Anda di halaman 1dari 33

PRESENTASI KASUS

“HIV/AIDS”

Oleh:
Hanne Komalaningrum
20120310130

Pembimbing:
dr. Widodo Raharjo, Sp.PD

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RSUD KOTA SALATIGA
2017
BAB I

I. IDENTITAS

Nama : Tn. AM
Usia : 33 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Semare, Glawan, Pabelan, Semarang
Status pernikahan : Menikah
Tanggal masuk RS : 04 Juni 2017
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama

Demam ± 7 hari.
B. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluh demam ± 5hari SMRS. Demam naik turun sejak ± 1 bulan
yang lalu. Batuk berdahak (-), lendir (-), darah (-), nyeri menelan (+), penurunan
nafsu makan (+), penurunan berat badan (+) turun ±6 kilo dalam 1 bulan, dari 52
kg menjadi 46 kg. Pasien juga mengeluh gatal-gatal dibadan, sariawan (+), ketika
malam hari keringat dingin dan sempat menggigil. BAK volume cukup, warna
kuning,nyeri sewaktu BAK (-), BAK berdarah(-). BAB tidak ada keluhan, warna
kuning, riwayat diare lama (-).

C. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat Hipertensi disangkal, Diabetes Mellitus disangkal
 Tattoo (-) Riwayat merokok (+), minum alcohol (+)
 Riwayat seksual diluar nikah (+)
 Riwayat B20 (+)
 Riwayat transfusi (-)
 Riwayat penggunaan jarum suntik (-)
 Riwayat VCT (-)
 Riwayat Hipertensi disangkal, Diabetes Mellitus disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat keluhan serupa disangkal
 Riwayat Hipertensi disangkal, Diabetes Mellitus disangkal

E. Riwayat Personal Sosial

Pasien bekerja sebagai chef di salah satu rumah makan di Salatiga. Pasien
tinggal dirumah mertua bersama istri dan anaknya.

III. PEMERIKSAAN FISIK

A. Keadaan Umum

Kesadaran : Compos mentis, GCS: E4 V5 M6.


B. Tanda Vital
Tekanan Darah : 115/77 mmHg
Nadi : 122x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 41,5 ºC

SpO2 : 98 %

C. Kepala dan Leher


Bentuk kepala : normocephali.
Rambut : hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Wajah : simetris, deformitas (-)
Mata
 Tidak ada oedem palpebra dextra dan sinistra
 Conjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
 Pupil isokor, 3 mm

Leher
Inspeksi : Bentuk leher tidak tampak ada kelainan, tidak terdapat pembesaran
limfonodi, tidak tampak deviasi trakea
Palpasi : Trakea teraba di tengah.
D. Thorax
Inspeksi
 Bentuk thorax simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada pernapasan yang
tertinggal, pernapasan torakoabdominal
 Tidak tampak retraksi sela iga
 Tidak terdapat kelainan tulang iga dan sternum
 Tidak terlihat spider navy

Palpasi
 Pada palpasi secara umum tidak terdapat nyeri tekan dan tidak teraba benjolan
pada dinding dada
 Gerak nafas simetris
 Vocal fremitus simetris pada seluruh lapangan paru, friction fremitus (-), thrill
(-)
 Teraba ictus cordis pada ics 5 linea midclavicularis kiri , diameter 2 cm, kuat
denyut cukup

Perkusi
 Kedua hemithoraks secara umum terdengar sonor
 Batas paru-hepar dalam batas normal
 Batas kanan bawah paru-jantung pada ics 5 linea sternalis kanan, batas kanan
atas paru-jantung pada ics 3 linea sternalis kanan
 Batas kiri paru-jantung pada ics 5 linea midcavicularis kiri, batas atas kiri
paru-jantung pada ics 3 linea parasternalis kiri

Auskultasi
 Suara nafas vesikuler +/+, reguler, ronchi -/-, wheezing -/-
 BJ I, BJ II regular, punctum maksimum pada linea midclavicula kiri ics 5,
murmur (-), gallop (-)
E. Abdomen

Inspeksi

 Bentuk perut tak tampak distensi, pinggang tampak simetris dari anterior dan
posterior
 Venektasi (-)
 Umbilikus terletak di garis tengah
 Tidak tampak pulsasi abdomen pada regio epigastrika

Auskultasi
 Bising usus (+) normal

Palpasi
 Dinding abdomen teraba distensi, defans muskular (-), turgor kulit baik
 Secara umum tidak ditemukan nyeri tekan
 Undulasi (-)

Perkusi
 Shifting dullness (-)

F. Ekstermitas
Inspeksi
 Tidak tampak pembengkakan sendi, kedua extremitas atas dapat bergerak aktif
dan bebas
 Tidak ada gerakan involunter.

Palpasi
 tidak terdapat nyeri tekan
 akral hangat dan kering
 pitting edema - -
- -
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan Laboratorium tanggal 02 Juni 2017

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Hematologi

Lekosit 4.8 4.5 – 11.0 ribu/UL

Eritrosit 4.76 4.4 – 5.9 10^6 U/L

Hemoglobin 11.7* 13.2 – 17.3 gr/dl

Hematokrit 35.8* 40 – 52 %

Trombosit 137* 150 – 450 ribu/ul

MCV 75.2* 80 – 100 fl

MCH 24.6* 26 – 34 pg

MCHC 32.7 32 - 36g/dl

Golongan darah O

HIV Rapid Test Positive Negative


Hasil Pemeriksaan Laboratorium tanggal 05 Juni 2017
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi
Lekosit 4.71 4.5 – 11.0 ribu/UL
Eritrosit 3.81 4.5 – 6.5 10^6 U/L
Hemoglobin 9.8* 13.0 – 18 gr/dl
Hematokrit 29.4 40 – 54 %
Trombosit 103* 150 – 450 ribu/ul
MCV 77.1 85 – 100 fl
MCH 25.7 28 – 31 pg
MCHC 33.4 30 - 35 g/dl
Golongan darah O
Hitung Jenis
Neutrofil 82.8 40 – 75 %
Limfosit 14.3 20 – 45 %
Monosit 1.2 2–8%
Eosinofil 1.0 1–6%
Basofil 0.7 0.0 – 1.0 %
Kimia
Glukosa Darah 83 < 140 mg/dl
Sewaktu
Ureum 15 10 – 50 mg/dl
Creatinin 0.5 1.0 – 1.3 mg/dl
SGOT 36 14 - 38 u/l
SGPT 0.56 4 - 41 u/l
Imuno/Serologi
Dengue Ig G Positif Negative
Dengue Ig M Negative Negative

