tahun 2006 adalah sebesar
$5.711, di Swiss sebesar $3.809, dan di Inggris sebesar $2.389. Sebaliknya, di negara
berkembang, belanja kesehatan per tahun berkisar dari $14 di Republik Demokratik Kongo
hingga $64 di Nepal [9]. Metode skrining kanker serviks standar seperti sitologi dan kolposkopi
amatlah mahal dan tidak terjangkau melihat besaran belanja kesehatan per kapita di negara-
negara berkembang tersebut.
Kondisi sosial dan politik di negara dengan sumber daya kesehatan yang rendah sering kali
menghambat program skrining kanker serviks. Sering kali tidak terdapat sarana komunikasi
dan transportasi yang terpercaya dan terjangkau. Oleh karena itu, wanita-wanita sering kali
tidak dapat pergi ke tempat skrining untuk kunjungan awal atau tindak lanjut atau menerima
hasil pemeriksaan yang tepat waktu. Pendidikan dan literasi juga berpengaruh. Perempuan di
negara miskin mungkin banyak yang buta huruf, atau menggunakan bahasa lokal yang berbeda
dari bahasa nasional. Sehingga mereka mungkin tidak mampu membaca hasil tes secara tertulis.
Selain itu, perempuan-perempuan tersebut juga mungkin tidak memperoleh informasi
mengenai intervensi seperti skrining kanker serviks sehingga tidak terdapat tuntutan publik
atau motivasi politis untuk mengadakan program skrining. Peperangan dan perang sipil banyak
terjadi di berbagai negara miskin dan juga menjadi faktor yang dapat menghancurkan
insfrastruktur sistem layanan kesehatan.
PENDEKATAN SKRINING KANKER SERVIKS- Di negara-negara yang telah berhasil
menerapkan program skrining kanker serviks, kasus penyakit kanker serviks sudah relatif
jarang terjadi. Di kebanyakan negara maju, Angka Insiden Standar-Usia (ASIR) untuk kanker
serviks kurang dari 10/100.000, sedangkan di negara berkembang, ASIR kanker serviks
berkisar antara 25 sampai 55 / 100.000 [10].
Skrining sitology dengan atau tanpa tes DNA human papillomavirus (HPV) telah membawa
kemajuan pesat dalam hal pencegahan dan deteksi dini kanker serviks. Bukti efektivitas
pendekatan ini mendorong pemakaian skrining sitologi kanker serviks di seluruh negara maju
dan beberapa negara berkembang. Pendekatan standar skrining kanker serviks dinegara maju
mencakup penggunaan sitologi, biasanya dengan kombinasi pengujian HPV, diikuti kolposkopi,
dan kemudian pengobatan berdasarkan hasil diagnosis kolposkopi. Pendekatan ini
membutuhkan tiga kali kunjungan dengan komunikasi hasil tes setelah masing-masing tahapan.
Sayangnya, karena hambatan-hambatan yang dibahas di atas, keberhasilan pendekatan yang
digunakan di negara maju belum dapat direplikasi di negara-negara berkembang. Program
skrining berbasis sitologi memerlukan infrastruktur yang relatif canggih dan mahal, termasuk
personil yang terlatih, kontrol kualitas yang sudah terbangun, pelatihan staf yang terus berjalan,
laboratorium dilengkapi alat yang memadai, dan sistem rujukan fungsional untuk
mengkomunikasikan hasil tes kepada perempuan-perempuan tersebut. Tes HPV juga mahal dan
berbasis laboratorium, sehingga bila digunakan sebagai tes triase memerlukan langkah
pemrosesan tambahan terhadap sitologi serviks. Perempuan-perempuan tersebut, pada
gilirannya harus kembali menjalani pemeriksaan tindak lanjut jika diindikasikan. Selain itu,
kolposkopi memerlukan tingkat keahlian klinis yang biasanya hanya ditemukan di fasilitas
perawatan kesehatan tersier, itupun kalau fasilitas kesehatan tersebut tersedia, dan histologi
memerlukan infrastruktur laboratorium dan ahli patologi yang terlatih, yang semuanya amat
jarang ditemui di negara-negara miskin.

Sebuah penelitian memperkirakan bahwa 63 persen perempuan di negara berkembang


menerima skrining kaner serviks, dengan rentangan paling tinggi mulai 80 persen hingga 90
persen [11]. Angka perbandingan di negara-negara berkembang adalah 19 persen, mulai dari 1
persen di Banglades, Ethiopia, dan Myanmar, hingga 73 persen di Brazil.
Vaksin HPV yang menjadi pendekatan prevensi kanker servis lainnya juga didiskusikan di
pembahasan yang terpisah.
Prinsip umum – Untuk membuat program skrining kanker serviks fungsional dalam setting
sumber daya rendah harus mempertimbangkan uji skrining dan karakteristiknya dan juga
harus membahas keterbatasan akses layanan kesehatan dan infrastruktur. Karakteristik tes
skrining kanker serviks ideal yang digunakan dalam setting tersebut meliputi:
●Dapat dilakukan di fasilitas kesehatan primer
●Dapat dilakukan oleh perawat atau staff paramedis terlatih, khususnya jika hanya terdapat
sedikit dokter atau jika tidak terdapat dokter sama sekali
●Memerlukan sedikit teknologi dan pelatihan staff dalam pelaksanaan, pemrosesan dan
interpretasi
●Hasil pengujian harus dapat diketauhi dengan cepat (misalnya, meetode skrining visual
seperti inspeksi visual dengan asam asetat) atau harus tersedia dalam beberapa jam dan
hari (misalnya, Hasil pengujian HPV cepat)
Strategi lainnya untuk menghindari ketidakpatuhan pasien pada tindak lanjut (follow up) dan
mengurangi kebutuhan infrastruktur, dan keseluruhan biaya pencegahan kanker serviks.adalah
dengan melakukan skrining dan pengobatan pada kunjungan yang sama, sehingga mengurangi
langkah-langkah kolposkopi dan sampling histologis yang terburu-buru.
Frekuensi skrining dan usia pasien - Wanita di negara maju sering melakukan skrining
kanker serviks tiap satu hingga tiga tahun. Namun, frekuensi skrining ini tidak mungkin
diterapkan pada setting sumber daya rendah. Keputusan mengenai frekuensi skrining harus
dilakukan berdasarkan sumber daya yang ada. Pada program dimana wanita hanya akan
menerima skrining sekali atau dua kali dalam seumur hidup, skrining harus berfokus pada
rentang usia yang dapat mengurangi secara signifikan insiden kanker serviks dan kematian.
