Anda di halaman 1dari 26

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Antibiotika

Antibiotik berasal dari bahasa latin yang terdiri dari anti = lawan, bios =

hidup. Antibiotika adalah senyawa berat dengan molekul rendah yang membunuh

atau menghambat pertumbuhan bakteri. Sebagian besar antibiotika dihasilkan oleh

mikroorganisme, khususnya Streptomyces spp. dan jamur. Antibiotik pertama kali

ditemukan oleh sarjana Inggris Dr.Alexander Flemming yaitu antibiotik Penisilin

pada tahun 1982 di London. Tetapi penemuan ini baru dikembangkan dan

digunakan dalam terapi pada tahun 1941 oleh Dr. Florey. Kemudian banyak zat

dengan khasiat antibiotik di isolir oleh penyelidik-penyelidik lain di seluruh dunia,

namun toksisitasnya hanya beberapa saja yang dapat digunakan sebagai obat.

Antibiotik juga dapat dibuat secara sintetis, atau semi sintetis. (Bezoen et al., 2000).

Penggunaan antibiotik untuk terapi infeksi pada manusia dan hewan herus

memnuhi sejumlah kriteria. Antibiotik dapat dikelompokkan berdasarka struktur

dari antibiotik tersebut ataupun berdasarkan target kerjnya pada sel yaitu, boerd

spektrum, mempunyai kemampuan membunuh mikroorganisme dari berbagai

spesies dan narrow spektrum hanya mempu membunuh mikroorganisme secara

spesifik (white, 2004).

Terhadap sebagian besar penggunaan, antibiotik harus mempunyai aktivitas

spektrum yang luas (Tjay dan Raharja, 2008). Bahwa antibiotika harus membunuh

atau menghambat pertumbuhan bakteri dari tipe yang berbeda. Antibiotika broad

4
5

spektrum berguna karena adanya gejala (simptom) yang sama yang disebabkan oleh

bakteri dari spesies yang berbeda dan dari gejala yang muncul tidak mungkin

menunggu isolasi, identifikasi organisme penyebab sebelum terapi dimulai (Nhiem,

2005).

Antibiotika broad spektrum mempunyai kekurangan, tidak hanya

menyerang bakteri patogen tetapi juga mengurangi jumlah mikroflora usus (Focosi,

2005). Setiap antibiotika harus mampu mencapai bagian tubuh dimana terjadinya

infeksi. Beberapa antibiotika tidak diabsorpsi oleh saluran pencernaan, sementara

masuk ke aliran darah tetapi tidak melintasi barrier darah otak dalam cairan spinal

dan tidak masuk dalam sel fagosit (Phillips et al., 2004; Focosi, 2005).

Munculnya fenomena resistensi antibiotika pada bakteri patogen sangat

berbahaya. Hal ini diduga dapat mengakibatkan terjadinya perpindahan sifat

resistensi antibiotika bakteri dari ayam dan telur ke manusia dan lingkungan

(Kusumaningsih, 2007). Adanya resistensi antibiotika bakteri pada ternak dan

manusia dapat mengakibatkan kegagalan pengobatan penyakit yang disebabkan

oleh bakteri (Phillips et al., 2004; Bahri dkk, 2005) Efek samping antibiotok pada

manusia yakni diare, sakit perut, muntah, rasa gatal, ruam kulit ringan, sulit

bernafas atau menelan, mengi, biasa lelah. Sedangkan pada hewan antibiotik

berakibat buruk bagi ternak dikarenakan resistensi ternak terhadap jenis-jenis

mikro-organisme phatogen tertentu. Di bagian lain residu dari antibiotik akan

terbawa dalam produk-produk ternak seperti daging, telur dan susu dan akan

berbahaya bagi konsumen yang mengkonsumsinya.


6

Kita dapat mengestimasikan total penjualan antimikrobia dari para

distributor obat hewan. Namun, kebanyakan antimikrobia terapi dan pemacu

pertumbuhan mempunyai klaim spesies tidak hanya untuk satu hewan, tetapi juga

untuk beberapa jenis hewan. Peternak menggunakan antimikrobia tersebut untuk

berbagai spesies hewan melalui pemberian legal. Kita harus turun sampai ke

pemakai terakhir untuk memulai agar dapat diperoleh data dengan benar, walaupun

tidak semua peternak mencatat kegiatannya (Cummings, 2006).

Sesuai dengan Setandar Nasional Indonesia (SNI) NO 01-6366-2009

mengenai Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dan Batas Maksimum Residu dalam

Bahan Makanan Asal Hewan, yakni pada batas maksimum residu makrolida adalah

0.1 ppm dan batas maksimum residu aminoglikosida adalah 0.1 ppm yang

diperbolehkan d indonesia. Residu obat adalah akumulasi obat atau bahan kimia

dalam jaringan atau organ hewan yang telah mengalami metabolisme. Antibiotik

yang masuk dalam tubuh hewan ke dalam sirkulasi darah dan berinteraksi dengan

reseptor dalam tubuh. Interaksi ini de bedakan dalam dua bentuk dua macam yakni

(1) aksi antibiotik terhadap tubuh diwujudkan dalam bentuk efek obat, (2) reaksi

tubuh terhadap antibiotik atau cara tubuh menangani senyawa eksogen. Secara

simultan antibiotik didistribusikan kedalam tubuh setelah diabsorbsi. Umumnya

antibiotik bersifat mudah larut dalam lemak dan dapat melewati membrane sel atau

jaringan sehingga dengan cepat didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh, termasuk

ke ginjal dan hati (Murtidjo, 2007).


