Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang
Penyakit diabetes melitus (DM) saat ini hampir merambah seluruh dunia
menurut data organisasi kesehatan dunia (WHO), penderita DM di dunia
pada masyarakat usia 20-79 tahun pada tahun 2013 adalah 382 juta orang.
Pada tahun 2007 Indonesia masuk ke dalam sepuluh negara dengan jumlah
kasus DM terbanyak di dunia. Indonesia berada pada peringkat keempat pada
tahun 2000 dengan jumlah kasus sebesar 8,4 juta orang dan diprediksi akan
meningkat pada tahun 2030 menjadi 21,3 juta orang. Berdasarkan data
Riskesdas pada tahun 2007, prevalensi diabetes melitus di Pulau Jawa
khususnya di provinsi DKI Jakarta sebesar 1,8%, di provinsi Jawa Barat
sebesar 0,8%.
Diabetes mellitus merupakan kondisi kronis yang ditandai dengan
peningkatan konsentrasi glukosa darah disertai munculnya gejala utama
yakni urin yang berasa manis dalam jumlah yang besar. Kelainan yang
menjadi penyebab mendasar dari diabetes mellitus adalah defisiensi relatif
atau absolut dari hormon insulin. Insulin merupakan satu-satunya hormon
yang dapat menurunkan kadar glukosa dalam darah. (1)
DM muncul karena tidak tercukupi hormon insulin dalam tubuh. Hormon
itu berperan menjaga keseimbangan kadar glukosa dalam darah, yaitu sekitar
70 hingga 110 mg/dl pada waktu puasa dan di bawah 140 mg/dl 2 jam
sesudah makan pada orang normal. Insulin dihasilkan olah kelenjar pankreas
yang terletak di lekukan usus 12 jari. Jika terjadi gangguan pada kerja
insulin, karena jumlahnya tidak mencukupi atau kualitas tidak memadai,
kadar glukosa darah cenderung naik. Penderita diabetes mellitus biasanya
akan mengalami lesu, kurang tenaga, selalu merasa haus, sering buang air
kecil, karena glukosa tidak diubah menjadi energi, hal ini mengakibatkan
glukosa dalam darah menjadi meningkat.(10)

1
2

Untuk mencegah dan mengatasi diabetes telah dikembangkan berbagai


macam obat-obatan tradisional yang berkasiat menurunkan gula darah. Salah
satunya adalah Tumbuhan Pare (momordica charantia), bagian tumbuhan ini
yang digunakan adalah daging buah yang diyakini dapat menurunkan kadar
gula darah. Kandungan dalam buah pare yang berguna dalam penurunan gula
darah adalah charantin, dan polipeptida-P insulin (polipeptida yang mirip
insulin) yang memiliki komponen yang menyerupai sulfonylurea (obat
antidiabetes paling tua dan banyak dipakai). Manfaat dari charantin ini adalah
menstimulasi sel beta kelenjar pankreas tubuh memproduksi insulin lebih
banyak, selain meningkatkan deposit cadangan glycogen di hati. Efek pare
dalam menurunkan gula darah pada tikus diperkirakan juga serupa dengan
mekanisme insulin, sedangkan polipeptid-P insulin menurunkan kadar
glukosa darah secara langsung.(11)
Berdasarkan data diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian jus pare terhadap
penurunan kadar glukosa yang dilakukan pada Tikus Wistar.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis mencoba merumuskan
masalah penelitian ini yakni, adakah pengaruh pemberian jus pare terhadap
penurunan kadar glukosa darah pada Tikus Wistar.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh pemberian jus pare terhadap penurunan
kadar glukosa darah pada Tikus Wistar.
1.3.2 Tujuan Khusus
 Mengetahui perubahan kadar glukosa darah tikus antara sebelum dan
setelah diberi jus pare.
 Mengetahui perbedaan kadar glukosa darah antara kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol pada Tikus Wistar.
3

 Mengetahui dosis jus buah pare yang efektif untuk menurunkan kadar
glukosa darah.
 Mengetahui lama kerja jus buah pare yang efektif terhadap kadar
glukosa darah.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat untuk ilmu pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi ilmu
pengetahuan dan pengembangan pengetahuan ilmu di bidang kesehatan
terutama tentang hal-hal yang berhubungan dengan obat herbal yang
dapat menurunkan kadar glukosa darah, khususnya buah pare yang
peneliti teliti.
1.4.2 Manfaat untuk layanan kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan
evaluasi untuk penggunaan obat herbal untuk menurunkan kadar glukosa
darah.
1.4.3 Manfaat untuk masyarakat
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan tambahan wawasan
dan pengetahuan bagi masyarakat mengenai kegunaan jus pare terhadap
kadar gula darah.
1.4.4 Manfaat untuk peneliti
Penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi peneliti
yang akan melakukan penelitian sejenis dengan memperhatikan desain
penelitian yang berbeda serta faktor-faktor lainnya.
4

1.5 Orisinalitas
Tabel 1. Orisinalitas Penelitian
PePeneliti Judul Desain, Tahun Hasil

FFFahri Trisnaryan Pengaruh Case control, 2011 Kelompok I yang


Pratama pemberian merupakan kontrol negatif
Decocta Buah dan kelompok II
Pare menunjukkan perbedaan
(Momordica bermakna dengan nilai p
charantia L) 0,001 pada menit ke 90 dan
terhadap nilai p 0,000 pada menit ke
penurunan kadar 120
glukosa darah
Tikus galur
Wistar yang
diberi beban
glukosa.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu tidak


menggunakan decocta untuk kelompok perlakuan melainkan menggunakan jus
buah pare dengan dosis yang berbeda, komposisi jus yang berbeda dan penelitian
ini melakukan pretest dan post test untuk membandingkan antara sebelum dan
sesudah diberikan perlakuan. Teknik pengambilan sampelnya dengan purposive
random sampling.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes melitus


2.1.1 Metabolisme glukosa
1. Glikogen
a. Pembentukan glikogen
Sintesis glikogen berawal dengan fosforilasi glukosa
menjadi glukosa 6-fosfat oleh heksokinase atau, di hati,
glukokinase. Glukosa 6-fosfat diubah menjadi glukosa 1-fosfat
oleh fosfoglukomutase, suatu reaksi yang reversibel. Sintesis
glikogen memerlukan pembentukan ikatan α-1,4–glikosidat untuk
menyatukan residu-residu glikosil dalam suatu rantai yang panjang.
Sebagian besar sintesis glikogen berlangsung melalui pemanjangan
rantai polisakarida molekul glikogen yang sudah ada di mana
ujung pereduksi glikogen melekat ke protein glikogenin. (6), (7).
Ditambahkan residu glukosil dari UDP-glukosa ke ujung
nonpereduksi pada rantai oleh glikogen sintase untuk
memperpanjang rantai glikogen. Karbon anomerik masing-masing
residu glukosil diikatkan ke hidroksil pada karbon 4 residu glukosil
terminal melalui ikatan α-1,4. Setelah panjang rantai mencapai 11
residu, potongan yang terdiri dari 6-8 residu yang diputuskan oleh
amino-4: 6-transferase dan dilekatkan kembali ke sebuah unit
glukosil melalui ikatan α-1,6. (6), (7).
Kedua rantai terus memanjang sampai cukup panjang untuk
menghasilkan dua cabang baru. Proses ini berlanjut sehingga
dihasilkan molekul yang bercabang lebat. Glikogen sintase
melepaskan residu glukosil dalam ikatan 1, 4, merupakan pengatur
langkah dalam jalur ini. Sintesis molekul primer glikogen baru juga
terjadi. Glikogenin, protein tempat melekatnya glikogen,
melakukan glikolisasi diri sendiri (autoglikolisasi) dengan
6

melepaskan sebuah residu glukosil ke OH pada residu serin.


Penambahan glukosil dilanjut sampai rantai glukosil cukup
panjang untuk berfungsi sebagai substrat untuk glikogen sintase.(6),
(7)
.
b. Penguraian glikogen
Glikogen diuraikan oleh dua enzim, glikogen fosforilase
dan enzim pemutus cabang. Enzim glikogen fosforilase mulai
bekerja di ujung rantai dan secara berturut-turut memutuskan
residu glukosil dengan menambahkan fosfat ke ikatan glikosidat
terminal, sehingga terjadi pelepasan glukosa 1-fosfat. Enzim
pemutus cabang mengkatalis pengeluaran 4 residu yang terletak
paling dekat dengan titik cabang kerana rantai cabang. Enzim
pemutus cabang memiliki dua aktivitas katalitik yaitu bekerja
sebagai 4:4 transferase dan 1:6 glukosidase. Sebagai 4:4
transferase, mula-mula mengeluarkan sebuah unit yang
mengandung 3 residu glukosa, dan menambahkan ke ujung rantai
yang lebih panjang melaui ikatan α-1,4. Satu residu glukosil yang
tersisa di cabang 1,6 dihidrolisis amilo 1,6-glukosidase dari enzim
pemutus cabang, yang menghasilkan glukosa bebas. Dengan
demikian, terjadi pembebasan satu glukosa dan sekitar 7-9 residu
glukosa 1-fosfat untuk setiap titik cabang .(6)
Pengaturan sintesis glikogen di jaringan yang berbeda
bersesuaian dengan fungsi glikogen di masing-masing jaringan.
Glikogen hati berfungsi terutama sebagai penyokong glukosa darah
dalam keadaan puasa atau saat kebutuhan sangat meningkat. Jalur
penguraian serta sintesis glikogen diatur oleh perubahan rasio
insulin/glikogen, kadar glukosa darah, epnefrin sebagai respon
terhadap olahraga, hipoglikemia, situasi stres, dan apabila terjadi
peningkatan kebutuhan yang segera akan glukosa darah.(6)
7

c. Metabolisme glikogen hati

Glikogen hati disintesis apabila makan makanan


mengandung karbohidrat saat kadar glukosa meningkat, dan
diuraikan saat kadar glukosa darah menurun. Sewaktu makan
makanan mengandung karbohidrat, kadar glukosa darah segera
meningkat, kadar insulin meningkat, dan kadar glukagon menurun.
Ini menghambat penguraian glikogen dan merangsang sintesis
glikogen. Simpanan segera glukosa darah sebagai glikogen
membantu membawa kadar glukosa darah ke rentang normal bagi
anak 80-90 mg/dl dan normal dewasa 80-100mg/dl. (6)
Setelah senggang waktu tertentu, kadar insulin akan
menurun dan kadar glukagon meningkat, glikogen hati dengan
cepat diuraikan menjadi glukosa, kemudian dibebaskan ke dalam
darah. Sebagian glikogen hati diuraikan beberapa jam setelah
makan. Oleh karena itu, simpanan glikogen hati merupakan bentuk
simpanan glukosa yang mengalami pembentukan dan penguraian
dengan cepat dan responsif terhadap perubahan kadar glukosa
darah yang kecil dan cepat.(6)
2. Glikolisis
Glikolisis di hati menghasilkan piruvat untuk berfungsi sebagai
prekursor untuk sintesis asam lemak serta sumber ATP. Pengaturan
glikolisis berlangsung melalui kerja insulin dan glukagon. Glukokinase
adalah enzim hati yang diinduksi oleh insulin yang berfungsi
melakukan fosforilasi glukosa. Enzim ini paling aktif selepas makan,
saat kadar glukosa di vena porta hepatis tinggi.Glikolisis diaktifkan
oleh fruktosa 2,6-bifosfat yang meningkat ketika kadar insulin dalam
darah meningkat dan kadar glukagon dalam darah menurun. Fruktosa
2,6-bifosfat dihasilkan dalam jaringan oleh enzim fosfofruktokinase-
2/fruktose 2,6-bifosfatase yaitu sejenis enzim bifungsional.(7)
8

