Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pada tahun 1940 untuk pertama kali diperkenalkan obat antihistami. Sejak itu secara luas
digunakan dalam pengobatan simtomatik penyakit alergi.Pada umumnya antihistamin yang
beredar di Indonesia mempunyai spektrum luas artinya mempunyai efek lain seperti
antikolinergik, anti serotonin, antibradikinin dan alfa adrenoreseptor bloker. Golongan obat
ini disebut antihistamin (AH1) klasik. Penderita yang mendapat obat AH1 klasik akan
menimbulkan efek samping,mengantuk, kadang-kadang timbul rasa gelisah, gugup dan
mengalami gangguan koordinasi. Efek samping ini sering menghambat aktivitas sehari-hari,
dan menimbulkan masalah bila obat antihistamin ini digunakan dalam jangka
panjang.Dekade ini muncul antihistamin baru yang digolongkan ke dalam kelompok AH1
sedatif yang tidak bersifat sedasi, yang memberikan harapan cerah.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah Pengertian dari

C. Tujuan

Untuk mengetahui manfaat dari antihistamin serta macam-macam antihistamin yang


digunakan untuk mengatasi penyakit alergi dan juga untuk mengetahui efek samping yang
ditimbulkan oleh obat antihistamin supaya antihistamin tidak disalahgunakan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Atihistamin

Antihistamin adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan kerja


histamin dalam tubuh melalui mekanisme penghambatan bersaing pada reseptor H-1, H-
2 dan H-3. Efek antihistamin bukan suatu reaksi antigen antibodi karena tidak dapat
menetralkan atau mengubah efek histamin yang sudah terjadi. Antihistamin pada
umumnya tidak dapat mencegah produksi histamin. Antihistamin bekerja terutama
dengan menghambat secara bersaing interaksi histamin dengan reseptor khas.
Antihistamin sebagai penghambat dapat mengurangi degranulasi sel mast yang
dihasilkan dari pemicuan imunologis oleh interaksi antigen IgE. Cromolyn dan
Nedocromil diduga mempunyai efek tersebut dan digunakan pada pengobatan asma,
walaupun mekanisme molekuler yang mendasari efek tersebut belum diketahui hingga
saat ini.

B. Macam-macam Antihistamin
1. Antihistamin (AH1) non sedatif
a) Terfenidin

Merupakan suatu derivat piperidin, struktur kimia. Terfenidin diabsorbsi


sangat cepat dan mencapai kadar puncak setelah 1-2 jam pemberian. Mempunyai
mula kerja yang cepat dan lama kerja panjang. Obat ini cepat dimetabolisme dan
didistribusi luas ke berbagai jaringan tubuh. Terfenidin diekskresi melalui faeces
(60%) dan urine (40%). Waktu paruh 16-23 jam. Efek maksimum telah terlihat
sekitar 3-4 jam dan bertahan selama 8 jam setelah pemberian. Dosis 60 mg
diberikan 2 X sehari.
b) Astemizol

Merupakan derivat piperidin yang dihubungkan dengan cincin benzimidazol,


struktur kimia. Astemizol pada pemberian oral kadar puncak dalam darah
akandicapai setelah 1 jam pemberian. Mula kerja lambat, lama kerja panjang.
Waktu paruh 18-20 hari. Di metabolisme di dalam hati menjadi metabolit aktif dan
tidak aktif dan di distriibusi luas keberbagai jaringan tubuh. Metabolitnya
diekskresi sangat lambat, terdapat dalam faeses 54% sampai 73% dalam waktu 14
hari. Ginjal bukan alat ekskresi utama dalam 14 hari hanya ditemukan sekitar 6%
obat ini dalam urine. Terikat dengan protein plasma sekitar 96%.

c) Mequitazin

Merupakan suatu derivat fenotiazin, struktur kimia lihat Gbr.1. Absorbsinya


cepat pada pemberian oral, kadar puncak dalam plasma dicapai setelah 6 jam
pemberian. Waktu paruh 18 jam, Onset of action cepat, duration of action lama.
Dosis 5 mg 2 X sehari atau 10 mg 1 X sehari (malam hari).

d) Loratadin

Adalah suatu derivat azatadin, struktur kimia Gbr. 1. Penambahan atom C1


meninggikan potensi dan lama kerja obat loratadin. Absorbsinya cepat. Kadar
puncak dicapai setelah 1 jam pemberian. Waktu paruh 8-11 jam, mula kerja sangat
cepat dan lama kerja adalah panjang. Waktu paruh descarboethoxy-loratadin 18-24
jam. Pada pemberian 40 mg satu kali sehari selama 10 hari ternyata mendapatkan
kadar puncak dan waktu yang diperlukan tidak banyak berbeda setiap harinya hal
ini menunjukkan bahwa tidak ada kumulasi, obat ini di distribusi luas ke berbagai
jaringan tubuh. Matabolitnya yaitu descarboetboxy-loratadin (DCL) bersifat aktif
secara farmakologi clan juga tidak ada kumulasi. Loratadin dibiotransformasi
dengan cepat di dalam hati dan di ekskresi 40% di dalam urine dan 40% melalui
empedu. Pada waktu ada gangguan fiungsi hati waktu paruh memanjang. Dosis
yang dianjurkan adalah 10 mg 1 X sehari.