Penurunan angka kanker serviks terbesar kelihatannya merupakan hasil dari program skrining
pada wanita berusia 30 sampai 39 tahun. Hal ini didukung oleh analisis subkelompok dari uji
acak di mana lebih dari 80.000 wanita berusia 30 sampai 59 tahun di India diminta untuk
melakukan pemeriksaan IVA atau pendidikan kesehatan kanker serviks [12]. Pada follow-up
tujuh tahun, wanita dalam kelompok skrining menunjukkan penurunan angka insiden standar-
usia kanker serviks yang signifikan (25 persen) dan juga mortalitas (35 persen); Penurunan ini
lebih besar pada wanita berusia 30 sampai 39 tahun (insiden: 38 persen dan mortalitas: 66
persen) dibandingkan dengan rentang usia lainnya (40 sampai 49 tahun: 18 dan 45 persen; 50
sampai 59 tahun: 24 dan 1 persen).
Frekuensi skrining yang optimal dan usia pasien juga telah dikalkuasi menggunakan penelitian
pemodelan, karena ketidaktersediaan data klinis longitudinal. Salah satu penelitan pemodelan
tersebut menggunakan data dari India, Thailand, Kenya, South Africa, dan Peru untuk menguji
skrining kanker serviks sekali seumur hidup pada perempuan-perempuan diusia 35 tahun [13].
Dengan parameter-paremeter tersebut, skrining IVA atau pengujian HPV dapat menurunkan
resiko kanker serviks seumur hidup 25 hingga 36 persen dan menelan biaya kurang dari 500
dolar AS tiap tahun tiap orang. Biaya dari berbagai protocol bervariasi antar satu negara dengan
negara lainnya.
Sebaliknya, dengan menggukan sitologi sebagai metode di Amerika serikat, sebuah penelitian
memperkirakan bahwa dibandingkan tanpa skrining, skrining tiap 3 tahun menelan biaya
22.000 dolar per orang [14]. Peningkatan frekuensi skrining tiap dua tahun menelan biaya
440,000 dolar untuk tiap tahun berikutnya tiap orang, sedangkan skrining tahunan akan
memakan biaya 1.8 juta dolar untuk tiap tahun berikutnya.
Tantangan Pengujian Evaluasi Skrining- Penentuan dilakukannya pengujian skrining
tergantung pada standar acuan yang digunakan. Standar baku pengujian skrining kanker
serviks yang biasanya digunakan adalah biopsi yang terarah kolposkopi (Biopsi pada area yang
ditemukan dugaan kolposkopi). Penggunakan standar ini cenderung melebihkan perkiraan
sensitivatasnya, karena kolsposkopi yang negatif-palsu akan berakibat terabaikannya beberapa
neoplasia serviks. Beberapa penelitian menggunakan biopsi serviks random sebagai standar
acuan [15].
Metode Inspeksi Visual- Menurut sejarahnya, inspeksi visual kanker serviks tanpa magnifikasi
merupakan metode skrining yang pertama kali muncul. Metode ini diperkenalkan di tahun
1930an oleh Schiller, yang menggunalan iodium Lugol [16]. Akan tetapi, tidak berselang lama
kemudian disadari bahwa metode skrining ini memiliki spesifitas yang rendah, seperti yang
diketahui tes Schiller dengan cepat tidak lagi dipakai setelah adanya sitologi serviks.
Berbeda dengan kolposkopi, inspeksi visual serviks dilakukan dengan mata telanjang. Inspeksi
visual juga berarti inspeksi visual langsung atau servikoskopi. Teknik ini kembali muncul
sebagai alat skrining pada setting dengan sumber daya rendah karena meskipun spesifitasnya
terbatas, biayanya murah dan hanya memerlukan sedikit peralatan serta hasilnya dapat
diketahui dengan cepat [17].
Inspeksi visual dapat dilakukan dengan asam asetat atau iodium Lugol (IVIL).
Dokter perawatan primer maupun praktisi kesehatan tingkat menengah dapat dilatih untuk
melakukan inspeksi visual dalam waktu singkat; akan tetapi, karena sifat subyektifitas dari tes
tersebut, maka sulit dilakukan standarisasi kontrol kualitas. Teknik untuk melaksanakan tes
tersebut dibahas secara terpisah.
Inspeksi Visual dengan Asam Asetat— Penggunaan skrining inspeksi visual dengan asam
asetat (IVA) diikuti dengan pengobatan dapat mengurangi angka kanker serviks dibandingkan
tanpa skrining. Hal ini dibuktikan oleh 2 uji acak (randomized trial) berskala besar:
●Dalam sebuah percobaan di India, klinik yang melayani lebih dari 80.000 perempuan
berusia 30-59 tahun di India diminta untuk melakukan salah satu dari skrining IVA atau
edukasi kesehatan kanker serviks [12]. Wanita dengan tes skrining positif, kemudian
diperiksa lebih lanjut dengan kolposkopi dan diarahkan untuk biopsi, dan mereka yang
terindikasi Neoplasia intraepitel serviks (NIS) diberi pengobatan dengan krioterapi
ataupun eksisi. Pada tindak lanjut 7 tahun kemudian, perempuan pada kelompok skrining
versus kelompok kelompok edukasi kesehatan menunjukkan penurunan angka insiden
kanker serviks standar-usia (75 versus 99 per 100.000 orang-tahun) dan tingkat
mortalitas ( 40 versus 57 per 100.000 orang-tahun).
●Demikian pula, percobaan lainnya melibatkan 150.000 perempuan usia 35-64 tahun di
India yang dimasukkan ke salah satu kelompok skrining IVA atau edukasi kesehatan
dilakukan oleh pelayan kesehatan umum [18]. Insiden kanker invasif adalah 26.74 per
100.000 pada kelompok skrining dan 27.49 per 100.000 pada kelompok control. Pada
tindak lanjut 12 tahun kemudian, kelompok skrining menunjukkan pengurangan
mortalitas kanker serviks sebesar 31 persen. Penurunan sebesar 7 persen juga terpantau
di seluruh kasus mortalitas.
Sensitivitas dan spesifisitas IVA di negara-negara berkembang untuk deteksi Neoplasia
intraepitel serviks (NIS) atau kanker serviks telah diuji dibeberapa penelitian observasional
[17,19-28]. Data dengan kualitas tertinggi dilaporkan di sebuah meta-analisis terhadap 11
penelitian dengan lebih dari 58.000 wanita berusia 25 sampai 64 tahun di India dan Afrika.