Setelah makan, rasio insulin/glukagon akan meninggi, enzim


mengalami defosforilasi, aktivitas fosfofruktokinase meningkat, enzim
ini mensintesis fruktosa 2,6 bifosfat dari fruktosa 6-fosfat dan ATP.
Fosfofruktokinase-1 diaktifkan di mana enzim ini berfungsi meningkat
kecepatan glikolisis. Pengaktifan fosforuktokinase -1 oleh fruktosa
2,6-bifosfat dan AMP bersifat sinergistik. Glikolisis menghasilkan
karbon untuk sintesis asam lemak, juga menghasilkan ATP untuk
menjalankan proses tersebut. Sewaktu rasio insulin/glukagon rendah,
enzim mengalami fosforilasi oleh protein kinase A meningkatkan
aktivitas fosfatase dan menghambat aktivitas kinase enzim
bifungsional ini, dan fruktosa 2,6 bifosfat diubah kembali menjadi
fruktosa 6-fosfat dan turut menghasilkan fosfat inorganik (Pi).(7)
Glikolisis juga diatur oleh kerja insulin dan glukagon di langkah
yang dikatalisis oleh piruvat kinase. Setelah makan makanan tinggi
karbohidrat, kadar insulin yang tinggi dan kadar glukagon yang rendah
menurunkan aktivitas protein kinase A dan merangsang fosfatase yang
melakukan defosforilasi terhadap piruvat kinase. Defosforilasi
menyebabkan piruvat kinase menjadi lebih aktif. Fungsi utama
pengaturan ini adalah menghambat glikolisis selama puasa saat jalur
yang sebaliknya, glukoneogenesis, diaktifkan.(7)
Piruvat kinase juga diaktifkan oleh fruktosa 1,6-bifosfat.
Mekanisme ini disebut “feed forward”, yaitu, produk langkah
terdahulu melakukan “feed forward” dan mengaktifkan enzim yang
mengkatalisis reaksi berikutnya. Inhibitor alosterik ATP dan alanin
menurunkan aktivitas piruvat kinase, saat jalur glukoneogenesis
diaktifkan.(7)
3. Glukoneogenesis
Proses sintesis glukosa dari prekursor bukan karbohidrat, yang
terjadi terutama di hati pada keadaan puasa dinamakan
glukoneogenesis. Pada keadaan kelaparan yang ekstrim, korteks ginjal
juga dapat membentuk glukosa yang akan digunakan oleh medula
9

ginjal dan sebagian glukosa akan masuk ke dalam aliran darah.


Diawali dengan piruvat, sebagian besar langkah pada glukoneogenesis
adalah hanya kebalikan dari reaksi pada glikolisis dan menggunakan
enzim yang sama. Aliran karbon adalah dalam arah yang
berlawanan.(6), (7).
Terdapat tiga urutan reaksi pada glukoneogenesis yang berbeda
dengan langkah padanan pada glikolisis. Ketiganya melibatkan
perubahan piruvat menjadi fosfoenolpiruvat (PEP) dan reaksi yang
mengeluarkan fosfat dari fruktosa 1,6-bifosfat untuk membentuk
fruktosa 6-fosfat dan dari glukosa 6-fosfat untuk membentuk glukosa.
Selama glukoneogenesis, serangkaian enzim mengkatalis perubahan
piruvat menjadi fosfoenolpiruvat. Reaksi yang mengeluarkan fosfat
dari fruktosa 1,6 bifosfat dan dari glukosa 6-fosfat masing-masing
menggunakan enzim yang berbeda dengan enzim padanan pada
glikolisis. Selama glukoneogenesis, fosfat dikeluarkan oleh fosfatase
yang membebaskan Pi. Prekursor glukoneogenesis adalah asam amino,
laktat, dan gliserol. Reaksi glukoneogenesis menghasilkan ATP.(6), (7).

2.1.2 Definisi diabetes melitus


Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara
genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa
hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara
klinis, maka diabetes mellitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan
postprandial, aterosklerorik dan penyakit vascular mikroangiopati, dan
neuropati. Manifestasi klinis hiperglikemia biasanya sudah bertahun-tahun
mendahului timbulnya kelainan klinis dari penyakit vaskularnya. Pasien
dengan kelainan toleransi glukosa ringan (gangguan glukosa puasa dan
gangguan toleransi glokosa) dapat tetap beresiko mengalami komplikasi
metabolik diabetes. (14)
10

Diabetes melitus merupakan kondisi kronis yang ditandai dengan


peningkatan konsentrasi glukosa darah disertai munculnya gejala utama
yakni urine yang berasa manis dalam jumlah yang besar. Kelainan yang
menjadi penyebab mendasar dari diabetes melitus adalah defisiensi relatif
atau absolut dari hormon insulin. Insulin merupakan satu-satunya hormon
yang dapat menurunkan kadar glukosa dalam darah. (2)
Diabetes melitus merupakan penyakit endokrin yang paling lazim.
Frekuensi sesungguhnya sulit diperoleh karena perbedaan standar
diagnosis tetapi mungkin antara 1 dan 2 persen jika hiperglikemia puasa
merupakan kriteria diagnostik. Penyakit ini ditandai oleh kelainan
metabolik dan komplikasi jangka panjang yang melibatkan mata, ginjal,
saraf dan pembuluh darah. Populasi pasien tidak homogen dan sudah
didapat beberapa perbedaan sindroma diabetik yang jelas.(14)

2.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus


Klasifikasi Diabetes Melitus Di Indonesia ada dua jenis utama
diabetes melitus yang paling sering ditemui, yaitu: diabetes melitus
tergantung insulin (tipe I) dan diabetes mellitus tidak tergantung insulin
(tipe II). Diabetes Melitus tergantung Insulin (DMTI/Tipe I) Kebanyakan
penderita diabetes mellitus tipe I mendapatkan penyakit ini pada usia
muda. Biasanya penderita diabetes melitus yang termasuk dalam
kelompok ini: muda, kurus dan mendapatkan penyakitnya secara tiba-tiba.
Produksi insulin oleh pankreas sangat sedikit dan tidak mencukupi
sehingga tergantung pada pemberian insulin dari luar. Penyakit ini tidak
dapat dikendalikan tanpa menggunakan insulin sehingga setiap penderita
harus disuntik insulin.(3)
Diabetes Melitus Tergantung Insulin (DMTI) disebabkan oleh
penghancuran total sel-sel penghasil pada pankreas. Kerusakan pada sel-
sel penghasil insulin disebabkan oleh peradangan. Kondisi tersebut
disebabkan oleh faktor lingkungan, mungkin berupa virus yang menyerang
11

seseorang yang mudah terkena karena mempunyai pola gen tertentu


disebut dengan gen human leucocyte antygent (HLA). (3)
Fungsi utama insulin itu sendiri dalam menurunkan kadar glukosa
secara alami yaitu dengan cara :(3)
a. Meningkatkan jumlah gula yang disimpan didalam hati
b. Merangsang sel-sel tubuh agar menyerap gula
c. Mencegah hati mengeluarkan terlalu banyak gula.

Jika insulin berkurang, kadar gula didalam darah akan meningkat.


Gula dalam darah berasal dari makanan kita yang diolah secara kimiawi
oleh hati. Sebagian gula disimpan dan sebagian lagi digunakan untuk
tenaga. Disinilah fungsi hormon insulin sebagai “stabilizer” alami
terhadap kadar glukosa dalam darah. Jika terjadi gangguan sekresi
(produksi) hormon insulin pada sel-sel darah maka potensi terjadinya
diabetes mellitus sangat besar sekali. Diabetes Mellitus Tidak Tergantung
Insulin (DMTTI/Tipe II) Diabetes Melitus Tidak Tergantung Insulin
paling banyak menyerang orang dewasa, walaupun diabetes mellitus tipe
II juga dapat timbul pada usia berapa saja. Pada diabetes melitus tipe II
sel-sel penghasil insulin tidak rusak, tetapi tidak menghasilkan cukup
insulin sehingga hati, otot serta lemak tidak bereaksi secara normal
terhadap insulin yang dihasilkan.(3)

2.1.4 Patofisiologi
Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah insulin normal malah mungkin
lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan
sel yang kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang
kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang
kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak,
tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang
masuk sel akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar
(glukosa) dan glukosa di dalam pembuluh darah meningkat. Dengan
demikian keadaan ini sama dengan pada DM tipe 1. Perbedaannya adalah
12

DM tipe 2 disamping kadar glukosa tinggi juga kadar insulin tinggi atau
normal. Keadaan ini disebut resistensi insulin (13)
Sebagian besar patologi diabetes melitus dapat dihubungkan dengan
efek utama kekurangan insulin yaitu (13) :
a) Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh, yang
mengakibatkan peningkatan konsentrasi glukosa darah sampai
setinggi 300 sampai 1200 mg per 100 ml.
b) Peningkatan mobilisasi lemak dan daerah penyimpanan lemak
sehingga menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun
pengendapan lipid pada dinding vaskuler.
c) Pengurangan protein dalam jaringan tubuh.
Keadaan patologi tersebut akan berdampak :(13)
1. Hiperglikemia
Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa darah
yang tinggi daripada rentang kadar puasa normal 80-90 mg/100 ml
darah, atau rentang non puasa sekitar 140-160 mg/100 ml darah. (8)
Dalam keadaan insulin normal asupan glukosa atau
produksi glukosa dalam tubuh akan difasilitasi (oleh insulin) untuk
masuk ke dalam sel tubuh. Glukosa itu kemudian diolah untuk
menjadi bahan energi. Apabila bahan energi yang dibutuhkan
masih ada sisa akan disimpan sebagai glikogen dalam sel-sel hati
dan sel-sel otot (sebagai massa sel otot). Proses glikogenesis
(pembentukan glikogen dari unsur glukosa ini dapat mencegah
hiperglikemia). Pada penderita diabetes melitus proses ini tidak
dapat berlangsung dengan baik sehingga glukosa banyak
menumpuk di darah (hiperglikemia). (13)
Secara rinci proses terjadinya hiperglikemia karena defisit
insulin tergambar pada perubahan metabolik sebagai berikut :(13)
a) Transport glukosa yang melintasi membran sel-sel berkurang.
b) Glukogenesis (pembentukan glikogen dari glukosa) berkurang
dan tetap terdapat kelebihan glukosa dalam darah.
13