Pemeriksaan Foto Thorax PA view :


- Gambaran Bronchitis, tak tampak gambaran khas et causa proses spesifik
- Besar cor normal
V. DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja :
- Obs. Febris dengan B20
- B20
- Bronchitis
- Dermatitis
- Candidiasis
VI. PENATALAKSANAAN

 Infus Asering 20 tpm


 Injeksi Cefotaxim 2x1g
 Injeksi Ranitidin 2x1 A
 Injeksi Ondancentron 3x1 A
 Injeksi Omeprazole 2x1 A
 Po. Paracetamol 3x500 mg
 Po. Hepamax 2x1
 Po. Curcuma 3x200 mg
 Po. Neurodex 1x1
 Po. Cotrimoxazol 3x1
 Po. Ambroxol 3x1
 Po. Asam folat 3x1
 Po. Sohobion 1x1
 Po. TDF 1x1

Planning :
- Cek CD4
- VCT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi HIV/AIDS


2.1.1 Definis HIV

HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan
kemudian menimbulkan AIDS. Virus ini menyerang organ-organ vital sistem
kekebalan tubuh manusia, seperti sel T4 CD4+ makrofag, dan sel dendritik. HIV
merusak sel T4 CD4+ secara langsung dan tidak langsung, sel T4 CD4+
dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik.
Sejak dilaporkan adanya kasus AIDS yang pertama oleh Gottlieb dkk. di
Los Angeles pada tangal 5 Juni 1981, pada bulan Januari 1983 Luc Montagnier
dkk. menemukan virus penyebab penyakit AIDS ini dan disebut dengan LAV
(Lymphadenopathy Virus). Hasil penelitian Gallo, Maret 1984 di Amerika
menyatakan penyebab penyakit ini adalah Human T Lymphotropic Virus Type III,
disingkat dengan HTLV III dan tahun 1984 berdasarkan hasil penemuannya,
J.Levy menamakan AIDS Related Virus (ARV) sebagai penyebab penyakit ini.
Pada bulan Mei 1986 Komisi Taksonomi Internasional menetapkan nama virus
penyebab AIDS adalah Human Immunodeficiency Virus, disingkat dengan HIV.
HIV merupakan retrovirus yang terdiri dari sampul dan inti. Virus HIV
terdiri dari 2 sub-tipe, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 bermutasi lebih cepat
karena replikasi nya lebih cepat. Secara struktural morfologinya, bentuk HIV
terdiri atas sebuah silinder yang dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar.
Pada pusat lingkaran terdapat untaian RNA. HIV mempunyai 3 gen yang
merupakan komponen fungsional dan struktural yaitu gag (group antigen), pol
(polymerase), dan env (envelope).
Gambar 2.1. Anatomi Virus AIDS18

2.1.2 Definisi AIDS


AIDS merupakan singkatan dari Aquired Immune Deficiency Syndrome.
Syndrome berarti kumpulan gejala-gejala dan tanda-tanda penyakit. Deficiency
berarti kekurangan, Immune berarti kekebalan, dan Aquired berarti diperoleh atau
didapat, dalam hal ini “diperoleh” mempunyai pengertian bahwa AIDS bukan
penyakit keturunan. Seseorang menderita AIDS bukan karena ia keturunan dari
penderita AIDS, tetapi karena ia terjangkit atau terinfeksi virus penyebab AIDS.
Oleh karena itu, AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan tanda dan gejala
penyakit akibat hilangnya atau menurunnya sistem kekebalan tubuh seseorang.
AIDS merupakan suatu sindroma yang amat serius, dan ditandai oleh
adanya kerusakan sistem kekebalan tubuh penderitanya. Dapat diartikan sebagai
kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan
tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS
merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.
2.2 Etiologi dan Patogenesis
Virus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili Lentivirinae.
Virus famili ini mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase. Enzim ini
menyebabkan retrovirus mampu mengubah informasi genetiknya kedalam bentuk
yang terintegrasi di dalam informasi genetik dari sel yang diserangnya. Jadi setiap
kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri, informasi genetik virus juga ikut
diturunkan.
Virus HIV akan menyerang Limfosit T yang mempunyai marker
permukaan seperti sel CD4+, yaitu sel yang membantu mengaktivasi sel B, killer
cell, dan makrofag saat terdapat antigen target khusus. Sel CD4+ adalah reseptor
pada limfosit T yang menjadi target utama HIV. HIV menyerang CD4+ baik
secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV yang
mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. secara tidak langsung,
lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp120 dan anti p24 berinteraksi
dengan CD4+ yang kemudian akan menghambat aktivasi sel yang
mempresentasikan antigen.
Setelah HIV mengifeksi seseorang, kemudian terjadi sindrom retroviral
akut semacam flu disertai viremia hebat dan akan hilang sendiri setelah 1-3
minggu. Serokonversi (perubahan antibodi negatif menjadi positif) terjadi 1-3
bulan setelah infeksi. Pada masa ini, tidak ada dijumpai tanda-tanda khusus,
penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat serta test HIV belum bisa
mendeteksi keberadaan virus ini, tahap ini disebut juga periode jendela (window
periode). Kemudian dimulailah infeksi HIV asimptomatik yaitu masa tanpa
gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan CD4+ secara bertahap. Mula-mula
penurunan jumlah CD4+ sekitar 30-60 sel/tahun, tetapi pada 2 tahun berikutnya
penurunan menjadi cepat, 50-100 sel/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata
masa dari infeksi HIV menjadi AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4+
akan mencapai <200 sel/μL.
Gambar 2.2. Grafik hubungan antara jumlah HIV dan jumlah CD4+15
Keterangan gambar:
Biru = jumlah limfosit T CD4+ (sel/mm³)
Merah = jumlah RNA HIV per mL plasma

