Anda di halaman 1dari 35

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan kepala leher paling
sering di Indonesia. Keterlambatan diagnosis sering terjadi pada KNF karena
gejala tidak spesifik seperti gangguan telinga unilateral. Karsinoma nasofaring
(KNF) merupakan penyakit genetik multifaktor dengan karakteristik endemik.
KNF adalah subset yang unik dari karsinoma sel skuamosa di kepala dan leher. 1,2
Insidensi karsinoma nasofaring (KNF) tertinggi di Cina Selatan, Asia Tenggara,
Jepang, Afrika Utara dan Timur Tengah. Rata-rata angka insidensi dari KNF di
Cina Selatan sekitar 15 sampai 50 dari 100.000 populasi.1
Di Amerika Serikat, insidensi KNF rata-rata ditemukan sebanyak 1-2
kasus dari 100.000 populasi berjenis kelamin laki-laki dan 0,4 kasus dari 100.000
populasi berjenis kelamin perempuan. Selain itu, keganasan merupakan kejadian
yang paling banyak ditemukan di berbagai Negara dan berbagai suku, terutama di
Asia. Rata-rata insidensi di suku Cantonese di Cina Utara sekitar 25-50 kasus dari
100.000 populasi dan terhitung sebesar 18% dari seluruh kasus keganasan. dan
keganasan ini merupakan penyebab utama kematian pada suku Cantonese.1,3
Keganasan nasofaring merupakan keganasan yang paling sering terjadi di
Indonesia keempat setelah kanker ovarium, payudara dan kulit. Rata-rata insidensi
kejadian KNF di Indonesia sendiri yaitu sebanyak 6,2 dari 100.000 populasi atau
sebanyak 12.000 kasus baru setiap tahunnya. Sulit untuk mendeteksi dini KNF
namun penegakan diagnosis secepatnya akan menghasilkan hasil yang optimal
terhadap tatalaksana yang akan dilakukan. Alasan sulitnya penegakan diagnosis
KNF ini dikarenakan gejala yang ditunjuk seekan tidak begitu spesifik diantara
lain seperti rasa tidak nyaman pada hidung dan telinga. Keluhan di telinga pada
jenis keganasan ini bersifat unilateral seperti disfungsi saluran Tuba Eustachius,
otitis media perfusi, tuli konduktif dan nyeri di telinga.1

1
Gejala dan tanda karsinoma nasofaring yang sering berupa benjolan di
leher (78%), obstruksi hidung (35,5%), epistaksis (27,5%) dan diplopia. Termasuk
2 adenopati leher, epistaksis, otitis media efusi, gangguan pendengaran unilateral
atau bilateral, hidung tersumbat, paralisis nervus kranial, retrosphenoidal
syndrome of Jacod (kesulitan ekspresi wajah, masalah gerakan mata dan rahang),
retroparotidian syndrome of Villaret (sulit mengunyah, gangguan gerakan lidah
dan leher), nyeri telinga yang menjalar. Seperempat pasien karsinoma nasofaring
mengalami gangguan nervus kranial, 28,8% mengenai nervus V, 26,9 % mengenai
nervus VI dan 25% mengenai nervus X.4
Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan
karena nasofaring tersembunyi di belakang langit-langit dan terletak di bawah
dasar tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting didalam
tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher. Oleh karena itu, tidak mudah
diperiksa oleh mereka yang bukan ahli. Sering kali tumor ditemukan terlambat
dan menyebabkan metastasis ke leher lebih sering ditemukan sebagai gejala
pertama.5
Untuk dapat berperan dalam pencegahan, deteksi dini dan rehabilitasi perlu
diketahui seluruh aspeknya antara lain epidemiologi, etiologi, diagnostik,
pemeriksaan serologi, histopatologi, terapi dan pencegahan serta perawatan
paliatif pasien yang pengobatannya tidak berhasil baik.5

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Karsinoma nasofaring adalah suatu tumor ganas yang tumbuh didaerah
nasofaring dengan predileksi yang paling sering adalah di fossa Rossenmuller. 6
Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel yang
melapisi nasofaring, tidak termasuk tumor kelenjar atau limfoma.7

Gambar 2.1 Karsinoma Nasofaring

2.2 Anatomi
Nasofaring merupakan bagian teratas dari faring, sehingga sering juga
disebut epifaring, terletak di antara basis cranial dan palatum molle, membuka ke
arah depan hidung melalui koana posterior, menghubungkan rongga hidung dan
orofaring. Diameter nasofaring dari atas ke bawah dan kiri ke kanan masing-
masing sekitar 3 cm, diameter depan ke belakang yaitu sekitar 2-3 cm.

Nasofaring merupakan suatu ruangan yang berbentuk mirip kubus, terletak


dibelakang rongga hidung dengan dinding yang kaku di atasnya, bagian belakang

3
dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring sehingga akan membentuk
suatu rongga. Atap nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak, tempat keluar dan
masuknya saraf otak dan pembuluh darah.6,8

Gambar 2.2 Anatomi Nasofaring6

Anterior nasofaring akan berhubungan dengan rongga hidung melalui


koana dan tepi belakang septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan
gangguan yang sering timbul. Ke arah posterior dinding nasofaring melengkung
ke supero-anterior dan terletak di bawah tulang sfenoid, sedangkan bagian
belakang nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia pre-vertebralis dan
otot-otot dinding faring. Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba
eustachius dimana orifisium ini dibatasi superior dan posterior oleh torus tubarius,
sehingga penyebaran tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba
eustachius dan akan mengganggu pendengaran. Ke arah postero-superior dari
torus tubarius terdapat fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering
karsinoma nasofaring. Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa
yang dibentuk oleh jaringan lunak sub mukosa, dimana pada usia muda dinding

4
postero-superior nasofaring umumnya tidak rata. Hal ini disebabkan karena
adanya jaringan adenoid.6,8
Nasofaring diperdarahi oleh cabang arteri karotis eksterna, yaitu faringeal
asenden dan desenden serta cabang faringeal arteri sfenopalatina. Darah vena dari
pembuluh darah balik faring pada permukaan luar dinding muskuler menuju
pleksus pterigoid dan vena jugularis interna. Daerah nasofaring dipersarafi oleh
saraf sensoris yang terdiri dari nervus glossofaringeus (N.IX) dan cabang maksila
dari saraf trigeminus (N.V) yang menuju ke anterior nasofaring.8

Gambar 2.3 Sistem limfatik pada leher.7

Sistem limfatik daerah nasofaring terdiri dari pembuluh getah bening yang
saling menyilang dibagian tengah dan menuju ke kelenjar Rouviere yang terletak
pada bagian lateral ruang retrofaring, selanjutnya menuju ke kelenjar limfa
disepanjang vena jugularis dan kelenjar limfa yang terletak di permukaan
superfisial.8

Adapun fungsi nasofaring sebagai berikut :4

5
 Sebagai saluran udara yang berperan menghangatkan dan melembabkan
udara di hidung yang menuju ke laring dan trakea.
 Melalui tuba eustachii, nasofaring berperan sebagai ventilasi dari telinga
tengah dan menyeimbangkan tekanan udara antara kedua sisi membran
timpani. Fungsi ini penting untuk proses pendengaran.
 Nasofaring berperan dalam proses menelan, refleks muntah, dan berbicara
 Sebagai ruang resonansi dalam proses bersuara dan berbicara.
 Sebagai drainase untuk mukus yang disekresikan oleh hidung.