Setiap wanita menjalani IVA dan tes skrinning lainnya sekali atau lebih; Standar acuan yang
dipakai adalah biopsi yang terarah kolposkopi yang dilakukan pada semua wanita [28]. Untuk
deteksi NIS 2 atau abnormalitas yang lebih parah (NIS 2+), IVA memiliki sensitivitas dan
spesifisitas masing-masing 79 dan 85 persen.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mempublikasikan hasil sebuah proyek percontohan
penggunaan skrining IVA dari tahun 2005 sampai 2009 pada 19.759 wanita di enam negara
Afrika [29]. IVA positif pada 10,1 persen pasien, dan 87,7 persen kasus positif IVA memenuhi
syarat untuk krioterapi.
Tiga puluh sembilan persen wanita menerima pengobatan pada hari yang sama, namun ada
banyak wanita yang terdiagnosa prekursor dan kanker serviks stadium tinggi yang terlewat.
Sebanyak 326 wanita yang terdiagnosis "dicurigai mengalami kanker"; hanya 77 dari 96 yang
diperiksa dan akhirnya diobati, hampir semuanya menggunakan radiasi, dan sisanya wanita
yang tidak mengikuti tindak lanjut.
Selebihnya, skrining IVA menjadi pendekatan sementara untuk membangun budaya dan
infrastruktur skrining di setting dengan sumber daya rendah hingga tersedianya tes human
papillomavirus (HPV) yang terjangkau. Secara alamiah dalam strategi skrining apapun harus
memilih antara memprioritaskan karakteristik pengujian (yaitu, sensitivitas untuk
memaksimalkan precursor yang terdeteksi dan spesifisitas untuk meminimalkan penanganan
berulang) dan masalah programatik seperti cakupan populasi dan prosedur diagnostik dan
perawatan yang diperlukan, biaya, dan kontrol kualitas.
Aspek pendekatan sekali kunjungan yang belum diuji dengan baik merupakan hasil dari uji coba
perawatan di tingkat perawatan primer. Pendekatan sekali kunjungan tidak berarti meniadakan
kebutuhan akan konseling atau penjelasan mengenai tindak lanjut dan pendekatan tersebut
juga menambah beban petugas kesehatan dan sistem kesehatan yang tidak memadai. Evaluasi
dan perencanaan yang cermat perlu dilakukan untuk menyusun rencana dalam
menggabungkan pendekatan ini dengan intervensi kesehatan perempuan dan kesehatan umum
lainnya.
Infeksi vagina atau serviks yang bersamaan dengan Trichomonas vaginalis, Chlamydia
trachomatis, atau Neisseria gonorrhoeae tidak mengubah sensitivitas atau spesifisitas IVA pada
NIS 2+ dalam penelitian cross-sectional terhadap 2.754 wanita di Afrika Selatan [26]. Namun,
terdapat penurunan spesifisitas IVA yang signifikan pada wanita dengan infeksi HIV (human
immunodeficiency virus).
IVA dengan Magnifikasi - Penambahan Magnifikasi ke IVA (IVAM) tidak mampu meningkatkan
hasil deteksi NIS atau kanker serviks melalui IVA dengan mata telanjang. Hal ini dibuktikan oleh
meta-analisis terhadap tiga penelitian yang melibatkan lebih dari 18.000 wanita berusia 25
sampai 65 tahun yang diperiksa dengan IVA dan VIAM; Kolposkopi dengan biopsi serviks
terarah digunakan sebagai standar acuan [30]. Untuk deteksi NIS2 +, tidak ada perbedaan
signifikan dalam sensitivitas dan spesifisitas antara IVA (60 dan 87 persen) dan IVAM (64 dan
87 persen).
Inspeksi Visual dengan Iodium Lugol— IVIL lebih sensitif daripada IVA, tetapi spesifitasnya
sama. Akan tetapi IVIL lebih jarang digunakan disbanding IVA [28,31]. Menurut pengalaman
kami, IVA memungkinkan analisis area displastik yang lebih baik dan lebih detail. Dalam sebuah
meta-analisa dari 11 penelitian yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, wanita-wanita
tersebut diperiksa dengan IVA dan IVIL dalam 10 penelitian [28]. Untuk deteksi NIS 2+,
sensitivitas dan spesifisitas IVIL adalah 91 dan 85 persen (dibandingkan dengan sensitivitas IVA
yaitu 79 dan 85 persen).
TES HPV- Tes Human papillomavirus (HPV) yang digunakan sebagai pemeriksaan tunggal atau
dikombinasikan dengan IVA memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas skrining kanker
serviks di setting dengan sumber daya rendah. Sayangnya, tidak mungkin menggunakan tes
HPV yang saat ini digunakan di negara maju karena mahalnya biaya, infrastruktur yang
dibutuhkan untuk pemrosesan, dan waktu tunggu untuk mengetahui hasil, walaupun saat ini tes
HPV baru dapat memberikan hasil dalam waktu satu jam sedang dikembangkan dan diujikan.
Kemajuan teknologi pengujian HPV sedang terus diteliti dengan tujuan mengatasi hambatan ini.
Misalnya, tes HPV point-of-care (Xpert HPV) telah dikembangkan. Tes ini mengidentifikasi
semua tipe resiko tinggi HPV serta menentukan keberadaan HPV 16 dan kombinasi genotipe
berisiko tinggi lainnya. Hasil tes ini dapat diketahui dalam waktu satu jam dan dikhususkan
untuk memberikan skrining dan pengobatan dalam sekali kunjungan tanpa perlu tes berbasis
laboratorium yang kompleks. Perusahaan tersebut telah menerapkan uji coba tes TB dengan
menggunakan teknologi serupa (GeneXpert) di sub-Sahara Afrika.
Bagian ini fokus pada penggunaan pengujian DNA HPV secara klinis dalam setting dengan
sumber daya rendah. Penggunaan umum tes DNA HPV untuk skrining kanker serviks akan
dibahas secara rinci dan terpisah.
