Anda di halaman 1dari 42

KESUKUAN DAN ORGANISASI POLITIK:

TIGA KASUS SUMATRA TIMUR*

By R. William Liddle

SALAH satu ukuran yang dianggap umum dalam kehidupan politik di


negara-negara baru, yang membedakannya dari padanannya di tempat-tempat
lain, adalah menonjolnya primordialisme sebagai suatu variabel yang
mempengaruhi loyalitas dan perilaku politik.1 Namun demikian, meskipun
pentingnya masalah ini sudah string dikemukakan (dan ditekankan
pengaruhnya), sedikit sekali analisis yang secara khusus membahas
primordialisme sebagai suatu faktor, kondisi yang mendorong kemunculannya,
dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Tidak adanya pengetahuan sistematis
yang menghubungkan primordialisme dengan perilaku politik bukan hanya
merupakan ciri studi perbandingan antarbangsa dalam pemerintahan negara-
negara baru, tetapi juga menjadi ciri telaah sistem politik khusus. Indonesia
bukanlah suatu kekecualian dalam pola umum kelalaian seperti ini.2
Dalam suatu situasi ketidaktahuanbaik secara teoretis maupun secara
empiris — tampaknya yang paling bermanfaat adalah memulai suatu eksplorasi
mengenai peranan primordialisme dalam politik Indonesia dengan sedapat
1*) *Kerja lapangan di Sumatra pada 1963-1964 dimungkinkan bcrkat banluan Ford
Foundation Foreign Area Training Fellowship. Untuk analisis yang lehih rinci mengenai
kehijakan etnis di daerah ini, lihal Liddle, Ethnicity, Party, and National Integration: An
Indonesian Case Study (New Haven: Yale University Press, 1970). Tulisan ini disadur dari
bagian-bagian buku itu.
Saya mengucapkan terima kasih kcpada 13enedict Anderson, I tarry Benda, dan James
Guyot alas komentar dan kritik mereka.
1. lstilah primordialisme diambil dud tulisan Clifford Geertz ("The Integralive Revolution:
Primordial Sentiments and Civil Politics in the New Stales" dalam Geertz, ed., Old Societies
and New States [New York: Free Press, 19631) yang men¬definisikan "ikatan primordial"
scbagai ikatan yang herasal dari "apa yang dianggap sudah ada sejak awalnya... dalam
cksistensi masyarakat: terutama persentuhan langsung Jan hubungan kekerabatan. Tempi di luar
itu, primordialismc juga hisa hadir karena seseorang terlahir di dalam masyarakat agama
tertentu, herhicara dalam bahasa tertentu, atau bahkan dalam dialek suatu bahasa, dan mengikuti
kehiasaan¬kebiasaan sosial tertentu. Keselarasan ini... dipandang memiliki daya paksa yang
tidak terlukiskan, dan kadang-kadang menggagahi, di dan dari dal am dirinya". (hal. 109).
2 2. Mengenai studi yang paling erat hubungannya dengan masalah itu, lihat Her¬bert Feith,
The Indonesian Elections of 1955, Cornell Modern Indonesia Project Monograph Series
(Ithaca, New York: Cornell University, 1957); G. William Skin¬ner, ea, Local, Ethnic and
National Loyalties in Village Indonesia: A Symposium, Southeast Asia Studies, Cultural Report.
Series no. 8 (New Haven: Yale University, 1959); Hildred Geerti, "Indonesian Cultures and
Communities", dalam Ruth McVey, ed, Indonesia (New Haven: Human Relations Area Files,
1963); dan Gerald S. Maryanov, Decentralization in Indonesia as a Political Problem, Cornell
Modern Indonesia Project Interim Report Series (Ithaca, New York: Cornell Univer¬sity, 1958).
mungkin mempersempit fokus analisis. Oleh karenanya, tulisan ini meneoba
merumuskan persoalan-persoalan yang secara teoretis menarik menyangkut
hubungan antara primordialisme dengan tekanan khusus pada kesukuan — dan
perkembangan partai-partai politik di Indonesia pascakemcrdekaan. Di samping
itu, tulisan ini juga mengajukan serta menerapkan suatu metode guna menjawab
persoalan-persoalan ini.
Sebagai asumsi awal, tampaknya kita dibenarkan menganggap studi ten tang
partai politik dan sistem kepartaian sebagai suatu usaha yang berharga, tidak
hanya di dalam pernerintahan yang mengizinkan partai-partai bersaing secara
relatif tidak terkekang dan memegang peranan utama dalam pengambilan
keputusan, tetapi juga dalam sistem (seperti Indonesia dewasa ini) yang di
dalamnya partai-partai kurang begitu berperan dalam proses politik. Asumsi ini
didasarkan pada suatu konsepsi fungsional mengenai sistem politik yang
menyatakan bahwa, dalam tiap pemerintahan, ada struktur dan proses. Melalui
struktur dan proses itu tuntutan-tuntutan yang muncul dari berbagai kalangan
masyarakat disalurkan dan ditanggapi olch para pengambil keputusan.33 Da lam
sistem politik yang relatif sederhana dan "pramodem", secara khas tuntutan-
tuntutan itu berasal dari suatu kalangan kecil penduduk — kaurn hangsawan
atau lembaga tetua desa, misa]nya dan relatif sedikit jumlahnya serta terbatas
jangkauannya. Pemerintahan semacam itu secara fungsional biasanya tidak
menumbuhkan struktur penyaluran-tuntutan khusus (atau pengambilan
keputusan). Sebaliknya, dalam sebagian besar sistem politik kontemporer,
termasuk masyarakat Asia dan Afrika yang belum mengalami modernisasi
secara lengkap, bentangan dan jangkauan tuntutan serta proporsi penduduk
yang menganggap pemerintah sebagai suatu alat untuk memecahkan masalah
adalah demikian leas sehingga struktur dan proses baru harus diciptakan untuk
menghadapi lingkungan baru ini. Kelompok-kelompok kepentingan dan partai-
partai politik — apakah dalam bentuk partai tunggal dan gerakan-gerakan
massa yang bergabung dengannya (yang tujuan utamanya adalah mengerahkan
dan mengendalikan penyaluran tuntutan dari alas), organisasi-organisasi politik
yang bersaing (yang membolchkan penyaluran tuntutan dari bawah secara agak
longgar), ataukah gabungan atau modifikasi dari bentuk-bentuk tersebut telah
menjadi jawaban yang khas (meskipun sama sekali bukan satusatunya) terhadap
masalah makin meningkatnya tuntutan untuk ikut berpartisipasi yttg hampir
universal sifatnya itu. Karenanya, saya berasumsi bahwa ada "tantangan
partisipasi" yang umum dan kritis di negara-negara barn. Saya juga
menyarankan bahwa partai-partai politik ada manfaatnya dipeiajari sebagai
struktur-struktur yang secara langsung berhubungan dengan upaya untuk
menghadapi dan menanggulangi tantangan ini, tanpa memandang apakah

3 3. Ili didasarkan pada tulisan para anggota Social Research Council's Committee on
Comparative Politics. Lihat khususnya G. Almond dan G. Bingham Powell, Jr., Comparative
Politics: A Developmental Approach (Little, Brown. 1966), dan Joseph La Palombara dan
Myron Weiner, ed., Political Parties and Political Development (Princeton, New Jersey:
Princeton University Press, 1966), Bab Kesimpulan.
strukturstruktur tersebut pelting atau tidak bagi proses pengambilan keputusan
pada suatu waktu tertentu atau dalam sistem politik apa pun.
Indonesia merdeka memulai riwayatnya sebagai scbuah negara demokrasi
konstitusional yang bercirikan persaingan partisan (pendukung partai) yang
tidak terbatas di dalam kcrangka pemilihan umum yang bebas dan parlemen
yang berkuasa (dalam hubungannya dengan struktur yang lain). Dalam waktu
beberapa tahun rasa tidak puas terhadap apa yang telah dicapai olch demokrasi
perwakilan dan lebih luas lagi terhadap seluruh gaya dan arah pemerintahan
parlementer kian menyebar. Situasi ini kemudian diikuti oleh suatu masa yang
keccnderungan umumnya — tetap tidak berhalik arahnya meskipun terjadi
pergolakan pada pertengahan 1960-an — mengarah ke pelemahan sistem
kepartaian sebagai perwakilan sah pendapat umum dan pengebirian para
pemimpin partai sebagai pengambil keputusan yang utama dalam
pemerintahan. Meskipun peranannya merosot, dalam berbagai kadar yang
berbeda-beda partai-partai telah mcneruskan usaha mengorganisasikan
penduduk dan mengajukan pelbagai tuntutan kepada pemerintah. Dengan
hcrlangsungnya "tantangan pertisipasi" dan ketidakmampuan pemerintah yang
terus berlanjul dalam mencari struktur alternatif untuk menyalurkan dan mem
roses berbagai tuntutan, sama sekali tidak terlalu berbahaya untuk meramalkan
bahwa partai-partai politik dan organisasi-organisasi rakyat lainnya akan tetap
berperan pada masa-masa mendatang.
Bagaimana sebuah partai dan sistem organisasi dipengaruhi oleh loyalitas
primordial? Sekurang-kurangnya ada empat segi kehidupan politik partai yang
tampaknya berhuhungan dengan primordialisme dan hal ini berdampak sangat
besar tcrhadap kemampuan organisasiorganisasi politik untuk menyalurkan
bermacam-macam tuntutan rakyat dan untuk memainkan peranan yang efektif
dalam pengambilan keputusan di pemerintahan. Pertama, basis-basis pilihan
partisan, alasan mengapa seseorang mendukung partai tertentu dan bukan
partai lainnya, serta sikap inklusif atau cksklusif yang timbul dari kelompok-
kelompok primordial. Kedua, asal usul sosial pimpinan partai, yakni berasai
dart elite tradisional atau modern. Ketiga, kukuhnya ikatan partisan. Dan
keempat, ciri-ciri intern organisasi partai, yakni tipe "organisasi massa" atau
"organisasi kader".4

4 4.Maurice Duverger, Political Parties, Their Organization and Activity in the Modern State
(New York: Wiley, 1954), Buku I. Partai massa tersusun dari cabang¬cabang dan sel-sel.
Strukturnya remit dan "sangat terartikulasi" (berbagai kom¬ponennya terkoordirasi sangat
rapi). Satuan struktur dasar partai kader adalah rapat anggota (kaukus), yang mencakup
sekelompok kccil "anggota-anggota terhormat partai". Tipc ini secara struktural lebih scderhana
dan artikulasinya Iemah. Duvergcr memandang partai massa terutama sebagai hash hak pilih
universal, yang meng¬haruskan pimpinan portal memusatkan perhatian pada pengembangan
keanggotaan massa. Sedangkan partai kader adalah sisa-sisa sistem pemerintahan elite abad ke-
19 yang masih hidup. Duverger tidak berusaha sebagaimana yang akan kita coba — untuk
mengaitkan perbedaan-perbedaan di dalam organisasi partai dengan primor¬dialisme dan
perubahan sosial.
Dalam keadaan bagaimana suatu sistem kepartaian akan terpengaruh oleh
garis primordialisme ini? Satu variabel utama adalah modernisasi, termasuk
proses-proses perubahan seperti urbanisasi, pendidikan modern, pengenalan
pada media komunikasi massa, keikutsertaan dalam kegiatan ekonomi, dan
industrialisasi. Beberapa pengamat modernisasi dan pcmbangunan politik, yang
memakai pendekatan dikotomi dalam menganalisis perubahan sistem,
berpendapat bahwa loyalitas primordial merupakan ciri masyarakat pramodern
atau tradisional dan cenderung larut dalam pengelompokan-pengclompokan
baru yang didasarkan pada kelas sosial-ekonomi atau pola-pola rumit peranan
difcrcnsiasi dan interaksi yang dihasilkan oleh modernisasi dan industrialisasi. 5
Sebaliknya, ada yang berpendapat bahwa kekuatan modernisasi — sekurang-
kurangnya dalam waktu yang tidak lama — cenderung akan mengubah
keadaankeadaan yang berbeda secara budaya menjadi ketegangan primordial,
schingga integrasi nasional sukar atau tidak mungkin dipertahankan.6
Komentar-komentar ini menyarankan manfaat dicobanya analisis perbandingan
mengenai dampak primordialisme terhadap perkembangan organisasi di kalangan
pcnduduk yang berbeda bcrdasarkan modern-tradisionatnya masyarakat yang
bersangkutan. Untuk memperkeeil jumlah variabel yang tidak terkendali, barangkali
perbandingan semacam itu paling baik dilakukan dengan memilih tem pat-tempat di
dalam satu sistcm politik tunggal yang ciri-ciri sosial-ekonominya berbeda-beda
menurut segi tertentu. 7 Metodc itu, yang dalam tulisan ini diterapkan pada tiga tempat
di Indonesia, menghasilkan hipotcsis-hipotesis yang dapat diuji lebih lanjut tidak
hanya dalam konteks Indonesia tetapi juga untuk negara-negara baru lainnya.

TEMPAT
TIGA tempat yang dipilih — Simalungun Bawah, Simalungun Atas, dan
Pemantangsiantar (biasanya disingkat P. Siantar atau Sian- tar) — adalah
wilayah-wilayah yang berdampingan di bekas Karesidenan Sumatra Timur,
yang sekarang menjadi bagian dari Propinsi Sumatra Utara (lihat Peta 1).
Hanya satu di antara ketiga tempat itu, yakni Kota Madya Pemantangsiantar,
yang merupakan bagian administratif dari propinsi, sedangkan dua yang lainnya
merupakan kelompok kecamatan yang dibedakan berdasarkan keadaan sosial-

5 5.Baru-baru ini W.F. Wertheim mengajukan penjelasan mengenai tipe yang ber¬laku di
Indonesia ini dalam "From Aliran toward Class Struggle in the Countryside of Java", Kertas
kerja no. 5, International Conference on Asian History (Kuala Lum¬pur, Agustus 1968).
6 6.Lihat, misalnya, Karl Deutsch, "Social Mobilization and Political Develop¬ment",
American Political Science Review, 55 (1963), hal. 493-514. Dapat ditam¬bahkan bahwa
meskipun dalam beberapa hal bertentangan secara diametral, kedua rumusan tersebut sama-
sama tidak menyukai primordialisme dan konsekuen si-konsekuensi politisnya. Mengenai
beberapa pandangan yang berbeda, lihat Myron Weiner, The Politics of Scarcity (Chicago:
University of Chicago Press, 1962); Lloyd I. Rudolph dan Suzanne Hoeber Rudolph, "The
Political .Role of India's Caste Associations", Pacific Affairs, 33 (1960), hal. 15-22; Immanuel
Wall erstein, "Eth¬nicity and National Integration", Cahiers d'Etudes Africaines, 1 (1960), hal.
129¬138; dan C. Geertz.
ekonomi penduduk dacrah itu.78 Tempat yang paling banyak mengalami
modernisasi adalah Simalungun Bawah, di mana
r
ekonomi perkebunan dan pcmbangunan yang bcrtalian tclah meng- C

hasilkan perubahan social-budaya yang pcnting, dan pusat kota perdagangan 1


dan administrasi Pemantangsiantar. Dacrah yang paling sedikit mengalami
modernisasi, Simalungun Atas, sejak masa pralcolonial belum banyak
mengalami kemajuan ekonomi dan perubahan lainnya.

Simalungun Bawah
Simalungun Bawah adalah daerah yang relatif datar, terbentang rendah,
berpenduduk padat (160/km2), dan secara ekologis dan geografis merupakan
bagian dari gugusan perkebunan subur di Sumatra Timur. Ciri pembedanya
adalah ekonomi yang sangat berorientasi perkebunan sekitar 60% dari seluruh t L

tanah yang dapat digarap berada di bawah konscsi perkebunan dan


penduduknya yang multietnis, terutama terdiri dari ()rang Jawa (40%), Batak
Tapanuli lltara (30%), Batak Tapanuli Selatan (15%), dan Batak Simalungun
(10%).8
Diutamakannya ekonomi perkebunan merupakan penggerak utama
perubahan di Simalungun Bawah pada dasarwarsa-dasawarsa awal abad ke-20.
Perubahan ill menghasilkan imigrasi besar-besaran, sistem komunikasi modern
seperti jalan, telegrap, dan telepon, sarana pendidikan (yang terbatas) bagi
anak-anak Indonesia, dimulainya kegia tan ekonomi keuangan dan, sebagai 1
kota keen yang tumbuh uniuk memenuhi kebutuhan penduduk perkebunan, ur-
,banisasi. Pada gilirannya perkembangan ini membawa sejumlah .perubahan
yang cukup penting dalam hal kebudayaan, struktur sosial, dan pola-pola
interaksi sosial. Yang paling mencolok adalah timbulnya rasa identitas
kesukuan, yang ditunjang oleh perbedaan agama serta pemisahan pekerjaan dan
tern pat tinggal, dan terciptanya beberapa bentuk serta pola bare kepemimpinan
sosial dalam setiap kelompok etnis pendatang. Hanya dalam waktu-waktu
belakangan perpccahan akibat perbedaan kesukuan ini mulai dijembatani,
secara setengah-setengah dan tambal sulam, oleh tumbuhnya semangat
kebangsaan dan kepcntingan ekonomi bersama.