2.3 Etiologi dan Faktor Resiko

Beberapa etiologi dan faktor risiko karsinoma nasofaring antara lain virus
Epstein Barr, ikan asin, kurang konsumsi buah dan sayuran segar, tembakau, asap
lain, dan variasi genetik.4
1. Virus Epstein Barr (EBV)
EBV merupakan faktor risiko mayor karsinoma nasofaring.
Sebagian besar infeksi EBV tidak menimbulkan gejala. EBV menginfeksi
dan menetap secara laten pada 90% populasi dunia. Di Hong Kong, 80%
anak terinfeksi pada umur 6 tahun, hampir 100% mengalami serokonversi
pada umur 10 tahun. Infeksi EBV primer biasanya subklinis. Transmisi
utama melalui saliva, biasanya pada negara berkembang yang
kehidupannya padat dan kurang bersih. Limfosit B adalah target utama
EBV, jalur masuk EBV ke sel epitel masih belum jelas, replikasi EBV
dapat terjadi di sel epitel orofaring. Virus Epstein-Barr dapat memasuki
sel-sel epitel orofaring, bersifat menetap (persisten), tersembunyi (laten)
dan sepanjang masa (life-long). Antibodi Anti-EBV ditemukan lebih tinggi
pada pasien karsinoma nasofaring, pada pasien karsinoma nasofaring
terjadi peningkatan antibodi IgG dan IgA, hal ini dijadikan pedoman tes
skrining karsinoma nasofaring pada populasi dengan risiko tinggi.4

2. Ikan asin
Paparan non-viral yang paling konsisten dan berhubungan kuat
dengan risiko karsinoma nasofaring adalah konsumsi ikan asin. Konsumsi
ikan asin meningkatkan risiko 1,7 sampai 7,5 kali lebih tinggi dibanding
yang tidak mengkonsumsi. Diet konsumsi ikan asin lebih dari tiga kali

6
sebulan meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. Potensi karsinogenik
ikan asin didukung dengan penelitian pada tikus disebabkan proses
pengawetan dengan garam tidak efisien sehingga terjadi akumulasi
nitrosamin yang dikenal karsinogen pada hewan. Enam puluh dua persen
pasien karsinoma nasofaring mengkonsumsi secara rutin makanan
fermentasi yang diawetkan. Tingginya konsumsi nitrosamin dan nitrit dari
daging, ikan dan sayuran yang berpengawet selama masa kecil
meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. Delapan puluh delapan persen
penderita karsinoma nasofaring mempunyai riwayat konsumsi daging asap
secara rutin.4
3. Kurang konsumsi buah dan sayuran segar
Konsumsi buah dan sayuran segar seperti wortel, kobis, sayuran berdaun
segar, produk kedelai segar, jeruk, konsumsi vitamin E atau C, karoten
terutama pada saat anak-anak, menurunkan risiko karsinoma nasofaring.
Efek protektif ini berhubungan dengan efek antioksidan dan pencegahan
pembentukan nitrosamin.4
4. Tembakau
Sejak tahun 1950 sudah dinyatakan bahwa merokok menyebabkan
kanker. Merokok menyebabkan kematian sekitar 4 sampai 5 juta per
tahunnya dan diperkirakan menjadi 10 juta per tahunnya pada 2030.1
Rokok mempunyai lebih dari 4000 bahan karsinogenik, termasuk
nitrosamin yang meningkatkan risiko terkena karsinoma nasofaring.
Kebanyakan penelitian menunjukkan merokok meningkatkan risiko
karsinoma nasofaring sebanyak 2 sampai 6 kali. Perokok lebih dari 30
bungkus per tahun dan merokok selama lebih dari 25 tahun mempunyai
risiko besar terkena karsinoma nasofaring.4

5. Asap lain
Beberapa peneliti menyatakan bahwa insiden karsinoma nasofaring yang
tinggi di Cina Selatan dan Afrika Utara disebabkan karena asap dari
pembakaran kayu bakar. Sembilan puluh tiga persen penderita karsinoma
nasofaring tinggal di rumah dengan ventilasi buruk dan mempunyai
riwayat terkena asap hasil bakaran kayu bakar. Pajanan asap hasil kayu

7
bakar lebih dari 10 tahun meningkatkan 6 kali lipat terkena karsinoma
nasofaring.4
6. Variasi genetik
Polimorfi di sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) dan CYP2A6 dan
ketiadaan Glutation S-transferase M1 (GSTM1) dan atau GSTT1
berhubungan dengan peningkatan risiko dua sampai lima kali lipat terkena
karsinoma nasofaring. Di Thailand dan Cina, polimori pada polymeric
immunoglobulin receptor (PIGR), sebuah reseptor permukaan sel
memudahkan masuknya EBV masuk ke epitel hidung dan meningkatkan
risiko karsinoma nasofaring.4

2.4 Epidemiologi
Insidensi karsinoma nasofaring (KNF) tertinggi di Cina Selatan, Asia
Tenggara, Jepang, Afrika Utara dan Timur Tengah. Rata-rata angka insidensi dari
KNF di Cina Selatan sekitar 15 sampai 50 dari 100.000 populasi. Ras mongoloid
merupakan faktor dominan timbulnya kanker nasofaring sehingga kekerapan
cukup tinggi pada penduduk Cina Selatan. Selain itu, keganasan merupakan
kejadian yang paling banyak ditemukan di berbagai Negara dan berbagai suku,
terutama di Asia. Rata-rata insidensi di suku Cantonese di Cina Utara sekitar 25-
50 kasus dari 100.000 populasi dan terhitung sebesar 18% dari seluruh kasus
keganasan. Dan keganasan ini merupakan penyebab utama kematian pada suku
Cantonese. Di Amerika Serikat, insidensi KNF rata-rata ditemukan sebanyak 1-2
kasus dari 100.000 populasi berjenis kelamin laki-laki dan 0,4 kasus dari 100.000
populasi berjenis kelamin perempuan. 1,3
Keganasan nasofaring merupakan keganasan yang paling sering terjadi di
Indonesia keempat setelah kanker ovarium, payudara dan kulit. Rata-rata insidensi
kejadian KNF di Indonesia sendiri yaitu sebanyak 6,2 dari 100.000 populasi atau
sebanyak 12.000 kasus baru setiap tahunnya.(1) Hasil penelitian yang dilakukan di
Yogyakarta menyatakan bahwa insiden penderita KNF 3,9 orang per 100.000
penduduk. Di Bagian THT FK-UI RSCM selama periode 1988-1992 didapati 511
penderita baru KNF. Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 1998-2000
ditemukan 130 penderita KNF dari 1370 pasien baru onkologi kepala dan leher.
Sementara pada periode 1 Juli 2005 – 30 Juni 2006 ditemukan 79 orang penderita
baru KNF.7