Dalam tubuh ODHA (Orang Dengan HIV AIDS), partikel virus bergabung
dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur
hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian
berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi
penderita AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang
yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal.
Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai
dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap.
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai
menampakkan gejala akibat infeksi opurtunistik seperti penurunan berat badan,
demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi
jamur, herpes, dll. Virus HIV ini yang telah berhasil masuk kedalam tubuh
seseorang, juga akan menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit,
makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada
kelenjar limfa, sel-sel epitel pada usus, dan sel Langerhans di kulit. Efek dari
infeksi pada sel mikroglia di otak adalah encefalopati dan pada sel epitel usus
adalah diare kronis.
2.3 Epidemiologi HIV/AIDS
Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), terdapat 19.973
jumlah kumulatif kasus AIDS dengan 49,07% terdapat pada kelompok umur 20-
29 tahun, 30,14% pada kelompok umur 30-39 tahun, 8,82% pada kelompok umur
40-49 tahun, 3,05% pada kelompok umur 15-19 tahun, 2,49% pada kelompok
umur 50-59 tahun, 0,51% pada kelompok umur > 60 tahun, 2,65% pada kelompok
umur < 15 tahun dan 3,27% tidak diketahui. Rasio kasus AIDS antara laki-laki
dan perempuan adalah 3:1.
Menurut laporan Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), 40,2% penderita
AIDS terdapat pada kelompok Pengguna Napza Suntik atau IDU. Kumulatif
kasus AIDS pada Pengguna Napza Suntik di Indonesia hingga tahun 2009 adalah
7.966 kasus, 7.312 kasus adalah laki-laki (91,8%), 605 kasus perempuan (7,6%)
dan 49 kasus tidak diketahui jenis kelaminnya (0,6%). 64,1% terdapat pada
kelompok umur 20-29 tahun, 27,1% pada kelompok umur 30-39 tahun, 3,5% pada
kelompok umur 40-49 tahun, 1,5% pada kelompok umur 15-19 tahun, 0,6% pada
kelompok umur 50-59 tahun, pada kelompok umur 5-14 tahun dan >60 tahun
masing-masing 0,1% dan 2,8% tidak diketahui kelompok umurnya.
Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), tercatat 19.973
kumulatif kasus AIDS terjadi di 32 provinsi dan 300 kabupaten/kota di seluruh
Indonesia. Provinsi dengan rate kumulatif kasus AIDS per 100.000 penduduk
tertinggi adalah Papua (133,07), Bali (45,45), DKI Jakarta (31,67), Kepulauan
Riau (22,23) Kalimantan Barat (16,91), Maluku (14,21), Bangka Belitung (11,36),
Papua Barat dan Jawa Timur (8,93) dan Riau (8,36).
Provinsi yang memiliki proporsi AIDS terbanyak hingga Desember 2009
adalah Jawa Barat (18,01%), Jawa Timur (16,16%), DKI Jakarta (14,16%), Papua
(14,05%), dan Bali (8,09%). Pada kelompok pengguna napza suntik, proporsi
AIDS terbanyak dilaporkan dari Provinsi Jawa Barat 32,99%, DKI Jakarta
25,13%, Jawa Timur 12,82%, Bali 3,27%, Sumatera Barat 2,81%.
2.4 Determinan HIV/AIDS
a) Faktor Host

Infeksi HIV/AIDS saat ini telah mengenai semua golongan masyarakat,


baik kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Kelompok masyarakat
yang mempunyai risiko tinggi adalah pengguna narkoba suntik (Injecting Drug
Use), kelompok masyarakat yang melakukan promiskuitas (hubungan seksual
dengan banyak mitraseksual) misalnya WPS (wanita penjaja seks), dari satu WPS
dapat menular ke pelanggan-pelanggannya selanjutnya pelanggan-pelanggan WPS
tersebut dapat menularkan kepada istri atau pasangannya. Laki-laki yang
berhubungan seks dengan sesamanya atau lelaki seks lelaki (LSL). Narapidana
dan anak-anak jalanan, penerima transfusi darah, penerima donor organ tubuh dan
petugas pelayan kesehatan juga mejadi kelompok yang rawan tertular HIV.
Berdasarkan data Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), rasio kasus AIDS
antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Proporsi penularan HIV/AIDS melalui
hubungan heteroseksual sebesar 50,3%, IDU 40,2%, Lelaki Seks Lelaki (LSL)
3,3%, perinatal 2,6%, transfusi darah 0,1% dan tidak diketahui penularannya
3,5%.10 Risiko penularan dari suami pengidap HIV ke istrinya adalah 22% dan
istri pengidap HIV ke suaminya adalah 8%.
Dalam Adisasmito (2007), risiko transmisi transplasental yaitu transmisi
dari ibu kepada bayi/janinnya saat hamil atau saat melahirkan adalah 50%, yaitu
apabila seorang ibu pengidap HIV melahirkan anak, maka kemungkinan anak itu
terlular HIV. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi
antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat penularannya
hanya 1%.
Petugas kesehatan yang terluka oleh jarum suntik atau benda tajam lainnya
yang mengandung darah yang terinfeksi virus HIV, mereka dapat menderita
HIV/AIDS, angka serokonversi mereka <0,5%.