c) Glikolisis (pemecahan glukosa) meningkat, sehingga cadangan


glikogen berkurang, dan glukosa “hati” dicurahkan dalam
darah secara terus menerus melebihi kebutuhan.
d) Glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari unsur non
karbohidrat) meningkat dan lebih banyak lagi glukosa “hati”
yang tercurah ke dalam darah hasil pemecahan asam amino dan
lemak.
Hiperglikemia akan mengakibatkan pertumbuhan berbagai
mikroorganisme dengan cepat seperti bakteri dan jamur. Setiap
kali timbul peradangan maka akan terjadi mekanisme peningkatan
darah pada jaringan yang cidera. Kondisi itulah yang membuat
mikroorganisme mendapat peningkatan pasokan nutrisi.. Kondisi
ini akan mengakibatkan penderita diabetes melitus mudah
mengalami infeksi oleh bakteri dan jamur. (13)
2. Hiperosmolaritas
Hiperosmolaritas adalah adanya kelebihan tekanan osmotik
pada plasma sel karena adanya peningkatan konsentrasi zat.
Sedangkan tekanan osmosis merupakan tekanan yang dihasilkan
karena adanya peningkatan konsentrasi larutan pada zat cair. Pada
penderita diabetes melitus terjadinya hiperosmolaritas karena
peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah (yang notabene
komposisi terbanyak adalah zat cair). Peningkatan glukosa dalam
darah akan berakibat terjadinya kelebihan ambang pada ginjal
untuk memfiltrasi dan reabsorbsi glukosa (meningkat kurang lebih
225 mg/ menit). Kelebihan ini kemudian menimbulkan efek
pembuangan glukosa melalui urin (glukosuria). Ekskresi molekul
glukosa yang aktif secara osmosis menyebabkan kehilangan
sejumlah besar air (diuresis osmotik) dan berakibat peningkatan
volume air (poliuria).(13)
Akibat volume urin yang sangat besar dan keluarnya air
yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel
14

mengikuti dehidrasi ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi


keluar sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi ke plasma
yang hipertonik (sangat pekat). Dehidrasi intrasel merangsang
pengeluaran ADH dan menimbulkan rasa haus. (13)
Glukosuria dapat mencapai 5-10% dan osmolaritas serum
lebih dan 370-380 mosmols/ dl dalam keadaan tidak terdapatnya
keton darah. Kondisi ini dapat berakibat koma hiperglikemik
hiperosmolar nonketotik (KHHN). (13)
3. Starvasi Selluler
Starvasi Selluler merupakan kondisi kelaparan yang dialami
oleh sel karena glukosa sulit masuk padahal di sekeliling sel
banyak sekali glukosa. Ada banyak bahan makanan tapi tidak bisa
dibawa untuk diolah. Sulitnya glukosa masuk karena tidak ada
yang memfasilitasi untuk masuk sel yaitu insulin. (13)
Dampak dari starvasi selluler akan terjadi proses
kompensasi selluler untuk tetap mempertahankan fungsi sel. Proses
itu antara lain. (13)
a) Defisiensi insulin gagal untuk melakukan asupan glukosa bagi
jaringan-jaringan peripheral yang tergantung pada insulin. Jika
tidak terdapat glukosa, sel-sel otot memetabolisme cadangan
glikogen yang mereka miliki untuk dibongkar menjadi glukosa
dan energi mungkin juga akan menggunakan asam lemak bebas
(keton). Kondisi ini berdampak pada penurunan massa otot,
kelemahan otot, dan rasa mudah lelah.
b) Starvasi selluler juga akan mengakibatkan peningkatan
metabolisme protein dan asam amino yang digunakan sebagai
substrat yang diperlukan untuk glukoneogenesis dalam hati.
Hasil dari glukoneogenesis akan dijadikan untuk proses
aktivitas sel tubuh.
Protein dan asam amino yang melalui proses

glukoneogenesis akan dirubah menjadi CO2 dan H2O serta


15

glukosa. Perubahan ini berdampak juga pada penurunan sintesis


protein. (13)
Proses glukoneogenesis yang menggunakan asam amino
menyebabkan penipisan simpanan protein tubuh karena unsur
nitrogen (sebagai unsur pemecah protein) tidak digunakan kembali
untuk semua bagian tetapi diubah menjadi urea dalam hepar dan
dieksresikan dalam urine. Ekskresi nitrogen yang banyak akan
(13)
berakibat pada keseimbangan negative nitrogen.
Depresi protein akan berakibat tubuh menjadi kurus,
penurunan resistensi terhadap infeksi dan sulitnya pengembalian
jaringan yang rusak. (13)
Starvasi sel juga berdampak peningkatan mobilisasi dan
metabolisme lemak (lipolisis) asam lemak bebas, trigliserida, dan
gliserol yang akan meningkat bersirkulasi dan menyediakan
substrat bagi hati untuk proses ketogenesis yang digunakan sel
untuk melakukan aktivitas sel. Ketogenesis mengakibatkan
peningkatan kadar asam organik (keton), sementara keton
menggunakan cadangan alkali tubuh untuk buffer pH darah
menurun. Pernafasan kusmaull dirangsang untuk mengkompensasi
keadaan asidosis metabolik. Diuresis osmotik menjadi bertambah
buruk dengan adanya ketoanemis dan dari katabolisme protein
yang meningkatkan asupan protein ke ginjal sehingga tubuh
banyak kehilangan protein. (13)
Adanya starvasi selluler akan meningkatakan mekanisme
penyesuaian tubuh untuk meningkatkan pemasukan dengan
munculnya rasa ingin makan terus (polifagi). Starvasi selluler juga
akan memunculkan gejala klinis kelemahan tubuh karena terjadi
penurunan produksi energi. Dan kerusakan berbagai organ
reproduksi yang salah satunya dapat timbul impotensi dan organ
tubuh yang lain seperti persarafan perifer dan mata (muncul rasa
baal dan mata kabur). (13)
16

2.1.5 Gejala Klinis


Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi
metabolik defisiensi insulin. Tidak dapat mempertahankan kadar glukosa
plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan
karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal
untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan
diueresis osmotic yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan
timbul rasa haus (polidipsi). Karena glukosa hilang bersama urin, maka
pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang.
Rasa lapar yang semakin besar (polifagi) mungkin akan timbul sebagai
akibat kehilangan kalori, mengeluh lelah dan mengantuk. (13)
Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut mungkin
menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka
tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin
secara absolut namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan
masih cukup untuk menghambat ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat
dan pasien tidak berespons terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obat
hipoglikemik oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk menormalkan
kadar glukosanya. Kadar insulin pada pasien sendiri mungkin berkurang
normal atau malahan tinggi, tetapi tetap tidak memadai untuk
mempertahankan kadar glukosa darah normal. (13)

2.1.6 Cara Penilaian glukosa darah


2.1.6.1 HbA1c
Metode yang digunakan untuk menentukan pengontrolan
glukosa pada semua tipe diabetes adalah Pengukuran glikat
hemoglobin. Selama 120 hari masa hidup hemoglobin dalam
eritrosit, normalnya hemoglobin sudah mengandung glukosa. Bila
kadar glukosa meningkat diatas normal maka jumlah glikat
hemoglobin juga akan meningkat. Nilai hemoglobin yang tinggi
menunjukan bahwa kadar glukosa darah tinggi selama 4 hingga 8
17

minggu. Nilai normal glikat hemoglobin antara 3,5% hingga 5,5%.


Test tersebut dapat dilakukan diklinik rawat jalan dalam waktu
beberapa menit dan merupakan indikator pengontrolan kadar
glukosa yang cepat dan dapat dipercaya untuk 4 hingga 8 minggu
sebelumnya. (15)
2.6.1.2 Glukosa darah sewaktu (GDS) dan glukosa darah puasa (GDP)
Ada beberapa jenis pemeriksaan yang dilakukan terhadap
glukosa darah antara lain yaitu pemeriksaan kadar glukosa darah
puasa ( GDP ), glukosa darah sewaktu ( GDS ) dan glukosa 2 jam
setelah makan. ( Darwis, et al., 2005 ). Nilai rujukan : GDS : 1)
Darah vena : < 140 mg/dl GDP : 1) Darah vena : 60-110 mg/dl 2)
Serum atau plasma : 70-110 mg/dl G2JPP : 1) Darah vena : 120
mg/dl Serum atau plasma : < 140 mg/dl Persiapan pasien pada
pemeriksaan Glukosa Darah Puasa yaitu pasien dipuasakan 8-12
jam sebelum tes, semua obat dihentikan dulu, bila ada obat yang
harus diberikan ditulis pada formulir permintaan tes. Pada
pemeriksaan glukosa 2 jam setelah makan, tes tes dilakukan 2 jam
setelah tes GDP, pasien dianjurkan makan makanan yang
mengandung 100 gram karbohidrat sebelum tes dilakukan.
Pemeriksaan glukosa darah tanpa persiapan bertujuan untuk
melihat kadar gula darah sesaat tanpa puasa dan tanpa
pertimbangan waktu setelah makan. Untuk memantau kadar
glukosa darah dapat dipakai bahan plasma vena atau serum dan
darah kapiler.(5)
Sampel serum didapatkan apabila sejumlah volume darah
dimasukkan dalam sebuah tabung dan dibiarkan membeku lalu
dicentrifugasi dengan kecepatan dan dalam waktu tertentu maka
akan dihasilkan suatu cairan pada lapisan atas berwarna kuning
muda yang disebut serum. Jika dengan penambahan antikoagulan
dalam jumlah tertentu ke dalam sejumlah volume darah kemudian
dicentrifugasi dengan kecepatan dan dalam waktu tertentu, maka
18

akan didapatkan cairan pada lapisan atas berwarna kuning dan


disebut plasma. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil
laboratorium, diantaranya yaitu; obat kortison dan tiazid dapat
menyebabkan peningkatan kadar gula darah, trauma dan stres
dapat menyebabkan peningkatan kadar gula darah. Penundaan
pemeriksaan serum dapat menyebabkan penurunan kadar gula
darah, Merokok dapat meningkatkan kadar gula darah serum,
Aktifitas yang berat sebelum uji laboratorium dilakukan dapat
menurunkan kadar gula darah. (5)
Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa
darah yaitu Glukometer yang umumnya sederhana dan mudah
dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat
tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik
dan cara pemeriksaan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan.
Secara berkala, hasil pemantauan dengan alat Glukometer perlu
dibandingkan dengan cara konvensional. (5)

