Anda di halaman 1dari 32

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit tuberkulosis paru (TB paru) merupakan penyakit infeksi yang
masih menjadi masalah kesehatan dalam masyarakat kita. Penyakit ini berasal dari
infeksi bakteri berbentuk batang (basil Mycobacterium tuberculosis). Global
Tuberculosis Report tahun 2013 menyatakan bahwa prevalensi kasus TB di
Indonesia diperkirakan 506 orang per 100.000 penduduk. Angka insiden
diperkirakan 220 orang per 100.000 penduduk, dan angka mortalitas sekitar 48
orang per 100.000 penduduk. Lima provinsi dengan TB paru tertinggi adalah Jawa
Barat, Papua, DKI Jakarta, Gorontalo, dan Papua Barat.1
Pada tahun 2011, Indonesia (dengan 0,38-0,54 juta kasus) menempati
urutan keempat setelah India, Cina, dan Afrika Selatan. Indonesia merupakan
negara dengan beban tinggi TB pertama di Asia Tenggara yang berhasil mencapai
target Millenium Development Goals (MDG) untuk penemuan kasus TB di atas
70% dan angka kesembuhan 85% pada tahun 2006.2
Berdasarkan jumlah penduduk tahun 2013, diperhitungkan sasaran
penemuan kasus baru TB Paru BTA (+) di Provinsi Sumatera Utara adalah sebesar
21.322 jiwa, dan hasil cakupan penemuan kasus baru TB Paru BTA (+) yaitu
15.414 kasus atau 72,29%. Angka ini mengalami penurunan bila dibandingkan
dengan tahun 2012 sebesar 82,57% dan tahun 2011 sebesar 76,57%.3
Dalam memberantas penyakit Tuberkulosis, Indonesia mempunyai
pedoman dalam pengobatan TB yang disebut Program Pemberantasan TB
(National Tuberculosis Programme). Untuk memperoleh sukses ini, perlu
diterapkan ketentuan-ketentuan untuk membantu pasien agar ia jangan sampai
lalai berobat.4
Besarnya angka ketidakpatuhan berobat akan mengakibatkan tingginya
angka kegagalan pengobatan penderita TB paru dan menyebabkan makin banyak
ditemukan penderita TB paru dengan BTA yang resisten dengan pengobatan
standar.5
WHO sekarang merekomendasikan strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Shortcourse) untuk program-program nasional. Dalam hal ini, setiap
2

dosis pengobatan yang diminum dievaluasi oleh seorang tenaga kesehatan, atau
orang yang sudah dilatih, atau sukarelawan yang terlatih.4
Tujuan pengobatan tuberkulosis adalah untuk menyembuhkan penderita,
mencegah kematian, mencegah relaps, menurunkan penularan ke orang lain, dan
mencegah terjadinya resistensi terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis).6
Terdapat beberapa hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan
kejadian penyakit TB Paru, di antaranya adalah hasil penelitian Nurhanah di
Propinsi Sulawesi Selatan tahun 2007 yang menyatakan adanya hubungan antara
umur (p=0,000), jenis kelamin (p=0,039), pendidikan (p=0,001), dan pekerjaan
(p=0,028) dengan kejadian TB Paru.7
Terkait dengan hasil survei didapatkan informasi dari SP2TP Puskesmas
Tegal Sari Kecamatan Medan Denai bahwa kondisi daerah tersebut merupakan
daerah padat penduduk, dan juga didapatkan data bahwa terjadi sedikit
peningkatan angka kejadian TB Paru dari tahun 2013-2014 yakni dari 27 kasus
menjadi 29 kasus TB Paru, sehingga dari survei ini peneliti tertarik untuk
mengadakan penelitian yang berkaitan dengan TB Paru yang bertujuan untuk
mengetahui hubungan antara karakteristik penduduk (umur, jenis kelamin,
pendidikan, dan pekerjaan) dengan TB Paru di Puskesmas Tegal Sari Kecamatan
Medan Denai.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian ringkas dalam latar belakang di atas yang menjadi
rumusan masalah adalah belum diketahuinya beberapa faktor yang berhubungan
dengan kejadian TB Paru di Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai.

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan beberapa faktor dengan kejadian TB Paru
di Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai.

1.3.2 Tujuan Khusus


a. Untuk mengetahui hubungan umur dengan kejadian TB Paru di
Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai.
3

b. Untuk mengetahui hubungan jenis kelamin dengan kejadian TB


Paru di Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai.
c. Untuk mengetahui hubungan pendidikan dengan kejadian TB Paru
di Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai.
d. Untuk mengetahui hubungan pekerjaan dengan kejadian TB Paru
di Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai.