2. Terdapat beberapa jenis antihistamin, yang dikelompokkan berdasarkan sasaran


kerjanya terhadap reseptor histamin.
a) Antagonis Reseptor Histamin H1
Secara klinis digunakan untuk mengobati alergi. Contoh obatnya adalah:
difenhidramina, loratadina, desloratadina, meclizine, quetiapine (khasiat
antihistamin merupakan efek samping dari obat antipsikotik ini), dan prometazina.

b) Antagonis Reseptor Histamin H2

Reseptor histamin H2 ditemukan di sel-sel parietal. Kinerjanya adalah


meningkatkan sekresi asam lambung. Dengan demikian antagonis reseptor H2
(antihistamin H2) dapat digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung, serta
dapat pula dimanfaatkan untuk menangani peptic ulcer dan penyakit refluks
gastroesofagus. Contoh obatnya adalah simetidina, famotidina, ranitidina,
nizatidina, roxatidina, dan lafutidina.

c) Antagonis Reseptor Histamin H3

Antagonis H3 memiliki khasiat sebagai stimulan dan memperkuat kemampuan


kognitif. Penggunaannya sedang diteliti untuk mengobati penyakit Alzheimer's,
dan schizophrenia. Contoh obatnya adalah ciproxifan, dan clobenpropit.

d) Antagonis Reseptor Histamin H4

Memiliki khasiat imunomodulator, sedang diteliti khasiatnya sebagai antiinflamasi


dan analgesik. Contohnya adalah tioperamida.

Beberapa obat lainnya juga memiliki khasiat antihistamin. Contohnya adalah obat
antidepresan trisiklik dan antipsikotik. Prometazina adalah obat yang awalnya
ditujukan sebagai antipsikotik, namun kini digunakan sebagai antihistamin.

Senyawa-senyawa lain seperti cromoglicate dan nedocromil, mampu mencegah


penglepasan histamin dengan cara menstabilkan sel mast, sehingga mencegah
degranulasinya.

C. Mekanisme kerja

Antihistamin bekerja dengan cara menutup reseptor syaraf yang menimbulkan


rasa gatal, iritasi saluran pernafasan, bersin, dan produksi lendir (alias ingus).
Antihistamin ini ada 3 jenis, yaitu Diphenhydramine, Brompheniramine, dan
Chlorpheniramine. Yang paling sering ditemukan di obat bebas di Indonesia adalah
golongan klorfeniramin (biasanya dalam bentuk klorfeniramin maleat). Antihistamin
menghambat efek histamin pada reseptor H1. Tidak menghambat pelepasan histamin,
produksi antibodi, atau reaksi antigen antibodi. Kebanyakan antihistamin memiliki sifat
antikolinergik dan dapat menyebabkan kostipasi, mata kering, dan penglihatan kabur.
Selain itu, banyak antihistamin yang banyak sedasi. Beberapa fenotiazin mempunyai
sifat antihistamin yang kuat (hidroksizin dan prometazin).

1. Antihistamin H1

Meniadakan secara kompetitif kerja histamin pada reseptor H1. Selain memiliki kefek
antihistamin, hampir semua AH1 memiliki efek spasmolitik dan anastetik lokal

2. Antihistamin H2

Bekerja tidak pada reseptor histamin, tapi menghambat dekarboksilase histidin


sehinnga memperkecil pembentukan histamin jika pemberian senyawa ini dilakukan
sebelum pelepasan histamin. Tapi jika sudah terjadi pelepasa histamin, indikasinya
sama denfan AH 1.

D. Efek samping

Promethazine, antihistamin jenis fenotiazin yang digunakan secara luas karena


sifat antimuntah dan penenang yang dimilikinya, telah dilaporkan menyebabkan agitasi,
halusinasi, kejang, reaksi distonik, sudden infant death syndrome, dan henti napas. Efek
samping ini umumnya lebih berat dan signifikan pada bayi, sehingga pabrik pembuatnya
memperingatkan agar tidak diberikan pada anak di bawah usia 2 tahun. Namun,
efektivitas promethazine sebagai sedatif (penenang) dapat disalahgunakan oleh orang tua
untuk menangani anak yang berteriak-teriak. Antihistamin generasi kedua mempunyai
efek samping antikolinergik lebih sedikit dan dianggap tidak menimbulkan efek sedatif
pada anak dalam dosis terapi.

