Anda di halaman 1dari 18

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ikan adalah organisme yang paling sering digunakan sebagai bioindikator
pencemaran air, termasuk pencemaran oleh insektisida. Ikan Nila termasuk ikan
yang mudah untuk dibudidayakan dan mampu bertahan hidup di perairan yang
kondisinya sangat jelek, karena itu ikan Nila sering dijadikan sebagai petunjuk
adanya perubahan faktor-faktor yang mempengaruhinya, terutama pengaruh
kualitas air. Selain itu, ikan mempunyai kepentingan ekonomis yang besar, yaitu
sebagai sumber makanan bagi manusia. Ukuran tubuhnya yang memadai dan
posisinya pada puncak rantai makanan di sistem akuatik merupakan alasan
penggunaan ikan sebagai bioindikator (Wulandari dkk., 2009).
Toksisitas adalah sifat relatif toksikan berkaitan dengan potensinya
mengakibatkan efek negatif bagi makhluk hidup. Toksisitas dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain komposisi dan jenis toksikan, konsentrasi toksikan,
durasi dan frekuensi pemaparan, sifat lingkungan, dan spesies biota penerima.
Toksikan merupakan zat (berdiri sendiri atau dalam campuran zat, limbah, dan
sebagainya) yang dapat menghasilkan efek negatif bagi semua atau sebagian dari
tingkat organisasi biologis (populasi, individu, organ, jaringan, sel, biomolekul)
dalam bentuk merusak struktur maupun fungsi biologis. Toksikan dapat
menimbulkan efek negatif bagi biota dalam bentuk perubahan struktur maupun
fungsional, baik secara akut maupun kronis/sub kronis. Efek tersebut dapat
bersifat reversibel sehingga dapat pulih kembali dan dapat pula bersifat
irreversibel yang tidak mungkin untuk pulih kembali (Megawati dkk., 2011).
Perubahan tingkah laku ikan uji sangat dipengaruhi oleh seberapa besar
kadar bahan pencemar yang ada di tempat hidupnya. jaringan insang telah
mengalami kerusakan sehingga tidak dapat bekerja dengan baik dalam menyerap
oksigen. menyatakan bahwa deterjen di dalam konsentrasi sublethal,
menyebabkan frekuensi pernafasan ikan dan konsumsi oksigen meningkat 2-3 kali
kemudian diikuti dengan penurunan ritme pernafasan, kehilangan keseimbangan
dan akhirnya mati, ikan mati dengan mulut dan operculum terbuka lebar yang
menandakan terjadi sufofikasi. Penyebab kematian ikan adalah karena kerusakan
ephithelium insang oleh deterjen dan akibat penyumbatan saluran-saluran
2

branchiolanya sehingga pertukaran gas terganggu dan ikan mati lemas. Setelah
diamati, ternyata pada bagian luar insang dan seluruh permukaan tubuh banyak
dilapisi oleh lendir. Lapisan lendir timbul sebagai akibat dari usaha ikan untuk
melakukan “self defence” terhadap bahan yang masuk kedalam tubuh ikan,
produksi lendir yang berlebihan ini justru mengakibatkan terhambatnya
pertukaran gas melalui insang. Selain berlendir, tubuh ikan juga berwarna pucat,
lembar insang saling berlekatan dan mengalami pendarahan (Suparjo, 2010).
Apabila suatu limbah yang berupa bahan pencemar masuk ke suatu lokasi
maka akan terjadi perubahan pada lingkungannya. Perubahan dapat terjadi pada
organisme yang hidup di lokasi itu serta lingkunya yang berupa faktor fisika dan
kimianya (ekosistem). Salah satu perubahan yang terjadi karena pembuangan
limbah ke badan perairan dapat menyebabkan berkurangnya kadar oksigen
terlarut. Oksigen penting untuk pernafasan yang merupakan komponen utama
untuk metabolisma ikan dan opganisme lain. Persenyawaan organik di perairan
akan dipecah oleh organisme pembusuk. Terjadinya proses ini sangat
membutuhkan oksigen terlarut dalam perairan tersebut. Disamping itu adanya
senyawa racun yang terkandung di dalam limbah juga mempengruhi proses
metabolisma dalam tubuh ikan, merusak jaringan usus dan ginjal. Senyawa
beracun ini juga mempengaruhi darah organtubuh lainya. Disamping itu senyawa
beracun dapat menghambat metabolisma serum protein (Chahaya, 2003).
Ikan Nila (Oreochromis Niloticus) adalah salah satu jenis ikan air tawar
yang paling banyak dibudi dayakan di Indonesia. Ikan Nila menduduki urutan
kedua setelah ikan Mas (Cyprinus carpio) dalam produksi budi daya air tawar di
Indonesia. Ikan nila kini banyak dibudi dayakan di berbagai daerah karena
kemampuan adaptasinya bagus di dalam berbagai jenis air. Ikan nila dapat hidup
di air tawar, air payau dan air laut. Ikan nila juga tahan terhadap perubahan
lingkungan, bersifat omnivora dan mampu mencerna makanan secara efisien.
Pertumbuhan cepat dan tahan terhadap serangan penyakit (Megawati dkk., 2011).
Ikan nila memiliki penyebaran yang luas karena bersifat euryhaline (dapat
hidup pada kisaran salinitas yang lebar. Ikan nila mendiami berbagai habitat air
tawar, termasuk saluran air yang dangkal, kolam, sungai, dan danau. Selain itu,
ikan nila memiliki nilai ekonomi penting dan dapat dipelihara di laboratorium.
3

