Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Perkembangan yang pesat dalam penemuan, penelitian dan produksi obat


untuk diagnosis, pengobatan dan pencegahan telah pula menimbulkan reaksi obat
yang tidak dikehendaki yang disebut sebagai efek samping. Reaksi tersebut tidak
saja menimbulkan persoalan baru di samping penyakit dasarnya,tetapi kadang-
kadang dapat membawa maut juga. Hipokalemia, intokdsikasi digitalis, keracunan
aminofilin, danreaksi anafilaktik merupakan contoh-contoh efek samping yang
potensial berbahaya. Gatal- gatal karena alergi obat, mengantuk karena pemakaian
antihistamin merupakan contoh lain reaksi efek samping yang ringan.
Diperkirakan efek samping terjadi pada 6-15 % pasien yang di rawat dirumah
sakit, sedangkan alergi obat berkisar antara 6-10% dari efek samping.

Anafilaksis merupakan bentuk terberat dari reaksi alergi obat. Meskipun


terdapat berbagai definisi mengenai anafilaksis, tetapi umumnya para pakar
sepakat bahwa anafilaksis merupakan keadaan gawat darurat yang potensial dapat
mengancam nyawa. Gejala anafilaksis timbul segera setelah pasien terpajan oleh
alergen atau faktor pencetus lainnya gejala yang timbul melalui reaksi alergen dan
antibodi disebut sebagai reaksi anafilaktik. Sedangkan yang tidak melalui reaksi
imunologik disebut reaksi anafilaktoid, tetapi karena baik gejala yang timbul
maupun pengobatannya tidak dapat dibedakan, maka kedua macam reaksi di atas
disebut sebagai anafilaksis. Perbedaan tersebut diperlukan manakala mencari
penyebab anafilaksis dan merencanakan penatalaksanaan lanjutan.

Anafilaksis memang jarang terjadi, tetapi bila terjadi umumnya tiba-tiba,


tidak terduga dan potensial berbahaya. Oleh karena itu kewaspadaan dan kesiapan
menghadapi keadaan tersebut sangat diperlukan. Tulisan ini akan membahas
beberapa penegrtia yang berkaitan dengan anafilaksis, diagnosis, terapi, dan
pencegahan,

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Syok Anafilaktik

1. Definisi

Syok anafilaktik adalah suatu respon hipersensitivitas yang


dimediasi oleh interaksi antara alergen dan Immunoglobulin E
(hipersensitivitas tipe I)ditandai dengan degranulasi sel mast yang
menyebabkan pelepasan mediator inflamasi, sehingga terjadi vasodilatasi
perifer, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, peningkatan produksi
lendir, dan kontraksi otot polos bronkus (bronkospasme). Hal ini disebabkan
oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu
antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi.Syok anafilaktik merupakan
salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok
distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi
mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah
yang dapat menyebabkan kematian, sehingga merupakan suatu kegawat
daruratan.

Ciri khas yang pertama dari anafilaksis adalah gejala yang timbul
beberapa detik sampai beberapa menit setelahnpasien terpaan oleh alergen
atau faktor pencetus non alergen seperti zat kimia, obat, kegiatan jasmani.
Ciri kedua yaitu anafilaksis merupakan reaksi sistemik, sehingga melibatkan
banyak organ yang gejalanya timbul serentak atau hampir serentak.

Reaksi anafilaktoid secara klinis sulit dibedakan dari anafilaksis,


namun mekanismenya tidak melibatka Ig E. Sindroma klinis ini terjadi
sebagai akibat paparan terhadap suatu zat yang dapat secara langsung (non

2
imunologis) merangsang degranulasi sel mast dan basofil untuk
mengeluarkan mediatornya..

2. Epidemiologi

Diperkirakan dalam 1 tahun anaflaksis fatal terjadi pada 154 di


antara 1 jutapenderita rawat inap diseluruh dunia. Di amerika serikat risiko
seseorang untuk mengalami anafilaksis adalah 1-3 %. Berdasarkan
ekstrapolasi data-data di amerika serikat, dari 280 juta penduduknya
diperkirakan kejadian anafilaksis adalah 84.000 kasus per tahun dengan
angka kematian sebesar 1 %. Suatu survey di australia menyebutkan 0,59
anak-anak usia 3-17 tahun mengalami sedikitnya satu kejadian anafilaksis.