Tes HPV dapat mengurangi mortalitas akibat kanker serviks di negara berkembang dan lebih
baik ketimbang inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) atau sitologi serviks. Hal ini
dibuktikan dalam uji acak terhadap 131.746 wanita berusia 30 sampai 59 tahun di pedesaan
India yang membandingkan skrining sekali seumur hidup dengan satu dari tiga modalitas
skrining dengan perawatan standar; Modalitas skrining mencakup: Uji HPV menggunakan uji
Hybrid Capture II (HC2), sitologi serviks, atau IVA [32]. Pada tindak lanjut delapan tahun
kemudian, wanita yang menerima tes HPV dibanding perawatan standar memiliki penurunan
50 persen pada kanker serviks stadium II yang lebih tinggi (15 banding 33 per 100.000 orang-
tahun) dan mortalitas kanker serviks (13 banding 26 per 100.000 orang-tahun). Untuk
kelompok yang diskrining dengan sitologi atau IVA, tingkat kanker serviks tahap II atau tingkat
yang lebih tinggi (IVA: 32 per 100.000 orang-tahun; sitologi: 23 per 100.000 orang-tahun) atau
mortalitas akibat kanker serviks (IVA: 21 per 100.000 orang-tahun; sitologi: 21 per 100.000
orang-tahun) tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan perawatan standar, namun
secara signifikan lebih tinggi daripada wanita dalam kelompok pengujian HPV. Hasil untuk IVA
ini berbeda dari temuan percobaan di 80.000 wanita yang dijelaskan di atas; penulis
menganggap perbedaan ini karena tingkat pengobatan yang lebih tinggi dalam percobaan
tersebut.
Test HPV dengan Hasil cepat-- Meskipun hasilnya menjanjikan, tes HPV (misalnya HC2) yang
digunakan di negara maju sangat mahal untuk diterapkan di setting dengan sumber daya
rendah (di Amerika Serikat biaya per tes kira-kira 50 sampai 100 dolar), dan memerlukan
waktu satu hari atau lebih untuk menunggu hasilnya [33], sehingga tindak lanjutnya menjadi
hambatan tersendiri bagi pasien. Namun, terdapat data mengenai tes HPV baru (careHPV) yang
terjangkau, memberikan hasil dengan cepat, dan portabel. Setiap tes menelan biaya kurang dari
5 dolar AS, alat pemrosesannya memiliki reagen dan suplai airnya sendiri dan dapat dijalankan
dengan menggunakan baterai, dan hasilnya tersedia dalam 2,5 jam [34]. Tes baru ini dapat
mendeteksi 14 jenis HPV berisiko tinggi, serupa dengan 14 atau 18 jenis yang terdeteksi oleh
tes yang digunakan di negara maju. Namun, tes ini belum tersedia secara komersial.
Hasil tes HPV yang cepat tampaknya juga dapat dilakukan untuk mendeteksi neoplasia serviks
grade tinggi sebagai tes HPV standar, dan lebih baik dari IVA. Sebuah penelitian yang telah
dilakukan untuk menguji tes dengan hasil cepat ini adalah penelitian cross-sectional terhadap
2.888 wanita di China berusia 30 sampai 54 tahun. Setiap wanita diperiksa melalui spesimen
vagina yang dikumpulkan sendiri atau self-collected (untuk pengujian perawatan HPV), IVA, dan
spesimen serviks yang dikumpulkan oleh penyedia layanan atau provider-collected (untuk
perawatan HPV, HC2, dan sitologi serviks); Biopsi yang terarah ke kolposkopi dilakukan pada
semua wanita tersebut dan digunakan sebagai standar acuan. Uji HC2 menunjukkan tidak
adanya perbedaan yang signifikan dalam mendeteksi neoplasi intraepitelial serviks (NIS +)
dibanding perawatan HPV dengan provider-collected, namun lebih baik dari perawatan HPV
dengan self-collected (sensitivitas dan spesifitasnya yaitu HCV: 97 dan 86 persen, HPV dengan
provider-collected: 90 dan 84 persen; HPV dengan self-collected: 81 dan 82 persen). Di sisi lain,
IVA memiliki sensitivitas dan spesifitas yang lebih rendah baik dari perawatan HP dengan
provider-collected maupun self-corrected dalam mendeteksi NIS2 + (sensitivitas dan spesifisitas
IVA: 41 dan 95 persen). Perbandingan langsung antar metode pengumpulan pada perawatan
HPV menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara sampel provider-collected
dan sampel self-collected dalam mendeteksi NIS2 +.
Data ini cukup menjanjikan dan menunjukkan bahwa tes HPV dengan hasil cepat mungkin
cocok untuk skrining dan pengobatan pada sekali kunjungan di hari yang sama untuk
diterapkan di setting sumber daya rendah.
Peningkatan spesifitas tes HPV— Tes HPV memiliki sensitivitas tinggi, namun spesifisitasnya
rendah. Spesifisitas lebih penting dalam setting sumber daya rendah untuk menentukan apakah
hasil tes positif perlu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan atau penanganan segera. Biaya
tambahan juga diperlukan saat wanita dengan tes skrining positif-palsu dirujuk untuk tes yang
mahal seperti kolposkopi. Selain itu, jika pengobatan dilakukan berdasarkan tes skrining,
spesifitas tes yang rendah dapat menyebabkan banyak wanita mendapat pengobatan yang tidak
perlu.
Salah satu pendekatan terhadap spesifitas tes HPV yang rendah adalah mengubah definisi tes
positif. Dalam kasus pengujian HPV, definisi tes positif dapat divariasikan dengan mengubah
ambang positifitas (dinyatakan sebagai rasio emisi cahaya, yaitu unit cahaya relatif atau Relative
Light Unit [RLU] per spesimen positif kontrol [PC]). Sedangkan untuk kebanyakan tes,
peningkatan spesifisitas dapat menghasilkan penurunan sensitivitas. Ini dibuktikan dalam
sebuah penelitian terhadap lebih dari 3.300 wanita di Afrika Selatan dimana deteksi NIS2 +
dengan HC2 pada ambang > 1 RLU / PC (standar umum) memiliki sensitivitas 88 persen dan
spesifisitas 82 persen, sementara ambang batas > 8 RLU / PC memiliki sensitivitas 79 persen
dan spesifisitas 90 persen [36].
Sampel yang dikumpulkan sendiri (Self-collected)- Bagi wanita yang tidak memiliki akses
pemeriksaan spekulum atau yang enggan menjalani pemeriksaan pelvis, sampel vagina yang
dikumpulkan sendiri dapat digunakan untuk pengujian HPV [37]. Wanita tersebut dapat
mengumpulkan sampel dari vagina dengan menggunakan tampon, Dacron atau cotton bud,
sitobrush, atau dengan cervicovaginal lavage. Pengambilan sendiri dapat dilakukan di bawah
pengawasan di klinik atau di rumah. Jika seorang wanita mengumpulkan sampel di rumah,
maka sampel tersebut ditempatkan pada tabung koleksi dengan media pemindai dan dibawa
kembali ke klinik untuk diproses.