Oleh sebab itu, ikan nila merupakan organisme yang dapat digunakan untuk uji
toksisitas. Uji toksisitas dengan menggunakan organisme memberikan dampak
penting terhadap perkembangan manajemen budi daya perikanan Uji toksisitas
dilakukan untuk mengetahui efek letal suatu senyawa toksik. Pengamatan efek
letal, yaitu untuk mengetahui kematian biota uji akibat konsentrasi senyawa kimia
tertentu yang terkandung dalam suatu limbah, dicatat sebagai median letal
concentration (LC50) (Tyas dkk., 2016).

Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui toksisitas akut pada insektisida yang dinyatakan dalam 24
jam.
2. Untuk mengetahui toksisitas akut pada ikan nila (Oreochromis niloticus)
menggunakan insektisida.
3. Untuk mengetahui presentasi mortalitas pada ikan nila (Oreochromis
niloticus).

Manfaat Praktikum
Manfaat dari praktikum ini adalah sebagai salah satu sumber informasi
mengenai mortalitas ikan nila (Oreochromis niloticus) pada uji toksisitas
menggunakan bahan insektisida bagi pihak yang membutuhkan dan sebagai salah
satu syarat mengikuti praktikum selanjutnya.

TINJAUAN PUSTAKA
4

Uji Toksisitas
Uji toksisitas adalah suatu uji yang digunakan untuk mengevaluasi
konsentrasi bahan kimia dan lamanya pemaparan yang dapat menimbulkan
pengaruh tertentu. Uji toksisitas bertujuan untuk mengevaluasi pencemaran
perairan. Prinsip dari uji toksisitas adalah mengidentifikasikan bahan kimia yang
dapat menimbulkan dampak negatif bagi biota perairan. Toksisitas suatu bahan
dapat ditentukan dengan mengkaji seberapa besar pengaruhnya terhadap biota uji.
Suatu bahan pencemar digolongkan toksik jika pada konsentrasi terkecil
mengakibatkan timbulnya pengaruh pada organisme uji. Pengaruh yang timbul
dapat berupa kematian, pengaruh terhadap fisiologi maupun pertumbuhan
organisme (Desratriyanti, 2009).
Uji toksisitas dapat ditentukan dengan metode uji hayati untuk mencari
nilai LC50 96 jam terhadap organisme uji . Apabila suatu limbah yang berupa
bahan pencemar masuk ke perairan, maka akan terjadi perubahan pada organisme
perairan tersebut. Perubahan dapat terjadi pada organisme yang hidup dilokasi
tersebut juga pada lingkungan perairan itu sendiri yaitu berupa faktor fisika dan
kimianya. Dampak dari pencemaran tersebut dapat berupa penurunan biomassa
atau produktivitas, perubahan tingkah laku, penurunan laju pertumbuhan,
terganggunya sistem reproduksi dan perubahan daya tahan atas kemampuan hidup
dan lain-lain (Susanto dkk., 2014).
Uji toksisitas secara kuantitatif dapat ditinjau dari lamanya waktu, yang
dapat diklasifikasikan menjadi toksisitas akut, sub akut, dan kronis. Toksisitas
akut adalah efek total yang didapat pada dosis tunggal dalam 24 jam setelah
pemaparan. Toksisitas akut bersifat mendadak, waktu singkat, biasanya reversibel.
Uji toksisitas atas dasar dosis dan waktu spesifik toksisitas akut. Dosis merupakan
jumlah racun yang masuk ke dalam tubuh. Besar kecilnya dosis menentukan efek
secara biologi. Toksisitas memiliki kemampuan yang dapat menimbulkan
kerusakan pada bagian yang peka didalam maupun dibagian luar tubuh mahluk
hidup. Suatu senyawa kimia dapat dikatakan sebagai racun jika senyawa tersebut
dapat menimbulkan efek yang merusak. Efek yang ditimbulkan sangat tergantung
dengan kadar racun (toksin) yang diberikan dengan dilakukan pengukuran
5

besarnya kadar atau konsentrasi bahan yang dapat menimbulkan pengaruh pada
organisme uji (Ramdhini, 2010).
Uji toksisitas perairan dapat dikategorikan menurut respon organisme yang
diuji sebagai berikut: uji toksisitas akut, yaitu suatu uji untuk melihat respon
organisme terhadap keadaan yang cukup parah dan diindikasikan dengana 50 %
respon, umumnya dalam waktu 96 jam atau kurang misalnya LC50, efek berupa
kematian. Uji toksisitas subakut, yaitu suatu uji yang melihat pengaruh kondisi
yang kurang parah pada organisme, dibandingkan dengan pengaruh akut, dan
dalam waktu yang lama. Uji toksisitas kronik, merupakan uji yang melihat respon
organisme terhadap kondisi berkesinambungan. Umumnya 10% organisme
bertahan hidup. Efek berupa penurunan pertumbuhan dan reproduksi maupun
aktivitas enzim (Desratriyanti, 2009).
Uji toksisitas akut merupakan salah satu bentuk penelitian toksikologi
perairan. Uji tersebut berfungsi untuk mengetahui apakah effluent yang masuk ke
badan air penerima mengandung senyawa toksik dalam konsentrasi tertentu
menyebabkan kematian hewan uji yang dinyatakan dalam nilai LC 50. Hewan uji
yang digunakan adalah ikan karena dapat menunjukkan reaksi terhadap perubahan
fisik air maupun terhadap senyawa pencemar terlarut dalam batas konsentrasi
tertentu (Husni dan Esmiralda, 2011).