b) Faktor Agent
Virus HIV secara langsung maupun tidak langsung akan menyerang sel
CD4+. Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T, sehingga menggangu sel-sel
efektor imun yang lainnya, daya tahan tubuh menurun sehingga orang yang
terinfeksi HIV akan jatuh kedalam stadium yang lebih lanjut.
Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah menurun dengan
cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4+ pada nodus limfa dan thymus, yang
membuat individu yang terinfeksi akan terkena infeksi opurtunistik. Jumlah virus
HIV yang masuk sangat menentukan penularan, penurunan jumlah sel limfosit T
berbanding terbalik dengan jumlah virus HIV yang ada dalam tubuh.
AIDS adalah suatu penyakit yang sangat berbahaya karena mempunyai
Case Fatality Rate 100% dalam lima tahun, artinya dalam waktu lima tahun
setelah diagnosis AIDS ditegakkan, semua penderita akan meninggal. Proporsi
kasus AIDS yang dilaporkan telah meninggal di Indonesia hingga Desember 2009
adalah 19,3%.
2.5 Transmisi HIV/AIDS
Transmisi HIV/AIDS terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung virus
HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual,
jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu
yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok risiko
tinggi terhadap HIV/AIDS dapat diketahui, misalnya pengguna narkotika, pekerja
seks komersial dan pelanggannya, serta narapidana.
2.5.1 Transmisi Seksual
Transmisi HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi
cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau
membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung
lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko
hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral.
Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena
pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap
rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.
Cara hubungan seksual ano-genital merupakan perilaku seksual dengan
risiko tertinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif
menerima ejakulasi semen dari seorang pengidap HIV. Hal ini disebabkan karena
tipisnya mukosa rektum sehingga mudah sekali mengalami perlukaan saat
berhubungan seksual ano-genital. Risiko perlukaan ini semakin bertambah apabila
terjadi perlukaan dengan tangan (fisting) pada anus/rektum. Tingkat risiko kedua
adalah hubungan oro-genital termasuk menelan semen dari mitra seksual
pengidap HIV. Tingkat risiko ketiga adalah hubungan genito-genital/hetero
seksual, biasanya terjadi pada hubungan suami istri yang salah seorang telah
mengidap HIV.
2.5.2 Transmisi Non Seksual
HIV dapat menular melalui transmisi parenteral yaitu akibat penggunaan
jarum suntik dan alat tusuk lainnya seperti alat tindik yang terkontaminasi HIV.
Penggunaan jarum suntik yang berganti-gantian menyebabkan tingginya kasus
HIV/AIDS pada kelompok pengguna napza suntik (IDU). Pada umumnya,
ibukota dan kota-kota metropolitan mempunyai jumlah pengguna napza suntik
yang besar. Di negara berkembang, cara ini juga terjadi melalui jarum suntik yang
dipakai oleh petugas kesehatan. Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik
yang mengandung darah yang terkontaminasi merupakan penyebab sepertiga dari
semua infeksi baru HIV.
Transmisi parenteral lainnya adalah melalui donor/transfusi darah yang
mengandung HIV. Risiko tertular infeksi HIV lewat transfusi darah adalah >90%,
artinya bila seseorang mendapat transfusi darah yang terkontaminasi HIV maka
dapat dipastikan orang tersebut akan menderita HIV sesudah transfusi itu. Di
negara maju resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil, hal
ini dikarenakan pemilihan donor yang semakin bertambah baik dan pengamatan
HIV telah dilakukan. Namun demikian, mayoritas populasi dunia tidak memiliki
akses terhadap darah yang aman. Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi
melalui rahim (in utero) selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir
kehamilan dan saat persalinan.
HIV tidak menular melalui peralatan makanan, pakaian, handuk, sapu
tangan, toilet yang dipakai secara bersama-sama, ciuman pipi, berjabat tangan,
hidup serumah dengan penderita HIV yang bukan mitra seksual dan hubungan
sosial lainnya. Air susu ibu pengidap HIV, saliva/air liur, air mata, urin serta
gigitan nyamuk belum terbukti dapat menularkan HIV/AIDS.

2.6 Diagnosis
Gejala dan Tanda Klinis yang Patut Diduga Infeksi HIV

2.6.1 Tes Diagnostik


a. ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay)
Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA
(enzyme-linked immunoabsorbent assay). Untuk mengidentifikasi antibodi
terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitif, tapi tidak selalu spesifik, karena
penyakit lain juga bisa menunjukkan hasil positif sehingga menyebabkan false
positif, diantaranya penyakit autoimun ataupun karena infeksi. Sensivitas ELISA
antara 98,1%-100% dan dapat mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dalam
darah.
b. Western Blot
Western Blot memiliki spesifisitas (kemampuan test untuk menemukan
orang yang tidak mengidap HIV) antara 99,6% - 100%. Namun pemeriksaannya
cukup sulit, mahal dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam. Tes Western Blot
mungkin juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh
karena itu, tes harus diulangi setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika
test Western Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka test Western Blot harus
diulangi lagi setelah 6 bulan.
c. PCR (Polymerase chain reaction)
PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk
infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas.

