Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Geologi Pulau Jawa telah banyak dipelajari dan bahkan hampir keseluruhan wilayah

telah dipetakan secara sistematik. Penyelidikan geologi, baik untuk kepentingan eksplorasi

migas, mineral ataupun untuk kepentingan ilmiah telah banyak dilakukan. Namun demikian

pemahaman secara menyeluruh tentang geologi Pulau Jawa masih terbatas. Banyak aspek yang

masih perlu dikaji tentang perkembangan Pulau Jawa, baik masalah stratigrafi, sedimentasi dan

perkembangan cekungan maupun tektonik dan volkanisme.

Secara khusus Pegunungan Serayu Selatan merupakan rangkaian pegunungan yang

termasuk bagian dari Cekungan Jawa Tengah Selatan yang terletak di bagian selatan

provinsi Jawa Tengah. Pegunungan ini merupakan geoantiklin yang membentang dari barat ke

timur sepanjang 100 kilometer dan terbagi menjadi dua bagian yang dipisahkan oleh Lembah

Jatilawang yaitu bagian barat dan timur. Pegunungan Serayu Selatan merupakan kulminasi dari

geoantiklin di Jawa. Pegunungan Serayu Selatan mempunyai sumbu mengarah Barat-Timur.

(Van Bemmelen, 1949). Pegunungan ini mencakup Kabupaten Cilacap Utara dan Selatan,

Kabupaten Banjarnegara Selatan, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo Selatan, dan

Kabupaten Purworejo.

Cekungan Jawa Tengah Selatan secara fisiografi terdiri dari beberapa tinggian dan

rendahan yang pembentukannya dikontrol oleh proses endogenik maupun proses eksogenik.

Salah astunya adalah Rendahan Kebumen dan Tinggian Kebumen. Dan terdapat sungai besar

yang melewati daerag pemetaan yaitu Sungai Luk Ulo.

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 1
Pegunungan Serayu Selatan yang membentang di sisi utara Kabupaten Kebumen, yang

melingkupi wilayah kecamatan Karanggayam, Karangsambung, dan Sadang serta sebagian

Kecamatan Pejagoan dan Alian, tersingkap bebatuan yang demikian penting artinya dalam ilmu

kebumian. Berbagai batuan sedimen (endapan) dengan lapisan-lapisan yang kadang nyaris

vertikal berjejeran dengan batuan malihan (metamorf) dan bongkahan-bongkahan batuan beku

yang terlampar dalam wilayah tak terlalu luas. Normalnya pemandangan seperti ini hampir

mustahil dijumpai.

Secara regional daerah pemetaan terdiri dari formasi yaitu formasi : Formasi Halang

(Tmph), Anggota Breksi Formasi Halang (Tmpb), dan Endapan Aluvial (Qa)

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini adalah untuk melakukan pemetaan geologi berdasarkan pada

data permukaan yang berupa data primer dan data sekunder pada daerah penelitian. Hal tersebut

mencakup pemerian data geologi yang tersingkap di permukaan bumi berupa geomorfologi,

pengelompokan batuan menjadi satuan batuan maupun susunan stratigrafi, struktur geologi,

sejarah geologi dan geologi lingkungan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat peta geologi (detail) pada daerah

penelitian dengan skala 1 : 25.000. Peta tersebut disajikan dalam bentuk Peta Lokasi

Pengamatan, Peta Geomorfologi, Peta Geologi dan naskah laporan akhir yang memuat data

geologi meliputi Geomorfologi, Stratigrafi, Struktur Geologi, Sejarah Geologi dan Geologi Tata

Lingkungan. Peta tersebut diharapkan dapat digunakan untuk kepentingan keilmuan maupun

kepentingan pengembangan sumber daya manusia dan sumber daya alam.

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 2
1.2 Batasan Masalah.

Berdasarkan maksud dan tujuan dari penelitian dalam Tugas Akhir tipe 1 ini maka terdapat

beberapa aspek yang menjadi fokus permasalahan utama yang akan dikaji dalam penelitian ini.

Berikut merupakan rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kondisi bentang alam yang ada pada daerah penelitian, dan secara morfometri

serta genesa dapat dibagi menjadi berapa satuan bentang alam?

2. Pada daerah penelitian terdapat berapa macam variasi litologi yang dapat dikelompokan

berdasarkan konsep litostratigrafi serta bagaimana hubungan dari masing-masing satuan

batuan tersebut?

3. Bagaimana Untuk Mengetahui Kondisi Geologi Daerah Penilitian, Geomorfologi Daerah

Penilitian dan Stratigrafi Daerah Penelitian.

1.3 Letak dan Luas Daerah Penelitian

Secara administratif daerah penelitian termasuk dalam 5 kecamatan yaitu: kecamatan

Sampang, kecamatan kebasen, kecamatan banyumas, kecamatan rawalo dan kecamatan patikeraa.

Secara keseluruhan termasuk dalam kabupaten Banyumas dan kaupaten Cilacap Provinsi Jawa

Tengah.

Secara astronomis daerah penelitian terletak pada koordinat X: 302000,339-308000m Y:

9161400,538-9170400,538m dengan luas daerah penelitian ± 54 km2 (9 km x 6 km). Berdasarkan

Indeks Peta Rupa Bumi Indonesia terbitan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional

(BAKOSURTANAL), daerah penelitian termasuk ke dalam Rawolo (1308-334) dan Banyumas (

1308-343), dengan skala 1 : 25.000.

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 3
1.4. Kesampaian Daerah Penelitian

Daerah penelitian dapat dicapai dari kota Yogyakarta ke arah barat yang dapat ditempuh

dengan dua jalur dengan menggunakan kendaraan bermotor baik kendaraan roda empat maupun

roda dua dengan kondisi jalan yang baik. Untuk jalur utara, rute yang ditempuh yaitu : Kota

Yogyakarta – Wates - Kutoarjo – Purworejo - Kota Kebumen- banyumas dengan jarak tempuh ±

115 Km selama ± 3.5 jam. Untuk jalur selatan rute yang ditempuh yaitu : Kota Yogyakarta -

Wates - Grabag - Mirit - Ambal - Kota kebumen - Sampang, dengan jarak tempuh ± 127 Km

selama ± 4 jam. Lokasi pengamatan dapat dicapai dengan kendaraan bermotor roda dua kecuali

dibeberapa tempat yang kebanyakan hanya bisa detempuh dengan jalan kaki.

