Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

Nama : Ny. LW

Umur : 22 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Sidrap Raya Blok 5

Agama : Islam

No. RM : 682087

Tanggal masuk : 27 September 2014

I. SUBJEKTIF

ANAMNESIS

Autoanamnesis

KU : Demam

AT :

Dialami sejak ± 7 hari yang lalu, terutama pada sore menjelang malam hari.

Demam tidak terus menerus, turun dengan obat penurun panas (paracetamol).

Pasien juga mengeluhkan nyeri uluh hati sejak 5 hari yang lalu. Pasien mual tapi

tidak sampai muntah. Tidak ada batuk, tidak ada sesak, tidak ada nyeri dada.

Nafsu makan pasien menurun, namun sebelumnya pasien mengaku sering

mengkonsumsi jajanan dan makanan dari luar rumah, badan terasa lemas. Tidak

ada penurunan berat badan. Tidak ada mimisan dan tidak ada perdarahan gusi.

Riwayat bepergian keluar daerah tidak ada. Riwayat keluarga atau tetangga

dengan keluhan yang sama tidak ada.


Buang air besar : konsistensi lunak, frekuensi 2x/hari warna kuning, darah tidak

ada, riwayat BAB hitam tidak ada.

Buang air kecil: lancar, volume kesan normal , warna kuning jernih.

Riwayat penyakit DM, hipertensi dan penyakit jantung disangkal.

II. STATUS PRESENT

Status Generalisasi : sakit sedang, gizi cukup, compos mentis

Tinggi badan : 158 cm

Berat Badan : 48 kg

IMT =BB/TB2

= 48/(1,58)2

= 19,27 kg/m2 (gizi cukup)

• Status Vitalis :

T : 110/80 mmHg

N : 80 x/menit

P : 22 x/menit

S : 37,8⁰C, axilla

III. PEMERIKSAAN FISIS

• Kepala :

Ekspresi : biasa

Simetris muka : simetris kiri = kanan

Deformitas : (-)

Rambut : hitam lurus, sukar dicabut


• Mata :

Eksoptalmus/Enophtalmus : (-)

Gerakan : ke segala arah 3

Kelopak mata : edem (-)

Konjungtiva : anemis (-)

Sklera : ikterus (-)

Kornea : jernih

Pupil : bulat isokor diameter 2,5 mm/2,5 mm

• Telinga

Pendengaran : dalam batas normal

Tophi : (-)

Nyeri tekan di prosesus mastoideus : (-)

• Hidung :

Perdarahan : (-)

Sekret : (-)

• Mulut:

Bibir : pucat (-), kering (-)

Lidah : kotor (+), tremor (-), tepi hiperemis

Tonsil : T1 – T1, hiperemis (-)

Faring : hiperemis (-)

Gigi geligi : caries dentis (-)

Gusi : hiperemis (-)

• Leher :

Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran


Kelenjar gondok : tidak ada pembesaran

DVS : R-2 cmH2O

Pembuluh darah : tidak ada kelainan

Kaku kuduk : (-)

Tumor : (-)

• Dada :

Inspeksi :

Bentuk : simetris kiri = kanan, normochest

Pembuluh darah : bendungan vena sentral (-)

Sela iga : dalam batas normal 4

Paru

Palpasi :

Fremitus raba : kesan normal

Nyeri tekan : (-)

Massa tumor : (-)

Perkusi :

Paru kiri : sonor

Paru kanan : sonor.