2.6.2 Diagnosis HIV pada orang Dewasa


Ada dua sistem klasifikasi yang biasa digunakan untuk dewasa dan remaja
dengan infeksi HIV yaitu menurut WHO dan CDC (Centre for Diseases Control
and Prevention)
a. Klasifikasi menurut CDC

CDC mengklasifikasikan HIV/AIDS pada remaja (>13 tahun dan dewasa)


berdasarkan dua sistem, yaitu dengan melihat jumlah supresi kekebalan tubuh
yang dialami pasien serta stadium klinis. Jumlah supresi kekebalan tubuh
ditunjukkan oleh limfosit CD4+. Sistem ini terdiri dari tiga kategori yaitu :
a.1. Kategori Klinis A : CD4+ > 500 sel/ml Meliputi infeksi HIV tanpa gejala
(asimptomatik), Limfadenopati generalisata yang menetap, infeksi HIV akut
primer dengan penyakit penyerta atau adanya riwayat infeksi HIV akut.
a.2. Kategori Klinis B : CD4+ 200-499 sel/ml Terdiri atas kondisi dengan gejala
(simptomatik) pada remaja atau orang dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak
termasuk dalam kategori C dan memenuhi paling sedikit satu dari kriteria berikut
yaitu keadaan yang dihubungkan dengan infeksi HIV atau adanya kerusakan
kekebalan dengan perantara sel (cell mediated immunity), atau kondisi yang
dianggap oleh dokter telah memerlukan penanganan klinis atau membutuhkan
penatalaksanaan akibat komplikasi infeksi HIV.
Termasuk kedalam kategori ini yaitu Angiomatosis basilari, Kandidiasis
orofaringeal, Kandidiasis vulvovaginal, Dysplasia leher rahim, Herpes zoster,
Neuropati perifer, penyakit radang panggul
a.3. Kategori Klinis C : CD4+ < 200 sel/ml Meliputi gejala yang ditemukan pada
pasien AIDS dan pada tahap ini orang yang terinfeksi HIV menunjukkan
perkembangan infeksi dan keganasan yang mengancam kehidupannya, meliputi :
Sarkoma Kaposi, Kandidiasis bronki/trakea/paru, Kandidiasis esophagus, Kanker
leher rahim invasif, Coccidiodomycosis, Herpes simpleks, Cryptosporidiosis,
Retinitis virus sitomegalo, Ensefalopati yang berhubungan dengan HIV,
Bronkitis/Esofagitis atau Pneumonia, Limfoma Burkitt, Limfoma imunoblastik
dan Limfoma primer di otak, Pneumonia Pneumocystis carinii.
b. Klasifikasi menurut WHO
Pada beberapa negara, pemeriksaan limfosit CD4+ tidak tersedia, dalam
hal ini seseorang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yaitu berdasarkan
tanda dan gejala mayor dan minor. Dua gejala mayor ditambah dua gejala minor
didefinisikan sebagai infeksi HIV simptomatik.
Gejala mayor terdiri dari : penurunan berat badan > 10%, demam yang
panjang atau lebih dari 1 bulan, Diare kronis, Tuberkulosis. Gejala minor terdiri
dari: Kandidiasis orofaringeal, batuk menetap lebih dari 1 bulan, kelemahan
tubuh, berkeringat malam, hilang nafsu makan, infeksi kulit generalisata,
Limfadenopati generalisata, Herpes zoster, infeksi Herpes simplex kronis,
Pneumonia, Sarcoma Kaposi.
WHO mengklasifikasikan HIV/AIDS pada orang dewasa menjadi 4
stadium klinis, yaitu :
a) Stadium I
Bersifat asimptomatik, aktivitas normal dan dijumpai adanya
Limfadenopati generalisata.
b) Stadium II
Simptomatik, aktivitas normal, berat badan menurun <10%, terdapat
kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti Dermatitis seroboik, Prorigo,
Onikomikosis, Ulkus yang berulang dan Kheilitis angularis, Herpes zoster dalam
5 tahun terakhir, adanya infeksi saluran nafas bagian atas seperti Sinusitis
bakterialis.
c) Stadium III
Pada umumnya kondisi tubuh lemah, aktivitas di tempat tidur < 50%, berat
badan menurun >10%, terjadi diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan,
demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, terdapat Kandidiasis orofaringeal, TB
paru dalam 1 tahun terakhir, infeksi bakterial yang berat seperti Pneumonia dan
Piomiositis.
d) Stadium IV
Pada umumnya kondisi tubuh sangat lemah, aktivitas ditempat tidur
>50%, terjadi HIV wasting syndrome, semakin bertambahnya infeksi opurtunistik
seperti Pneumonia Pneumocystis carinii, Toksoplasmosis otak, Diare
Kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan, Kriptosporidiosis ekstrapulmonal, Retinitis
virus sitomegalo, Herpes simpleks mukomutan >1 bulan, Leukoensefalopati
multifocal progresif, Mikosis diseminata seperti histopasmosis, Kandidiasis di
esophagus, trakea, bronkus, dan paru, Tuberkulosis di luar paru, Limfoma,
Sarkoma Kaposi, serta Ensefalopati HIV.
2.7 Metode Pengambilan Darah Tes HIV
Terdapat beberapa metode yang biasa digunakan dalam pengambilan
darah untuk tes HIV yaitu :
a. Unlinked Anonymous adalah pemeriksaan anti HIV terhadap sampel darah
yang diambil untuk pemeriksaan-pemeriksaan lain, dan setelah
menghilangkan semua identitas penderita. Hasil pemeriksaan ini tidak dapat
dihubungkan kembali dengan si penderita.
b. Voluntary Anonymous Metode ini dilakukan dengan pemberian sampel darah
secara sukarela oleh seseorang setelah yang bersangkutan menandatangani
surat persetujuan. Pada sampel ini hanya diberikan nomor kode. Hasil
pemeriksaan dapat dilihat oleh yang bersangkutan dari pengumuman hasil
tanpa seorang lainpun mengetahuinya, termasuk petugas surveilans.
c. Voluntary Confidential Metode ini dilakukan dengan sukarela oleh seseorang
untuk diperiksa darahnya tetapi hasilnya hanya diketahui oleh petugas
kesehatan tertentu dan petugas ini harus merahasiakannya.
d. Mandatory Metode ini dilakukan terhadap semua orang yang mempunyai
maksud tertentu. Pemeriksaan ini dilandasi suatu dasar hukum sehingga tidak
ada yang dapat menghindar dari pemeriksaan ini.
e. Compulsatory Metode ini biasa dilakukan pada kelompok masyarakat yang
kemerdekaannya dibatasi, misalnya seperti narapidana, pusat rehabilitasi
narkotika, para resosialisasi PSK. Kelompok ini biasanya diwajibkan untuk
mengikuti pemeriksaan anti HIV.

