Anda di halaman 1dari 7

Molting atau sebut saja “pergantian kulit” adalah suatu proses yang

kompleks dan dikendalikan oleh hormon-hormon tertentu dalam tubuh


serangga. Molting meliputi lapisan kutikula dinding tubuh, lapisan
kutikula trakea, foregut, hindgut, dan struktur endoskeleton (McGavin
2001; Triplehorn & Johnson, 2005). Molting dapat terjadi sampai tiga
atau empat kali, bahkan pada beberapa serangga tertentu, molting dapat
terjadi sampai lima puluh kali atau lebih selama hidupnya (McGavin,
2001).

Mengapa serangga perlu melakukan molting atau pergantian kulit?


Serangga, termasuk arthropda lainnya (kalajengking, udang, lobster, dan
lain-lain), memiliki kerangka luar yang disebut dengan eksoskeleton.
Dalam pertumbuhannya, serangga akan tiba pada titik dimana otot-otot
tubuhnya tidak cukup kuat untuk mengangkat massa eksoskeletonnya.
Exoskeleton ini menutupi sekeliling tubuhnya, tetapi tidak dapat
tumbuh. Jadi, tubuh serangga mengalami pertumbuhan (penambahan
volume dan massa) tetapi eksoskeletonnya tetap pada konstruksinya atau
tidak mengalami pertumbuhan. Akibatnya, serangga harus melakukan
molting beberapa kali selama hidupnya agar tetap eksis dan “survive”
atau bertahan hidup untuk meneruskan generasinya, suatu bentuk
adapatasi yang tidak hanya rumit tetapi juga sungguh luar biasa dan
mengagumkan.

Bagaimana proses molting ituterjadi?


Proses molting pada serangga, setidaknya, melewati tiga tahap, yaitu
apolysis, ecdysis, dan sklerotinisasi. Ketiga tahap tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut (Gambar 1)
1. Apolysis ―
Pelepasan kutikula lama. Pada tahap ini, hormon molting
dilepaskan ke dalam haemolymph dan kutikula lama terpisah dari
sel epidermis yang berada di bawahnya. Ukuran epidermis akan
meningkat karena mitosis dan kemudian kutikula baru dihasilkan.
Enzim yang disekresikan oleh sel epidermis mencerna
endokutikula lama.
2. Ecdysis ― Pembentukan kutikula baru. Tahap ini dimulai dengan
pemisahan kutikula lama, biasanya dimulai pada garis tengah sisi
dorsal thoraks. Pemisahan terjadi,terutama, karena tekanan
haemolymph yang dipaksa masuk menuju thoraks oleh kontraksi
otot abdomen yang disebabkan karena serangga menerima udara
atau air. Setelah ini, serangga akan keluar dari kutikula lama.
3. Sclerotinisasi ― Pengerasan kutikula baru. Kutikula baru yang
baru terbentuk, sangat lembut dan pucat sehingga ini merupakan
saat yang sangat rentan bagi serangga. Dengan demikian, serangga
harus melakukan pengerasan (hardening) terhadap kutikula baru
tersebut. Sklerotinisasi terjadi setelah satu atau dua jam, dimana
eksokutikula akan mengeras dan menjadi gelap. Pada serangga
dewasa, sayap akan berkembang karena kekuatan haemolymph
yang masuk melalui vena sayap (McGavin, 2001; Triplehorn &
Johnson, 2005).

Apa yang berperan dalam molting serangga?


Jawaban yang paling mungkin atau pasti adalah “hormon”. Hormon
adalah sinyal kimia (chemical signals) atau pembawa pesan kimia
(chemical messenger) yang dikirim dari sel dalam bagian tubuh tertentu
ke sel-sel dalam bagian tubuh lainnya pada individu organisme yang
sama.

 Ketika serangga, pada pertumbuhannya, tiba waktunya untuk


mendapatkan eksoskeleton yang baru, input sensorik dari tubuh
serangga mengaktifkan sel-sel saraf (neurosecretory cells) tertentu
dalam otak. Sel saraf ini menanggapinya dengan mengeluarkan
hormon otak yang memicu corpora cardiaca untuk melepaskan
prothoracicotropic hormone (PTTH) ke dalam sistem peredaran
darah. PTTH selanjutnya merangsang kelenjar prothoracic
(prothoracic glands) untuk mengeluarkan hormone molting, yaitu
ecdysteroids atau 20-hydroxyecdysone steroids (Meyer, 2005).
Dari sinilah proses molting mulai berlangsung, diawali dengan
peningkatan titer 20HE dan diakhiri dengan penurunan titer 20HE
dan pelepasan hormon eclosion (Klowden, 2007).
Bagaimana pengaturan atau pengendalian hormon dalam molting
serangga?

Molting pada serangga diatur oleh hormone molting, 20-


hydroxyecdysone steroids (ecdysterone atau ecdysteroids, selanjutnya
disingkat dengan 20HE), JH-sesquiterpenoid, hormon eclosion, dan
hormon bursicon (Klowden, 2007).