1.4 Manfaat
1. Bagi Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi
Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai dalam rangka
meningkatkan upaya pencegahan dan pengendalian penyakit TB Paru di
masa yang akan datang.

2. Bagi Peneliti
Dapat menjadi bahan rujukan dan pengembangan penelitian penyakit
TB Paru selanjutnya.

3. Bagi Pembaca
Dapat menjadi sumber informasi mengenai TB Paru serta
pencegahannya.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TB Paru
2.1.1 Definisi
TB Paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil
Mycrobacterium tuberculosis. TB merupakan salah satu penyakit saluran
pernafasan bagian bawah.8

2.1.2 Epidemiologi
Global Tuberculosis Report tahun 2013 menyatakan bahwa prevalensi
kasus TB di Indonesia diperkirakan 506 orang per 100.000 penduduk. Angka
insiden diperkirakan 220 orang per 100.000 penduduk, dan angka mortalitas
sekitar 48 orang per 100.000 penduduk. Lima provinsi dengan TB paru
4

tertinggi adalah Jawa Barat, Papua, DKI Jakarta, Gorontalo, dan Papua
Barat.1
Pada tahun 2011, Indonesia (dengan 0,38-0,54 juta kasus) menempati
urutan keempat setelah India, Cina, dan Afrika Selatan. Indonesia merupakan
negara dengan beban tinggi TB pertama di Asia Tenggara yang berhasil
mencapai target Millenium Development Goals (MDG) untuk penemuan
kasus TB di atas 70% dan angka kesembuhan 85% pada tahun 2006.2
Berdasarkan jumlah penduduk tahun 2013, diperhitungkan sasaran
penemuan kasus baru TB Paru BTA (+) di Provinsi Sumatera Utara adalah
sebesar 21.322 jiwa, dan hasil cakupan penemuan kasus baru TB Paru BTA
(+) yaitu 15.414 kasus atau 72,29%. Angka ini mengalami penurunan bila
dibandingkan dengan tahun 2012 sebesar 82,57% dan tahun 2011 sebesar
76,57%.3

2.1.3 Cara Penularan


Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah
perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan
berperan sekali atas peningkatan kasus TB. Proses terjadinya ineksi oleh M.
tuberculosis secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis
yang paling sering dibanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian
besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang
didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang
mengandung basil tahan asam (BTA).9

2.1.4 Patogenesis
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi adalah :
a. Harus ada sumber infeksi
b. Jumlah basil sebagai penyebab infeksi harus cukup
c. Virulensi yang tinggi dari basil tuberculosis
d. Daya tahan tubuh yang menurun memungkinkan basil berkembang biak
dan keadaan ini menyebabkan timbulnya penyakit TB paru.8

2.1.5 Faktor Resiko


1. Faktor Umur
Beberapa faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis di Amerika
yaitu umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi AIDS. 10
5

Berdasarkan hasil penelitian Nurhanah di Propinsi Sulawesi Selatan


menyatakan adanya hubungan antara umur (p=0,000) dengan kejadian TB
Paru. Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi umur semakin tinggi
kejadian TB Paru. Data Departemen Kesehatan Republik Indonesia, bahwa
sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia produktif. TB Paru paling sering
ditemukan pada umur produktif (15-50) tahun.7
2. Faktor Jenis Kelamin
Di Benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki.
Pada tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat
dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34 % pada
laki-laki dan 28,9 % pada wanita.10 Berdasarkan hasil penelitian Nurhanah di
Propinsi Sulawesi Selatan menyatakan adanya hubungan jenis kelamin
(p=0,039) dengan kejadian TB Paru. Terdapat hubungan bermakna antara
jenis kelamin dengan kejadian TB Paru. Penelitian ini menunjukkan bahwa
laki-laki lebih berpeluang menderita TB Paru dibandingkan perempuan.
Karena laki-laki lebih banyak melakukan aktifitas di luar rumah, sehingga
peluang tertular kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) dari penderita TB
lebih besar dibandingkan perempuan.7

