BAB 1
PENDAHULUAN
dosis pengobatan yang diminum dievaluasi oleh seorang tenaga kesehatan, atau
orang yang sudah dilatih, atau sukarelawan yang terlatih.4
Tujuan pengobatan tuberkulosis adalah untuk menyembuhkan penderita,
mencegah kematian, mencegah relaps, menurunkan penularan ke orang lain, dan
mencegah terjadinya resistensi terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis).6
Terdapat beberapa hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan
kejadian penyakit TB Paru, di antaranya adalah hasil penelitian Nurhanah di
Propinsi Sulawesi Selatan tahun 2007 yang menyatakan adanya hubungan antara
umur (p=0,000), jenis kelamin (p=0,039), pendidikan (p=0,001), dan pekerjaan
(p=0,028) dengan kejadian TB Paru.7
Terkait dengan hasil survei didapatkan informasi dari SP2TP Puskesmas
Tegal Sari Kecamatan Medan Denai bahwa kondisi daerah tersebut merupakan
daerah padat penduduk, dan juga didapatkan data bahwa terjadi sedikit
peningkatan angka kejadian TB Paru dari tahun 2013-2014 yakni dari 27 kasus
menjadi 29 kasus TB Paru, sehingga dari survei ini peneliti tertarik untuk
mengadakan penelitian yang berkaitan dengan TB Paru yang bertujuan untuk
mengetahui hubungan antara karakteristik penduduk (umur, jenis kelamin,
pendidikan, dan pekerjaan) dengan TB Paru di Puskesmas Tegal Sari Kecamatan
Medan Denai.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan beberapa faktor dengan kejadian TB Paru
di Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai.
1.4 Manfaat
1. Bagi Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi
Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai dalam rangka
meningkatkan upaya pencegahan dan pengendalian penyakit TB Paru di
masa yang akan datang.
2. Bagi Peneliti
Dapat menjadi bahan rujukan dan pengembangan penelitian penyakit
TB Paru selanjutnya.
3. Bagi Pembaca
Dapat menjadi sumber informasi mengenai TB Paru serta
pencegahannya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TB Paru
2.1.1 Definisi
TB Paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil
Mycrobacterium tuberculosis. TB merupakan salah satu penyakit saluran
pernafasan bagian bawah.8
2.1.2 Epidemiologi
Global Tuberculosis Report tahun 2013 menyatakan bahwa prevalensi
kasus TB di Indonesia diperkirakan 506 orang per 100.000 penduduk. Angka
insiden diperkirakan 220 orang per 100.000 penduduk, dan angka mortalitas
sekitar 48 orang per 100.000 penduduk. Lima provinsi dengan TB paru
4
tertinggi adalah Jawa Barat, Papua, DKI Jakarta, Gorontalo, dan Papua
Barat.1
Pada tahun 2011, Indonesia (dengan 0,38-0,54 juta kasus) menempati
urutan keempat setelah India, Cina, dan Afrika Selatan. Indonesia merupakan
negara dengan beban tinggi TB pertama di Asia Tenggara yang berhasil
mencapai target Millenium Development Goals (MDG) untuk penemuan
kasus TB di atas 70% dan angka kesembuhan 85% pada tahun 2006.2
Berdasarkan jumlah penduduk tahun 2013, diperhitungkan sasaran
penemuan kasus baru TB Paru BTA (+) di Provinsi Sumatera Utara adalah
sebesar 21.322 jiwa, dan hasil cakupan penemuan kasus baru TB Paru BTA
(+) yaitu 15.414 kasus atau 72,29%. Angka ini mengalami penurunan bila
dibandingkan dengan tahun 2012 sebesar 82,57% dan tahun 2011 sebesar
76,57%.3
2.1.4 Patogenesis
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi adalah :
a. Harus ada sumber infeksi
b. Jumlah basil sebagai penyebab infeksi harus cukup
c. Virulensi yang tinggi dari basil tuberculosis
d. Daya tahan tubuh yang menurun memungkinkan basil berkembang biak
dan keadaan ini menyebabkan timbulnya penyakit TB paru.8
3. Tingkat Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian Nurhanah di Propinsi Sulawesi Selatan
menyatakan adanya hubungan pendidikan (p=0,001) dengan kejadian TB
Paru. Penelitian secara statistik didapatkan bahwa ada hubungan bermakna
antara tingkat pendidikan dengan kejadian TB Paru. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin rendah kejadian
TB Paru. Tingkat pendidikan rendah berpeluang untuk menderita TB Paru
dibandingkan dengan pendidikan yang lebih tinggi. Tingkat pendidikan akan
mempengaruhi pengetahuan seseorang.7
4. Pekerjaan
Terdapat hubungan bermakna antara pekerjaan dengan kejadian TB
Paru. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa responden yang bekerja
memberikan kontribusi seseorang terjangkit TB paru, terkait dengan
keterpaparan kuman Mycobacterium tuberculosis. Jenis pekerjaan kasar
6
atau kurang leluasa maka dapat dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat
penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah,
misalnya basil TB, karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan
masuk cahaya yang cukup.
Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin atau
kurang lebih 60 lux., kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang lebih
redup.
Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi
lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya..Cahaya yang sama
apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman
dalam waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama
Penularan kuman TB Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar
matahari dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka resiko
penularan antar penghuni akan sangat berkurang.10
8. Ventilasi
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk
menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap
terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam
rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban
udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari
kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik
untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit,
misalnya kuman TB.
Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara
ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu
terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan
selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar
tidur selalu tetap di dalam kelembaban (humiditiy) yang optimum.
Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang
ventilasi sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen minimal
5% dari luas lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari
luas lantai. Udara segar juga diperlukan untuk menjaga temperatur dan
8
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah
gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
1. Gejala respiratori :
a. Batuk ≥ 2 minggu
b. Batuk darah
c. Sesak nafas
d. Nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Bila bronkus belum
terlihat dalam proses penyakit maka pasien tidak ada gejala batuk. Batuk
yang pertama terjadi karena iritasi bronkus dan selanjutnya batuk
diperlukan untuk membuang dahak keluar.
2. Gejala sistemik :
a. Demam
b. Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia, berat
badan menurun
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, radiologis dan penunjang lain.
a. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin
ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu
demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada
pemeriksaan fisis pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun
terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara
asimtomatik.
10
2. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu
menegakkan diagnosis TB paru terutama pada anak-anak (balita).
Biasanya dipakai Tes Mantoux, yakni menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin
P.P.D. (Purified Protein Derivative) intrakutan pada sisi voler 1/3 atas
lengan bawah kiri.8,9
Hanya menyatakan apakah seseorang invidu sedang atau pernah
mengalami infeksi M. tuberculosis. Dasar tes tuberkulin ini adalah
reaksi alergi tipe lambat. Pada penularan dengan kuman patogen baik
yang viluren atau pun tidak (M. tuberculosis atau BCG) tubuh manusia
akan mengadakan reaksi imunologi dengan dibentuknya antibodi
selular pada permulaan dan kemudian diikuti oleh pembentukan
antibodi humoral yang dalam perannya akan menekankan antibodi
selular.9
Pembacaan :
11
3. Sputum
Merupakan cara yang paling penting karena diagnosis
tuberkulosis sudah dapat ditegakkan jika ditemukan bakteri BTA.
Dalam hal ini, penderita dianjurkan untuk minum 2 liter air putih dan
diajarkan melakukan batuk refleks 1 hari sebelum pemeriksaan sputum
atau dapat juga diberi obat mukolitik atau ekspektoran atau dengan
inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila sulit,
sputum diambil dengan cara bronkoskopi. Sputum yang akan diperiksa
hendaknya sputum segar. Sputum dinyatakan BTA (+) jika sekurang-
kurangnya ditemukan 3 batang bakteri BTA pada 1 preparat.
Pewarnaan sediaan yang dianjurkan untuk menggunakan cara Tan
Thiam Hok, yangmerupakan modifikasi cara pewarnaan Kinyoun-
Gabbett.12 Pemeriksaan dahak dilakukan 3x (sewaktu-pagi-sewaktu).6
c. Radiologis
Pada saat ini, pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang
praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis. Lokasi tuberkulosis umumnya
di daerah apeks paru (segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus
bawah). Tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di
daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada tuberkulosis
endobronkial).
Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang
pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan
dengan batas-batas yang tidak tegas bila lesi sudah diliputi jaringan ikat,
maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas.lesi ini
dikenal dengan tuberkuloma.9
2.1.8 Diagnosis Banding
Pada proses tuberkulosis paru minimal, sebagai diagnosis banding
adalah simple bronchopneumonia, infiltrat eosinofilik, dan kanker paru
stadium dini. Pada proses tuberkulosis menahun, perlu diingat bahwa ada
12
1. Isoniasid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90%
populasi kuman dalam beberapa hari pengobatan. Obat ini sangat efektif
terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang
berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg
BB .
2. Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-domant
(persister) yang tidak dapat dibunuh oleh isoniasid. Dosis 10 mg/kg BB
diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali
seminggu.
3. Pirazinamid (Z)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel
dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25mg/kg BB,
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan
dosis 35 mg/kg BB.
13
4. Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid, Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB
sedangkan untuk pengobatab intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis
yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari,
sedangkan untuk berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari.
5. Etambutol (E)
Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan
15mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu
digunakan dosis 30mg/kg BB.14
2.1.10 Prinsip Pengobatan
Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis dalam
jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan supaya semua kuman
(termasuk kuman persister) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis
tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal sebaiknya pada saat perut kosong.
Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis, dan jangka
waktu pengobatan), kuman TBC akan berkembang meniadi kuman kebal obat
(resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan
perlu dilakukan dengan pengawasan langsung DOTS oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap yaitu :
1. Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan
diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua
OAT, terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut
diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian penderita TBC BTA positif
menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif.
Pengawasan ketat dalam tahap intensif sangat penting untuk terjadinya
kekebalan obat.
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk
14
1. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)
3 Obat ini diberikan untuk Penderita baru TBC Paru BTA Positif,Penderita
TBC Paru BTA negatif Rontgen Positif yang ‘sakit berat’, Penderita TB
Ekstra Paru Berat.
2. Kategori 2: 2(HRZE)S/HRZE/5(HR)3E3
Obat ini diberikan untuk penderita kambuh (relaps), penderita gagal
(failure), penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).
2.1.12 Komplikasi
Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan
komplikasi lanjut.
a. Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura,empiema, laringitis usus, Poncet’s
arthropathy
b. Komplikasi lanjut : obstruksi jalan nafas SOPT (Sindrom Obstruksi
Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat fibrosis paru, kor
pulmoal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal nafas dewasa
(ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.9
15
2.1.13 Prognosis
Sebelum ditemukan anti tuberkulosis, penderita tuberkulosis paru
mempunyai masa depan yang suram. Tetapi sejak ditemukan obat anti
tuberkulosis, apalagi ditemukan rifampisin dan lain-lain, maka masa depan
penderita tubercklosis paru sangat cerah. Kecuali penderita yang telah
mengalami relaps (kekambuhan), atau terjdai penyulit pada organ paru dan
oragan lain di dalam rongga dada, maka penderita-penderita demikian banyak
yang jatuh ke dalam kor-pulmonal. Bila terbentuk kaverne yang cukup besar,
kemungkinan batuk darah hebat dapat terjadi dan keadaan ini sering
menimbulkan kematian, walaupun secara tidak langsung.9
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
Karakteristik :
Umur Kejadian TB Paru
Jenis kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
16
a. Kasus :
Masyarakat Mandala I
dan Mandala III yang
menderita TB Paru dan
berobat ke Puskesmas
Masyarakat Mandala I dan Tegal Sari Kecamatan
Mandala III yang menderita Medan Denai Tahun
Rekam
Pengambilan
Kejadian TB Paru yang berobat ke 2013 - 2014
Medik Nominal
data b. Kontrol :
TB Paru Puskesmas Tegal Sari
Masyarakat Mandala I
Kecamatan Medan Denai
dan Mandala III yang
Tahun 2013 - 2014
menderita penyakit selain
TB Paru dan berobat ke
Puskesmas Tegal Sari
Kecamatan Medan Denai
Tahun 2013 - 2014
kelahiran
a. Rendah, jika
Rekam Pengambilan pendidikan ≤ SMP
Pendidikan Pendidikan akhir responden
medik data b. Tinggi, jika Ordinal
pendidikan ≥ SMA
Aktivitas rutin responden
Rekam Pengambilan a. Tidak bekerja
Pekerjaan dalam rangka mencari Ordinal
medic data b. Bekerja
penghasilan
BAB IV
METODE PENELITIAN
BAB 5
HASIL PENELITIAN
Total 56 100 %
20
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa umur 15-49 tahun sebanyak
40 orang (71,4 %) dan umur ≥ 50 tahun sebanyak 16 orang (28,6 %)
Tabel 5.1.2 Distribusi Kasus Berdasarkan Jenis Kelamin di Puskesmas Tegal
Sari Kecamatan Medan Denai Tahun 2013 - 2014
Jenis Kelamin Jumlah Persentasi
Pria 45 80,4 %
Wanita 11 19,6 %
Total 56 100 %
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa jenis kelamin pria sebanyak
45 orang (80,4 %) dan jenis kelamin wanita sebanyak 11 orang (19,6 %) .