Batas paru-hepar : ICS VI dekstra anterior,

Batas paru belakang kanan : CV Th. IX dekstra

Batas paru belakang kiri : CV Th. X sinistra

Auskultasi :

Bunyi pernapasan : vesikuler

Bunyi tambahan : Rh -/-, Wh -/-


Jantung :

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis tidak teraba

Perkusi : pekak

Kanan atas : ICS II linea parasternalis dextra

Kiri atas : ICS II linea midclavicularis sinistra

Kanan bawah : ICS V linea parasternalis dextra

Kiri bawah : ICS V linea midclavicularis sinistra

Auskultasi : bunyi jantung I/II murni regular, bunyi tambahan (-)

Perut

Inspeksi : datar, ikut gerak napas, massa tumor (-)

Auskultasi : peristaltik (+), kesan meningkat

Palpasi : nyeri tekan (+), regio inguinal dextra, massa tumor (-)

hepar tidak teraba pembesaran

lien tidak teraba pembesaran

Perkusi : timpani

Alat Kelamin

Tidak dilakukan pemeriksaan

Anus dan Rektum

Tidak dilakukan pemeriksaan

Punggung

Palpasi : nyeri tekan (-), massa tumor (-)

Nyeri ketok : (-)

Auskultasi : BP: vesikuler


Gerakan : dalam batas normal

Ekstremitas :

Edema : -/-

Laboratorium:

Darah Rutin Hasil Nilai Rujukan

WBC 9,8 x103/uL 4 - 10 x 103/uL

RBC 4,18 x106/uL 4–6 x 106/uL

HGB 13 g/dL 14 - 18 g/dL

HCT 37,2 % 40 – 54%

MCV 89 pl 80 – 100 pl

MCH 29,5 pg 27 – 32 pg

MCHC 33,3 g/dl 32 – 36 g/dl

PLT 334 x 103/uL 150-400x 103/uL

MPV 6,9 um3 6.00-11.0 um3

NEUT 58,9x103/uL 52-75 x 103/uL

LYMPH 27,2x103/uL 20-40 x 103/uL

MONO 4.3x103/uL 2-8 x 103/uL

ASO 2 x 103/uL 0-10 x 103/uL

Kimia Darah Hasil Nilai Rujukan

SGOT 14 U/L < 38 U/L

SGPT 8 U/L < 41 U/L


Fungsi Ginjal Hasil Nilai Rujukan

Ureum 15 mg/dL 10-50 mg/dl

Kreatinin 0,7 mg/dL <1,3 mg/dL

Pemeriksaan penunjang lainnya:

Widal

 Salmonella typhi O = 1/80 H = 1/160

 Salmonella paratyphi OB = 1/160 HB = 1/80

Tubex

Skala 7 (Indikasi kuat demam tifoid)

Anti Dengue

IgG : Negatif

IgM : Negatif

IV. ASSESSMENT

Diagnosa : Demam tifoid

Diagnosis banding : Demam dengue, malaria

V. PLANNING

 Pengobatan:

- Tirah Baring

- Diet lunak

- IVFD NaCl 0,9 % 28 tetes/menit


- Paracetamol 500 mg 3x1

- Ceftriaxone 3 gr/24 jam/IV dalam Nacl 0,9 % 100 cc

 Rencana Pemeriksaan :

- Darah rutin kontrol

VI. PROGNOSIS

• Quad ad vitam : Bonam

• Quad ad sanationam: Bonam


FOLLOW UP PERJALANAN INSTRUKSI DOKTER

TANGGAL PENYAKIT

27/09/2014 S: P:

T : 110/80 - Demam (+) meningkat - Tirah baring

N : 80 x/i pada sore menjelang - Diet biasa

P : 22 x/i malam hari - IVFD NaCl 0,9 % 28

S : 37,8 ⁰C - Sakit kepala (+) tetes per menit

Darah rutin - Batuk (-), sesak (-) - Ceftriaxone 3 gram/24

- Mual (+), muntah (-) jam/ intravena dalam

WBC : 9,8 x 103 /uL - Nyeri ulu hati (+) NaCL drips 100 cc

RBC : 4,18 x 106 / uL - Lemah badan (+) - Paracetamol 500 mg

HGB : 13 g/dL - Nafsu makan menurun 3x1

HCT : 37,2 % - BAB : frekuensi 2x

SGOT : 14 u/L sehari

SGPT : 8 u/L - BAK : kesan lancer

Ureum : 15 mg/dL O:

Kreatinin : 0,70 mg/dL - SS / GC / CM

Widal - Anemis -/-, ikterus -/-,

Salmonella typhi O = - MT (-), NT (-), DVS R-

1/80 H = 1/160 2 cmH2O

Salmonella paratyphi - BP : vesikuler,

9
OB = 1/160 HB = 1/80 BT : Rh -/- , Wh -/-

Anti Dengue - BJ : I/II murni regular

IgG : Negatif BT : murmur (-)

IgM : Negatif - Peristaltik (+) kesan

normal,

- Hepar tidak teraba

- Lien tidak teraba

- Ext : Edema -/-

A:

Demam typhoid

10
28/0912014 S: P:

T : 100/70 - Demam turun - Tirah baring

N : 84 x/i - Sakit kepala (+) - Diet biasa

P : 20 x/i - Batuk (-), sesak (-) - IVFD RL 28 tetes/menit

S : 37,6⁰C - Mual (+), muntah (+) - Ceftriaxone 3 gr/ 24 jam

berkurang /drips dalam Nacl 0,9 %

Tubex - Nyeri ulu hati (+) 100 cc

Skala 7 (positif kuat) - Lemah badan (+) - Paracetamol 500 mg 3x1

- Nafsu makan menurun

- BAB : frekuensi 2x

sehari

- BAK : kesan lancar

O:

- SS / GK / CM

- Anemis -/-, ikterus -/-,

- MT (-), NT (-), DVS R-

2 cmH2O

- BP : vesikuler,

BT : Rh -/- , Wh -/-

- BJ : I/II murni regular

BT : murmur (-)

11
- Peristaltik (+) kesan

normal

- Hepar tidak teraba

- Lien tidak teraba

- Ext : Edema -/-

A:

- Demam typhoid

29/09/2014 S: P:

T : 100/70 - Demam (-) - Tirah baring

N : 88 x/i - Sakit kepala (-) - Diet biasa

P : 20 x/i - Mual (-), muntah (-) - IVFD RL 28 tetes/menit

S : 36,8 ⁰C - Nyeri ulu hati (+) - Ceftriaxone 3

- Lemah badan (+) gram/24jam/ drips

12
- BAB : frekuensi 2x dalam Nacl 0,9% 100 cc

sehari - Paracetamol 500 mg 3x1

- BAK : lancar (K/P)

O:

- SS / GC / CM

- Anemis -/-, ikterus -/-,

- MT (-), NT (-), DVS R-

2 cmH2O

- BP : vesikuler,

BT : Rh -/- , Wh -/-

- BJ : I/II murni regular

BT : murmur (-)

- Peristaltik (+) kesan

normal,

- Hepar tidak teraba

- Lien tidak teraba

- Ext : Edema -/-

A:

- Demam typhoid

30/09/2014 S: P:

T : 100/70 - Demam (-) - Tirah baring

13
N : 90 x/i - Sakit kepala (-) - Diet biasa

P : 24 x/i - Batuk (-), sesak (-) - IVFD RL 28 tetes/menit

S : 36,5 ⁰C - Mual (-), muntah (-) - Ceftriaxone 3 gr/ 24 jam

- Nyeri ulu hati /drips dalam Nacl 0,9%

berkurang 100 cc

- Lemah badan (+) - Paracetamol 500 mg 3x1

- BAB : frekuensi 2x (K/P)

sehari,

- BAK : kesan lancar

O:

- SS/GC/CC

- Anemis -/-, ikterus -/-,

- MT (-), NT (-), DVS R-

2 cmH2O

- BP : vesikuler,

BT : Rh -/- , Wh -/-

- BJ : I/II murni regular

BT : murmur (-)

- Peristaltik (+) kesan

normal

- Hepar tidak teraba

14
- Lien tidak teraba

- Ext : Edema -/-

A:

- Demam typhoid

21/03/2014 S: P:

T : 100/80 - Demam (-) - Tirah baring

N : 86 x/i - Sakit kepala (-) - Diet biasa

P : 20 x/i - Batuk (-), sesak (-) - IVFD RL 28 tetes/menit

S : 36,5 ⁰C - Mual (-), muntah (-) - Ceftriaxone 3 gr/ 24 jam

- Nyeri ulu hati /drips dalam Nacl 0,9%

berkurang 100 cc

- Lemah badan (+) - Paracetamol 500 mg 3x1

- BAB : frekuensi 2x (K/P)

sehari,

- BAK : kesan lancar

O:

- SS/GC/CC

- Anemis -/-, ikterus -/-,

- MT (-), NT (-), DVS R-

2 cmH2O

- BP : vesikuler,

15
BT : Rh -/- , Wh -/-

- BJ : I/II murni regular

BT : murmur (-)

- Peristaltik (+) kesan

normal

- Hepar tidak teraba

- Lien tidak teraba

- Ext : Edema -/-

A:

- Demam typhoid

RESUME

Dialami sejak ± 7 hari yang lalu, terutama pada sore menjelang malam hari. Demam

tidak terus menerus, turun dengan obat penurun panas (paracetamol). Pasien juga

mengeluhkan nyeri uluh hati sejak 5 hari yang lalu. Pasien mual tapi tidak sampai

muntah. Tidak ada batuk, tidak ada sesak, tidak ada nyeri dada. Nafsu makan pasien

menurun, namun sebelumnya pasien mengaku sering mengkonsumsi jajanan dan

makanan dari luar rumah, badan terasa lemas. Tidak ada penurunan berat badan.

Tidak ada mimisan dan tidak ada perdarahan gusi.

Riwayat bepergian keluar daerah tidak ada. Riwayat keluarga atau tetangga dengan

keluhan yang sama tidak ada.

16
Buang air besar : konsistensi lunak, frekuensi 2x/hari warna kuning, darah tidak ada,

riwayat BAB hitam tidak ada.

Buang air kecil: lancar, volume kesan normal , warna kuning jernih.

Riwayat penyakit DM, hipertensi dan penyakit jantung disangkal.

Pada pemeriksaan fisis didapatkan : Tanda vital: Tekanan darah 110/80 mmHg, nadi

80 per menit, pernapasan 22x per menit, suhu axilla 37,8⁰C. Pada pemeriksaan lidah

didapatkan lidah kotor (+), tremor (-), pada pemeriksaan palpasi abdomen didapatkan

nyeri tekan (+) pada regio inguinal dextra, serta nyeri pada epigastrium (+). Hepar

dan lien tidak teraba pembesaran

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan : widal : salmonella thypi O = 1/80 H =

1/160. Tubex : skala 7 (indikasi kuat demam tifoid). Anti dengue : igG : negative,

IgM negative. Berdsarakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan

penunjang yang telah dilakukan maka diagnosis pasien ini adalah demam tifoid.

DISKUSI

Pasien masuk dengan keluhan utama demam. Banyak penyakit yang dapat

menimbulkan demam, antara lain demam tifoid, demam berdarah, malaria,

tuberkulosis, dan masih banyak lagi. Pada kasus ini, demam disebabkan oleh bakteri

Salmonella typhi berdasarkan: pasien mengalami keluhan demam yang dialami sejak

± 7 hari SMRS, terutama saat sore menjelang malam hari. Demam menurun ketika

mengkonsumsi obat penurun demam (paracetamol) dan naik kembali setelah reaksi

17
obat habis., tidak menggigil. Ada sakit kepala yang dirasakan hilang timbul yang

berdenyut pada seluruh bagian kepala. Tidak ada perdarahan spontan. Batuk dan

sesak tidak ada. Ada nausea tapi tidak sampai vomiting. Ada nyeri epigastrium,

lemah badan, ada penurunan nafsu makan, tidak ada penurunan berat badan. Buang

air besar dan air kecil kesan normal. Riwayat penyakit yang sama sebelumnya tidak

ada. Pada pemeriksaan fisis didapatkan sakit sedang, gizi normal, composmentis.