Hubungan Uji Kisaran dengan Uji Toksisitas Akut


Salah satu organisme di ekosistem perairan adalah ikan. Ikan merupakan
organisme akuatik yang sering dibudidayakan oleh masyarakat yang tinggal di
dekat perairan. Ikan yang hidup di dalam perairan yang tercemar pestisida akan
menyerap bahan aktif pestisida tersebut dan tersimpan dalam tubuh sehingga perlu
dilakukan penelitian uji toksisitas akut. Uji toksisitas akut merupakan salah satu
bentuk penelitian toksikologi perairan dan uji toksisitas ini perlu dilakukan untuk
mengetahui apakah suatu perairan tercemar oleh kandungan pestisida. Uji tersebut
berfungsi untuk mengetahui apakah pestisida mengandung senyawa toksik dalam
konsentrasi tertentu yang menyebabkan kematian hewan uji yaitu ikan
(Rizki dkk, 2015).
Uji toksisitas akut adalah uji pendahuluan yang dilakukan untuk
menentukan batas kisaran kritis (critical range test) yang menjadi dasar dari
6

penentuan konsentrasi yang digunakan dalam uji lanjutan atau uji toksisitas dasar,
yaitu konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian terbesar mendekati 50% dan
kematian terkecil mendekati 50%. Uji dasar ini dilakukan dengan waktu
pengamatan 24 jam. Uji toksisitas akut dilakukan terhadap limbah cair dengan
variasi konsentrasi yang telah didapatkan pada uji pendahuluan. Perlakuan atau
prosedur penelitian pada uji dasar sama dengan prosedur penelitian pada uji
pendahuluan. Hasil uji dapat diterima apabila 90% hewan uji pada kontrol di akhir
pengamatan masih hidup. Apabila yang bertahan hidup lebih kecil dari 90% maka
uji harus diulang. Analisis uji toksisitas akut meliputi penentuan nilai LC50 yang
dilakukan berdasarkan pola kematian hewan uji pada masing-masing tingkat
konsentrasi (Esmiralda dkk, 2012).

Kerentanan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) terhadap Racun


Salinitas yang cocok terhadap pertumbuhan ikan nila adalah 0-35 ppt
dengan pH 6-8.5. Nila dapat hidup pada perairan dengan kandungan oksigen
minim, kurang dari 3 ppm. Hal yang paling berpengaruh dengan pertumbuhan
ikan nila adalah salinitas atau kadar garam. Jumlah 0-29% adalah kadar maksimal
untuk ikan nila agar tumbuh dengan baik. Ikan nila hanya dapat berkembang pada
suhu air yang hangat dan tidak dapat hidup pada air yang dingin. Keasaman yang
cocok adalah 6-8.5 namun pertumbuhan optimal terjadi pada pH 7-8. pH yang
masih ditoleransi nila adalah 5-11. Suhu optimal untuk pertumbuhan ikan nila
antara 25-30°C (Sandjaja, 2014).
Ikan nila sering digunakan sebagai hewan uji toksisitas karena ikan dapat
menunjukkan reaksi terhadap perubahan fisik air maupun terhadap adanya
senyawa pencemar yang terlarut dalam batas toleransi tertentu. Hal ini
dikarenakan ikan nila dijadikan petunjuk perubahan faktor-faktor yang
mempengaruhinya terutama kualitas air, mudah didapat dan lebih ekonomis serta
ikan dapat beradaptasi terhadap kondisi laboratorium. Uji toksisitas sangat penting
dilakukan untuk mengetahui batas toksisitas dan konsentrasi aman suatu zat. Uji
toksisitas subletal merupakan salah satu metode paling umum dilakukan untuk
mengetahui gejala awal ikan akibat keracunan. Jika sebelum terpapar ikan
memiliki kondisi mata cerah, tubuh bersisik mengkilap, perut utuh dan keras,
7

gerakan gesit setelah terpapar gerak tubuh tidak teratur dan berlendir serta stress
(Supriyono dkk., 2005).
Perairan yang tercemar oleh residu pestisida apabila telah mencapai
konsentrasi tertentu akan sangat berpengaruh terhadap lingkungan dan organisme
akuatik yang hidup di dalamnya. Ikan yang hidup dalam lingkungan perairan yang
tercemar pestisida akan menyerap bahan aktif pestisida tersebut dan tersimpan
dalam tubuh, karena ikan merupakan akumulator yang baik bagi berbagai jenis
pestisida terutama yang bersifat lipofilik. Dalam kondisi perairan yang subletal,
kandungan residu pestisida dalam tubuh ikan yang terbentuk melalui proses
bioakumulasi akan semakin tinggi dengan meningkatnya konsentrasi dan
bertambahnya waktu pemaparan hingga mencapai kondisi steady state. Selain itu,
pengaruh lanjut dari bioakumulasi pestisida pada konsentrasi tertentu secara
signifikan dapat menurunkan laju pertumbuhan dan berdampak terhadap kondisi
hematologis ikan (Taufik, 2011).