Anafilaksis memang jarang dijumpai, tetapi paling tidak dilaporkan


lebih dari 500 kematian terjadi setiap tahunnya karena antibiotik golongan
beta laktam, khusunya penisillin. Penisillin menyebabkan reaksi yang fatal
pada 0,002% pemakaian.

Selanjutnya peyebab reaksi anafilaksi yang tersering adalah


pemakaian media kontras untuk pemeriksaan radiologik. Media kontras
menyebabkan reaksi yang mengancam nyawa pada 0,1 % dan reaksi yang
fatal terjadi antara 1 : 10.000 dan 1:50.000 prosedur intravena. Kasus
kematian berkurang setelah dipakainya media kontras yang hipoosmolar.

3. Faktor predisposisi

Beberapa faktor diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya


anafilaksis:

a) Sifat alergen

Beberapa zat tertentu lebih sering menyebabkan anafilaksis (obat


golongan penisilin,, pelemas otot, media kontras radiografis, aspirin,
latek, kacang-kacangan, kerang.

3
b) Jalur pemberian obat

Pemberian obat secara parentral lebih cenderung menimbulkan


anafilaksis dibandingkan pemberian per oral, namun anafilaksis dapat
terjadi melalui berbagai jalur pemberian.

c) Riwayat atopi

Adanya riwayat atopi meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis


(misalnya terhadap lateks, media kontras, radiografis, dan anafilaksis
setelah latihan fisik). Sebagian besar penderita anafilaksis idiopatik
memiliki riwayat atopi. Basofil pada penderita atopik lebih reaktif dan
lebih mudah mengalami degranulasi dibandingkan penderita non atopik.

d) Kesinambungan (constancy) paparan alergen

Pemakaian obat yang sering terputus dapat meningkatkan risiko


terjadinya anafilaksis. Sebagian besar penderita yang alergi terhadap
insulin tidak mengalami anafilaksis, kecuali jika pemberian insulin
tersebut terputus dan diberikan kembali setelah beberapa waktu.

e)pemberian imunoterapi

Injeksi ekstrak alergen pada penderita asma yang belum


terkendali akan meningkatkan terjadinya anafilaksis.

4. Etiologi

Penyebab anafilaksis paling sering adalah alergen makanan, obat-


obatan, sengatan serangga, dan median kontras radio grafis. Daftar bahan-
bahan yang sering menyebabkan anafilaksis atau reaksi alergi sistemik tipe
segera laiinya dapat dilihat pada tabel 1.

Anafilaksis dapat terjadi melalui berbagai jalur paparan alergen


termasuk melalui oral, topikal, perkutan, subkutan, intramuskuler,
intravenosus, maupun endotrakeal. Paparan melalui oral lebih

4
jarangmenimbulkan anfilaksis dibandingkan parentral dngan gejala yang
lebih ringan.

Tabel 1. Bahan-bahan yang sering menimbulkan anafilaksis

Kriteria Definisi
1. Makanan:
 Kacang-kacangan
 Kerang Dimediasi oleh IgE
 Putih telur
 Susu
 Biji-bijian
2. Bisa sengatan serangga:
 Wasps
 Tawon Dimediasi oleh IgE
 Lebah madu
 Semut api
3. protein atau peptida Dimediasi oleh IgE
 Streptokinase
 Insulin Dimediasi oleh IgE
 Plasma seminal
 Vaksin imunoterapi Beberapa dimediasi oleh IgE
 Lateks
 Pelemas otot Dimediasi oleh IgE

Dimediasi oleh IgE

Tidak diketahui

Aktivasi sel mast


4. Antibiotika: Dimediasi oleh IgE
 Penisilin
 Sefalosporin Dimediasi oleh IgE
 Sulfametoksazol
 Trimetoprim Beberapa dimediasi oleh IgE
 Flourokuinolon
 vankomisin Beberapa dimediasi oleh IgE

Tidak diketahui

Aktivasi sel mast


5. Bahan diagnostik atau terapi: Tidak diketahui
 Media kontras radiografis
 Zat warna fluoresin Tidak diketahui
 Membran dialisis