2.1.7 Penatalaksanaan
2.6.2.1 non-farmakologi
a. Diet
Pola makan adalah makanan yang seimbang antara zat gizi
karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Makanan yang
seimbang adalah makanan yang tidak mementingkan salah satu zat
gizi tertentu dan dikonsumsi sesuai dengan kebutuhan. (13)
Pengaturan diet pada penderita diabetes mellitus merupakan
pengobatan yang utama pada penatalaksanaan diabetes mellitus
yaitu mencakup pengaturan dalam: (13)
1. Jumlah Makanan
Syarat kebutuhan kalori untuk penderita diabetes
mellitus harus sesuai untuk mencapai kadar glukosa normal dan
mempertahankan berat badan normal. Komposisi energi adalah
19

60-70% dari karbohidrat, 10-15 % dari protein, 20–25 % dari


lemak. Makanlah aneka ragam makanan yang mengandung
sumber zat tenaga, sumber zat pembangun serta zat pengatur. (2)
a. Makanan sumber zat tenaga mengandung zat gizi
karbohidrat, lemak dan protein yang bersumber dari nasi
serta penggantinya seperti: roti, mie, kentang dan lain-lain.
b. Makanan sumber zat pembangun mengandung zat gizi
protein dan mineral. Makanan sumber zat pembangun
seperti kacang-kacangan, tempe, tahu, telur, ikan, ayam,
daging, susu, keju dan lain-lain.
c. Makanan sumber zat pengatur mengandung vitamin dan
mineral. Makanan sumber zat pengatur antara lain: sayuran
dan buah-buahan. Ada beberapa jenis diet dan jumlah kalori
untuk penderita diabetes mellitus menurut kandungan
energi, karbohidrat, protein dan lemak.
2. Jenis makanan
Ada beberapa jenis makanan yang dianjurkan dan jenis
makanan yang tidak dianjurkan atau dibatasi bagi penderita
diabetes mellitus yaitu: (2)
a. Jenis bahan makanan yang dianjurkan untuk penderita
diabetes mellitus adalah:
1) Sumber karbohidrat kompleks seperti nasi, roti, mie,
kentang, singkong, ubi dan sagu.
2) Sumber protein rendah lemak seperti ikan, ayam tanpa
kulitnya, susu skim, tempe, tahu dan kacang-kacangan.
3) Sumber lemak dalam jumlah terbatas yaitu bentuk
makanan yang mudah dicerna. Makanan terutama
mudah diolah dengan cara dipanggang, dikukus,
disetup, direbus dan dibakar.
20

b. Jenis bahan makanan yang tidak dianjurkan atau dibatasi


untuk penderita diabetes mellitus adalah:
1) Mengandung banyak gula sederhana, seperti gula pasir,
gula jawa, sirup, jelly, buah-buahan yang diawetkan,
susu kental manis, soft drink, es krim, kue-kue manis,
dodol, cake dan tarcis.
2) Mengandung banyak lemak seperti cake, makanan siap
saji.
3) Mengandung banyak natrium seperti ikan asin, telur
asin dan makanan yang diawetkan.
3. Interval Makan Penderita Diabetes Mellitus
Makanan porsi kecil dalam waktu tertentu akan membantu
mengontrol kadar gula darah. Makanan porsi besar
menyebabkan peningkatan gula darah mendadak dan bila
berulang-ulang dalam jangka panjang, keadaan ini dapat
menimbulkan komplikasi diabetes mellitus. Oleh karena itu
makanlah sebelum lapar karena makan disaat lapar sering tidak
terkendali dan berlebihan. Agar kadar gula darah lebih stabil,
perlu pengaturan jadwal makan yang teratur. Makanan dibagi
dalam 3 porsi besar yaitu makan pagi (20 %), siang (30 %), sore
(25 %) serta 2-3 kali porsi kecil untuk makanan selingan
masing-masing (10-15 %). (13)
b. Olahraga
Olahraga senam bagi penderita diabetes, senam jenis
apapun pada prinsipnya baik untuk semua orang. Tapi bagi
penderita diabetes manfaatnya akan lebih efektif bila jenis olahraga
yang dilakukan mayoritas menggunakan otot-otot besar tubuh.
Sebaliknya, senam menjadi bencana apabila dilakukan secara
sembarangan. Karena itu, memilih jenis senam atau olahraga yang
sesuai dengan usia dan kondisi anda sangatlah dianjurkan. Oleh
karena itu, penderita diabetes sebaiknya memilih jenis olahraga
21

yang sebagian besar menggunakan otot-otot besar, dengan


gerakangerakan ritmis dan berkesinambungan dalam waktu yang
lama. Sebenarnya senam yang diperuntukkan bagi penderita
diabetes sudah ada, sampai saat ini sudah sampai senam diabetes
Indonesia seri 4. Senam diabetes Indonesia seri 4 ini merupakan
serial senam diabetes Indonesia seri 1, 2, dan 3 yang penekanannya
pada gerakan ritmik otot, sendi, vaskuler dan saraf dalam bentuk
peregangan dan relaksasi. (13)
Prinsip olahraga bagi penderita diabetes, menyatakan
bahwa olahraga yang dianjurkan untuk penderita DM adalah
aerobic low impact dan rithmis, misalnya berenang, jogging, naik
sepeda, dan senam disco, sedangkan latihan resisten statis tidak
dianjurkan. Tujuan latihan adalah untuk meningkatkan kesegaran
jasmani atau nilai aerobik optimal. (13)

2.1.7.2 farmakologi
Empat kategori obat anti diabetik oral: insulin secretagogue
(sulfonilurea, meglitinid, derivate D-fenilalanin), biguanid,
tiazolindinedion, dan inhibitor α-glukosida. Sulfonilurea dan
biguanid sebagai pilihan terapi inisial untuk diabetes tipe 2. Kelas
baru insulin secretagogue yang bekerja cepat, yaitu meglitinid dan
derivat D-fenilalanin merupakan alternatif untuk menggantikan
sulfonilurea yang bekerja singkat. Tiazolindinedion merupakan
obat yang sangat efektif mengurangi resistensi insulin. Inhibitor
alfa-glukosidase memiliki efek antidiabetik yang relatif lemah dan
efek samping yang cukup bermakna, serta digunakan terutama
sebagai terapi tambahan pada individu yang tidak dapat mencapai
target kadar gula darahnya dengan obat-obatan lain. (8)
1. Sulfonilurea
Efek utama sulfonilurea adalah meningkatkan pelepasan
insulin dari pankreas dua mekanisme tambahan kerja obat ini
22

telah dikemukakan penurunan kadar glukagon serum dan


penutupan kanal kalium di jaringan selain pankreas. (8)
a. Pelepasan insulin dari sel B pankreas
Sulfonilurea berikatan dengan reseptor sulfonilurea
dengan afinitas tinggi yang berhubungan dengan kanal
kalium satu arah yang sensitif ATP di sel B bagian dalam.
Pengikatan sulfonilurea menghambat efluks ion kalium
melalui kanal tersebut dan menimbulkan depolarisasi.
Depolarisasi membuka suatu kanal kalsium bergerbang-
tegangan dan menimbulkan influks kalsium dan
pelepasan insulin. (8)
b. Penurunan kosentrasi glukagon serum
Pemberian sulfonilurea dalam jangka panjang pada
penderita diabetes tipe 2 mengurangi kadar glukagon
serum, yang dapat ikut berperan menimbulkan efek
hipoglikemik obat ini. Mekanisme penekanan
sulfonilurea terhadap kadar glukagon ini masih belum
jelas namun agaknya melibatkan inhibisi tidak langsung
akibat peningkatan pelepasan insulin dan somatostatin,
yang menghambat sekresi sel-A.
c. Penutupan kanal kalium di jaringan selain pankreas
Insulin secretagogue berikatan dengan reseptor
sulfonilurea di kanal kalium di jaringan selain penkreas.
Makna klinis peningkatan di luar jaringan pankreas ini
belum diketahui dengan pasti. (8)
Sulfonilurea secara konvensional dibagi menjadi
generasi pertama dan kedua, yang berbeda terutama
dalam hal potensi dan efek sampingnya. Sulfonilurea
generasi pertama semakin sulit untuk didapatkan dan
karena sulfonilurea generasi kedua menjadi obat generik
23

dan lebih murah, produksi obat generasi pertama


kemungkinan dihentikan. (8)
1) Sulfonilurea generasi pertama
Tolbutamid diabsorbsi dengan baik namun cepat di
metabolisme di hati. Lama kerjanya relatif pendek dengan
waktu paruh eliminasi 4-5 jam, dan paling baik diberikan
dosis terbagi. Karena waktu paruhnya yang pendek, obat
ini menjadi sulfunilurea yang paling aman digunakan
pada pasien diabetes lansia. Hipoglikemia yang
berkepanjangan jarang dilaporkan, kebanyakan pada
penderita yang mendapat obat tertentu (misalnya,
dikumarol, fenilbutazon, beberapa sulfonamide) yang
menghambat metabolisme tolbutamid. (8)
Klorpropamid mempunyai waktu paruh 32 jam dan
dimetabolisme secara perlahan di hati menjadi produk
yang masih memiliki aktivitas biologis, kira-kira 20-30%
dieksresikan dalam bentuk utuh ke dalam urin.
Klorpropamid juga berinteraksi dengan obat yang disebut
sebelumnya yang bergantung pada katabolisme oksidatif
hati, serta dikontraindikasikan pada penderita insufisiensi
hati atau ginjal. Dosis yang jauh lebih tinggi dari 500 mg
perhari meningkatkan risiko terjadinya ikterus. Dosis
pemeliharaan 250 mg perhari, yang diberikan sebagai
dosis tunggal pada pagi hari. Reaksi hipoglikemia
berkepanjangan lebih sering terjadi pada pasien lansia dan
obat ini dikontraindikasikan untuk kelompok pasien
tersebut. Efek samping lain mencangkup hyperemic flush
setelah minum alkohol pada pasien yang memiliki
predisposisi genetik dan hiponatremia akibat dilusi.
Toksisitas hematologik (leukopenia transien,
trombositopenia) terjadi pada kurang dari 1% pasien. (8)
24

Tolazamid sebanding dengan klorporpamid dalam


hal potensi, tetapi lama kerjanya lebih pendek. Tolazamid
diserap lebih lambat ketimbang sulfonilurea yang lain,
dan efeknya terhadap kadar gula darah tidak tampak
untuk beberapa jam. Waktu paruh sekitar 7 jam.
Tolazamid dimetabolisme menjadi beberapa senyawa
yang tetap mempunyai efek hipoglikemik. Jika lebih dari
500 mg tolazamid/hari dibutuhkan, dosis tersebut harus
dibagi dan diberikan dua kali sehari. (8)
2) Sulfonilurea generasi kedua
Sulfunilurea generasi kedua lebih sering digunakan
ketimbang sulfonilurea generasi bersama karena efek
sampingnya lebih jarang terjadi dan kurang berinteraksi
dengan obat-obat lain. Senyawa sulfunilurea yang poten
ini (gliburid, glipizid dan glimepirid) harus digunakan
secara hati-hati pada pasien dengan penyakit kardiovaskar
atau pada pasien lansia karena hipoglikemia terutama
berbahaya bagi lansia. (8)
Gliburid dimetabolisme di hati menjadi produk
dengan aktivitas hipoglikemik yang sangat rendah. Dosis
awal yang bisa diberikan adalah 2,5 mg/hari atau lebih
kecil, dan dosis pemeliharaan rerata adalah 5-10 mg/hari,
yang diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi hari.
Dosis pemeliharaan yang lebih tinggi dari 20 mg/hari
tidak di anjurkan. Suatu bentuk formulasi “micronized”
gliburid (Glynase presTab) kini tersedia dalam berbagai
ukuran tablet. Akan tetapi, terdapat beberapa pertanyaan
mengenai kesetaraannya secara biologis dengan bentuk
non-micronized, dan FDA menganjurkan pemantauan
secara hati-hati untuk mentitrasi kembali dosis bila kita
ingin mengganti bentuk obat yang diberikan dari dosis
25

gliburid standar atau dari obat-bat sulfunilurea yang lain.