3. Tingkat Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian Nurhanah di Propinsi Sulawesi Selatan
menyatakan adanya hubungan pendidikan (p=0,001) dengan kejadian TB
Paru. Penelitian secara statistik didapatkan bahwa ada hubungan bermakna
antara tingkat pendidikan dengan kejadian TB Paru. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin rendah kejadian
TB Paru. Tingkat pendidikan rendah berpeluang untuk menderita TB Paru
dibandingkan dengan pendidikan yang lebih tinggi. Tingkat pendidikan akan
mempengaruhi pengetahuan seseorang.7
4. Pekerjaan
Terdapat hubungan bermakna antara pekerjaan dengan kejadian TB
Paru. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa responden yang bekerja
memberikan kontribusi seseorang terjangkit TB paru, terkait dengan
keterpaparan kuman Mycobacterium tuberculosis. Jenis pekerjaan kasar
6

mempunyai peluang terpapar kuman TB dibandingkan dengan jenis pekerjaan


lain seperti PNS, TNI, dan karyawan.7
5. Kebiasaan Merokok
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan
resiko untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner,
bronchitis kronik dan kanker kandung kemih.Kebiasaan merokok
meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun
1973 konsumsi rokok di Indonesia per orang per tahun adalah 230 batang,
relatif lebih rendah dengan 430 batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480
batang/orang/tahun di Ghana dan 760 batang/orang/tahun di Pakistan
(Achmadi, 2005). Prevalensi merokok pada hampir semua negara
berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita
perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok akan
mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru.10
6. Kepadatan hunian kamar tidur
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di
dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan
dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak
sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila
salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular
kepada anggota keluarga yang lain.
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya
dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif
tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah
sederhana luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas
lantai minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan,
jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm.
Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami
istri dan anak di bawah 2 tahun. Untuk menjamin volume udara yang cukup,
di syaratkan juga langit-langit minimum tingginya 2,75 m.10
7. Pencahayaan
Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas
jendela kaca minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik
7

atau kurang leluasa maka dapat dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat
penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah,
misalnya basil TB, karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan
masuk cahaya yang cukup.
Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin atau
kurang lebih 60 lux., kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang lebih
redup.
Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi
lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya..Cahaya yang sama
apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman
dalam waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama
Penularan kuman TB Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar
matahari dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka resiko
penularan antar penghuni akan sangat berkurang.10
8. Ventilasi
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk
menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap
terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam
rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban
udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari
kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik
untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit,
misalnya kuman TB.
Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara
ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu
terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan
selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar
tidur selalu tetap di dalam kelembaban (humiditiy) yang optimum.
Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang
ventilasi sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen minimal
5% dari luas lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari
luas lantai. Udara segar juga diperlukan untuk menjaga temperatur dan
8

kelembaban udara dalam ruangan. Umumnya temperatur kamar 22° – 30°C


dari kelembaban udara optimum kurang lebih 60%.10
9. Kondisi rumah
Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan
penyakit TBC. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang
biakan kuman.Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan
penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi
berkembangbiaknya kuman Mycrobacterium tuberculosis.10
10. Kelembaban udara
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan,
dimana kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar
22° – 30°C. Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang
gelap dan lembab.10
11. Status Gizi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang
mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan
dengan orang yang status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada
seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon
immunologik terhadap penyakit.10
12. Keadaan Sosial Ekonomi
Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan
sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan
pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam
memenuhi konsumsi makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status
gizi. Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh
yang menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB Paru.10
13. Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan.
Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya
dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai
orang sakit dan akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang
disekelilingnya.10
2.1.6 Gejala Klinis
9

Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah
gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
1. Gejala respiratori :
a. Batuk ≥ 2 minggu
b. Batuk darah
c. Sesak nafas
d. Nyeri dada

Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Bila bronkus belum
terlihat dalam proses penyakit maka pasien tidak ada gejala batuk. Batuk
yang pertama terjadi karena iritasi bronkus dan selanjutnya batuk
diperlukan untuk membuang dahak keluar.

2. Gejala sistemik :
a. Demam
b. Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia, berat
badan menurun

3. Gejala TB ekstra paru


Gejala TB paru ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri
dari kelenjar getah bening. Pada meningitis TB akan terlihat gejala
meningitis. Pada pleuritis TB terlihat gejala sesak nafas dan kadang nyeri
pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.11

2.1.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, radiologis dan penunjang lain.
a. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin
ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu
demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada
pemeriksaan fisis pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun
terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara
asimtomatik.
10

Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian


apeks (puncak) paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka
didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara prenafasan bronkial.
Akan didapatkan juga suara tambahan berupa ronkhi basah, kasar, dan
nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara
nafasnya menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup
besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi
memberikan suara amforik.9
b. Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya
kadang-kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak
spesifik. Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan didapatkan
jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran
ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah
mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit
kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi dan laju endap darah
mulai turun ke arah normal lagi.

2. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu
menegakkan diagnosis TB paru terutama pada anak-anak (balita).
Biasanya dipakai Tes Mantoux, yakni menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin
P.P.D. (Purified Protein Derivative) intrakutan pada sisi voler 1/3 atas
lengan bawah kiri.8,9
Hanya menyatakan apakah seseorang invidu sedang atau pernah
mengalami infeksi M. tuberculosis. Dasar tes tuberkulin ini adalah
reaksi alergi tipe lambat. Pada penularan dengan kuman patogen baik
yang viluren atau pun tidak (M. tuberculosis atau BCG) tubuh manusia
akan mengadakan reaksi imunologi dengan dibentuknya antibodi
selular pada permulaan dan kemudian diikuti oleh pembentukan
antibodi humoral yang dalam perannya akan menekankan antibodi
selular.9
Pembacaan :
11

Dilakukan 6-8 jam/48 jam/72 jam setelah penyuntikan


(+) : bila diameter indurasi lebih besar dari 10 mm
(-) : bila indurasi kurang dari 5 mm dan meragukan bila diameter
indurasi antara 5-10 mm.8

3. Sputum
Merupakan cara yang paling penting karena diagnosis
tuberkulosis sudah dapat ditegakkan jika ditemukan bakteri BTA.
Dalam hal ini, penderita dianjurkan untuk minum 2 liter air putih dan
diajarkan melakukan batuk refleks 1 hari sebelum pemeriksaan sputum
atau dapat juga diberi obat mukolitik atau ekspektoran atau dengan
inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila sulit,
sputum diambil dengan cara bronkoskopi. Sputum yang akan diperiksa
hendaknya sputum segar. Sputum dinyatakan BTA (+) jika sekurang-
kurangnya ditemukan 3 batang bakteri BTA pada 1 preparat.
Pewarnaan sediaan yang dianjurkan untuk menggunakan cara Tan
Thiam Hok, yangmerupakan modifikasi cara pewarnaan Kinyoun-
Gabbett.12 Pemeriksaan dahak dilakukan 3x (sewaktu-pagi-sewaktu).6

c. Radiologis
Pada saat ini, pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang
praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis. Lokasi tuberkulosis umumnya
di daerah apeks paru (segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus
bawah). Tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di
daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada tuberkulosis
endobronkial).
Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang
pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan
dengan batas-batas yang tidak tegas bila lesi sudah diliputi jaringan ikat,
maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas.lesi ini
dikenal dengan tuberkuloma.9
2.1.8 Diagnosis Banding
Pada proses tuberkulosis paru minimal, sebagai diagnosis banding
adalah simple bronchopneumonia, infiltrat eosinofilik, dan kanker paru
stadium dini. Pada proses tuberkulosis menahun, perlu diingat bahwa ada
12

penyakit paru non tuberkulosis yang juga bersifat menahun seperti


bronkietasis, bronchitis, emfisema, kanker paru.8
2.1.9 Pengobatan
Tujuan pengobatan TB adalah :
a. Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan
prokdutivitas
b. Mencegah kematian karena penyakit TB aktif atau efek lanjutannya
c. Mencegah kekambuhan
d. Mengurangi transmisi atau penularan kepada yang lain
e. Mencegah terjadinya resistensi obat serta penularannya.11

Obat yang digunakan untuk tuberkulosis digolongkan atas 2 kelompok,


yaitu kelompok obat lini pertama dan obat lini kedua. Obat lini pertama yaitu
isoniazid, rifampisin, etambutol, streptomisin, dan pirazinamid. Obat lini
kedua yaitu antibiotik golongan fluorokuinolon (siprofloksasin, ofloksasin,
levofloksasin), sikloserin, etionamid, amikasin, kanamisin, kapreomisin, dan
paraaminosalilisat.13

1. Isoniasid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90%
populasi kuman dalam beberapa hari pengobatan. Obat ini sangat efektif
terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang
berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg
BB .

2. Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-domant
(persister) yang tidak dapat dibunuh oleh isoniasid. Dosis 10 mg/kg BB
diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali
seminggu.

3. Pirazinamid (Z)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel
dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25mg/kg BB,
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan
dosis 35 mg/kg BB.
13

4. Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid, Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB
sedangkan untuk pengobatab intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis
yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari,
sedangkan untuk berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari.