5
 Plasma (transfusi)
 Immunoglobulin intravena Aktivasi komplemen

Aktivasi komplemen

Aktivasi komplemen,
dimediasi oleh IgG atau IgM
6. Lain-lain: Dimediasi oleh IgE
 Antibodi monoklonal Produksi leukotrien D4,
 Aspirin, OAINS non supresi prostalgandin E,
selektif Aktivasi sel mast
 Penghambat ACE Potensial bradikinin
 Exercise induced Tidak diketahui
 Anafilaksis idiopatik Tidak diketahui

5. Mekanisme Immunopatologis
Beberapa mekanisme (imunologi maupun nonimunologi) memungkinkan
zat asing untuk memicu reaksi sistemik tipe segera:
a) Proses yang dimediasi oleh IgE
Karena mekanismenya dimediasi oleh IgE, maka harus ada fase
sesnsitisasi imunologis sebelum anafilaksis timbul. Karena itu
reaksi ini tidak terjadi pada paparan pertama terhadap suatu zat
tertentu. Antibodi IgE yang terbentuk dapat berinteraksi secara
langsung dengan proten asing yang imunogenik atau berinteraksi
dengan hapten yang terikat secara kovalen dengan suatu molekul
makro.
b) Aktivasi sistem komplemen
Reaksi terhadap darah maupun komponen darah diduga terjadi
melalui pembentukan kompleks imun yang diikuti oleh aktivasi
sistem komplemen. Komplek antara IgG atau IgM dan protein
asing mengaktifkan komplemen, menghasilkan anafilaktoksin C3a
dan C5a yang pada gilirannya memicu pelepasan histamin.
c) Degranulasi sel mast secara langsung
Beberapa jenis obat dapat secara langsung mengaktifkan sel mast
dan memicu degraulasi, antara lain opiat dan beberapa jenis
pelemas otot. Reaksi sistemik dapat langsung terjadi pada paparan
pertama karena tidak diperlukan fase sensitisasi.
d) Abnormalitas metabolisme asam arakidonat

6
Reasks sistemik terhadap aspirin dan OAINS terjadi sekitar 1%
dalam populasi. Kemungkinan terjadinya anafilaksis tergantung
pada potensi masing-masing obat dalam menghambat sintesis
prostaglandin.
e) Tidak diketahui
Tidak ada mekanisme pasti yang dapat dipakai untuk menjelaskan
beberapa jenis anafilaksis, misalnya anafilaksis idiopatik atau
anafilaksis yang terjadi setelah latihan fisik.

6. Mediator Biokimia Anafilaksis


Mediator biokimiawi dan zat-zat kemotaktik yang dilepaskan saat
degranulasi sel mast dan basofil meliputi mediator-mediator yang sudah
terbentuk sebelumnya seperti histamin, triptase, kimase, heparin, histamin
releasing factor, dan sitokin-sitokin lainnya, serta mediator-mediator yang
baru terbentuk seperti prostaglandin D2 (PGD2), leukotrin B4 (LTB4),
platelet-activting factor, dan leukotrin sisteinil LTC4, LTD4, LTE4.
Eosinofil memiliki peran ganda dalam anafilaksis, sebagai proinflamasi
(melalaui pelepasan protein granula sitotoksik) atau antiinflamasi (melalui
metabolisme mediator vasoaktif).
a) Histamin
Histamin bekerja melalui ikatan dengan reseptor H1 dan H2.
Rangsangan pada reseptor H1 akan menimbulkan efek pruritus,
peningkatan lendir mukosa hidung, takikardia dan bronkospame,
sedangkan nyeri kepala, kemerahan pada wajah dan hipotensi
disebabkan oleh rangsangan pada reseptor H1 dan H2. Kadar
histamin dalam plasma berkolerasi dengan derajat keparahan
manifestasi kardiopulmoner atau gastrointestinal.

b) Triptase
Triptase adalah satu-satunya protein yang terkonsentrasi secara
selektif dalam granula sekretorik sel mast. Kadar dalam plasma
selama terjainya degranulasi sel mast berkolerasi dengan derajat
keparahan klinis anafilaksis.
c) Nitric Oxide dan mediator inflamasi lainnya
Ikatan antara hisamn dan reseptor H1 pada saat anafilaksis
juga merangsang sel endotel untuk menambah asam amino L-