7 7.Strategi perbandingan awal dalam "wilayah budaya" pernah dianjurkan oleh Lloyd
Falters, Bantu Bureaucracy (Chicago: University of Chicago Press, 1965), dan A.R. Zolberg,
Creating Political Order: The Party States of West Africa (Chicago: Rand McNally, 1966).
8 8.Tingkat-tingkat administratif pemerintahan di Indonesia yang berlaku pada 1964 adalah
propinsi, kahupaten atau kota madya, kecamatan, dan desa. Dua yang pertama dianggap schagai
daerah swatantra (otonom) dan mempunyai Dewan Perwakilan Rakyat Dacrah; kecamatan
semata-mata adalah satuan administratif, dipimpin olch scorang camat yang ditunjuk; dan desa
(paling tidak secara formal) memilih sendiri kepala desanya. Lihat J.D. Legge, Central
Authority and Regional Autonomy in Indonesia: A Study in Local Administration, 1950-1960
(Ithaca, New York: Cornell University Press, 1981). Kecamatan-kecamatan yang dibahas dalam
tulisan ini semuanya terletak di Kabupaten Simalungun.
Pendatang baru yang pertarna-tama datang ke Simalungun Bawah adalah
orang-orang Jawa yang dikerahkan sebagai kuli kontrak untuk mengisi
kekosongan karena kurangnya penduduk sctempat dan keengganan penduduk
Sumatra Utara untuk bekerja di perkcbunan. Gelombang terbesar masuknya
orang Jawa kc dacrah itu berawal ketika harga komoditas karet sangat
mcnggiurkan pada 1911-1912 dan berlanjut terus secara tetap sarnpai sesudah
1920-an. Namun gelombang migrasi ini kemudian berangsur-angsur menurun
selama dasawarsa terakhir pcmcrintahan Belanda. Pada akhir masa kontrak,
kebanyakan orang Jawa itu tetap tinggai di sana, sebagian torus bekerja di
perkebunan dan sebagiannya Iagi pindah ke desa-desa terdekat atau ke kota-
kola pasar untuk memperoleh pekerjaan sebagai pekerja tidak terampil atau
sebagai pedagang kecil.
Orang Batak Tapanuli Utara, yang terampil berladang padi tctapi kekurangan
lahan pertanian di tanah Tapanuli yang bergununggunung, juga mulai
memasuki Simalungun Bawah dalam jumlah besar segera sesudah Belanda
mengembangkan daerah itu dan memberikan tanah secukupnya serta menjamin
keselamatan mereka.91° Mereka menetap di lembah-lembah sungai dan di
sepanjang jalan migrasi dari Tapanuli, di mana sistem irigasi dapat dibangun
secara luas.
Sebagian besar imigran Tapanuli Utara berasal dari daerah Toba, di pantai
selatan Danau Toba dekat Kota Balige sekarang, dan Lem- bah Silindung,
tempat Kota Tarutung terletak sekarang. Kcbanyakan di antara mereka
beragarna Kristen karena misionaris-misionaris Protestant Rheinische
Missionsgesellschaft dari Jerman tetah bekerja di Tapanuli sejak 1861 dan
sangat berhasil di daerah Toba. dart Silindung. Para misionaris menggalakkan
migrasi ke Sumatra Tirnur dengan harapan agar para migran tersebut
membantu orang-o rang di daerah itu beralih ke agama Kristen.
Tidak semua orang Batak Tapanuli Utara yang datang ke Simalungun
Bawah pada masa kolonial adalah peladang padi. Sebagai bagian dari usaha
rnenyebarkan agama, para misionaris sangat giat dalam mendirikan okolah-
sekotah desa, suatu perkembangan yang bersifat kebetulan bagi pemerintah
Belanda dan para pengusaha perkebunan yang memerlukan tenaga untuk
mengisi bermacammacam pekerjaan administrasi. Tidak banyak kedudukan
yang mcmerlukan pendidikan yang tersedia di Tapanuli, dan kebanyakan
orang Batak Tapanuli Utara cendcrung pergi ke Simalungun Bawah.
9 10. Mengenai orang Batak Tapanuli Utara di Sumatra Timur, lihat E.M. Bruner, "Kinship
Organization among the Urban Batak of Sumatra", Transactions of the New York Academy of
Sciences, seri 2, 22 (1959), hal. 118-125; E.M. Bruner, "IA¬banization and Ethnic Identity in
North Sumatra", American Anthropologist, 63 (1961), hal. 508-521; dan Clark Cunningham,
The Postwar Migration of the Toba Basalts to East Sumatra, Southeast Studies, Cultural Report
Series no. 5 (New Haven: Yale University, 1958). Studi Cunningham merupakan kajian paling
muta¬khir yang menguraikan Simalungun secara tepat. Kajian itu mengandung informasi yang
bermanfaat mengenai orang Batak Simalungun dan juga orang Jawa serta - orang Batak
Tapanuli Utara.
Penduduk Tapanuli Selatan — terutama yang berasal dari daerah yang
sangat banyak penduduk Islamnya, seperti Angkola, Mandailing, dan Siporok
di sepanjang pantai barat Sumatra — juga banyak yang bermigrasi.ke
Simalungun Bawah. Pala migrasi orang Tapanuli Selatan berbeda dengan pola
migrasi tetangga mereka di sebeiah utara. Mereka yang datang dari utara
terutama adalah para petani yang mencari tanah yang dapat diairi, sedangkan
mereka yang datang dari selatan sangat tertarik pada prospek perdagangan dan
sebagian besar menetap di kota pasar dan kota administratif. Hanya sejurnlah
kecil petani Tapanuli Selatan, yang tidak mengalami kesulitan untuk
rnendapatkan tanah seperti orang Batak Tapanuli Utara, yang ikut bermigrasi.
Di samping unsur pedagang, ada juga sekelompok penting orang Batak
muslim yang menjadi pegawai adminstratif pcmerintah, perkebunan, dan
kerajaan tradisional Simalungun. Pada paro terakhir abad ke-19 orang-orang
Tapanuli Selatan yang pergi haji sangat terpengaruh oleh gerakan pembaruan
Islam di Timur Tengah, yang menekankan pendidikan modern. Lagi pula,
misionaris Jerman, yang lebih dulu bekerja di Tapanuli Selatan sebclum masuk
ke Tapanuli Utara, juga sudah mendirikan sekolah, dan sebagian muridnya
beragama Islam. Dengan demikian banyak pendatang dari Tapanuli Selatan
yang sekurang-kurangnya sudah memperoleh unsur-unsur pendidikan bergaya
Barat.
Sebagaimana orang Batak Tapanuli Utara yang beragama Kristen, orang-
orang Islam Tapanuli Selatan juga tertarik pada kemungkinan untuk
menyebarkan agama Islam di Sumatra Timur. Banyak guru agama datang ke
Simalungun Bawah. Di sana mereka mendirikan sekolah serta beberapa
lembaga pendidikan dan sosial dengan bantuan para pedagang dan kaum
muslim terpelajar lainnya. Yang paling penting di antara organisasi-organisasi
ini adaiah cabang Muhammadiyah, yang didirikan pada 1927, dan Aljamiyatul
Wasliyah, yang didirikan pada 1930 dan sampai saat ini merupakan organisasi
Islam terbesar di daerah itu.
Penduduk asli Simalungun Bawah, yakni orang Batak Simalungun, sangat
dirugikan oleh pertumbuhan perkebunan dan dibukanya ladang-Iadang barn.
Karena metihat tanah yang digarap secara tebas-bakar cepat berkurang dan
karena tidak mau berasimilasi dengan kebudayaan kelompok pendatang,
banyak di antara mereka yang kemudian pindah ke daerah-daerah dataran tinggi
yang sckarang disebut Simalungun Atas. Menjelang 1930-an mereka menjadi
kelompok minoritas, sebagian besar tinggal di desa-desa pusat kerajaan mereka
yang kian menyusut dan di sekitarnya. Sebagian di antara mereka yang tidak
pindah itu, termasuk kaum bangsawan tradisional, memeluk agama Islam
melalui guru-guru agama dan para pedagang Tapanuli Selatan dan Melayu
Pantai.
Sejauh yang dapat dipastikan, loyalitas dan permusuhan yang berlatar
kesukuan tidak secara khusus terdapat di Sumatra Timur pada masa
prakolonial. Pada waktu penduduk masih jarang dan komunikasi masih
terbatas, loyalitas ini terutama berpusat pada satuan desa, kelompok
kekerabatan setempat, atau pada beberapa kerajaan tradisional kecil. Baru pada
abad ke-20, ketika orang-orang dari berbagai latar belakang mengadakan
kontak langsung dan hcrkepanjangan serta bersaing, terutama di kota-kota,
perasaan kesukuan yang eksklusif — yakni pembentukan struktur hubungan
sosial dalam arti "kita" lawan "mereka" — mulai muncul.
Kelompok-kelompok besar tersebut masing-masing mempunyai tradisi
budaya, bentuk-bentuk organisasi sosial, dan bahasa mereka sendiri-sendiri
sebagai dasar perbedaan suku. Orang Jawa, berkat bahasanya, sistem
kekerabatan bilateralnya, dan kebudayaan HinduBudhanya, tentu saja paling
menonjol. Sedangkan beberapa kelompok orang Batak mengenal sistem
kekerabatan patrilineal dan banyak tradisi serta kebiasaan yang sama. Kontak
yang sangat jarang terjadi selama beratus-ratus tahun telah menghasiIkan
dialek, adat, dan perbedaan-perbedaan lain yang, dalam kondisi Simalungun
Bawah awal. abad ke-20, memungkinkan masing-masing kelompok mengem-
bangkan ciri khasnya sendiri yang saling berbeda.
Pada umumnya agama memperbesar keeksklusifan suku. Orang Batak
Tapanuli Utara terpisah dari kelompok-kelompok lain karena beragama
Kristen. Memang, dengan tidak adanya perpecahan Kristen-Islam antara orang
Batak Tapanuli Utara dan Batak Tapanuli Selatan, tidak terscdia banyak dasar
bagi berkembangnya identitas yang berbeda-beda, terutama karena sangat
miripnya semua segi lainnya. Meskipun orang Batak Tapanuli Selatan dan
orang Jawa sama-sama beragama Islam, di antara mereka ada perbedaan besar
dalam kctaatan dan amalan. Sebagian besar orang Jawa di daerah itu
berkepercayaan abangan, yakni variasi Islam yang lebih bersifat sinkretis,
animistis, (1,n tcrpengaruh agama Hindu. Orang Tapanuli Selatan tergolong
unsur santri yang taat beragama Islam di Indonesia.11 Pada umunya kelompok
yang terakhir inilah yang ikut aktif dalam kegiatan keagamaan, sistem
pendidikan Islam, dan organisasi sosial muslim.
Perbedaan tempat tinggal, sebagai akibat dari perhedaan pekerjaan dan
agama, juga mendorong perkembangan identitas suku yang berbeda. Kuli
kontrak Jawa ditempatkan di perkebunan-perkebunan,

Tabel 1. Kelompok-kelompok etnis di Simalungun Bawah

Kelompok Jawa Batak Batak Batak


etnis Tapa- Tapa- Simalungun
null Utara null Selatan
Persenta 40% 30% 15% 10%
se
pendud
Agama Islam Protestan Islam santri Islam santri
abangan
Pekerjaan kuli perks- peladang pedagang peladang
bunan dan dan pada- dan guru
peladang di' gang besar agama
daerah
perkotaan
Tempat perkebunan kota dan kota desa pada-
tinggal desa laman
Kelompok guru dan pegawai ne- guru agama, aristokrat
pimpinan pedagang geri dan pe- pejabat per- tradisional
yang me- kecil mimpin dari kumpulan,
nonjol kalangan pedagang,
awam dan pegawai
negeri

11. Pembagian santri-abangan ini berasal dan Clifford Geertz, The Religion of Java (Glencoe, Illinois:
Free Press, 1960), akan tetapi dalam tulisan ini istilah itu dipakai untuk konteks Indonesia yang lebih I uas.

pedagang Tapanuli Selatan tinggal di kota, dan peladang Batak Simalungun


cenderung tetap tinggal di desa-desa prakolonial mereka. Di perkampungan
Batak Tapanuli Utara, balk di pedesaan maupun di kota, tcrdapat banyak sekali
babi (daging babi merupakan makanan utama dalam upacara-upacara
keagamaan orang Batak Tapanuli Utara), dan karena itu perkampungan tcrscbut
dihindari olch kelompok muslim.12
Dalam lingkungan keeksklusifan etnis ini tidak ada elite sosial penghubung
yang dapat diterima oleh semua suku di daerah itu. Setiap kelompok etnis
mengembangkan elitenya sendiri-sendiri. Hal ini mencerminkan situasi khusus
migrasi dan situasi tersendiri Simalungun Bawah.
Di kampung halaman mereka, orang Batak Tapanuli Utara tinggal di desa-
desa kecil (huta) sesuai dengan garis keturunan setempat dan diatur oleh
sesepuh garis keturunan dan pemuka adat. Sebagian besar pemimpin ini tidak
ikut bermigrasi. Migrasi pada umumnya hanya menarik bagi kaum muda yang
selalu gelisah dan bersemangat pelopor. Di samping itu, campuran individu-
individu dari banyak garis keturunan di desa-desa baru akhirnya menggantikan
garis keturunan setempat sebagai satuan dasar organisasi sosial. Para pendatang
menggunakan struktur barn atau yang disesuaikan, termasuk kekerabatan desa
yang didasarkan pada Batas wilayah, marga, dan gereja setempat (yang dalam
banyak hal mem pertalikan beberapa desa secara bersama-sama dalam satu
jemaat). Dalam setiap struktur ini, individu-individu yang berpendidikan paling
haik dan berorientasi pada kehidupan duniawi, yakni mereka yang menyatakan
aspirasi kepeloporan para pendatang dan slap untuk menghadapi serbuan dunia
non-Batak, memegang peranan menonjol sebagai pcmimpin. Hal ini terutama
berlaku di dalam hierarki gereja dan hal-hal yang berhubungan dengannya dan di
dalam berbagai organisasi di kota.
12. Pada 1968 di Serbelawan, Simalungun Bawah, masalah babi ini, yang dibiarkan berkeliaran oleh
para pemiliknya, meledak menjadi persoalan sosial ketika puluhan ekor babi dibunuhi oleh orang-orang Islam
yang berang. Li hat Suluh Marhaen (Edisi Nasional), 27 Nopember 1968, hal. 2.

Tetapi pola yang muncul dari struktur-struktur ini berlaku juga di desa-desa.
Salah satu pengaruh Islamisasi di kalangan orang Batak Tapanuli Selatan adalah
berkurangnya nilai penting ikatan kekerabatan dan kedaerahan, yang digantikan oleh
keterikatan pada masyarakat Islam yang lebih luas. Proses ini berlangsung lebih
hcbat karena, sebagaimana di Tapanuli Utara, para pemimpin adat yang lebih
berorientasi pada tradisi cenderung tetap tinggal di kampung halaman mereka. Organisasi
sosial dan pendidikan Islam, terutama Aljamiyatul Wasliyah, dengan demikian
melengkapi scbagian besar struktur kehidupan sosial Tapanuli Selatan di
Simalungun Bawah. Para guru, pedagang, dan pegawai negeri yang berhubungan
dengan mereka menjadi pemimpin yang tidak tersaingi di dalam masyarakat.
Yang paling menderita dan kurang berhasil dalam menycsuaikan diri dengan situasi
ini adalah orang Jawa. Para pendatang Jawa, dengan sedikit kekecualian, berasal dari
kalangan masyarakat tani miskin dan paling kurang beruntung. Organisasi sosial
yang mereka bawa agak atomistis dan tidak terpadu dengan baik, suatu ciri yang
semakin meNadi-jadi ketika dihadapkan pada kerasnya kehidupan perkebunan.'
Fasilitas kesehatan, terutama pada masa-masa awal, sangat minim. Pondok yang mirip
tangsi, di mana buruh-buruh itu tinggal, sangat padat. Karena pendatang baru torus
mengalir dan buruh lama dipindahkan ke perkebunan yang lain, usaha-usaha me-
ngembangkan rasa sebagai suatu komunitas di pondok sangat tidak berhasil.
Karena terputus dan pimpinan politik dan budaya mereka, buruh perkebunan
sangat sukar mengembangkan clitenya sendiri. Kehidupan mereka berkisar di
sekitar perkebunan berikut segala kegiatannya. Urusan-urusan mereka pada
umumnya diatur oleh pe-
13. Mengenai organisasi sosial orang Jawa, lihat uraian Fiildred Geertz yang singkat tetapi sangat
berguna, "Indonesian Cultures", dan juga, The Javanese Family (New York: Free Press, 1961).
ngelola perkebunan yang malah ikut melibatkan diri dalam memilih kepala pondok.
Pola pelapisan sosial yang berkembang juga berorientasi pada perkebunan,
dengan dua kelompok status, yakni buruh biasa dan mandor. Hubungan antara
mandor dengan buruh dan antara kepala pondok dengan para pcnghuni kurang serasi
karena kelompok pimpinan yang potensial ini lebih seri ng dianggap sebagai alat
penguasa daripada juru bicara para buruh.
Untuk scbagian anak-anak Jawa, baik di pondok atau di desa dan di kota,
tersedia sedikit kesempatan pendidikan yang dapat mendorong tumbuhnya suatu
elite baru untuk menandingi elite Batak Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan.
Beberapa dari mereka, tcrutama anak-anak mandor dan anak-anak Jawa yang
tinggal di kota, menjadi guru di wilde scholen (sekolah-sekolah swasta yang tidak
diakreditasi) atau menjadi pedagang yang cukup berhasil. Tetapi tidak seorang
pun yang mendapat pendidikan yang cukup untuk menjadi pegawai negeri. Dengan
tidak adanya pemimpin alternatif ini, orang-orang Jawa meminta nasihat dan
bantuan kepada guru-guru agama yang noiahcne adalah orang Batak Tapanuli
Selatan, yang tinggal di desa dan perkampungan Jawa. Paling tidak, beberapa di antara
mereka masuk ke dalam lingkungan santri.
Pemisahan dan pengelompokan suku, baik di tingkat massa maupun elite,
kukanlah sesuatu yang membentuk seluruh hubungan sosial selama atau sesudah
masa kolonial. Sejak awal 1920-an, kebangkitan nasionalisme Indonesia dalam
berbagai perwujudan ideologisnya telah memperoleh pengikut di kota. Pada
1940-an kesadaran nasional semakin mendalam berkat latihan militer yang
diadakan Jepang (yang seolah-olah untuk persiapan mempertahankan bangsa) dan
kejadian-kejadian semasa revolusi, ketika Simalungun menjadi daerah perbekalan dan
persiapan militer bagi pasukan yang dikirim ke front Wilayah Medan. Para anggota
dari bermacammacam elite — yang sering berhubungan dengan sesama elite dan
Iuar dan merasa yakin bahwa ambisi mereka dan perkembangan masyarakat
mereka dilumpuhkan oleh pemerintah kolonial — adalah
di antara mereka yang paling bergairah menerima nasionalisme. Menjelang 1950,
meskipun ada banyak perbcdaan nyata di antara mereka, sernua pemimpin
masyarakat setempat kecuaIi kaum bangsawan Batak Simalungun, secara positif
menerima konsepsi ten- tang identitas Indonesia dan bangsa Indonesia yang tidak
dapat dibagi-hagi. Melalui pemimpin-pemimpin itu gagasan ini ditapis ke bawah, pada
mulanya sccara perlahan-lahan dan kemudian secara lebih cepat, sampai pada orang-
orang kota dan desa yang kurang berpengalaman dan kurang tcrlibat secara langsung.
Kepentingan ekonomi bersama yang berkembang di kalangan penduduk yang paling
langsung terpengaruh oleh lingkungan perkebunan juga berperan cukup penting
dalam rnemperkuat hubungan antarsuku. Selama pendudukan Jepang, banyak orang
Jawa, pctani Batak Tapanuli Utara, dan buruh perkebunan Jawa mulai menanam padi
dan tanaman lain di tanah-tanah perkebunan yang tadinya tidak dapat diganggu gugat.
Sejak dibangunnya kernbaIi perkebunanperkebunan seusai perang, balk di bawah
pengelolaan orang Belanda maupun pemerintah Indonesia, para pemukim liar ini terus-
menerus memperjuangkan perluasan tanah mereka dan mengajukan berbagai
tuntutan.14 DaIam usaha ini, orang-orang Jawa dan Tapanuli Utara yang menjadi
pemukim liar itu, bersama-sama dengan para buruh perkebunan, mempunyai
musuh bersama, yakni pengelola perkebunan dan pcmerintah. Hasilnya
adalah mcningkatnya kesepakatan tentang perlunya persatuan antarsuku untuk
mencapai tujuan bersama. Akan tetapi, tnengendurnya keterpisahan antarsuku ini
tidak meluas ke suku-suku lain yang para anggotanya tidak begitu terpengaruh oleh
kehidupan perkebunan, dan tidak juga meluas ke petani-petani Batak Tapanuli Utara
yang tinggal di luar lingkungan perkebunan.
14. Utuk uraian umum mengenai pemukim liar lihat Karl 1. Pelzer, The Agrarian Conflict in Past
,

Sumatra", Pacific Affairs, 30 (1957), hal. 151-159.