8
2.5 Patogenesis
Kanker nasofaring (NPC) merupakan tumor ganas yang diasosiasikan
dengan virus EBV (Epstein-Barr virus). Telah ditemukan bahwa perkembangan
NPC salah satunya dipengaruhi faktor risiko yang sudah sering dikemukakan yaitu
kenaikan titer antibody anti-EBV yang konsisten. Akan tetapi, mekanisme
molekuler dan hubungan patofisiologis dari karsinogenesis terkait EBV masih
belum sepenuhnya jelas.19
Selain itu, meski NPC seringkali diasosiasikan dengan EBV, EBV tidak
mengubah sel-sel epitel nasofaring menjadi sel-sel klon yang proliferative, meski
ia dapat mentransformasi sel B primer. Agar terbentuk NPC, mula-mula
dibutuhkan infeksi laten dan litik EBV yang diduga disokong oleh perubahan
genetik yang dapat diidentifikasi pada epitel nasofaring premalignan.19
Setelah itu infeksi laten dan litik terjadi dan menghasilkan produk-produk
tertentu, barulah ekspansi klonal dan transformasi sel epitel nasofaring
premalignan menjadi sel kanker. Infeksi laten EBV sangat penting dalam
perkembangan menuju displasia yang berat pada KNF. Seperti yang ditemukan
pada keganasan umumnya, terdapat beberapa tahap gambaran histologi yang
mencerminkan perubahan genetik pada KNF. Displasia merupakan lesi awal yang
dapat terdeteksi yang diperkirakan dipengaruhi oleh beberapa karsinogen
lingkungan. Hal ini berkaitan dengan kehilangan alel pada lengan pendek
kromosom 3 dan 9 yang menyebabkan inaktivasi beberapa tumor suppressor
genes terutama p14, p15 dan p16. 8
Selain faktor genetik, faktor lingkungan berupa konsumsi karsinogen
dalam diet pada masa kanak-kanak juga dapat mengakibatkan akumulasi dari lesi
genetik dan peningkatan risiko NPC. Karsinogen yang berkaitan belum ditemukan
namun terdapat hubungan antara konsumsi ikan asin pada masyarakat Cina dan
makanan asin lain dengan perkembangan KNF. Area displasia ini merupakan asal
dari tumor namun belum cukup untuk menyebabkan perkembangan yang
progresif.19
Selain diet, faktor-faktor lainnya adalah pajanan zat-zat kimia pada
pekerjaan, misalnya formaldehida dan debu kayu yang mengakibatkan inflamasi

9
kronis di nasofaring.19 Seperti yang telah dijelaskan, setelah faktor genetik dan
lingkungan merangsang perubahan pada epitel nasofaring, virus EBV
memperparah keadaan epitel tersebut. Virus EBV menginfeksi sel NPC secara
laten.19 Pada stadium laten ini, infeksi EBV dapat mengacu pada perkembangan
displasia yang lebih berat. Didapatkan kerusakan gen pada kromosom 12 dan
kehilangan alel pada 11q, 13q dan 16q yang dapat memicu terjadinya kanker
invasif dan metastasis sering dihubungkan dengan mutasi p53 dan ekspresi
cadherin yang menyimpang.8
Virus ini kemudian memasuki fase infeksi litik yang produktif. Tumor
NPC diketahui mengekspresikan tiga protein yang dikode EBV, RNA kecil dan
mikroRNA. Protein-protein yang diekspresikan di antaranya adalah EBNA1,
LMP1, dan LMP2. Dalam perkembangan NPC, diduga LMP1 memiliki peran
sentral. LMP1 disekresi melalui eksosom dan masuk ke dalam sel-sel yang tidak
terinfeksi EBV melalui endositosis. LMP1 juga mempengaruhi lingkungan di
sekeliling tumor. LMP1 merupakan onkogen primer yang dapat meniru fungsi
salah satu reseptor TNF, yakni CD40. Akibatnya, ia dapat menginisasi beberapa
pathway persinyalan yang merangsang perubahan fenotip dan morfologi sel
epitel. LMP 1 juga mengakibatkan peningkatan EMT (epithelial-mesenchymal
transition).19
Pada proses EMT, sel-sel karsinoma akan menurunkan penanda epitel
tertentu dan meningkatkan penanda mesenkim tertentu sehingga menimbulkan
perkembangan fenotip promigratori yang penting dalam metastasis. Oleh karena
itu, LMP1 juga berperan dalam menimbulkan sifat metastasis dari NPC.
Peningkatan EMT oleh LMP1 ini diikuti dengan ekspresi penanda sel punca
kanker/sel progenitor kanker serta pemberian sifat-sifat mirip sel punca/sel
19
progenitor kepada sel. Protein-protein lainnya serta ekspresi RNA virus juga
memiliki peranan dalam karsinogenesis NPC, contohnya LMP2 yang
mempertahankan latensi virus.19

2.6 Histopatologi
Secara umum, The World Health Organization (WHO) mengkelompokkan
gambaran histopatologi dari karsinoma nasofaring menjadi 3 tipe. Tipe 1 suatu
squamous cell carcinoma ditemukan sebanyak 5% - 10% dari seluruh kasus

10
karsinoma nasofaring dan mempunyai karateristik diferensiasi sel yang baik dalam
memproduksi keratin, membentuk jembatan intrasel, sehingga tipe 1 ini sering
disebut dengan tipe Ceratinizing Squamous Cell Carcinoma. Tipe 2 yaitu Non-
Ceratinizing Squamous Carcinoma yang dapat berdiferensiasi dengan baik (dari
fase matur menjadi sel yang anaplastic) namun tipe ini tidak dapat memproduksi
keratin. Tipe 3 atau Undifferentiated Carcinoma dimana pada tipe ini sel tidak
dapat berdiferensiasi, tidak menghasilkan keratin, namun memiliki jenis sel yang
banyak seperti clear cell, spindle cell, dan anaplastic cell.9

Gambar 2.4 Gambaran histopatologi KNF.10

Di negara bagian barat tipe karsinoma nasofaring yang paling banyak


ditemukan adalah jenis karsinoma tipe 1, sedangkan pada daerah daerah yang
endemik jenis karsinoma yang paling sering adalah jenis karsinoma yang tipe 2
dan tipe 3. Diantara ketiga jenis tipe sel karsinoma tersebut tidak mempengaruhi
suatu prognosis perjalanan penyakit karsinoma nasofaring. Pembagian jenis jenis
tipe sel karsinoma ini penting untuk memudahkan penggolongan dari pembagian
stadium tumor yaitu T (menandakan tumor primer nasofaring), N (penyebaran
nodul) dan M (metastase).3
Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas. Terdapat kesamaan
antara jenis tipe 2 dan tipe 3 sehingga selanjutnya disarankan pembagian stadium

11
KNF terbaru hanya dibagi atas 2 tipe yaitu Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma dan Non-Keratinizing Squamous Cell Carcinoma. Tipe ini dapat
diklasikasikan kembali menjadi tipe sel yang berdiferensiasi dan tipe sel yang
tidak berdiferensiasi.8

2.7 Tanda dan Gejala


Tanda awal dari karsinoma nasofaring sulit untuk didiagnosis atau
dideteksi yang dikarenakan letak nasofaring yang tersembunyi. Kesalahan dalam
menegakkan diagnosa juga bisa mungkin terjadi bila pemeriksa tidak memiliki
pengetahuan yang baik dalam mengenal tanda dan gejala awal dari karsinoma
nasofaring dan keganasan lain secara umum.11
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok yaitu gejala
nasofaring sendiri, telinga, gejala mata dan saraf serta metastasis atau gejala
dileher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung.5
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat
asal tumor dekat muara tuba eustachius (fossa rosenmuller). Gangguan dapat
berupa tinitus, rasa tidak nyaman pada telinga sampai rasa nyeri di telinga
(otalgia). 5
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lubang, maka gangguan saraf dapat terjadi sebagai gejala lanjut.
Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan
dapat pula ke V, sehingga tidak jarang gejala diplopia yang membawa pasien
datang berobat. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan
oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti.5
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X. XI, dan
XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relative jauh
dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan syndrom Jackson. Bila sudah
mengenai saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan
destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi maka prognosisnya lebih buruk.5
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan yang mendorong
pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan lain. 5 Dari 3 atau
4 penderita datang dengan permasalahan adanya benjolan atau massa di bagian