5. Etambutol (E)
Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan
15mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu
digunakan dosis 30mg/kg BB.14
2.1.10 Prinsip Pengobatan
Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis dalam
jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan supaya semua kuman
(termasuk kuman persister) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis
tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal sebaiknya pada saat perut kosong.
Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis, dan jangka
waktu pengobatan), kuman TBC akan berkembang meniadi kuman kebal obat
(resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan
perlu dilakukan dengan pengawasan langsung DOTS oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap yaitu :
1. Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan
diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua
OAT, terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut
diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian penderita TBC BTA positif
menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif.
Pengawasan ketat dalam tahap intensif sangat penting untuk terjadinya
kekebalan obat.
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk
14

membunuh kuman persisten (dormant) sehingga mencegah terjadinya


kekambuhan.

1. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)
3 Obat ini diberikan untuk Penderita baru TBC Paru BTA Positif,Penderita
TBC Paru BTA negatif Rontgen Positif yang ‘sakit berat’, Penderita TB
Ekstra Paru Berat.

2. Kategori 2: 2(HRZE)S/HRZE/5(HR)3E3
Obat ini diberikan untuk penderita kambuh (relaps), penderita gagal
(failure), penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).

3. OAT Sisipan ( HRZE )


Bila pada akhir tahap intensif penderita baru BTA positif dengan kategori
1 atau penderita PTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil
pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan ( HRZE )
setiap hari selama 1 bulan.14
2.1.11 Pencegahan
Indikasi pencegahan :
a. Kasus dengan sputum positif harus diobati secara efektif agar tidak
menularkan orang lain.
b. Untuk orang yang telah kontak dengan pasien tuberkulosis (contact
tracing) maka harus dibuktikan bahwa ia telah terkena tuberkulosis, yakni
dengan tes tuberkulin dan foto thoraks.
Vaksinasi BCG dapat melindungi anak yang berumur < 15 tahun sampai
80%, akan tetapi dapat mengurangi makna dari pemeriksaan tes tuberkulin. 15

2.1.12 Komplikasi
Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan
komplikasi lanjut.
a. Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura,empiema, laringitis usus, Poncet’s
arthropathy
b. Komplikasi lanjut : obstruksi jalan nafas  SOPT (Sindrom Obstruksi
Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat  fibrosis paru, kor
pulmoal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal nafas dewasa
(ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.9
15

2.1.13 Prognosis
Sebelum ditemukan anti tuberkulosis, penderita tuberkulosis paru
mempunyai masa depan yang suram. Tetapi sejak ditemukan obat anti
tuberkulosis, apalagi ditemukan rifampisin dan lain-lain, maka masa depan
penderita tubercklosis paru sangat cerah. Kecuali penderita yang telah
mengalami relaps (kekambuhan), atau terjdai penyulit pada organ paru dan
oragan lain di dalam rongga dada, maka penderita-penderita demikian banyak
yang jatuh ke dalam kor-pulmonal. Bila terbentuk kaverne yang cukup besar,
kemungkinan batuk darah hebat dapat terjadi dan keadaan ini sering
menimbulkan kematian, walaupun secara tidak langsung.9

BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep


Variabel Independen Variabel Dependen

Karakteristik :
 Umur Kejadian TB Paru
 Jenis kelamin
 Pendidikan
 Pekerjaan
16

3.2 Definisi Operasional


Alat Skala
Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur
Ukur Ukur

a. Kasus :
Masyarakat Mandala I
dan Mandala III yang
menderita TB Paru dan
berobat ke Puskesmas
Masyarakat Mandala I dan Tegal Sari Kecamatan
Mandala III yang menderita Medan Denai Tahun
Rekam
Pengambilan
Kejadian TB Paru yang berobat ke 2013 - 2014
Medik Nominal
data b. Kontrol :
TB Paru Puskesmas Tegal Sari
Masyarakat Mandala I
Kecamatan Medan Denai
dan Mandala III yang
Tahun 2013 - 2014
menderita penyakit selain
TB Paru dan berobat ke
Puskesmas Tegal Sari
Kecamatan Medan Denai
Tahun 2013 - 2014

Lama hidup responden sejak


Rekam Pengambilan a. 15 - 49 tahun
Umur lahir hingga penelitian Ordinal
medic data b. ≥ 50 tahun
berlangsung (dalam tahun)
Jenis Jenis kelamin yang Rekam Pengambilan a. Laki-laki Nominal
b.Perempuan
Kelamin tercantum dalam keterangan medic data
17

kelahiran
a. Rendah, jika
Rekam Pengambilan pendidikan ≤ SMP
Pendidikan Pendidikan akhir responden
medik data b. Tinggi, jika Ordinal
pendidikan ≥ SMA
Aktivitas rutin responden
Rekam Pengambilan a. Tidak bekerja
Pekerjaan dalam rangka mencari Ordinal
medic data b. Bekerja
penghasilan

3.3 Hipotesis Penelitian


H0 =
1. Tidak terdapat hubungan umur dengan kejadian TB Paru di Puskesmas
Tegal Sari Kecamatan Medan Denai.
2. Tidak terdapat hubungan pekerjaan dengan kejadian TB Paru di
Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai.

