Anda di halaman 1dari 21

Presentasi Kasus

ILMU PENYAKIT MATA


PTERIGIUM

Disusun Oleh :

Akrim Permitasari
G99141174
Diena Haniefa G99141175
Haris Hermawan G99141176
Noviana Rahmawati G99141177
Putri Ayu Winiasih G99141178

Pembimbing:
Dr. Senyum Indrakila, dr., Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2014

BAB I
PENDAHULUAN

Pterigium berasal dari bahasa Yunani, pteron yang artinya wing atau sayap,
yang merupakan penetrasi lapisan Bowman akibat pertumbahan fibrovaskuler
konjungtiva yang berasal dari penebalan dan lipatan konjungtiva bulbi yang
bersifat degeneratif dan invasif. Biasanya terletak pada rima palpebrae bagian
nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea dan mudah
mengalami peradangan. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas namun diduga
neoplasma, radang dan degenerasi jaringan kolagen dan proliferasi fibrovaskuler
konjungtiva yang dapat disebabkan oleh iritasi lama akibat rangsangan asap
rokok, debu, cahaya sinar ultraviolet (sinar matahari), kelembapan yang rendah,
dan udara yang panas merupakan faktor predisposisi terjadinya pterigium.
Penyebaran kasus pterigium lebih banyak di daerah berdebu, beriklim
panas dan kering. Faktor lain yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat
ekuator. Insidensi pterigium di Indonesia, yang terletak di daerah ekuator, cukup
tinggi yakni 13,1%. Prevalensi pterigium meningkat dengan bertambahnya usia,
namun rekurensi lebih sering pada usia muda dibandingkan pada usia tua.
Prevalensi tertinggi terdapat pada pasien dengan usia di atas 40 tahun dan
insidensi tertinggi didapatkan pada usia 20-40.
Pasien dengan pterigium memiliki berbagai keluhan, mulai dari tidak
mengalami keluhan sama sekali hingga mata merah, gatal, panas, mengganjal,
mata mudah merah kemudian berair ataupun penurunan visus pada salah satu
mata ataupun keduanya namun pasien tidak mengeluhkan adanya pterigium.
Beberapa lainnya datang dengan keluhan adanya sesuatu yang tumbuh di atas
korneanya dan merasa seperti kelilipan saat berkedip. Dalam hal ini diperlukan
pemeriksaan yang cermat untuk mendiagnosis pterigium sehingga pasien
mendapatkan penanganan yang tepat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Pterigium berasal dari bahasa Yunani, pteron yang artinya wing atau
sayap, yang merupakan penetrasi lapisan Bowman akibat pertumbahan
fibrovaskuler konjungtiva yang berasal dari penebalan dan lipatan konjungtiva
bulbi yang bersifat degeneratif dan invasif. Biasanya terletak pada rima
palpebrae bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah
kornea dan mudah mengalami peradangan. Pertumbuhan ini berbentuk seperti
sayap (bentuk lipatan segitiga abnormal) yang memiliki banyak permbuluh
darah dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Bila terjadi
iritasi maka pterigium akan berwarna merah.
Gambar 1. Arah pertumbuhan pterigium 9
Pada dasarnya pertumbuhan ini bersifat jinak sehingga tidak
memerlukan penanganan yang khusus kecuali jika mengenai daerah pupil
yang dapat menurunkan fungsi penglihatan sehingga diperlukan tindakan
pembedahan untuk memperbaiki penglihatan. 1,2,3,4
B. Epidemiologi
Penyebaran kasus pterigium lebih banyak di daerah berdebu, beriklim
panas dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat
ekuator. Insidensi pterigium di Indonesia, yang terletak di daerah ekuator,
cukup tinggi yakni 13,1%. Suatu penelitian menyebutkan bahwa terdapat
hubungan antara peningkatan prevalensi dengan peningkatan kadar paparan
sinar ultraviolet (UV) di daerah lintang selatan. Dilaporkan laki-laki dua kali
lebih sering terkena dibandingkan wanita. Kasus ini jarang ditemui pada usia
di bawah 20 tahun. Prevalensi pterigium meningkat dengan bertambahnya
usia, namun rekurensi lebih sering pada usia muda dibandingkan pada usia
tua. Prevalensi paling tinggi terdapat pada pasien dengan usia di atas 40 tahun
dan insidensi paling tinggi didapatkan pada usia 20-40. 4,5
C. Faktor Risiko
Faktor risiko pterigium meliputi: 4,5
1. Radiasi UV
Faktor risiko lingkungan yang utama timbulnya pterigium adalah paparan
sinar matahari. Sinar UV yang diabsorbsi kornea dan konjungtiva
menyebabkan kerusakan sel dan proliferasi sel.
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterigium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat
keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosom
dominan. Selain itu, terdapat kecenderungan genetik yang berhubungan
dengan insidensi yang lebih tinggi pada laki-laki dalam jumlah yang
signifikan daripada perempuan.
3. Faktor Lain
Iritasi kronik dari bahan tertentu di udara yang terjadi pada area limbus
atau perifer kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik
dan terjadinya limbal defisiensi. Saat ini teori baru mengenai patogenesis
dari pterigium juga menunjukkan adanya “pterygium angiogenesis
factor“. Debu, kelembapan yang rendah, trauma kecil dari partikel
tertentu, dry eye, virus papilloma, tinggal di daerah beriklim subtropis-
tropis, dan pekerjaan yang membutuhkan kegiatan di luar ruangan juga
merupakan faktor penting yang dapat memicu timbulnya pterigium.
D. Etiologi
Etiologinya tidak diketahui dengan jelas namun diduga neoplasma,
radang dan degenerasi jaringan kolagen dan proliferasi fibrovaskuler
konjungtiva yang dapat disebabkan oleh iritasi lama akibat rangsangan asap
rokok, debu, cahaya sinar ultraviolet (sinar matahari), kelembapan yang
rendah, dan udara yang panas merupakan faktor predisposisi terjadinya
pterigium.1,5
E. Patofisiologi
Berbagai faktor risiko menyebabkan terjadinya degenerasi elastis
jaringan kolagen dan proliferasi fibrovaskular dan progresivitas diduga
merupakan akibat dari kelainan lapisan Bowman kornea serta adanya
pengaruh genetik. Konjungtiva bulbi selalu mengalami kontak dengan dunia
luar, seperti sinar UV, debu, serta udara yang kering akibat cuaca panas yang
mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang
berkembang ke kornea. Penebalan abnormal ini dapat mengenai kedua mata
(bilateral) karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk
kontak dengan faktor-faktor tersebut. Semua kotoran pada konjungtiva akan
menuju ke bagian nasal kemudian melalui punctum lacrimalis dialirkan ke
meatus nasi infeirior. Selain itu, daerah nasal juga mendapat paparan sinar UV
yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain akibat
pantulan sinar UV tidak langsung dari hidung.
UV adalah mutagen untuk p53 tumor supressor gene pada limbal basal
stem cell yang merupakan sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea yang pada gejala
muncul sebagai pertumbuhan konjungtiva ke arah kornea, vaskularisasi,
inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan
fibrotik. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa terigium merupakan
manifestasi dari defisiensi limbal stem cell interpalpebral terlokalisasi yang
diduga akibat paparan sinar UV yang dapat merusak stemcell di daerah
interpalpebral.
Tanpa apoptosis, TGFβ akan mengalami produksi berlebih dan
menimbulkan peningkatan proses kolagenase, sel-sel bermigrasi dan terjadi
angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat
jaringan subepitel fibrovaskuler. Jaringan subkojungtiva terjadi degenerasi
elastis dan proliferasi jaringan granulasi vaskuler di bawah epitel yang
akhirnya menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan
membran Bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskuler degan inflamasi
ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.
Secara histologi, epitel konjungtiva ireguler, terkadang berubah menjadi
epitel pipih berlapis dan mengalami degenerasi kolagen hialin dan elastis.
Pada puncak pterigium, epitel kornea meninggi dan membran Bowman
mengalami degenerasi hialin dan elastis. Terdapat degenerasi stroma yang
berproliferasi sebagai jaringan granulasi yang memiliki banyak pembuluh
darah. Degenerasi ini menyebuk ke dalam kornea serta merusak membran
Bowman dan stroma kornea bagian atas. Histopatologi dari kolagen pada
daerah yang mengalami degenerasi elastis menunjukkan basophilia dengan
pengecatan hematoxylin dan eosin (HE). 1,4,5,6
Gambar 2. Histopatologi Pterigium 10
F. Manifestasi Klinik
1. Gejala Subjektif
Pasien dengan pterigium memiliki berbagai keluhan, mulai dari tidak
mengalami keluhan sama sekali hingga mata merah, gatal, panas,
mengganjal, mata mudah merah kemudian berair ataupun penurunan visus
pada salah satu mata ataupun keduanya namun pasien tidak mengeluhkan
adanya pterigium. Beberapa lainnya datang dengan keluhan adanya
sesuatu yang tumbuh di atas korneanya dan merasa seperti kelilipan saat
berkedip. 5,6,7
2. Gejala Objektif
Pada bentuk dini, pterigium sulit dibedakan dengan pinguekula. Pada
bagian puncak, pterigium dini terdapat inflitrat kecil berwarna bercak
kelabu yang disebut pulau Fuchs. Dari pemeriksaan akan didapatkan
adanya penonjolan daging berwarna putih, tampak jaringan fibrovaskuler
yang berbentuk segitiga berkembang dari konjungtiva interpalpebrae
menuju ke kornea. Tepi jaringan berbatas tegas sebagai suatu garis yang
berwarna coklat kemerahan, umumnya tumbuh di daerah nasal. Bila
mengalami iritasi, pterigium akan berwarna merah dan menebal. 2,3,8
Gambar 3. Pterigium 11
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) body, bagian
segitiga yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya ke arah kantus;
(2) apex, bagian atas pterigium, dan (3) cap yakni bagian belakang
pterigium.4
Berdasarkan perjalanan penyakit, pterigium dibagi menjadi dua tipe, yaitu:
a. Pterigium Progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
kornea di bagian cap.
b. Pterigium Regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskularisasi, membentuk
membran tetapi tidak pernah hilang.4
Bila pterigium hanya terdapat di daerah nasal/temporal saja disebut
sebagai pterigium simpleks. Apabila pterigium terdapat pada nasal dan
temporal, maka disebut sebagai pterigium dupleks.
Menurut Youngson, derajat pterigium ditentukan berdasarkan
bagian kornea yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium dan dibagi
menjadi 4 yaitu:
a. Derajat 1 : Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
b. Derajat 2 : Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak
lebih dari 2 mm melewati kornea
c. Derajat 3 : Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak
melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya
normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)
d. Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan.
G. Diagnosa Banding
1. Pseudopterigium
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea
yang cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan
tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea.5,6
Pada pseudopterigium yang tidak melekat pada limbus kornea, maka
probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah
pseudopterigium pada limbus,sedangkan pada pterygium tak dapat
dilakukan. Pada pseudopteyigium tidak didapat bagian head, cap dan body
dan pseudopterygium cenderung keluar dari ruang interpalpebra fissure
yang berbeda dengan true pterigium.
Perbedaan pseudopterigium dengan pterigium adalah5
- Pseudopterigium didahului riwayat kerusakan permukaan kornea seperti
ukak kornea, sedangkan pterigium tidak.
- Letak pseudopterigium ini pada daerah konjungtiva yang terdekat dengan
proses kornea sebelumnya. Beda dengan pterigium adalah selain letaknya
tidak harus pada celah kelopak mata atau fisura palpebra.
- Puncak pterigium menunjukkan pulau-pulau Fuchs pada kornea sedang
pseudopterigium tidak.
- Pseudopterigium dapat diselipkan sonde di bawahnya, sedangkan
pterigium tidak.
- Jumlah pembuluh darah pada pseudopterigium sama dengan keadaan
pembuluh darah normal.
- Pterigium bersifat pregresif, pseudopterigium tidak.