Sebuah meta-analisas membandingkan sampel yang dikumpulkan sendiri sampel yang
dikumpulkan oleh klinisi dalam 18 penelitian yang melibatkan 5441 wanita di mana wanita
mengumpulkan sampel vagina untuk keperluan tes HPV [38]. Analisis tersebut menemukan
konkordansi yang tinggi (0,87) antara hasil sampel yang dikumpulkan sendiri dan yang
dikumpulkan oleh klinisi. Studi yang mengevaluasi akseptabilitas melaporkan bahwa wanita
lebih suka pengumpulan sendiri dibandingkan dengan pengambilan sampel oleh klinisi.
Kelemahan analisis ini adalah kebanyakan penelitian yang disertakan dilakukan pada populasi
wanita yang dirujuk dengan penyakit serviks yang telah diketahui atau masih dicurigai; Oleh
karena itu, prevalensi HPV yang tinggi dapat mempengaruhi hasilnya.
Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui metode pengumpulan self-collection
terbaik (misalnya swab, sikat serviks, atau tampon). Pertanyaan ini dibahas dalam meta-analisis
sebelumnya, yang mencakup 12 studi yang sama seperti analisis yang dijelaskan di atas dan
menggunakan sampel HPV yang dikumpulkan oleh klinisi sebagai standar acuan [39]. Pada
tujuh penelitian yang menggunakan Dacron atau cotton bud atau sitobrush, sensitivitas dan
spesifitas gabungan untuk deteksi HPV adalah 78 dan 90 persen. Sedangkan pada tiga penelitian
yang menggunakan tampon, rentang sensitivitas nya adalah 67 sampai 94 persen dan
spesifisitasnya 80 sampai 100 persen. Data ini tidak memungkinkan perbandingan antar
metode.
Tes HPV yang dikumpulkan sendiri (dengan sikat serviks) juga dibandingkan dengan sitologi
serviks yang dilakukan di sebuah klinik dalam sebuah uji acak terhadap 12.330 wanita di
Meksiko [40]. Tingkat penerimaan (akseptabilitas) pengujian HPV yang dikumpulkan sendiri
sangat tinggi; 98 persen wanita dalam kelompok tes HPV setuju untuk mengumpulkan sampel
dan melakukan pengujian, sementara 89 persen dari mereka yang dijadwalkan untuk menjalani
tes Pap juga melakukannya. Uji HPV memiliki sensitivitas yang lebih tinggi untuk mendeteksi
NIS2 + (sensitivitas relatif 2,9, 95% CI 2,0-4,1) dan untuk kanker invasif (3,6, CI 95% 1,6-7,9).
Kelemahan dari tes HPV adalah bahwa banyaknya wanita yang menjalani kolposkopi dan pada
akhirnya memiliki temuan negatif: 28 persen pada kelompok pengujian HPV berbanding
dengan nol atau tidak ada sama sekali pada kelompok sitologi. Untuk NIS2 +, nilai prediksi
positif pengujian HPV adalah 12,2 persen berbanding 90,5 persen untuk sitologi.

Dengan data tersebut, Self-collection nampaknya merupakan metode yang berguna untuk
pengujian HPV pada wanita yang tidak memiliki akses pemeriksaan spekulum.
Kombinasi dua tes skrining - Menggabungkan dua tes skrining (misalnya, inspeksi visual
dengan asam asetat [IVA] dan pengujian human papillomavirus [HPV]) adalah salah satu
pendekatan untuk menyeimbangkan kelebihan dan kelemahan setiap tes. Dua strategi
pengujian ini dapat berupa: aditif, yaitu dengan skrining-positif didefinisikan sebagai hasil
abnormal pada kedua tes; atau sekuensial/berurutan, di mana hanya wanita dengan hasil
abnormal pada tes pertama menjalani tes kedua, dan hanya mereka yang juga positif pada tes
kedua saja yang akan mendapat pengobatan [41]. Tujuannya adalah untuk memaksimalkan
kinerja skrining dengan menggabungkan tes dengan sensitivitas tinggi (misalnya, VIA) dengan
tes lain yang memiliki spesifisitas tinggi (misalnya, pengujian HPV dengan penggunaan ambang
batas yang tinggi untuk mendefinisikan positif).
Penggunaan pendekatan dua tes untuk skrining dapat meningkatkan spesifisitas, namun
menurunkan sensitivitas menurut penelitian observasional prospektif terhadap 1.266 wanita
Afrika Selatan berusia 35 sampai 65 tahun. Setiap wanita menjalani skrining dengan tes HPV
Hybrid Capture I dan IVA; IVA dengan Magnifikasi (IVAM), servikografi (foto serviks setelah
pemberian asam asetat), dan sitologi juga dilakukan. Wanita dengan hasil abnormal pada salah
satu tes skrining tersebut menjalani kolposkopi pada kunjungan tindak lanjut [42]. Berdasarkan
hasil penelitian, penggunaan salah satu dari IVA atau HPV saja dapat menyebabkan terlewatnya
diagnosis neoplasia intraepitel serviks (NIS2 +) pada 6 atau 8 per 1000 wanita yang diskrining,
sementara 180 atau 131 per 1000 wanita menerima pengobatan yang tidak perlu. Penggunaan
IVA yang berurutan dengan HPV setelahnya akan menyebabkan terlewatnya diagnosis NIS2 +
pada 13 per 1000 wanita yang diskrining, sementara 41 per 1000 menerima perawatan yang
tidak perlu.
Melihat hasil ini, nampaknya kombinasi dari dua test lebih utama ketimbang hanya
mengandalkan satu tes saja. Jumlah diagnosa yang terlewatkan cukup besar, tetapi tidak
melebihi besarnya penurunan jumlah perempuan yang menerima pengobatan tidak perlu.
Jarang ditemui komplikasi pada krioterapi sebagai metode yang paling banyak digunakan untuk
NIS di negara berkembang. Namun, pengobatan yang tidak perlu dapat menghabiskan biaya,
yang pada gilirannya mungkin dapat menurunkan jumlah wanita yang bisa di skrining dalam
sebuah program tertentu.