Insektisida
Pestisida yang masuk dalam jumlah yang besar dapat bersifat racun bagi
biota-biota yang hidup di perairan, antara lain adalah ikan-ikan. Jika pestisida
tersebut termasuk dalam jenis pestisida yang dapat larut dalam air, terbuang ke
perairan secara sengaja ataupun tidak, dapat mencemari perairan dan dapat
mempengaruhi antara lain proses metabolisme, organ tubuh, tingkah laku, siklus
hidup, perkembangan embrio, pertumbuhan sel atau jaringan dari organisme yang
hidup di perairan tersebut. Pengaruh secara langsung disebabkan oleh akumulasi
pestisida dalam organ-organ tubuh akibat tertelan bersama-sama makanan yang
terkontaminasi, atau akibat rusaknya organ-organ pernafasan sehingga dapat
mematikan ikan budidaya dalam jangka waktu tertentu, sedangkan secara tidak
langsung adalah menurunnya kekebalan tubuh terhadap penyakit dan
terhambatnya pertumbuhan (Damayanty dan Abdulgani, 2013).
Dewasa ini penggunaan insektisida sangat tinggi untuk mengendalikan
hama dan penyakit tanaman. Diperkirakan 50% dari biaya produksi digunakan
untuk membeli insektisida. Penggunaan insektisida oleh para petani di lapangan
sudah sangat intensif, baik jenis maupun dosis yang digunakan, serta interval
penyemprotan yang sudah sangat pendek tenggang waktunya. Keadaan ini akan
8

menimbulkan berbagai permasalahan serius karena insektisida dapat mencemari


lingkungan, salah satunya adalah lingkungan perairan. Pencemaran pada
lingkungan air dapat menyebabkan terputusnya rantai makanan di lingkungan
perairan (Sanjaya, 2004).
Delimetrin merupakan insektisida dari kelompok piretroid yaitu
insektisida sintetik tiruan analog dari piretrin. Dengan kelarutannya yang rendah
dalam air, piretroid tidak menujukkan sifat sistemik yang signifikan. Masalah
utama terhadap lingkungan terkait dengan toksisitas piretroid pada ikan dan
invertebrate lainnya. Delimetrin diformulasikan dalam bentuk emulsi konsentrat,
suspense konsentrat serbuk, atau dikombinasikan dengan pestisida lainnya. Pada
lingkungan akuatik, delimetrin akan sangat cepat terpartisi ke sedimen dan biota
perairan. Delimetrin sangat toksik terhadap ikan 96 jam LC 50 berkisar antara 0.4-
2.0 mg/l dan insektisida ini juga sangat toksin untuk invertebrata akuatik, 48 jam
LC50 (Sandjaja, 2014).

Mortalitas Ikan
Mortalitas atau kematian adalah merupakan keadaan hilangnya semua
tanda-tanda kehidupan secara permanen yang dapat terjadi setiap saat setelah
kelahiran hidup (World Health Organization). Kematian dapat menimpa kapan
saja dan dimana saja. Mortalitas merupakan ukuran jumlah kematian (umumnya,
atau karena akibat yang spesifik) pada suatu populasi, skala besar suatu populasi,
13 per dikali satuan. Mortalitas khusus mengekspresikan pada jumlah satuan
kematian per 1000 individu per tahun, hingga rata-rata mortalitas sebesar 9.5
berarti pada populasi 100.000 terdapat 950 kematian per tahun (Sinurat, 2015).
Mortalitas atau kematian merupakan salah satu dari tiga komponen
demografi selain fertilitas dan migrasi, yang dapat mempengaruhi jumlah dan
komposisi umur. Mortalitas atau kematian merupakan peristiwa menghilangnya
semua tanda-tanda kehidupan secara permanen, yang bisa terjadi setiap saat
setelah kelahiran hidup (Pangaribuan, 2011).
Apabila pada perairan terdapat limbah organik dengan kadar yang cukup
tinggi maka kadar oksigen terlarut cepat sekali mengalami pengurangan. Keadaan
perairan dengan kadar oksigen terlarut yang sangat rendah maka akan berbahaya
bagi organisme akuatik. Polutan toksik dapat mengakibatkan kematian (letal)
9