34 Kesukuan don Organ i sasi

Pernat an g si ant ar
Kota Madya Pematangsiantar juga mengalami peruhahan sosial yang cukup
periling sepanjang dasawarya-dasawarsa itu. Pematangsiantar — yang pada
peralihan abad ini masih dianggap sebagai "desa Batak yang penting" olch seorang
pengamat Belanda
— pada 1961 berpenduduk lcbih dari 114.000 jiwa, dengan tingkat pertumbuhan
penduduk rata-rata 6,5%per tahun, sebuah angka yang sangat tinggi untuk ukuran
Indonesia* Pcrtumhuhan yang luar biasa ini barangkali berkaitan dengan letak
strategis kota itu — yang terhampar di wilayah perkebunan dan pengembangan
pertanian sawah
— sebagai persimpangan jalan yang menghubungkan Tapanuli dan Pantai Timur. Di
bawah pemerintahan kolonial, Pematangsiantar menjadi pusat utama perdagangan di
Simalungun, juga pusat pembangunan industri, administrasi pemerintahan, dan
pendidikan tinggi. Sckarang hampir setengah penduduknya giat berdagang, 15%
bekerja di pemerintahan, dan jumlah yang sarna terdaftar di berbagai sekolah negeri dan
swasta di kota itu. Angkatan kerja yang tidak tertampung di pcmcrintahan, sekitar
10% dari jumlah penduduk, bekerja di berbagai industri menengah dan kecil, mulai
dari pekerja pabrik rokok dan pabrik tenun sampai tukang lernari dan tukang jahit di
pinggir jalan.16
Karena Pematangsiantar terletak di tengah dan memiliki peluang untuk perluasan
ekonomi, masyarakat ash Batak Simalungun yang kecil jumlahnya itu segera dibanjiri
para pendatang. Sekarang orangorang Batak Tapanuli Utara, yang mencapai sekitar 40%
dari jumlah seluruh penduduk, merupakan kelompok yang paling besar di kota itu,
diikuti oleh orang Batak Tapanuli Selatan (20%), orang Cina (12%), orang Jawa
(10%), dan orang Batak Simalungun (10%).17
15. Angka-angka ini berasal dari Pauline D. Milone, "Contemporary Urbanization in Indonesia",
Asian Survey, 4 (1964), hal. 1005,
0.
Angka-angka ini di peroleh dari bagian sensus pemerintah kota dan Kantor Industri Rakyat.
16. Seperti halnya dengan Simalungun Bawah — angka-angka ini hanyalah
Partisipasi dan Partai Po!it&

Dibandingkan dengan Simalungun Bawah, Pematangsiantar, yang mcrupakan


persimpangan jalan budaya dan perdagangan, lebih banyak dilewati angin
perubahan yang menyapu Indonesia pada ahad ke-20. Kolonialisme Belanda
menyediakan perlengkapan fisik kola modern, menciptakan administrasi
pemerinlahan modern, dan menumbuhkan kondisi yang dapat mcngcmbangkan
ekonomi perdagangan dan kcuangan. Tidak terelakkan lagi perkernbangan ini
menyebabkan munculnya gaya hidup kola, yang bergantung pada keberhasilan
pelayanan sipil dan perdagangan, dan yang semakin banyak menarik orang kota dari
scmua kclompok ctnis. Bersama kolonialisme terbawa juga suatu komunitas Eropa
yang mencoba hidup, seperti di tempat-tempat jajahan lain, dalam keterasingan yang
nikmal namun dalam kenyataannya menciptakan pola budaya kota yang ditiru dan
sekaligus dihenci oleh orang Indonesia. Kekacauan pascakolonial yakni pendudukan
Jepang, dua tahun revolusi yang sexing kacau (sesama masa itu Pematangsiantar
pernah sehentar mcnjadi ibu kota sementara Sumatra sebagai bagian dari
Indonesia), diikuti dengan pendudukan kembali olch Bclanda sclama dua tahun sebelum
akhirnya tercapai kemerdckaan — juga meninggalkan kesan yang mendalam pada
penduduk kota. Banyak kegiatan dan peristiwa penting pada masa-masa itu terjadi di,
atau diatur dari, Pematangsiantar. Penduduk kota — yang secara fisik mudah
didatangi, secara ekonomi rawan, dan secara budaya dan intcicktual tcrus menerus
berubah — sangat terpengaruh oleh dan sangat tanggap terhadap keadaan yang
berubah itu.
Peristiwa-peristiwa ini mempertehal kesada ran nasional yang
merasuk makin dalam dan rnakin mantap di seIuruh daerah. Namun
hal ini sama sekali tidak mengubah paradigma dasar interaksi sosial
yakni persatuan sesama suku dan rasa permusuhan antarsuku —

yang telah berkembang sejak gelombang oertama migrasi. Pcrbcdaan


Kesukuan dan Organisasi Poiiiik

budaya, bahasa, dan agama membcrikan dasar identitas kesukuan yang tcrcermin
dalam pola pcngelompokan tempat tinggal (lihat Peta 3). Scbagaimana di Simalungun,
setiap kelompok ctnis mempunyai pemimpin sendiri-sendiri. Mcskipun secara fisik
tidak berjauhan, komunikasi dan kerja sama antarsuku jarang terjadi.

Pala 3. Pematangsiantar
perkiraan. Masyarakat Cina tidak ikut berpartisipasi dalam politik dan karenanya tidak dimasukkan
dal am anal isis ini.

Di lingkungan yang selalu dilanda konflik dan persaingan ini, hubungan


antarkelompok lebih menyerupai panci yang berisi air mendidih daripada panci tempat
diaduknya adonan. Perdagangan dan industri merupakan bidang konflik utama karena
kelompok-kelompok tertentu cenderung menguasai sektor ekonomi yang berbeda-
beda sehingga sering muncul tentangan dari kelompok yang lain. Karena kesempatan
mendapatkan pendidikan menjadi kian sama, persaingan suku menyebar di kalangan
pegawai sipil (situasi ini semakin meruncing karena Belanda lebih menyukai mcreka
yang beragama Kristen dan, Jepang, paling tidak pada masa-masa awal
pendudukannya, lebih menyukai mereka yang beragama Islam).
Tingkat perbedaan suku yang terccrmin dalarn bidang pekerjaan juga mempertajam
berbagai pertentangan semasa revolusi. Hal ini terjadi karena dukungan seseorang
terhadap kebijakan-kebijakan revolusi, dan memang untuk revolusi itu sendiri, sebagian
bergantung pada jabatannya atau, yang lebih umum, pada status sosialnya.
Kebanyakan orang Jawa kelas pckerja kota, misalnya, tidak banyak menderita kerugian
selama revolusi dan cenderung bergabung ke dalam organisasi-organisasi militan.
Para pegawai negcri (yang sebagian besar terdiri dari orang-orang Batak Tapanuli
Utara yang Kristen) akan menderita banyak kerugian di dalam sebuah Republik
Indonesia yang mungkin didominasi oleh kelompok Islam. Karenanya, mereka
cenderung bersikap ragu-ragu atau berpandangan politik lebih moderat. Juga, sebagai
pegawai negeri, sehubungan dengan pendidikan dan pengalaman administratif
mereka, mereka kurang berminat pada kebijakan-kcbijakan yang radikal atau sikap
militan. Di sisi lain, para bangsawan Batak Simalungun dan pendukung mereka
menyambut kembalinya Belanda — yang dianggap sebagai pelindung kerajaan-kerajaan
— dengan senang hati.
Dengan demikian, sebagian besar gambaran kita mengenai Simalungun Bawah
berlaku juga untuk Pematangsiantar. Kedua tempat itu merupakan ciptaan abad ke-20,
hasil kolonialisme Belanda yang sangat intensif dan juga sangat dipengaruhi oleh
peristiwa-
peristiwa pascakolonial. Kedua tempat itu bersi fat multietnis, benar benar mengandung
kelompok-kelompok yang sama dalam proporsi yang kira-kira sama dan tclah sama-
sama mengalami urbanisasi dan modernisasi ekonomi. Di kedua tempat itu telah
tumbuh kesadaran etnis yang torus berkembang, dan telah muncul pula elite-elite yang
terpisah di dalam bermacam-macam komunitas etnis. Dan akhirnya, kedua tempat itu
dengan penuh gairah bergabung ke dalam nasion Indonesia merdeka. Perbedaan
penting di antara keduanya adalah bahwa sebagian besar kehidupan sosial-ekonomi
Simalungun Bawah didominasi oleh perkebunan, sedangkan Pernatangsiantar seluruhnya
merupakan daerah perkotaan, dengan perekonomian yang berbasiskan perdagangan
dan administrasi pemerintahan. Perbedaan antara ekonomi perkebunan dan ekonomi
kota dalam situasi-situasi lain yang sangat rnirip ini juga tercermin, seperti yang akan
kita lihat, di dalam perbedaan yang menarik dinamika organisasi politik.
Simalungun Atas
Di antara ketiga tempat yang ditcliti di sini, Simalungun Atas adalah yang paling
terisolasi dan paling sedikit mengalami modernisasi. Daerah ini berbukit-bukit dan
bergunung-gunung, tanpa sungai yang cocok untuk transportasi air atau irigasi, dan
hubungan darat pada umumnya sukar. Penduduknya lebih jarang daripada di
Simalungun Bawah (perbandingan tingkat kepadatan penduduk adalah
50/km2:1601km2) dan tersebar di desa-desa keel'. Dengan kckecualian sebagian kota
Seribudolok yang terletak di perbatasan antara Simalungun Atas dan Kabupaten Kam,
tidak ada pemusatan penduduk yang besar yang sebanding dengan yang ada di kota-kota
Simalungun Bawah. Kegiatan ekonomi perkebunan juga tidak terlatu besar. Dengan
demikian, tanah yang tersedia untuk pertanian desa jauh lebih luas daripada yang ada
di Simalungun Bawah. Simalungun Atas juga tidak mengenal masalah pemukim liar
atau konflik yang berarti mengenai tanah. Daerah ini secara etnis homogen karena
sebagian besar penduduknya adalah orang Batak Simalungun asli. Mayoritas
penduduk beragama Protestan, namun banyak juga orang Batak Simalungun yang
masih menganut kebiasaan dan keyakinan agama tradisional.
Pada masa prakolonial orang-orang Batak Simalungun secara politik
diorganisasikan ke dalam beberapa otokrasi formal. Tetapi dalam kcnyataannya
kekuasaan kerajaan-kerajaan itu sangat lemah. Trap kerajaan diperintah oleh
scorang elite bangsawan yang keanggotaannya di dalam elite setempat dibawa sejak
lahir. Mereka dibedakan dari orang-orang desa biasa karena kekuatan magis yang
mereka miliki. Pada peralihan abad, kerajaan-kerajaan itu tunduk pada kekuasaan
dan reorganisasi Bclanda tetapi raja-rajanya tetap memegang kendali pemerintahan
dan melaksanftkan kekuasaannya atas nama rakyat mereka di Batak Simalungun.
Perubahan snsial Iambat datangnya dan bcrpengaruh lang.sung hanya pada
sebagian kecil penduduk. Perubahan yang terjadi itu terutama disebabkan oleh tiga
faktor: agama Kristen yang dibawa oleh misionaris Jerman dan Tapanuli Utara,
pendidikan yang diselenggarakan oleh para misionaris, dan pembangunan jalan dari
Pematangsiantar ke Seribudolok yang membuka daerah itu sehingga dapat
berhubungan dengan dunia luar yang Iebih main.
Satu hasil penting dari perkembangan-perkembangan ini adalah terciptanya suatu
kolas baru (meskipun sangat keel]) yang terdiri dari orang-orang terpelajar Mau
setengah terpelajar yang kehanyakan berafiIiasi dengan misi-misi Kristen. Kelompok ini
— yang statusnya berasal dari basil pendidikan dan dari penerimaan mereka terhadap
agama Kristen, bukan dari asal usul kebangsawanan merupakan suatu elite
aIternatif dan bisa menjadi tantangan bagi elite tradisionaI. Para pendeta dan guru
juga merupakan kelompok yang paling banyak bergerak dan paling sering
berhubungan dengan kelompok etnis lain, terutama dengan orang Batak Tapanuli
Utara. Kesadaran etnis tumbuh dengan cepat di kaIangan ()rang Batak Simalungun ter-
pelajar yang merasa tidak suka karena hares belajar bahasa Tapanuli
Utara dan merasa kesal karena para atasan mereka, balk dalam hierarki geraja
maupun pendidikan, adalah orang-orang Batak Tapa null Utara.
Di samping elite terpelajar yang tergabung dalam sistem keagamaan dan
pendidikan, ada juga kelompok besar lulusan sekolah dasar yang, karena keterbatasan
pendidikan dan pengenalan yang tidak lengkap dengan kehidupan kota, merasa
kecewa dengan masyarakat desa tetapi tidak dapat maju di kota. Karena kekurangan
dana, mereka tidak dapat memperoleh pendidikan lebih lanjut (untuk sebagian besar,
hanya anak-anak kaum bangsawan dan orang-orang yang dipilih oleh misionaris yang
berkesempa tan mendapatkan pendidikan lebih dari tiga tahun) sehagai syarat untuk
dapat menjadi guru atau juru tulis di kantor-kantor pemerintah dan perkehunan.
Karena tidak mernpunyai saudara yang sudah mapan di kota, yang mungkin dapat
membantu mereka untuk berdagang, mereka raguragu untuk pindah ke
Pematangsiantar. Karena bukan anggota kaum bangsawan, kecil harapan mereka untuk
dapat memasuki struktur pemerintahan tradisional. Karena merasa frustrasi pada tiap
kesempatan, orang-orang muda ini menghabiskan waktu mercka di warungwarung kepi
sambil memikirkan rintangan yang menghalangi kemajuan mereka. Mereka tidak
berbuat banyak untuk melakukan perlawanan terhadap para penguasa tradisional atau
Belanda.
Sebagaimana di Simalungun Bawah dan Pematangsiantar, pendudukan dan
revolusi telah membawa perubahan lebih Ianjut pada daerah itu. Diberi latihan minter
oleh pihak Jepang, pemuda-pemuda yang kurang berpendidikan dan tidak mernpunyai
pekerjaan itu menjadi nasionaiis militan dan sebagian besar terlibat dalam Revolusi
Sosial 194618 dan penggusuran kerajaan-kerajaan tradisional. Elite
18. Revolusi Sosial adalah nama yang diberikan pada gelombang
pembunuhan raja-raja tradisional dan yang lain-lain yang terjadi di Sumatra Timur pada awai 1946, Di
Simalungun, penguasa empat kerajaan dari tujuh kerajaan tradisional yang ada dan banyak bangsawan
dad tingkatan yang lebih rendah, dihunuh hersama kel uarga mereka.

41
Partisipasi dan Partal

label 2.11ga tempat: perbandingan skematis yang disederhanakan

Simalungun Simalungun Pernatang-


Atas Bawah siantar
Penduduk 78.000 322.000 114.000
2
Tingkat kepa- 50Ikm 160/km 2
daerah per-
datan penduduk kotaan

Pekerjaan peladang padi buruh perkebun- pedagang dan


an dan peladang pegawai negeri
padi

Kelompok etnis Batak Sima- Jawa, Batak Ta- Batak Tapanuli


lungun panuli Utara, Utara, Batak Ta-
panuli Selatan,
dan Batak Tapa- dan Jawa
null Selatan
Afiliasi religius Terutama Pro- Terutama Islam Terutama Pro-
testan, dengan (abangan), de- testan, dengan
minoritas utama ngan minoritas minoritas utama
kaum animis santri dan Pro- Islam (santri)
testan

yang berafiliasi dengan gereja, yang dibebaskan dari larangan-larangan bikinan


Belanda dan Jepang, juga menjadi aktif dalam politik dengan mengerahkan jemaat
mereka untuk melawan para pemuda militan, penguasa traclisional, Belanda, dan,
di kalangan gereja, orang-orang Batak Tapanuli Utara. Kam bangsawan — yang
mcmperoleh kembali gengsinya (kalau bukan kekuasaannya) sebentar selama
pendudukan Belanda pada 1947-1949, tetapi segera jatuh lagi dalam pembersihan
politik dengan dibentuknya negara kcsatuan pada 1950 — rnulai menggalang kembali
kekuatan dan bcrupaya memulihkan pengaruh mereka di dalam kerangka Indonesia
merdeka. Seperti yang akan ditunjukkan oleh peristiwa-peristiwa bcrikutnya, kaum
bangsawan masih mempunyai lcbih banyak pendukung daripada elite agama atau
pemuda, hahkan meskipun telah terjadi perubahan sosial selama setengah abad.