7

2.1.1 Mekanisme kerja antibiotik

Antibiotik memiliki cara kerja sebagai bakterisidal (membunuh bakteri

secara langsung) atau bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri). Pada

kondisi bakteriostasis, mekanisme pertahanan tubuh inang seperti fagositosis dan

produksi antibodi biasanya akan merusak mikroorganisme. Ada beberapa cara kerja

antibiotik terhadap bakteri sebagai targetnya, yaitu menghambat sintesis dinding sel

antibiotik menghambat pertumbuhan mikroba dengan cara bakteriostatik atau

bakterisida, menghambat sintesis protein, merusak membran plasma, menghambat

sintesis asam nukleat, dan menghambat sintesis metabolit esensial. Hambatan ini

terjadi sebagai akibat gangguan reaksi yang penting untuk pertumbuhan. (Naim,

2012)

2.1.2 Antibiotika Aminoglikosida

Aminoglikosida merupakan penanggulangan infeksi berat oleh kuman

Gram-negatif. Aminoglikosida dihasilkan oleh jenis-jenis fungi streptomyces

micromonospora (Aminoglikosida yang berasal dari streptomises mendapat

tambahan ”misin”). Antibiotika aminoglikosida adalah antibiotika golongan

karbohidrat. Ditinjau dari struktur molekulnya, aminoglikosida dapat dibagi

menjadi 2 golongan besar, yaitu aminoglikosida berinti streptidin (streptomisin)

dan 2-deoksistreptamin (kanamisin, neomisin, gentamisin dll). Secara klinis

aminoglikosida sering digunakan untuk terapi infeksi yang disebabkan oleh kuman

gram positif dan gram negatif termasuk Mycobacterium tuberculosis, baik dalam

bentuk sediaan tunggal maupun kombinasi dengan antibiotika lain. Aminoglikosida


8

merupakan antibiotik utama untuk pengobatan infeksi serius yang disebabkan gram

negatif, karena obat ini menimbulkan efek toksik yang serius, maka penggunaannya

terbatas dan telah digantikan dengan obat yang lebih aman seperti generasi ketiga

sefalosporin, fluorokuinolon dan imipenem/silastatin (Katzung, 2010)

Mekanisme kerja aminoglikosida diketahui menghambat sintesis protein

bakteri dengan mekanisme yang ditentukan untuk streptomisin. Aktivitas

aminoglikosida dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama perubahan pH, keadaan

aerobik dan anaerobik. (Dini, 2011).

2.1.3 Streptomisin

Streptomisin suatu aminoglikosida, diperoleh dari Streptomyces griseus.

Senyawa ini berkhasiat bakterisid terhadap banyak kuman Gram-negatif dan Gram-

positif. Termasuk Tuberculosa dan beberapa Atipis. streptomisin khusus aktif

terhadap mycobacteria ekstraseluler yang sedang membelah aktif dan pesat.

Antibiotik ini toksisitas untuk organ pendengaran dan keseimbangan. (indah, 2011).

Gambar 1. Rumus kimia Streptomisin

(Sumber : indah 2011)


9

2.1.4 Kanamisin

Kanamisin di dapat dari fitrat kultur streptomyces kanamyceticus. Senyawa

yang ada dalam perdagangan mengandung sekitar 98% kanamisin A. Senyawa ini

berkhasiat bakterisid terhadap kuman pada usus sebelum pembedahan. Mekanisme

kerja kanamisin sebanding dengan neomisin. Karena ototoksisitasnya, maka

pemakaian tidak seperti dulu saat senyawa ini digunakan juga secara parenteral,

pada saat ini hanya dipakai lokal pada mata. Kanamisin telah lama digunakan

sebagai anti tuberkolosis lini-kedua untuk pengobatan tuberkolosis yang

disebabkan oleh bakteri yang sudah resisten terhadap streptomisin, tetapi sejak

ditemukannya amikasin dan kapreomasin yang relative kurang toksik, maka kini

telah ditinggalkan (putri, 2011).

Gambar 2. Rumus kimia kanamisin

(Sumber : Putri indah 2011)

2.1.5 Neomisin

Neomisin dan kanamisin sangat erat kaitannya. Antibiotik ini dari kelompok

neomisin juga membunuh gram positif dan bakteri gram negatif ,ada beberapa
10

mikobakterium seperti Pyogenik aeruginosa dan Streptococci umumnya tahan

terhadap neomisin. Senyawa ini berkhasiat bakterisid terhadap banyak kuman flora

usus praoprasi, mengurangi bekteri pembuat ammonia pada pasien dengan koma

hepatic. Mekanisme kerja antibakteri ini sama dengan aminoglikosida lainnya

(Katzung, 2010).

2.1.6 Gentamisin

Gnetamisin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida. Gentamisin

bersifat bakterisidal. Gentamisin efektif terhadap berbagai strain kuman gram

negatif seperti Brucella, Calymmatobacterium, Campylobacter, Citobacter,

Escherchia, Enterobacter, Klebsiella, Proteus, Pseudomonas, Serratia, Vibro Dan

Yersinia. Mikroorganisme gram positif, gentamisin juga efektif terutama terhadap

Staphylococcus aureus dan Listeria monocytogenes serta beberapa

strain Staphylococcus epidermis, tetapi gentamisin tidak efektif

terhadap Enterococcus dan Streptococcus (Katzung, 2010).