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 4
BAB II

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah cara untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan geologi

yang dihadapi baik di lapangan maupun di studio atau laboratorium. Secara umum metode

penelitian yang dilakukan peneliti dibagi menjadi dua yakni metode penelitian lapangan dan

metode penelitian studio dan laboratorium. Dalam hal ini metode yang digunakan meliputi

tahapan penelitian, cara pelaksanaan, alat yang digunakan, pengumpulan data, analisis data

lapangan maupun analisis studio dan laboratorium. Analisis studio dan laboratorium meliputi

analisis geomorfologi, paleontologi, petrografi, stratigrafi dan struktur yang dijumpai di lokasi

penelitian. Sebelum membahas kedua metode tersebut akan diuraikan terlebih dahulu mengenai

tahapan pemetaan.

2.1 Metode Penelitian Lapangan.

Metode penelitian yang digunakan dalam menentukan kondisi geologi daerah penelitian

adalah metode pemetaan geologi permukaan (geological surface mapping) dengan pengamatan

langsung di lapangan pada kenampakan dan kondisi geologi yang tersingkap di permukaan. Data

geologi tersebut meliputi jenis batuan, warna, tekstur, struktur, komposisi batuan, kedudukan

batuan, bentang alam, batas kontak dan berbagai aspek geologi yang menyertainya. Dalam

metode penelitian ini peneliti menerapkan konsep “The Present is The Key to The Past”, yakni

dengan memperhatikan data dan kondisi geologi pada masa kini untuk mengetahui kondisi

geologi pada masa lampau yang ada di daerah penelitian.

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 5
Dalam melakukan pengamatan dan penentuan arah lintasan, memperhatikan kondisi

litologi secara umum yang didapat dari data sekunder maupun studi pustaka. Untuk batuan yang

mempunyai kedudukan atau pun perlapisan, jalur lintasan diusahakan tegak lurus terhadap arah

perlapisan batuan supaya memperoleh variasi batuan dan gejala struktur geologi. Selain itu

dengan penelusuran sungai dimaksudkan agar menemukan singkapan batuan dengan kondisi

yang lebih baik, segar dan variasi litologinya terlihat jelas. Pengambilan contoh batuan dilakukan

pada singkapan yang segar, tidak lapuk, tidak teroksidasi, dapat mewakili tiap litologi di

lapangan dan layak sebagai sampel untuk dilakukan analisa lebih lanjut di laboratorium.

Pengambilan contoh batuan (sampel) bertujuan untuk melakukan penelitian laboratorium agar

mendapatkan data yang lebih akurat seperti petrofisik batuan, petrografi. Data yang lebih detail

tersebut akan memudahkan peneliti untuk menginterpretasi secara lanjut kondisi geologi pada

daerah penelitian maupun diskusi dengan dosen pembimbing.

2.2 Metode Penelitian Laboratorium dan Studio.

Metode penelitian laboratorium dan studio adalah kegiatan analisa data yang telah

didapat di lapangan maupun analisis peta topografi, dengan mengacu pada konsep–konsep dari

para peneliti terdahulu yang merupakan konsep dasar dalam ilmu geologi. Analisis yang

dilakukan di laboratorium maupun studio dilakukan untuk mendukung dalam pembuatan peta

geomorfologi dan peta geologi. Dalam pembuatan peta geomorfologi hanya dilakukan analisis

studio, sedangkan pembuatan peta geologi kedua analisis baik analisis studio dan analisis

laboratorium.

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 6
Analisis laboratorium meliputi : analisis sayatan petrografi yang akan dilakukan pada saat

penyusunan Tugas Akhir Tipe I Tahap II, untuk petrografi secara umum menggunakan

klasifikasi Pettijohn (1975), sedangkan analisis studio meliputi : analisis foto, gambar, sketsa,

penampang, dan peta punyusung naskah tugas akhir.

2.3. Tahapan Penelitian.

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dalam suatu sistem alur yang telah ditetapkan oleh

jurusan maupun pihak kampus yang penulis rangkum secara sistematis. Secara umum penelitian

ini meliputi input, proses dan hasil. Alur penelitian ini secara umum di bagi menjadi dua tahap

yang terdiri dari Tugas Akhir 1 dan Tugas Akhir 2. Tugas Akhir 1 meliputi input yang terdiri dari

pendahuluan (pengurusan administrasi, pembuatan peta dasar, pengurusan perizinan, studi

pustaka) dan reconnaissance (observasi lapangan) yang bertujuan untuk mengetahui kondisi

geologi awal daerah penelitian secara umum. Proses ini dimulai dari pengurusan surat izin ke

Pemda Provinsi Jawa Tengah , Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap, Kecamatan

Banyumas dan sekitarnya. Setelah itu melakukan studi pustaka, digitasi peta, dan survey

pendahuluan. Dalam penentuan keadaan geologi secara umum pada daerah penelitian digunakan

metode pemetaan geologi permukaan dengan pengamatan, pengukuran kedudukan perlapisan

batuan, pengambilan contoh batuan, dan sketsa langsung di lapangan. Dalam melakukan

pengamatan, dilakukan juga pengambilan data selengkap-lengkapnya dengan melintasi daerah-

daerah yang diduga dapat dijumpai singkapan. Setelah itu dilakukan perhitungan morfometri,

interpretasi awal daerah penelitian dan penyusunan laporan Usulan Tugas Akhir 1 yang hasilnya

berupa peta lokasi pengamatan survey pendahuluan, peta geomorfologi sementara, peta geologi

sementara dan laporan Tugas Akhir 1.

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 7
Tahapan selanjutnya merupakan pemetaan detail dan disertai penelitian mengenai

masalah khusus pada daerah penelitian yang dikerjakan pada Tugas Akhir 2. Secara umum pada

tahapan tersebut terdiri dari input berupa pemetaan rinci (pengambilan data lapangan secara

detail, pengukuran unsur-unsur struktur geologi dan pengambilan contoh batuan), pekerjaan

studio (identifikasi data geomorfologi, stratigrafi dan data struktur geologi) dan pekerjaan

laboratorium (sayatan petrografi). Proses dari Tugas Akhir 2 ini meliputi penelitian mengenai

kondisi geologi yang lebih detail, sortasi lokasi pengamatan, analisis geomorfologi, stratigrafi

dan struktur geologi, pengukuran ketebalan dan perhitungan volume komposisi batuan,

pengelompokan satuan batuan dan sayatan petrografi serta penyusunan laporan Tugas Akhir

2.Secara lebih rinci tahapan pengerjaan tugas akhir dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2.1 Skema alur penelitian tugas akhir.

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 8
2.3.1. Tahap Persiapan.