2.7 Pencegahan HIV/AIDS


2.7.1 Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya agar orang sehat tetap
sehat atau mencegah orang sehat menjadi sakit.
a. Pencegahan dilakukan dengan tindakan seks yang aman dengan
pendekatan “ABC” yaitu, Abstinence, artinya absen seks ataupun tidak
melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah merupakan
metode paling aman untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui
hubungan seksual, jika tidak memungkinkan pilihan kedua adalah Be
Faithful, artinya tidak berganti-ganti pasangan. Jika kedua hal tersebut
tidak memungkinkan juga, maka pilihan berikutnya adalah penggunaan
kondom secara konsisten (Use Condom).
b. Berhenti menjadi pengguna NAPZA terutama narkotika suntikan, atau
mengusahakan agar selalu menggunakan jarum suntik yang steril serta
tidak mengunakannya secara bersama-sama.
c. Di sarana pelayanan kesehatan harus dipahami dan diterapkan
kewaspadaan universal (universal precaution) untuk mengurangi risiko
penularan HIV melalui darah. Kewaspadaan universal ini meliputi cuci
tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum dan sesudah melakukan
tindakan perawatan, penggunaan alat pelindung yang sesuai untuk setiap
tindakan, pengelolaan dan pembuangan alat tajam secara hati-hati,
pengelolaan alat kesehatan bekas pakai dengan melakukan dekontaminasi,
desinfeksi dan sterilisasi dengan benar.
d. Pencegahan penyebaran melalui darah dan donor darah dilakukan dengan
skrining adanya antibodi HIV, demikian pula semua organ yang akan
didonorkan, serta menghindari transfusi, suntikan, jahitan dan tindakan
invasif lainnya yang kurang perlu.
e. WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah penularan vertikal
dari ibu kepada anak yaitu dengan cara mencegah jangan sampai wanita
terinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah terinfeksi HIV/AIDS mengusahakan
supaya tidak terjadi kehamilan, bila sudah hamil dilakukan pencegahan
supaya tidak menular dari ibu kepada bayinya dan bila sudah terinfeksi
diberikan dukungan serta perawatan bagi ODHA dan keluarganya.
f. Bagi petugas kesehatan, pencegahan yang perlu dilakukan jika akan
melakukan tindakan kepada pasien dengan HIV/AIDS adalah sebagai
berikut :
1. Cuci tangan
2. Pakai sarung tangan (kedua tangan) sebelum menyentuh kulit yang
terluka, mukosa, darah , bagian tubuh lain, instrument yang kotor,
sampah yang terkontaminasi, dan sebelum melakukan prosedur
invasive
3. Gunakan alat pelindung diri (kacamata pelindung, masker muka dan
celemek) untuk mencegah kemungkinan percikan dari tubuh (sekresi
dan ekskresi) yang muncrat dan tumpah (misalnya saat membersihkan
instrumens dan benda lainnya)
4. Gunakan antiseptic untuk membersihkan selaput lendir sebelum
pembedahan, pembersihan luka, atau pencucian tangan sebelum
operasi dengan antiseptic berbahan alcohol.
5. Gunakan praktik keselamatan kerja, misalnya jangan menutup
kembali jarum atau membengkokkan jarum setelah digunakan, jangan
menjahit dengan jarum tumpul
6. Pembuangan sampah infeksi ke tempat yang aman.
7. Pada akhirnya, untuk semua alat yang terkontaminasi dilakukan
dekontaminasi dan dibersihkan secara menyeluruh, kemudian
disterilkan atau didesinfeksi tingkat tinggi (DTT) dengan
menggunakan prosedur yang ada.

Ada isitilah Profilaksis Pasca Pajanan (PPP) yang digunakan di lingkungan


petugas kesehatan, yang berarti pengobatan antiretroviral jangka pendek untuk
menurunkan kemungkinan terjadinya infeksi pasca pajanan. Tujuannya untuk
meminimalkan resiko tertular HIV/AIDS pada petugas kesehatan yang
terkontaminasi darah atau cairan tubuh pasien dengan status HIV diketahui/tidak.
Petugas yang terkait adalah dokter, perawat dan cleaning service.
Prosedurnya sebagai berikut :
1. Pertolongan pertama yang dilakukan apabila petugas kesehatan terpajan
dengan darah atau cairan tubuh pasien :
 Bersihkan luka atau kulit yang terpapar dengan sabun dan air yang
mengalir
 Kulit yang terluka harus dengan segera di cuci dan dibersikan berulang kali
dengan sabun kemudian berikan povidone iodine atau klorhexidine
 Mata atau membran mukosa harus diirigasi dengan NaCL 0,9 % atau air
bidestilata selama 5-10 menit
 Untuk luka suntik atau tajam, biarkan darah keluar untuk beberapa saat
sebelum dibersihkan (jangan dipencet-pencet), setelah itu dibersihkan
dengan air yang mengalir dan sabun, kemudian diolesi dengan antiseptik.
2. Setelah melakukan prosedur pertolongan pertama, petugas segera
menghubungi petugas untuk manajemen profilaksis pasca pajanan dalam 2-4
jam maksimal 72 jam.
3. Petugas melakukan penilaian risiko pajanan dan konseling prates
4. Petugas yang terpajan, harus melakukan tes serologi yang dibutuhkan.
5. Petugas melakukan konseling pascatest, dan membuat dokumentasi.