Tekanan darah = 110/80 mmHg, nadi = 80 x/menit, regular. Pernapasan =22 x/menit,

tipe vesikuler, suhu axilla = 37,8°C. Tidak anemis, ada nyeri epigastrium, hepar dan

lien tidak teraba. Hasil pemeriksaan laboratorium: HGB = 13 g/dL, WBC = 9,8x

103/uL, ureum = 15 mg/dL, kreatinin = 0,70 mg/dL, GOT = 14 U/L, GPT = 8 UL

GOT = 14 U/L, GPT = 8 U/L, gr/dL, IgM Salomonella = +10, anti dengue IgG

negatif dan IgM negatif.

Diagnosis pasti ditegakkan melalui kultur darah untuk menemukan bakteri

Salmonella typhi. Akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid.

Demam tifoid dapat ditegakkan pada pasien apabila terdapat gejala klinis yang

lengkap atau hampir lengkap serta didukung oleh hasil laboratorium yang

menunjukkan tifoid : demam, sakit kepala, kelemahan, nausea, nyeri abdomen,

anoreksia, muntah, gangguan gastrointestinal, insomnia, hepatomegali, splenomegali,

penurunan kesadaran, bradikardi relatif, dan feses berdarah serta pemeriksaan

laboratorium berupa tes widal 5.

Berdasarkan hasil laboratorium diperoleh skor 7 pada uji Tubex yang menunjukkan

indikasi kuat infeksi tifoid. Uji ini mendeteksi antibodi anti Salmonella typhi O9 pada

18
serum pasien. Selain itu, terdapat pula hasil positif untuk pemeriksaan tes Widal yang

menunjukkan adanya reaksi antigen dengan aglutinin yang merupakan antibodi

spesifik terhadap komponen basil Salmonella di dalam darah manusia.

Pasien diberikan terapi farmakologi berupa IVFD NaCl 0,9 % 28 tpm, ceftriaxone

injeksi 3 gram/24 jam/hari drips dalam Nacl 0,9% 100 cc, paracetamol 3 x 500 mg

jika demam.

Ceftriaxone umumnya aktif terhadap kuman gram positif dan negatif termasuk

Salmonella typhi.5 Efek samping yang paling sering adalah rasa hangat di sekitar

tempat injeksi, sakit kepala, berkeringat, dan diare.6 Ceftriaxone memiliki waktu

paruh berkisar 6 hingga 8 jam di dalam tubuh dan sangat cocok untuk pemberian

dosis dalam sehari. Selain itu, ceftriaxone dapat mengurangi waktu terapi hingga 5

hari di rumah sakit sehingga lebih menghemat biaya perawatan. Penggunaan

Kloramfenikol dapat menekan sumsum tulang belakang. Dengan menggunakan

ceftriaxone, pencegahan relaps setelah dinyatakan sembuh terhadap pasien lebih baik

daripada kloramfenikol.Paracetamol diberikan sebagai analgesik dan antipiretik yaitu

dapat menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang serta menurunkan

suhu tubuh.

19
TINJAUAN PUSTAKA

I. `DEFINISI

Demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh Samonella typhi atau

Salmonella paratyphi. Tanda klinis klasik yang muncul pada penderita berupa

demam, malaise, nyeri perut, dan konstipasi. Demam tifoid yang tidak segera

ditangani akan memberat dan mengakibatkan delirium, perdarahan intestinal,

perforasi usus, dan kematian dalam jangka waktu 1 bulan.

II. `EPIDEMIOLOGI

Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia

pada tahun 1990 sebesar 9,2 % dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi

menjadi 15,4 % per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia

dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita

sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.

Insiden demam tifoid bervariasi ditiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi

lingkungan. Didaerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan

didaerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidens

diperkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadahi

serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat

kesehatan lingkungan.