Gambar 4. Histopatologi Pseudopterigium 10


2. Pinguekula
Berbentuk kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan
berbatasan denganlimbus pada konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra
dan kadang terinflamasi. Prevalensi dan insiden meningkat
denganmeningkatnya umur. Pingecuela sering pada iklim sedang dan
iklim tropis. Angka kejadian sama pada laki laki dan perempuan. Paparan
sinar ultraviolet bukan faktor risiko pinguecula.1
Secara histopatologik ditemukan epitel tipis dan gepeng, sering
terdapat hanya dua lapis sel. Lapisan subepitel tipis. Serat-serat kolagen
stroma berdegenerasi hialin yang amorf kadang-kadang terdapat
penimbunan serat-serat yang terputus-putus. Dapat terlihat penimbunan
kalsium pada lapisan permukaan.1

Gambar 5. Pinguekula 11
H. Penatalaksanaan
1. Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat
1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata
kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari.
Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada
penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada
kornea.
2. Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian
konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva
yang diambil dari konjungtiva bagian superior untuk menurunkan angka
kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan
hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal
mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C
(MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat
komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.
a. Indikasi Operasi
1) Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2) Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil
3) Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan
silau karena astigmatismus
4) Kosmetik, terutama untuk penderita wanita
b. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah
kekambuhan, dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus
ke kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada
yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan yang
variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah
langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih
untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya.
Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut
yang minimal dan halus dari permukaan kornea.
1) Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara
memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan
tinggi, antara 2% dan 89%, telah didokumentasikan dalam berbagai
laporan.
2) Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2% dan
setinggi 40% pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini
melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva
bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sklera yang telah di
eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk
hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-
hati jaringan Tenon dari graft konjungtiva dan penerima,
manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari graft
tersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari Australia
merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi
pterigium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah
dengan teknik ini.