Tahap ini merupakan tahap paling awal dalam melakukan penelitian, antara lain meliputi:

a. Pengajuan lembar peta topografi daerah penelitian yang akan dipetakan.

b. Pengajuan permohonan pembimbingan dari Ketua Jurusan Teknik Geologi kepada Dosen

Pembimbing.

c. Pengurusan surat tugas dari Ketua STTNAS untuk dosen pembimbing.

d. Studi literatur yang relevan tentang kondisi geologi daerah yang akan diteliti dengan

melakukan pengumpulan buku-buku pedoman dan mengkaji satu-persatu sehingga

memperoleh suatu pendekatan yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam

penyelesaian masalah.

e. Penyusunan dan pengajuan proposal Tugas Akhir kepada dosen pembimbing. Dalam

penyusunan proposal ini dilakukan juga interpretasi peta topografi daerah penelitian dan

hasil analisis tersebut merupakan analisis sementara yang diharapkan dapat digunakan

untuk mengetahui gambaran umum tentang keadaan geologi daerah penelitian. Adapun

keadaan atau aspek geologi yang ditafsirkan antara lain geomorfologi, jenis dan

penyebaran satuan batuan dan struktur geologi.

f. Perizinan tugas akhir dari kampus ke lokasi penelitian untuk mendapatkan izin dalam

melakukan penelitian di daerah penelitian.

2.3.2. Tahap Penelitian Lapangan Detail.

Tahap penelitian lapangan ini terdiri dari:

1) Pemetaan geologi detail, dilakukan dengan cara melewati lintasan yang melalui

singkapan-singkapan batuan. Pemetaan geologi detail ini bertujuan untuk

mendapatkan data secara langsung di lapangan yang meliputi unsur litologi dan
Usulan Tugas Akhir I
Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 9
penyebarannya, struktur geologi, keadaan dan pola singkapan yang dapat

diketahui.

2) Checking lapangan dengan dosen pembimbing yang bertujuan untuk memeriksa

hasil kerja lapangan yang dilakukan peneliti.

3) Remapping atau pengecekan ulang oleh peneliti untuk melengkapi data yang

masih kurang.

2.3.3. Tahap Penelitian Laboratorium dan Studio.

Pada tahap ini dilakukan analisis paleontologi dan petrografi, untuk menunjang analisis

data yang diperoleh secara langsung di daerah penelitian.

2.3.3.1 Tahap Pekerjaan Laboratorium Paleontologi.

Tahap pekerjaan laboratorium paleontologi pada fosil foraminifera planktonik dan

bentonik dilakukan untuk membantu penulisan umur dan lingkungan pengendapan dari setiap

satuan batuan. Analisis ini dilakukan pada sampel batuan (dengan posisi atas, tengah dan

bawah). Metode yang dilakukan adalah preparasi metode residu, dengan tahapan sebagai berikut:

a. Sampel yang terpilih diambil ± 50 gram dan ditumbuk sampai halus.

b. Direndam (± 15 menit) dengan zat pelarut (H2O2) 30% ditambah 2 butir 2 NaOH, bersihkan

dengan air bersih yang mengalir di bak pencuci dan saring sampelnya.

c. Keringkan sampelnya dengan oven (100o – 150o), setelah kering amati di bawah mikroskop

dan pisahkan fosil dari materialnya.

d. Amati bentuk dan karekterisitik sifat fisik fosil, untuk menentukan mana genus dan

spesiesnya.

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 10
2.3.3.2 Tahap Pekerjaan Laboratorium Petrografi.

Analisis petrografi dilakukan untuk memermudah penamaan dan klasifikasi batuan,

melalui identifikasi komposisi, gejala structural, kandungan dan jenis mineralnya. Pekerjaan

analisis petrografi dilakukan melalui sayatan tipis batuan yang diambil dari singkapan segar,

bersih dan mewakili setiap batuan.

2.3.4. Tahap Penyusunan Laporan.

Tahap penyusunan laporan ini meliputi:

a. Pembuatan peta lokasi pengamatan, peta geomorfologi dan peta geologi.

b. Pembuatan penampang geologi dan geomorfologi.

c. Penyusunan naskah/laporan penelitian.

2.3.5. Prensentasi.

Tahap ini merupakan tahap presentasi laporan hasil penelitian yang telah dilakukan untuk

mempertanggung jawabkan hasil penelitian pada saat sidang.

2.4. Peralatan lapangan.

Berikut Alat-alat yang digunakan untuk menunjang kelancaran penelitian dilapanagan,

adalah sebagai:

1. Peta dasar dengan skala 1 : 25.000 yang diambil dari peta lembar Karangnunggal yang

berskala 1 :100.000,

2. Kompas geologi dan palu geologi,

3. Loup dengan pembesaran 20x dan 10x,

4. Larutan HCL 0,1 N,

5. Komparator besar butir batuan sedimen dan batuan beku,

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 11
6. Alat tulis

7. Plastik sampel

8. Tas lapangan dan kamera.

2.5 Peta Geomorfologi

Dalam menganalisis kondisi geomorfologi dan melakukan pembagian satuan

geomorfologi pada daerah penelitian, penulis melihat kondisi morfologi pada daerah penelitian

masih relatif sama dengan pola kontur. Hal tersebut dikarenakan tidak ada aktifitas penambangan

maupun aktifitas lain yang merubah morfologi secara singkat di lapangan. Oleh karena itu

peneliti melakukan analisis pada peta topografi dengan melihat pola – pola kontur dan kemudian

melakukan sayatan morfometri pada peta topografi dan tidak dilakukan langsung di lapangan.

Pembagian satuan geomorfologi dilakukan dengan 2 metode yaitu satuan geomorfik

morfometri dan satuan geomorfik morfogenesa. Satuan geomorfologi morfometri yaitu

pembagian kenampakan satuan geomorfologi yang didasarkan pada kemiringan lereng dan beda

tinggi (Tabel 2.1) menurut van Zuidam dan van Zuidam - Cancelado (1979). Hal tersebut

dimaksudkan untuk mengetahui kesamaan relatif harga sudut lereng dan beda tinggi dari puncak

sampai dasar lekukan dari suatu morfologi. Pembagian morfogenesa didasarkan pada faktor

pengontrol utama proses geologi, hal tersebut mengacu pada klasifikasi van Zuidam (1983) yang

membagi satuan geomorfologi menjadi 8 satuan (Tabel 2.2), untuk setiap satuan dicantumkan

kode huruf, untuk sub satuan dengan penambahan angka di belakang.