maupun bukan kematian (sub letal), misalnya terganggunya pertumbuhan, tingkah


laku dan karakteristik morfologi berbagai organisme akuatik. Polutan toksik dapat
mengakibatkan kematian (lethal) maupun bukan kematian (sub-lethal), misalnya
terganggunya pertumbuhan, tingkah laku, dan karakteristik morfologi berbagai
organisme akuatik. Polutan toksik ini biasanya berupa bahan – bahan yang bukan
bahan alam, misalnya pestisida, detergen, dan bahan artifisial lainnya
(Sinurat, 2015).
Bahan toksik bila terakumulasi dalam tubuh ikan akan masuk ke dalam
sistem peredaran darah. Kandungan bahan toksik yang tinggi berpengaruh letal
bagi ikan, namun pada kadar yang masih berada dalam kisaran toleransi akan
berpengaruh subletal, berupa gangguan terhadap fisiologis darah ikan sehingga
mempengaruhi kelangsungan hidup dan perkembangannya. Keadaan fisiologis
darah ikan sangat bervariasi, bergantung pada stadia hidup, kebiasaan hidup dan
kondisi lingkungan (Astria, 2013).
Proses terjadinya mortalitas kelihatan berawal dari perubahan tingkah laku
seperti dari gerakan normal menjadi gerakan tak menentu, tubuh membentuk garis
vertikal dengan permukaan air, benih ikan jatuh ke dasar akuarium dan akhirnya
ikan mati. Pengaruh zat toksik terhadap ikan menyebabkan morfologi insang
berubah dan tidak menyebabkan kematian dalam periode panjang. Selain itu, zat
toksik dapat merusak fungsi respirasi dari insang sehingga proses metabolisme
dalam tubuh terganggu dan menurunkan laju pertumbuhan (Sinurat, 2015).

Tingkah Laku Ikan Nila (Oreochromis niloticus)


Gejala klinis ikan Nila terinfeksi memperlihatkan adanya penurunan
respon terhadap rangsang dan nafsu makan, gerakan renang lemah dan sering
berenang dipermukaan. Warna tubuh menjadi gelap, hemoragi pada bagian bawah
tubuh/bawah sirip pectoralis dan sekitar operculum, sirip caudal geripis,
pembesaran abdomen dan rontok sisik. Perubahan Patologi Anatomi terlihat organ
insang pucat dan pada beberapa ekor ikan uji terdapat lesi erosi pada lemella
sekunder, organ hati membesar dan pucat, organ limpa relatif lebih gelap
(Maryadi, 2009).
Menurut Yosmaniar (2009), perubahan atau ketidakstabilan dari faktor
lingkungan seperti dengan adanya pencemaran pestisida dapat menyebabkan
10

abnormalitas respon fisiologis dan stres pada ikan. General Adaptive Syndrome
(GAS) merupakan rangkaian perubahan morfologi, biokimia, dan fisiologi yang
terjadi pada ikan akibat stres. Tiga gejala GAS yang dapat teridentifikasi yaitu :
Reaksi akan adanya bahaya seperti mencoba menghindari stress. Menahan
(resistance), ikan mencoba bertahan dari stress dengan cara adaptasi fisiologi
tubuhnya. Kelelahan (exhausted), ikan kelelahan karena tidak dapat beradaptasi.
Ikan dapat menunjukkan reaksi terhadap perubahan fisik air maupun
terhadap adanya senyawa pencemar yang terlarut dalam batas konsentrasi tertentu.
Reaksi ini dapat ditunjukkan dalam percobaan di laboratorim, di mana terjadi
perubahan aktivitas pernafasan yang besarnya perubahan diukur atas dasar irama
membuka dan menutupnya rongga “Buccal” dan oferkulum. Pengukuran aktivitas
pernafasan merupakan cara yang amat peka untuk mengukur reaksi ikan terhadap
kehadiran senyawa pencemar (Chahaya, 2003).
Tingkah laku ikan yang tidak normal dapat mengindikasikan media atau
air tempat ikan berada mengandung racun. Tingkah laku ikan yang
mengindikasikan media mengandung racun adalah sekresi lendir yang berlebih
dimana lendir ini berfungsi untuk mengurangi kontak langsung antara kulit
dengan racun, ikan yang awalnya sering berenang secara bebas lalu tiba-tiba
menyendiri dengan menyandar di pinggir akuarium, kehilangan keseimbangan
dan terlihat lemas saat berenang yang disebabkan terhambatnya kegiatan sistem
saraf dan otot oleh racun, dan ikan yang selalu ingin berada di permukaan sambil
mengambil nafas yang kemungkinan disebabkan meningkatnya kebutuhan
oksigen ikan atau terganggunya organ pernafasan ikan (Yosmaniar, 2009).
Ikan yang terkena racun bahan pencemar dapat diketahui dengan gerakan
hiperaktif, menggelepar, lumpuh dan kemudian mati. Secara klinis hewan yang
terkontaminasi racun memperlihatkan gejala stress bila dibandingkan dengan
kontrol, ditandai dengan menurunnya nafsu makan, gerakan kurang stabil, dan
cenderung berada di dasar. Hal ini diduga sebagai suatu cara untuk memperkecil
proses biokimia dalam tubuh yang teracuni, sehingga efek lethal yang terjadi lebih
lambat (Sinurat, 2015).