Gambar 6. Teknik Autograft Konjungtiva 9


3) Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk
mencegah kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari
penggunaan membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian
besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran amnion
berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis
dan epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam
pada studi yang ada, diantara 2,6% dan 10,7% untuk pterygia
primer dan setinggi 37,5% untuk kekambuhan pterygia. Sebuah
keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah
pelestarian bulbar konjungtiva. Membran amnion biasanya
ditempatkan di atas sklera, dengan membran basal menghadap ke
atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah
menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu cangkok
membran amnion menempel jaringan episkleral dibawahnya. Lem
fibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.
3. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke
dalam pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat
rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada
komplikasi dari terapi tersebut.
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena
kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan
iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum
ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative
MMC langsung ke sklera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat
tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang
menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi
toksisitas.
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan,
karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium,
meskipun tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia.
Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral, endophthalmitis
dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk tidak
merekomendasikan terhadap penggunaannya.
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan
dengan pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5
hari, bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1
tetes/hari kemudian tappering off sampai 6 minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml): 4x1 tetes/hari selama 14 hari,
diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata: 1 tetes/ 3
jam selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik
chloramphenicol, dan steroid selama 1 minggu
I. Komplikasi
Komplikasi pterigium meliputi: 4
1. Mata merah
2. Iritasi
3. Keterlibatan otot ekstraokular menyebabkan diplopia
4. Jaringan parut kronik pada konjungtiva dan kornea
5. Dry eye sindrom
6. Keganasan epitel pada jaringan epitel di atas pterigium

Komplikasi postoperative pterigium 4


1. Reaksi terhadap bahan benang
2. Rekurensi
3. Infeksi
4. Perforasi korneosklera
5. Jahitan graft terbuka hingga terjadi pembengkakkan dan perdarahan
6. Korneoscleral dellen
7. Granuloma konjungtiva
8. Epithelial inclusion cysts
9. Conjungtiva scar
10. Adanya jaringan parut di kornea
J. Prognosis
Prognosis penglihatan dan kosmetik eksisi pterigium adalah baik.
Penderita dapat beraktivitas normal setelah 48 jam setelah tindakan eksisi.
Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes
mata atau beta radiasi. Pasien yang mengalami kekambuhan dapat dilakukan
eksisi ulang dengan grafting.4 Umumnya rekurensi terjadi pada 3-6 bulan
pertama setelah operasi. Pasien dengan risiko tinggi timbulnya pterygium
seperti riwayat keluarga atau karena terpapar sinar matahari yang lama
dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi intensitas terpapar
sinar matahari.8
BAB III
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Tn. G
Umur : 67 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Sragen
Tanggal periksa : 1 November 2014
No. RM : 00-78-68-06
Cara Pembayaran : BPJS

II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama : mata kiri terasa ada yang mengganjal

B. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien mengeluh mata kirinya seperti ada yang mengganjal sejak 1
tahun terakhir serta adanya selaput yang tumbuh semakin tebal pada tepi
matanya. Keluhan semakin terasa sejak 3 bulan terakhir. Keluhan tidak
sampai mengganggu penglihatan. Kadang mata menjadi mudah merah dan
berair. Keluhan mata nyeri, mata silau, kelopak mata bengkak, mata gatal
disangkal.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat sakit serupa : disangkal
 Riwayat kencing manis : positif
 Riwayat hipertensi : positif
 Riwayat trauma : positif
 Riwayat mata merah : positif
 Riwayat operasi mata : disangkal
 Riwayat benjolan di mata : disangkal
 Riwayat infeksi / iritasi mata : disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwayat kencing manis : disangkal
 Riwayat benjolan di mata : disangkal
 Riwayat infeksi / iritasi mata : disangkal

E. Kesimpulan
Anamnesis
OD OS
Proses - Inflamasi
Lokalisasi - Konjungtiva
Sebab - Belum diketahui
Perjalanan - Kronis
Komplikasi - -

