Anda di halaman 1dari 27

Presentasi Kasus

Asma Kronik Eksaserbasi Akut

Pembimbing:
dr. Agung, Sp.P

Disusun oleh;
Debora Lusiana Herman

Rumah Sakit Umum Daerah Adjidarmo


Lebak Banten
2017
HALAMAN PENGESAHAN
Presentasi Kasus

Asma Kronik Eksaserbasi Akut

Disusun oleh:
dr. Debora Lusiana Herman

Disusun untuk memenuhi syarat mengikuti Program Dokter Internsip Indonesia


RSUD dr. Adjidarmo
Lebak

Telah diperiksa, disetujui, dan disahkan


Hari : Rabu
Tanggal : 30 Agustus 2017

Pembimbing

dr. Agung, Sp.P


Laporan Kasus

Identitas Pasien
Nama : Ny. EF
Umur : 28 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status : Menikah
Masuk RS : 11 Agustus 2017

ANAMNESIS
Keluhan Utama
Sesak nafas sejak 1 hari SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
- Sejak 1 hari SMRS pasien mengeluhkan sesak nafas semakin memberat. Pasien tidak
dapat melakukan aktivitas dan terasa lemas.
- Sebulan terakhir pasien merasa sesak timbul hampir setiap hari yang timbul saat
pasien melakukan banyak aktivitas dan memberat saat dini hari.
- Pasien tidak pernah berobat ke dokter. Pasien membeli obat dari apotik.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat asma sejak usia 6 tahun. Serangan asma dirasakan sebulan sekali.
- Hipertensi (-), Diabetes melitus (-).
Riwayat Penyakit Keluarga
- Nenek menderita asm
Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan
- Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga, tidak merokok, dan tidak minum alkohol.
Pemeriksaan Umum
- Kesadaran : Kompos Mentis
- Keadaan umum : tampak sakit sedang
- Tekanan Darah : 137/99 mmHg
- Nadi : 96x/menit
- Napas : 35x/menit
- Suhu : 36,3 C
- Spo2 : 86%

Pemeriksaan Fisik
Kepala
- Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat, isokor, diameter 3
mm, reflek cahaya +/+.
- Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)
JVP 5-2 cmH20
Toraks
- Paru: Inspeksi : bentuk thorax normal, gerakan dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus kiri dan kanan sama
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi :ekspirasi memanjang, wheezing (+/+), ronkhi (-/-)
- Jantung : Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba luas 2 jari lateral LMCS – RIC V
Perkusi : Batas jantung kanan : Linea parasternalis dekstra
Batas jantung kiri : 2 jari lateral LMCS – RIC V sinistra
Auskultasi : Suara jantung normal, bising (-)
Abdomen
Inspeksi : perut datar, venektasi (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (-), hepatosplenomegali (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal

Ekstremitas
Akral hangat, edema tungkai (-), clubbing finger (-)
Pemeriksaan Penunjang
Tanggal 11 agustus 2017
- Laboratorium darah rutin
Hb : 15,2 gr %
Leukosit : 13.460 /mm3
Trombosit : 274.000/mm3
Hematokrit: 44,4 gr %
- Laboratorium kimia darah
Glukosa : 88 mg/dl
Rontgen thorax

Diagnosis
Asma Kronik Eksaserbasi Akut
Terapi

 Oksigen 3 lpm Nk
 Inhalasi Combivent/ 6 jam
 Injeksi Metilprednisolon 2 x1 amp
 Injeksi Ranitidin 2 x 1 amp
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Asma eksaserbasi adalah episode akut asma dengan sesak yang memburuk secara
progresif disertasi batuk, mengi, dan dada sakit, atau beberapa kombinasi gejala-gejala tersebut.2
Eksaserbasi ditandai dengan menurunnya arus nafas yang dapat diukur secara obyektif
(spirometri atau PFM) dan merupakan indikator yang lebih dapat dipercaya dibanding gejala.
Penderita asma terkontrol dengan steroid inhaler , memiliki risiko yang lebih kecil untuk
eksaserbasi. Namun, penderita tersebut masih dapat mengalami eksaserbasi, misalnya bila
menderita infeksi virus saluran napas.

Etiologi
Asma eksaserbasi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, kadang-kadang ada yang
disebut sebagai "pemicu" antara lain : alergen, infeksi virus, polusi dan obat.3

Penyebab eksaserbasi :
1. Infeksi virus saluran nafas
2. Mycoplasma pneumonia
3. Chlamydia pneumonia
4. Alergen
5. Iritan (SO2 , debu, kotoran, jelaga, asap)
6. Obat (aspirin)
7. Emosi
8. Tidak patuh pada pengobatan

Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu4:


1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergi yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik
seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (contoh: antibiotik dan aspirin) dan spora
jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap
alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas,
maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.

2. Intrinsik (non alergik)


Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak
spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi
saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan
berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa
pasien akan mengalami asma gabungan.

3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik
dan non-alergik.

Gambar 1. Tipe asma.


Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan:

1. Faktor predisposisi
Genetik. Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini,
penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus.
Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.

2. Faktor presipitasi
a. Alergen, dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
 Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan (debu, bulu binatang, serbuk bunga,
spora jamur, bakteri dan polusi)
 Ingestan, yang masuk melalui mulut (makanan dan obat-obatan)
 Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit (perhiasan, logam dan jam
tangan)
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim kemarau,
musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
c. Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus
segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat
untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala
asmanya belum bisa diobati.
d. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan,
industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
e. Olahraga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas
jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.
Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

Epidemiologi

Asma merupakan masalah kesehatan dunia. Diperkirakan sebanyak 300 juta orang menderita

asma, dengan prevalensi sebesar 1- 18 %, bervariasi pada berbagai negara. Kejadian asma

dipengaruhi factor genetik, lingkungan, umur dan gender dan terdapat kecenderungan

peningkatan insidensinya terutama didaerah perkotaan dan industri akibat adanya polusi udara.

Prevalensi di Indonesia adalah sebesar 5 – 7 %. PBB memperkirakan disability – adjusted life

years ( DALYs ) sebanyak 15 juta setiap tahun karena asma, yang merupakan 1% dari beban

global akibat penyakit. Mortalitas sebesar 250.000/tahun yang tidak proporsional dengan

prevalensi penyakit. Polusi menyebabkan peningkatan asma diseluruh dunia.

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah penderita asma

di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka ini akan terus meningkat

hingga 400 juta penderita pada tahun 2025.

Patogenesis
1. Hygiene Hypothesis
Hubungan antara awal kehidupan dan perkembangan alergi sudah banyak diteliti.
Strachan merupakan orang yang pertama kali mengemukakan teori hygiene hypothesis.
Teori tersebut mengatakan infeksi dan kontak dengan lingkungan yang tak higienis dapat
melindungi diri dari perkembangan alergi (Sohn, 2008) Hipotesis tersebut berdasarkan
pemikiran bahwa sistem imun pada bayi didominasi oleh sitokin T helper (Th2). Setelah
lahir pengaruh lingkungan akan mengaktifkan respons Th1 sehingga akan terjadi
keseimbangan Th1/Th2. Beberapa bukti menunjukkan bahwa insidensi asma menurun
akibat infeksi tertentu (M. tuberkulosis, measless atau hepatitis A) dan penurunan
penggunaan antibiotik. Ketiadaan kejadian tersebut menyebabkan keberadaan Th2
menetap. Sehingga keseimbangan akan bergeser kearah Th2, merangsang produksi
antibodi IgE untuk melawan antigen lingkungan seperti debu rumah dan bulu kucing.
Sel Th1 dan Th2 menghambat perkembangan satu sama lain. Produksi IgE pada
penderita atopi meningkat sehingga mempengaruhi keseimbangan Th2dan Th1.
Perkembangan sekresi Th2 memerlukan IL-4. Sitokin ini dihasilkan olehplasenta untuk
mencegah penolakan imunologis janin. Menetapnya Th2 plasentaberhubungan dengan
perubahan nutrisi sehingga tidak terbentuk Th1, inimerupakan faktor utama peningkatan
prevalensi penyakit alergi dalam 30 – 40tahun terahir. Faktor lain adalah turunnya infeksi
berat pada bayi dan interaksiantara alergen dan polusi udara yang cenderung untuk terjadi
sensitisasi. Infeksiakan menyebabkan peningkatan respons Th1 dan akan
menurunkankecenderungan perkembangan penyakit yang berhubungan dengan Th
2.12Sel Th2 akan meningkatkan sintesis IL-4 dan IL-13 yang pada akhirnyaakan
menaikkan produksi IgE. Sedangkan sel Th1 yang menghasilkan interferongama (IFNγ)
akan menghambat sel B untuk menghasilkan IgE.12-13 Untuk lebihjelasnya bisa dilihat
dalam gambar di bawah.
Sel efektor imun utama yang bertanggung jawab terhadap reaksi alergi baik di
hidung maupun paru adalah sel mast, limfosit T dan eosinofil. Setelahseseorang
mengalami sensitisasi, IgE disintesis kemudian melekat ke target sel.Pajanan alergen
mengakibatkan reaksi yang akan melibatkan sel-sel tersebut diatas. Sitokin atau kemokin
yang berperan dalam perkembangan, recruitment danaktivasi eosinofil adalah IL-3, IL-4,
IL-5, IL-13, granulocyte-machrophage colony stimulating factor (GM-CSF), kemotaksin
dan regulation on activation normal T cell expressed and secreted (RANTES).
2. Mekanisme Inflamasi Saluran Nafas
Inflamasi mempunyai peran utama dalam patofisiologi rinitis alergi dan asma.
Inflamasi saluran napas melibatkan interaksi beberapa tipe sel dan mediator yang akan
menyebabkan gejala rinitis dan asma. Inhalasi antigen mengaktifkan sel mast dan sel Th2
di saluran napas. Keadaan tersebut akan merangsang produksi mediator inflamasi seperti
histamin dan leukotrien dan sitokin seperti IL-4 dan IL-5. Sitokin IL-5 akan menuju ke
sumsum tulang menyebabkan deferensiasi eosinofil (Busse, 2001). Eosinofil sirkulasi
masuk ke daerah inflamasi alergi dan mulai mengalami migrasi ke paru dengan rolling
(menggulir di endotel pembuluh darah daerah inflamasi), mengalami aktivasi, adhesi,
ekstravasasi dan kemotaksis (Kamen, 2006) Eosinofil berinteraksi dengan selektin
kemudian menempel di endotel melalui perlekatannya dengan integrin di superfamili
immunoglobulin protein adesi yaitu vascular-cell adhesion molecule(VCAM)-1 dan
intercellular adhesion molecule (ICAM)-1.