Gambar 3. Rumus kimia gentamisin

(Sumber : Katzung, 2010)


11

2.1.7 Netilmisin

Netilmisin merupakan aminoglikosida yang baru dipasarkan. Mekanisme

kerja dan dosis penggunaannya sama dengan gentamisin dan tobramisi. Netilmisin

efektif terhadap berbagai stain kuman gram negatif

Brucella, Calymmatobacterium, Campylobacter, Citobacter,Escherichia, Enterob

acter, Klebsiella, Proteus, Providencia,Pseudomonas, Serratia, Vibrio

dan Yersinia. Senyawa ini memiliki aktivitas antibakteri yang luas terhadap

bacillus aerob gram-negatif . Netilmisin merupakan antibiotik yang bermanfaat

untuk pengobatan infeksi serius akibat Enterobakteriaceae yang rentan terhadap

bacillus aerob gram-negatif lainnya. Netilmisin terbukti efektif melawan patogen-

patogen tertentu yang resisten terhadap gentamisin, kecuali Enterokokus

(Anonimus, 2010).

2.1.8 Tobramisin

Tobramiin aktivitas antimikrobanya dan sifat farmakokinetiknya sangat

mirip dengan gentamisin aktivitas toramisin sangat baik terhadap Pseudomonas

Aerogenosa,Calymmatobacterium, Campylobacter, Citobacter,Escherichia, Entero

bacter, Klebsiella, Proteus, Providencia, dan bermanfaat untuk pengobatan

bakterimia, osteomlitis, pneumonia. Spektrum antimikrobanya mirip dengan

gentamisin, akan tetapi kerja anti-Pseudomonas in vitro-nya(tes laboratorium) lebih

kuat. Digunakan pada infeksi Pseudomonas yang resisten untuk gentamisin

(Anonimus, 2010).
12

2.1.9 Antibiotika Makrolida

Makrolida adalah salah satu kelas poliketida. Antibiotik makrolida

digunakan untuk menyembuhkan infeksi yang disebabkan oleh bakteri-bakteri

Gram positif seperti Streptococcus pnemoniae dan Haemophilus

influenzae. Penggunaannya merupakan pilihan pertama pada infeksi paru-paru.

Digunakan untuk mengobati infeksi saluran nafas bagian atas seperti infeksi

tenggorokan dan infeksi telinga, infeksi saluran nafas bagian bawah seperti

pneumonia, untuk infeksi kulit dan jaringan lunak, untuk sifilis. Sering pula

digunakan untuk pasien yang alergi terhadap penisilin. Spektrum antimikrobial

makrolida sedikit lebih luas dibandingkan penisilin. Sekarang ini antibiotika

Makrolida yang beredar di pasaran obat Indonesia adalah eritomisin, Sefalosporin,

basitrasin, linkomisin, (Aminnuddin, 2012).

2.1.10 Eritromisin

Eritromisin merupakan antibiotik golongan makrolid. Asal dan kimia

eritromisin dihasilkan oleh suatu strain Streptomyces erythreus. Spektrum

antimikroba. In vitro, efek terbesar eritromisin terhadap kokus gram positif, seperti

Streptococcus pyogenes dan Streptococcus pneumoniae. Streptococcus viridans

mempunyai kepekaan yang bervariasi terhadap eritromisin. Eritromisin basa

dihancurkan oleh asam lambung sehingga obat ini diberikan dalam bentuk tablet

salut enterik atau ester. Semua obat ini diabsorpsi secara adekuat setelah pemberian

per-oral (Katzung, 2010)


13

Gambar 4. Struktur kimia Eritromisin.


(sumber : katzung 2010)

2.1.11 Sefalosporin

Sefalosporin termasuk golongan antibiotik betalaktam seperti antibiotik

betalaktam lainnya, mekanisme kerja antibiotik sefalosporin ialah dengan

menghambat sintesis dinding sel mikroba. Yang di hambat ialah transpeptidase

tahap ke tiga dalam rangkain reaksi pembentukan dinding sel. Sefalosporin aktif

terhadap gram positif (Anonimus, 2013).

2.1.12 Basitrasin

Merupakan antibiotika polipeptida yang diproduksi oleh Bacillus

licheniformis, lebih stabil sebagai garam zink dan digunakan sebagai pemacu

pertumbuhan dan beberapa preparat topikal pada pengobatan manusia dan hewan.

Basitrasin terutama aktif terhadap gram positif. Spektrum antibiotika ini mirip

dengan kelompok penisilin. Semua basitrasin menimbulkan nefrotoksik jika

diberikan secara parenteral, antibiotika ini diabsorpsi sangat sedikit atau tidak sama

sekali dari intestin seperti, yang diperlihatkan pada tikus, babi dan ayam, sehingga
14

tidak ditemukan residu pada daging jika antibiotuika ini diberikan secara oral

(Phillips et al., 2004).

Mekanisme basitrasin menghambat sintesis dinding sel bakteri. Antibiotik

yang merusak dinding sel mikroba dengan menghambat sintesis enzim atau

inaktivasi ensim, sering menyebabkan sel lisis. Antibiotik ini meliputi penisilin,

sepalosporin, sikloserin, vankomisin, ristosetin dan basitrasin. Antibiotik ini

menghambat sintesis dinding sel terutama dengan mengganggu sintesis

peptidoglikan (Andra, 2010)

Gambar 5. Struktur kimia Basitrasin.