METODE PRAKTIKUM
11

Waktu dan Tempat Praktikum


Praktikum ini dilaksanakan pada hari Senin, 27 Maret 2017 pukul 10.00-
12.00 WIB di Laboratorium Ekotoksikologi Perairan, Program Studi Manajemen
Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Alat dan Bahan Praktikum


Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah akuarium sebagai wadah
ikan, aerator untuk menjaga kadar oksigen dalam akuarium, suntik sebagai wadah
pengukur konsentrasi insektisida yang akan dimasukkan ke dalam akuarium, alat
tulis untuk mencatat hasil praktikum dan kamera untuk dokumentasi.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah Ikan nila berukuran 5-7
cm sebagai hewan uji, insektisida sebagai toksikan yang akan dimasukkan ke
dalam akuarium, air sebagai media hidup ikan dan aquades untuk pengenceran
insektisida.

Prosedur Praktikum
Prosedur dari praktikum ini adalah sebagai berikut :
1. Disiapkan alat dan bahan terlebih dahulu.
2. Dilakukan aerasi dalam akuarium 3 hari sebelum ikan dimasukkan ke dalam
akuarium.
3. Dimasukkan ikan nila ke dalam akuarium sebanyak 10 ekor.
4. Dihitung konsentrasi insektisida dengan menggunakan rumus uji toksisitas.
5. Diencerkan insektisida dengan menggunakan aquades sebanyak 20 ml.
6. Diambil insektisida dengan menggunakan suntik sesuai konsentrasi yang
diperhitungkan sebelumnya.
7. Dimasukkan insektisida Delimetrin ke dalam akuarium menggunakan suntik.
8. Dilakukan pengamatan terhadap ikan dalam akuarium pada waktu 30 menit, 3
jam, 6 jam dan 9 jam.
9. Diamati tingkah laku ikan nila setelah dimasukkan insektisida.
10. Diamati ikan yang mengalami kematian pada waktu yang telah ditentukan.
11. Hasil praktikum dicatat di buku data.
12. Diambil foto dokumentasi semua kegiatan praktikum sebagai lampiran
menggunakan kamera.

Analisis Data
Uji Kisaran
Perhitungan konsentrasi larutan uji mengacu pada persamaan sebagai
berikut :
12

V1N1=V2N2

Keterangan:

V1 : Konsentrasi bahan pencemar dalam larutan stok (mg/l)


N1 : Konsentrasi larutan stok yang akan diambil (ml)
V2 : Konsentrasi bahan pencemar yang diinginkkan dalam media air (mg/l)
N2 : Konsentrasi Media air penelitian yang diinginkan (ml)

Uji Toksisitas
Perhitungan konsentrasi pada uji toksisitas akut mengacu pada
persamaan sebagai berikut :

Log N/N = k(log a-log n)

a/n = b/a = c/b = d/c =N/d

Keterangan:

N : Konsentrasi ambang atas


n : Konsentrasi ambang bawah
k : Jumlah konsentrasi yang diuji
a,b,c,d : Konsentrasi yang diuji dengan nilai a sebagai konsentrasi terkecil

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Hasil dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Uji Kisaran terhadap Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Kelompok Volume (ml) 2 jam 4 jam 6 jam 8 jam


13

Kontrol 0 - - - -
I 0.04 1 2 1 -
II 0.08 - 1 1 1
III 0.12 - - 1 -
IV 0.16 - 1 - -
V 0.2 - 1 1 -
VI 0.24 - 1 1 -
VII 0.28 - 2 1 -

Dari hasil uji kisaran dapat diketahui bahwa:


Nilai ambang batas atas (N) : 0.04 ml
Nilai ambang batas bawah (n) : 0.16 ml

Tabel 2. Uji Toksisitas Insektisida pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Volume 30 Keterangan
3 jam 6 jam 8 jam Tingkah Laku
(ml) menit (Hidup)
0 - - Semua hidup Normal
0.04 - 3 5 2 Semua mati Lompat-lompat
Pernafasan
0.01 - 5 5
lambat
Pernafasan mulai
0.04 - 10
lambat
Renang tidak
0.001 - 1 9
seimbang
Renang tidak
0.0003 - 1 3 6
seimbang
Renang tidak
0.0001 - 2 3 5 -
seimbang
Renang tidak
0.00003 - 4 4 2 -
seimbang
Total
0 9 18 13 30 hidup
ikan mati

Pembahasan
Insektisida yang telah dimasukkan ke dalam akuarium pada 30 menit
pertama tidak terjadinya mortalitas pada ikan namun pada 3 jam setelah
pemberian insektisida sudah mulai terjadi mortalitas pada ikan. Hal ini terjadi
karena bahan toksik mulai menyerap dan terakumulasi didalam tubuh ikan nila
hingga pada batas tertentu insektisida tersebut tidak mampu lagi di tolerir oleh
ikan tersebut sehingga mengakibatkan kematian pada ikan nila. Hal ini sesuai
14