PROTOKOL PERIKSA DAN OBATI- Tes skrining yang diikuti pengobatan hasil positif disebut
pada kunjungan yang sama disebut sebagai protokol "Periksa dan Obati" atau "lihat dan obati".
Pendekatan ini hanya mungkin dilakukan dengan tes skrining yang memberikan hasil langsung
yang cepat (misalnya, inspeksi visual, hasil tes human papillomavirus [HPV].
Protokol sekali kunjungan dapat mengurangi kesulitan komunikasi dalam penyampaian dan
penafsiran hasil tertulis pada pasien dan juga masalah ketidakpatuhan terhadap tindak lanjut,
yang berbeda dengan protokol yang memerlukan dua kali kunjungan (Skrining diikuti dengan
pengobatan) atau tiga kali kunjungan (Skrining diikuti oleh kolposkopi kemudian pengobatan).
Metode pengobatan - Metode pengobatan yang lebih sering digunakan di setting dengan
sumber daya rendah adalah krioterapi ketimbang prosedur eksisi bedah jarak jauh (LEEP) atau
konisasi pisau dingin. Krioterapi umumnya lebih mudah dan murah untuk dilakukan pada
tingkat perawatan primer. Perangkat genggam portable untuk krioterapi juga tersedia.
Krioterapi juga tidak memerlukan anestesi lokal dan komplikasi seperti kerusakan organ yang
bersebelahan cenderung jarang terjadi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengevaluasi
krioterapi di dalam sebuah tinjauan sistematis (systematic review) dan merekomendasikan
krioterapi dalam setting yang tidak memungkinkan LEEP [43]. Begitu juga, WHO lebih
merekomendasikan LEEP daripada krioterapi pada wanita yang positif human
immunodeficiency virus (HIV). Keuntungan utama dari krioterapi adalah prosedur ini dapat
dilakukan oleh seorang yang bukan klinisi di tempat perawatan primer, dan juga cocok untuk
pendekatan "Periksa dan Obati". Metode pengobatan prekursor kanker serviks ini efektif dan
mungkin juga memudahkan terjangkaunya target populasi wanita yang lebih besar di setting
dengan sumber daya rendah.
Protokol Sekali Kunjungan— Kemampuan protokol periksa dan obati, untuk mengurangi
tingkat neoplasia intraepitel serviks (NIS) atau kanker grade tinggi khususnya dengan
penggunaan tes HPV ditunjukkan dalam uji acak terhadap 6.555 wanita yang sebelumnya tidak
diskrining di Afrika Selatan, berusia 35 hingga 65 tahun [44]. Semua wanita tersebut diperiksa
dengan pemeriksaan visual melalui uji HPV, uji HPV hibrid Capture II (HC2), dan sitologi dan
dimasukkan ke salah satu dari tiga kelompok: kelompok IVA skrining-positif diikuti dengan
krioterapi, kelompok HPV positif diikuti krioterapi, atau kelompok tanpa pemeriksaan atau
perawatan tindak lanjut selama enam bulan. Semua wanita tersebut juga menjalani tes human
immunodeficiency virus (HIV). Pada tindak lanjut enam bulan, kolposkopi yang terarah biopsi
dilakukan pada semua wanita dan NIS2 + ditemukan lebih lebih rendah secara signifikan pada
wanita yang termasuk dalam kelompok IVA dan HPV dan kelompok perlakuan (2,2 dan 0,8
persen) dibandingkan kelompok tertunda (3,6 persen). Perbedaan ini ada pada subset sample
dari 2708 wanita yang diperiksa pada 12 bulan, dengan tingkat NIS2 + untuk IVA dan HPV
dibanding dengan kelompok tertunda adalah 2,9 dan 1,4 persen berbanding 5,4 persen. Pada
pemeriksaan 36 bulan, berdasarkan data dari 3639 wanita, tingkat kumulatif deteksi NIS2 +
ditemukan juga lebih rendah pada kelompok IVA dan kelompok perlakuan (3,8 persen) dan
HPV dan kelompok perlakuan (1,5 persen) dibandingkan pada kelompok tertunda (5,6 persen)
[45].
Pengobatan yang didasarkan pada hasil tes skrining dengan spesifisitas rendah, seperti tes IVA
atau tes HPV akan menyebabkan beberapa wanita menerima pengobatan yang tidak perlu.
Namun, krioterapi yang menjadi pengobatan pilihan di negara berkembang memiliki tingkat
komplikasi yang rendah [46,47]. Dalam percobaan ini, efek samping yang dilaporkan oleh
wanita yang menjalani krioterapi adalah keputihan (78 persen), sakit perut (30 persen), dan
perdarahan abnormal (14 persen); hanya satu wanita yang mengalami pendarahan yang
membutuhkan rawat inap [44]. Wanita yang menjalani krioterapi melakukan kunjungan yang
tidak terjadwal lebih banyak selama masa studi dibandingkan mereka yang tidak menjalani
krioterapi (1,0 berbanding 0,5 persen).
Penelitian ini lemah pada protokol yang digunakan, karena skrining dilanjutkan dengan
pengobatan dua sampai enam hari kemudian pada kelompok perlakuan, sementara pendekatan
sekali kunjungan pada umumnya merupakan komponen protokol periksa dan obati yang
penting. Faktanya menunjukkan 82 wanita tidak kembali setelah kunjungan skrining awal.
Pada proyek percontohan WHO dari tahun 2005 sampai 2019 pada 19.759 wanita di negara-
negara afrika yang menjalani skrining IVA diikuti dengan pengobatan kreoterapi jika terbukti
positif, 39.1 persen diantaranya diperiksa dan diobati pada hari yang sama [29].
Dari segi biaya protokol periksa dan obati dalam sekali kunjungan juga lebih efektif dibanding
protokol dua kali kunjungan atau lebih. Data yang berkaitan dengan efektivitas biaya tersebut
banyak didapatkan dari pemodelan matematik ketimbang studi klinis. Dalam sebuah laporan
berdasarkan kohort teoritis dari data wanita-wanita kulit hitam afrika selatan berusia 30 tahun
yang sebelumnya belum pernah menjalani skrining, sekali kunjungan dengan skrining-positif
IVA atau tes HPV di ikuti dengan kreoterapi memakan biaya yang lebih murah ketimbang
protokol dua kali kunjungan dengan HPV atau sitology (biaya seumur hidup tiap wanita adalah
39-41 dolar AS dibanding 42-44 dolar AS [41].