PERKEMBANGAN RGANleASI pounic


SECARA khusus organisasi politik di ketiga tempat lin Baru berkembang
sepenuhnya sesudah penyerahan kedaulatan pada Desember 1949. Pada masa
kolonial sudah ada tunas kegiatan kaum nasionalis di cabang-cabang Partindo (Partai
Indonesia), Indonesia Muda (IM), dan Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia)
setcmpat. Namun kesemua itu hanya terbatas di Pematangsiantar dan, karena
anggotanya sedikit, pihak pcnguasa dengan mudah mcnekan perkembangannya.
Revolusi menyaksikan berkembangnya kelompokkelompok gerilya, tetapi sebagian
besar tidak berumur panjang, yakni karena tidak diorganisasikan secara rapi di alas
tingkat satuan tempur dan tidak dikendalikan secara efektif oleh partai-partai politik
yang agaknya menjadi tempat bertambatnya kelompok-kelompok gerilya itu. Dalam
kenyataannya, sering para pemimpin partai dan pemimpin gerilya adalah orang-orang
yang sama. Dan kehutuhan situasi revolusi adalah sedemikian rupa schingga
tugas tempur di front Wilayah Medan atau tugas untuk menycdiakan perbekalan
bagi pasukan lebih diutamakan daripada pcmbinaan partai.
Dcngan selesainya revolusi, para pcmimpin politik dan politikus partai
mengalihkan perhatian mereka untuk berjuang mcmperoleh kendali pemerintahan
bangsa yang bare. Pada 1950 Indonesia menjadi negara kcatuan dan negara
dcmokrasi konstitusional, dua hat yang berdampak sangat besar terhadap
perkembangan sistcm kepartaian nasional. Demokrasi konstitusional dan kedudukan
penting yang dibcrikan kepada parlemen (Dcwan Perwakitan Rakyat/DPR) yang bare
mendorong pertumbuhan partai-partai politik dan menjamin partai-partai itu pada
kedudukan penting dalam proses pemcrintahan. Pcmilihan umum untuk parlemcn
dan konstituante, yang kursi-kursinya dibagi berdasarkan perwakilan berimbang
(proporsional), mendorong lcbih jauh pertumbuhan dan perluasan cabang-cabang
partai ke scluruh penjuru tanah air. Pcriode 19541955, sesaat menjelang pemilihan
umum, adalah masa kampanyc yang menggcbu-gchu di seantero Nusantara.
Dengan semakin mantapnya negara kesatuan dan ditolaknya bentuk negara federasi
Republik Indonesia Serikat yang dipaksakan oleh Belanda, politik Indonesia untuk
sebagian besar berubah menjadi politik Jakarta. Wewenang pcngambilan keputusan
formal menjadi sangat terpusat di dalam struktur pemerintahan tingkat nasional
,

seperti DPR dan kementerian-kementerian di pusat. Dengan demikian, tujuan


utama partai politik adalah mem peroleh kedudukan yang kuat di DPR. Dari kedudukan
itu banyak sckali keuntungan lain — terutama pcnguasaan atas bermacam-macam
kementerian dan patronase birokrasi yang bisa ditangguk.
Pembcntukan parlemcn yang kuat dan sentralisasi wewenang menyiapkan banyak
(tetapi tidak semua) kondisi yang diperlukan bagi berkembangnya sistem kepartaian
nasional yang kokoh. Di samping itu, tiap partai yang ingin menjadi partai nasional
diharuskan mencari dukungan massa dengan mengajukan rancangan kebijakan
dan program — atau, lebih luas daripada itu, dengan menciptakan citra din — sesuai
dengan aspirasi sebagian besar penduduk. Partai-partai tingkat nasional yang aktif
di kctiga tempat tersebut harus menycsuaikan diri dengan pola-pola kepentingan,
loyalitas, dan konflik yang telah kita gambarkan di muka. 19
19. Tentu saja digantinya sistem parlementer dengan Demokrasi Terpimpin pada akhir 1950-an telah
mengubah kondisi pertumbuhan partisan dan tujuan para pemimpin partai. Selama masa penelitian ini
para pemimpin partai setempat, di Simalungun dan Pematangsiantar, menghabiskan sebagian hesar
waktu mereka dalam kegiatan yang direncanakan untuk mempengaruhi para birokrat daerah dan para
perwira Angkatan Darat. Akan tetapi, peruhahan ini tidak sedrastis seperti yang diperkirakan. Pemimpin-
pemimpin cabang partai pada 1963-1964 masih berorientasi
harangkali karcna optimisme yang berlebihan — pada situasi masa depan berkenaan dengan
persaingan partisan yang tcrbuka, pemilihan umum, dan meningkatkan pengaruh pemerintah melalui
struktur legislatif, dan karenanya tetap memusatkan perhatian pada pembinaan serta pengembangan
dukungan massa. Kegiatan mereka di daerah ini juga dipengaruhi oleh kesadaran bahwa dalam iklim
politik Demokrasi Terpimpin yang berubah-ubah dan tidak menentu, dukungan massa yang maksimum
merupakan keuntungan dalam uji kekuatan yang pasti akan datang.
Intcraksi antara partai dan lingkungan ini selanjutnya meng hasilkan pola
perkembangan organisasi yang berbeda-beda dan mencerminkan sifat khusus setiap
tempat. Di Simalungun Bawah kombinasi perbedaan ekonomi, primordialisme,
elite Baru, dan kepentingan-kepentingan ekonomi bersama merupakan lingkungan
tempat empat partai — PNI (Partai NasionaI Indonesia), PKI (Partai Komunis
Indonesia), Masyumi (Majclis Syuro Muslimin Indonesia), dan Parkindo (Partai
Kristen Indonesia) — yang secara nasional penting semuanya, memperoleh hasil yang
baik.20 Di Pematangsiantar, tidak adanya kepentingan ekonomi yang secara politis dapat
disepakati bersama memperkecil jumlah partai menjadi cuma tiga (Masyumi,
Parkindo, dan PNI). Untuk memperoleh dukungan massa, kesemuanya bcrgantung
pada loyalitas primordial. Akhirnya, homogenitas kesukuan, adanya elite
tradisional, dan rendahnya tingkat di ferensiasi ekonomi, kesemuanya menghalangi
keberhasilan partai tingkat nasional di Simalungun Atas. Hal ini terjadi karena yang
muncul justru sistem satu partai yang dominan, dengan hanya satu partai besar yang
bersifat lokal dan semata-mata merupakan organisasi yang bermotif kesukuan.
Simalungun Bawah
Kasus Simalungun Bawah menampilkan pola perkembangan organisasi politik
yang paling rumit dan banyak seginya. Keempat partai yang berhasil di tempat itu
memiliki kesamaan dalam artian
20. Di tingkat nasional, empat partai memenangkan suara terbanyak dalam pemilihan umum
parlemen: PM (22,3%), Masyumi (20,9%), NU (18%), dan PKI (16%). Herbert Feith, The Indonesian
Elections of 1955, hal. 58. Meskipun secara nasional perolchan suaranya kecil (2,6%), Parkindo
mempemIeh dukungan yang herarti di lima dari lima betas kecamatan dan juga berpengaruh di kalangan
elite politik Jakarta.
Sejak dibubarkan pada 1960, Masyumi tidak mempunyai organisasi formal di Simalungun dan
Pematangsiantar selama tahun-tahun dilakukannya penelitian ini. Dengan demikian, pembahasan
mengenai Masyumi di sini hanya menyinggung masa sebel um 1960.

masing-masing merupakan organisasi nasional dan merekrut sebagian besar


pemimpin dari elite setempat abad ke-20 yang berorientasi nasional. Akan tetapi, di
antara keempat partai itu ada beberapa perbedaan besar: ideologi, strategi yang
dipakai untuk memperoleh dukungan daerah, sumber-sumber dukungan yang
nyata-nyata diperoleh, kadar keterikatan anggota dan partisan pada partai, dan ciri-ciri
organisasi. Perbedaan-perbedaan ini membuahkan dua tipe partai. Pertama, partai
massa sekular dan nonetnis yang didasarkan pada kepentingan ekonomi, yang secara
keorganisasian rum it dan sangat artikulatif tetapi kadar keterikatan anggotanya tidak
begitu kuat, seperti PNI dan PK1. Dan kedua, partai kader yang bercorak keagamaan
dan kesukuan, yang di dominasi olch kelompok etnis tunggal dan secara
keorganisasian kurang artikulatif tetapi kadar keterikatan anggotanya kuat, seperti
Masyumi dan Parkindo.
Di tingkat nasional strategi PNI dan PICI terbentuk oleh konsepsi mengenai Indonesia
modern di mana sebaiknya peranan perbedaan dan loyalitas etnis dan agama dalam
kehidupan politik ditiadakan atau diminimalkan. Ideologi Mahaenisme dan Marxisme-
Leninisme mengingkari relevansi loyalitas etnis dan agama demi organisasi politik
modern, menggantinya dengan pengertian yang agak sederhana mengenai kebersamaan
segenap rakyat Indonesia, dalam latar belakang atau cam hidup apa pun, yakni karena
kaum nasionalis terikat untuk mewujudkan masyarakat egaliter yang "adil dan mak -
mur"; dan juga menggantinya dengan pengertian konflik kelas yang di dalamnya
petani dan buruh diadu melawan pars kapitalis dan birokrat.21 Namun, harus
ditambahkan bahwa PNI dan PKI sangat
21. Istilah Marhaenisme pertama kali dilontarkan oleh Sukarno, dipakai untuk menyebut °rang Indonesia
"kebanyakan". Lihat Sukarno, Marhaen and Proletarian, Cornell Modern Indonesia Project Translation
Series (Ithaca, New York: Cornell University, 1960). Feith menggambarlcan Marhaenisme sebagai
"kepercayaan yang menekankan persatuan dan kebudayaan nasional serta ekonomi sosialis atau kolektif.
Marhaenisme menegaskan pentingnya hak-hak demokrasi dan menentang kediktatoran, juga mengutuk
liberalisme dan individualisme yang dicela sebagai bagian dari kapitalisme. Didasarkan pada pemilahan
gagasan secara eklektik dari kaurn
berorientasi Jawa karena mayoritas pemberi suara pada 1955 dan sebagian besar
pimpinan nasional kedua partai tersebut berasal dari Jawa Timur dan Jawa Tengah.
ldcologi kedua partai itu, khususnya PNI, sangat kuat berakar pada pandangan dunia
budaya politik bangsawan Jawa, yang oleh Herbert Feith digambarkan sebagai
"memandang hina kegiatan yang mengejar kepentingan ekonomi. . dihubungkan dengan
dukungan terhadap negara sekular atau negara berketuhanan", lebih menyukai nativisme
dan menentang pengaruh Barat, dan bersimpati pada gagasan-gagasan sosialis. 22
Dengan bekal ideologi seperti itu kcdua partai tersebut menghadapi hambatan
besar di Simalungun Bawah, di mana pembagian berdasarkan agama dan suku berakar
sangat kuat, di mana suku Jawa hanya merupakan salah satu dari bcbcrapa kelompok
etnis, dan di mana kesadaran kelas atau pengertian yang abstrak mengenai pentingnya
solidaritas bagi seruruh bangsa Indonesia paling-paling masih dalam tahap embrio. Untuk
mengatasi masalah ini kcdua partai tersebut mengembangkan stategi dasar, terutama
dengan iming-iming materi sebagai daya pikat bagi kelompok-kelompok yang paling
ter-
nasionalis Barat dan Asia, dari kaurn sosialis Barat, dan dad pemikiran sosial In donesia tradisional,
Marhaenisme mencerminkan keterikatan PNI pada lambanglambang revolusi Iturrt nasionalis dan
kesukaran-kesukaran yang di hadapi partai tersebut dalam mengemhangkan faktor orientasi ideologi
bersama yang paling tepat". (The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia [Ithaca, New York:
Cornell University Press, 1962], hal. 139-140) Untuk pemhahasan tentang idcologi, tujuan, dan strategi
PICI, lihat Donald 1Iindley, The Communist Party of Indonesia, 1951-1963 (Berkeley dan Los Angeles:
University of Caiifornia Press, 1964).
22. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, hal. 32. Alasan mengapa orang Iowa lebih
banyak mcmilih PNI dan PK1, lihat Feith, The Indonesian Elections of 1955, hal. 62. Beherapa peminat
politik Indonesia Mernxiba beranjak lebih jauh dari yang diuraikan di sini dengan menganggap bahwa
ideologi PNI sangat tcrpengaruh oleh pandangan Jawa, sehingga sebutan "sekular" tidak dapat dipakai.
Menurut saya sendiri, dengan melihat dari dckat partai itu hanya pada tingkat dacrah, baik pandangan
"sekular" maupun "Jaws" tidak bertentangan seluruhnya. Kedua kecenderungan its ada di dalam partai
tersebut. Tentu saja pandangan yang kedua lebih kuat di lawn Timur dan Jawa Tengah dan, barangkali, di
tingkat nasional, sedangkan pandangan yang pertama lebih nyata di Sumatra Timur.

cerabut dari akar dan tradisi mereka di daerah itu, yakni para buruh perkebunan dan
pekerja kota serta pemukim liar.
Ditilik dari segi organisasi, strategi ini mengharuskan PNI dan PKI menciptakan
mesin politik yang rinci, yang tidak hanya meliputi struktur partai tetapi juga
organisasi-organisasi tambahan dengan tugas yang berbeda-beda untuk memcnuhi
kebutuhan-kebutuhan khusus para buruh, pemukim liar, dan kelompok-kelompok lain.
Satu ranting partai dipertahankan di tiap kecamatan dan dibentuk lusinan sel partai
dan organisasi tambahan di desa-desa yang terletak di sekitar perkebunan. Di
bawah pengawasan pimpinan cabang partai dan organisasi di Pematangsiantar, tiap
ranting giat merekrut anggota dan kader pimpinan, meningkatkan jumlah sel di
desa, menyelenggarakan rapat-rapat massa untuk menjelaskan kebijakan partai dan
membalas propaganda lawan, mengajukan tuntutan-tuntutan kepada pemerintah atas
nama anggota buruh dan para pemukim liar, dan sebagainya. Sebagian besar
pekerjaan ini dilakukan oleh para aktivis muda. Mereka direkrut dan kota-kota
kecil (string dilakukan melalui organisasi partai di sekolah-sekolah) dan diberi
latihan keorganisasian dan ideologi sebelum ditugaskan di kantor cabang atau
ranting. Persaingan antara PNI dan PKI untuk memperoleh pengikut
meningkatkan lebih jauh bcrkembangnya organisasi yang rinci dan rekrutmen aktivis
setengah profesional. Berdasarkan hasil pengamatan pada awal 1960-an —
mcskipun ada beberapa perbedaan penting dalam hal intensitas pendidikan yang
diberikan kepada para anggota baru, pola koordinasi antara partai dan struktur yang
berafiliasi dengannya, dan proses pcmilihan pimpinan setempat — ternyata kedua
partai tersebut memiliki organisasi yang dapat berjalan cukup lancar dan efisien.
Ciri partai keagamaan, yakni Parkindo dan Masyumi, dalam beberapa segi
yang penting berbcda dari ciri organisasi PNI dan Meskipun secara formal mirip
dengan ciri organisasi PKI, organisasi dan anak organisasi partai keagamaan lemah,
tidak punya aktivis yang digaji, sel yang dibentuk secara formal di desa-desa
tidak
banyak, pimpinan (bahkan di tingkat kecamatan) sering tidak menentu, dan tidak
ada kampanye terpadu untuk meningkatkan keanggotaan atau melaksanakan
kebijakan atau program lainnya. Satuan dasar organisasi partai, yang secara formal
adalah cabang, sebenarnya mcnyerupai rapat anggota Partai yang, dalam istilah
Duverger, adalah "berhimpunnya para pemuka partai bagi persiapan pemilihan umum,
penyelenggaraan kampanye, dan pembinaan kontak dengan para calon."23
Faktor terpenting dalam perbedaan-perbedaan ini berkaitan dengan citra yang
dimiliki partai itu sendiri dalam hubungannya dengan proses politik daerah dan
nasional serta dengan hakikat dukungan daerah yang dicari oleh setiap partai. Para
pemimpin PNI dan PKI mcnganggap partai mereka (paling tidak secara potensial)
mewakili scluruh penduduk di daerah itu dan tentu saja segenap bangsa Indonesia,
tanpa memandang agama atau suku. Dengan demikian, partisan harus ditarik dengan
alasan-alasan nonprimordial, yakni dengan mcnerapkan ideologi sckular (dan
sebagian besar ideologi yang berorientasi Jawa) ke dalam program-program positif
untuk membangkitkan rasa tanggap di tingkat daerah. Dalam keadaan tertentu, hal
itu pada gilirannya mcngharuskan dipusatkannya perhatian pada buruh perkebunan
dan pemukim liar yang besar jumlahnya dan secara tidak terelakkan termasuk
orang-orang yang dirugikan, juga pada usaha-usaha keorganisasian yang terus-
menerus.
Sebaliknya, Parkindo dan Masyumi mempunyai basis dukungan yang jauh lebih
terbatas dan lebih jelas. Calon-calon yang kemungkinan besar akan memilih
kedua partai itu terbatas pada kalangan agama tertentu dari masyarakat setempat,
yakni masyarakat Protestan dan Islam santri. Untuk memperoleh dukungan tlari orang-
orang yang seagama, kedua partai itu memakai stategi yang tidak terlalu menekankan
keterampilan keorganisasian dan usaha yang terus-menerus. Para pemimpin
kedua partai tersebut berpendapat
23. Lihat Duverger, hal. 64.