Gliburid mempunyai sedikit efek samping selain
potensinya dalam menimbulkan hipoglikemia. Flushing
jarang dilaporkan terjadi setelah meminum etanol dan
obat ini sedikit meningkatkan free water clearance.
Gliburid Dikontraindikasikan pada gangguan gangguan
hati dan pada penderita dengan insufisiensi ginjal. (8)

Glibenklamid merupakan obat antidiabetes oral


yang merupakan golongan sulfonilurea. Sulfonilurea
menstimulasi pelepasan insulin dari pulau-pulau pankreas
sehingga pasien harus mempunya sel β pankreas yang
berfungsi parsial agar obat ini dapat berguna.
Glibenklamid mempunyai durasi yang panjang dan dan
dapat diberikan satu kali sehari, diberikan pagi hari
sebelum makan. Glibenklamid termasuk golongan
antidiabetik oral turunan sulfonilurea generasi kedua.
Mekanisme kerja glibenklamid dengan membebaskan
insulin yang dapat dimobilisasi sel-β pankreas dan pada
saat yang sama memperbaiki tanggapan terhadap
rangsang glukosa fisiologik. Glibenklamid pada saat
setelah pemberian per oral diabsorpsi dengan cepat dan
baik, dalam plasma terikat dalam jumlah besar pada
protein. Hipoglikemia merupakan efek samping utama
glibenklamid yang biasanya bersifat ringan, tetapi
kadang-kadang menjadi berat dan berkepanjangan.
Glibenklamid dapat menimbulkan efek samping saluran
cerna seperti mual, rasa tidak enak diperut atau anoreksia.
Reaksi alergi kulit seperti pruritus, eritema, urtikaria,
ruam kulit, morbililform, dan fotosensitivitas. Pengobatan
dengan glibenklamid umumnya dimulai dengan dosis
tunggal 5 mg pagi hari, tetapi pada pasien usia lanjut atau
26

pasien dengan gangguan fungsi ginjal, dosis awalnya


harus dikurangi menjadi 2,5 mg atau bahkan 1,25 mg
sehari. (9)
2. Meglitinid
Merupakan suatu kelas insulin secretagogue yang relatif
baru. Repaglinid, yaitu anggota pertama kelas obat tersebut.
Obat ini memodulasi pelepasan insulin dari sel β dengan
mengatur efluks kalium melalui kanal kalium. Meglitinid
memiliki dua tempat pengikatan yang sama dengan
sulfunilurea dan satu tempat pengikatan yang berbeda. (8)
Repaglinid memiliki onset kerja yang sangat cepat dengan
konsentrasi puncak dan efek puncak dalam waktu sekitar 1 jam
setelah ditelan, namun lama kerjanya 5-8 jam. Obat ini
dimetabolisme oleh CYP3A4 di hati dengan waktu paruh dalam
plasma selama 1 jam. Karena onsetnya yang cepat, pengguna
repaglinid diindikasikan untuk mengendalikan lonjakan kadar
glukosa setelah makan. Obat ini seharusnya ditelan sesaat
sebelum makan dengan dosis sebesar 0,25-4 mg (maximum, 16
mg/hari). Hipoglikemia berisiko timbul jika penderita terlambat
makan. Tidak terdapat sulfur dalam struktur obat ini sehingga
repaglinid dapat digunakan pada pasien diabetes tipe 2 yang
alergi terhadap sulfonilurea atau sulfur. (8)
3. Insulin
Insulin adalah hormon yang bersifat anabolik yang
mendorong penyimpanan glukosa sebagai glikogen di hati dan
otot, perubahan glukosa menjadi triasilgliserol di hati dan
penyimpanannya di jaringan adiposa, serta penyerapan asam
amino dan sintesis protein di otot rangka. Insulin meningkatkan
sintesis albumin dan protein darah lainnya oleh hati dan
meningkatkan penggunaan glukosa sebagai bahan bakar
dengan merangsang transpor glukosa ke dalam otot dan
27

jaringan adiposa. Insulin juga bekerja menghambat mobilisasi


bahan bakar. Pelepasan insulin ditentukan terutama oleh kadar
glukosa darah, terjadi dalam beberapa menit setelah pankreas
terpajan oleh kadar glukosa yang tinggi. Ambang untuk
pelepasan insulin adalah sekitar 80 mg/dl. Kadar tertinggi
insulin terjadi sekitar 30-45 menit setelah makan makanan
tinggi karbohidrat. Kadar insulin kembali ke tingkat basal
seiring dengan penurunan kadar glukosa darah, sekitar 120
menit selepas makan (Insulin disintesis oleh sel β pada
pankreas endokrin yang terdiri dari kelompok mikroskopis
kelenjar kecil, atau pulau Langerhans, tersebar di seluruh
pankreas eksokrin. Perangsangan insulin oleh glukosa
menyebabkan eksositosis vesikel penyimpanan insulin, suatu
proses yang bergantung pada ion K). + , ATP, dan ion Ca2+.
Fosforilasi glukosa dan metabolisme selanjutnya mencetuskan
pelepasan insulin melalui suatu mobilisasi Ca2+ Hasil kerja
insulin adalah insulin melawan fosforilasi yang dirangsang oleh
glukagon, insulin bekerja melalui jenjang fosforilasi yang
merangsang fosforilasi beberapa enzim, insulin menginduksi
dan menekan sintesis enzim spesifik, insulin bekerja sebagai
faktor pertumbuhan dan memiliki efek perangsangan umum
terhadap sintesis protein, dan insulin merangsang transpor
glukosa dan asam amino ke dalam sel. intrasel. Pulau Pankreas
dipersarafi oleh sistem autonom, termasuk cabang nervus
vagus, yang membantu mengkoordinasi pelepasan insulin
dengan tindakan makan. (9)
Potensiasi Kerja Insulin pada Jaringan Sasaran. Terdapat
bukti bahwa terjadi peningkatan ikatan insulin pada reseptor
jaringan selama pemberian sulfonylurea pada pasien dengan
diabetes tipe 2. Suatu peningkatan jumlah reseptor akan
peningkatkan efek yang dicapai pada suatu konsentrasi agonis
28

yang diberikan; kerja sulfonylurea yang demikian diharapkan


memberikan efek potensiasi pada kadar insulin pasien yang
rendah seperti pula pada pemberian insulin eksogen. Namun,
efek in vivo tersebut tidak terbukti apabila insulin ditambahkan
secara in vitropada jaringan sasaran insulin. Tambahan lagi,
pada diabetes tipe 1 tanpa sekresi insulin endogen, terapi
dengan sulfonylurea perlu dibuktikan meningkatkan kontrol
glucosa darah, meningkatkan sensitivitas pemberian insulin
ataupun meningkatkan ikatan reseptor dengan insulin.
Pengamatan tersebut dengan tegas menolak suatu efek
potensiasi langsung sulfonylurea terhadap kerja insulin. Lebih
tepatnya, pengamatan tersebut menimbulkan dugaan terjadinya
suatu manfaat sekunder efek metabolik yang dihasilkan dari
penurunan glikemia atau kadar asam lemak seperti sulfonylurea
meningkatkan rilis insulin pada pasien diabetes tipe 2. (9)
1.2 Tanaman Pare (Momordica charantia L)
2.2.1 Taksonomi Pare (Momordica charantia L)
Pare (Momordica charantia L) Sinonim Momordica balsamina
Blanco, Momordica balsamina Descourt, Momordica cylindrica Blanco,
Momordica jagorana C.Koch, Momordica operculata Vell, Cucumis
africanus Lindl. Merupakan tanaman tropis, hidup di dataran rendah dan
dapat merupakan tanaman yang dibudidayakan atau tanaman liar di
tanah kosong. (9)
2.2.2 Morfologi Pare (Momordica charantia L)
Tanaman semusim berumur hanya setahun perambat dengan
sulurnya mirip spiral membelit kuat untuk merambat. Pare berdaun
tunggal, berjajar diatara batang berselang-seling, bentuknya bulat
panjang, dengan panjang 3,5-8,5 cm, lebar 4 cm, berbagi menjari 5-7,
warnanya hijau tua. Bunga tunggal, berkelamin dua dalam satu pohon,
bertangkai panjang, berwarna kuning. Buah bulat memanjang, dengan 8-
10 rusuk memanjang, berbintil-bintil tidak beraturan, panjangnya 8-30
29

cm, rasanya pahit. Warna buah hijau, bila masak menjadi oranye yang
pecah dengan tiga katup. Biji banyak, coklat kekuningan, bentuknya
pipih memanjang, keras. (9)

Gambar 1. Morfologi buah pare

2.2.3 Sifat dan Habitat Tanaman Pare (Momordica charantia L)


Tanaman Pare tergolong dalam bangsa Cucurbitaceae, jenis
Momordica charantia L. Penyebarannya meliputi Cina, India dan Asia
Tenggara. Merupakan tanaman tropis, hidup di dataran rendah dan dapat
merupakan tanaman yang dibudidayakan atau tanaman liar di tanah
kosong. Pare mudah tumbuh memerlukan banyak sinar matahari,
sehingga dapat tumbuh subur di tempat yang teduh dan terlindung dari
sinar matahari. Sebagai tumbuhan bangsa Cucurbitaceae, buah Pare juga
mengandung bahan yang tergolong dalam glikosida triterpen atau
kukurbitasin. (9)
2.2.4 Kandungan dan Manfaat Pare (Momordica charantia L)
Kandungan dalam buah pare yang berguna dalam penurunan gula
darah adalah charantin, dan polipeptid-P insulin (polipeptida yang mirip
insulin) yang memiliki komponen yang menyerupai sulfonylurea (obat
antidiabetes paling tua dan banyak dipakai). Manfaat dari charantin ini
adalah menstimulasi sel-beta kelenjar pancreas tubuh memproduksi
insulin lebih banyak, selain meningkatkan deposit cadangan gula
glycogen di hati. Efek pare dalam menurunkan gula darah pada tikus
diperkirakan juga serupa dengan mekanisme insulin, sedangkan
polypeptide-P insulin menurunkan kadar glukosa darah secara langsung.
(17)
30