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 12
Tabel 2.1. Klasifikasi relief berdasarkan sudut lereng dan beda tinggi (van Zuidam dan
van Zuidam - Cancelado, 1979)

Kemiringan Beda
No Relief Tinggi
Lereng ( %)
(m)
1 Topografi dataran 0–2 <5

2 Topografi bergelombang lemah 3–7 5 – 50

3 Topografi bergelombang lemah-kuat 8 – 13 25 – 75

4 Topografi bergelombang kuat- perbukitan 14 – 20 50– 200

5 Topografi perbukitan –tersayat kuat 21 – 55 200– 500

6 Topografi tersayat kuat- pegunungan 56 – 140 500– 1000

7 Topografi pegunungan > 140 > 1000

Tabel 2.2. Klasifikasi bentukan asal berdasarkan genesa dan sistem


pewarnaan (van Zuidam, 1983).
No Genesa Pewarnaan

1 Denudasional (D) Coklat

2 Struktural (S) Ungu


3 Vulkanik (V) Merah

4 Fluvial (F) Biru muda

5 Marine (M) Biru tua

6 Karst (K) Orange

7 Glasial (G) Biru muda

8 Eolian (E) Kuning

Untuk klasifikasi unit geomorfologi memakai dua klasifikasi yakni klasifikasi unit

geomorfologi bentukan lahan asal struktural (Tabel 2.3), klasifikasi unit geomorfologi

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 13
bentuk lahan asal fluvial (Tabel 2.4) dan klasifikasi unit geomorfologi bentuk lahan asal

denudasional (Tabel 2.5) menurut van Zuidam (1983).

Tabel 2.3 Klasifikasi Unit Geomorfologi Bentuklahan Asal Denudasional,


(van Zuidam, 1983)

Kode Unit Karakteristik

Lereng landai-curam menengah


Denudational slopes and
D1 (topografi bergelombang kuat),
hills
tersayat lemah-menengah.

Lereng curam menengah-curam


Denudational slopes and
D2 (topografi ber-gelombang kuat-
hills
berbukit), tersayat menengah tajam.

Lereng berbukit curam-sangat


Denudational hills and curam hingga topografi
D3
mountain pegunungan, tersayat menengah
tajam.

Lereng berbukit curam-sangat


curam, tersayat menengah.
D4 Residual hills
Monadnocks : memanjang, curam,
bentukan yang tidak teratur.

Hampir datar, topografi


D5 Paneplains bergelombang kuat, tersayat lemah-
menengah.

Hampir datar, topografi


Upwarped paneplains
D6 bergelombang kuat, tersayat lemah-
plateau
menengah.

Lereng relatif pendek, mendekati


horisontal hingga landai, hampir
D7 Footslopes
datar, topografi berge-lombang
normal-tersayat lemah

Lereng landai menengah, topografi


D8 Piedmonts berge-lombang kuat pada kaki atau
perbukitan dan zona pegunungan

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 14
yang terangkat, tersayat menengah.

Lereng curam-sangat curam,


D9 Scarps
tersayat lemah-menengah.

Landai-curam, tersayat lemah-


D10 Scree slopes and fans
menengah

Tidak teratur, lereng menengah


Area with several mass curam, to-pografi bergelombang-
D11
movement berbukit, tersayat menengah (slides,
slump, and flows).

Topografi dengan lereng curam-


D12 Badlands
sangat curam, tersayat menengah.

Tabel 2.4. Klasifikasi unit geomorfologi bentuklahan asal struktural


(van Zuidam, 1983).
Kode Unit Karakteristik

Topografi bergelombang sedang


S1 hingga bergelombang kuat dengan
Tersayat
pola aliran berhubungan dengan
kekar, dan patahan

Topografi bergelombang sedang


hingga bergelombang kuat dengan
S2 Berbentuk liniear
pola aliran berkaitan dengan
singkapan batuan berlapis

Topografi bergelombang kuat hingga


S3 perbukitan dengan pola aliran Tersayat kuat
berkaitan dengan kekar dan patahan

Topografi perbukitan hingga


pegunungan denganpola aliran Berbentuk liniear,
S4
berkaitan dengan singkapan batuan tersayat kuat
berlapis

S5 Topografi datar hingga


Mesag/dataran tinggi dikontrol
bergelombang lemah di

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 15
struktur atas plateau dan
perbukitan di bagian
tebing

Bergelombang lemah di
bagian lereng belakang
dan perbukitan pada
S6 Cuestas lereng depan. Tersayat
lemah.

Tinggian berupa
S7 Hogbacks dan flatirons topografi perbukitan
tersayat.

Topografi
bergelombang lemah
S8 Structural denudational terraces
hingga perbukitan
tersayat.

Topografi
S9 Perbukitan antiklin dan sinklin bergelombang kuat
hingga perbukitan.

Topografi
S 10 kubah/perbukitan sisa bergelombang kuat
hingga perbukitan.

Topografi
bergelombang kuat
S 11
Dykes hingga perbukitan.
Tersayat.

Topografi
bergelombang kuat
S 12 Tebing sesar
hingga perbukitan.
Tersayat.

Topografi
bergelombang lemah
S 13 Depresi graben
hingga bergelombang
kuat.

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 16
Topografi
S 14 Tinggian Horst bergelombang kuat
hingga perbukitan.

Tabel 2.5. Klasifikasi unit geomorfologi bentuklahan asal fluvial


(van Zuidam, 1983)
Kode Unit Karakteristik

Hampir datar, topografi teratur


dengan garis batas permukaan air
F1 Rivers beds
yang bervariasi mengalami erosi dan
bagian yang terakumulasi.

F2 Lakes Tubuh air.

Hampir datar, topografi tidak teratur,


F3 Flood plains
banjir musiman.

Topografi dengan lereng landai,


Fluvial levees, alluvial
F4 berhubungan erat dengan peninggian
ridges and point bar
dasar oleh akumulasi fluvial.

Topografi landai-hampir landai


F5 Swamps, fluvial basin
(swamps, tree vege-tation)

Topografi dengan lereng hampir


F6 Fluvial terraces datar-landai, tersayat lemah-
menengah.

Lereng landai-curam menengah,


biasanya banjir dan berhubungan
F7 Active alluvial fans
dengan peninggian dasar oleh
akumulasi fluvial.

Lereng curam-landai menengah,


F8 Inactive alluvial fans jarang banjir dan pada umumnya
tersayat lemah-menengah.

Topografi datar tidak teratur lemah,


F9 Fluvial-deltaic oleh karena banjir dan peninggian
dasar oleh fluvial, dan pengaruh

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 17
marine.

Penentuan pola pengaliran pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan

klasifikasi Howard (1967, dalam Thornbury, 1969). Pola pengaliran (drainage pattern)

merupakan suatu pola dalam kesatuan ruang yang merupakan hasil penggabungan dari

beberapa individu sungai yang saling berhubungan suatu pola dalam kesatuan ruang

(Thornbury, 1969). Perkembangan dari pola pengaliran dapat dipengaruhi oleh beberapa

faktor antara lain adalah kemiringan lereng, perbedaan resistensi batuan, proses vulkanik

kuarter, serta sejarah dan stadia geomorfologi dari cekungan pola aliran (drainage basin).