20
Case fatality rate (CFR) demam tifoid ditahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh

kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil survey kesehatan rumah

tangga departemen kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid tidak

termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.

III. ETIOLOGI

Basil penyebab tifoid adalah Salmonella typhi dan paratyphi dari genus Salmonella.

Basil ini adalah gram negatif, bergerak, tidak berkapsul, tidak membentuk spora,

tetapi memiliki fimbria, bersifat aerob dan anaerob fakultatif. Ukuran antara 2 – 4 x

0,6 mikrometer. Suhu optimum untuk tumbuh adalah 37°C dengan pH antara 6 – 8.

Gambar 1. Salmonella typhi4

IV. PATOGENESIS

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi kedalam tubuh

manusia dapat melalui : transmisi oral melalui makanan yang terkontaminasi kuman

Salmonella typhi, transmisi dari tangan ke mulut, dimana tangan yang tidak higienis

21
yang mempunyai Salmonella typhi langsung bersentuhan dengan makanan yang

dimakan serta melalui transmisi kotoran, dimana kotoran individu yang mempunyai

basil Salmonella typhi ke sungai atau dekat dengan sumber air yang digunakan

sebagai air minum yang kemudian langsung diminum tanpa dimasak. Sebagian

kuman dimusnakan dalam lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan

selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus

kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan

selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan

difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup

berkembang biak didalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak peyer ileum

distal dan kemudian ke khelenjar getah benih mesenterika. Selanjutnya melalui

duktus torasikus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi

darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar

keseluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Diorgan-organ ini

kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan

bakteremia yang kedua kalinya disertai tanda-tanda dan gejala penyakit sistemik.

Didalam hati, kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak, dan

bersama cairan empedu dieksresikan secara intermitten kedalam lumen usus.

Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi

setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag

telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagosit kuman Salmonella terjadi pelepasan

22
berbagai mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi

inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,

instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.

Didalam plak peyer makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan.

Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak peyer

yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel

mononuclear di dinding usus. Proses patologi jaringan limfoid ini dapat berkembang

hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi.

Endotoksin dapat menempel direseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya

komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan dan

gangguan organ lainnya.

V. GAMBARAN KLINIS

Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi

yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini

sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus

tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis.

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang

timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga

gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa

dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing,

23
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut,

batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisis hanya didapatkan suhu badan yang

meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore hingga

malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,

bradikardi relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali

permenit), lidah yang berselaput (Kotor ditengah, tepid an ujung merah serta tremor),

Hepatosplenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma,

delirium atau psikosis. Roseola jarang ditemukan pada orang Indonesia.

VI. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan Rutin

Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leucopenia,

dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi

walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia

ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis sel leukosit dapat terjadi

aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid meningkat.

SGOT dan SGPT sering kali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.1

Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji widal dan kultur organism. Sampai

sekarang, kultur menjadi standar baku dalam penegakan diagnostic. Selain uji widal,

terdapat beberapa metode pemeriksaan serologi lain yang dapat dilakukan dengan

24
cepat dan mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih baik dari antara uji

TUBEX, Typhidot dan dipstick.

Uji Widal

Uji widal dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman Salmonella typhi.

Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella typhi

dengan antibody yang disebu dengan agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji

widal adalah suspense Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dilaboratorium.

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu : aglutinin O pada tubuh kuman, Aglutinin H pada

flagella kuman dan aglutinin Vi pada simpai kuman.1

Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan agglutinin H yang digunakan

untuk diagnosisn demam tifoid. Semakin tinggi titernya maka semakin besar

kemungkinan terinfeksi oleh kuman ini.

Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian

meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat dan tetap tinggi

selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul agglutinin O, kemudian

diikuti dengan agglutinin H. pada orang yang telah sembuh agglutinin O masih tetap

dijumpai setelah 4-6 Uji tubex

Uji tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit) dan

mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibody anti-Salmonella typhi O9 pada

serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi

25
pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida Salmonella typhi yang

terkonjugasi pada partikel magnetic latex. Hasil positif ujin tubex ini menunjukkan

terdapat infeksi Salmonellae serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada

Salmonella typhi. Infeksi oleh Salmonella paratyphi akan memberikan hasil negatif.

Secara imunologi, antigen O9 bersifat immunodominan sehingga dapat merangsang

respon imun secara independen terhadap timus dan merangsang mitosis sel B tanpa

bantuan dari sel T. karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap antigen O9 berlangsung

cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke

4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui

bahwa uji tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG

sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi

lampau.

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen meliputi :

tabung berbentuk V yang berfungsi meningkatkan sensitivitas, reagen A yang

mengandung partikel magnetik yang diselubungi dengan antigen O9, reagen B yang

mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi dengan antibodi

monoklonal spesifik dengan antigen O9. Untuk melakukan prosedur pemeriksaan ini,

satu tetes serum (25 μL) dicampurkan kedalam tabung dengan satu tetes (25 μL)

reagen A. setelah itu dua tetes reagen B (50 μL) ditambahkan kedalam tabung. Hal

tersebut dilakukan pada kelima tabung lainnya. Tabung-tabung tersebut kemudian

diletakkan pada rak tabung yang mengandung magnet dan diputar selama 2 menit

dengan kecepatan 250 rpm. Interretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan

26
campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan warna

inilah ditentukan skor, yang interpretasinya dapat dilihat pada tabel berikut :

Skor Intrepretasi

<2 Negatif Tidak menunjuk

infeksi tifoid aktif

3 Borderline Pengukuran tidak

dapat disimpulkan.

Ulangi pengujian

apabila masih

meragukan lakukan

pengulangan beberapa

hari kemudian

4-5 Positif Menunjukkan infeksi

tifoid aktif

>6 Positif Indikasi kuat infeksi

tifoid

Tabel 2 : Interpretasi hasil uji Tubex

27
Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Jika serum tidak

mengandung antibodi terhadap O9, reagen B ini bereaksi dengan reagen A. ketika

diletakkan pada daerah yang mengandung medan magnet , komponen magnet yang

dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan membawa serta pewarna

yang dikandung oleh reagen B. sebagai akibatnya, terlihat warna merah pada tabung

yang sesungguhnya merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, bila serum

mengandung antibodi terhadap O9, antibodi pasien akan berikatan dengan reagen A

menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet rak dan memberikan warna biru

pada larutan.

Uji Typhidot

Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein

membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari

setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG

3terhadap antigen Salmonella typhi. Seberat 50 kD, yang terdapat dalam strip

nitroselulosa.

Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesay 76,6% dan efisiensi

uji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) yang

dilakukan pada 144 kasus demam tifoid. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh

Olsen dkk, didapatkan sensitifitas dan spesifisitas uji ini hampir sama dengan uji

tubex yaitu 79% dan 89% dengan 78% dan 89%.1

28
Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder IgG teraktivasi secara berlebihan

sehingga igM sulit terdeteksi. IgM dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga

pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi akut

dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer. Untuk mengatasi

masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan mengaktivasi total IgG pada

sampel serum. Uji ini yang dikenal dengan nama uji typhidot-M, memungkinkan

ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum pasien. Studi evaluasi

yang dilakukan oleh Khoo Ke dkk pada tahun 1997 terhadap uji typhidot-M

menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih sensitif (sensitivitas mencapai 100%) dan

lebih cepat (3 jam) dilakukan bila dibandingkan dengan kulur.

Uji IgM Dipstik

Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap Salmonella typhi

pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung

antigen lipopolisakarida (LPS) Salmonella typhi dan antigen IgM (sebagai kontrol),

reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan lateks

pewarna, cairan membasahi strip sebelum inkubasi dengan reagen dan serum pasien,

tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil disimpan selama 2 tahun pada suhu 4-

25 C ditempat kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai dengan

inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada

suhu kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan.

Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan

29
membandingkannya dengan reference strip. Garis kontrol harus terwarna dengan

baik.

House dkk, 2001 dan Gasem MH dkk, 2002 meneliti mengenai penggunaan uji ini

dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah di Indonesia dan melaporkan

sensitivitas sebesar 65-77% dan spesifisitas sebesar 95-100%. Pemeriksaan ini mudah

dan cepat (dalam 1 hari) dilakukan tanpa peralatan khusus apapun, namun akurasi

hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan selama 1 minggu setelah timbulnya

gejala.

Kultur Darah

Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil yang

negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan oleh

beberapa hal sebagai berikut: telah mendapatkan terapi dengan ngan antibiotik,

volume darah yang kurang, riwayat vaksinasi, saat pengambilan darah setelah minggu

pertama pada saat aglutinin semakin meningkat.

VII. PENATALAKSANAAN

Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid sebagai berikut :

Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat

penyembuhan, diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif) dengan tujuan

mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal, pemberian

antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.1-4

30
Istirahat dan perawatan

Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah

baring dengan perawatan yang sepenuhnya ditempat seperti makan, minum, mandi,

buang air kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa

penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian,

dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah

dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan

dan dijaga.1

Diet dan terapi penunjang

Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam

tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi

penderita akan semakin turun dan proses penyembuhannya akan semakin lama.1-3

Dimasa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian

ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet

tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring

tersebut bertujuan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau

perforasi usus. Hal ini disebabkan karena ada pendapat bahwa usus harus

diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini

yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang

berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasein dengan demam tifoid 1-3

31
Pemberian antimikroba

Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah

sebagai berikut:

Tabel 2. Pemberian Antibiotik pada Demam Tifoid

32
VIII. KOMPLIKASI

Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir sama organ utama tubuh dapat diserang

dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi

pada demam tifoid yaitu:

- Komplikasi intestinal : perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis

- Komplikasi ekstraintestinal:

- Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer, miokarditis

- Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia

- Komplikasi paru : pneumonia, empiema, pleuritis

- Komplikasi hepatobilier : hepatitis, kolestitis

- Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis

- Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis

- Komplikasi neuropsikiatri / tifoid toksik.1

IX. PROGNOSIS

Prognosis dari demam tifoid adalah berdasarkan dari cepat atau lambatnya

penanganan serta penggunaan antibiotik yang tepat. Bila penyakit berat, pengobatan

terlambat/tidak adekuat atau ada komplikasi berat maka prognosis buruk.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Aru WS, Bambang S, Idrus A, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna

Publishing. Edisi 5. Jakarta, 2009. Hal 2797-2805.

2. Aziz R, Sidartawan S, Anna UZ, dkk. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan

Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Pusat penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 2. Jakarta, 2006.

Hal 139-141.

3. Islam, Butler, Kabir, Alam. Treatment of Typhoid Fever with Ceftriaxone for 5

Days or Chloramphenicol for 14 Days: a Randomized Clinical Trial. Antimicrobial

Agents and Chemotherapy. Vol. 37. No. 8. Hal 1572-1575. Bangladesh: 1993.

4. John LB. Typhoid Fever. Medscape. 2012. Dapat diakses di

http://emedicine.medscape.com/article/231135-overview. Diakses 10 April 2014.

5. Siti FS. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

364/MENKES/SK/V/2006 Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta:

2006.

6. Sulistia GG, Rianto S, Frans D, dkk. Farmakologi dan Terapi. Penerbit Gaya Baru.

Edisi 5. Jakarta, 2007. Hal 238, 524, 643, 864.

7. The American Society of Health System Pharmacists. Ceftriaxone Injection.

Maryland. 2013. Dapat diakses di http://www.nlm.nih.gov/midlineplus/meds. Diakses

13 April 2014.

34
35

Anda mungkin juga menyukai