12
leher saat pertama kali mereka datang ke dokter. Biasanya benjolan terdapat di
kedua sisi leher di bagian belakang, benjolan bersifat keras dan nyeri. Pada kasus
ini, juga dapat ditemukan adanya pembesaran dari kelenjar getah bening. 1,2
Keluhan penderita KNF sering meragukan dan baru jelas setelah tumor
membesar dan stadium sudah lanjut. Kesulitan ini akibat sulitnya pemeriksaan
nasofaring. Dari sebuah penelitian pada 4768 penderita KNF, gejala yang
dikeluhkan pada saat pertama datang adalah benjolan di leher (76%), gangguan
hidung (73%), gangguan telinga (62%), sakit kepala (35%), penglihatan ganda
(11%), rasa kebas di wajah (8%), penurunan berat badan (7%) dan trismus (3%).
Tanda klinis yang ditemukan saat diagnosa ditegakkan adalah pembesaran
kelenjar getah bening leher (75%) dan kelainan syaraf kranial (20%). Syaraf
kranial yang sering terkena adalah syaraf kranial III, V, VI, dan XII. Bila secara
klinis dicurigai menderita KNF dan tumor tidak terlihat pada pemeriksaan
endoskopi, harus dilakukan pencitraan dengan potongan lintang (CT Scan atau
MRI). Diagnosis pasti KNF ditegakkan melalui biopsi nasofaring yang didukung
oleh visualisasi melalui endoskopi atau pencitraan dengan potongan lintang.7
Perjalanan klinis gejala karsinoma nasofaring dibagi menjadi tiga yaitu
gejala dini, gejala lanjut dan gejala akibat metastasis
1. Gejala dini
Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis
dan pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting untuk
mengetahui gejala dini KNF dimana tumor masih terbatas di rongga nasofaring.
Gejala telinga yang dapat timbul diantara lain adalah sebagai berikut :8
 Sumbatan tuba eustachius/kataralis. Pasien mengeluh rasa penuh di
telinga, telinga berdengung kadang-kadang disertai dengan gangguan
pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini
 Radang telinga tengah sampai perforasi membrane timpani. Keadaan ini
merupakan kelainan lanjutan yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba
dimana organ telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi
makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi perforasi membrane
timpani dengan akibat gangguan pendengaran.
Sedangkan gejala hidung yang mungkin dapat timbul adalah sebagai

13
Berikut:8
 Epistaksis
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan
sentuhan dapat terjadi perdarahan hidung atau epistaksis. Keluarnya
darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali
bercampur dengan ingus, sehingga berwarna kemerahan.
 Sumbatan hidung
Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor
ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek
kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya
ingus kental.
Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit
ini, karena juga dapat dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis,
sinusitis dan lain-lainnya. Epistaksis juga sering terjadi pada anak yang sedang
menderita radang. Hal ini menyebabkan keganasan nasofaring sering tidak
terdeteksi pada stadium dini.8
2. Gejala lanjut
 Pembesaran kelenjar limfe leher.
Tidak semua benjolan leher menandakan penyakit ini. Yang khas jika
timbulnya di daerah samping leher, 3-5 cm di bawah daun telinga dan
tidak nyeri. Benjolan biasanya berada di level II-III dan tidak dirasakan
nyeri, karenanya sering diabaikan oleh pasien. Sel-sel kanker dapat
berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya.
Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini
merupakan gejala yang lebih lanjut. Pembesaran kelenjar limfe leher
merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter.
 Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar
Karena nasofaring berhubungan dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi, seperti
penjalaran tumor melalui foramen laserum akan mengenai saraf kranial ke
III, IV, VI dan dapat juga mengenai saraf kranial ke-V, sehingga dapat
terjadi penglihatan ganda (diplopia).

14
3. Gejala akibat metastasis
Sel-sel kanker dapat ikut bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ
tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis
jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi
menandakan suatu stadium dengan prognosis yang sangat buruk.

2.8 Diagnosis
Karsinoma nasofaring baru terdiagnosa pada saat pasien datang dengan
keluhan benjolan di leher. Oleh karena itu, penting sebagai dokter untuk mencari
tahu riwayat perjalanan penyakit kemudian melakukan pemeriksaan yang
menunjang untuk penegakan diagnosis. Jika pasien datang dengan permasalahan
yang mengarah ke karsinoma nasofaring, maka penting bagi seorang dokter untuk
melakukan pemeriksaan pada daerah kepala dan leher, termasuk bagian hidung,
mulut dan tenggorok, otot-otott wajah, dan kelenjar limfe di daerah leher selain
menggali informasi terhadap riwayat perjalanan penyakit dan faktor resikonya.1,2
a. Anamnesis
Gejala yang muncul dapat berupa telinga terasa penuh, tinnitus,
otalgia, hidung tersumbat, lendir bercampur darah. Pada stadium lanjut
dapat ditemukan benjolan pada leher, terjadi gangguan saraf, diplopa, dan
neuralgia trigeminal (saraf III, IV, V, VI).20

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Nasofaring
Nasofaring terletak di bagian dalam dan sulit untuk dilihat pada
pemeriksaan biasa. Diperiksa dengan cara rinoskopi posterior, dengan atau
tanpa menggunakan kateter.18 Ada 2 jenis pemeriksaan nasofaring yang
dapat dilakukan untuk menilai keadaan nasofaring yang abnormal,
perdarahan atau tanda dari penyakit lainnya.12
 Nasopharingoscopy indirect, dengan menggunakan kaca kecil dan
cahaya lalu meletakkan kaca kecil di bagian belakang tenggorok kearah
atas, lalu nilai keadaan nasofaring dan area disekitarnya.

15
 Nasopahringoscopy direct, dengan menggunakan fiber-optik
nasopharyngoscope untuk menilai secara langsung lapisan nasofaring.
Pemeriksaan ini harus dilakukan oleh tenaga medis ahli yang
berpengalaman dan dilakukan secara berhati-hati.