Gambar 2. Mekanisme masuknya leukosit ke daerah inflamasi


Eosinofil, sel mast, basofil, limfosit T dan sel Langerhan masuk ke saluran napas
melalui pengaruh beberapa kemokin dan sitokin seperti RANTES,eotaksin, monocyte
chemotactic protein (MCP)-1 dan macrofag inflamatory protein (MIP)-1ά yang dilepas
oleh sel epitel. Eosinofil teraktivasi melepaskanmediator inflamasi seperti leukotrien dan
protein granul untuk menciderai salurannapas. Survival eosinofil diperlama oleh IL-4 dan
GM-CSF, mengakibatkaninflamasi saluran napas yang persisten.14 Untuk keterangan
lebih jelas tentangproses inflamasi saluran napas dapat dilihat pada gambar di bawah.

Gambar 3. Proses inflamasi pada saluran napas


Aspek dasar yang dibutuhkan untuk menghasilkan respons inflamasi
yangdimediasi IgE di paru nampaknya sama pada pasien alergi dengan atau tanpaasma.
Akan tetapi faktor yang bertanggung jawab untuk menentukan mengapalebih banyak
menderita rinitis saja dibanding rinitis dan asma masih belumdiketahui secara pasti.
Akumulasi sel mast pada saluran napas merupakan patofisiologi pentingbaik pada
asma maupun rinitis alergi. Efek biokimia spesifik akibat degranulasisel mast hampir
sama pada saluran napas atas maupun bawah. Sedangkan efekfisiologis memiliki
perbedaan. Edema mukosa yang dimediasi oleh sel mastterjadi baik di saluran napas atas
maupun bawah, akan menyebabkan obstruksi.Sedangkan kontraksi otot polos saluran
napas bawah lebih berat dalammerespons inflamasi dibanding saluran napas atas.
Histamin tidak begitu kuat dalam menyebabkan bronkokonstriksi, sehingga perannya
pada saluran napasatas dan bawah berbeda. Akibatnya efek antihistamin lebih bermakna
pada rinitisalergi daripada asma (Alan, 1999).
Imunoglobulin E menempel pada sel mast jaringan dan basofil sirkulasimelalui
reseptor dengan afinitas tinggi yang diekspresikan oleh permukaan sel.Alergen menempel
pada IgE spesifik dan merangsang aktivasi sel denganmelepas beberapa mediator seperti
histamin, leukotrien, prostaglandin dankinins. Hal tersebut menyebabkan terjadi gejala
rinitis dan asma melaluipengaruh langsung terhadap reseptor syaraf dan pembuluh darah
pada salurannapas dan juga pada reseptor otot polos (Peter, 1998)
Histamin dan leukotrien dilepas dari basofil maupun sel mast dan
akanmenyebabkan timbulnya gejala secara cepat dalam beberapa menit. Gejala
padasaluran napas atas meliputi rasa gatal pada hidung, bersin dan rinorea.Sedangkan
gejala pada saluran napas bawah meliputi bronkokonstriksi,hipersekresi kelenjar mukus,
sesak napas, batuk dan mengi (Peter, 1998) Gejala rinitismaupun asma yang timbul
akibat terlepasnya mediator bisa dilihat dalam tabel di bawah.
Respons berikutnya akibat degranulasi sel mast karena terinduksi antigen disebut
reaksi tipe lambat. Baik pada saluran napas atas dan bawah, responstipe lambat ini
menimbulkan gejala obstruksi. Reaksi fase lambat diawalidengan pajanan alergen oleh
antigen presenting cell (APC) ke sel Th2CD4,selanjutnya terjadi pengeluaran sitokin
yaitu IL-3, IL-5 dan GM-CSF. Interleukin 5dan GM-CSF menyebabkan penarikan dan
aktivasi eosinofil. Eosinofil yangteraktivasi mengeluarkan berbagai growth factor, enzim
elastase danmetaloproteinase, kemokin (RANTES, MIP-1ά, eotaksin), mediator lipid
dansitokin. Akibatnya terjadi edema submukosa dan hiperreaktivitas bronkus.
Eosinofil menghasilkan mediator lipid, protein granul kristaloid, sitokin
dankemokin. Mediator lipid, protein granul kristaloid, sitokin dan kemokin
mempunyaiperan dalam patogenesis asma fase lambat.
Sel basofil memainkan peranan penting reaksi tipe lambat ini padasaluran napas
atas tapi tidak pada saluran napas bawah. Meskipun demikianrespons tipe lambat baik
pada saluran napas atas maupun bawah diwujudkanoleh masuknya sel inflamasi terutama
sel eosinofil ke dalam saluran napas danpeningkatan reaktifitas saluran napas. Infiltrasi
eosinofil pada rinitis alergi danasma dapat timbul akibat pelepasan berbagai mediator dan
sitokin dari sel mast,limfosit T, sel epitel dan kalau dari saluran napas dari sel otot polos.
Kerusakanjaringan baik pada rinitis maupun asma dimediasi oleh eosinophil.
Manfaat leukotrien sebagai kemoatraktan untuk eosinofil dan mediatoryang
dihasilkan oleh eosinofil adalah terbatas. Leukotrien mempunyai banyakcara kerja
biologis yang penting dalam menyebabkan patofisiologi asma danrinitis. Salah satunya
adalah mempunyai kemampuan menyebabkan ataumeningkatkan kontraksi otot polos,
sekresi mukus, permeabilitas pembuluhdarah dan infiltrasi sel. Enzim 5-Lipooxygenase
(5-LO) merupakan enzim pentingdalam menghasikan leukotrien. Inhibisi kerja 5-LO atau
antagonis kerja cysteinyl leukotrien pada reseptornya (cysteinil LT1) mempunyai efek
yang bermaknapada penderita rinitis dan asma.
Mekanisme aktivasi eosinofil pada saluran napas atas dan bawah masih belum
banyak diketahui tetapi mekanisme utamanya tampak sama danberhubungan dengan
adhesi molekul. Molekul adhesi dapat meningkatkanproses sekresi eosinofil. Jadi sitokin,
mediator, interaksi matriks dan rangkaianutama saluran napas atas dan bawah adalah
sama. Rangkaian utamanya adalahakibat melekatnya sel inflamasi pada endotel maupun
protein matriks melaluimatriks spesifik yang akan menyebabkan proses inflamasi seperti
sekresi leukotriene.
Eosinofil juga terlibat dalam airway remodelling yang akan menyebabkan