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Kesan umum
Keadaan umum baik E4V5M6, gizi kesan cukup
T = 140/80 mmHg N = 82x/menit RR = 18x/menit S= 36,50C

B. Pemeriksaan subyektif OD OS
Visus sentralis jauh 6/6 6/6
Pinhole tidak dilakukan tidak dilakukan
Refraksi non refraksi non refraksi
Visus Perifer
Konfrontasi test tidak dilakukan tidak dilakukan

C. Pemeriksaan Obyektif
1. Sekitar mata
Tanda radang tidak ada tidak ada
Luka tidak ada tidak ada
Parut tidak ada tidak ada
Kelainan warna tidak ada tidak ada
Kelainan bentuk tidak ada tidak ada
2. Supercilium
Warna hitam hitam
Tumbuhnya normal normal
Kulit sawo matang sawo matang

Geraknya dalam batas normal dalam batas normal


3. Pasangan Bola Mata dalam Orbita
Heteroforia tidak ada tidak ada
Strabismus tidak ada tidak ada
Pseudostrabismus tidak ada tidak ada
Exophtalmus tidak ada tidak ada
Enophtalmus tidak ada tidak ada
Anopthalmus tidak ada tidak ada
4. Ukuran bola mata
Mikrophtalmus tidak ada tidak ada
Makrophtalmus tidak ada tidak ada
Ptisis bulbi tidak ada tidak ada
Atrofi bulbi tidak ada tidak ada
Buftalmus tidak ada tidak ada
Megalokornea tidak ada tidak ada
5. Gerakan Bola Mata
Temporal superior dalam batas normal dalam batas normal
Temporal inferior dalam batas normal dalam batas normal
Temporal dalam batas normal dalam batas normal
Nasal dalam batas normal dalam batas normal
Nasal superior dalam batas normal dalam batas normal
Nasal inferior dalam batas normal dalam batas normal
6. Kelopak Mata
Gerakannya dalam batas normal dalam batas normal
Lebar rima 10 mm 10 mm
Blefarokalasis tidak ada tidak ada
Tepi kelopak mata
Oedem tidak ada tidak ada
Margo intermarginalis tidak ada tidak ada
Hiperemis tidak ada tidak ada
Entropion tidak ada tidak ada
Ekstropion tidak ada tidak ada
7. Sekitar saccus lakrimalis
Oedem tidak ada tidak ada
Hiperemis tidak ada tidak ada
8. Sekitar Glandula lakrimalis
Odem tidak ada tidak ada
Hiperemis tidak ada tidak ada
9. Tekanan Intra Okuler
Palpasi kesan normal kesan normal
Tonometer Schiotz tidak dilakukan tidak dilakukan
10. Konjungtiva
Konjungtiva palpebra
Oedem tidak ada tidak ada
Hiperemis tidak ada tidak ada

Sikatrik tidak ada tidak ada


Konjungtiva Fornix
Oedem tidak ada tidak ada
Hiperemis tidak ada tidak ada

Sikatrik tidak ada tidak ada

Konjungtiva Bulbi
Pterigium tidak ada ada
Oedem tidak ada tidak ada
Hiperemis tidak ada tidak ada

Sikatrik tidak ada tidak ada


Injeksi konjungtiva tidak ada tidak ada
Caruncula dan Plika Semilunaris
Oedem tidak ada tidak ada
Hiperemis tidak ada tidak ada

Sikatrik tidak ada tidak ada


11. Sklera
Warna putih putih
Penonjolan tidak ada tidak ada
12. Kornea
Ukuran 12 mm 12 mm
Limbus jernih jernih
Permukaan rata, mengkilat jaringan fibrorash
Sensibilitas normal normal
Keratoskop (Placido) tidak dilakukan tidak dilakukan
Fluoresin Test tidak dilakukan tidak dilakukan
Arcus senilis (-) (-)
13. Kamera Okuli Anterior
Isi jernih jernih
Kedalaman dalam dalam
14. Iris
Warna coklat coklat
Gambaran spongious spongious
Bentuk bulat bulat

Sinekia Anterior tidak ada tidak ada


15. Pupil
Ukuran 3 mm 3 mm
Bentuk bulat bulat
Tempat sentral sentral
Reflek direk (+) (+)
Reflek indirek (+) (+)
Reflek konvergensi baik baik

16. Lensa
Ada/tidak ada ada
Kejernihan jernih jernih
Letak sentral sentral
Shadow test tidak dilakukan tidak dilakukan
17. Corpus vitreum
Kejernihan tidak dilakukan tidak dilakukan