(sumber : Andra 2010)

2.1.13 Linkomisin

Linkomisin diindikasikan untuk pengobatan infeksi serius yang disebabkan

oleh stafilokokus, streptokokus, pneumokokus. Linkomisin dapat bekerja sebagai

bakteriostatik maupun bakterisida tergantung konsentrasi obat pada tempat infeksi

dan organisme penyebab infeksi. Linkomisin menghambat sintesa protein

organisme dengan mengikat subunit ribosom 50 S yang mengakibatkan

terhambatnya pembentukan ikatan peptide (Anabaena, 2011).


15

2.1.14 Spiramisin

Spiramisin adalah antibiotika golongan makrolida yang dihasilkan

oleh Streptomyce sambofaciens. Secara in vitro (tes laboratorium) aktivitas

antibakteri spiramisin lebih rendah dari pada eritromisin. Spiramisin digunakan

untuk terapi infeksi rongga mulut dan salurannafas. Spiramisin juga digunakan

sebagai obat alternatif untuk penderita toksoplasmosis yang karena suatu sebab tidak

dapat diobati dengan pirimentamin dan sulfonamid (Anonimus, 2010).

2.1.15 Roksitromisin

Roksitromisin adalah derivat eritromisin yang diserap dengan baik pada

pemberian oral.Obat ini lebih jarang menimbulkan iritasi lambung dibandingkan

dengan eritromisin.Juga (bioavailabilitas) kadar obat yang tersedia tidak banyak

terpengaruh oleh adanyamakanan dalam lambung.Kadar obat dalam darah dan

plasma lebih tinggi dari eritromisin. Indikasinya diperuntukkan untuk infeksi THT,

saluran nafas bagian atas dan bawahseperti bronkitis akut dan kronik, penumonia,

uretritis (selain Gonore) akut dan kronis, infeksikulit seperti pioderma, impetigo,

dermatitis dengan infeksi (Anonimus, 2010).

2.1.16 Klaritomisin

Klaritromisin juga digunakan untuk indikasi yang sama denga eritromisin.

Secara in vitro(di laboratorium), obat ini adalah makrolida yang paling aktif

terhadap Chlamydia trachomatis. Absorpsinya tidak banyak dipengaruhi oleh

adanya makanan dalam lambung. , efek terbesar klaritomisin terhadap kokus gram
16

positif, seperti Streptococcus pyogenes dan Streptococcus pneumoniae.

Streptococcus viridans mempunyai kepekaan yang bervariasi terhadap

klaritomisin. Efek sampingnya adalah iritasi saluran cerna (lebih jarang

dibandingkan dengan iritasisaluran cerna dan peningkatan enzim sementara di hati.

Klaritromisin juga meningkatkan kadar teofilin dan karbamazepin bila

diberikan bersama obat-obat tersebut (Anonimus, 2010).

2.1.17 Azitromisin

Azitromisin digunakan untuk mengobati infekti tertentu yang disebabkan

oleh bakteriseperti bronkitis, pneumonia, penyakit akibat hubungan seksual dan

infeksi dari telinga, paru- paru, kulit dan tenggorokan. , efek terbesar azitromisin

terhadap kokus gram positif, seperti Streptococcus pyogenes dan Streptococcus

Pneumoniae. Streptococcus viridans mempunyai kepekaan yang bervariasi terhadap

azitromisin. Azitromisin tidak efektif untuk pilek, flu atau infeksi yang disebabkan

oleh virus (Anonimus, 2013).

2.2 Ayam (Gallus gallus)

2.2.1 Klasifikasi Ayam

Ayam (Gallus gallus) adalah unggas domestikasi turunan dari ayam Indian

liar dan ayam hutan merah dari Asia Tenggara, serta berhubungan dengan ayam

hutan abu abu (G.sonneratii). Penamaaan ayam sangat luas tergantung dari asalnya.

Ayam merupakan salah satu hewan domestikasi yang umum dan tersebar luas

(Anonimus, 2010).
17

Klasifikasi biologi dari ayam (Gallus gallus) berdasarkan Anonim (2010)

adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Subkingdom : Metazoa

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Divisi : Carinathae

Kelas : Aves

Ordo : Galliformes

Family : Phasianidae

Genus : Gallus

Spesies : Gallus gallus domestica sp

Gambar 2.1.1 Ayam Broiler


(Sumber : Anonim 2010)
18

2.2.2 Ciri-ciri Ayam


Bagian organ ayam yang tampak dari luar dari bagian kepala, leher, tubuh

bagian depan dan tubuh bagian belakang. Paruh, mata, kelopak mata, jengger,

cuping dan pial terdapat di bagian kepala sementara tubuh bagian depan terdapat

dada dan sayap dibagian belakang terletak punggung, perut, ekor, paha, betis dan

cakar (Yuwanta, 2004).