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini menggunakan studi analitik dengan rancangan kasus
kontrol (Case Control).
18

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


4.2.1 Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan
Denai.
4.2.2 Waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 23 April 2015 sampai 16 Mei
2015.

4.3 Populasi Penelitian


Populasi dalam penelitian ini dibagi atas 2, yaitu populasi kasus
merupakan keseluruhan masyarakat Mandala I dan Mandala III yang menderita
TB Paru dan berobat ke Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai tahun
2013 - 2014 sebanyak 56 orang, sedangkan populasi kontrol merupakan
masyarakat Mandala I dan Mandala III yang tidak menderita TB Paru dan berobat
ke Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai tahun 2013 - 2014 sebanyak
26.554 orang.16
4.4 Sampel Penelitian
Pengambilan sampel pada populasi kasus dengan cara total sampling.
Pengambilan sampel pada populasi kontrol dengan cara simple random sampling.

4.5. Analisis Data


Analisis data dilakukan secara manual dan selanjutnya disajikan dalam
bentuk tabel dengan tahapan sebagai berikut: 16
4.5.1 Analisis univariat
Analisis ini dilakukan pada tiap variabel dari hasil penelitian.
Analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap
variabel.16
4.5.2 Analisis bivariat
Dalam analisis ini dilakukan pengujian statistic yaitu Chi-Square
dengan menggunakan Statistical Product and Service Solution 16 dimana
α = 0.05.16
19

BAB 5
HASIL PENELITIAN

Setelah melakukan pengkajian dan penelusuran penelitian mengenai


hubungan faktor karakteristik dengan kejadian TB Paru, ditemukan :

5.1 Analisis Univariat


Analisis univariat dilakukan terhadap tiap-tiap variabel penelitian yang
dalam penelitian ini yaitu faktor karakteristik responden dengan kejadianTB Paru.

Tabel 5.1.1 Distribusi Kasus Berdasarkan Umur di Puskesmas Tegal Sari


Kecamatan Medan Denai Tahun 2013 - 2014
Umur (Tahun) Jumlah Persentasi
15 – 49 40 71,4 %
≥ 50 16 28,6 %

Total 56 100 %
20

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa umur 15-49 tahun sebanyak
40 orang (71,4 %) dan umur ≥ 50 tahun sebanyak 16 orang (28,6 %)
Tabel 5.1.2 Distribusi Kasus Berdasarkan Jenis Kelamin di Puskesmas Tegal
Sari Kecamatan Medan Denai Tahun 2013 - 2014
Jenis Kelamin Jumlah Persentasi
Pria 45 80,4 %
Wanita 11 19,6 %

Total 56 100 %

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa jenis kelamin pria sebanyak
45 orang (80,4 %) dan jenis kelamin wanita sebanyak 11 orang (19,6 %) .
21

Tabel 5.1.3 Distribusi Kasus Berdasarkan Status Pekerjaan di Puskesmas


Tegal Sari Kecamatan Medan Denai Tahun 2013 - 2014
Status Pekerjaan Jumlah Persentasi
Tidak bekerja 23 41 %
Bekerja 33 58,9 %

Total 56 100 %

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa responden tidak bekerja


sebanyak 23 orang (41 %) dan responden bekerja sebanyak 33 orang (58,9 %) .

Tabel 5.1.4 Distribusi Kasus Berdasarkan Pendidikan di Puskesmas Tegal


Sari Kecamatan Medan Denai Tahun 2013 - 2014
Pendidikan Jumlah Persentasi
Rendah 35 62,5 %
Tinggi 21 37,5 %

Total 56 100 %
22
23

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa responden yang


berpendidikan rendah sebanyak 35 orang (62,5 %) dan berpendidikan tinggi
sebanyak 21 orang (37,5 %).

Tabel 5.1.5 Distribusi Kontrol Berdasarkan Umur di Puskesmas Tegal Sari


Kecamatan Medan Denai Tahun 2013 - 2014
Umur (Tahun) Jumlah Persentasi
15 – 49 42 75 %
≥ 50 14 25 %

Total 56 100 %

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa umur 15-49 tahun sebanyak
42 orang (75 %) dan umur ≥ 50 tahun sebanyak 14 orang (25 %).