dengan Astria (2013) yang menyatakan bahwa bahan toksik bila terakumulasi
dalam tubuh ikan akan masuk ke dalam sistem peredaran darah. Kandungan bahan
toksik yang tinggi berpengaruh letal bagi ikan, namun pada kadar yang masih
berada dalam kisaran toleransi akan berpengaruh subletal, berupa gangguan
terhadap fisiologis darah ikan sehingga mempengaruhi kelangsungan hidup dan
perkembangannya. Keadaan fisiologis darah ikan sangat bervariasi, bergantung
pada stadia hidup, kebiasaan hidup dan kondisi lingkungan.
Setelah insektisida dimasukkan ke dalam akuarium, ikan nila memberikan
respon yang berbeda-beda sesuai dengan konsentrasi volume insektisida yang
diberikan. Pada konsentrasi 0.04 tingkah laku ikan yaitu renangnya tidak
seimbang dan ikan melompat-lompat, semua tingkah laku tersebut diakibatkan
karena terhambatnya kegiatan saraf dan otot oleh racun. Hal ini sesuai dengan
Yosmaniar (2009) yang menyatakan bahwa tingkah laku ikan yang
mengindikasikan media mengandung racun adalah kehilangan keseimbangan dan
terlihat lemas saat berenang yang disebabkan terhambatnya kegiatan sistem saraf
dan otot oleh racun, dan ikan yang selalu ingin berada di permukaan sambil
mengambil nafas yang kemungkinan disebabkan meningkatnya kebutuhan
oksigen ikan atau terganggunya organ pernafasan ikan.
Tingginya konsentrasi insektisida yang dimasukkan ke dalam akuarium
mengakibatkan ikan mengalami mortalitas lebih cepat karena bahan pencemar
yang dimasukan dalam jumlah yang besar tersebut langsung mempengaruhi organ
tubuh ikan yang mengakibatkan organ pernafasan ikan menjadi rusak dan
menurunnya kekebalan tubuh ikan sehingga berakibat letal bagi ikan nial. Hal ini
sesuai dengan Damayanty dan Abdulgani (2013) yang menyatakan bahwa
pestisida yang masuk dalam jumlah yang besar dapat bersifat racun bagi biota-
biota yang hidup di perairan, antara lain adalah ikan-ikan. Jika pestisida tersebut
termasuk dalam jenis pestisida yang dapat larut dalam air, terbuang ke perairan
secara sengaja ataupun tidak, dapat mencemari perairan dan dapat mempengaruhi
antara lain proses metabolisme, organ tubuh, tingkah laku, siklus hidup. Pengaruh
secara langsung disebabkan oleh akumulasi pestisida dalam organ-organ tubuh
akibat tertelan bersama-sama makanan yang terkontaminasi, atau akibat rusaknya
organ-organ pernafasan sehingga dapat mematikan ikan budidaya dalam jangka
15

waktu tertentu, sedangkan secara tidak langsung adalah menurunnya kekebalan


tubuh terhadap penyakit dan terhambatnya pertumbuhan.
Insektisida yang dimasukkan ke dalam akuarium merupakan polutan
toksik yang menyebabkan kadar oksigen terlarut di dalam akuarium berkurang
secara drastis sehingga dapat mengakibatkan terganggunya fisiologis maupun
morfologis ikan nila. Bahkan dapat menyebabkan kematian pada ikan nila. Hal ini
sesuai dengan Sinurat (2015), yang menyatakan apabila pada perairan terdapat
limbah organik dengan kadar yang cukup tinggi maka kadar oksigen terlarut cepat
sekali mengalami pengurangan. Keadaan perairan dengan kadar oksigen terlarut
yang sangat rendah maka akan berbahaya bagi organisme akuatik. Polutan toksik
dapat mengakibatkan kematian (letal) maupun bukan kematian (sub letal),
misalnya terganggunya pertumbuhan, tingkah laku dan karakteristik morfologi
berbagai organisme akuatik. Polutan toksik ini biasanya berupa bahan – bahan
yang bukan bahan alam, misalnya pestisida, detergen, dan bahan artifisial lainnya.
Uji nilai kisaran dilakukan untuk mengetahui nilai ambang batas bawah
yaitu 0.16 dan nilai ambang batas atas yaitu 0.04. Setelah dilakukan uji nilai
kisaran kemudian dilakukan uji toksistas untuk mengetahui konsentarsi insektisida
yang dapat mematikan 50 % ikan nila dalam waktu 24 jam. Hal ini sesuai dengan
Fahrizki dkk (2015) yang menyatakan bahwa uji penentuan kisaran bertujuan
untuk mendapatkan konsentrasi ambang atas (LC100- 24 jam) dan konsentrasi
ambang bawah (LC 0-24 jam) pada hewan uji. Sedangkan pada uji definitif (uji
toksisitas) bertujuan untuk menentukan nilai LC50- 24 jam dengan menggunakan
deret konsentrasi yang besarnya berada dikisaran ambang atas dan ambang bawah.
Sebelum dilakukan pengamatan mortalitas untuk mendapatkan nilai Lc50 -24 jam
dilakukan uji penentuan kisaran.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Konsentrasi akut insektisida yang tinggi mengakibatkan ikan mati keseluruhan
dalam waktu 24 jam.
16

2. Toksisitas akut yang dialami Ikan Nila (Oreochromis niloticus) setelah waktu
pemaparan insektisida yaitu ikan mengalami perubahan tingkah laku akibat
kerusakan insang serta kerusakan saraf dan otot akibat bahan toksik tersebut.
3. Pada ambang batas atas hanya sebagian Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
yang mengalami mortalitas dan pada nilai batas ambang batas bawah
mengalami mortalitas keseluruhan.