Paruh, jari dan taji bersifat menulang, tersusun atas keratin. Paruh ayam

berbentuk runcing dan kecil karena disesuaikan dengan pakan yang terhadap

hormon berupa biji-bijian. Jengger dan pial bersifat sensitif terhadap hormon sex

sehingga dapat dijadikan indikator karakteristik secundary sex, sebagai accesor

sexual epidermal. Jengger ayam jantan lebih besar dari pada ayam betina. Sepasang

pial terdapat pada bagian kedua sisi rahang bawah dibagian basal paruh. Cuping

telinga bersifat berdaging tebal yang terletak dibagian bawah telinga. Cakar pada

ayam umumnya tertutup sisik yang merupakan penjuluran dari corium yang padat

dan terbungkus oleh epidermis yang sangat tebal. Kelenjar minyak (glandula

uropygal) yang terdapat dibagian atas ekor ayam berukuran sebesar kacang kapri,

sedangkan pada unggas air tumbuh lebih besar (Suprijatna, 2005).

Ayam memiliki bentuk paruh lancip, berwarna kuning, warna jengger

merah serta kaki berwarna kuning bulu pada ayam jantan dijadikan sebagai

daya tarik dalam menarik lawan jenisnya. Bagian kaki pada ayam jantan terdapat

taji sedangkan pada ayam betina tidak terlalu berkembang dengan baik Minorca

(Rasyaf, 2011).
19

2.2.3 Ayam Broiler

Ayam Broiler dikenal juga sebagai ayam pedaging. Ayam jenis ini

pertumbuhannya tidak memerlukan waktu yang terlalu lama untuk bisa segera

dipanen oleh peternak. Jenis ras unggulan hasil persilangan dari bangsa-bangsa

ayam yang memiliki daya prokduktivitas tinggi, terutama dalam memproduksi

daging ayam (Rasyaf, 2004).

Ayam Broiler ini adalah ayam jantan dan betina muda yang berumur di

bawah 8 minggu ketika dijual dengan bobot tubuh tertentu (Rasyaf, 2004).

Sedangkan menurut Siregar (2005) menyebutkan bahwa broiler adalah ayam yang

mempunyai pertumbuhan yang cepat serta mempunyai dada yang lebar dengan

timbunan daging yang baik dan banyak.

Kelebihan broiler sebagai ayam pedaging adalah broiler yang berusia 6

minggu sudah sama besarnya dengan ayam kampung dewasa dan bila dipelihara

hingga berusia 8 bulan, bobotnya dapat mencapai 2 Kg (Rasyaf, 2004).

Ayam broiler terdiri dari sekelompok ayam hasil perkawinan antar jenis

berbeda dari persilangan bertingkat (sampai 40 tingkat) dengan tujuan memperoleh

produk daging dengan waktu singkat dan kondisi lain yang mendukung

(Atmomarsono, 2004)

Ayam broiler adalah ayam yang mempunyai sifat tenang, bentuk tubuh

besar, pertumbuhan cepat, bulu merapat ke tubuh, kulit putih dan produksi telur

rendah. Dijelaskan lebih lanjut bahwa ayam broiler dalam klasifikasi ekonomi

memiliki sifat-sifat antara lain: ukuran badan besar, penuh daging yang berlemak,
20

temperamen tenang, pertumbuhan badan cepat serta efisiensi penggunaan ransum

tinggi (Suprijatna, 2005).

2.3 Penggunaan Antibiotika di Peternakan

Antibiotika digunakan untuk hewan sebagaimana digunakan pada manusia

yaitu untuk mencegah dan mengobati infeksi. Manfaat pengobatan dengan

antibiotika antara lain membasmi agen penyakit, menyelamatkan hewan dari

kematian, mengembalikan kondisi hewan untuk berproduksi kembali dalam waktu

yang relatif singkat, mengurangi/ menghilangkan penderitaan hewan dan mencegah

penyebaran mikroorganisme ke alam sekitarnya yang dapat mengancam kesehatan

hewan dan manusia (Butaye et al., 2003).

Penemuan antibiotika membawa dampak besar bagi kesehatan manusia dan

ternak. Seiring dengan berhasilnya pengobatan dengan menggunakan antibiotika,

maka produksinya semakin meningkat (Phillips et al., 2004). Pada industri

peternakan pemberian antibiotika selain untuk pencegahan dan pengobatan

penyakit, juga digunakan sebagai imbuhan pakan (feed additive) untuk memacu

pertumbuhan (growth promoter), meningkatkan produksi, dan meningkatkan

efisiensi penggunaan pakan (Bahri dkk., 2005).

Beberapa antibiotika di Eropa yang diperbolehkan digunakan sebagai

imbuhan pakan seperti olaquinodik, basitrasin, flavomisin, monensin, salinomisin,

tilosin, virginiamisin, avoprasin, dan avilamisin. Sejak tahun 1999, antibiotika

olaquinodik, basitrasin, tilosin, dan virginiamisin sudah dilarang digunakan sebagai

imbuhan pakan (Butaye et al., 2003).


21

Antibiotik yang digunakan sebagai pemacu pertumbuhan (growth

promotor) biasanya diberikan sebagai imbuhan pakan (feed additive) yang

bermanfaat untuk meningkatkan produksi (terutama unggas dan babi) dan

mengurangi biaya pakan. Sehubungan dengan bahayanya dampak residu ini, maka

perlu diketahui sejauh mana keberadaan residu antibiotika dalam produk

peternakan (susu, daging dan telur). Pemberian feed additive oksitetrasiklin dan

spiramycin selama 8 minggu akan meninggalkan residu di dalam hati dan daging

ayam yang lebih besar dibanding dengan jika pemberian feed additive hanya 4

minggu. Residu antibiotik bila termakan konsumen dapat menimbulkan reaksi

alergi dan keracunan serta perkembangan kuman yang resisten terhadap antibiotik.