Tabel 5.1.6 Distribusi Kontrol Berdasarkan Jenis Kelamin di Puskesmas


Tegal Sari Kecamatan Medan Denai Tahun 2013 - 2014
Jenis Kelamin Jumlah Persentasi
Pria 25 44,6 %
Wanita 31 55,4 %

Total 56 100 %
24

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa jenis kelamin pria sebanyak
25 orang (44,6 %) dan jenis kelamin wanita sebanyak 31 orang (55,4 %) .

Tabel 5.1.7 Distribusi Kontrol Berdasarkan Status Pekerjaan di Puskesmas


Tegal Sari Kecamatan Medan Denai Tahun 2013 - 2014
Status Pekerjaan Jumlah Persentasi
Tidak bekerja 31 55,4 %
Bekerja 25 44,6 %

Total 56 100 %

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa responden tidak bekerja


sebanyak 31 orang (55,4 %) dan responden bekerja sebanyak 25 orang (44,6 %) .

Tabel 5.1.8 Distribusi Kontrol Berdasarkan Pendidikan di Puskesmas Tegal


Sari Kecamatan Medan Denai Tahun 2013 - 2014
25

Pendidikan Jumlah Persentasi


Rendah 16 28,6 %
Tinggi 40 71,4 %

Total 56 100 %

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa responden yang


berpendidikan rendah sebanyak 16 orang (28,6 %) dan berpendidikan tinggi
sebanyak 40 orang (71,4 %).

5.2 Analisis Bivariat


Untuk menilai hubungan beberapa faktor karakteristik responden dengan
kejadian TB Pari, maka akan dilakukan uji Chi-Square.
Tabel 5.2.1 Distribusi Hubungan umur kasus dan kontrol dengan kejadian TB Paru
CI
Umur p X2 OR
Kasus Kontrol Lower Upper
0.670 0,182 0.33 0,361 1,926
15-49 Tahun 40 42
≥ 50 Tahun 16 14

Total 56 56
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kasus TB Paru yang berusia 15 - 49
tahun 40 orang dan kontrol sebanyak 42 orang. Untuk kasus TB Paru dengan usia
≥ 50 tahun sebanyak 16 orang dan kontrol sebanyak 14 orang. Didapati nilai
26

P=0.670 > dari nilai P = 0.05 yang berarti tidak terdapat hubungan antara umur
dengan kejadian TB Paru (X2 = 0,182; OR = 0,33; 95 % CI = 0,361- 1,926).

Tabel 5.2.2 Distribusi hubungan jenis kelamin kasus dan kontrol dengan
kejadian TB Paru
27

Jenis CI
P X2 OR
Kelamin Kasus Kontrol Lower Upper

0.000 15,238 5,073 2,181 11,796


Pria 45 25
Wanita 11 31
Total 56 56
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kasus TB Paru pada pria sebanyak
45 orang dan kontrol sebanyak 25 orang. Untuk kasus TB Paru pada wanita
sebanyak 11 orang dan kontrol sebanyak 31 orang. Didapati nilai P = 0.000 < dari
nilai P = 0.05 yang berarti ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian TB
Paru (X2 = 15,238; OR = 5,073; 95 % CI = 2,181-11,796).

Tabel 5.2.3 Distribusi Hubungan pekerjaan kasus dan kontrol dengan


kejadian TB Paru

P
X2 OR CI
Kasus Kontrol Lower Upper
0.130 2,289 1,779 0,841 3,763
Tidak Bekerja 23 31
Bekerja 33 25
Total 56 56
Pekerjaan

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kasus TB Paru yang bekerja
sebanyak 33 orang dan kontrol sebanyak 25 orang dan untuk kasus TB Paru yang
tidak bekerja sebanyak 23 orang dan kontrol sebanyak 31 orang. Dan didapati
nilai P = 0.130 > dari nilai P = 0.05 yang berarti tidak ada hubungan antara
pekerjaan dengan kejadian TB Paru (X2 = 2,289; OR = 1,779; 95 % CI = 0,841-
3,763).
28

Tabel 5.2.4 Distribusi hubungan antara pendidikan kasus dan kontrol


dengan kejadian TB Paru
29

CI
Pendidikan P X2 OR
Kasus Kontrol Lower Upper
0,000 12,996 4,167 1,885 9,208
Rendah 35 16
Tinggi 21 40
Total 56 56
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kasus TB Paru pada pendidikan
rendah sebanyak 35 orang dan kontrol sebanyak 16 orang. Untuk kasus TB Paru
pada pendidikan tinggi sebanyak 21 orang dan kontrol sebanyak 40 orang. Dan
didapati nilai P = 0,000 < dari nilai P = 0.05 yang berarti terdapat hubungan
antara pendidikan dengan kejadian TB Paru (X2 = 12,996; OR = 4,167; 95 % CI =
1,885- 9,208).