Pola aliran dasar Pola aliran ubahan

Gambar 2.2. Jenis - jenis pola aliran sungai menurut Howard (1967, dalam Thornbury,
1969).
Untuk menentukan stadia geomorfologi suatu daerah, maka sangat penting

memperhatikan berbagai aspek seperti proses pelarutan, denudasional dan stadia sungai

yang telah terbentuk. Penentuan stadia daerah pada dasarnya untuk mengetahui proses -

proses geologi yang telah berlangsung pada daerah tersebut. Proses tersebut bisa berupa

proses endogen (sesar, lipatan, intrusi, magmatisme ) dan proses eksogen (erosi,

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 18
pelapukan, transportasi). Stadia daerah penelitian dikontrol oleh litologi, struktur geologi

dan proses geomorfologi. Perkembangan stadia daerah pada dasarnya menggambarkan

seberapa jauh morfologi daerah telah berubah dari morfologi aslinya

Menurut Lobeck (1939), stadia daerah dibagi menjadi tiga dan mempunyai ciri

tersendiri, yaitu stadia muda, stadia dewasa dan stadia tua. Stadia muda dicirikan oleh

dataran yang masih tinggi dengan lembah sungai yang relatif curam dimana erosi vertikal

lebih dominan, gradien sungai besar, arus sungai deras, lembah berbentuk V, terkadang

dijumpai air terjun dan danau, kondisi geologi masih orisinil atau umumnya belum

mengalami proses deformasi. Stadia dewasa akan dicirikan oleh lembah sungai yang

membesar dan dalam dari sebelumnya, reliefnya menjadi lebih curam, gradien sungai

sedang, aliran sungai berkelok-kelok, terdapat meander, umumnya tidak dijumpai air

terjun maupun danau, erosi vertikal berimbang dengan erosi lateral, lembahnya berbentuk

U. Stadia tua dicirikan permukaan relatif datar, aliran sungai tidak berpola, sungai

berkelok dan menghasilkan endapan di kanan kiri sungai, terbentuk pulau-pulau tapal

kuda, arus sungai tidak kuat dan litologi relatif seragam. Urutan proses mulai dari stadia

muda sampai stadia tua dapat kembali berulang menjadi seperti stadia muda lagi apabila

terjadi peremajaan ulang (rejuvenation) atas suatu bentang alam.

Proses peremajaan ulang (rejuvenation) terbentuk apabila pada daerah yang sudah

mengalami stadia tua terjadi suatu proses epirogenesis atau orogenesis, maka daerah

dengan stadia tua tersebut terangkat kembali. Daerah yang terangkat ini akan tersayat atau

tertoreh lagi oleh proses eksogenik maupun oleh sungai-sungai yang mengalir di daerah

tersebut. Dari proses tersebut mengakibatkan perubahan bentukan stadia morfologi

menjadi stadia muda dengan tingkat erosi daerah muda lagi.

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 19
Gambar 2.3. Stadia daerah menurut Lobeck (1939)

2.4.2 Peta Geologi

Pembuatan peta geologi menggunakan metode pengelompokan penyebaran batuan

hasil pemetaan geologi didaerah penelitian yang berdasarkan ciri litologi yang dominan

dan dapat dikenali dilapangan. Metode pengelompokan lapisan - lapisan batuan hasil

pemetaan geologi di daerah penelitian dilakukan berdasarkan konsep litostratigrafi.

Metode pengelompokan batuan hasil pemetaan geologi di daerah penelitian

dilakukan berdasarkan ciri-ciri litologi yang ada di daerah penelitian yang kemudian

disebandingkan dengan stratigrafi regional. Pembagian berdasarkan litostratigrafi

dimaksudkan untuk menggolongkan batuan di bumi secara bersistem menjadi satuan –

satuan bernama yang bersendi pada ciri litologi dominan yang dapat dikenali di lapangan.

Pengelompokan dengan sistem penamaan satuan batuan tidak resmi tercantum dalam
Usulan Tugas Akhir I
Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 20
Sandi Stratigrafi Indonesia pada Bab II pasal 14 (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996). Hal

tersebut juga dengan memperhatikan urutan stratigrafi yang dilakukan beberapa peneliti

sebelumnya, antara lain : van Bemmelen (1949), Sampurno (1997), Samodra (1997) dan

juga memperhatikan penelitian terdahulu yang dilakukan dekat dengan lokasi penelitian

antara lain : (R.D.M. Verbeek dan R. Fennema pada 1881), Ch.E.A. Harloff (1933) , (Tjia,

1966), dan (Asikin, 1974).

Penarikan batas satuan batuan dilakukan dengan cara interpolasi dan ekstrapolasi.

Hal tersebut memperhatikan keadaan dan karakteristik singkapan yang dijumpai di

lapangan dengan mempertimbangkan logika dan konsep geologi yang diaplikasikan di

lapangan. Untuk memperkirakan batas satuan yang tidak tegas, dilakukan pendekatan

hukum V (Gambar 2.4). Hukum ini menyatakan hubungan antara lapisan yang

mempunyai kemiringan dengan relief topografi yang menghasilkan suatu pola

singkapan. Morfologi yang berbeda akan memberikan pola singkapan yang berbeda

meskipun dalam lapisan dengan tebal dan dip yang sama. Hukum V digunakan untuk

mengetahui pola penyebaran dari singkapan sehingga memudahkan untuk mendeterminasi

kearah mana kira-kira singkapan berlanjut. Hukum tersebut sebagai berikut :

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 21
Gambar 2.4. Ekspresi Hukum “V” yang menunjukkan hubungan kedudukan lapisan
dengan morfologi (Ragan, 1973).

a. Lapisan horisontal akan membentuk pola singkapan yang mengikuti pola garis

kontur (Gambar 2.4.a).

b. Lapisan dengan dip berlawanan arah dengan slope akan membentuk pola

singkapan berbentuk huruf "V" yang memotong lembah dimana pola singkapannya

berlawanan dengan arah kemiringan lembah (Gambar 2.4.b).

c. Lapisan tegak akan membentuk pola singkapan berupa garis lurus, dimana pola

singkapan ini tidak dipengaruhi oleh keadaan topografi (Gambar 2.4.c).

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 22
d. Lapisan dengan dip searah dengan arah slope dimana dip lapisan lebih besar dari

pada slope, akan membentuk pola singkapan dengan huruf “V" mengarah

sama (searah) dengan arah slope (Gambar 2.4.d).

e. Lapisan dengan dip searah dengan slope dan besarnya dip sama dengan slope,

maka pola singkapannya terpisah oleh lembah (Gambar 2.4.e.)

f. Lapisan dengan dip yang searah dengan slope, dimana besar dip lebih kecil

dari slope, maka pola singkapannya akan membentuk huruf "V" yang

berlawanan dengan arah slope (Gambar 2.4.f).