21
Total 56 100 %
Total 56 100 %
22
23
Total 56 100 %
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa umur 15-49 tahun sebanyak
42 orang (75 %) dan umur ≥ 50 tahun sebanyak 14 orang (25 %).
Total 56 100 %
24
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa jenis kelamin pria sebanyak
25 orang (44,6 %) dan jenis kelamin wanita sebanyak 31 orang (55,4 %) .
Total 56 100 %
Total 56 100 %
Total 56 56
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kasus TB Paru yang berusia 15 - 49
tahun 40 orang dan kontrol sebanyak 42 orang. Untuk kasus TB Paru dengan usia
≥ 50 tahun sebanyak 16 orang dan kontrol sebanyak 14 orang. Didapati nilai
26
P=0.670 > dari nilai P = 0.05 yang berarti tidak terdapat hubungan antara umur
dengan kejadian TB Paru (X2 = 0,182; OR = 0,33; 95 % CI = 0,361- 1,926).
Tabel 5.2.2 Distribusi hubungan jenis kelamin kasus dan kontrol dengan
kejadian TB Paru
27
Jenis CI
P X2 OR
Kelamin Kasus Kontrol Lower Upper
P
X2 OR CI
Kasus Kontrol Lower Upper
0.130 2,289 1,779 0,841 3,763
Tidak Bekerja 23 31
Bekerja 33 25
Total 56 56
Pekerjaan
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kasus TB Paru yang bekerja
sebanyak 33 orang dan kontrol sebanyak 25 orang dan untuk kasus TB Paru yang
tidak bekerja sebanyak 23 orang dan kontrol sebanyak 31 orang. Dan didapati
nilai P = 0.130 > dari nilai P = 0.05 yang berarti tidak ada hubungan antara
pekerjaan dengan kejadian TB Paru (X2 = 2,289; OR = 1,779; 95 % CI = 0,841-
3,763).
28
CI
Pendidikan P X2 OR
Kasus Kontrol Lower Upper
0,000 12,996 4,167 1,885 9,208
Rendah 35 16
Tinggi 21 40
Total 56 56
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kasus TB Paru pada pendidikan
rendah sebanyak 35 orang dan kontrol sebanyak 16 orang. Untuk kasus TB Paru
pada pendidikan tinggi sebanyak 21 orang dan kontrol sebanyak 40 orang. Dan
didapati nilai P = 0,000 < dari nilai P = 0.05 yang berarti terdapat hubungan
antara pendidikan dengan kejadian TB Paru (X2 = 12,996; OR = 4,167; 95 % CI =
1,885- 9,208).
BAB 6
PEMBAHASAN
30
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
1. Tidak terdapat hubungan antara umur dengan angka kejadian TB Paru di
Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai.
2. Terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan angka kejadian TB Paru di
Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai.
3. Tidak terdapat hubungan antara pekerjaan dengan angka kejadian TB Paru
di Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai.
4. Terdapat hubungan antara pendidikan dengan angka kejadian TB Paru di
Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai.
32
7.2 Saran
1. Bagi Puskesmas Tegal Sari
Diharapkan bagi puskesmas untuk melakukan peningkatan upaya promotif
dan preventif terhadap kejadian TB Paru di masyarakat.
2. Bagi Peneliti
Bagi peniliti selanjutnya perlu dilakukan penilitian lanjutan dengan
variabel lain yang lebih konpleks sehingga dapat mengetahui faktor- faktor
apa saja yang mempengaruhi penyakit TB paru.
3. Bagi Pembaca
Diharapkan dapat menjadi sumber informasi tentang penyakit TB Paru
agar terhindar dari penyakit TB Paru dan mengantisipasi secara dini.