Buah pare mengandung bahan kimia antihiperglikemik, termasuk


glikocid saponin alkaloid protein dan steroid. Kandungan kimia yang
terkandung dalam pare mempunyai kemampuan antihiperglikemik,
selain itu kandungan antioksidan seperti vit c, carotinoid lycopens dan
flavonoid juga berperan penting dalam memerangi radikal bebas. Total
kandungan flavonoid dan phenol dalam ektrak pare telah diteliti bahwa
ektrak pare menyerupai diphenylpicrylhydrazyl (DPPH). Beberpa
penelitian terdahulu melaporkan antidiabetik yang terkandung dalam
pare yang berperan dalam fungsi renal dan perubahan histologikal pada
sel beta pankreas. Pare juga mempunyai efek yang baik bagi pencegahan
yang mana dapat menunda DM dikemudian hari, karena pare dapat
memperbaiki kerusakan sel renal pada tikus yang mengalami diabetes.
Pare juga dapat merubah GFAT (L-glutamin-Fruktosa-6-fosfat amino
transferase) untuk mensupresi sel yang menggalami pembengkakan
didalam renal, enzim yang menyebabkan akan dirubah menjadi sel
hipoglikemik. (1)

Tanaman Pare tergolong dalam bangsa Cucurbitaceae, jenis


Momordica charantia L. Penyebarannya meliputi Cina, India dan Asia
Tenggara. Pemanfaatan buah Pare bagi masyarakat Jepang bagian
Selatan sebagai obat pencahar, laksatif dan obat cacing. Di India,
ekstrak buah Pare digunakan sebagai obat diabetik, obat rheumatik,
obat gout, obat penyakit liver dan obat penyakit 1imfa. Di Indonesia,
buah Pare selain dikenal sebagai sayuran, juga secara tradisional
digunakan sebagai peluruh dahak, obat penurun panas dan penambah
nafsu makan. Selain itu, daunnya dimanfaatkan sebagai peluruh haid,
obat luka bakar, obat penyakit kulit dan obat cacing. Sejak diketahui
bahwa tanaman Pare berkhasiat terhadap kesehatan maka beberapa
peneliti berusaha mengetahui dan mengisolasikan bahan yang
terkandung dalam tanaman Pare. (15)
31

2.3 Kerangka Teori

Obat
Jus buah pare Olahraga Diet
(OHO)

Meglitinid Sulfonylurea

Sel β
pankreas

Kadar glukosa
Insulin
darah

Skema 1. Kerangka Teori

2.4 Kerangka Konsep


Variabel bebas Variabel terikat

Jus buah pare Kadar glukosa


darah

Skema 2. Kerangka Konsep

2.5 Hipotesis
Pemberian jus buah pare sebelum diberikan larutan gula berpengaruh
terhadap perubahan kadar glukosa darah pada Tikus galur Wistar.
32

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian (Keilmuan)


Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang mencakup
tentang ilmu penyakit dalam dan farmakologi.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian ini dilakukan di Laboratorium farmakologi
Universitas Padjajaran (UNPAD) dan dilaksanakan pada bulan februari
2016.
3.3 Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan


rancangan pretest and posttest control Group design dengan
menggunakan hewan percobaan sebagai objek penelitian. Penelitian ini
menggunakan 4 kelompok, yaitu 2 kelompok kontrol dan 2 kelompok
perlakuan. Kelompok penelitian yaitu :

1. Kelompok 1 sebagai kontrol negatif diberikan aquadest kemudian


diberikan larutan gula 1,35 gr.
2. Kelompok 2 sebagai kontrol positif yaitu diberikan glibenklamid
kemudian Tikus diberikan larutan gula dengan dosis 1,35 gr.
3. Kelompok 3 Tikus diberikan jus buah pare dengan dosis 2,5 ml
dicampur dengan aquadest 2,5 ml menjadi 5ml, kemudian diberikan
larutan gula dengan dosis 1,35 gr.
4. Kelompok 4 Tikus diberikan jus buah pare dengan dosis 5ml/grBB
Tikus kemudian diberikan larutan gula 1,35 gr.
33

3.4 Populasi dan Sampel


3.4.1 Populasi target
Populasi target pada penelitian ini adalah hewan percobaan
Tikus galur Wistar.
3.4.2 Populasi terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah hewan
percobaan Tikus galur wistar yang memenuhi kriteria inklusi.
3.4.3 Sampel penelitian
Sampel adalah 24 ekor Tikus (Tikus galur Wistar) yang
berumur ±2 bulan dan berat badan antara 200-250 gram.
3.4.3.1 Kriteria inklusi
1. Berat badan tikus antara 200 gram – 250 gram.
2. Umur ± 2 bulan.
3. Tikus galur Wistar sehat.
3.4.3.1 Kriteria eksklusi
1. Kondisi Tikus abnormal yaitu Tikus cacat, kusam, Tikus
tidak aktif.
2. Tingkah laku abnormal
3.4.4 Besar Sampling
Penentuan besar sampel menurut rumus WHO, yang
menyebutkan bahwa jumlah sampel dalam penelitian
eksperimental menggunakan hewan coba adalah minimal 5 ekor
hewan perkelompok perlakuan. Teknik sampling yang digunakan
ialah dengan teknik simple random sampling. Penelitian ini
menggunakan 24 ekor tikus yang dibagi menjadi 4 kelompok
dengan randomisasi sederhana yaitu 2 kelompok kontrol dan 2
kelompok perlakuan eksperimental sehingga dalam setiap
kelompok terdiri dari 6 ekor Tikus galur Wistar.
34

3.5 Variabel Penelitian


3.5.1 Variabel Bebas
Pemberian jus buah pare.
3.5.2 Variabel Terikat
Perubahankadar glukosa Tikus galur wistar.

3.6 Definisi Operasional

Definisi operasional dari variabel bebas dan variabel terikat yang


digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Definisi operasional

Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Skala

Variabel bebas : Perlakuan terhadap Mengukur kadar gula


buah pare pada tikus yang darah tikus sehat, Tikus
tikus yang dibuat hiperglikemia akibat diberi jus buah pare;
diabetes pemberian pakan tinggi Pada kelompok 3 dan 4 ;
Numerik
glukosa, dengan cara kemudian diberi diet
pemberian jus pare tinggi glukosa dan Tikus
yang

Variabel terikat: Kadar gula darah tikus Mengukur kadar gula


kadar Gula darah setelah perlakuan darah setelah perlakuan; Numerik
tikus
Pada kelompok 1, 2, 3, 4

3.7 Cara Pengumpulan Data


3.7.1 Bahan dan alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan:
alat
1. Kandang hewan coba
2. Tempat pakan dan minum tikus
3. Spuit
4. Alat ukur gula darah
35

5. Sonde oral
6. Pipet tetes
7. Gelas ukur
8. Juicer
9. Handscoon
10. Masker
11. Glucotest One touch
Bahan :
1. Hewan coba berupa tikus galur wistar
2. Larutan gula 1,35gr/200grBB Tikus
3. Aquadest
4. Preparat glibenklamid
5. Jus buah pare diberikan pada Tikus secara oral, dengan
dosis yang sudah ditentukan.
3.7.2 Prosedur Penelitian
1. Penelitian menggunakan 24 ekor tikus yang menggalami
masa adaptasi selama 7 hari di laboratorium Farmakologi
UNPAD, diberi makan secara ad libitum menggunakan
pelet 551 sebanyak 50mg 1x/hari.
2. Puasakan tikus selama 16 jam.
3. Setelah tikus menjalani adaptasi dan dipuasakan, tikus yang
hidup dan sehat akan masuk ke dalam tahap selanjutnya.
4. Tikus akan dibagi menjadi empat kelompok, dimana satu
kelompok terdiri dari 6 ekor dan tikus dari masing-masing
kelompok akan diberi kandang perekor.
5. Setiap kelompok tikus masing-masing akan dilakukan
pengukuran kadar glukosa (pretest)
6. Buah pare didapatkan di pasar, untuk pembuatan jus buah
pare dilakukan langkah sebagai berikut :
a. Buah pare yang masih utuh dicuci bersih.
b. Dikupas dan diambil dagingnya tanpa biji
36

c. Daging buah pare dimasukan ke dalam juicer hingga


halus dan terpisah dengan ampasnya.
7. Perlakuan pada setiap kelompok :
a. Kelompok 1 : diberi aquades 5 ml.
b. Kelompok 2 : diberi glibenklamid 0,09mg/200grBB
tikus yang dicampur dengan aquades hingga 5 ml.
c. Kelompok 3 : diberi jus buah pare sebanyak 2,5 ml
dicampur dengan aquadest sampai 5ml/200grBB Tikus.
d. Kelompok 4 : hanya diberi jus buah pare sebanyak 5
ml/200grBB Tikus.
8. Setelah 15 menit perlakuan, masing-masing kelompok tikus
diberi larutan gula sebanyak 1,35gr/200grBB tikus yang
dicampur aquades sampai 2 ml/200grBB.
9. Masing-masing kelompok akan diukur kadar glukosanya
pada menit ke 0 – 30 – 60 – 90 – 120.
10. Kemudian dilakukan terminasi dengan cara eutanasia
menggunakan ketamin dengan dosis 0,6 mg dengan cara
IV.
37

3.7.3 Alur Penelitian

24 ekor tikus galur wistar diadaptasi selama 7 hari

Tikus dipuasakan selama 16 jam

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4


6 ekor tikus diberi 6 ekor tikus diberi 6 ekor tikus diberi 6 ekor tikus diberi
kandang pertikus kandang pertikus kandang pertikus kandang pertikus

Pemeriksaan kadar Pemeriksaan kadar Pemeriksaan Pemeriksaan kadar


glukosa Pretest glukosa Pretest kadar glukosa glukosa Pretest
Pretest

Pembuatan jus buah pare dan


diberikan kepada :

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4


Diberikan aquadest Diberikan Diberikan jus buah
pere 2,5ml dicampur Diberikan jus buah
5 ml glibenklamid
aquadest hingga pere tanpa
0,09mg/200grBB
5ml/200grBB campuran aquadest
dicampur aquadest
5ml/200grBB
hingga 5 ml