Kedua analisis baik studio dan laboratorium dilakukan dalam pembuatan peta

geologi. Analisis studio yang terdiri dari analisis struktur geologi di daerah penelitian dan

analisis labratorium yang terdiri dari analisis petrografi. Metode dalam analisis sayatan

tipis batuan dengan menggunakan mikroskop polarisator, tujuannya untuk mendapatkan

data yang berupa komposisi dan ciri fisik batuan secara mikroskopis, berdasarkan

kenampakan mikroskopisnya dengan pembuatan sayatan tipis berukuran 0,03 mm yang

telah dipreparasi dan dianggap dapat mewakili masing – masing satuan batuan yang ada.

Penamaan batuan sesuai dengan klasifikasi seperti analisa petrografi menurut Williams

(1954) untuk jenis batuan vulkanik, klasifikasi Fisher & Schmincke (1984) untuk batuan

piroklastika, Gilbert (1954), Folk (1959) dan Dunham (1962) untuk jenis batuan karbonat.

Struktur geologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan unsur-unsur

struktur geologi dan hasil analisis dari data-data pengukuran di lapangan. Dalam

mempelajari struktur yang berkembang pada daerah penelitian dilakukan pendekatan

dengan model struktur yang dikemukakan oleh Moody dan Hill (1976) (Gambar 2.5).

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 23
Konsep tersebut menerangkan mengenai struktur geologi pada batuan sebagai akibat

adanya gaya kompresi yang disebabkan oleh tektonik

Gambar 2.5. Model Struktur Geologi (Moody dan Hill 1967).

Kekar (joint) adalah struktur rekahan dalam batuan yang belum mengalami

pergeseran, merupakan hal yang umum bila terdapat pada batuan dan bisa terbentuk pada

setiap waktu. Pada batuan sedimen, kekar bisa terbentuk mulai pada saat pengendapan

atau terbentuk setelah pengendapan, dalam batuan beku bisa terbentuk akibat proses

pendinginan maupun setelah pendinginan. Dalam proses deformasi, kekar bisa terjadi pada

saat mendekati proses akhir atau bersamaan dengan terbentuknya struktur lain, seperti

sesar atau lipatan. Selain itu kekar bisa terbentuk sebagai struktur penyerta dari struktur

sesar maupun lipatan yang diakibatkan oleh tektonik.

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 24
Pemodelan dan analisis kekar menggunakan pendekatan klasifikasi Billings (1974)

yang menerangkan mengenai struktur geologi pada batuan sebagai akibat adanya gaya

kompresi yang disebabkan oleh tektonik (Gambar 2.6). Kekar dapat di kelompokan

berdasarkan cara terjadinya antara lain :

1. Genesa kekar

2. Berdasarkan cara terjadinya (tektonik), dikelompokan menjadi dua antara lain :

a) Tekanan disebut compression atau shear fractures.

Sifat-sifat khas kekar gerus antara lain :

 Bidangnya licin/rata

 Memotong seluruh batuan

 Memotong butir-butir komponen pada konglomerat

 Berpasangan

 Memotong bidang perlapisan dengan sudut tertentu

 Pada batuan metamorfis akan memotong foliasi.

 Tertutup

b) Tarikan di sebut tension joints atau joints.

Sifat-sifat khas kekar tarik (tension joints)


 Bentuk terbuka

 Bidang yang tidak rata dan pola kekar tidak teratur.

 Mengelilingi butir-butir komponen pada konglomerat

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 25
Gambar 2.6. Jenis kekar berdasarkan genesa (Billings,1974).

Sesar atau patahan adalah rekahan pada batuan yang telah mengalami pergeseran

melalui bidang rekahnya. Suatu sesar dapat berupa Bidang Sesar (Fault Plane), atau

rekahan tunggal. Tetapi lebih sering berupa Jalur Sesar (Fault Zone) yang terdiri dari lebih

dari satu sesar. Dalam penelitian ini digunakan klasifikasi sesar yang umumnya

berdasarkan pergerakan blok sesar (Gambar 2.7) dan dapat dibagi menjadi beberapa kelas

sebagai berikut:

1) Umum : Normal/turun, reverse/naik (termasuk “thrust” sesar

anjakan/sungkup), Sesar mendatar.

2) Sifat Pergeseran : Slip (gerak sebenarnya), Separation (gerak semu).

3) Sifat gerak terhadap bidang sesar : Dip slip, Strike slip, Oblique slip.

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 26
Dip-slip Hanging wall Hanging wall
faults block block

Dip-slip
faults

Foot wall
block Foot wall
block
A. Normal B. Thrust C. Right-lateral, or dextral D. Left-lateral, or sinistral
Oblique- Rotational
slip faults
faults

E. Sinistral-normal F. Sinistral-reverse G.

Gambar 2.7. Pergerakan relatif blok-blok sesar (Twiss dan Moore, 1992)

Lipatan dijumpai dalam berbagai bentuk (geometri), yang disebut sebagai “fold

style” dan ukuran. Variasi geometri lipatan terutama tergantung pada sifat dan keragaman

bahan, dan asal kejadian mekanik pada saat proses perlipatan. Secara umum terdapat

“antiform”, bentuk tertutup keatas dan “synform”, bentuk tertutup kebawah. Suatu antiklin

adalah bentuk lipatan dengan bagian lapisan tertua pada sisi cekung permukaan lipatan

sedangkan sinklin dengan bagian termuda pada inti. Untuk klasifikasi lipatan

menggunakan klasifikasi berdasarkan interlimb angle menurut Fleuty (1964, dalam

Ragan, 1973) (Tabel. 2.6).

Tabel 2.6. Klasifikasi Lipatan Berdasarkan Interlimb Angle, Fleuty (1964, dalam Ragan,
1973).
Interlimb Angle Description Fold
180º - 120º Gentle
120º - 70º Open
70º - 30º Close
30º - 0º Tight
0º Isoclinal
Negative Mushroom

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 27
Untuk merekonstruksi lipatan dilakukan dengan memperhatikan bagian-bagian lipatan

(Gambar 2.8).

Gambar 2.8. Bagian - bagian dari suatu lipatan (Twiss & Moores, 1992).

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 28
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka adalah kajian terhadap hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan

oleh peneliti terdahulu. Tinjauan pustaka tersebut meliputi kajian geologi berskala regional

maupun lokal meliputi : geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi daerah penelitian dan

sekitarnya.

3.1 Geomorfologi

Secara umum Pannekoek (1949) dan van Bemmelen (1949) telah membagi fisiografi Pulau

Jawa menjadi beberapa zona fisiografi. Zona fisiografi tersebut membujur dari barat sampai

timur yang dibedakan menjadi tiga zona yaitu :

1. Zona Selatan/ Zona Plato, terdiri dari beberapa plato dengan kemiringan kearah selatan

menuju Samudra Indonesia dan umumnya di bagian utara dipotong oleh gawir. Di

beberapa tempat gawir tersebut hampir tidak terlihat lagi, untuk kemudian berganti

menjadi dataran aluvial.