Antibiotik di dalam tubuh ayam akan dimetabolisir dan diekskresi keluar tubuh,

sehingga bila dilakukan penghentian pemberian antibiotik sebagai feed additive,

maka kadar residu di dalam jaringan tubuh ayam diharapkan akan

menurun.Pemakaian antibiotik dalam bidang peternakan perlu diperhatikan waktu

hentinya pemberian antibiotik tersebut, yaitu jarak antara pemberian antibiotik

terakhir sampai dengan produk ternak tersebut (daging, telur dan susu) boleh

dikonsumsi manusia (Martinez 2009).

Manfaat penggunaan antibiotik dalam pakan adalah untuk antibiotik secara

tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme perusak zat-zat dalam

pakan dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme pembentuk asam amino,

antibiotik dapat membunuh atau menghambat mikroorganisme patogen dalam

saluran pencernaan, meningkatkan penyerapan kalsium, fosfor, dan magnesium


22

dari pakan ternak yang dikonsumsi, mengurangi kebutuhan zat-zat gizi seperti

vitamin B12, mineral, dan asam amino (Drosinos, 2009).

Pemanfaatan antibiotika sebagai imbuhan pakan ternak juga banyak

digunakan di Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian

Veteriner (Balitvet) Bogor menunjukkan bahwa 71,43% (5/7) pabrik pakan di

Kabupaten Bogor, Cianjur, Tangerang, Bekasi dan Sukabumi memberikan

tambahan antibiotika golongan tetrasiklin dan sulfonamida pada produk pakan

ayam (Bahri dkk, 2005). Berdasarkan pengamatan di lapang, antibiotika yang lazim

digunakan untuk pencegahan dan pengobatan penyakit antara lain streptomisin,

kloramfenikol, doksisiklin, tetrasiklin, eritromisin, neomisin, tilosin,

siprofloksasin, enrofloksasin, dan golongan sulfonamida. Antibiotika ini diberikan

dalam air minum pada ayam-ayam yang menunjukkan gejala sakit atau setelah

vaksinasi (Kusumaningsih, 2007).

Amerika Serikat pada tahun 1940 melakukan penelitian, dimana pakan

ayam diberikan produk fermentasi tetrasiklin yang menghasilkan pertumbuhan

sangat cepat pada tubuh ayam dibandingkan dengan yang tidak diberikan produk

fermentasi tersebut, hal ini kemudian diikuti negara lainnya. Bakteri intestin yang

bersaing dengan host menggunakan nutrisi dan mencegah penyakit. Hewan yang

diberikan antibiotika secara rutin, struktur dinding usus lebih tipis dan lebih besar

daya absorpsinya, ini yang mengakibatkan antibiotika dapat memperbaiki produksi

daging ayam (Phillips et al, 2004).

Antibiotika yang digunakan dalam campuran pakan dan air minum perlu

dicermati, karena pakan dan air minum memberikan kontribusi yang besar sekitar

60% dalam usaha pemeliharaan ternak, pemberian dalam jumlah besar dan
23

diberikan secara terus menerus akan menyebabkan akumulasi dalam tubuh ternak

tersebut (Teuber, 2001). Pengobatan massal melalui air minum dalam peternakan

unggas berskala besar merupakan cara terapi yang paling baik, diharapkan

pengobatan (terapi) yang cepat dan efektif serta dapat diikuti dengan pemberian

obat melalui pakan. Hal ini disebabkan karena pengobatan melalui cara parenteral

(intramuskuler, sub kutan dan intra vena) tidak mungkin dilakukan untuk

pengobatan massal dalam peternakan berskala besar (Purvis, 2003 dan PIC, 2006).

Hasil pengamatan beberapa peneliti di lapangan menunjukkan bahwa

setelah dilakukan vaksinasi, akan diikuti dengan pemberian antibiotik melalui air

minum selama 3 – 4 hari. Apabila ayam-ayam tersebut menunjukkan tanda-tanda

sakit, pemberian antibiotika dilanjutkan sampai delapan hari, bahkan terkadang

sampai sembuh (Bahri dkk, 2005).

Beberapa negara berbagai jenis antibiotika, termasuk golongan tetrasiklin,

neomisin, basitrasin, dan preparat sulfa diizinkan untuk diberikan secara berkala

pada peternakan ayam. Pemberian gentamisin dan spektinomisin melalui injeksi

pada ayam bibit dapat mencegah infeksi Salmonella enteritidis dari induk ayam ke

telur yang akan ditetaskan (Kusumaningsih, 2007).

Khlortetrasiklin, doksisiklin dan oksitetrasiklin merupakan antibiotika yang

paling banyak digunakan untuk pengobatan dan golongan ini tidak diizinkan

diberikan melalui pakan ternak di Indonesia. Derivat penisilin (antibiotika beta-

laktam) secara luas digunakan pada sapi, babi dan unggas untuk mengobati infeksi

dan ditambahkan ke dalam pakan atau air minum untuk mencegah beberapa
24

penyakit. Penisilin biasanya cepat hilang dalam darah melalui ginjal dan keluar

melalui urin (Nhiem, 2005).