refractory asthma. Akan tetapi masih sulit untuk mendefinisikan secara pastiapakah
airway remodelling merupakan proses fisiologis, farmakologis atauanatomis. Fibrosis
subendotel terlihat pada proses remodeling asma alergi tetapibukan merupakan proses
analog pada rinitis alergi. Hal tersebut akibat dariperbedaan respons end organ.21
Eosinofil menghasilkan sitokin, kemokin,mediator lipid dan growth factor dan mampu
menyebabkan peningkatan sekresimukus, menyebabkan fibrosis subepitel. Eosinofil
teraktivasi melepaskan proteintoksik yang mengakibatkan kerusakan jaringan saluran
napas yaitu major basic protein (MBP) dan eosinophil cationic protein (ECP) yang
merusak sel epitel dan syaraf, eosinophil-derived neurotoxin (EDN), eosinophil
peroxidase dan mediatorlipid.
Eosinofil menghasilkan protein yang menyebabkan fibrogenesis danangiogenesis
yang dapat mengaktifkan sel mesenkim dan merangsang sintesisprotein extracellular
matrix (ECM). Aktivasi fibroblas dilakukan oleh IL-4, IL-6, IL-11, IL-13, IL-17, TGF-β,
NGF dan PDGF. Sitokin tersebut akan menyebabkan diferensiasi dan migrasi fibroblast.
Transforming growth factor (TGF)-β dan fibroblast growth factor (FGF)-
2mempunyai pengaruh langsung terhadap otot polos saluran napas.
Eosinofilmenghasilkan angiogenic factor yaitu VEGF dan angiogenin. Sel
endoteldiaktifkan oleh FGF-2 dan tumor necrosis factor (TNF)-ά. Aktivasi sel
epitel,sintesis ECM dan hipersekresi mukus akibat pelepasan sitokin derivat
eosinofilyakni TGF-β, IL-4, IL-13 dan TGF-ά.
Faktor lain yang menyebabkan perbedaan respons pada hidung dan paruadalah
ukuran saluran napas, suplai darah permukaan dan pajanan lingkungan.Perbedaan penting
lainnya adalah lamanya sel inflamasi, mediator dan sitokintinggal dan mekanisme
perbaikan epitel setelah proses inflamasi. Terdapatwaktu tinggal sel inflamasi dan
perbaikan kerusakan epitel yang lebih lama padasaluran napas bawah dibanding atas
setelah terpajan antigen.
Perbedaan epitel saluran napas atas dan bawah adalah dalam halepithelial
shedding dan heterogenitas epitel. Epithelial shedding pada asma lebihsering terjadi
daripada rinitis alergi. Epitel saluran napas bawah menghasilkanzat yang menyebabkan
bronkokonstriksi antara lain mediator lipid, endotelin dansitokin yang akan menyebabkan
perburukan gejala. Hal tersebut tidak terjadipada saluran napas atas. Heterogenitas epitel
saluran napas bawah yang lebihbesar daripada atas akan menyebabkan durasi inflamasi
yang lebih lama.
Perbedaan penting lainnya adalah keterlibatan otot polos. Otot polossaluran napas
merupakan sel sekresi yang merupakan bagian dari prosesautokrin. Saluran napas atas
mempunyai sedikit otot polos berakibat terdapatperbedaan gejala rinitis alergi dan asma.
Otot polos saluran napas dapatmenghasilkan RANTES, eotaksin, GM-CSF dan
prostaglandin E2 (PGE2) yangbisa berperan dalam bronkokonstriksi maupun
bronkodilatasi.
Hidung mempunyai perbedaan dalam hal banyaknya terpajan alergen daniritan
lingkungan. Demikian juga berbeda tingkatan dan mekanisme molekulefektor seperti
histamin dan leukotrien yang menghasilkan efek patologis padahidung dibandingkan
pada paru.23 Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapatpersamaan dan juga perbedaan dalam
hal tipe dan peran sel efektor danmediator dalam patogenesis rinitis alergi dan asma. Hal
tersebut akanmenyebabkan persamaan dan perbedaan dalam hal tanda dan gejala rinitis
alergi dan asma.
3. Sitokin pada Asma
Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi tubuh sebagai respons terhadap
rangsang mikroba dan antigen lainnya dan berperan sebagai mediator pada reaksi imun
dan inflamasi. Sitokin dapat memberikan efek langsung dan tidak langsung. Efek
langsung lebih dari satu efek terhadap berbagai jenis sel (pleitropi), autoregulasi (fungsi
autokrin), terhadap sel yang letaknya tidak jauh (fungsi parakrin). Efek tidak langsung
yaitu menginduksi ekspresi reseptor untuk sitokin lain dalam merangsang sel
(sinergisme), mencegah ekspresi reseptor atau produksi sitokin (antagonism).
Sekresi sitokin terjadi cepat dan hanya sebentar. Kerjanya sering pleitropik (satu
sitokin bekerja terhadap berbagai jenis sel yang menimbulkanberbagai efek) dan
redundant (berbagai sitokin menunjukkan efek yang sama).Oleh karena itu efek antagonis
satu sitokin tidak akan menunjukkan hasil nyatakarena ada kompensasi sitokin lain.
Sitokin sering berpengaruh terhadap sintesis dan efek sitokin yang lain. Efek
sitokin dapat lokal maupun sistemik. Sinyal luar mengatur ekspresi reseptorsitokin atau
respons sel terhadap sitokin. Efek sitokin terjadi melalui ikatandengan reseptornya pada
membran sel sasaran. Respons seluler terhadapkebanyakan sitokin terdiri atas perubahan
ekspresi gen terhadap sel sasaranyang menimbulkan ekspresi fungsi baru dan kadang
proliferasi sel sasaran.
Proses inflamasi saluran napas diatur oleh interaksi sitokin dan growthfactor yang
disekresi tidak hanya oleh sel inflamasi tetapi juga oleh komponenjaringan diantaranya
sel epitel, fibroblas dan sel otot polos. Secara keseluruhan sitokin dapat dikelompokkan
sebagai:
a. Sitokin Th2 seperti IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13,
b. Sitokin proinflamasi diantaranya tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan IL-1s,
c. Kemokin seperti RANTES, eotaksin dan MCP-1,
d. Growth factor seperti transforming growth factor –s dan epidermal growth factor.