2. Zona Tengah/Zona Depresi Vulkanik, merupakan daerah depresi yang disusun oleh

endapan vulkanik muda, hal ini disebabkan karena pada daerah tersebut banyak tumbuh

Gunung Api Kuarter.

3. Zona Utara/Zona Lipatan, yang terdiri dari rangkaian pegunungan lipatan yang diselingi

oleh beberapa gunung api dan sering berbatasan dengan aluvial. Zona utara ini dibagi lagi

menjadi dua sub - zona, yaitu : Perbukitan Kendeng dan Perbukitan Rembang. Kedua

perbukitan ini dipisahkan oleh depresi yang memanjang dengan arah barat - timur, yang

oleh van Bemmelen (1949) depresi ini disebut sebagai Zona Randublatung.

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 29
Di pihak lain, van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Tengah – Jawa Timur

berdasarkan kondisi litologi penyusun, pola struktur dan morfologi yang ada menjadi 7 zona

fisiografi (Gambar 3.1) dari utara sampai selatan, yaitu :

1. Zona Gunungapi Kuarter.

2. Zona Dataran Aluvial Pantai Utara Jawa.

3. Zona Antiklinorium Rembang – Madura.

4. Zona Antiklinorium Bogor – Serayu Utara – Kendeng.

5. Zona Kubah dan Perbukitan dalam Depresi Sentral.

6. Zona Depresi Jawa, Solo dan Randublatung.

7. Zona Pegunungan Selatan.

Dalam pembagian zona fisigrafi tersebut, daerah penelitian masuk dalam Zona

Pegunungan Serayu Selatan bagian timur.

= Lokasi Penelitian

Gambar 3.1. Peta fisiografi Daerah Jawa Tengah – Jawa Timur (modifikasi dari Van

Bummelen, 1949 dalam Hartono, 2010)

Mandala Pegunungan Serayu Selatan merupakan bagian dari Cekungan Jawa Tengah

Selatan yang terletak di bagian selatan propinsi Jawa Tengah. Mandala inimerupakan geoantiklin
Usulan Tugas Akhir I
Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 30
yang membentang dari barat ke timur sepanjang 100 kilometer dan terbagi menjadi dua bagian

yang dipisahkan oleh lembah Jatilawang yaitu bagian barat dan timur. Seperti Pegunungan

Kulonprogo, Mandala Pegunungan Serayu Selatan merupakan kulminasi dari geoantiklin di

Jawa. Jika Pegunungan Kulonprogo membentuk kubah terpancung dengan sumbu mengarah

Utara-Selatan, Pegunungan Serayu Selatan mempunyai sumbu mengarah Barat-Timur. (Van

Bemmelen, 1949 ).

Bagian barat dibentuk oleh Gunung Kabanaran (360 m) dan bisa dideskripsikan

mempunyai elevasi yang sama dengan Zona Depresi Bandung di Jawa Barat ataupun sebagai

elemen struktural baru di Jawa Tengah. Bagian ini dipisahkan dari Zona Bogor oleh Depresi

Majenang. (Van Bemmelen, 1949)

Bagian timur dibangun oleh antiklin Ajibarang (narrow anticline) yang dipotong oleh

aliran Sungai Serayu. Pada timur Banyumas, antiklin tersebut berkembang

menjadiantiklinorium dengan lebar mencapai 30 km pada daerah Lukulo (selatan Banjarnegara-

Midangan 1043 m) atau sering disebut tinggian Kebumen (Kebumen High). Pada bagian paling

ujung timur Mandala Pegunungan Serayu Selatan dibentuk oleh kubah Pegunungan Kulonprogo

(1022 m), yang terletak diantara Purworejo dan Sungai Progo. (Van Bemmelen, 1949).

3.2. Stratigrafi

Daerah penelitian berada pada zona Pegunungan Serayu selatan dan termasuk dalam

stratigrafi Banyumas (Sukendar Asikin, 1987). Daerah penelitian tersusun dari berbagai formasi

dan menunjukkan umur yang berbeda.

A. Formasi Halang (Tmph)

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 31
Formasi ini terdiri dari batupasir, batulempung napal, dan tuff dengan sisipan breksi, di

pengaruhi oleh arus turbit dan pelengseran bawah air laut.

B. Anggota Breksi Formasi Halang (Tmpb)

Formasi ini terdiri dari breksi dengan komponen andesit, basalt dan batugamping, masa

dasar batupasir tufan kasar, dengan sisipan batupasir dan lava basalt.

C. Endapan Aluvial (Qa)

Formasi ini terdiri dari lempung, lanau, pasir, kerikil, kerakal.

Form asi Daerah


Penelitian

Gambar 3.2. Stratigrafi zona pegunungan serayu selatan lembar Banyumas dan letak formasi
daerah penelitian ( Sukendar Asikin dkk, 1992 )

3.3 Struktur Geologi

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 32
Struktur geologi Pulau Jawa telah banyak dipelajari oleh para peneliti berdasarkan data

foto udara, penelitian lapangan, citra satelit, data magnetik, data gaya berat dan data seismik.

Berdasarkan berbagai macam data pemboran migas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya

pulau Jawa ada 3 (tiga) arah kelurusan strukur dominan (Gambar 3.3) yaitu arah pertama

Timurlaut – Baratdaya yang dinamakan Pola Meratus, arah kedua utara – selatan yang

dinamakan Pola Sunda dan arah ketiga barat – timur yang dinamakan Pola Jawa (Pulunggono

dan Martodjojo, 1994). Pola struktur tersebut tak lepas dari peran tatanan tektonik di Indonesia

khususnya Pulau Jawa yang mengakibatkan terbentuknya variasi jalur subduksi mulai dari Pra

Tersier, Tersier hingga Kuarter (Gambar 3.4).

Gambar 3.3. Pola struktur Jawa dan sekitarnya (Pulunggono dan Martodjojo, 1994)

Pulau Jawa merupakan bagian dari busur volkanik-plutonik berumur Tersier, yang

terhampar dari Sumatera hingga Nusa Tenggara (Asikin, 1974 dan Katili, 1975). Menurut

Soeria-Atmadja, et al. (1994), jalur-jalur subduksi yang dapat dikenal dari busur-busur magmatik

di Pulau Jawa dan sekitarnya telah menghasilkan evolusi geologi sejak zaman Tersier sampai

sekarang (Gambar 3.4) yaitu:

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 33
1) Busur magma berarah barat–timur berupa batuan gunung api berafinitas tholeit sampai

kalk-alkali yang disebut Andesit Tua, berumur Eosen Akhir-Miosen Awal;

Gambar 3.4. Jalur subduksi dan busur magmatis dari Pra Tersier sampai Kuarter (Katili, 1975)

dalam Hartono (2007).