 Peningkatan titter 20HE mengakibatkan epidermis terpisah dari


kutikula lama (apolysis) sehingga menciptakan ruangan antara
kutikula dan epidermis (ruang eksuvial), selanjutnya ruang exuvial
diisi oleh cairan molting yang mengandung enzim inaktif,
chitinolytic (chitinase dan protease), yang mampu mencerna
kutikula lama begitu teraktivasi (Klowden, 2007). Sementara itu,
sel-sel epidermis terorganisir kembali untuk sintesis sejumlah
besar protein serta sekresi epikutikula dan kutikula baru. Setelah
titer 20HE mulai menurun, enzim dalam cairan molting diaktifkan
untuk memulai proses pencernaan prokutikula (endokutikula yang
tidak tersklerotisasi). Setelah proses ini selesai, cairan molting
diserap kembali dan pengerasan pra-ecdysial kutikula baru
berlangsung (Reynolds, 1987). Akhirnya, saat titer 20HE menurun
ke tingkat basal, kutikula lama terlepas (ecdysis) dengan diawali
pelepasan crustacean cardioaktive peptide (CCAP), hormon
eclosion, dan ecdysis-triggering hormone, yang bersama-sama
bekerja pada sejumlah target didalam memastikan selesainya
proses molting (Klowden, 2007). Hormon Eclosion (EH) memulai
pelepasan CCAP dari sel-sel ventral ganglion yang menonaktifkan
perilaku pre-ecdysis dan bersama-sama dengan EH mengaktifkan
perilaku ecdysis. CCAP bertanggung jawab sebagai motor pemicu
dalam menyelesaikan ecdysis. EH juga terlibat bersama hormone
bursicon untuk pengerasan kutikula (Klowden, 2007).

Apa peranan Hormon Juvenile (JH) dalam Molting Serangga?


Dalam pembahasan tentang pengaturan hormon pada molting serangga,
sepertinya tidak disinggung tentang peran hormon Juvenil dalam proses
tersebut dan ini pasti membuat anda bertanya-tanya:
“Bagaimana aksi hormon juvenile itu?” Dimana ia diproduksi?” Apa
peranannya dalam molting?”

Berikut ini adalah jawabannya:

 JH dihasilkan oleh Corpora allata, pasangan organ neurohemal


lainnya, terletak tepat di belakang corpora cardiac dalam system
endokrin serangga.
 JH menghambat perkembangan karakteristik dewasa selama fase
pradewasa dan mendorong kematangan seksual selama fase
dewasa (Meyer, 2005; Klowden, 2007).
 JH dihasilkan selama instar larva atau nimfa, dimana pada molting
larva→larva (serangga holometabola) JH menghambat
perkembangan larva menuju pupa, pada molting nimfa→nimfa
(serangga hemimetabola) dihasilkan untuk menghambat gen-gen
yang mempromosikan perkembangan karakteristik dewasa,
misalnya, sayap, organ reproduksi, dan alat kelamin eksternal,
sehingga menyebabkan serangga untuk tetap "immature" (dalam
nimfa atau larva).
 Saat menjelang dewasa (nimfa) dan menjelang pupasi (larva) JH
semakin menurun dan menjadi tidak ada atau tidak aktif saat nimfa
menjadi dewasa dan larva menjadi pupa.
 JH akan diaktifkan atau dihasilkan kembali saat serangga
memasuki kematangan seksual atau siap untuk reproduksi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam molting, JH berperan


sebagai pengontrol perkembangan serangga dari pradewasa (immature)
menuju dewasa (adult) melalui pengaturan konsentrasinya yang sesuai.

Penutup
1. Serangga melakukan molting atau pergantian kulit karena
penambahan ukuran atau volume tubuhnya tidak diikuti dengan
pembesaran kutikula atau eksoskeleton yang menutupi tubuhnya.
2. Molting dikendalikan oleh hormon-hormon tertentu dalam tubuh
serangga, dan proses ini meliputi penggantian lapisan kutikula
dinding tubuh, lapisan kutikula trakea, foregut, hindgut, dan
struktur endoskeleton.
3. Perubahan morfologi dan ultra-struktural yang terjadi pada
epidermis selama pertumbuhan dan perkembangan serangga
tergantung pada pengaturan ekspresi gen dengan titer yang berbeda
dari 20HE dengan ada atau tanpa JH. Setiap gangguan dalam
homeostasis terhadap produksi hormon-hormon ini akan
mengakibatkan pertumbuhan atau perkembangan yang abnormal
pada serangga sasaran. Demikian pula, setiap gangguan pada
hormon-hormon yang terlibat dalam sintesis dan/atau resorpsi
kutikula akan merugikan kelangsungan hidup pada tahap
perkembangan yang terpengaruh.

Referensi:

 Gullan, D. J. and Cranston, P. S. (2005) The Insects: An Outline of


Entomology Blackwell Publishing Ltd, UK.
 John R. Meyer. 2005. “Hormonal Control of Molting &
Metamorphosis”. General Entomology. ENT 425. Department of
Entomology. NC State University. Last Updated: 8 April 2009.
http://www.cals.ncsu.edu/course/ent425/library/tutorials/internal_a
natomy/molting.html.
 Klowden MJ. 2007. Physiological Systems in Insects. Second
Edition. Academic Press, Elsevier. Burlington, 01803, USA. 688p.
 McGavin, G. C. (2001) Essential Entomology; An order by order
introduction. Oxford University Press, New York.
 Reynolds SE. 1987. The cuticle, growth and moulting in insects:
the essential background to the action of acylurea in¬secticides.
Pestic. Sci. 20:131–46.
 Triplehorn, C. A. and Johnson, N. F. (2005) Borror and DeLong’s
Introduction to the Study of Insects (7th Ed). Brooks/Thomson
Cole USA.

Anda mungkin juga menyukai