Ditunggu 15 menit

Setiap kelompok Diberikan larutan gula 1,35gr/200grBB dicampur


aquadest hingga 2 ml/200grBB

Diukur kadar glukosa darah Tikus pada menit ke 0-30-60-90-120

Terminasi menggunakan Ketamin 0,6 mg dengan cara IV

skema 3. alur penelitian


38

3.8 Analisa Data

Data yang telah terkumpul sebelum diolah menggunakan alat penguji,


bisa diolah dengan cara manual. Tahap-tahap pengolahan data adalah
sebagai berikut:
a) Tahap editing, yaitu dengan memasukkan data kedalam file
komputer.
b) Tahap cleaning data, untuk meneliti kembali kesalahan-kesalahan
yang mungkin terjadi.
c) Tahap tabulasi data, yaitu dengan menyajikan data dalam tabel
yang telah disediakan.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS. Penentuan uji
yang digunakan, melalui langkah berikut:
a) Menentukan variabel yang dihubungkan : Variabel yang
dihubungkan adalah kadar glukosa darah pada Tikus Galur Wistar
sebelum dan sesudah pemberian jus buah pare pada 2 kelompok
perlakuan.
b) Menentukan jenis hipotesis : Komparatif.
c) Menentukan masalah skala variable : numerik dan nominal.
d) Menentukan perbedaan antara hasil tiap kelompok perlakuan
Langkah pertama adalah data diuji normalitasnya dengan
menggunakan uji Saphiro-Wilk (untuk data <30) dengan tingkat
kepercayaan 95%. Distribusi data dianggap normal jika p>0,05. Uji
normalitas dilakukan sebagai asumsi untuk menentukan uji hipotesa
selanjutnya.
Didapatkan hasil distribusi data tidak normal, maka peneliti
melakukan uji hipotesis dengan menggunakan uji Wilcoxon. Tes ini dipilih
karena dapat digunakan untuk membandingkan data hasil antar kelompok.
Kemudian dapat dilihat hasilnya apakah terdapat perbedaan yang
bermakna atau tidak. Data signifikan jika p<0,05.
39

3.9 Etika Penelitian


Seluruh hewan coba dirawat sesuai standar pemeliharaan binatang.
seluruh tindakan yang bersifat invasif termasuk terminasi hewan coba
dilakukan di bawah anestesi. Hal yang perlu dilaksanakan sesuai dengan
animal ethics antara lain perawatan dalam kandang, pemberian makan, dan
minum, aliran udara dalam ruang kandang, perlakuan saat penelitian,
menghilangkan rasa sakit, pengambilan unit analisis penelitian dan
permusnahannya.
40

BAB IV
HASIL

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian jus


pare terhadap penurunan kadar glukosa darah pada Tikus Wistar didapatkan
hasil sebagai berikut:
4.1 Analisa Sampel

Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 24 ekor tikus dengan pembagian 6


ekor untuk masing-masing kelompok. Sampel diteliti menggunakan alat
glucotest untuk mengukur kadar gula darah yang diambil dari ekor tikus.
4.1.1 Kadar Glukosa Darah Tikus
Tabel 3. Hasil Pengukuran Glukosa Darah
Kelompok Tikus Pretest Menit ke
nomer 0 30 60 90 120
I 1 88 121 124 145 116 110
2 71 85 118 89 121 115
3 57 82 106 118 99 94
4 63 93 167 164 116 137
5 33 88 134 163 141 167
6 86 104 134 164 160 152
median 67 129 154 154 118,5 126
Min-max 33-88 82-121 106-167 89-164 99-160 94-167
II 1 80 148 404 482 423 472
2 83 128 251 320 423 429
3 80 104 128 145 116 116
4 69 449 121 101 87 63
5 82 88 148 110 86 112
6 83 116 251 287 298 277
Median 81 122 199,59 216 207 196,5
Min-max 69-83 88-449 121-404 101-482 86-423 472
III 1 62 83 104 101 75 116
2 67 82 466 464 339 451
3 67 86 118 99 110 112
4 57 59 152 122 121 130
5 75 106 130 121 99 122
6 81 97 112 128 75 97
Median 67 82 124 121,5 75 119
Min-max 62-81 59-106 104-466 99-464 75-339 97-451
41

IV 1 75 104 137 118 115 167


2 94 137 184 99 97 106
3 65 134 251 311 251 249
4 73 118 167 141 116 130
5 53 75 134 101 101 122
6 62 185 320 429 437 466
Median 69 126 175,5 129,5 115,5 148,5
Min-max 53-94 75-185 134-320 99-429 97-437 106-466
Tabel 3 menunjukan bahwa kadar glukosa darah Tikus bervariasi dan terdapat
perubahan pada setiap perlakuan.

Grafik. 1 perubahan kadar glukosa darah

300

250

200

150

100

50

0
pretest menit 0 menit 30 menit 60 menit 90 menit 120

Grafik 1 menunjukan bahwa terdapat perubahan pada setiap kelompok


disetiap waktunya.
Keterangan :

aquadest

glibenklamid

2,5 ml aquadest
+ 2,5 ml jus pare

5 ml jus pare
42

4.1.2 Perubahan kadar glukosa darah tikus


Sebelum dilakukan uji Wilcoxon dilakukan uji normalitas terlebih
dahulu yang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Uji Normalitas antar Kelompok


Variable Kelompok N P Keterangan
perlakuan
Pretest Aquadest 6 0,60 Normal
Glibenklamid 6 0,008 Tidak normal
2,5 ml Aquadest + 6 0,865 Normal
2,5 ml jus pare
Jus buah pare 5 ml 6 0,786 Normal
Post test Aquadest 6 0,285 Normal
Menit ke-0
Glibenklamid 6 0,001 Tidak normal
2,5 ml Aquadest + 6 0,702 Normal
2,5 ml jus pare
Jus buah pare 5 ml 6 0,909 Normal
Menit ke-30 Aquadest 6 0,525 Normal
Glibenklamid 6 0,189 Normal
2,5 ml Aquadest + 6 0,001 Tidak normal
2,5 ml jus pare
Jus buah pare 5 ml 6 0,265 Normal
Menit ke-60 Aquadest 6 0,091 Normal
Glibenklamid 6 0,323 Normal
2,5 ml Aquadest + 6 0,000 Tidak normal
2,5 ml jus pare
Jus buah pare 5 ml 6 0,038 Tidak normal
Menit ke-90 Aquadest 6 0,610 Normal
Glibenklamid 6 0,066 Normal
2,5 ml Aquadest + 6 0,002 Tidak normal
2,5 ml jus pare
Jus buah pare 5 ml 6 0,015 Tidak normal
Menit ke-120 Aquadest 6 0,849 Normal
Glibenklamid 6 0,232 Normal
2,5 ml Aquadest + 6 0,000 Tidak normal
2,5 ml jus pare
Jus buah pare 5 ml 6 0,038 Tidak normal

Tabel 4. Berdasarkan uji normalitas Shapiro-Wilk terdapat nilai p value < 0,05
sehingga distribusi data dianggap tidak normal, oleh karena itu uji selanjutnya
menggunakan uji Wilcoxon.
43

Tabel 5. Hasil uji Wilcoxon antara pretest dengan menit ke-0


Kelompok Median Median P
Pretest menit ke-0

K1 67 129 0.028

(aquadest)

K2 81 122 0.028

(Glibenklamid)

P1 67 82 0.028

(2,5 ml Jus Pare +


2,5 ml aquadest)

P2 69 126 0.028

(5 ml Jus Pare)

Tabel 5 pada menit ke-0 setelah pembebanan glukosa, terjadi peningkatan kadar
glukosa darah secara signifikan pada semua kelompok (p = 0,028)

Tabel 6. Hasil uji Wilcoxon antara pretest dengan menit ke-30


Kelompok Median Median P
Pretest Menit ke – 30

K1 67 154 0.028

(aquadest)

K2 81 199,59 0.027

(Glibenklamid)

P1 67 124 0.028

(2,5 ml Jus Pare +


2,5 ml aquadest)

P2 69 175,5 0.028

(5 ml Jus Pare)

Tabel 6 pada menit ke-30 setelah pembebanan glukosa, terjadi peningkatan kadar
glukosa darah secara signifikan pada semua kelompok (p < 0,05)
44

Tabel 7. Hasil uji Wilcoxon antara pretest dengan menit ke-60


Kelompok Median median P
Pretest Menit ke – 60

K1 67 154 0.028

(aquadest)

K2 81 216 0.028

(Glibenklamid)

P1 67 121,5 0.028

(2,5 ml Jus Pare +


2,5 ml aquadest)

P2 69 129,5 0,028

(5 ml Jus Pare)

Tabel 7 pada menit ke-60 setelah pemberian perlakuan dan pembebanan glukosa,
kadar glukosa darah masih meningkat secara signifikan pada semua kelompok (p <
0,05)
Tabel 8. Hasil uji Wilcoxon antara pretest dengan menit ke-90
Kelompok Median Median P
Pretest Menit ke – 90

K1 67 118,5 0.028

(aquadest)

K2 81 207 0.028

(Glibenklamid)

P1 67 75 0.046

(2,5 ml Jus Pare +


2,5 ml aquadest)

P2 69 115,5 0.028

(5 ml Jus Pare)

Tabel 8 pada menit ke-90 setelah pemberian perlakuan dan pembebanan glukosa,
terjadi peningkatan kadar glukosa darah secara signifikan pada semua kelompok (p <
0,05)
45

Tabel 9. Hasil uji Wilcoxon antara pretest dengan menit ke-120


Kelompok Median median P
Pretest Menit ke – 120

K1 67 126 0.028

(aquadest)

K2 81 196,5 0.046

(Glibenklamid)

P1 67 119 0.028

(2,5 ml Jus Pare +


2,5 ml aquadest)

P2 69 148,5 0.028

(5 ml Jus Pare)

Tabel 9 dibandingkan kondisi pretest dalam menit ke-120 menit kadar gula darah
meningkat secara signifikan diseluruh kelompok (p < 0,05).