Eksaserbasi
Faktor yang dapat mencetuskan sehingga terjadi eksaserbasi dan yang dapat
menyebabkan bronkokonstriksi adalah udara dingin, kabut, olahraga. Stimulus yang dapat
menyebabkan inflamasi saluran nafas seperti pemaparan alergen, virus saluran nafas. Olahraga
dan hiperventilasi pernafasan dengan keadaan udara dingin dan kering menyebabkan
bronkokonstriksi dan pelepasan sel lokal dan mediator inflamasi seperti histamin, leukotrien
yang dapat menstimulasi otot polos. Eksaserbasi asma dapat timbul selama beberapa hari.
Sebagian besar berhubungan dengan infeksi saluran nafas, yang paling sering adalah common
cold oleh rhinovirus yang dapat menginduksi respon inflamasi intrapulmoner. Pada pasien asma,
inflamasi terjadi dengan derajat obstruksi yang bervariasi serta dapat memperberat
hipereaktivitas bronkial. Respon inflamasi ini melibatkan aktivasi dan masuknya eosinofil dan
atau neutrofil yang dimediasi oleh pelepasan sitokin atau kemokin T atau sel epitel bronkial.
Selain itu, paparan alergen juga mencetuskan eksaserbasi pada pasien asma.8

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan :

1. Anamnesis

Diagnosis asma didasarkan pada karakteristik gejala pernapasan seperti wheezing,


dispnea, dada terasa berat dan batuk, serta hambatan udara ekspirasi yang bervariasi.
Berikut ini adalah penjelasan tentang diagnosis asma(GINA, 2016):
a. Lebih dari satu gejala berikut ini (wheezing, dispnea, batuk, dada terasa berat),
terutama pada dewasa
b. Gejala memburuk pada malam hari atau pada awal pagi hari
c. Gejala bervariasi dalam hal waktu dan internsitas
d. Gejala dipicu oleh infeksi virus (flu), olahraga, paparan alergen, perubahan musim,
atau iritan seperti asap, atau bau yang menyengat.