Jika tumor nasofaring berasal dari lapisan submukosa kemungkinan


besar tidak akan terlihat bila hanya dengan pemeriksaan tersebut, maka
sangat dianjurkan untuk dilakukannya pemeriksaan yang menunjang
diagnostik lain seperti pemeriksaan pencitraan dengan menggunakan CT-
Scan untuk hasil yang lebih baik.12

c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Biopsi
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsy nasofaring.
Biopsi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dari hidung atau dari
mulut biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya
(blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung
menyusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke
lateral dan dilakukan biopsi.
Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton
yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam
mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang
dihidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung disebelahnya,
sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring
dilihat daerah nasofaring.
Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau
memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa
tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya
dilakukan dengan analgesia topikal xylocain 10%.5
2. Pemeriksaan Pencitraan Radiologi
 Radiologi Konvensional
Pada foto tengkorak dengan potongan anteroposterior dan lateral
serta posisi Waters akan tampak jaringan lunak di daerah

16
nasofaring. Pada foto dasar tengkorak ditemukan destruksi atau
erosi tulang di daerah fossa serebri media.8 Dapat juga dilakukan
pemeriksaan foto dada untuk melihat adanya penyebaran sel tumor
atau metastase di paru -paru.12
 Computed Tomography Scan (CT-Scan)
Merupakan suatu teknik pemeriksaan yang sampai saat ini paling
dipercayai untuk menetapkan diagnosa dan juga dapat menentukan
staging tumor dan juga perluasan tumor itu sendiri. 8,12
Makna klinis aplikasinya adalah:
1. membantu diagnosis
2. memastikan luas lesi, penetapan stadium secara akurat
3. secara tepat menetapkan zona target terapi; merancang
medan radiasi
4. memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi dan
pemeriksaan tindak lanjut.19
Pada stadium dini, terlihat asimetri dari resessus lateralis,
torus tubarius dan dinding posterior dari nasofaring. 8,12 Dengan CT
ini juga dapat menilai dasar tengkorak apakah ada tanda-tanda litik
dan lesi sklerotik.13

17
Potongan Axial CT Scan
menunjukkan KNF: A.Sebelum Nasofaringektomi
B. Setelah Nasofaringektomi. 13

 Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Sama halnya dengan pemeriksaan CT scan namun MRI
dapat menggambarkan struktur-struktur yang kecil tampak lebih
baik dan lebih jelas dibandingkan dengan gambaran CT seperti
jaringan lunak di hidung dan tenggorok.8,12

Gambar 2.6 MRI karsinoma nasofaring.13


Hasil gambaran MRI lebih akurat untuk mendiagnosa
karsinoma nasofaring. Dengan MRI dapat mendeteksi suatu sel
keganasan misalnya pada nasofaring yang pada saat dilakukan

18
endoskopi tidak terlihat. Sebanyak 82% kasus karsinoma
nasofaring terletak di resessus posterolateral dinding faring (fossa
Rossenmuller) dan 12% lainnya kasus karsinoma nasofaring
terletak di bagian tengah. Dan sebanyak 6-10% dari jumlah kasus
diatas karsinoma nasofaring semuanya tidak terdeteksi pada saat
pemeriksaan endoskopi namun dapat terdeteksi pada saat
dilakukan pemeriksaan MRI.
3. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah ini tidak menunjang dalam penegakan
diagnostik, melainkan untuk membantu menggambarkan adanya
penyebaran sel tumor atau metastase ke organ yang lain.12
 Darah rutin dan kimia darah
Pemeriksaan ini dapat membantu dokter dalam melihat status
kesehatan penderita dengan menilai adanya malnutrisi, anemia,
gangguan fungsi hati, fungsi ginjal ataupun tulang untuk
mendeskripsikan ada atau tidaknya proses metastase.8,12

 Epstein-Barr Virus (EBV) DNA Level


Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi keberadaan EBV dapat
dilakukan dengan cara Polymerase Chain reaction (PCR),
immunohistochemistry dan In Situ Hybridization (ISH).
Pemeriksaan PCR memberikan kontribusi terhadap ditemukannya
EBV pada karsinoma nasofaring namun pemeriksaan PCR ini tidak
dapat membuktikan letak lokalisasi sel virus tersebut. Dalam
sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 107 kasus karsinoma
nasofaring di Taiwan, EBV dapat terdeteksi dengan teknik ISH
sebanyak 105 kasus. Pada keadaan nasofaring yang normal ketika
dilakukan tindakan biopsi didapatkan tidak ada tanda
ditemukannya EBV dengan menggunakan metode ISH. Diecken,
dkk tidak menemukan virus EBV pada delapan sampel dengan
nasofaring yang normal.10

2.9 Diagnosis Banding

19
1. TB Kelenjar Limfe Leher
Lebih banayak pada pemuda dan remaja. Konsistensi agak keras,
dapat melekat dengan jaringan sekitarnya membentuk massa, kadang
terdapat nyeri tekan atau undulasi, pungsi aspirasi jarum menemukan
materi mirip keju.2
2. Kelainan hiperplastik nasofaring
Dalam keadaan normal korpus adenoid di atap nasofaring
umumnya pada usia sebelum 30 tahun sudah mengalami atrofi. Akan tetapi
pada sebagian orang dalam proses atrofi itu terjadi infeksi serius yang
menimbulkan nodul-nodul gelombang asimetris di tempat tersebut.2
3. Angiofibroma Nasofaring
Sering ditemukan pada orang muda, pria jauh lebih banyak dari
wanita. Dengan nasofaringoskop tampak permukaan tumor licin, warna
mukosa menyerupai jaringan normal, kadang tampak vasodilatasi di
permukaannya, konsistensi kenyal padat. Bila secara klinis dicurigai
penyakit ini, biopsi tidak dianjurkan karena mudah terjadi perdarahan
masif.2

2.10 Stadium
Untuk penentuan stadium dipakai system TNM menurut UICC (2002) :
T = Tumor primer
T0 = Tidak tampak tumor
T1 = Tumor terbatas di nasofaring
T2 = Tumor meluas ke jaringan lunak
T2a = Perluasan tumor ke orofaring dan / rongga hidung tanpa perluasan ke
parafaring*
T2b = Disertai perluasan ke parafaring.
T3 = Tumor menginvasi struktur tulang dan / sinus paranasal.
T4 = Tumor dengan perluasan intracranial dan / atau terdapat keterlibatan saraf
kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang masticator.
N = Pembesaran kelenjar getah bening regional.
NX = Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai.
N0 = Tidak ada pembesaran.

20
N1 = Metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang
atau sama dengan 6 cm, diatas fossa supraklavikula.
N2 = Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang
atau sama dengan 6 cm diatas fossa supraklavikula.
N3 = Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar dari 6
cm atau terletak di dalam fossa supraklavikula.
N3a= ukuran lebih dari 6 cm
N3b= di dalam fossa supraklavikula.
M = Metastasis Jauh
Mx = Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 = Tidak ada metastasis jauh.
M1 = Terdapat metastasis jauh.

Stadium 0 T1s N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium IIA T2a N0 M0
Stadium IIB T1 N1 M0
T2a N1 M0
T2b N0N1 M0
Stadium III T1 N2 M0
T2a, T2b N2 M0
T3 N2 M0
Stadium IVa T4 N0,N1,N2 M0
Stadium IVb Semua T N3 M0
Stadium IVC Semua T Semua N M1
Tabel 2.1 Stadium Karsinoma Nasofaring

Penentuan stadium berdasarkan American Joint Committee on Cancer (AJCC)


dibagi menjadi 3 klasifikasi yaitu:12
 T menggambarkan tumor primer yang telah menginvasi organ nasofaring
atau jaringan disekitarnya.
 N menggambarkan sejauh mana sel keganasan telah menyebar ke kelenjar
limfe terdekat.
 M mengindikasikan apakah sel kanker telah menyebar ke jaringan lain.
Pada NPC, organ yang paling sering terkena metastase sel kanker adalah
paru, hati dan tulang.

21
Kategori T menentukan hubungan dari tumor primer dengan struktur
yang berdekatan. Penyebaran mukosa dari tumor ini memperlihatkan penyebaran
lebih luas ke arah basis cranii dari pada orofaring. Tumor sering menyebar secara
submukosa dan area yang tidak dilindungi fasia faringobasilar serta area leher
yang lebih dalam.