IV. KESIMPULAN PEMERIKSAAN


OD OS
Visus Sentralis Jauh 6/6 6/6
Pinhole tidak dilakukan tidak dilakukan
Sekitar mata dalam batas normal dalam batas normal
Supercilium dalam batas normal dalam batas normal
Pasangan bola mata dalam dalam batas normal dalam batas normal
orbita
Ukuran bola mata dalam batas normal dalam batas normal
Gerakan bola mata dalam batas normal dalam batas normal
Kelopak mata dalam batas normal dalam batas normal
Sekitar saccus lakrimalis dalam batas normal dalam batas normal
Sekitar glandula lakrimalis dalam batas normal dalam batas normal
Tekanan Intra Okuler kesan normal kesan normal
Konjunctiva bulbi dalam batas normal dalam batas normal
Sklera putih putih
Kornea dalam batas normal jaringan fibrorash dengan
puncak di kornea
Camera oculi anterior dalam batas normal dalam batas normal
Iris dalam batas normal dalam batas normal
Pupil dalam batas normal dalam batas normal
Lensa dalam batas normal dalam batas normal
Corpus vitreum tidak dilakukan tidak dilakukan

VII. GAMBAR

Gambar 1. Okuli Dexter et Sinister


Gambar 2. Okuler Dextra Gambar 3. Okuler Sinistra

VIII. DIAGNOSIS BANDING


OS Pterigium
OS Pinguekula
OS Pseudopterigium

IX. DIAGNOSIS
OS Pterigium

X. TERAPI
Pro Ekstirpasi pterigium

XI. PROGNOSIS
OD OS
Ad vitam bonam bonam
Ad sanam bonam bonam
Ad kosmetikum bonam bonam
Ad fungsionam bonam bonam
BAB IV
PENUTUP

A. Pterigium merupakan salah satu kelainan pada mata yang sering terjadi di
Indonesia. Hal ini di karenakan oleh letak geografis Indonesia yang berada di
sekitar garis ekuator sehingga mendapatkan paparan sinar UV yang diduga
merupakan salah satu faktor penyebab dari pterigium. Pterigium banyak
diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas laki-laki lebih banyak di luar
ruangan serta adanya faktor degeneratif sehingga pasien yang berusia lebih
dari 40 tahun cenderung terkena pterigium.
B. Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun
(asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah,
sensasi benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari
stadiumnnya.
C. Pasien dengan pterigium umumnya tidak perlu diobati, hanya perawatan
secara konservatif seperti memberikan anti inflamasi pada pterigium yang
mengalami iritasi. Pembedahan akan dilakukan jika piterigium tersebut sudah
sangat mengganggu bagi penderita seperti adanya gangguan penglihatan.
Pembedahan ini pun hasilnya juga kurang maksimal karena angka
kekambuhan yang cukup tinggi mengingat tingginya kuantitas sinar UV di
Indonesia. Walaupun begitu penyakit ini dapat dicegah dengan menganjurkan
untuk memakai kacamata pelindung sinar UV.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, hal: 46-
47. 2009
2. Vaughan G, Daniel et al. Konjungtiva dalam Opthalmologi Umum. Edisi 14.
Jakarta: Widya Medika. 2000
3. Wijana N. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Binarupa Aksara. 1983
4. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6395/1/10E00178.pdf. 2009
5. Fisher JP. Pterygium. http://emedicine.medscape.com/article/1192527-
overview#showall. 2013
6. Wisnujono S, dkk. Pterigium dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD
Dr. Soetomo, Surabaya. 1994
7. Ilyas, S, Mailangkay HHB, Taim H, Saman R, Simarwata M., Widodo PS
(eds). Ilmu penyakit mata untuk dokter umum dan mahasiswa kedokteran.
Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto. 2010
8. Pterygium. Handbook of Ocular Disease Management. (Online)
http://www.revoptom.com. Diakses Oktober 2014
9. Olver J, Cassidy L. Ophthalmology at a glance. Oxford: Blackwell
Publishing company. 2005. pp: 34.
10. Sehu KW, Lee WR. Ophtalmic pathology: An illustrated guide for clinicians.
Oxford: Blackwell Publishing company. 2005. pp:48.
11. Lang GK. Gareis O, Lang GE, Recker D, Wagner P. Ophthalmology: A
pocket textbook atlas. 2nd ed. New York: Thieme. 2006. pp: 69,70,72

Anda mungkin juga menyukai