7
arginin menjadi nitric oxide (NO), suatu vasodilator kuat. NO
mengaktifkan guanilat siklase menyebabkan vasodilatasi dan
meningkatkan produksi siklik guanosin monofosfat (cGMP).
Secara fisiologis NO ikut menentukan tonus otot vaskuler dan
tekanan darah regional. Penigkatan NO sebenarnya dimaksudkan
unuk mengurangi manifestasi klinis anafilaksis seperti
bronkospasme atau depresi miokard, namun secara tidak langsung
ikut berperan pada timbulnya vasodilatasi yang terjadi selama
anafilaksis.
Metabolik asam arakidonat meliputi hasil-hasil
metabolisme melalui jalur lipo-oksigenase dan siklo-oksigenase.
LTB4 merupakan zat kemotaktik yang mampu mengerahkan sel-sel
radang lain untuk ikut berperan dalam anafilaksis atau reaksi
anafilaktoid. Efek yang ditimbulkan oleh leukotrien sisteinil sama
dengan efek kerja histamin dan triptase antara lain berupa
bronkospasme, hipotensi, dan eritema.
Selama episode anafilaksis terjadi aktivasi komplemen,
kaskade pembekuan darah dan sistem kontak kallikrein-kinin yang
secara bersama-sama berperan memperpanjang dan meningkatkan
proses inflamasu yang terjadi. Penurunan kadar C3 dan C4, serta
peningkatan kadar C3a dapat diamati selama anafilaksis. Terjadi
penurunan kadar faktor V, faktor VIII, dan fibrinogen. Penurunan
kadar kininogen berat molekul tinggi dan pembentukan kallikein-
C1 serta penghambat kompleks faktor XIIa-C1 menunjukkan
adanya aktivasi sistem kontak. Aktifasi kallikrein tidak saja
merangsang pembentukan bradikinin, tetapi juga mengaktifkan
faktor XII. Faktor XII dapat mempengaruhi pmbekuan darah
melalui pembentukan plasmin. Plasmin juga memiliki kemampuan
untuk mengaktifkan sistem komplement.

7. Manifestasi Klinis
Manifestasi anafilaksis bervariasi dalam hal awal mula timbulnya
gejala maupun perjalanan klinisnya. Reaksi dapat timbul dalam beberapa
menit hingga beberapa jam setelah paparan terhadap suatu alergen.

8
Anafilaksis fase lambat atau yang disebut juga reaksi bifasik, bisa saja
muncul 8-12 jam setelah reaksi awal. Walaupun mendapatkan pengobatan
yang agresif , reaksi anafilaksis dapat terus berlangsung hinggal 5-32 jam.
Semakin cepat awal timbulnya gejala, biasanya semakin parah anafilaksis
yang terjadi. Kulit, konjungtiva, saluran pernapasan atas dan bawah,
sistem kardiovaskuler, dan gastrointestinal seringkali terlibat secara
tersendiri maupun bersama-sama. Kematian dapat terjadi hanya dalam
beberapa menit.
a) Kulit
Rasa kesemutan dan panas di kulit sering kali merupakan gejala
awal yang timbl pada anafilaksis, diikuti dengan kemerahan. Pada
kulit (flushing), pruritus, urtikaria, dengan atau tanpa angioedema.
Gejala kulit timbul pada 70% reaksi sistemik generalisata. Pada
anafilaksis yang ringan gejala kulit mungkin merupakan satu-
satunya manifestasi yang timbul.
b) Saluran Napas
Gejala akut dapat berupa keluarnya cairan dalam rongga hidung
(rhinorrhea), hidung buntu, bersin-bersin, rasa gatal pada hidung
terutama pada mereka yang menderita rinitis alergika. Angioedema
meliputi pembengkakan pada uvula, lidah, laring atau faring, yang
disertai suara parau atau hilangnya suara, stridor, sesak napas atau
bahkan henti napas. Keterlibatan saluran napas bagian bawah
umumnya berupa bronkospasme dan edema saluran napas yang
menimbulkan sesak napas, mengi (wheezing) dan perasaan dada
terhimpit. Pada penderita asma gejala-gejala saluran napas tersebut
sangat menonjol.
c) Kardiovaskuler
Aritmia dapat dijumpai selama anafilaksis yaitu berupa gangguan
irama atrium maupun ventrikel. Dapat dijumpai iskemia miokard,
palpitasi, dizziness, atau nyeri dada. Hipotensi merupakan gejala
yang paling mengkhawatirkan pada anafilaksis, bervariasi mulai
dari ringan (rasa melayang) hingga yang berat (disertai penurunan
kesadaran dan kegagalan kardiovaskuler atau syok).
d) Gastrointestinal