Berikut ini adalah gejala-gejala yang menurunkan kemungkinan bahwa seseorang


menderita penyakit asma(GINA, 2016):
a. Batuk tanpa gejala respirasi lain
b. Produksi sputum kronik
c. Dispneu terkait dengan kepala pusing, kepala terasa ringan, dan parestesia perifer
d. Nyeri dada
e. Dispneu dengan inspirasi nyaring terkait olahraga

Tabel 2. Kriteria Diagnosis Asma (GINA, 2016)


Fitur diagnosa Kriteria untuk membuat diagnosa
Riwayat gejala asma yang bervariasi
Mengi, sesak napas, dada • Umumnya lebih dari 1 gejala
terasa berat, dan batuk • Gejala bervariasi dari waktu ke waktu
dan juga intensitasnya
• Gejala seringkali memburuk pada
malam hari atau saat bangun
• Gejala sering dipicu oleh latihan fisik,
tertawa, alergen, udara dingin
• Gejala sering muncul atau memburuk
pada infeksi virus
Keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi
Variabilitas fungsi paru Makin besar variasi/ makin sering, makin
yang besar (1 atau lebih uji) besar kemungkinan.
DAN keterbatasan aliran Penurunan FEV1/FVC >1 kali, saat
udara FEV1 rendah (normal >0.75 – 0.80 pada
dewasa sehat dan >0.90 pada anak)
Uji reversibilitas bronkus Dewasa : peningkatan FEV1 >12% dan
positif >200mL dari nilai awal, 10-15 menit
setelah pemberian 200-400 mcg albuterol
atau setara; anak: peningkatan >12%
prediksi)
Variabilitas pengukuran Dewasa: rata-rata variabilitas harian PEF
PEF 2x/hari selama 2 diurnal > 10%
minggu Anak: > 13%
Kenaikan fungsi paru Dewasa: peningkatan FEV1 > 12% dan
setelah terapi anti-inflamasi 200 mgl (atau PEF > 200 ml)
selama 4 minggu
Uji ‘excersice challenge” Dewasa: tidak mencapai FEV1>10% dan
200 ml
Anak : tidak mencapai FEV1>12%
predicted/ PEF >15%
Uji ‘bronchial challenge’ Tidak mencapai FEV1 >20%
(umumnya hanya dilakukan (methacholine, histamine); 15%
pada dewasa) (mannitol atau lainnya)
Variasi fungsi paru di antara Dewasa: variasi FEV1 >12% dan > 200
kunjungan-kunjungan ke ml
dokter (kurang reliable) Anak: variasi FEV1 >12%

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan pada pasien asma seringkali normal. Abnormalitas yang paling


sering adalah wheezing ekspiratorik (ronkhi) pada auskultasi, tapi kadang tidak terdengar
atau hanya terdengar pada ekspirasi kuat yang dipaksa. Wheezing juga bisa tidak
ditemukan pada asma eksaserbasi berat, karena penurunan aluran udara yang sangat hebat
(silent chest), akan tetapi biasanya tanda-tanda patologis lain muncul. Wheezing juga bisa
ditemukan pada disfungsi jalan nafas atas, misalnya pada PPOK, infeksi saluran nafas,
trakeomalasia, atau corpus alienum. Crackles atau wheezing inspiratorik bukan
karakteristik asma. Perlu juga dilakukan pemeriksaan hidung untuk menemukan adanya
rinitis alergi atau polip nasal(GINA, 2016).
3. Pemeriksaan Penunjang :

 Spirometri8 :
- ( Volum Ekpirasi Paksa 1 detik ) VEP1< 70% dari nilai prediksi menunjukkan
adanya obstruksi jalan nafas.
- Tes reversibilitas : peningkatan VEP1≥ 12% dan ≥ 200 ml menunjukkan
reversibilitas yang menyokong diagnosis asma
 Arus Puncak Ekspirasi ( APE )8 :
- Reversibilitas. Peningkatan 60 L/menit ( atau ≥ 20% ) dengan pemberian
bronkodilator ( misalnya 200-400 ugr salbutamol ), atau variasi diurnal dari APE
≥ 20% ( dengan bacaan 2x sehari > 10% ) menyokong diagnosis asma
- Variabilitas. Merujuk pada perbaikan atau pemburukan gejala atau fungsi paru
dalam periode tertentu misal 1 hari ( variabilitas diurnal ), hari atau bulanan.