Saran
Saran untuk praktikum ini adalah agar alat dan bahan lebih dilengkapi
serta praktikan lebih mempersiapkan diri untuk praktikum selanjutnya agar
praktikum dapat berjalan lancar.

DAFTAR PUSTAKA

Astria, Q. 2013. Pengaruh Metil Metsulfuron Terhadap Kerusakan Sel Darah


Merah Ikan Patin Siam (Pangasius Hypopthalmus). [Skripsi]. Universitas
Lampung, Bandar Lampung.
Chahaya, I. 2003. Ikan Sebagai Alat Monitor Pencemaran. Universitas Sumatera
Utara, Medan.
Damayanty, M. M dan N. Abdulgani. 2013. Pengaruh Paparan Sub Lethal
Insektisida Diazinom 600 EC terhadap Laju Komsumsi Oksigen dan Laju
Pertumbuhan Ikan Mujair. Jurnal Sains dan Seni Pomits. 2(2) : 207-211.
Desratriyanti, R. 2009. Toksisitas Kadmium (Cd) Dan Tembaga (Cu) Terhadap
Perkembangan Embrio-Larva Kerang Hijau (Perna Viridis). [Skripsi].
Institus Pertanian Bogor, Bogor.
17

Esmiralda., Zulkarnaini., dan Rahmadona. 2012. Pengaruh Cod dan Surfaktam


dalam Limbah Cair Laundry Terhadap Nilai Lc50. Jurnal Teknik
Lingkungan. 9 (1) : 110-114.
Husni, H., Dan Esmiralda. 2011. Uji Toksisitas Akut Limbah Cair Industri Tahu
Terhadap Ikan Mas (Cyprinus Carpio Lin) (Studi Kasus: Limbah Cair
Industri Tahu “Super”, Padang). Universitas Andalas, Padang.

Maryadi, H. 2009. Studi Perkembangan Gejala Klinis dan Patologi pada Ikan
Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) yang Diinfeksi dengan
Streptococcus iniae. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Megawati, I. A., A. Zukfikar dan W. R. Melani. 2011. Uji Toksisitas Detergen
terhadap Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Universitas Maritim Raja Ali
Haji, Riau.
Pangaribuan, M. 2011. Uji Ekstrak Daun Sirsak Terhadap Mortalitas Ektoparasit
Benih Udang Windu Stadia Post Larva 15 di Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Payau Jepara. [Skripsi]. Universitas Negeri Semarang,
Semarang.
Ramdhini, R. N. 2010. Uji Toksisitas Terhadap Artemia Salina Leach. Dan
Toksisitas Akut Komponen Bioaktif Pandanus Conoideus Var. Conoideus
Lam. Sebagai Kandidat Antikanker. [Skripsi]. Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
Rizki, M., T. Rostiana., Dan B. Damanik. 2015. Uji Toksisitas Sub-Lethal
Organofosfat Pada Ikan Mas (Cyprinus Carpio). Universitas Padjajaran,
Bandung.

Sandjaja, J. D. H. 2014. Pengembangan Metode Analisis Delimetrin dalam


Matriks Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dan Aplikasinya pada Asesmen
Resiko Delimetrin melalui Asupan Ikan Nila. [Skripsi]. Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta.
Sanjaya, Y. 2004. Perbandingan Penggunaan Insektisida dan Sistem Pengendalian
Hama Terpadu (PHT) terhadap Kelimpahan Plankton. Jurnaal Biosmart. 6
(2) : 135-137.
Suparjo, M. N. 2010. Kerusakan Jaringan Insang Ikan Nila (Oreochromis
Niloticus L) Akibat Deterjen. Jurnal Saintek Perikanan 5(2).
Supriyono, E., P. R. Masak dan P. E. Naiborhu. 2005. Studi Toksisitas Insektisida
terhadap Ikan Nila Oreochromis sp. Jurnal Akuakultur Indonesia. 4(2) :
163-170.
Susanto, A., F. H. Taqwa., Dan Marsi. 2014. Toksisitas Limbah Cair Lateks
Terhadap Jumlah Eritrosit, Jumlah Leukosit Dan Kadar Glukosa Darah
18

Ikan Patin (Pangasius Sp.) Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 2(2) :135-
149. ISSN : 2303-2960.

Taufik, I. 2011. Pencemaran Pestisida pada Perairan Perikanan di Sukabumi Jawa


Barat. Jurnal Media Akuakultur. 6 (1) : 69-75.
Tyas, N. M., D. T. F. Lumbanbatu dan R. Affandi. 2016. Uji Toksisitas Letal Cr6+
Terhadap Ikan Nila (Oreochromis niloticus) (The lethal toxicity test of
Cr6+ on (Oreochromis niloticus)). Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI)
21(2) : 128-132.
Wulandari, W., Sukiya dan Suhandoyo. 2013. Efek Insektisida Decis terhadap
Mortalitas dan Struktur Histologis Insang Ikan Nila Merah “Lokal
Cangkringan”. Jurnal Sain Veteriner 3(2).

Anda mungkin juga menyukai