Tabel 10. Hasil uji Wilcoxon antara menit ke-0 dengan menit ke-30
Kelompok Median Median P
menit ke-0 Menit ke – 30

K1 129 154 0.028

(aquadest)

K2 122 199,59 0.028

(Glibenklamid)

P1 82 124 0.028

(2,5 ml Jus Pare +


2,5 ml aquadest)

P2 126 175,5 0,028

(5 ml Jus Pare)

Tabel 10 berdasarkan hasil uji wilcoxon antara menit ke - 0 dengan menit ke - 30


pada didapatkan nilai yang signifikan meningkat karena P Value <0.05
46

Tabel 11. Hasil uji Wilcoxon antara menit ke-30 dengan menit ke-60
Kelompok Median Median P
Menit ke – 30 Menit ke – 60

K1 154 154 0.293

(aquadest)

K2 199,59 216 0.345

(Glibenklamid)

P1 124 121,5 0.173

(2,5 ml Jus Pare +


2,5 ml aquadest)

P2 175,5 129,5 0.917

(5 ml Jus Pare)

Tabel 11 berdasarkan hasil uji wilcoxon pemberian perlakuan dan beban glukosa,
terjadi penurunan kadar glukosa pada menit ke-60 pada kelompok 3 dan 4, akan
tetapi belum signifikan (p > 0,05)

Tabel 12. Hasil uji Wilcoxon antara menit ke-30 dengan menit ke-90
Kelompok Median Median P
Menit ke – 30 Menit ke – 90

K1 154 118,5 0.674

(aquadest)

K2 199,59 207 0.753

(Glibenklamid)

P1 124 75 0.027

(2,5 ml Jus Pare +


2,5 ml aquadest)

P2 175,5 115,5 0.500

(5 ml Jus Pare)

Tabel 12 pada kelompok 3, terjadi penurunan kadar glukosa darah pada menit ke-90,
dengan nilai signifikan (p = 0,027)
47

Tabel 13. Hasil uji Wilcoxon antara menit ke-30 dengan menit ke-120
Kelompok Median Median P
Menit ke – 30 Menit ke – 120

K1 154 126 0.917

(aquadest)

K2 199,59 196,5 0.600

(Glibenklamid)

P1 124 119 0.115

(2,5 ml Jus Pare +


2,5 ml aquadest)

P2 175,5 148,5 0.753

(5 ml Jus Pare)

Tabel 13 berdasarkan hasil uji wilcoxon antara menit ke - 30 dengan menit ke - 120
didapatkan nilai yang tidak signifikan karena P Value >0.05 pada kelompok kontrol.
48

BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Perubahan kadar Glukosa Darah Tikus


Berdasarkan hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa terdapat
perubahan kadar glukosa darah pada setiap kelompok. Terdapat
peningkatan kadar glukosa darah menit ke-0 pada setiap kelompok,
terutama pada menit ke–30. Kadar glukosa darah semua kelompok pada
menit ke–60 mulai menurun tetapi tidak signifikan, sedangkan pada menit
ke-90 menggalami penurunan yang signifikan terutama pada kelompok 3
yang diberikan 2,5 ml jus pare yang dicampur dengan 2,5 ml aquadest
menurun cukup signifiakan (P = 0,027). Kadar glukosa darah pada menit
ke 120 menggalami peningkatan kembali pada semua kelompok. Hal ini
disebabkan oleh kandungan polypeptide-P yang terdapat pada pare
memiliki kadar tertinggi insulin terjadi sekitar 30-45 menit setelah makan
makanan tinggi karbohidrat dan kembali ke tingkat basal seiring dengan
penurunan kadar glukosa darah, sekitar 120 menit selepas makan.
Penurunan kadar glukosa darah yang efektif pada kelompok perlakuan 1
yaitu yang diberi jus buah pare 2,5 ml dicampur dengan 2,5 ml aquadest
dan waktu yang efektif pada menit ke-90.
Pada penelitian Fahri Trisnaryan Pratama dengan judul ‘Pengaruh
decocta buah pare (Momordica charantia L.) terhadap penurunan kadar
glukosa darah tikus wistar yang diberi beban glukosa’ didapatkan hasil
bahwa peningkatan kadar rata-rata glukosa darah pada kontrol negative
terjadi 30 menit setelah pembebanan glukosa. Hasil ini menunjukkan
bahwa pembebanan glukosa dengan dosis 1,35 gr/200grBB mampu
menciptakan kondisi hiperglikemik dan telah terjadi absorpsi glukosa di
menit ke 30 pada hewan coba. Terjadi sedikit penurunan kadar rata-rata
glukosa di menit ke 60, 90, dan 120 pada kontrol negatif. Hal ini
menunjukkan telah terjadi eliminasi glukosa pada hewan coba akibat
49

pengaruh fisiologis. Dengan demikian hal tersebut di atas dapat dijadikan


sebagai dasar dalam uji pengaruh decocta buah pare terhadap penurunan
kadar rata-rata glukosa darah selanjutnya.(4)
Pada penelitian ini memberikan informasi bahwa sebagai tanaman
herbal jus buah pare cukup berpengaruh untuk mengobati penyakit
diabetes mellitus, karena Kandungan dalam buah pare yang berguna
dalam penurunan gula darah adalah charantin, dan polipeptid-P insulin
(polipeptida yang mirip insulin) yang memiliki komponen yang
menyerupai sulfonylurea (obat antidiabetes paling tua dan banyak
dipakai). Manfaat dari charantin ini adalah menstimulasi sel-beta kelenjar
pancreas tubuh memproduksi insulin lebih banyak, selain meningkatkan
deposit cadangan gula glycogen di hati. Efek pare dalam menurunkan gula
darah pada tikus diperkirakan juga serupa dengan mekanisme insulin,
sedangkan polypeptide-P insulin menurunkan kadar glukosa darah secara
langsung. (17)
Pada kelompok control negatif yang tidak diberi perlakuan tidak
terdapat perubahan yang signifikan pada kadar glukosa darah, kecuali pada
kelompok kontrol positif yang diberi glibenklamid terdapat perubahan.
Pada pemberian glibenklamid diberikan sebelum pemberian glukosa,
dikarenakan obat hiperglikemik oral ini untuk membantu produksi hormon
insulin yang memberikan efek penekanan terhadap kadar glukosa darah.
Pada kelompok perlakuan 1 dan perlakuan 2 kadar glukosa darah
memberikan hasil perubahan antara sebelum dan sesudah perlakuan.
Glibenklamid merupakan obat antidiabetes oral yang merupakan golongan
sulfonilurea. Sulfonilurea menstimulasi pelepasan insulin dari pulau-pulau
pankreas sehingga pasien harus mempunya sel β pankreas yang berfungsi
parsial agar obat ini dapat berguna. Glibenklamid mempunyai durasi yang
panjang dan dan dapat diberikan satu kali sehari, diberikan pagi hari
sebelum makan.(12)
Buah pare mengandung bahan kimia antihiperglikemik, termasuk
glikocid saponin akaloid triterpnes protein dan steroid. Kandungan kimia
50

yang terkandung dalam pare mempunyai kemampuan antihiperglikemik,


selain itu kandungan antioksidan seperti vit c, carotinoid lycopens dan
flavonoid juga berperan penting dalm memerangi radikal bebas. Total
kandungan flavonoid dan fhenol dalam ektrak pare, telah diteliti bahwa
ektrak pare menyerupai diphenylpicrylhydrazyl (DPPH). Beberapa
penelitian terdahulu melaporkan antidiabetik yang terkandung dalam pare
yang berperan dalam fungsi renal dan perubahan histologikal pada sel beta
pankreas. Pare juga mempunyai efek yang baik bagi pencegahan yang
mana dapat menunda dm dikemudian hari, karena pare dapat memperbaiki
kerusakan sel renal pada tikus yang mengalami diabetes. Pare juga dapat
merubah GFAT (L-glutamin-Fruktosa-6-fosfat amino transferase) untuk
mensupresi sel yang menggalami pembengkakan didalam renal, enzim
yang menyebabkan akan dirubah menjadi sel hipoglikemik. (1)

5.2 Keterbatasan Penelitian


Keterbatasan penelitian ini disebabkan oleh faktor, diantaranya:
1. Peneliti tidak mengukur kadar insulin pada tikus
2. Pada saat pengambilan darah dari pembuluh darah yang terdapat pada ekor
tikus mengalami sedikit kesulitan, dikarenakan darah yang keluar tidak
selalu banyak.
51

BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
 Jus pare berpengaruh terhadap kadar glukosa darah tikus yang diberi
beban glukosa.
 Tidak terdapat perbedaan kadar glukosa darah dari tiap kelompok
pada menit ke 0, 30, 60, 90 dan 120 kecuali pada kelompok 3 menit
ke-90.
 Dosis jus buah pare yang memiliki pengaruh terhadap perubahan
kadar glukosa darah Tikus galur Wistar yaitu 2,5 ml jus pare yang
dicampur dengan aquadest 2,5 ml.
 Lama kerja jus buah pare dalam menurunkan kadar glukosa darah
merupakan hasil yang signifikan (P=0,027) pada menit ke-90.

6.2 Saran

Berdasarkan hasil peneletian maka saran yang dapat diberikan adalah,


sebagai berikut :
1. Untuk peneliti selanjutnya perlu dilakukan penelitian pada pasien
dengan DM, sebagai terapi tambahan dalam penggelolaan DM.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan kelompok control
menggunakan obat antidiabetik dari jenis lainnya.
52

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdulahi, M. Effect of Momordica charantia aqueous ekstrak on renal


pastologikal changes with streptozotosin-induced diabetes melitius tipe 2 in
neonatal rats. Malaysia : Depaprtement of veterinary preclinical sain, faculty
of veterinary medicine, University Putra Malaysia. Journal of medical plants
research vol.5 1779-1787 4 mei 2011.

2. Bilous R, Donelly R. Buku pegangan Diabetes. Jakarta : Biomedika; 2015

3. Charles, Klivert A. Bersahabat dengan diabetes tipe 2. Jakarta : Penebar plus


; 2010

4. Dewoto H.R. Pengembangan Obat Tradisonal Indonesia Menjadi


Fitofarmaka. Jakarta : Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia ; 2007

5. Fox, C. Bersahabat dengan diabetes tipe 2. Depok : Penebar Plus; 2010

6. Ganong, William F. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 22. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC ; 2008

7. Guyton A C, Hall J E. buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC ; 2012

8. Marta S. Nolte & John H. Karam. Farmakologi Dasar Dan Klinik editor
Bertram G. Katzung. Jakarta : Buku Kedokteran EGC ; 2011

9. Neal, M. At a Glance Farmakologi Medis Edisi 5. Jakarta : Erlangga ; 2006


53

10. Nugroho A.E., Andrie M., Warditiani N.K., Siswanto E., Pramono S.,
Lukitaningsih E. Antidiabetic and antihiperlipidemic effect of
Andrographispaniculata (Burm. f.) Nees and andrographolide in high-
fructose-fat-fed rats. Indian Journal of Pharmacology ; 2012

11. Pooranaperundevi M, Sumiyabanu MS, Viswanathan P, Sundarapandiyan R,


Anuradha CV. Insulin resistance induced by a high – fructose diet potentiates
thioacetamide hepatotoxicity. Singapore : Med J ; 2010

12. Purnamasari D. Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi V Jilid III. Jakarta : Interna
Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2009

13. Suyono S. Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi V Jilid III. Jakarta : Interna
Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2009

14. Sudoyo A, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata K, Setiati S. Buku ajar ilmu


penyakit dalam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2009

15. Sylvia A. Price and Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit. Edisi 6. Vol. 2. Jakarta: Buku Kedokteran EGC ; 2006

16. Thanasekaran Jaya kumar, Cheng-Ying Hsieh, Jie-Jen Lee, Joen-RongSheu.


Experimental and Clinical Pharmacology of Andrographispaniculata and Its
Major Bioactive Phytoconstituen Andrographolide. Hindawi : Publishing
Corporation Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine ; 2013

17. Trisnaryan F. Pengaruh pemberian Decocta Buah Pare ( Momordi


cacharantia L.) terhadap penurunan kadar glukosa darah tikus Wistar yang
diberi beban glukosa. Semarang : Universitas Diponegoro ; 2011

Anda mungkin juga menyukai