2) Busur magma berarah barat-timur berupa batuan gunung api berafinitas kalk-alkali, berumur

Miosen Akhir–Pliosen;

3) Busur gunung api aktif berarah barat–timur berumur Kuarter.Struktur geologi regional tidak

terlepas dari sifat dan pergerakan lempeng Samudra Hindia – Australia ke utara yang

menumbuk lempeng Eurasia dan kerak benua dari lempeng sunda membentuk sistem busur

kepulauan yang disebut sunda arc system (Asikin1987, dalam Soeria-Atmadja (1994).

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 34
= Daerah Penelitian

Gambar 3.5 Busur gunung api dan sebaran batuan gunung api di Pulau Jawa
(Soeria-Atmadja, et al. 1994, dalam Hartono 2010).
Dalam perjalanannya tumbukan lempeng–lempeng tektonik tersebut sangat berpengaruh

pada pembentukan pola tatanan serta bentuk cekungan sedimentasi di Indonesia pada umumnya

dan di pulau Jawa pada khususnya (Situmorang dkk,. 1976). Penyusunan pola sesar di Pulau

Jawa didasarkan pada konsep tektonik Moody dan Hill (1956). Hasil analisisnya menyatakan

bahwa semua sesar yang terdapat di Pulau Jawa dan Madura dikelompokan menjadi orde I, II

dan III dari sistem struktur sesar Pulau Jawa yang berarah Timurlaut – Baratdaya, sedangkan

struktur lipatan yang terbentuk di Pulau Jawa yang berarah relatif barat – timur.

Selain itu juga, Pulau Jawa terdapat dua buah struktur sesar mendatar besar yang saling

berlawanan, sesar mendatar Muria - Kebumen (baratdaya - timurlaut, Arah Meratus, Sinistral)

dan sesar mendatar Pemanukan - cilacap (baratlaut - tenggara, arah Sumatra, dekstral) memotong

bagian tengah Pulau Jawa dan bertemu di bagian selatan Jawa Tengah. Dalam pergerakannya
Usulan Tugas Akhir I
Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 35
sepanjang periode orogenesis Tersier, kedua sesar mendatar besar tersebut telah menyebabkan :

(1) lekukan/identasi struktur garis pantai utara dan selatan Jawa Tengah, (2) penyingkapan

kompleks batuan tua melange Luk Ulo - Karangsambung, (3) penenggelaman bagian utara Jawa

Tengah, (4) lenyapnya jalur fisiografi Pegunungan Selatan di bagian selatan Jawa Tengah, dan

(5) pembentukan cekungan Jawa Tengah Selatan. Semua gejala ini berhubungan dengan

kompensasi isostatik kerak bumi (Satyana dan Purwaningsih, 2002).

Dari uraian regional, cukup jelas bahwa Jawa menempati posisi penting dalam geologi

indonesia bagian barat karena wilayah ini menempati daerah frontal pada peralihan kerak

penyusun batuan dasar maupun pola struktur dan akan berdampak langsung pada daerah

penelitian.Secara umum daerah penelitian berada di daerah Pegunungan Serayu Selatan yang

termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Kebumen. Struktur geologi di daerah

Pegunungan Selatan berupa perlapisan homoklin, sesar, kekar dan lipatan.

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 36
Gambar 3.6 Model evolusi tektonik cekungan Banyumas (Asikin, 1994)

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 37
BAB IV

INTERPRETASI GEOLOGI AWAL DAERAH PENELITIAN

Interpretasi geologi awal daerah penelitian merupakan tahap interpretasi peneliti pada

daerah penelitian meliputi aspek-aspek geologi yang berkembang di daerah penelitian. Pada

tahapan awal ini dilakukan suatu analisis serta interpretasi awal pada daerah penelitian.

Interpretasi awal tersebut didasarkan pada hasil data penelitian awal (reconnaissance) dan data

sekunder yang diperoleh sehingga peneliti memiliki gambaran awal terhadap aspek-aspek

geologi yang terdapat pada daerah penelitian. Aspek-aspek geologi tersebut tediri atas

geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi dan sejarah geologi dari daerah penelitian.

4.1 Geomorfologi

Aspek-aspek yang dikaji dalam bahasan geomorfologi pada daerah penelitian terdiri atas

satuan geomorfologi, pola pengaliran, proses geomorfologi (morfogenesis), dan stadia daerah.

4.1.1 Satuan Geomorfologi

Pembagian satuan geomorfologi daerah penelitian ditentukan melalui analisis pada peta

topografi dengan melihat pola-pola kontur yang mencerminkan bentuk bentang alam

(topografi). Dalam pembagian tersebut memperhatikan kerapatan dan kerenggangan kontur

serta pola-pola kontur yang khas seperti pola melingkar atau membentuk suatu kelurusan.

Analisis pembagian satuan bentang alam tersebut didasarkan oleh dua aspek penting yaitu

aspek morfometri dan morfogenesis. Morfometri adalah pembagian satuan geomorfologi

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 38
berdasarkan pada perhitungan kemiringan lereng dan beda tinggi (van Zuidam dan van Zuidam-

Cancelado, 1979). Morfogenesis dalam hal ini yaitu pembagian satuan geomorfologi yang

memperhatikan sejarah pembentukan, perkembangan bentuk lahan serta proses yang terjadi

padanya.

Selain pembagian yang didasarkan pada analisis studio, peneliti juga melakukan

pengecekan dan pengukuran terhadap sudut kelerengan secara langsung di lapangan. Hal itu

perlu dilakukan karena peneliti merasa pengukuran berdasarkan sayatan morfometri pada peta

topografi kurang begitu mewakili keadaan yang sebenarnya. Sebagai contoh, terdapat daerah

yang mengalami perubahan tata guna lahan, dahulu merupakan lahan kosong dibudidayakan

menjadi perkebunan ataupun dilakukan proses penambangan. Hal itu, tentunya akan mengubah

suatu topografi suatu daerah yang berdampak pada berubahnya suatu kelerengan.

Berdasarkan hasil perhitungan beda tinggi, kelerengan (morfometri), peta topografi serta

memperhatikan aspek morfogenesa yang mengontrol morfologi pada daerah penelitian, maka

daerah penelitian terbagi menjadi:

1. Satuan Geomorfologi Dataran Fluvial (F3)

2. Satuan Geomorfologi Denudasional ( D1)

3. Satuan Geomorfologi Denudasional (D3).

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 39
4.1.1.1

Usulan Tugas Akhir I


Silbertino Gomes De Araujo/410012261 Page 40

Anda mungkin juga menyukai