2.8.2 Pencegahan Sekunder


Infeksi HIV/AIDS menyebabkan menurunnya sistem imun secara
progresif sehingga muncul berbagai infeksi opurtunistik yang akhirnya dapat
berakhir pada kematian. Sementara itu, hingga saat ini belum ditemukan obat
maupun vaksin yang efektif. sehingga pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi dalam
tiga kelompok sebagai berikut :
a. Pengobatan suportif yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum
penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat
simptomatik dan pemberian vitamin.
b. Pengobatan infeksi opurtunistik merupakan pengobatan untuk mengatasi
berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS.
Jenis-jenis mikroba yang menimbulkan infeksi sekunder adalah protozoa
(Pneumocystis carinii, Toxoplasma, dan Cryptotosporidium), jamur
(Kandidiasis), virus (Herpes, cytomegalovirus/CMV, Papovirus) dan
bakteri (Mycobacterium TBC, Mycobacterium ovium intra cellular,
Streptococcus, dll). Penanganan terhadap infeksi opurtunistik ini
disesuaikan dengan jenis mikroorganisme penyebabnya dan diberikan
terus-menerus.
c. Pengobatan antiretroviral (ARV), ARV bekerja langsung menghambat
enzim reverse transcriptase atau menghambat kinerja enzim protease.
Pengobatan ARV terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup,
menjadikan infeksi opurtunistik menjadi jarang dan lebih mudah diatasi
sehingga menekan morbiditas dan mortalitas dini, tetapi ARV belum dapat
menyembuhkan pasien HIV/AIDS ataupun membunuh HIV.
2.9 VCT (Voluntary Counseling and Testing)
Konseling HIV/AIDS adalah dialog antara seseorang (klien) dengan
pelayan kesehatan (konselor) yang bersifat rahasia, sehingga memungkinkan
orang tersebut mampu menyesuaikan atau mengadaptasikan diri dengan stress dan
sanggup membuat keputusan bertindak berkaitan dengan HIV/AIDS. Konseling
dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis,
informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV,
mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan ARV
dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS.
VCT adalah proses konseling pra testing, konseling post testing, dan
testing HIV secara sukarela yang bersifat confidential dan secara lebih dini
membantu orang mengetahui status HIV. Konseling pra testing memberikan
pengetahuan tentang HIV dan manfaat testing, pengambilan keputusan untuk
testing, dan perencanaan atas isu HIV yang akan dihadapi. Konseling post testing
membantu seseorang untuk mengerti dan menerima status (HIV+) dan merujuk
pada layanan dukungan.
Tahap VCT :
a. Sebelum Deteksi HIV (Pra Konseling) Pra konseling disebut juga konseling
pencegahan AIDS. Dua hal yang penting dalam konseling ini, yaitu aplikasi
perilaku klien yang menyebabkan klien dapat berisiko tinggi terinfeksi
HIV/AIDS dan apakah klien mengetahui HIV/AIDS dengan benar. Tujuan
konseling pra tes HIV ini adalah agar klien memahami benar kegunaan tes
HIV/AIDS, klien dapat menilai risiko dan mengerti persoalan dirinya, klien
dapat menurunkan rasa kecemasannya, klien dapat membuat rencana
penyesuaian diri dalam kehidupannya, klien memilih dan memahami apakah
ia akan melakukan tes darah HIV/AIDS atau tidak.
b. Informed Consent (Persetujuan Tindakan Medis) adalah persetujuan yang
diberikan oleh orang dewasa yang secara kognisi dapat mengambil keputusan
dengan sadar untuk melaksanakan prosedur (tes HIV dan tindakan medik
lainnya) bagi dirinya atau atas spesimen yang berasal dari dirinya. Juga
termasuk persetujuan memberikan informasi tentang dirinya untuk suatu
keperluan penelitian. Semua klien sebelum menjalani testing HIV harus
memberikan persetujuan tertulisnya. Untuk klien yang tidak mampu
mengambil keputusan bagi dirinya karena keterbatasan dalam memahami
informasi maka tugas konselor untuk berlaku jujur dan obyektif dalam
menyampaikan informasi sehingga klien memahami dengan benar dan dapat
menyatakan persetujuannya.33
Tes HIV adalah tes darah yang dilakukan untuk memastikan apakah
seseorang sudah positif terinfeksi HIV atau belum. Hal ini perlu dilakukan agar
seseorang bisa mengetahui secara pasti status kesehatannya, terutama status
kesehatan yang menyangkut risiko perilaku seksualnya selama ini.
Prinsip Testing HIV adalah sukarela dan terjaga kerahasiaanya. Testing
dimaksud untuk menegakkan diagnosis. Testing yang digunakan adalah testing
serologis untuk mendeteksi antibodi HIV dalam serum atau plasma. Spesimen
adalah darah klien yang diambil secara intravena, plasma atau serumnya. Tujuan
testing HIV ada 4 yaitu untuk membantu menegakkan diagnosis, pengamanan
darah donor (skrining), untuk surveilans, dan untuk penelitian.
Konseling pasca testing merupakan kegiatan konseling yang harus
diberikan setelah hasil tes diketahui, baik hasilnya positif maupun negatif,
konseling pasca tes sangat penting untuk membantu klien yang hasilnya positif
agar dapat mengetahui cara menghindarkan penularan HIV kepada orang lain.
Cara mengatasinya dan menjalani hidup secara positif. Bagi mereka yang hasil
tesnya HIV negatif, maka konseling pasca tes bermanfaat untuk membantu
tentang berbagai cara mencegah infeksi HIV di masa mendatang.
Terapi
Inisiasi pengobatan dini penting untuk mencapai keberhasilan terapi. Pada
tahun 2012, banyak negara memperbolehkan pemberian ARV pada pasien dengan
kadar CD4 ≤ 350 sel/mm3 dan beberapa negara mulai mengacu pada pemberian
ARV dengan kadar CD4 ≤ 500 sel/mm3 . Kunci utama nya adalah
mempertahankan orang yang menerima terapi ARV selama perawatan dan
memastikan kepatuhan pengobatan yang baik demi mencapai supresi atau
penekanan viral load jangka panjang.
Saat ini terdapat 4 (empat) golongan obat Antiretro Viral (ARV) yang
tersedia: reverse transcriptase inhibitors, protease inhibitors, integrase inhibitors,
dan fusion inhibitors. Untuk golongan reverse transcriptase inhibitors terdiri dari
nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI), nucleotide reverse
transcriptase inhibitors (NtRTI), dan nonnucleoside reverse transcriptase
inhibitors (NNRTI).
Rekomendasi memulai terapi antiretroviral penderita dewasa menurut
WHO (2006)