bahwa kekuatan loyalitas keagamaan setempat, yang


mcnurut keyakinan mcreka dengan mudah dapat diubah menjadi dukungan,
menycbabkan kegiatan yang intensif seperti itu tidak perlu.
Sebelum pemilihan umum strategi Parkindo dan Masyumi hanyalah
mempertahankan eksistensi organisasi partai dan sedapat mungkin mencrangkan
pandangan masing-masing agar diketahui oleh pcnduduk yang mereka earl untuk
diwakili. Sebagian besar kampanyc Parkindo dan Masyumi untuk pemilihan umum
setempat dilakukan mclalui lembaga-lembaga keagamaan yang ada di dacrah itu.
Meskipun tidak memegang tampuk pimpinan di dalam partai, para pendcta Kristen,
misalnya, mcnyelipkan propaganda Parkindo di dalam khotbah Minggu mcrcka. Pejabat-
pcjabat biasa gcreja menjadi pemimpin partai dan juru kampanye yang aktif di kecamatan
mereka: Dalam cara yang sama, para pcmuka agama Islam dan guru-guru di sekolah
Islam dipaksa bekerja olch Masyumi yang dikenal sangat dekat dengan Aljamiyatul
Wasliyah. Sebagian besar pcmimpin Masyumi di daerah itu sebenarnya direkrut
dari Aljamiyatul Wasliyah yang berfungsi scbagai kcrangka dasar organisasi,
meskipun tidak resmi, bagi partai yang berkembang secara serampangan itu.
Dalarri beberapa tahun sesudah pemilihan umum kedua partai keagamaan yang
pada umumnya tidak mempunyai struktur formal itu tidak begitu aktif lagi di
tingkat desa. Di tingkat kecamatan, dewan pimpinan formal (kebanyakan tidak aktif)
(clap dipertahankan sehingga rapat-rapat berkala untuk memilih pimpinan haru di tingkat
kabupaten dan propinsi tetap dapat cliselenggarakan. Pada 1964 Parkindo tidak
menyelenggarakan rapat ranting selama tiga tahun dan tidak ada rencana yang
mendesak untuk mcnyclenggarakannya. Masyumi, yang dilarang tiga tahun sesudah itu,
tidak mem punyai organisasi formal tctapi sebagian besar pcmimpin lamanya tetap
aktif di organisasi-oraganisasi Islam lainnya dan dipersiapkan untuk mendirikan partai
itu kembali dalam waktu singkat.
Sebenarnya dukungan yang diperoleh dalam Pemilihan Umum 1955 maupun
pada tahun-tahun sesudahnya agak sesuai dengan
harapan dan keinginan keempat partai di alas, kendatipun dcngan beberapa
perbedaan penting. Pertama, Parkindo dan Masyumi menjadi juru bicara utama tidak
hanya bagi orang Protcstan dan Islam santri, melainkan juga bagi etnis tertentu, yakni
etnis Batak Tapanuli Utara dan Batak Tapanuli Selatan. Bahwa para pemberi suara
Parkin- do (15%) pada 1955 hampir seluruhnya orang Batak Tapanuli Utara, mudah
dibuktikan kebenarannya karena mayoritas orang Batak Tapanuli Utara adalah
pemeluk Protestan. Lagi pula, menurut laporan umum tcrbaru cabang partai,
semua pemimpin Parkindo tingkat kecamatan pada 1961 adalah orang Batak
Tapanuli Utara, seperti juga halnya dengan scbagian besar anggota partai yang ber-
jumlah (rnenurut pengakuannya) lebih dari 12.000 orang.
Besarnya jumlah suara untuk Masyumi (19%) yang dapat dihubungkan
dengan orang Batak Tapanuli Sclatan tidak mungkin dibuktikan tanpa data yang
akurat — dan data itu tidak dapat diperoleh — mcngenai asal usul suku para
pemilih yang beragama Islam di beberapa kecamatan dan di daerah itu secara
keseluruhan. Man tetapi, jumlah suara untuk Masyumi di dua kecamatan yang —
menurut pengamatan saya pribadi — menampung pemusatan terbesar orang Batak
Tapanuli Selatan, adalah yang te:linggi. Menurut pcnduduk setempat, pembagian
suara Masyumi lawan PNI-PKI di antara orang-orang Islam mengikuti perpecahan
antara santri (yang sebagian besar orang Batak Tapanuli Selatan) dan abangan (orang
Jawa) 24 Kenyataan lain, termasuk kedudukan kuat orang Batak Tapanuli Selatan di
Aljamiyatul Walsliyah, dan kenyataan yang tampak bahwa sebagian besar pemimpin
Masyumi di tingkat kecamatan berasal dari Tapanuli Selatan, cenderung memperkuat
argumen ten- tang dominasi orang Batak Tapanuli Selatan alas partai itu.
24. Namun, di beberapa desa yang banyak orang Jawanya dilaporkan jumfah suara untuk Masyumi
sebesar 20%. Setidak-tidaknya bagian dart dukungan ini mungkin diakibatkan oleh kenyataan bahwa
konflik agama antara santri dan abangan tampaknya lebih jarang terjadi dibandingkan dengan di Jawa
Timur dan Jawa Tengah, meskipun di Simalungun Bawah ada komplikasi perpecahan suku. Orang Ratak
Tapanuli Selatan yang sedikit jumfahnya dan tinggal di desa yang banyak

Tentu saja, harus ada satu bukti untuk mcnyatakan bahwa sebagian besar
pendukung Masyumi adalah orang Batak Tapanuli Selatan dan pendukung Parkindo
adalah orang Batak Tapanuli Utara, dan satu bukti yang lain lagi untuk memperkuat
argumen bahwa ada dasar bagi afiliasi partisan yang lcbih bersifat etnis daripada sekadar
bersifat keagamaan. Beberapa data yang disajikan dalam pembahasan mengenai organisasi
partai di Simalungun Atas dan Pematangsiantar relevan dengan masalah ini, dan
pembaca diharapkan mengacu pada bagian-bagian tersebut.
Pendeknya, kalau kita memperhatikan hubungan antara kelompok Protestan-Parkindo
dan kelompok santri-Masyumi di kabupaten dan di kota madya secara keseluruhan,
tampak jelas bahwa tidak ada par- tai yang mempunyai pengaruh besar di luar
masyarakat Batak Tapanuli Utara dan Batak Tapanuli Selatan. Orang Batak
Simalungun yang beragama Protestan tidak banyak berguna bagi Parkindo, dan orang
Batak Simalungun dan Melayu Pantai yang beragama Islam di Pematangsiantar tidak
tertarik pada Masyumi. Kedua kelompok etnis ini melihat kedua partai tersebut
sebagai monopoli orang Batak Tapanuli Utara dan Batak Tapanuli Selatan yang tidak
mau berbagi pengaruh di dalam partai. Bagi mereka, pemimpin-pemimpin Parkin- do
dan Masyumi di tingkat kabupaten dan kota madya mencurigai aspirasi politik
kelompok etnis lain dan scnang bila mereka berada di luar partai. Di desa-desa,
identifikasi orang Batak Tapanuli Utara terhadap Parkindo sebagai partai komunitas
etnis dan agama sangat tinggi, sedangkan orang Batak Tapanuli Selatan kebanyakan
(dengan rasa identitas etnis yang agak kurang berkembang serta terpisah dari
keanggotaanya dalam umat Islam) memandang Masyumi dalam pengertian yang
lcbih luas. Dalam banyak hal tiap partai didominasi oleh anggota-anggota kelompok
etnis tunggal dan, terutama olch kelompok etnis lain, dipandang scbagai kelompok
kepentingan.
orang Jawanya sering bertindak sebagai pimpinan spiritual dan sekular bagi masyarakat mereka
sepanjang hal itu penting untuk organisasi politik Islam. Orang Jawa yang banyak tertarik pada Masyumi
barangkali adalah para wanita yang, konon, minatnya terhadap Islam lebih besar daripada minat suami-
suami mereka.
PNI dan PKI juga muncul dengan harapan masing-masing, dan sekurang-
kurangnya memperoleh dukungan dwisuku sebagai hasil langsung dari usaha-usaha
kedua partai itu untuk mendekati buruh perkebunan dan orang Jawa yang
menjadi pemukim liar di perkebunan Tapanuli Utara. Di antara kedua partai
tersebut, PNI lebih berhasil karena memiliki basis dukungan yang lebih beragam
yang luasnya mclampaui jumlah buruh dan pemukim liar.
Karena tidak ada data yang cukup memadai mengcnai komposisi etnis dan sosial-
ekonomi berbagai kecamatan dan desa, sukar untuk membuktikan kehcnaran argumen
kedwisukuan PNI-PKI dan ketergantungan kedua partai itu pada dukungan buruh
perkebunan. Sebuah petunjuk tidak langsung, yakni "rasio dukungan Parkindo", mem -
bcrikan bukti mengenai hasil pemilihan umum, sebagaimana yang diberikan oleh data
yang lebih haru mengenai afiliasi etnis anggota serta pimpinan PNI dan PKI.
Rasio dukungan Parkindo (yakni persentase jumlah suara Parkindo dibagi persentase
orang Batak Tapanuli Utara di suatu kecamatan) dihitung untuk enarn kecamatan di
Simalungun yang sebagian besar pcnduduknya adalah orang Batak Tapanuli
Utara. Rasio ini kemudian dibandingkan dengan persentase tanah yang dapat
digarap d i b a w a h . k o n s e s i p e r k e b u n a n d i t i a p k e c a m a t a n . — d u a kecamatan
dengan persentase tanah perkebunan yang rendah dan rasio dukungan yang tinggi,
dua kecamatan dengan persentase tanah perkebunan yang tinggi dan rasio dukungan
yang rendah, dan dua kecamatan berada di antara kedua skala itu What Gambar 1) --
dengan jelas menunjukkan hubungan terbalik antara dua variabel. De ngan kata lain, di
desa-desa di mana banyak orang Batak Tapanuli Utara menjadi pemukim liar, jumlah
suara untuk Parkindo cenderung sedikit. Sebaliknya, di daerah-daerah di mana hak atas
tanah tidak menjadi masalah, jumlah suara untuk Parkindo lebih besar. Jumlah suara
Tapanuli Utara yang bukan untuk Parkindo di kecamatan kecamatan perkebunan
hanya dapat diberikan kepada PNI atau PKI, yakni karena satu satunya -

partai lain dengan dukungan yang lumayan


Gambar 1. "Rasio Dukungan Parkindo" di enam kecamatan yang penduduknya kebanyakan
orang Batak Tapanuli Utara, dibandingkan dengan luas tanah perkebunan dalam ukuran
hektar sebagai bagian clari seluruh tanah yang dapat digarap
Rasio dukungan Parkinda 100
Tanah perkebunan sebagai bagian dari seluruh tanah yang dapat
digarap
Sumber: Data pemilihan umum ini berasal dari Pernerintah Daerah Tingkat II Simalungun, Dafiar:
Perhitungan basil-basil pemungutan suara dalam daerah Kabupaten Simalungun/Pemilihan Anggota
Dewan Perwakilan Rakjat, 29 September 1955. Jumlah orang Batak Tapanuli Utara yang merupakan bagian
dart penduduk kecamatan ditaksir dari data wawancara dan Label tentang afiliasi agama, dalam
Pemerintahan Daerah Tingkat II Simalungun, Lapuran Taliun 1963, hal. 115. Rasio dukungan Parkindo:
Persentase jumlah suara Parkindo di kecamatan dibagi persentase orang Batak Tapanuli Utara di kaiangan
penduduk kecama tan. Luas tanah perkebunan dalam ukuran hektar sebagai persentase dari tanah yang dapat
digarap berasal dari Jawatan Agraria Kabupaten Simalungun, Dear: Nama2 perkebunan di Kabupaten
Simalungun (Pematangsiantar, 1963) dan The general agricultural condition of Simeloengoen
(Pematangsiantar: Gunseibu-Keizaibu. 2602 [1942]).
Kesukuan clan Organisasi PQM&
jumlahnya adalah Masyumi yang Islam. Karena itu, PNI dan PKI dapat
memenangkan suara di Tapanuli Utara serta membobol rin tangan loyalitas kesukuan
dan agama karena kepentingan pribadi sebagai pemukim liar lehih diutamakan
daripada identifikasi sebagai orang Batak Tapanuli Utara dan sebagai pemeluk
Protestan.
Bukti yang lebih langsung mengenai dukungan dwisuku yang diperoleh PNI dan
PKI barangkali dapat ditemukan dalam angka_ angka yang melukiskan afiliasi etnis
para pemimpin dan anggota par- tai. Menurut informasi yang diperoleh dari arsip
pemerintah ini, yang hampir pasti tidak lengkap, seluruh jumlah anggota PKI pada 1961
adalah 111 orang. 25 Dari seluruh jumlah itu, 75 adalah ()rang Jawa, 32 orang Batak
Tapanuli Utara, dan 4 ()rang Batak Simalungun. Data yang sebanding mengenai ranting-
ranting PNI yang jauh lcbih besar (mengaku beranggotakan 4.000 orang pada 1963)
tidak dapat diperoleh, meskipun hasil wawancara dengan sejumlah pemimpin partai
tingkat kecamatan dan tingkat desa menunjukkan bahwa pern bagian orang Tapanuli
Utara dan orang Jawa mendekati angka yang sama. Keanggotaan dalam berbagai
organisasi bawahan PNI dan PKI juga terbagi terutama di antara kelompok Jawa dan
Tapanuli Utara, persentase khususnya bervariasi (misalnya, orang Batak Tapanuli
Utara lebih banyak yang bergahung ke dalam perkumpulan rani daripada serikat•
buruh perkebunan). Di tingkat pimpinan, lebilt banyak orang Batak Tapanuli Utara
yang menjadi ketua ranting PNI, sementara dua pertiga ketua ranting PKI adalah orang
Jawa.
Data tentang etnisitas pemimpin organisasi bawahan PNI dan PKI di bawah tingkat
kabupaten sukar diperoleh karena dalam banyak hal organisasi-organisasi semacam itu
tidak mengurus ranting-ranting partai, dan karena daftar pemimpin tingkat desa tidak
dapat diperoleh di kantor partai atau kantor organisasi. Path umumnya pimpinan
serikat buruh adaIah orang Jawa, meskipun ada campuran orang
25. Jumlah anggota PKI yang kecil tidak mencerminkan gagalnya pengkaderan tetapi Iebih merupakan
kebijakan yang disengaja yang menekankan perkembangan organisasi tambahan daripada perkembangan
partai itu sendiri.
55
merata di semua kecamatan, terentang dari 35% sampai 26%, sementara 20%
suara untuk PKI terbagi secara tidak merata, terentang dari 34% sampai 14%.
Perbedaan ini, yang barangkali tents berlangsung tanpa perubahan berarti
sepanjang 1960-an, bukan disebabkan oleh keberhasilan PNI yang lebih besar
di lingkungan perkebunan (memang ada beberapa petunjuk bahwa PKI boleh
jadi lebih berhasil di sana27) melainkan oleh imbauan yang lebih luas di
seluruh Simalungun Bawah pada umumnya.
Satu alasan pasti untuk dukungan yang lebih besar dan lebih luas bagi PNI
adalah identifikasinya yang unik dcngan gerakan kebangsaan dan
perjuangan melawan Belanda. Partai ini mampu memperoleh banyak pengikut,
terlepas dari iming-iming materi yang ditawarkan, di kalangan mereka yang
bersimpati pada cita-cita revolusi. Meskipun satuan-satuan gerilya PKI juga
ikut berjuang dalam revolusi, partai ini tidak menempati kedudukan khusus
sebagai barisan pelopor gerakan kebangsaan yang pada umumnya ditempati oleh
PNI. Lagi pula, kadar nasionalisme PKI dipertanyakan sehubungan dcngan
keterlibatan partai tersebut dalam Peristiwa Madiun
Batak Tapanuli Utara (dari kalangan pcgawai administrasi • (ketika itu PKI
perkebunan, dan dalam serikat-serikat angkutan yang sebagian besar mengangkat senjata
anggotanya adalah orang Batak Tapanuli Utara). Pim pinan organisasi melawan
pemerintah
tani PNI dan PKI tingkat desa secara kasar terbagi sama di antara
nasionalis), suatu
anggota-anggota dua kelompok etnis itu.26 peristiwa yang
Meskipun kedua partai tampaknya sudah mendapat banyak du- diketahui secara luas
kungan dari para buruh dan pemukim Iiar yang terpancing oleh im- oleh mereka yang
bauan melalui iming-iming materi, PNI mendapatkan suara yang terlibat dalam
lebih bcsar dan lebih tersebar. Tiga puluh person dari seluruh jumlah revolusi.
suara yang diperoleh PNI di Simalungun Barat terbagi secara agak PNI juga
mewarisi sejumlah
dukungan yang
didasarkan pada
26. Sccara sambil lalu, dwisuku tidak hams berarti kerja sama antarsuku, khususnya
di antara penduduk desa. Di kalangan anggota PNI dan PKI, pcmisahan tempat tinggal
loyalitas ikatan etnis.
sepanjang garis keturunan berarti bahwa semua atau sebagian besar sel partai anggotanya Semasa revolusi
berasal dari kelompok tunggal. Untuk PNI pola ini diperkuat oleh pentingnya komunitas Jawa
dukungan berdasarkan suku dalam persaingan pimpinan di tingkat kecamatan yang berpengaruh
dan kabupaten. Para pemimpin partai yang ambisius masing-masing mempunyai
pemilih dari suku mereka sendiri-sendiri sebagai tempat mereka bergantung dalam telah mcndukung
pemungutan suara di rapat-rapat partai. Mereka banyak meluangkan waktu dan PNI, dan pada
tenaga untuk membina para pemili h itu. tahun-tahun
berikutnya orang
Jawa yang sudah
lama tinggal di
daerah itu telah menjadi orang terkemuka di dalam partai, baik di tingkat
kecamatan maupun kabupaten. Dengan demikian, dalam batas tertentu PNI
seperti menjadi partainya orang Jawa abangan. Sebaliknya, meskipun bersifat
Jawa sentris di tingkat nasional, PKI tidak banyak mempunyai
27. Persentase jumlah sdara PKI yang terhesar terdapat di kecamatan-kecamatan di mana
bagian tanah yang dapat digarap dengan kelonggaran yang diberikan oleh pihak perkebunan adalah
yang paling luas.

dukungan yang berbasis ikatan etnis di kalangan orang Jawa di daerah itu. Hal ini
sebagian besar disebabkan karena PKI tidak mempunyai pemimpin Jawa yang setaraf
dengan pemimpin Jawa yang dimiliki PNI.