Beberapa peneliti melaporkan bahwa dibutuhkan antibiotika dalam jumlah

banyak untuk pengobatan, pencegahan, dan sebagai pemacu pertumbuhan pada

ternak penghasil daging. Pada tahun 2001 dilaporkan bahwa, di Amerika Serikat

setiap tahun membutuhkan sebanyak 900 ton antibiotika untuk pengobatan dan

sebanyak 11.200 ton antibiotika untuk non pengobatan pada hewan, sedangkan

antibiotika yang digunakan untuk pengobatan pada manusia hanya digunakan 1.300

ton (Phillips et al., 2004).

Kebutuhan antibiotika untuk pakan dan pengobatan tahun 2001 sebesar

502,27 ton, kemudian meningkat menjadi 5.574,16 ton pada tahun 2005 .

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penggunaan antibiotika dalam dunia

peternakan berkisar antara lain 80% digunakan untuk unggas, 75% pada peternakan

babi, 60% pada peternakan sapi potong dan 75% antibiotika digunakan dalam

peternakan sapi perah masyarakat (Ditjenak, 2006).

Dari kenyataan di lapang, dipastikan bahwa pemakaian antibiotika pada

peternakan ayam cenderung berlebihan dan kurang tepat. Beberapa peneliti

mengkhawatirkan bahwa penggunaan antibiotika secara terus-menerus dan dalam

waktu lama melalui air minum atau pakan dalam konsentrasi rendah akan memicu

terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotika pada ternak. Berdasarkan laporan

World Health Organization menunjukkan bahwa munculnya fenomena resistensi

antimikroba pada bakteri patogen disebabkan oleh pemakaian antimikroba yang

salah pada ternak dan pada saat ini resistensi antimikroba pada ternak dan hasil
25

produksinya (susu, daging dan telur) telah menjadi masalah global di seluruh dunia

(Butaye et al., 2003).

2.3.1 Residu Antibiotika

Residu adalah senyawa asal dan atau metabolitnya yang terdapat dalam

jaringan produk hewani dan termasuk residu hasil uraian lainnya dari obat tersebut.

Semua cara pemberian antibiotika dapat menyebabkan terjadinya residu dalam

pangan asal hewan seperti, daging susu dan telur (Phillips et al., 2004).

Perhatian besar telah diperlihatkan selama 40 tahun mengenai adanya residu

antibiotika pada daging ayam di Amerika Serikat. residu antibiotika terjadi akibat

penggunaan antibiotika untuk kontrol atau mengobati penyakit infeksi tidak

memperhatikan waktu henti obat, penggunaan antibiotika yang melebihi dosis yang

dianjurkan pada penggunaan antibiotika sebagai feed additive dalam pakan hewan.

Pada pangan asal hewan residu meliputi senyawa asal yang tidak berubah

(nonaltered parent drug), Beberapa metabolit obat diketahui bersifat kurang atau

tidak toksik dibandingkan senyawa asalnya, namun beberapa diketahui lebih toksik

(Phillips, 2004 dan Bahri dkk., 2005).

Senyawa induk dan metabolitnya sebagian akan dikeluarkan dari tubuh

melalui air seni dan feces, tetapi sebagian lagi akan tetap tersimpan di dalam

jaringan (organ tubuh) yang disebut sebagai residu. Jika pakan yang dicampur

antibiotika secara terus menerus, maka residu antibiotika tersebut akan

terakumulasi di dalam jaringan dengan konsentrasi yang bervariasi antara organ

tubuh (Bahri dkk, 2005). Antibiotika yang paling sering dideteksi dalam daging
26

yaitu, penisilin (termasuk ampisilin), tetrasiklin (termasuk khlortetrasiklin dan

oksitetrasiklin), sulfonamida (termasuk sulfadimethoksin, sulfamethazin dan

sulfamethoksazol), neomisin, gentamisin dan streptomisin (Phillips et al., 2004).

Sesuai dengan Setandar Nasional Indonesia (SNI) NO 01-6366-2009

mengenai Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dan Batas Maksimum Residu dalam

Bahan Makanan Asal Hewan, yakni pada batas maksimum residu makrolida adalah

0.1 ppm dan batas maksimum residu aminoglikosida adalah 0.1 ppm yang

diperbolehkan d indonesia. Residu dari semua jenis obat hewan paling tinggi

terdapat dihati dan ginjal dibandingkan pada jaringan otot. Hasil analisis

menunjukkan bahwa kadar residu beberapa antibiotika berbeda pada jaringan

berbeda dalam tubuh ayam. Interaksi ini dibedakan menjadi dua macam yaitu

(1) aksi antibiotik terhadap tubuh yang diwujudkan dalam bentuk efek obat, (2)

reaksi tubuh terhadap antibiotik atau cara tubuh menangani senyawa

eksogen. Secara simultan antibiotik didistribusikan ke dalam tubuh setelah

diabsorbsi.