9
Gejala gastointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut
dan spasme otot polos, berupa nyeri abdomen, mual muntah atau
diare. Kadang-kadang dijumpai perdarahan rektal yang terjadi
akibat iskemia atau infark usus.
e) Susunan Saraf Pusat
Disorientasi, pingsan, kejang dan penurunan kesadaran dapat
terjadi akibat penurunan perfusi serebral atau efek toksik langsung
mediator yang dilepaskan selama anafilaksis.
8. Diagnosis
Diagnosis anafilaktisis ditegakkan berdasarkan adanya gejala
klinik sistematk yang muncul beberapa detik atau menit setelah penderita
terpajan oleh alergen atau faktor pencetusnya. Gejala yang timbul dapat
ringan seperti pruritus atau urtikaria sampai kepada gagal napas atau syok
anafilaktik yang mematikan. Karena itu untuk mengenal tanda-tanda dini
sangat diperlukan agar pengobatan dapat segera dilakukan. Tetapi kadang-
kadang gejala anafilaksis yang berat seperti syok anafilaktik atau gagal
napas dapat langsung muncul tanpa tanda-tanda awal.
Gejala-gejala diatas dapat timbul pada satu organ saja, tetapi pula
muncul gejala pada beberapa organ secara serentak atau hampir serentak.
Kombinasi gejala yang sering dijumpai adalah urtikaria atau angioedema
yang disertai gangguan pernapasan baik karena edema laring atau spasme
bronkus. Kadang-kadang didapatkan kombinasi urtikaria dengan gangguan
kardiovaskuler seperti syok yang berat sampai terjadi penurunan
kesadaran. Setiap manifestasi sitem kardiovaskuler, pernapasan atau kulit
juga bisa disertai gejala mual, muntah, kolik usus, diare yang berdarah,
kejang uterus atau perdarahan pervaginam.
SISTEM GEJALA
Umum Lesu, lemah, rasa tidak enak yang sukar dilukiskan
Prodromal Rasa tidak enak di dada dan perut, rasa gatal di hidung
dan palatum
Pernapasan
- Hidung Hidung gatal, bersin dan tersumbat
- Laring Rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, edema,
spasme
- Lidah
Edema
- Bronkus
Batuk, sesak, mengi, spsme

10
Kardiovaskuler Pingsan, sinkop, palpitasi, takikardia, hipotensi sampai
syok, aritmia. Kelainan EKG :gelombang T datar,
terbalik atau tanda-tanda infark miokard.
Gastrointestinal Disfagia,mual,muntah,kolik, diare yang kadang-kadang
disertai darah, peristaltik usus meninggi
Kulit Urtikaria, angioedema di bibir, muka, atau ekstremitas
Mata Gatal, lakrimasi
SSP Gelisah, kejang

9. Diagnosis banding
Beberapa keadaan yang dapat menyerupai anafilaksis yaitu rekasi
vasovagal, infark miokard akut, rekasi hipoglikemik, reaksi histerik atau
angioedema herediter.
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mendapat
suntikan. Pasien tampak mau pingsan, pucat dan berkeringat.
Dibandingkan dengan reaksi anafilaksis, reaksi vasovagal nadinya
melambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya menurun,
tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti
anafilaksis.
Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada,
dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak ,
tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas, maupun kelainan
kulit. Pemeriksaan elektrokardiografi dan enzimatik akan membantu
diagnosis infark miocard.
Rekasi hipoglikemik dapat disebabkan oleh pemakaian obat anti
diabetes atau oleh sebab lain. Pasien tampak lemas, pucat berkeringat,
sampai tak sadar. Tekanan darah kadang-kadang menurun, tetapi tidak
dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas atau kelainan kulit.
Pemeriksaan kadar gulah darah dan pemberian terapi glukosa menyokong
diagnosis terapi hipoglikemi.
Pada reaksi histerik tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal
napas, hipotensi atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun
hanya sementara. Penilaian tanda-tanda vitas dan status neurologik dengan
cepat membedakan keadaan ini dengan reaksi anafilaktik. Sering pasien
mengeluh parestesia.