1
Akhirnya, gabungan komunisme dan ateismc — tcma yang sering disinggung dalam
propaganda partai keagamaan (dan PNI) — sangat mengurangi daya tank PKI
(organisasi-organisasi hawahannya tidak) pada tahun-tahun bcrikutnya. Di antara
orang-orang yang bukan buruh dan bukan pula pemukim liar, yang dalam hal apa
pun daya tank PKI rendah sekali, cap ateisme membuat PKI bcrtambah mundur.
Meskipun sudah lama bcrusaha, partai kcagamaan tidak mampu menggunakan
senjatanya secara efektif melawan PNI. Di samping perbedaan strategi, rumitnya
struktur, dan basis dukungan, kedua jcnis partai itu sangat berbeda dalam tingkat
keterikatan partisan yang dirasakan oleh anggota dan pcndukung hiasa. Parkindo
dan Masyumi, yang di tingkat nasional menampilkan karaktcr multictnis, menjadi
sarana bagi aspirasi politik kclompok-kelompok etnis !ertentu. Pengaruh eratnya
kaitan agama dan kesukuan ini tercel-min dalam
meskipun kegiatan partai sangat sedikit — dukungan partisan yang sangat
bcrakar dalam dan tcrjalin crat tanpa da pat dihancurkan. Dcngan demikian, pelarangan
Masyumi pada 1961 tidak membawa peruhahan yang nyata dalam persekutuan
politik ()rang Islam Tapanuli Selatan. Scbaliknya, mayoritas pcndukung dan
pemimpin Masyumi sekadar menarik diri dari politik clan mcnunggu situasi yang
lebih balk untuk bangkit kembali. Di luar lingkungan perkebunan, penduduk
Tapanuli Utara tcrus mcnampik hujukan PKI dan PNI dan tetap sctia pada Parkindo
pada Pcmilihan Umum 1955. Mcnjclang 1964 PNI dan PKI tclah mendirikan cabang-
cahang organisasi bawahan di kota itu, tetapi tidak berhasil menarik banyak anggota.
Dukungan untuk PNI dan PKI jauh kurang bcrakar daripada
dukungan untuk Parkindo dan Masyumi, khususnya di antara

Simalungun Bawah Pematangsiantar Simalungun Atas


Partai % suara Partai % suara Partai % suara
PNI 30,1 Masyumi 38,3 KRSST 43,7
PKI 20,0 Parkindo 29,3 PNI 19,8
Masyumi 19,3 PNI 13,9 Parkindo 9,3
Parkindo 15,4 PKI 2,7 Masyumi 7,2
Lain-lain 15,3 Lain-lain 15,8 PKI 4,1
Lain-lain 15,9

58
anggota-anggota organisasi bawahan. Para pemimpin organisasi di tingkat yang paling
bawah sangat bcrorientasi pada dcsa masingmasing. Mereka berafiliasi dengan
serikat buruh atau organisasi tani PNI atau PKI untuk mengejar kepentingan-
kepentingan tertentu bagi desa mereka atau untuk meningkatkan pcngaruh mereka
sendiri di antara para pengikut mereka. Dengan demikian, badan pengairan setempat
mungkin raja menjadi cabang organisasi tani PNI atau PKI karena organisasi-
organisasi ini mempunyai pcngaruh terhadap pemerintah atau mcmberikan
perlindungan kepada orang-orang desa jika mereka memutuskan untuk memperluas
sawah mereka secara gelap sehingga merugikan perkcbunan yang ada di dekatnya.
Dengan cara yang sama, scorang buruh perkebunan yang berpengaruh akan bergabung
dengan serikat buruh PNI atau PKI guna memperolch sumber daya politik yang
diperlukan untuk mengajukan bcrmacammacam tuntutan kcpada pengclola
perkcbunan dan sekaligus untuk memperkuat kckuasaannya sendiri dengan cara
memenuhi keinginan para pcngikutnya. Jika partai tidak bisa memenuhi tuntutan
mereka, pemimpin-pemimpin ini agaknya akan mencari dukungan di tempat lain. Saya
sendiri menjumpai sebuah contoh yang sangat elcstrem. Seorang pemimpin Tanah
Jawa setempat, yang mempunyai cukup banyak pengikut di kalangan pekerja
perusahaan angkutan, sudah keluar masuk serikat buruh PSI, Masyumi, dan PKI
sebelum is bergabung dengan PNI pada 1964.,
Sadar akan tipisnya kesetiaan para pemimpin tingkat desa dan pengikut mereka,
kedua partai mcmberikan perhatian yang besar pada indoktrinasi ideologi serta
penempatan sejumlah aktivis reguler partai pada jabatan-jabatan kunci di dewan-
dewan pimpinan setempat. Namun, upaya ini tidak banyak membuahkan hasil
scbagaimana yang tcrlihat dengan sangat jclas dalam sejarah serikat-serikat buruh di
daerah itu.
Antara 1961-1964 jumlah anggota serikat buruh perkebunan PNI merosot dari
11.000 orang menjadi 4.000 orang lebih sedikit. Sebab kemcrosotan ini hams
dilihat dalam munculnya organisasi buruh
barn pada 1962, yakni SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia), sebuah
"serikat perusahaan" yang di Sumatra Timur dipimpin oleh pengelola perkebunan
dan para pensiunan perwira Angkatan Darat. Organisasi ini tidak bcrafiliasi dengan
partai politik mana pun. Paling tidak sebagian melalui kebijakan seperti pemberian hadiah
berupa sandang dan barang kebutuhan lainnya kepada pemimpin dan anggota yang
potensial, dan ancaman yang tidak Una' kompromi untuk pemindahan ke tugas-
tugas yang kurang menarik, dalam waktu singkat SOKSI berhasil menjadi salah satu
organisasi buruh terbesar di Simalungun. Organisasi ini mengaku mempunyai lebih
dari 11.000 anggota pada awal 1964. Meskipun angka-angka keanggotaan SOBSI
(Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) milik PKI tidak menunjukkan
kemerosotan seperti yang dialami serikat buruh PNI, dari sejumlah pembicaraan
dengan beberapa pemimpin serikat buruh dari semua aliran dan setelah mengunjungi
sendiri beberapa perkebunan (untuk tidak menyebutkan sengitnya propaganda SOBSI
yang • anti-SOKSI) saya mcmperoleh kesan bahwa jumlah anggotanya yang hilang
paling tidak sama besarnya.28 Dukungan pemukim liar untuk kedua partai sama
lemahnya, meskipun sampai 1964 tidak ada krisis yang mendramatisir situasi itu.
P em at angs i ant gu-
Di Simalungun, dukungan massa yang diperoleh partai-partai melalui iming-iming
keuntungan ekonomi mencenninkan dampak ekonomi perkebunan yang telah
menciptakan sejumlah besar buruh dan pemukim liar bcrikut keluhan-keluhan khusus
tentang ekonomi. Tambahan lagi, keluhan-keluhan ini memperoieh bentuk dan pe-
ngejawantahannya melalui bermacam-macam organisasi bawahan —

28. Para pemimpin SOBSI Simalungun menjelaskan bahwa jumlah anggota mereka pada 1964
(yang diakui hcrjumlah 45.000 orang) kira-kira sama dengan jumlah anggota pada 1963. yang dapat
memberikan bantuan nyata melalui tindakan kolektif — seperti yang diciptakan PNI
dan PKI.
Di Pematangsiantar tidak ada buruh perkebunan dan pemukim liar atau yang
segolongan dengan mereka. Perdagangan kecil-kecilan merupakan mata pencaharian
utama, dan budaya para pedagang bersifat individualistis, kompetitif, dan mencurigai
kegiatan politik yang terorganisasi sebagai alat untuk mencapai tujuan ekonomi.
Menurut pandangan setempat, tujuan utama organisasi dagang (yang biasanya didirikan
dengan persetujuan dari atas) lebih bersifat mengawasi dan membatasi daripada
meningkatkan harkat hidup seseorang. Keamanan kolektif dan bantuan
perorangan tidak herasal dan organisasi pedagang — yang, baik secara kelompok
maupun secara perorangan tidak dipercaya — melainkan dari saudara kandung dan
(dalam Iingkup yang lebih sempit) dan ternan-teman seagama, baik Kristen maupun
Islam.
Bahkan segmen buruh dari penduduk Pematangsiantar, khususnya yang bekerja di
industri swasta, sangat sukar diorganisasikan. Sedikit sekali pabrik yang berukuran
cukup besar di kota itu, dan kebanyakan hanya mempunyai lima puluh orang
pekerja atau kurang dari jumlah itu. Untuk mendirikan serikat buruh dari basis yang ter-
pecah-pccah seperti itu diperlukan usaha intensif yang, mcskipun berhasil, hasilnya
akan terbatas, terutama karena kesetiaan anggota pada serikat buruh sclaIu berubah-
ubah. Di samping itu, bebebera industri tertentu menampilkan masalah khusus. Industri
tekstil, misalnya, dikuasai oleh orang Batak Tapanuli Utara yang cenderung
mcmpckerjakan orang-orang dari garis keturunan mereka sendiri atau yang masih ada
hubungan keluarga. Didirikannya serikat buruh, yang didasarkan pada gagasan tentang
perbedaan kepentingan antara buruh dan majikan, tidak akan mampu menjangkau
para pekerja pabrik tekstil yang berorientasi keluarga
Dalam lingkungan ini, tidak ada perkembangan organisasi politik dengan pola bagi-
dua untuk satu tipe partai yang berbasiskan loyalitas primordial seperti di
Simalungun, dengan organisasinya
Panisipasi dan Partai PolitikKesukuan dan Organisasi Politik

yang lemah tctapi dukungan massanya kuat; dan untuk tipe lainnya yang berbasiskan
kepentingan ekonomi, bersifat multietnis, dan organisasinya rumit tetapi dukungan
massanya kecil. Berbeda dcngan kedua tipe tersebut, di sini, unsur utama — nyaris
merupakan satusatunya faktor — berhasilnya usaha menghimpun partisan adalah
loyalitas kesukuan-keagamaan atau sekadar loyalitas kesukuan saja. Hasilnya adalah
suatu tipe partai tunggal yang dapat disamakan dengan "partai kader" yang bersifat
primordial seperti di Simalungun Bawah.
Partai-partai yang paling berhasil pada 1955 adalah Masyumi (38%) dan Parkindo
(29%). Kedua partai itu pada dasarnya mcmakai strategi yang sama seperti di
Simalungun Bawah, yakni dengan bekerja melalui pemuka agama setempat atau
orang-orang yang dekat hubungannya dcngan mereka, merumuskan daya tank partai
sebagian besar dalam perngertian agama dan bukan kesukuan, dan tidak terlalu
memcntingkan kepaduan atau efisiensi organisasi. Keberhasilan kedua partai juga
didasarkan pada identifikasi partai dengan komunitas etnis clan agama yang
bersangkutan.
Parkindo terkait erat dengan kelompok etnis utama yang bcragama Protestan, yakni
orang Batak Tapanuli Utara yang mcnguasai scmua kepemimpinan partai di tingkat
kola — termasuk empat orang wakilnya di DPRD kota madya dan 85%
kepcmimpinan di tingkat kecamatan. Para pemimpin ini terutama berasal dari
lapisan pedagang dan pegawai negeri, dan scbagian besar dari mereka adalah pendeta-
pendeta biasa di gercja terbesar di Tapanuli Utara, yakni HKBP (Huria Kristen Batak
Protestan). Satu dari dua minoritas ctnis kecil Protestan di kota itu, yakni Batak Karo,
mendukung Parkindo dalam Pemilihan Umum 1955, tctapi sejak itu kchilangan
wakil mereka di dcwan pimpinan tingkat kota madya. Orang Batak Simalungun
scjak dad awalnya kurang berminat tcrhadap Parkindo dan tidak aktif dalam partai
itu di tingkat kota madya maupun kecamatan.
Orang Batak Tapanuli Selatan yang menjadi pemilih, anggota, dan
pimpinan Masyumi lebih banyak jumlahnya daripada di Simalungun Bawah. Bagi para
pcmilih, Masyumi adalah partai tcrkuat di daerahdaerah pemilihan yang banyak
penduduk Tapanuli Selatannya. Masyumi juga mendapat suara dari orang Jawa.29
Para pengurus Masyumi tingkat kota dan wakil-wakilnya di DPRD kota madya terdiri
dari orang-orang Batak Tapanuli Selatan, begitu pula halnya dengan para pemimpin
di tingkat kecamatan. Dengan sedikit kekecualian, orang-orang ini dirckrut dad
dua organisasi sosial dan pendidikan Islam yang terbesar di kota itu, yakni
Muhammadiyah dan Aljamiayatul Wasliyah.
Dominasi yang nyaris mutlak orang Batak Tapanuli Selatan di dalam Masyumi
menjadi scbab didirikannya cabang NU (Nandatul Ulama) di Pematangsiantar. NU
adalah pesaing utama Masyumi di tingkat nasional dalam mencari dukungan dari
penduduk Indonesia yang beragama Islam. Dalam politik nasional NU mewakili
unsur Islam-Jawa yang lebih sinkretis, konservatif, dan tinggal di peclesaan. Sebaliknya,
Masyumi adalah partai Islam pembaru, sangat kuat di daerah perkotaan, di
kalangan pedagang, dan di luar Jawa. Perbedaan-perbcdaan ini Iuruh, rneskipun
tidak hilang seluruhnya, oleh kesukuan. Dad sejak awalnya, yakni pada
1953, bidang garapan khusus NU adalah dua minoritas yang merasa tidak puas,
yakni orang Batak Simalungun dan penduduk Islam Melayu Pantai. Merasa
bermusuhan dengan Masyumi karena tidak mampu memperolch jabatan tinggi
atau pengaruh di dalamnya, para pemimpin dari dua kelompok ini memilih untuk
mendirikan sebuah cabang partai yang dapat mereka kendalikan, paling
29. Perbedaan antara persentase penduduk Ratak Tapanuli Selatan (20%) dan persentase jumlah suara
Masyumi (38%) bukanlah karena imbauan partai di luar masyarakat Tapanuli Selatan, melainkan
karena perbedaan dalam komposisi Pemilihan Umum 1955 dan komposisi penduduk pada 1961.
Menjelang 1961 batas kota telah diperluas dengan memasukkan sejumlah besar daerah yang dihuni orang
Batak Tapanuli Utara dan Batak Simalungun yang dulunya termasuk wilayah Si mai ungun
Bawah.
Partisipasi dan Partai Politik