Keberadaan residu antibiotik dalam produk hewani diakibatkan oleh

beberapa faktor (1) tidak diperhatikannya waktu henti obat, (2) penggunaan

antibiotik melebihi dosis yang dianjurkan dan tidak di bawah pengawasan dokter

hewan, (3) pengetahuan yang kurang akan dampak pada kesehatan masyarakat

akibat mengkonsumsi produk pangan asal hewan yang mengandung residu

antibiotik, (4) tidak ada penyuluhan dalam penggunaan antibiotik yang baik dan

benar di peternakan, dan (5) tipe dari peternakan ada yang intensif atau ekstensif

(Donkor, 2011).
27

2.3.2 Toksisitas

Antibiotika dapat mempengaruhi kesehatan manusia secara langsung

maupun tidak langsung. Secara langsung antibiotika memiliki sifat toksik bagi

manusia, Sebagai contoh aminoglikosid reaksi toksik dapat menyerang sistim

syaraf pusat berupa : 1. Efek ototoksik (gangguan pendengaran dan keseimbangan),

2. Efek nefrotoksik (gangguan pada ginjal). Efek ototoksik terjadi pada saraf otak

ke 8 (nervus auditorius) yang mengenai komponen vestibular dan akustik . Banyak

antibitika yang digunakan sebagai agen terapeutik pada hewan domestik dalam

kenyataannya juga digunakan di manusia. Bahaya toksikologik yang terjadi pada

manusia akibat residu antibiotika terutama yang berasal dari bahan pangan sangat

erat hubungannya dengan dosis dan durasi keterpaparan (Focosi, 2005).

2.3.3 Mempengaruhi Flora Usus

Masalah yang timbul dari residu antibiotika pada produk hewan dapat

menyebabkan berbagai gangguan kesehatan pada manusia. Di antaranya,

menyebabkan reaksi alergi, efek toksik, mengganggu keseimbangan flora usus, dan

resistensi mikroorganisme. Otoritas kesehatan pangan Eropa melaporkan bahwa

residu antibiotik pada daging yang dikonsumsi akan menimbulkan reaksi alergi dan

resistensi bakteri patogen terhadap antibiotik dapat ditularkan ke manusia melalui

rantai makanan. Pada hewan itu sendiri, penambahan antibiotik dalam pakan akan

menekan mikroorganisme dalam usus sehingga dapat membantu memperbaiki

pertumbuhan dan meningkatkan bobot ternak. Namun, pengunaan antibiotik

sebagai feed additive dikhawatirkan dapat merubah proporsi dari bakteri spesifik di
28

dalam saluran pencernaan. Seperti, Enterococcus faecium, campylobacter spp.,

echersia coli yang terus membentuk koloni lebih banyak dari spesies bakteri yang

tidak berbahaya, sehingga menekan pertumbuhan bakteri yang tidak berbahaya.

Penggunaan antibiotika tidak hanya menyebabkan resistensi pada bakteri patogen

yang sedang ditangani tetapi juga pada mikroorganisme lain yang ada dalam saluran

pencernaan. Kemungkinan lain adalah adanya gangguan terhadap flora normal

yang ada pada saluran pencernaan manusia karena adanya residu antibiotika pada

makanan. Semakin panjang waktu bakteri terpapar dengan antibiotika maka akan

semakin tinggi kesempatan terjadinya mutasi, sehingga menimbulkan strain yang

kurang sensitif terhadap antibiotika tersebut (Microza, 2014).

2.3.4 Resistensi Terhadap Mikroorganisme

Masalah resistensi bakteri terhadap antibiotika telah dapat dipecahkan

dengan penemuan antibiotika golongan baru seperti, aminoglikosida, makrolida

dan glikopeptida, juga dengan modifikasi kimiawi dari antibiotika yang sudah ada

tetapi tidak ada jaminan pengembangan antibiotika baru dapat mencegah

kemampuan bakteri patogen untuk menjadi resisten. Masalah resistensi mikroba

terhadap antibiotika bukanlah masalah yang baru, sejak tahun 1963, WHO telah

mengadakan pertemuan tentang aspek kesehatan masyarakat dari penggunaan

antibiotika dalam makanan dan bahan makanan. Penggunaan antibiotika pada

pakan hewan sebagai pemacu pertumbuhan telah mengakibatkan pertumbuhan

bakteri yang resisten terhadap antibiotika yang umum digunakan untuk terapi.

Sebelum tahun 1984 di Eropa salmonella dublin masih peka terhadap antibiotika

khloramfenikol (Microza, 2014).


29

Antibiotik tidak digunakan pada seluruh peternakan dan resistensi antibiotik

terjadi di peternakan yang tidak menggunakan antibiotika. Bahan baku protein yang

berasal dari hewan yang terkandung dalam pakan unggas berpotensi sebagai

penyimpan sumber resistensi bakteri terbasar terhadap antibiotika. Dari 165 sampel

bahan baku protein berasal dari sapi, ikan dan unggas yang diperoleh dari

perusahaan pakan unggas, 55% sampel tepung unggas dideteksi kadar bakteri gram

negatif antara 40-10.440 CFU/g sampel. (Salyers, 2005).

Menurut doyle (2006) penelitian tentang resistensi bakteri akibat

penggunaan antibiotika yang diisolasi dari daging dari tahun 2000 sampai dengan

tahun 2005, dari laporan tersebut dilakukan percobaan untuk mengetahui jenis

antibiotika yang paling sering menimbulkan resistensi bakteri dari berbagai jenis

daging yaitu :

1. Daging ayam : tetrasiklin > sulfa > streptomisin =

sephalotin > ampisillin > klorampenikol > gentamisin

2. Daging kalkun: sulfametoksazol > tetrasklin > streptomisin

> ampisillin >sephalotin > gentamisin

Anda mungkin juga menyukai