 Efek sedasi, dari hasil penelitian oleh perocek, dibandingkan difenhidramin 2x50 mg
dengan loratadine dosis tunggal 20 mg. Hasilnya memperlihatkan efek sedasi
difenhidramin lebih besar dibanding loratadine. Jadi loratadine tidak mempengaruhi
kemampuan mengendarai, tingkat kewaspadaan siang hari dan produktifitas kerja.
Juga loratadin menghilangkan gejala rhinitis alergi musiman secara efektif dan
absorbsi oralnya sangat cepat serta memiliki masa kerja yang panjang, sehingga
cukup diberikan sekali dalam sehari.
 Gangguan psikomotor yaitu gangguan dalam pekerjaan yang melibatkan fungsi
psikomotor, merupakan masalah yang menjadi perhatian dalam terapi yang
menggunakan antihistamin. Efek samping terlihat saat pasien melakukan kegiatan
dengan resiko fisik seperti mengendarai mobil, berenang, gulat, atau melakukan
pekerjaan tangan. Gangguan fungsi psikomotor adalah efek yang berbeda dari
terjadinya sedasi (rasa mengantuk). Dari hasil penelitian memperlihatkan bahwa
loratadin tidak mengganggu kemampuan mengendarai dan tidak memperkuat efek
alkohol.

 Gangguan kognitif adalah gangguan terhadap kemampuan belajar, konsentrasi atau


ketrampilan di tempat bekerja. Dari hasil penelitian memperlihatkan antihistamin
generasi pertama terutama difenhidramin menyebabkan gangguan kemampuan
belajar, konsentrasi, atau ketrampilan di tempat kerja. Sedangkan loratadin
meniadakan efek negative dari rhinitis alergi terhadap kemampuan belajar. Dengan
menggunakan loratadin tampaknya memperbaiki kemampuan belajar anak, penderita
rhinitis alergi.

 Efek kardiotoksisitas, antihistamin selama ini dianggap sebagai obat yang aman,
tetapi sejak akhir tahun 80-an mulai muncul beberapa jenis antihistamin yang
digunakan dengan dosis yang berlebihan. Sehingga dapat menyebabkan pasien yang
menggunakan mengalami gangguan pada jantung (kardiotoksisitas). Namun dari
hasil penelitian, loratadin merupakan antihistamin yang tidak berhubungan dari
serangan kardiovaskuler yang membahayakan jiwa itu.

Untuk pasien yang aktif bekerja harus berhati-hati dalam menggunakan


antihistamin, karena beberapa antihistamin memiliki efek samping sedasi (mengantuk),
gangguan psikomotor,dan gangguan kognitif. Akibatnya bila digunakan oleh orang yang
melakukan pekerjaan dengan tingkat kewaspadaan tinggi sangat berbahaya.Untuk itu
pasien yang aktif bekerja sebaiknya gunakan antihistamin yang aman dan efektif seperti
loratadin, sudah terbukti tidak menimbulkan sedasi, tidak mengakibatkan terganggunya
fungsi psikomotor dan fungsi kognitif. Juga terbukti aman tidak menyebabkan
kardiotoksisitas dan efektif karena cukup diminum 1x sehari, karena memiliki masa kerja
yang panjang serta diabsorbsi secara cepat.
Antihistamin Generasi Pertama:

1. Alergi – fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.

2. Kardiovaskular – hipotensi postural, palpitasi, refleks takikardia, trombosis vena pada


sisi injeksi (IV prometazin)

3. Sistem Saraf Pusat – drowsiness, sedasi, pusing, gangguan koordinasi, fatigue,


bingung, reaksi extrapiramidal bisa saja terjadi pada dosis tinggi

4. Gastrointestinal – epigastric distress, anoreksi, rasa pahit (nasal spray)

5. Genitourinari – urinary frequency, dysuria, urinary retention

6. Respiratori – dada sesak, wheezing, mulut kering, epitaksis dan nasal burning (nasal
spray)

Antihistamin Generasi Kedua

1. Alergi – fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.

2. SSP* – mengantuk/ drowsiness, sakit kepala, fatigue, sedasi

3. Respiratori** – mulut kering

4. Gastrointestinal** – nausea, vomiting, abdominal distress (cetirizine, fexofenadine)

*Efek samping SSP sebanding dengan placebo pada uji klinis, kecuali cetirizine yang
tampak lebih sedatif ketimbang placebo dan mungkin sama dengan generasi pertama.
**Efek samping pada respiratori dan gastrointestinal lebih jarang dibanding generasi
pertama.

E. Kontraindikasi

Hipersensitivitas dan glaucoma sudut sempit. Jangan digunakan pada bayi baru
lahir dan premature. Antihistamin generasi pertama: hipersensitif terhadap antihistamin
khusus atau terkait secara struktural, bayi baru lahir atau premature, ibu menyusui,
narrow-angle glaucoma, stenosing peptic ulcer, hipertropi prostat simptomatik, bladder
neck obstruction, penyumbatan pyloroduodenal, gejala saluran napas atas (termasuk
asma), pasien yang menggunakan monoamine oxidase inhibitor (MAOI), dan pasien tua.
Antihistamin generasi kedua dan ketiga : hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau
terkait secara struktural.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

http://obatantihistamin.blogspot.com/2010/12/obat-antihistamin.html

http://arintaantihistamin.blogspot.com/

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=393

http://habib.blog.ugm.ac.id/kuliah/histamin-dan-antihistamin/

http://milissehat.web.id/?p=1474

Anda mungkin juga menyukai