Tabel 1. nilai FEV1, PEFR, MMEFR

 Pengukuran Status Alergi


Untuk mengidentifikasi komponen alergi pada asma dapat dilakukan pemeriksaan uji
kulit atau pengukuran IgE spesifik serum dan eosinofil. Uji ini dapat membantu
mengidentifikasi faktor pencetus sehingga dapat dilakukan pencegahan terarah.
Umumnya dilakukan skin prick test. Namun, uji ini dapat menghasilkan positif palsu
maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi pajanan alergen dengan timbulnya gejala
harus selalu dilakukan.
 Analisa Gas Darah

Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma berat. Pada fase awal serangan, terjadi
hipoksemia dan hipokapnea (PaCO2 < 35 mmHg) kemudian pada stadium yang lebih
berat pada PaCO2 justru mendekati normal sampai normo-kapnea. Selanjutnya pada
asma yang sangat berat terjadi hiperkapnea (PaCO2 ≥ 45 mmHg), hipoksemia, dan
asidosis respiratorik.
 Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang
memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi saluran nafas,
pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma yang ringan, gambaran
radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan adanya kelainan.

Klasifikasi

Menurut Global Initiative for Asthma, derajat berat asma dibagi menjadi: (Medical
Communications Resources, Inc ; 2006.)
1. Intermiten
Gejala kurang dari 1 kali, serangan singkat, gejala nokturnal tidak lebih dari 2 kali/bulan
(FEV1 ≥80% predicted atau PEF ≥80% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau
FEV1<20%).
2. Persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari, serangan dapat mengganggu
aktivitas dan tidur, gejala nokturnal >2 kali/bulan (FEV1 ≥80% predicted atau PEF ≥80%
nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau FEV120-30%).
3. Persisten sedang
Gejala terjadi setiap hari, serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur, gejala
nokturnal >1 kali/ minggu, menggunakan agonis-β2 kerja pendek setiap hari (FEV1 60-
80% predicted atau PEF 60-80% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau
FEV1>30%).
4. Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari, serangan sering terjadi, gejala asma nokturnal sering terjadi
(FEV1 ≤60% predicted atau PEF ≤60% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau
FEV1>30%).

Klasifikasi derajat asma eksaserbasi akut:

Tabel 2. Klasifikasi derajat asma eksaserbasi.


Diagnosis Banding

Bila menemukan keluhan batuk sesak, mengi salah satu kelainan yang perlu dipikirkan
adalah obstruksi saluran nafas atas.
Diagnosis banding asma :
Kategori Kriteria

Penyakit penyebab sesak berulang PPOK, penyakit jantung coroner, GERD, gagal
jantung kongestif, emboli paru

Penyakit yang menimbulkan batuk Rhinitis, sinusitis, otitis, bronkiektasis

Penyakit yang sering menimbulkan PPOK, bronkiolitis obliterans, cystic fibrosis


obstruksi saluran nafas
Tabel 3. Diagnosis banding asma

Penatalaksanaan

Terapi utama untuk eksaserbasi adalah pemberian inhalasi β 2 agonist berulang,


glukokortikoid lebih awal dan oksigen.2
Sebelum memberi pengobatan diperlukan evaluasi awal ( assessment ). Evaluasi
keparahan penyakit diselesaikan dengan menilai kemampuan pasien mengucapkan kalimat, tanda
– tanda vital, PEFR dan pulse oxymetri.
Tujuan terapi adalah menghilangkan obstruksi saluran nafas dan hipoksemi secepat
mungkin dan mencegah kekambuhan.
Tujuan terapi adalah menghilangkan obstruksi saluran nafas dan hipoksemi secepat
mungkin dan kekambuhan. Yang paling penting dalam menentukan keberhasilan terapi adalah
monitoring kondisi pasien dan respons terapi dengan mengukur faal paru.2
Pasien yang beresiko tinggi kematian asma memerlukan perhatian lebih dan harus
mencari perawatan secepatnya di awal perjalanan eksaserbasi mereka. Antara lain :
 Dengan riwayat asma yang fatal yang membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanik
 Yang memiliki rawat inap atau kunjungan perawatan darurat untuk asma dalam satu
tahun terakhir2
 Yang sedang menggunakan atau baru saja berhenti menggunakan glukokortikosteroid
oral2
 Yang saat ini tidak menggunakan glukokortikosteroid inhalasi2
 Yang tergantungan lebih pada obat kerja cepat inhalasi B2 - agonist, mereka yang
menggunakan lebih dari satu salbutamol
 Dengan riwayat penyakit jiwa atau masalah psikososial, termasuk penggunaan obat
penenang2
 Dengan riwayat ketidak patuhan dengan obat asma dan / atau rencana tindakan asma
tertulis.

Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut di Fasilitas Kesehatan Pertama (GINA, 2016)


Monitoring respon terhadap terapi :8
Evaluasi tanda – tanda dan APE, saturasi O2 atau analisa gas darah pada pasien dengan
kelelahan, distress berat, atau APE 30-50% dari prediksi.
Sesudah eksaserbasi diatasi, harus diindentifikasi faktor pencetus serangan untuk rencana
menghindarinya dan revisi terapi pasien.
 Tujuan tatalaksana saat serangan
- Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
- Mengurangi hipoksemia
- Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
- Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan.
 Tatalaksana Medikamentosa
Tindak lanjut bila terjadi kegagalan terapi
a. Asidosis respiratorik
 Ventilasi diperbaiki
 Pemberian Na Bikarbonat

b. Hipoksia berat ( PaO2 < 50 mmHg )


 Pemberian O2 4- 6 L/m dengan ventilasi mask.

c. Gagal napas akut


Alat bantu napas ( ventilator mekanik )
syarat :
 Apneu
 Kenaikan PaCO2 > 5 mmHg / jam disertai asidosis . respiratorik
akut
 Nilai absolut PaCO2 > 50 mmHg disertai asidosis . respiratorik
akut
 Hipoksia refrakter walau sudah diberi O2
 Terapi Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk:
a. meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit
asma sendiri)
b. meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma sendiri/asma
mandiri)
c. membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma

Terapi pemeliharaan asma awal(GINA, 2016)

Untuk hasil yang lebih baik, terapi pemeliharaan asma harian harus dimulai secepat
mungkin setelah diagnosis asma dibuat, berdasarkan bukti klinis adalah sebagai berikut:
a. Pemberian ICS dosis rendah dini pada pasien asma akan meningkatkan fungsi paru
lebih baik dibandingkan jika pemberiannya dilakukan sudah muncul gejala selama 2-
4 tahun. Jika telah berlangsung dalam waktu tersebut, dosis ICS lebih tinggi
dibutuhkan, sedangkan fungsi paru sudah sangat lebih menurun.
b. Pasien yang tidak mengonsumsi ICS dan mengalami eksaserbasi akan mengalami
penurunan fungsi paru yang lebih hebat daripada pasien yang telah mulai
menggunakan ICS
c. Pada pasien dengan asma akibat pekerjaan, penghindaran dari agen iritan dan terapi
dini dapat meningkatkan kemungkinan untuk sembuh.

Tatalaksana Farmakologis Asma Bronkial (GINA, 2016)


Prognosa

Asma biasanya kronis , meskipun kadang-kadang masuk ke periode panjang remisi .


Prospek jangka panjang umumnya tergantung pada tingkat keparahan.

Dalam kasus-kasus ringan sampai sedang , asma dapat meningkatkan dari waktu ke
waktu , dan banyak orang dewasa bahkan bebas dari gejala.Bahkan dalam beberapa kasus yang
parah , orang dewasa mungkin mengalami perbaikan tergantung pada derajat obstruksi di paru-
paru dan ketepatan waktu dan efektivitas pengobatan .

Pada sekitar 10 % kasus persisten berat , perubahan dalam struktur dinding saluran udara
menyebabkan masalah progresif dan ireversibel dalam fungsi paru-paru , bahkan pada pasien
yang diobati secara agresif .

Fungsi paru-paru menurun lebih cepat daripada rata-rata pada orang dengan asma ,
terutama pada mereka yang merokok dan pada mereka dengan produksi lendir yang berlebihan (
indikator kontrol perlakuan buruk ) .

Kematian dari asma adalah peristiwa yang relatif jarang , dan kematian asma yang paling
dapat dicegah . Hal ini sangat jarang orang yang menerima perawatan yang tepat untuk mati
asma . Namun, bahkan jika tidak mengancam nyawa , asma dapat melemahkan dan menakutkan .
Asma yang tidak terkontrol dengan baik dapat mengganggu sekolah dan bekerja , serta kegiatan
sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.


Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI ;2009; 5-11.
2. Sundaru H. Asma. Apa dan Bagaimana Pengobatannya. Balai Penerbit Edisi IV
Cetakan kedua FKUI, 2007.
3. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia.2004.
4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi; Konsep klinis proses proses penyakit volume 1.
6th ed. 2006. Jakarta; EGC. p.177.
5. Hodder R, Lougheed D. Management of acute asthma in adults in the emergency
department : nonventilatory management. In Canadian Medical Association
Journal, 2010.
6. Cairns CS. 2006. Acute asthma exacerbation : Phenotypes and management. Clin in
Chest Med.27 : 99-108.
7. Wibisono M. Jusuf dkk. 2010. BUKU AJAR ILMU PENYAKIT PARU 2010.
Surabaya. Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair.
8. Dahlan Zulkarnain, dkk. 2012. Kompendium TATALAKSANA PENYAKIT RESPIRASI
& KRITIS PARU. Jakarta : Perhimpunan Respirologi Indonesia
9. Global Initiative for Asthma (GINA). 2016. Global Strategy for Asthma Management
and Prevention. Available at: www.ginasthma.org

Anda mungkin juga menyukai