Kategori N pada KNF memiliki kecendrungan menyebar ke nodus limfe


dan sekitar 75-90% kasus ditemukan penyebaran bilateral pada nodus limfe
leher. Adanya metastase pada nodus limfe di diagnosa jika diameter aksil nodus
mencapai 5 mm atau lebih pada regio retrofaring, 11 mm pada region
jugulodigastrik, atau 10 mm pada region non-retrofaring. Nodus limfe juga
dikatakan metastase apabila terjadi pembesaran pada tiga atau lebih kelompok
nodus limfe walapun dengan ukuran borderline, atau jika terdapat necrosis atau
penyebaran ektra-kapsular.13
Sedangkan kategori M, memperlihatkan tingginya kejadian metastasis (5-
41%). Organ paling sering terkena metastase adalah tulang (20%), paru (13%) dan
hati (9%). Pasien dengan supraklavikular limfadenopati atau pembesaran tumor ke
ruang parafaring dan retrofiring mempunyai resiko tinggi terjadinya metastasis
jauh.13

2.11 Penatalaksanaan
Pemilihan terapi pada kanker tidaklah banyak faktor yang perlu
diperhatikan, antara lain jenis kanker, kemosensitifitas, dan radiosensitifitas
kanker, imunitas tubuh dan kemampuan pasien untuk menerima terapi yang
diberikan, efek samping terapi yang diberikan.8
Penatalaksanaan utama karsinoma nasofaring adalah dengan metode
radiasi. Karena keterbatasan letak anatomi dan banyaknya kelenjar limfe maka
terapi operatif jarang dilakukan. Kemoterapi dapat dipakai sebagai terapi pada
pasien dengan penyebaran kelenjar limfe lokal atau metastase jauh. Kekambuhan
kelenjar limfe regional dapat diterapi menggunakan radiasi dengan atau tanpa
kemoterapi. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis pada karsinoma
nasofaring adalah besar kecilnya tumor terutama dengan kelainan saraf kranial

22
atau invasi intrakranial, besar kecilnya nodus limfe, nodus limfe bilateral dan
nodus limfe di fossa supraclavicular, usia tua, jenis kelamin, gejala telinga saat
diagnosis, tingginya kadar LDH, meningkatnya serum antibodi EBV.3

Penatalaksanaan berdasarkan stadium :


Stadium I Radioterapi
Stadium II dan III Kemoradiasi
Stadium IV dengan N < 6 cm Kemoradiasi
Stadium IV dengan N > 6 cm Kemoterapi dosis penuh
dilanjutkan kemoradiasi
Tabel 2.2 Tatalaksana Karsinoma Nasofaring menurut stadium

 Radioterapi
Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit maligna dengan
menggunakan sinar peng-ion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor
sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar
tidak menderita kerusakan terlalu berat. Karsinoma nasofaring bersifat
radioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan terapi terpenting.6
Dosis radiasi perfraksi yang diberikan adalah 200 Gy DT (dosis tumor)
diberikan 5 kali seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Terapi
radiasi biasanya dilakukan selama 3 minggu dengan menggunakan
cisplatinum 100 mg/m².15
Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap
penyinaran sangat tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium
tumor, makin berkurang responsnya. Untuk stadium I dan II, diperoleh
respons komplit 80% - 100% dengan terapi radiasi. Sedangkan stadium
III dan IV, ditemukan angka kegagalan respons lokal dan metastasis jauh
yang tinggi, yaitu 50% - 80%. Angka ketahanan hidup penderita
karsinoma nasofaring tergantung beberapa faktor, diantaranya yang
terpenting adalah stadium penyakit. Qin dkk, melaporkan angka harapan

23
hidup rata-rata 5 tahun dari 1379 penderita yang diberikan terapi radiasi
adalah 86%, 59%, 49% dan 29% pada stadium I, II, III dan IV.6

Tipe Undifferentiated KNF memiliki prognosis yang lebih baik


karena tingkat radiosensitifitasnya, sedangkan yang tipe 1 KNF memiliki
prognosis yang lebih buruk disebabkan rendahnya radiosensitifitasnya.8
Walaupun radiasi memberikan kesembuhan tetapi dapat juga
menimbulkan komplikasi akut maupun kronik. Waktu yang diperlukan
untuk terjadinya komplikasi akut tergantung dengan siklus sel dan reaksi
mukosa yang terjadi pada minggu kedua. Efek radiasi akut terhadap
jaringan normal biasanya berkuran dalam beberapa minggu pasca terapi
dan tidak merupakan masalah besar. Menurut Radiation Therapy
Oncology Group (RTOG) efek radiasi akut biasanya mencapai puncak
dalam 90 hari. Umumnya penyembuhan epitel terjadi dalam waktu 20-40
hari pasca terapi, mempergunakan kombinasi radiasi dan kemoterapi
agresif, efek akutnya > 90 hari. Pengaruh radiasi apabila dipergunakan
jangka panjang karena kerusakan jaringan dapat bersifat permanen.
Sebagian besar efek radiasi jangka panjang terjadi dalam tiga tahun
pertama pengobatan dan sebagian kecil setelah tiga tahun. Komplikasi
radiasi lambat atau jangka panjang antara lain serostomia, kerusakan gigi,
fibrosis, nekrosis jaringan lunak, nekrosis kartilago, kerusakan mata,
telinga dan susunan saraf pusat (SSP).16
 Kemoterapi
Secara definisi kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang
dapat menghambat pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel
kanker. Obat-obatan anti kanker dapat digunakan sebagian terapi tunggal
(active single agents), tetapi pada umumnya berupa kombinasi karena
dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain
itu, sel-sel yang resisten terhadap salah satu obat lainnya. Dosis obat
sitostatika dapat dikurangi sehingga efek samping menurun.8

24
Pemberian kemoterapi pada karsinoma nasofaring diindikasikan
pada kasus penyebaran ke kelenjar getah bening leher, metastasis jauh
dan kasus-kasus residif. Diberikan sebagai kemoterapi neoadjuvan dan
concomitan. Regimen kemoterapi neoadjuvan antara lain: cisplatin dan
5-FU, cisplatin dan epirubicin, paclitaxel dan carboplatin, docetaxel dan
cisplatin, gemcitabin dan cisplatin.7
 Operatif
Pembedahan hanya sedikit berperan dalam penatalaksanaan KNF.
Terbatas pada diseksi leher radikal untuk mengontrol kelenjar yang
radioresisten dan metastase leher setelah radioterapi, pada pasien tertentu
pembedahan penyelamatan dilakukan pada kasus rekurensi di
nasofaring.7
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa
diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika
masih terdapat sisa kelenjar paska radiasi atau adanya kekambuhan
kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang
dibuktikan melalui pemeriksaan radiologi. Nasofaringektomi merupakan
suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau
adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara
lain.8
Resiko dan efek samping dari tindakan pembedahan yang mungkin
terjadi diantaranya adalah perdarahan, infeksi, komplikasi dari tindakan
pembiusan dan juga pneumonia. Beberapa orang mengeluhkan rasa nyeri
setelah dilakukan tindakan pembedahan. Kemungkinan permasalahan
lain yang dapat timbul setelah dilakukan tindakan pembedahan yaitu
dapat berupa hilangnya suara atau suara menjadi parau. Efek samping
lain yang dapat timbul setalah dilakukan tindakan diseksi adalah seperti
rasa penuh di telinga dan kerusakan saraf.12
 Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma
nasofaring adalah EBV, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat
diberikan terapi imunoterapi.8