tidak di daerah itu.30 Akan tetapi, karena jutUlah pemilihnya tidak banyak, NU tidak
pernah berpengaruh.
Partai-partai primordial mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang sangat membatasi efektivitas daya tank partisan yang tersusun secara
balk dalam rumusan ideologi sekular maupun kepentingan pragmatic. Partai yang
paling teguh sikap nonprimordialnya, dan karenanya sangat tidak berhasil, adalah
PKI. Strategi PKI mengikuti pola di Simalungun Bawah seperti yang sudah
digambarkan di muka, dengan tekanan khusus pada pengcmbangan serikat buruh
dan organisasi pemuda. Karena diakui keunggulannya dalam gerakan kaum buruh
(seperti juga pada akhir 1940-an) dan militansi para anggota mudanya, PKI
menampilkan kesan sebagai partai yang sangat kuat di kota madya itu. Akan tetapi,
kesan tersebut bersifat dangkal karena dalam kenyataannya PKI tidak mampu mengubah
anggota serikat buruh dan spanduk yang pro vokatif menjadi dukungan massa. Pada
1955 PKI hanya mem-peroleh 445 suara (kurang dari 3%) dan tidak ada banyak
indikasi ten- tang meningkatnya kekuatan partai ini pada tahun-tahun berikutnya.
PNI, yang memperoleh 14% suara pada 1955 (yang menjadikannya sebagai partai
terbesar ketiga), jauh lebih berhasil daripada PKI. Keberhasilan ini, dalam anti yang luas,
adalah bcrkat keluwesan dan kemampuan PNI dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungan setempat. Akan tetapi, yang lebih penting adalah kemampuan partai ter -
sebut — sebanding dengan kemarg ipuan Parkindo dan Masyumi — dalam
memonopoli dukungan kelompok etnis tertentu, yakni kelom-
30. Faktor lain yang cukup penting adalah dekatnya hubungan pimpinan NU yang belakangan
dengan raja-raja di beberapa kerajaan Simalungun dan kesultanan Melayu Pantai pada masa sebelum
perang. Beberapa organisasi Islam pembaru, khususnya Muhammadiyah, menentang keras sistem politik
tradisional yang mereka anggap terlalu terikat pada adat dan tidak tanggap terhadap perubahan sosial
abad ke-20. Rasa permusuhan ini diperuncing selama revolusi, ketika pihak elite tradisional
menentang orang-orang Islam pembaru yang mendtAung kemerdekaan. Lihat HAMKA (Haji Abdul
Malik Karim Amrullah), Kenang -an Hidup (Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1966).
pok etnis Jawa. Selain adanya dukungan yang sifatnya monopolistik ini, partai dan
struktur organisasinya terartikulasikan secara lemah, dan kadar keterikatan para
partisan bcrkaitan crat dengan pola yang tclah kita gambarkan sebagai ciri tipe partai
keagamaan-kesukuan.
Gambaran massa PNI di daerah ini sangat menyerupai apa yang ada di
Simalungun Bawah. Partai ini mclepaskan diri dari daya pikat primordial dan mengaku
scbagai partai orang Indonesia kebanyakan, tanpa memandang asal usul suku.
Propaganda partai — dan tentu saja komitmen pribadi ketua cabang dan beberapa
pemimpin lainnya — menyuarakan perhatian pimpinan pusat partai pada
nasionalisme sekular scbagai kckuatan pemersatu, dan kaum tani serta buruh
sebagai soko guru revolusi dan masyarakat adil makmur yang akan datang.
Sampai haws tertentu dukungan massa yang sebenarnya diperoleh PNI adalah
sejalan dcngan citra nonprimordial yang dipilih partai ini. Lebih dari partai lain
mana pun yang berhasil di dacrah itu, PNI memiliki pimpinan dan keanggotaan yang
multictnis, yang berasal terutama dari kelompok Jawa dan Batak Tapanuli Selatan, tetapi
juga mencakup wakil masyarakat-masyarakat yang lebih kecil lainnya. Keragaman ini
disebabkan olch beberapa unsur seperti yang juga berlaku di Simalungun Bawah.
Pertama, dalam anggapan umum, PNI adalah partai nasionalisme-revolusioner yang
unggul dan karenanya menarik dukungan dari unsur-unsur militan semua kelompok
etnis. Oleh banyak pihak PNI juga dipandang sebagai partai kelompok yang
berkuasa, dan khususnya pada awal 1950-an mendapat dukungan dari banyak pegawai
negeri dan kelompok profesiona1. 31 Ketiga, PNI memperoleh dukungan dari orang-
orang Islam dan Kristen yang
31. Mengingat kedudukan PNI di Jawa Tengah sebagai partai kaum birokrat dan, pada umumnya, elite
profesional, haruslah dinyatakan bahwa di Pematangsiantar tipe elite yang tertarik pada PNI tidak pemah
mempunyai suara yang menentukan di dalam partai dan belakangan menjadi makin tidak setia pada PNI.
Pimpinan kota madya (dan kabupaten) yang dominan dari 1940-an sampai 1960-an adalah para
politikus profesional. Pegawai negeri, dokter, dan kelompok yang berpendidikan tinggi tidak pemah
merasa betah di dalam partai, meskipun banyak yang tetap mempertahankan keanggotaan nominalnya.
menentang perembesan pengaruh pimpinan agama ke dalam semua aspek kehidupan
sosial — suatu langkah yang dapat mengarah pada pemboikotan kegiatan masyarakat
— tetapi tidak mau berpaling ke PKI yang atcis. Akhirnya, para pemimpin PNI
adalah kaum oportunis somata-mata, yakni tidak memiliki keyakinan polilik yang
teguh dan memilih mcmba-ngun karicr (atau sekadar mendapatkan pengaruh di
pemerintahan kota) dengan hergabung ke dalam organisasi yang di tingkat nasional
dan regional kuat, namun lemah dan dapat dikendalikan di daerah pcmilihan mereka
sendiri.
Meskipun sifat multietnisnya tidak diragukan lagi, PNI sangat tergantung pada
loyalitas komunitas Jawa untuk dukungan massanya. Pada 1955 satu-satunya daerah
pcmilihan PNI yang kuat adalah Ban- tan yang dihuni oleh komunitas Jawa.
Penduduk Jawa yang hermukim di daerah yang berdckatan dengan Mclayu dan
Timbang Galung Balu juga memilih PM. Dengan membuat pengandaian yang agak
lcmah mengenai penduduk Pematangsiantar pada waktu pemilihan umum dan
persentase pemilih PNI di dacrah-daerah Jawa serta perkiraan dari angka-angka
pemilihan umum, adalah mungkin untuk menyimpulkan bahwa para pcmilih Jawa
barangkali mencapai sekitar 1.000 dari 2.310 suara untuk PNI, dengan sisa suara
secara kasar terbagi rata (berkaitan dengan proporsi penduduk) di antara semua
kelompok etnis lainnya.32 Pada awal 1960-an hampir separo anggota PNI adalah orang
Jawa, diikuti oleh orang Batak Tapanuli Utara (27%), dan orang Batak Tapanuli
Selatan (sekitar 15%). Angka-angka ini semuanya lebih mencolok bila di ingat bahwa
orang Jawa hanya merupakan minoritas kecil di kota madya itu, sedangkan di
Simalungun Bawah orang Jawa adalah kelompok terhesar.
32. Sebanyak 15.605 suara yang diberikan dalam Pemilihan Unium 1955 mewakili sepertiga dari
seluruh penduduk Pematangsiantar yang berjumlah sekitar 50.000 orang. Dengan asumsi bahwa proporsi
pemilih terhadap penduduk cukup ajeg dari daerah pemilihan yang satu ke daerah pemilihan yang lain,
secara kasar ada 1.000-1.500 pemilih di daerah pemilihan utama orang Jawa, yaitu Bantan. Karena
Di samping mencerminkart heberapa unsur seperti yang digambarkan di atas,
dukungan orang Jawa pada PNI herakar sangat kuat dalam arti bahwa partai itu paling
mencerminkan berbagai kepentingan masyarakat Jawa. Dalam pandangan penduduk
setempat PNI bukan hanya partai Sukarno tetapi juga partai para pcmuka
komunitas Jawa — seperti para guru, camas, bckas pernimpin gerilya — di
Pematangsiantar sendiri, di semua kecamatan, dan di Kabupaten Simalungun
secara keseluruhan. Dalam mendukung PNI, komunitas Jawa menyatakan
solidaritasnya dcngan anggota anggotanya yang paling terhormat. Satu-satunya
lawan politik PM yang sama-sama memperebutkan suara dari kelompok etnis Jawa
adalah PKI. Namun PKI tidak memiliki pribadi-pribadi yang berkualitas setaraf
dan dcngan demikian tidak mampu bersaing dalam memperoleh dukungan massa.
PNI di Pematangsiantar berbeda dengan padanannya di Simalung un Bawah tidak
hanya dalam hal derajat dukungan anggota yang terkait dengan suku, tetapi juga
dalam hal pengembangan struktur dan pemilihan prioritas strategi. Partai ini tidak
memiliki kantor, tidak melakukan pencarian anggota, dan tidak mempunyai aktivis
yang digaji. Di tingkat kecamatan kegiatan PNI melempem dan jarang melakukan
komunikasi dengan pemimpin di kota madya. Pada 1964 serikat bbruh PNI
mengalami kemerosotan, pimpinannya kehilangan gairah dan tidak aktif, dan
jumlah anggota kurang dari 300 orang. Sebagian bcsar cabang lain sama saja lemahnya
dan tidak tcrorga nisasi.
Pola kelernahan dan tidak aktifnya organisasi ini merupakan akibat Iangsung
dari dukungan kuat terhadap PM di kalangan orang
hanya 60% suara di Bantan yang masuk ke PNI, berarti sekitar 600-900 suara PNI berasal dari daerah
pemilihan itu. Ditambah dengan 200 sekian lagi suara dari orangorang lawn di daerah pemilihan lain, kita
sampai pada angka 800-1.100, atau sepertiga sampai separo dari seluruh suara yang diraih PNI.
Perkiraan tersebut sangat tidak dapat dipercaya dan disajikan di sini hanya sebagai petunjuk tentang
etnisitas para pemilih PNI di Bantan.
Jawa dan tcrbatasnya kemampuan dalam mengatasi sikap permusuhan dari para
pedagang dan pegawai negeri Batak Tapanuli Utara dan Batak Tapanuli Sela tan
terhadap organisasi politik yang tidak didominasi oleh anggota masyarakat mereka
dan yang tidak memiliki motivasi untuk melindungi kepentingan masyarakat
mereka. Kendatipun sadar bahwa batas nyata pemilih mereka yang potensial hanya
berada di dalam komunitas Jawa, para pemimpin PNI tidak berusaha
mengembangkan organisasi bawahan atau membuat usaha yang terencana untuk
menghimpun pemilih dari orangorang non-Jawa. Sebaliknya, mereka mencurahkan
sebagian besar perhalian ke luar pada pemerintah kota dan ke atas pada pengaruh di
dalam organisasi partai tingkat propinsi. Dengan demikian, lingkungan sosiat budaya
Pematangsiantar membentuk sebuah PNI yang dalam pengertian ciri-ciri strategi,
organisasi, dan dukungannya lebih mirip dengan partai-partai agama seperti
Parkindo dan Masyumi. Tentu saja tidak ada jalan lain menuju sukses.
Simalungun At as
Dalam cara yang sama, perkembangan politik di Simalungun Atas juga dipengaruhi
oleh karakteristik tempat yang berbeda-beda, termasuk homogenitas dan kesadaran
etnis, adanya elite tradisional yang bcrkuasa, dan pola perubahan sosial yang lebih
lambat serta kurang merasuk. Seperti halnya dengan kelompok pendatang di
daerah lain, kesamaan bahasa, budaya, dan kekerabatan di kalangan orang Batak
Simalungun menjadi basis kesadaran bail] rasa kesukuan yang mendalam pada
dasawarsa-dasawarsa awal abad ke-20. Pada masa scsudah kemerdekaan, loyalitas
etnis — yang menjadi rumit hanya karena adanya dukungan atau perlawanan terhadap
pimpinan politik bangsawan tradisional telah menjadi unsur penentu kcberhasilan
menghimpun partisan di daerah itu. Perpecahan agama (di kalangan orang Kristen,
animis, dan Islam) tidak terlalu berperan, dan pembagian sosial-ekonomi (dalam
ketiadaan perubahan ekonomi
68 yang luas) tidak berakibat apa-apa.
Akibat gabungan dari variabel-variabel ini, dalam persaingan partisan yang terbuka
sebagaimana yang berlaku di Indonesia pada awal 1950-an, terciptalah sistcm satu
partai yang dominan. Partai utama dalam sistem ini' adalah KRSST (Kebangunan
Rakyat Simalungun Sumatra Timur), yang memperoleh 44% suara dalam
Pemilihan Umum 1955. KRSST adalah sebuah contoh tipc "partai kader" yang
bercorak primordial, yang (seperti padanannya di Simalungun Bawah dan
Pematangsiantar) juga mempunyai basis massa yang berorientasi kesukuan dan kegiatan
organisasinya sangat rendah. Sebagai partai yang lebih bersifat lokal daripada
nasional, dengan komitmen yang tegas untuk melindungi kepentingan suku dan
tergantung pada pimpinan bangsawan tradisional dalam menghimpun dukungan
massa, KRSST mcrupakan variasi ekstrem dari tipe ini.
KRSST didirikan dekat sebelum kampanye Pemilihan Umum 1954-1955 oleh
sebuah kelompok kecil yang sebagian besar tcrdiri dari bekas pcnguasa tradisional
dan keluarga dekat mereka. Tujuan organisasi ini adalah memberikan alternatif yang
berorientasi etnis terhadap partai-partai nasional yang pura-pura bersikap nonetnis.
Dalam pandangan para pendirinya, KRSST bukanlah sebuah partai dalam artian
scbuah organisasi dengan banyak tujuan, mempunyai anggaran dasar; hierarki
cabang, dan pimpinan yang dipilih. Mclainkan, KRSST adalah sebuah partai
"kaukus" dalam artian yang malah lebih luas dari Parkindo dan Masyumi, tanpa
pcngorganisasian yang lebih rumit sebagaimana yang disyaratkan untuk melak-
sanakan kampanyc pemilihan umum — di antara penduduk yang semata-mata
perlu disadarkan akan eksistensi partai agar mcmilih partai itu.
Scbagian besar aktivis KRSST adalah orang-orang Protestan (kebanyakan
orang Batak Simalungun yang berpendidikan dan terampil berorganisasi adalah
orang-orang Protestan), tetapi kelompok animis dan Islam juga terwakili. Dalam
KRSST, afiliasi agama seseorang tidak dipersoalkan. Mereka yang mcndukung dan
bekerja
untuk partai bermotifkan eita-vita persatuan etnis dan rasa hormat
terhadap bangsawan tradisional sebagai pimpinan formal masyarakat.
Meskipun meraih banyak dukungan dari beberapa kecamatan, suara yang
diperoleh KRSST tidak cukup untuk mendapatkan kursi di parlemen nasional
(atau di DPRD propinsi yang diusulkan sekalipun). Segera sesudah pemilihan urn
urn, partai itu mulai terasa mubazir. Para pemimpinnya sadar bahwa, paling tidak
untuk kelompok sekecil Batak Simalungun, organisasi politik yang berdasarkan
kesukuan semata-mata tidak akan membuahkan apa-apa dalam politik Indonesia
pascakemerdekaan. Karena tidak mau mengikuti. kehidupan politik berdasarkan
basis lain, mereka berpaling kepada pencarian-pencarian prihadi. Pada 1961, lama
setelah tidak lagi memainkan peranan yang berarti, KRSST dilarang berdasarkan
ketetapan Presiden (No. 7/1959) yang menyederhanakan sistem kepartaian.
Sejak mntuhnya KRSST telah ada dua usaha untuk membangun organisasi politik
atau organisasi politik semu sebagai penggantinya. Kedua organisasi itu dibentuk
dalam keadaan istimewa, yakni ketika terjadi pemberontakan Angkatan Darat di
Sumatra Utara pada 19561957 yang dipimpin oleh Kolonel Simbolon, seorang Batak
Tapanuli Utara. Akibat pemberontakan itu adalah terns mcningkatnya rasa tidak
aman di daerah pedesaan. Kedua organisasi tersebut, yakni Rondahaim (diambil
dari nama bckas seorang raja) dan Bapost (Badan Penuntut Otonomi Sumatra
Timur), dibentuk untuk tujuantujuan khusus jangka pendek. Rondahaim, dengan
jaringan organisasi desa yang agak rumit di beberapa kecamatan, dirancang untuk
memberikan rasa aman kepada orang-orang desa yang dihantui oleh kegiatan dan
serangan pembcrontak dari Tapanuli Utara yang ditakuti itu. Rondahaim juga turut
ambil bagian dalam berhagai proyek pembangunan, misalnya pembuatan jalan
dan gedung sekolah. Para pemimpinnya, seperti juga pemimpin KRSST, dekat
dengan bangsawan tradisional. Tujuan Bapost adalah meningkatkan pemisahan
administratif Sumatra Timur dari Tapanuli, dengan harapan bahwa orang
Batak Tapanuli Sclatan (dart penduduk Sumatra Timur asli lainnya) dapat menjadi
tuan pcnguasa di dacrah mereka sendiri bila dacrah itu lebih kecil. Basis pimpinan
Bapost — yang mcliputi kaum tradisionalis, Kristen, Islam, bckas kaum
revolusioner, dan juga orang Batak Karo dan Melayu Pantai lebih luas daripada
basis pimpinan Rondahaim, namun tidak terorganisasi secara rapi, bahkan di tingkat
kecamatan, di mana tidak banyak orang yang aktif sebagai propagandis gagasan
otonomi Sumatra Timur. Baik Rondahaim maupun Bapost, yang tidak panjang
umurnya itu, tidak lagi mampu mempertahankan kondisi yang menopang
keberadaan masing-masing. Pada 1964, ketika wewenang pemerintah pusat ditegakkan
lagi di Simalungun Atas dan orang Batak Simalungun menduduki posisi yang penting
dalam politik dan pemerintahan di kabupaten dan, lebih terbatas lagi, di propinsi,
tidak ada lagi organisasi yang mcwakili, atau menarik, kelompok besar bckas pen-
dukung KRSST.
Partai nasional yang paling berhasil adalah PNI; dengan 20% suara. Akan
tetapi, PNI di Simalungun Atas sangat berbeda dengan PNI di Simalungun Bawah
atau malah Pematangsiantar. Pertama, tentu saja, PNI Simalungun Atas didukung
oleh sebagian besar orang Batak Simalungun. Menurut data 1963, dua pertiga dari para
pemimpin ranting PNI adalah orang-orang Batak Simalungun, demikian pula
halnya dengan para anggota dan pemilih partai itu.
Kcdua, kebanyakan pemimpin PNI adalah para aktivis Revolusi Sosial yang paling
berperan dalam pembunuhan kaum bangsawan pada 1946. Mereka adalah generasi
1930-an, yakni orang-orang yang cukup berpendidikan dan bersikap terbuka terhadap
dunia luar demi hasrat yang berkobar-korbar untuk peruhahan bagi diri dan
masyarakat mereka, sayang kesempatan untuk melaksanakannya sedikit sekali.
Mereka memandang pemimpin tradisional — kaum bangsawan pada masa kolonial
dan para aktivis KRSST pada 19541955 — scbagai "feodal", pereaya pada
perhedaan derajat, suka menindas, dan tidak mampu memimpin kelompok etnis di
alam Indonesia merdeka yang modern. Meskipun dalam banyak hal — mecakup
latar belakang sosial, nilai, aspirasi pribadi orang Batak Simalungun yang menjadi
pemimpin PNI berbeda dengan pemimpin KRSST, mereka sama-sama ingin memajukan
etnis mereka dalam bersaing dengan kelompok penduduk lainnya di Simalungun. Hal ini
tampak jelas dalam kesadaran mereka bahwa (kalau mereka harus muncul di dalam
partai di tingkat kabupaten atau tingkat yang lebih tinggi) mereka mernbutuhkan
dukungan kuat dari anggota-anggota masyarakat etnis mereka. Akan tetapi, mengingat
adanya keadaankeadaan khusus di daerah itu, keinginan mereka untuk menjadikan PNI
sebagai partai yang unggul di kalangan orang Batak Simalungun terha I a rig.
Ditilik dari segi organisasi, PM di Simalungun Atas kWh menyerupai
Parkindo, Masyumi, dan bahican KRSST daripada cabangnya sendiri di Simalungun
Bawah. Partai ini tidak mcmiliki aktivis scjati yang bersedia "mcncurahkan seluruh
waktu dan tenaga" untuk membina organisasi. Cabang organisasi bawahan pun sedikit
jumlahnya, dan tidak ada usaha intensif atau torus menerus untuk mengembangkan
dukungan massa. Sebagian besar perbedaan ini berkaitan dengan terbatasnya mutu
basis partai di daerah itu. Karena pimpinan PNI dikenal sebagai orang-orang militan
semasa Revolusi Sosial, partai ini tidak dapat mengharapkan dukungan dari kelompok
besar Batak Simalungun yang mempunyai hubungan kekcrabatan atau hubungan lain
dengan anggota-anggota bangsawan tradisional, atau dari mereka yang sekadar
mempertahankan rasa hormat kepada para bangsawan itu karena kenangan mereka
akan ketertiban masyarakat tradisional. Namun, PNI memperoleh dukungan kuat dari
orang-orang yang dikucilkan dari tatanan masyarakat lama — haik mereka yang
terlibat langsung di dalam atau sekadar menyelujui peristiwa-peristiwa dalam
Revolusi Sosial — suatu dukungan yang tidak perlu ditopang dengan usaha-usaha
keorganisasian lebih lanjut.
Ada sedikit hal yang dapat diceritakan mengenai partai-partai lainnya. Parkindo,
yang menjadi pemenang ketiga dalam pemilihan umum, terhambat oleh sikap
anti-Tapanuli Utara sebagian besar orang Protestan Batak Simalungun dan
idcntifikasi hahwa partai itu dikuasai oleh orang-orang Batak Tapanuli Utara.
Meskipun banyak pendeta Protestan menyatakan bersimpati kepada cita-cita
nasional Parkindo, dukungan mereka kurang talus. Sebenarnya, banyak di an tara
mereka yang secara diam-diam atau terus terang mendukung KRSST. Meskipun
penduduk yang beragama Protestan mencapai lebih dari 50%, suara untuk
Parkindo di seluruh daerah itu kurang dari 10%. Pada 1963-1964 ranting-ranting
Parkindo bcrada dalam keadaan yang paling lemah dan tidak terorganisasi. Di
empat dad tujuh kecamatan, organisasi partai adalah kerja salt' orang, tanpa
dewan partai dan tidak ada kegiatan balk di tingkat desa maupun kecamatan.
Dukungan dari pemilih Islam, yang secara kesukuan campur aduk sifatnya di dua
kecamatan, membuat Masyumi menjadi partai terbesar keempat pada 1955 (7%
suara). Karena penduduk yang beragama Islam sedikit jumlahnya, Masyumi dan
NU tidak berkampanye secara luas dan tidak satu partai pun dari kedua partai itu yang
aktif di sana pada 1964.
Akhirnya, dari keempat partai nasional itu, yang paling lemah adalah PKI, hanya
mcmperoleh 4% suara. Kesulitan- kesulitan yang dihadapi PKI di tempat itu serupa
dengan kesulitan yang dialaminya di Pematangsiantar. Partai ini tidak mampu
mengatasi oposisi yang didasarkan pada loyalitas keagamaan dan persatuan etnis.
Memang, pada dasarnya PICT menentang kedua loyalitas tersebut. Pada tahun tahun
berikutnya PKI mencruskan strateginya yang hampir seluruhnya mengandalkan
dukungan para buruh dan pemukim liar. Namun strategi itu tidak dapat dilaksanakan
karena Simalungun Atas secara umum bukanlah daerah perkehunan. Di samping itu,
PICT menolak untuk mendukung atau memberi izin seorang pimpinan (orang
Batak Simalungun) PIC1 tingkat kabupaten untuk mendukung — gerakan menuju
otonomi Sumatra Timur, dan tidak sungguh-sungguh berusaha mengorganisasikan
kecamatan-kecamatan. Tanpa akar yang sebanding dengan akar PNI di daerah itu
sebagai penyuara kepentingan dan aspirasi bekas kaum militan revolusi, sebenarnya
PKI telah mencoret orang-orang Batak Simalungun dari daftar. Pada awal 1960-an
partai ini hanya mempunyai satu organisasi tingkat kccamatan, dengan sembilan
orang anggota, di daerah itu.
KESIMPULAN
PEMERIKSAAN atas tiga sistem kepartaian dalam situasi perubahan sosial yang
berbeda-beda itu menyarankan bcbcrapa kcsimpulan yang berkenaan dengan
dampak 'primordialisme pada pola-pola organisasi politik. Pertama, loyalitas dan
kehencian primordial jelas tidak "tradisional" di ketiga tempat itu. Malah
sebaliknya, hal itu merupakan tanggapan terhadap proses modernisasi yang
pada mulanya disebabkan oleh penjajahan yang memperkenalkan agama Kristen dan
Islam di daerah itu, menciptakan jaringan komunikasi, memapankan kondisi bagi
tumbulthya kota, dan memberikan pekerjaan bergaji untuk banyak orang di daerah
pedcsaan dan perkotaan. Pcrsaingan untuk memperoleh nilai dan barang-barang
yang langka — seperti tanah, jenis pekerjaan tcrtcntu, pendidikan, status —
menyebabkan orang-orang mulai mclihat diri mereka sebagai anggota kelompok
etnis yang berbeda. Perbedaan ini didasarkan pada bahasa, kebudayaan, dan
keanggotaan marga bersama, dan, sampai batas tertentu, pada afiliasi agama.
Kepentingan afiliasi agama mereka pertahankan guna menangkis serangan dari
kelompok lain. Kondisi kehidupan sosial Indonesia kontemporer menggambarkan
meningkatnya proses ini schingga pembagian etnis dewasa ini setidak-tidaknya
sama seperti halnya pada masa penjajahan. Lagi pula, sangat mungkin bahwa
loyalitas etnis akan terus berlaku untuk waktu yang lama sebagai ciri utama identifikasi
diri seseorang dalam konteks kehidupan sosial setempat. Pernyataan ini berlaku juga
bagi Simalungun Bawah dan Pematangsiantar, di mana individu-individu dari berbagai
kelompok etnis hidup berdekatan, dan bagi Simalungun Atas, yang penduduknya
memiliki rasa persatuan melawan kelompok pendatang yang mereka anggap sebagai
perampas kekuasaan di kampung halaman mereka.
Kedua, loyalitas etnis telah melingkupi politik partisan. Etnisitas telah memberikan
titik fokus tidak hanya pada rasa identitas prihadi seseorang dan penilaiannya terhadap
orang lain, tetapi juga pada konsepsinya terhadap huhungannya dengan sistem
pcmerintahan Indonesia. Termasuk ke dalam kelompok etnis tertentu mempunyai
konsekuensi tertentu terhadap sikap politik seseorang clan bagi cara bagaimana is
melihat struktur persaingan politik demi nilai-nilai yang langka. Persepsi-petscpsi
seperti ini menyebabkan adanya identifikasi Parkindo dengan masyarakat Batak
Tapanuli Utara, Masyumi dengan orang Batak Tapanuli Selatan, dan, dalam lingkup yang
lebih scmpit, PNI dengan komunitas Jawa. Karena tidak berhasil meraih kedudukan
yang berpengaruh di dalam partai-partai ini atau di dalam PKI, orang-orang Batak
Simalungun membentuk organisasi etnis mereka sendiri yang cksplisit, yakni
KRSST.
Ketiga, kesukuan bukan hanya satu-satunya basis bagi organisasi politik di daerah
itu. Peranan afiliasi agama sangat rumut dan sukar dipisahkan dari sikap yang
bcrpangkal dari kesukuan, dan tentu saja banyak pcndukung Parkindo dan Masyumi
yang tidak membedakannya. Bagi mereka, rasa menjadi orang Batak Tapanuli
Utara (Selatan), orang Protestan (Islam santri), dan partisan Parkindo (Masyumi)
lebur bersama ke dalam konsep tunggal mengcnai identitas budaya dan afiliasi
politik. Namun, sekurang-kurangnya ada beberapa anggota kelompok lain yang benar-
benar membuat -suatu pembcdaan, seperti yang telah kita saksikan dalam kasus perm
usuhan orang Batak Simalungun yang Protestan terhadap Parkindo, dan permusuhan
orang Batak Simalungun dan Melayu Pantai yang Islam santri terhadap Masyumi di
Pematangsiantar. Loyalitas agama itu sendiri, apabila dipisahkan dari ikatan-ikatan
dan antagonisme etnis, juga menjadi alasan yang penting bagi orang-orang non-
Tapanuli Selatan (dan barangkali juga bagi sebagian orang Tapanuli Selatan) untuk
menjadi pendukung Masyumi.
Kepentingan sosial-ekonomi sebagai variabel kausal yang independen dalam
menentukan afiliasi politik lebih jelas adanya. Dalam kasus orang-orang Batak Tapanuli
Utara di Simalungun Bawah, baik bukti yang berdasarkan kesan maupun beberapa data
kasar menunjukkan bahwa dekatnya jarak dengan lingkungan perkebunan
nya status pemukim liar) mcngakibatkan beralihnya dukungan dari Parkindo ke PNI dan
PKI. Yang agak sukar diberi penilaian adalah motivasi yang ada di batik dukungan
orang Jawa terhadap PNI dan PKI yang saina-sama mengandalkan daya tariknya
pada karakter Jawa, bahkan sekalipun di daerah itu tidak ada perkebunan, untuk
rnenarik dukungan dari komunitas Jawa setempat. Tentang PKI, tampak jelas bahwa
strategi untuk memperoleh dukungan dari para buruh dan pemukim liar merupakan
unsur yang sangat penting, yakni karcna partai itu pada umumnya gagal di kalangan
orang Jawa di Pematangsiantar. Sebaliknya, daya pikat PNI bagi para buruh dan
pemukim liar di dua tempat itu dilengkapi dengan ketergantungan mereka pada orang
Jawa yang berpengaruh di tempat itu dan melalui keyakinan banyak orang Jawa bahwa
PNI identik dengan kepentingan mereka sebagai anggota kelompok etnis tertentu.
Dalam konteks ini perlu ditekankan bahwa di antara variabelvariabel sosial-
ekonomi yang mungkin rclevan, hanya lingkungan perkebunanlah yang mampu
beranjak dari pola-pola pemungutan suara dan dukungan partisan yang bersi fat
primordial. Urbanisasi dan perkembangan pola stratifikasi kelas dan gabungan yang
bersifat khas kekotaan yang mengabaikan garis-garis primordial sering disebuf
sebagai faktor yang dapat mengalahkan loyalitas primordial dan menghasilkan partai
dan sistem organisasi "modern" yang berorientasi pada kepentingan kelas atau
ekonomi. Akan tetapi, di Pematangsiantar dan tampaknya juga di kota-kota di
Simalungun Bawah, pengaruh urbanisasi — yakni peningkatan lebih jauh dari
perpecahan primordial yang tercermin secara jelas dalam pola du kungan partisan
sama sekali berbeda.
Untuk melengkapi daftar penjelasan mengcnai dukungan partai ini
hares ditambahkan satu faktor, yakni tumbuhnya rasa kebangsaan Indonesia di kalangan
sebagian besar penduduk setempat. Pcnerimaan yang positif alas konsep nasion