Keterangan :
a. CD4 perlu diperiksa segera terutama untuk penetapan terapi, seperti
pada TB pulmoner dan infeksi bakteri berat
b. Total limfosit 1200/mm3 atau kurang, dapat dipergunakan bila CD4 tak
dapat diperiksa dan infeksi HIV mulai manifest. Tidak diberlakukan pada
asimptomatis, stadium klinis 2
c. Memulai ARV direkomendasi pada infeksi HIV stadium 3 dengan
kehamilan dan CD4 < 350 sel/mm3
d. Memulai ARV direkomendasi pada semua infeksi HIV dengan CD4 <
350 sel/mm3 dengan TB pulmoner.

Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:

Pemberian Antiretroviral pada ibu hamil


BAB III
PEMBAHASAN

Tn. AM merupakan pasien rujukan dari Puskesmas Pabelan dengan


diagnosis B20. Berbagai keluhan dan gejala yang dikeluhkan pasien saat pertama
kali datang ke IGD sebagian besar merupakan gejala dan tanda klinis yang patut
dicurigai sebagai infeksi HIV, antara lain : kehilangan berat badan >10% dari
berat badan dasar, demam intermitten ± 1 bulan, riwayat sakit gatal – gatal pada
kulit, kandidiasis oral. Namun, kita juga tetap harus menyingkirkan diagnosis
banding lainnya. Untuk menyingkirkan diagnosis banding maka telah dilakukan
anamnesis lanjutan, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
anamnesis lanjutan didapatkan data bahwa pasien belum pernah memiliki riwayat
VCT sebelumnya. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 3 Juni
2017 menunjukkan HIV rapid test positif.
Kemudian setelah beberapa hari dirawat, pasien mengeluhkan terasa gatal-
gatal agak panas di seluruh tubuh. Gejala ini menunjukkan adanya penurunan
sistem imun karena kemungkinan rasa gatal yang muncul merupakan gejala dari
penyakit kulit yang sudah mulai sembuh.
Pasien Tn. AM ini belum melakukan konsultasi VCT. Namun, pasien juga
mulai menunjukkan gejala – gejala munculnya infeksi oportunistik. Namun, untuk
diagnosis secara kuantitatif perlu dilakukan uji jumlah CD4. Pada pasien ini
belum dilakukan pemeriksaan CD4 absolut. Tahap ini semakin memperkuat
kemungkinan munculnya berbagai macam infeksi oportunis. Oleh karena itu,
perlu diberikan profilaksis infeksi oportunis berupa cotrimoxazol. Pada pasien ini
sudah diberikan cotrimoxazol. Setelah didiagnosis sebagai HIV, maka skrining
infeksi oportunistik perlu dilakukan menggunakan pemeriksaan penunjang berupa
cek darah rutin, urinalisis, fungsi ginjal, fungsi hati, elektrolit, dan
imunoserologis. Hasil darah rutin (leukosit, eritrosit, Hb, hematokrit dan
trombosit) menunjukkan hasil yang relatif menetap berada di bawah nilai rujukan
normal, walaupun mulai terjadi peningkatan jumlah dalam kuantitas kecil. Deteksi
dini adanya infeksi oportunis juga dilakukan dengan pemeriksaan radiologi
berupa CT Scan. Rontgen thorax seharusnya juga dilakukan mengingat infeksi
oportunis HIV cukup sering menyerang saluran pernafasan seperti TBC,
pneumonia dan infeksi lainnya. Hasil Rontgen thorax Tn. AM menunjukkan
adanya gambaran Bronchitis. Pada pasien ini juga sudah diberikan pengobatan
ARV, yaitu TDF 1x1. Sebelumnya pasien sudah mendapatkan terapi seperti
Paracetamol, Panviton, Psidii, SF dan Ceftriaxon.
Menurut data riwayat sosial pasien, didapatkan faktor risiko terbesar yang
mungkin menjadi sumber infeksi HIV ini adalah melakukan hubungan sex
berganti-ganti pasangan sebelum menikah. Tidak diketahui riwayat pemakaian
kondom karena pasien menolak memberi keterangan.
DAFTAR PUSTAKA

Arif, M, 2000, Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II: Jakarta.: Media Aeculapius,
Page 573-585

Fajar, Yanuar. 2013. Pneumocystis Pneumonia pada Infeksi Human


Immunodeficiency Virus. Jakarta : Departemen Paru RSPAD Gatot
Soebroto.
Kemenkes RI. 2011. Pedoma Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antriretroviral Pada Orang Dewasa. Jakarta
Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. 2011. Petunjuk teknis Tata laksana klinis Ko-
infeksi TB HIV
Merati,dkk. 2009. Respon Imun Infeksi HIV. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I Edisi V. Jakarta : Interna Publishing. Page 421-428
Sukmana, dkk. 2009. Penyakit Kompleks Imun. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I Edisi V. Jakarta : Interna Publishing. Page 415-420
UNAIDS/WHO. Global Report. UNAIDS Report on the Global AIDS Epidemic,
in Chapter II, Epidemic Update. Joint United Nations Programme on
HIV/AIDS (UNAIDS). Available from :
http://www.unaids.org/documents/20101123_GlobalReport_em.pdf
HALAMAN PENGESAHAN

Telah Disetujui dan Disahkan Presentasi Kasus dengan Judul


“HIV/AIDS”

Disusun oleh:
Nama: Hanne Komalaningrum
No. Mahasiswa: 20120310130

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal: Selasa / 13 Juni 2017

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

dr. Widodo Raharjo, Sp.PD

Anda mungkin juga menyukai