25
Salah satu contoh imunotoerapi yaitu dengan terapi sel T. Terapi T
sel dalam keadaan ini diharapkan mempunyai tingkat keberhasilan yang
lebih besar. Polyclonal cytotoxic T-lymphocytes (CTL) spesifik pada
keganasan yang disebabkan EBV meningkat pada pasien imunokompeten
seperti pada pasien dengan NPC. EBV spesifik CTLs didominasi oleh
aktifitas perlawanan protein virus dimana protein ini bukan diekpresikan
oleh tumor. CTLs dialam tubuh menyebabkan reaksi perlawanan oleh
limfosit endogen dan sitokin serta pertahanan biologis lain. Ketika CTLs
mencapai area tumor, CTLs harus melewati barrier yang ada disekitar
lingkungan tumor. Walaupun terdapat keterbatasan, hasil dari percobaan
terapi sel pada pasien NPC sejauh ini memperlihatkan adanya regresi sel
kanker pada pasien yang diberikan avid anti-tumor sel T.17
 Terapi Anti Vascular Endotelial Growth Therapy (VEGF)
Pada kasrsinoma nasofaring telah terjadi overekspresi pada
reseptor-reseptor yaitu EGFR, cKIT c-erbB-2 (HER-2) dan VEGF yang
merupakan faktor proangiogenik, yang berperan dalam angiogenesis
untuk pertumbuhan tumor, invasi, dan metastase tumor. VEGF yang
secara genetik berhubungan sebagai faktor pertumbuhan angiogenik dan
limfangiogenik. Vascular Endothelial Growth Factor merupakan
golongan faktor angiogenik terbaik. Tiga aktivitas pokok sel endotel
dalam angiogenesis yaitu sekresi protease, migrasi dan proliferasi.
VEGF mampu memicu ketiga proses tersebut dan bekerja secara spesifik
pada sel endotel (VEGF secara eksklusif terekspresi pada sel endotel).
VEGF juga bertindak sebagai faktor bertahan hidup sel endotel dengan
menghambat apoptosis. VEGF mengaktivasi sel endotel dengan efek
perubahan morfologi sel endotel, perubahan cytoskeleton, dan
menstimulasi migrasi dan pertumbuhan sel endotel. VEGF bersifat
mitogen terhadap sel endotel yang menyebabkan proliferasi sel. VEGF
juga menginduksi berbagai enzim dan protein yang penting untuk
proses degradasi membran dasar, yang berguna bagi sel endotel untuk
migrasi dan invasi yang merupakan tahap penting pada angiogenesis.7

26
Oleh karena itu, jalur VEGF/VEGFR telah menjadi fokus utama
riset dasar dan pengembangan obat-obatan di bidang onkologi yang
dikarenakan peran sentralnya dalam angiogenesis tumor. Berbagai
strategi untuk anti VEGF telah dikembangkan, termasuk antibodi yang
menetralisir VEGF atau VEGFR, hibrida VEGF/VEGFR yang terlarut,
inhibitor tirosin kinase terhadap VEGFR, agen yang menghambat sinyal
VEGFR.7
Dari beberapa penelitian telah disimpulkan kombinasi anti VEGF
dengan kemoterapi atau radioterapi menghasilkan efek antitumor yang
lebih baik daripada pemberian kemoterapi/radioterapi sendiri.7
 Perawatan paliatif
Terapi paliatif adalah terapi atau tindakan aktif untuk meringankan
beban penderita kanker dan memperbaiki kualitas hidupnya, terutama
yang tidak dapat disembuhakn lagi.
Tujuan terapi paliatif adalah:
 Meningkatkan kualitas hidup penderita
 Menghilangkan nyeri dan keluhan berat lainnya.
 Menjaga keseimbangan fisik, psikologik, dan sosial penderita.
 Membantu penderita agar dapat aktif sampai akhir hayatnya.
 Membantu keluarga mengatasi kesulitan penderita dan ikut berduka
cita atas kematian penderita.
Hal-hal yang perlu diperhatikan setelah pengobatan radiasi. Mulut
terasa kering disebabkan oleh kerusakan kelenjar liur mayor maupun
minor sewaktu penyinaran. Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut
karena jamur, rasa kaku didaerah leher karena fibrosis jaringan akibat
penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang
muntah atau rasa mual. Perawatan paliatif diindikasikan langsung untuk
mengurangi rasa nyeri, mengontrol gejala dan memperpanjang usia.8
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting
dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama
untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa

27
kemoterapi. Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma
nasofaring ternyata dapat meningkatkan hasil terapi.
Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan
kambuh. Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa
diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika
masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar
dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang
dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi.
Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada
kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak
berhasil diterapi dengan cara lain. Dengan diketahuinya kemungkinan
penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, maka
pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi.6
Regimen kemoterapi dengan cisplatin dipilih sebagai terapi utama
untuk pasien NPC, dengan tingkat keberhasilan diatas 50% dan
kemampuan bertahan hidup rata-rata 12 bulan. Pilihan regimen lini dua
pada pasien yang tidak respon dengan terapi berbasis platinum masih
belum ada. Maka dari itu, terapi sel menjanjikan kemungkinan yang unik
untuk mengembalikan imun antitumor. Polyclonal EBV-spesifik CTL
terapi aman dengan komplikasi yang rendah tetapi mempunyai respon
klinis yang signifikan untuk pasien dengan NPC berulang yang
mengeksprasikan antigen EBV.17
 Edukasi 20
Topik Edukasi kepada Pasien
Kondisi Informasi dan Anjuran saat Edukasi
1. Radioterapi  Efek samping radiasi akut yang
dapat muncul (xerostomia,
gangguan menelan, nyeri saat
menelan), maupun lanjut
(fibrosis, mulut kering, dsb.)
 Anjuran untuk selalu menjaga
kebersihan mulut dan perawatan
kulit (area radiasi) selama terapi.

2. Kemoterapi  Efek samping kemoterapi yang


mungkin muncul (mual, muntah,

28
dsb)
3. Nutrisi  Edukasi jumlah nutrisi , jenis
dan cara pemberian nutrisi
sesuai dengan kebutuhan
4. Metastasis pada tulang  Kemungkinan fraktur patologis
sehingga pasien yang berisiko
diedukasi untuk berhati-hati saat
aktivitas atau mobilisasi.
 Mobilisasi menggunakan alat
fiksasi eksternal dan/atau dengan
alat bantu jalan dengan
pembebanan bertahap
5. Lainnya  Anjuran untuk kontrol rutin
pasca pengobatan
 Anjuran untuk menjaga pola
hidup yang sehat

Tabel 2.3 Edukasi karsinoma nasofaring


 Follow up
Kontrol rutin dilakukan meliputi konsultasi dan pemeriksaan fisik:
 Tahun 1 : setiap 1-3 bulan
 Tahun 2 : setiap 2-6 bulan
 Tahun 3-5 : setiap 4-8 bulan
 > 5 tahun : setiap 12 bulan
Follow-up imaging terapi kuratif dilakukan minimal 3 bulan pascaterapi:
 MRI dengan kontras sekuens T1, T2, Fatsat, DWI + ADC
 Bone Scan untuk menilai respons terapi terhadap lesi metastasis
tulang.
Follow Up Terapi Paliatif (dengan terapi kemoterapi); follow-up dengan
CT Scan pada siklus pertengahan terapi untuk melihat respon kemoterapi
terhadap tumor.20