BAB 6
PEMBAHASAN
30

Penyakit TB Paru masih merupakan salah satu masalah kesehatan


masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah
penyebarannya semakin bertambah seiiring dengan meningkatnya mobilitas dan
kepadatan penduduk, karenanya banyak penelitian yang dilakukan untuk menggali
informasi tentang penyakit ini khususnya berkaitan dengan karakteristik penderita.
Dari hasil penelitian ini bahwa dari 56 kasus TB Paru untuk umur terbanyak
yang terkena TB Paru adalah umur 15-49 tahun sebanyak 40 orang (71,4 %) dan
dari hasil Chi-Square didapati nilai P=0.670 > dari nilai P = 0.05 yang berarti
tidak terdapat hubungan antara umur dengan kejadian TB Paru (X2 = 0,182; OR =
0,33; 95 % CI = 0,361- 1,926). Hasil ini tidak sama dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Nurhanah di Propinsi Sulawesi Selatan tahun 2007 yang
menyatakan adanya hubungan antara umur (p=0,000) dengan kejadian TB Paru.
Dari hasil penelitian 56 kasus TB Paru untuk jenis kelamin terbanyak yang
terkena TB Paru adalah jenis kelamin pria sebanyak 45 orang (80,4 %) dan dari
hasil Chi-Square didapati nilai P = 0.000 < dari nilai P = 0.05 yang berarti ada
hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian TB Paru (X2 = 15,238; OR =
5,073; 95 % CI = 2,181-11,796). Hal ini dikarenakan pria lebih banyak melakukan
aktivitas di luar rumah melakukan pekerjaan kasar, dan kebiasaan merokok. Hasil
ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurhanah di Propinsi
Sulawesi Selatan tahun 2007 yang menyatakan adanya hubungan antara jenis
kelamin (p=0,039) dengan kejadian TB Paru.
Dari hasil penelitian 56 kasus TB Paru untuk pendidikan terbanyak yang
terkena TB Paru adalah berpendidikan rendah sebanyak 35 orang (62,5 %) dan
dari hasil Chi-Square didapati nilai P = 0,000 < dari nilai P = 0.05 yang berarti
terdapat hubungan antara pendidikan dengan kejadian TB Paru (X2 = 12,996; OR
= 4,167; 95 % CI = 1,885- 9,208). Hal ini dikarenakan responden yang
berpendidikan rendah kurang mengetahui cara pencegahan dan penularan TB
paru serta perilaku hidup bersih dan sehat. Hasil ini sama dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Nurhanah di Propinsi Sulawesi Selatan tahun 2007 yang
menyatakan adanya hubungan antara pendidikan (p=0,001) dengan kejadian TB
Paru.
31

Dari hasil penelitian 56 kasus TB Paru untuk pekerjaan terbanyak yang


terkena TB Paru adalah responden yang bekerja sebanyak 33 orang (58,9 %) dan
dari hasil Chi-Square didapati nilai P = 0.130 > dari nilai P = 0.05 yang berarti
tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan kejadian TB Paru (X2 = 2,289; OR =
1,779; 95 % CI = 0,841-3,763). Hasil ini tidak sama dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Nurhanah di Propinsi Sulawesi Selatan tahun 2007 yang
menyatakan adanya hubungan antara pekerjaan (p=0,028) dengan kejadian TB
Paru.

BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan
1. Tidak terdapat hubungan antara umur dengan angka kejadian TB Paru di
Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai.
2. Terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan angka kejadian TB Paru di
Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai.
3. Tidak terdapat hubungan antara pekerjaan dengan angka kejadian TB Paru
di Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai.
4. Terdapat hubungan antara pendidikan dengan angka kejadian TB Paru di
Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai.
32

7.2 Saran
1. Bagi Puskesmas Tegal Sari
Diharapkan bagi puskesmas untuk melakukan peningkatan upaya promotif
dan preventif terhadap kejadian TB Paru di masyarakat.
2. Bagi Peneliti
Bagi peniliti selanjutnya perlu dilakukan penilitian lanjutan dengan
variabel lain yang lebih konpleks sehingga dapat mengetahui faktor- faktor
apa saja yang mempengaruhi penyakit TB paru.
3. Bagi Pembaca
Diharapkan dapat menjadi sumber informasi tentang penyakit TB Paru
agar terhindar dari penyakit TB Paru dan mengantisipasi secara dini.

Anda mungkin juga menyukai