HO telah menerbitkan panduan pendekatan periksa dan obati untuk setting klinis [48]. Secara
umum, menurut panduan tersebut, penggunaan tes HPV sebagai tes skrining lebih diutamakan
jika memang memungkinkan. Tetapi jika tes HPV tidak tersedia, IVA lebih disarankan dilakukan
ketimbang sitologi serviks diikuti dengan kolposkopi (dengan atau tanpa biopsi). Tes HPV
mungkin dikombinasikan dengan IVA (algorithm 1).
Protokol dua kali kunjungan - Protokol dua kali kunjungan biasanya mencakup kunjungan
pertama dengan sitologi serviks yang dilanjutkan dengan kunjungan kedua dengan kolposkopi
dan pengobatan berdasarkan kesimpulan kolposkopi. Overtreatment (pengobatan yang
berlebihan) yaitu pengobatan lesi yang sebenarnya grade rendah, juga perlu menjadi perhatian
serius seperti pada protokol sekali kunjungan.
Resiko overtreatment NIS nampaknya meningkat ketika terdapat perbedaan antara kesan
sitologi serviks dan kolposkopi dan dengan pengobatan dimana ada kemunculan kolposkopi
grade rendah. Sebuah meta-analisa telah dilakukan pada 13 penelitian yang melibatban 4.611
perempuan yang ditangani dengan pendekatan lihat dan obati, sitologi serviks, dan kolposkopi
dan pengobatan (dengan LEEP) [49]. Analisa ini relevan utamanya pada setting dengan sumber
daya yang tinggi, karena analisa tersebut menguji penggunaan sitologi serviks dan kolposkopi,
yang mungkin tidak tersedia di setting dengan sumber daya rendah dan LEEP sendiri
merupakan metode pengobatan yang tidak diutamakan pada setting sumber daya rendah
karena alasan biaya dan resiko komplikasi. Berikut hasil analisis tingkat overtreatment
kombinasi sitologi dan kesan kolposkopi yang berbeda: sitologi grade tinggi dan kesan
kolposkopi grade tinggi (11,6 persen), grade tinggi dan grade rendah (29,3 persen), grade
rendah dan grade tinggi (46,4 persen), dan grade rendah dan grade tinggi (72,9 persen).
Tingkat untuk wanita dengan kesan sitologi dan kolposkopi grade tinggi sebanding dengan
tingkat overtreatment (11 sampai 35 persen) untuk protokol tiga kali kunjungan (sitologi,
kolposkopi dan biopsi, kemudian pengobatan). Sehingga, bagi wanita dengan adanya perbedaan
antara hasil sitologi serviks dan kesan kolposkopi, dengan kesan kolposkopi grade rendah, dan
wanita yang mematuhi protokol tiga kali kunjungan, biopsi dan pengobatan hanya untuk hasil
histologis lesi intraepitel serviks 2 atau 3 adalah sebuah langkah yang bijaksana. Hal ini
merupakan pilihan yang tepat bagi wanita yang memiliki rencana untuk hamil di kemudian hari
dan ketika metode perawatan yang dipilih adalah LEEP atau konisasi pisau dingin, karena
metode ini mungkin dapat menimbulkan dampak obstetrik yang merugikan.
REFERENCES

1. Jemal A, Bray F, Center MM, et al. Global cancer statistics. CA Cancer J Clin 2011; 61:69.
2. Ferlay J, Soerjomataram I, Ervik M, Dikshit R, Eser S, Mathers C et al. GLOBOCAN 2012 V
1.0 Cancer incidence and Mortality Worldwide: IARC CancerBase no. 11. Lyon, France. Inte
rnational Agency for Research on Cancer; 2013. Available at http://globocan.iarc.fr.
3. Quinn M, Babb P, Jones J, Allen E. Effect of screening on incidence of and mortality from
cancer of cervix in England: evaluation based on routinely collected statistics. BMJ 1999;
318:904.
4. Willoughby BJ, Faulkner K, Stamp EC, Whitaker CJ. A descriptive study of the decline in
cervical screening coverage rates in the North East and Yorkshire and the Humber regions
of the UK from 1995 to 2005. J Public Health (Oxf) 2006; 28:355.
5. Ferlay J, Soerjomataram I, Ervik M, et al. GLOBOCAN 2012 v1.0, Cancer Incidence and Mo
rtality Worldwide: IARC CancerBase No. 11. Lyon, France: International Agency for Researc
h on Cancer; 2013. http://globocan.iarc.fr.
6. Denny L. Control of cancer of the cervix in low- and middle-income countries. Ann Surg
Oncol 2015; 22:728.
7. http://www.infoplease.com/ipa/A0933893.html (Accessed on April 21, 2011).
8. The burden of disease and mortality by condition: Data, Methoda and Results for the year 20
01 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK11808/ (Accessed on April 21, 2011).
9. http://www.infoplease.com/science/health/expenditures-country-2006.html (Accessed on Apr
il 21, 2011).
10. Cancer Incidence in Five Continents - Volume VIII. In: IARC Scientific Publications no. 155,
DM Parkin, SL Whelan, J Ferlay, L Teppo, DB Thomas (Eds), International Agencey for Res
earch on Cancer, Lyon, France 2002.
11. Gakidou E, Nordhagen S, Obermeyer Z. Coverage of cervical cancer screening in 57
countries: low average levels and large inequalities. PLoS Med 2008; 5:e132.
12. Sankaranarayanan R, Esmy PO, Rajkumar R, et al. Effect of visual screening on cervical
cancer incidence and mortality in Tamil Nadu, India: a cluster-randomised trial. Lancet 2007;
370:398.
13. Goldie SJ, Gaffikin L, Goldhaber-Fiebert JD, et al. Cost-effectiveness of cervical-cancer
screening in five developing countries. N Engl J Med 2005; 353:2158.
14. Screening for cervical cancer. In: Common screening tests, Eddy DM (Ed), American Colleg
e of Physicians, Philadelphia 1991. p.255.
15. Pretorius RG, Bao YP, Belinson JL, et al. Inappropriate gold standard bias in cervical cancer
screening studies. Int J Cancer 2007; 121:2218.
16. Schiller W. Leucoplakia, leucokeratosis, and carcinoma of the cervix. Am J Obstet Gynecol
1938; 35:17.
17. Sankaranarayanan R, Shyamalakumary B, Wesley R, et al. Visual inspection with acetic
acid in the early detection of cervical cancer and precursors. Int J Cancer 1999; 80:161.