77
Indonesia, yang pada masa kolonial masih berupa janin, dengan cepat menjalar ke seluruh
daerah semasa pendudukan Jepang dan tahun-tahun revolusi yang panjang. Di setiap tiga
masyarakat besar pendatang itu, yang paling terpengaruh oleh ide nasionalis dan
berorientasi partisipasi dalam kehidupan politik nasional adalah para anggota elite yang
dominan, yang muncul menjadi pemimpin berkat kemampuan mereka dalam
menafsirkan lingkungan yang sedang berubah dan dalam mewakili masyarakat
mereka ke dunia luar. Hasilnya adalah lingkungan sosial-budaya pascakernerdekaan yang
siap menerima usaha-usaha keorganisasian partai-partai politik nasional yang penting.
PM, organisasi yang paling dapat menyatakan kebangsaan sejati Indonesia, mampu
memperoIeh dukungan dari kalangan elite kota yang terpelajar (yakni kelompok
minoritas orang-orang Batak Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan yang cenderung
bersikap nasionalis dan terasing dari pimpinan agama masyarakat mereka yang
dominan) dan kaum militan revolusioner di kalangan orang Batak Simalungun di
Simalungun Atas. Meskipun tidak mampu mcmanfaatkan secara langsung kesempatan
tumbuhnya sentimen kebangsaan ini, PKI, Parkindo, dan Masyumi dengau jelas
menunjukkan kemauan menjadi anggota dan rasa berpartisipasi di claim nasion
Indonesia, paling tidak di kalangan elite setempat yang mempunyai dukungan massa.
Bahkan kaum tradisionalis KRSST dan para pemimpinnya yang mawas diri
menetapkan bahwa terwakilinya mereka di parlemen nasional merupakan tujuan uta
ma.
Di kalangan partai besar di daerah itu, hubungan antara primor dialisme dan afiliasi
partisan berdampak besar terhadap struktur organisasi partai dan pada derajat
pengabdian seseorang kepada partainya. Partai-partai yang tidak tergantung atau hanya
tergantung sebagian pada loyalitas etnis dan agama, yakni PNI dan PKI di
Simalungun Bawah, sangat aktif, remit, dan dari segi organisasi sa-
Parrisipasi dan Partai Politik
ngat artikulatif dengan dukungan penuh dari organisasi bawahan, kader-kader yang
digaji, dan scbagainya. Dalam pada itu, dukungan massa bagi partai-partai ini sebagian
besar tergantung pada aliansi yang dibentuk olch peminnpin-pemimpin tingkat desa
tcrutama karena alasan-alasan praktis. Dukungan seperti itu cepat iuntur scper ti
halnya dengan pembentukan SOKSI. Sebaliknya, partai-partai yang didasarkan
pada ikatan etnis atau ikatan etnis-agama, yakni Parkindo, Masyurni, dan KRSST,
jangkauan perluasan organisasinya sempit sekali namun hampir tidak dapat dihancurkan
karcna kuatnya loyalitas yang mengikat seseorang pada masyarakat dan partainya.
Pcngaruh lingkungan setempat terhadap organisasi partai barangkali dapat dilihat
dengan sangat jelas datam perbandingan cabang-cabang PNI di keliga tempat ini. Mclihat
lemahnya konnitmen para buruh dan pemukim liar pada partai, PNI sangat aktif dan
terorganisikan sccara rapi di Simalungun Bawah. Di Pcmatangsiantar PNI kurang
aktif karena kuatnya dukungan orang Jawa dan jangkauan perluasannya yang
ditentukan oleh Ioyalitas etnis-agama. Di Simalungun Atas PNI malah lebih buruk lagi
organisasinya karena dukungan massanya hanya terbatas pada mercka yang
antitradisi. Di daerah itu, dalam istilah Duvet -ger, cabang PNI merosot dari "partai
massa" menjadi "partai kader".
Akhirnya, data dan kesimpulan yang disajikan dalam lulisan ini mcnampilkan
implikasi penting di luar tingkat daerah somata. Di tiga tempat itu — dan, saya duga
di daerah lain juga — pada abad ke-
pernah ada transformasi beberapa sikap politik dasar yang agak cepat dan
menentukan. Tujuh puluh lima tahun yang lalu, strukturstruktur pembuat kcputusan
pemerintah dan semua konsepsi mengenai batas masyarakat politik masih tidak
lcbih luas daripada kelompok kekerabatan, desa, atau paling-paling kerajaan tradisional.
Sekarang, struktur utamanya adalah negara dan konsepsi utama masyarakat politik
adalah nasion. Di dalam kerangka baru ini, orangorang di tiga tempat tersebut mencoba
mengemhangkan hubungan politik baru satu sama lain dan dengan elite nasional
yang bet --
78
Kesukuan dan Organisasi
tanggung jawab alas keputusan dalam banyak bidang yang langsung mempengaruhi
kehidupan mereka. Mereka tclah memakai organisasi politik — yang ditiru dari Jakarta
dan diciptakan secara independen — justru karena mereka tidak memandang dirt
mercka sckadar sebagai anggota masyarakat desa, etnis, atau agama tertentu, tetapi
lebih sebagai anggota sebuah sistem politik nasional dan perserta sistern politik yang
potensial. Daerah Simalungun dan Pernatangsiantar, dengan tempatnya yang lebih
modern sekaligus juga masih tradisional, makin terkcpung olch "krisis partisipasi"
yang dicirikan dengan kian banyaknya tuntutan berpartisipasi dalam kehidupan
politik daerah dan nasional melalui organisasi-organisasi yang sangat dipengaruhi oleh
loyalitas primordial. Perkembangan ini menciptakan scbuah persoalan, yakni tidak
adanya dimcnsi tengah bagi elite politik nasional dan elite pcmcrintahan yang
bagaimanapun harus mcmberikan tanggapan yang tepat. Sejak 1958 tanggapan pokok
terhadap hampir semua organisasi politik yang otonom adalah penindasan dalam
berbagai bentuk. Apakah kebijakan semacam itu dapat dipertahankan untuk jangka
waktu yang lama tanpa menimbulkan kerugian besar pada hubungan daerah-
nasional dan pada rasa keanggotaan seseorang dalam nasion, adalah masalah yang
sulil dan rumit.
Karena tulisarr ini memeriksa hal-hal yang khusus tetapi bukan (seperti yang
barangkali diduga) yang unik, ada manfaatnya untuk menyatakan kembali — dengan
risiko terjadinya penguiangan
-beberapa di antara
temuan dan kesimpulan dalam bentuk saran dan hipotesis umum.
1) Di beberapa negara baru loyalitas primordial dalam berbagai jenisnya —
kckcrabatan, etnis, ras, Bahasa, agama, budaya — sangat penting dalam
menentukan politik di tingkat daerah. Meskipun barangkali ada kesadaran nasional
yang sedang tumbuh, loyalitas inilah yang menentukan struktur dan pertalian
bagi sebagian besar peranan seseorang, baik yang bersifat politis
maupun yang lain, di dalam masyarakatnya.
2) Dalam suatu sistem politik yang mendorong timbulnya persaingan partisan yang
terbuka untuk memperoleh suara dan dukungan, hanya partai politik yang dapat
mengaitkan diri dengan kondisi lingkungan sosial-budaya setempat yang akan
berhasil.
3) Di ternpat-tempat seperti yang digambarkan dalam saran (1) ada peluang yang besar
bahwa sistem kepartaian, apa pun hakikat konflik yang mernecah belah partai-
partai di tingkat nasional, akan diwamai oleh perpecahan primordial setempat.
Partai-partai yang tidak memasukkan unsur-unsur primordial tidak akan berhasil di
ternpat-tempat itu.
4) Di tempamempat yang telah mengalami moderhisasi ekonomi, sikap primordial,
misalnya sikap yang didasarkan pada kepentingan sosial-ekonomi bersama, dapat
dimanfaatkan untuk memperoleh dukungan. Akan tetapi, di daerah-daerah
seperti itu sekalipun, partai-partai yang berbasis primordialisme agaknya akan
tetap penting karena adanya pola dan pengaruh proses perubahan sosial yang
tidak berimbang.
a) Partai nonprimordial agaknya lebih sedikit mendapat du kungan
dibandingkan dengan partai primordial karena masih adanya pandangan
primordialisme pada sebagian besar penduduk dan semakin melemahnya rasa
kepentingan sosialekonorni bersama atau kepentingan kelas bersama. Dengan
demikian, partai nonprimordial tampaknya jauh lehih terorganisasi dalam
rnengerahkan dukungan daripada partai primordial.
b) Dengan adanya bermacam-macam tipe perubahan sosial ekonomi,
urbanisasi tidak selalu menghasilkan sistem pclapisan yang mengabaikan garis
perpecahan primordial. Sebaliknya, urbanisasi mungkin menyebabkan
perpecahan perpecahan itu meningkat dan dapat dipolitisir dalam suasana
persaingan untuk memperoleh status, kekayaan, dan nilai-nilai yang sebagian
besar berlaku di kalangan kclompok primordial.
5) Di daerah-daerah yang masih sangat tradisional, organisasi politik yang dibentuk
dengan basis masyarakat setempat pasti akan memperoleh banyak dukungan dan,
sebagai akibatnya, organisasi politik nasional barangkali tidak akan dapat
rnenyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan khusus ini. Hal ini tampaknya akan
demikian, terutama bila elite tradisionallah, yang berorientasi pada legitimasi dan
mencari legitimasinya di dalam perbedaanperbedaan dan masa lampau yang unik dari
masyarakat lit', yang rnenyediakan sumber kepemimpinan politik pascakemerdekaan.
Sebaliknya, modernisasi mungkin menghasilkan semacam kepemimpinan barn
yang berakar dalam masyarakat primordial tetapi berorientasi pada masyarakat
nasional dan bersedia rnemainkan peranan "perantara" atas nama pars
pemiIihnya melalu partisipasi di dalam sistem kepartaian.

Anda mungkin juga menyukai