2.12 Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah
dengan risiko tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah serta mengubah
cara memasak makanan untuk mencegah kesan buruk yang timbul dari bahan-
bahan yang berbahaya. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat,

29
rutin berolahraga, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal yang
berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes
serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA bermanfaat dalam menemukan
karsinoma nasofaring lebih dini.18

2.13 Prognosis
Penderita KNF stadium awal, yaitu stadium I dan II, mempunyai prognosis
lebih baik dibandingkan stadium lanjut, yaitu stadium III dan IV. Menurut AJCC
tahun 2010 Angka harapan hidup lima tahun pada stadium I, II, III, dan IV
didapatkan sekitar 72%, 64%, 62%, dan 38%.20

2.14 Komplikasi
Metastasis jauh ke paru, hati dan tulang dengan gejala khas nyeri pada
tulang dan gangguan fungsi organ lain.18

30
BAB 3
KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring adalah suatu tumor ganas yang tumbuh didaerah


nasofaring dengan predileksi yang paling sering adalah di fossa Rossenmuller.
Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel
yang melapisi nasofaring, tidak termasuk tumor kelenjar atau limfoma.
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan kepala leher paling sering di
Indonesia.
Biasanya penderita datang dengan permasalahan adanya benjolan atau
massa di bagian leher yang bersifat keras dan nyeri saat pertama kali mereka
datang ke dokter. Biasanya benjolan terdapat di kedua sisi leher di bagian
belakang, benjolan bersifat keras dan nyeri. Gejala lain yang dapat menyertai
karsinoma nasofaring adalah gangguan pendengaran, telinga berdenging, atau
telinga terasa penuh, infeksi telinga, keluar darah melalui hidung, sakit kepala,
nyeri di bagian wajah, susah untuk membuka mulut, pandangan kabur atau
pandangan ganda dan hidung tersumbat.
Penatalaksanaan utama karsinoma nasofaring adalah dengan metode
radiasi. Karena keterbatasan letak anatomi dan banyaknya kelenjar limfe maka
terapi operatif jarang dilakukan. Kemoterapi dapat dipakai sebagai terapi pada
pasien dengan penyebaran kelenjar limfe lokal atau metastase jauh. Faktor-faktor
yang mempengaruhi prognosis pada karsinoma nasofaring adalah besar kecilnya
tumor terutama dengan kelainan saraf kranial atau invasi intrakranial, besar
kecilnya nodus limfe, nodus limfe bilateral dan nodus limfe di fossa
supraclavicular, usia tua, jenis kelamin, gejala telinga saat diagnosis, tingginya
kadar LDH, meningkatnya serum antibodi EBV. Sampai saat ini radioterapi
masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring.

31
Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan
atau tanpa kemoterapi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis pada karsinoma nasofaring


adalah besar kecilnya tumor terutama dengan kelainan saraf kranial atau invasi
intrakranial, besar kecilnya nodus limfe, nodus limfe bilateral dan nodus limfe di
fossa supraclavicular, usia tua, jenis kelamin, gejala telinga saat diagnosis,
tingginya kadar LDH, meningkatnya serum antibodi EBV.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Adham M, Rohdiana D, Mayangsari ID, Musa Z. Delayed diagnosis of


nasopharyngeal carcinoma in a patient with early signs of unilateral ear
disorder. Med J Indones. 2014;23(1).

2. Yurnadi, Suryandari DA, Soeharso P, Moeloek N, Susworo R. Pola Distribusi


Alotip Gen Polymeric Immunoglobulin Receptor (PIGR) pada Penderita
Karsinoma Nasofaring (KNF) di Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia.
2010;60(11):489-95.

3. Titcomb CP. High Incidence of Nasopharyngeal Carcinoma in Asia. Journal


of Insurance Medicine. 2001;33:235–8.

4. Ariwibowo H. Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring. Cermin Dunia


Kedokteran. 2013;5(40):348-51.

5. Roezin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring dalam Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Ed.7. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI; 2012.

6. Firdaus MA, Prijadi J. Kemoterapi Neoadjuvan pada Karsinoma Nasofaring.


Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas/RSUP Dr M Djamil Padang. 2011.

7. Farhat. Vascular Endothelial Growth Factor pada Karsinoma Nasofaring.


Majalah Kedokteran Nusantara. 2009;42(1):59-65.

8. Asroel HA. Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring.


Fakultas Kedokteran Bagian Tenggorokan Hidung danTelinga Universitas
Sumatera Utara. 2002.

33
9. Zeng M-S, Zeng Y-X. Pathogenesis and Etiology of Nasopharyngeal
Carcinoma. 2010. http://wwwspringercom/978-3-540-92809-6

10. Adam AAM, Abdullah NE, Hassan LAME, Elamin EM, Ibrahim ME, Hassan
AME. Detection of Epstein-Barr Virus in Nasopharyngeal Carcinoma in
Sudanese by in Situ Hybridization. Journal of Cancer Therapy 2014;5:517-22.

11. Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B,


Gondhowiardjo S, et al. Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia:
epidemiology, incidence, signs, and symptomps at presentation. Chinese
Journal of Cancer. 2012;31(4):185-96

12. American Cancer Society. Nasopharyngeal Cancer. Atlanta, Ga: American


Cancer Society. 2015.

13. Razek AAKA, King A. MRI and CT of Nasopharyngeal Carcinoma.


American Journal Radiology. 2012;198:11-8.

14. Brennan B. Nasopharyngeal carcinoma. Orphanet Journal of Rare Diseases.


2006;23(1).

15. Meulenaere AD, Deron P, Duprez F, Ferdinande L, Verbeke L, Vuyst MD, et


al. Prolonged Survival in a Nasopharyngeal Carcinoma (NPC) Patient with
Metastatic Disease: A Case Report. Austin Journal of Otolaryngology.
2015;2(1).

16. Haryanto R, Saefuddin OM, Boesoirie TS. Radiasi Eksternal Karsinoma


Nasofaring sebagai Penyebab Gangguan Dengar Sensorineural. Majalah
Kedokteran Bandung. 2010;42(3):108-14.

17. Basso S, Zecca M, Merli P, Gurrado A, Secondino S, Quartuccio G, et al. T


Cell Therapy for Nasopharyngeal Carcinoma. Journal of Cancer.
2011;2:3416.

18. American cancer society, 2011. Nasopharingeal cancer. USA: American


Cancer Society. Diunduh:

34
http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003124-pdf.pdf
(pada tanggal 11 november 2017)

19. Yoshizaki T, Kondo S, Wakisaka N, Murono S, Endo K, Sugimoto H, et al.


Pathogenic role of Epstein-Barr virus latent membrane protein-1 in the
development of nasopharyngeal carcinoma. Cancer Lett. 2013 ; 337:1-7. doi:
10/1016/j.canlet.2013.05.018.

20. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Paduan Penatalaksanaan Kanker


Nasofaring. Komite Penanggulangan Kanker Nasional.

35

Anda mungkin juga menyukai