18. Shastri SS, Mittra I, Mishra G, et al. Effect of visual inspection with acetic acid (VIA)
screening by primary health workers on cervical cancer mortality: A cluster randomized
controlled trial in Mumbai, India (abstract). J Clin Oncol 2013; 31:2.
19. Cecchini S, Bonardi R, Mazzotta A, et al. Testing cervicography and cervicoscopy as
screening tests for cervical cancer. Tumori 1993; 79:22.
20. Ottaviano M, La Torre P. Examination of the cervix with the naked eye using acetic acid test.
Am J Obstet Gynecol 1982; 143:139.
21. Megevand E, Denny L, Dehaeck K, et al. Acetic acid visualization of the cervix: an
alternative to cytologic screening. Obstet Gynecol 1996; 88:383.
22. Sankaranarayanan R, Wesley R, Somanathan T, et al. Visual inspection of the uterine cervix
after the application of acetic acid in the detection of cervical carcinoma and its precursors.
Cancer 1998; 83:2150.
23. Visual inspection with acetic acid for cervical-cancer screening: test qualities in a primary-
care setting. University of Zimbabwe/JHPIEGO Cervical Cancer Project. Lancet 1999;
353:869.
24. Denny L, Kuhn L, Pollack A, et al. Evaluation of alternative methods of cervical cancer
screening for resource-poor settings. Cancer 2000; 89:826.
25. Belinson JL, Pretorius RG, Zhang WH, et al. Cervical cancer screening by simple visual
inspection after acetic acid. Obstet Gynecol 2001; 98:441.
26. Denny L, Kuhn L, Pollack A, Wright TC Jr. Direct visual inspection for cervical cancer
screening: an analysis of factors influencing test performance. Cancer 2002; 94:1699.
27. Cronjé HS, Parham GP, Cooreman BF, et al. A comparison of four screening methods for
cervical neoplasia in a developing country. Am J Obstet Gynecol 2003; 188:395.
28. Arbyn M, Sankaranarayanan R, Muwonge R, et al. Pooled analysis of the accuracy of five
cervical cancer screening tests assessed in eleven studies in Africa and India. Int J Cancer
2008; 123:153.
29. Prevention of cervical cancer through screening using visual inspection with acetic acid (VIA
) and treatment with cryotherapy. World Health Organization; International Agency for Resea
rch on Cancer, Geneva, 2012.
30. Sankaranarayanan R, Shastri SS, Basu P, et al. The role of low-level magnification in visual
inspection with acetic acid for the early detection of cervical neoplasia. Cancer Detect Prev
2004; 28:345.
31. Sangwa-Lugoma G, Mahmud S, Nasr SH, et al. Visual inspection as a cervical cancer
screening method in a primary health care setting in Africa. Int J Cancer 2006; 119:1389.
32. Sankaranarayanan R, Nene BM, Shastri SS, et al. HPV screening for cervical cancer in rural
India. N Engl J Med 2009; 360:1385.
33. Crum C, Harvard University, 2009, personal communication.
34. http://www1.qiagen.com/about/pressreleases/PressReleaseView.aspx?PressReleaseID=21
7 (Accessed on April 21, 2011).
35. Qiao YL, Sellors JW, Eder PS, et al. A new HPV-DNA test for cervical-cancer screening in
developing regions: a cross-sectional study of clinical accuracy in rural China. Lancet Oncol
2008; 9:929.
36. Kuhn L, Denny L, Pollack A, et al. Human papillomavirus DNA testing for cervical cancer
screening in low-resource settings. J Natl Cancer Inst 2000; 92:818.
37. Gök M, Heideman DA, van Kemenade FJ, et al. HPV testing on self collected cervicovaginal
lavage specimens as screening method for women who do not attend cervical screening:
cohort study. BMJ 2010; 340:c1040.
38. Petignat P, Faltin DL, Bruchim I, et al. Are self-collected samples comparable to physician-
collected cervical specimens for human papillomavirus DNA testing? A systematic review
and meta-analysis. Gynecol Oncol 2007; 105:530.
39. Ogilvie GS, Patrick DM, Schulzer M, et al. Diagnostic accuracy of self collected vaginal
specimens for human papillomavirus compared to clinician collected human papillomavirus
specimens: a meta-analysis. Sex Transm Infect 2005; 81:207.
40. Lazcano-Ponce E, Lorincz AT, Cruz-Valdez A, et al. Self-collection of vaginal specimens for
human papillomavirus testing in cervical cancer prevention (MARCH): a community-based
randomised controlled trial. Lancet 2011; 378:1868.
41. Goldie SJ, Kuhn L, Denny L, et al. Policy analysis of cervical cancer screening strategies in
low-resource settings: clinical benefits and cost-effectiveness. JAMA 2001; 285:3107.
42. Denny L, Kuhn L, Risi L, et al. Two-stage cervical cancer screening: an alternative for
resource-poor settings. Am J Obstet Gynecol 2000; 183:383.
43. Santesso N, Schünemann H, Blumenthal P, et al. World Health Organization Guidelines:
Use of cryotherapy for cervical intraepithelial neoplasia. Int J Gynaecol Obstet 2012; 118:97.
44. Denny L, Kuhn L, De Souza M, et al. Screen-and-treat approaches for cervical cancer
prevention in low-resource settings: a randomized controlled trial. JAMA 2005; 294:2173.
45. Denny L, Kuhn L, Hu CC, et al. Human papillomavirus-based cervical cancer prevention:
long-term results of a randomized screening trial. J Natl Cancer Inst 2010; 102:1557.
46. Gaffikin L, Blumenthal PD, Emerson M, et al. Safety, acceptability, and feasibility of a single-
visit approach to cervical-cancer prevention in rural Thailand: a demonstration project.
Lancet 2003; 361:814.
47. Sankaranarayanan R, Rajkumar R, Esmy PO, et al. Effectiveness, safety and acceptability
of 'see and treat' with cryotherapy by nurses in a cervical screening study in India. Br J
Cancer 2007; 96:738.
48. http://www.who.int/reproductivehealth/publications/cancers/screening_and_treatment_of_pre
cancerous_lesions/en/index.html (Accessed on December 13, 2013).
49. Ebisch RM, Rovers MM, Bosgraaf RP, et al. Evidence supporting see-and-treat
management of cervical intraepithelial neoplasia: a systematic review and meta-analysis.
BJOG 2016; 123:59.

Anda mungkin juga menyukai