11
Sindroma agioedema neurotik herediter merupakan salah satu
keadaan yang menyerupai anafilaksis. Sindroma ini diandai dengan
angiedema saluran napas bagian atas dan sering disertai kolik abdomen.
Tidak dijumpai kelainan kuliat atau kolaps vaskuler. Adanya riwayat
keluarga yang mempunyai sindroma ini disertai penurunan kada inhibitor
C1 esterase mendukung adanya sindroma angioedema neurotik herediter.
Sindrom karsinoid menyerupai anafilaksis idiopatik. Sindrom ini
ditandai dengan adanya gejala gastrointestinal, spasme bronkus dan rasa
panas sekitar kulit. Tetapi tidak dijumpai adanya urtikaria atau
angioedema. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan serotonin darah
meninggi serta kadar histamin dan 5 hidroksi inol asam asetat dalam urin
meningi.
Meskipun diagnosis anafilaksis tidak sulit, tetapi mencari alergen
penyebab ataupun pencetusnya tidak mudah dan bahkan kadang-kadang
tidak ditemukan. Dalam hal ini anamnesis yang teliti merupakan cara yang
paling penting. Dengan demikian diagnosis anafilaksis terutama
bedasarkan reaksi anafilaksis yang timbul segera setelah terpajan oleh
alergen atau faktor pencetus serangan dan menimbulkan gejala klinik pada
organ-organ sasaran seperti yang disebutkan tadi. Akan halnya
pemeriksaan penunjang seperti uji kulit hanya bermanfaat bila mekanisme
anafilaksis tersebut melalui IgE dan obat-obat yang dapat diuji pun
terbatas pada penisilin. Hormon dan enzim sangat jarang dilakukan karena
prosedur tersebut juga bisa menimbulkan reaksi anafilaksis.
Meskipun anafilaksis bisa muncul dalam waktu beberapa menit
setelah terpajan oleh alergen, tetapi adakalanya muncul beberapa jam
kemudian. Observasi yang dilakukan oleh stark dkk menyatakan bahwa
bentuk anafilaksis bisa unifasik seperti yang biasa kita temukan, bifasik
yang gejalanya muncul 1-8 jam kemudian dan protrated yaitu suatu bentuk
anafilaksis berat yang dapat berlangsung 5-32 jam meskipun dengan
pengobatan intensif.

10. Penatalaksanaan
Penanganan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab
penderita berada pada keadaan gawat.Prognosis suatu syok anafilaktik amat

12
tergantung dari kecepatan diagnose dan pengelolaannya. Sebenarnya,
pengobatan syok anafilaktik tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat emergensi
dan alat bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal
ini diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak
terjadi kematian atau cacat organ tubuh menetap. Apabila terjadi komplikasi
syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral
maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah :
a) Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih
tinggi dari kepala (posisi Trendelenberg) untuk meningkatkan aliran
darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan
menaikkan tekanan darah.
b) Segera berikan adrenalin 0,3 – 0,5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita
dewasa atau 0,01 µg/kgBB untuk penderita anak-anak, i.m. Pemberian
ini dapat diulang tiap 15 menit sampai keadaan membaik. Adrenalin
merupakan drug of choice dari syok anafilaktik. Hal ini disebabkan 3
faktor yaitu :
a. Adrenalin merupakan bronkodilator yang kuat , sehingga penderita
dengan cepat terhindar dari hipoksia yang merupakan pembunuh
utama.
b. Adrenalin merupakan vasokonstriktor pembuluh darah dan
inotropik yang kuat sehingga tekanan darah dengan cepat naik
kembali.
c. Adrenalin merupakan histamin bloker, melalui peningkatan
produksi cyclic AMP sehingga produksi dan pelepasan chemical
mediator dapat berkurang atau berhenti.
c) Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang
memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5 – 6 mg/kgBB i.v dosis
awal yang diteruskan 0,4 – 0,9 mg/kgBB/menit dalam cairan
infus.Pemberian secara intramuskuler merupakan pilihan pertama dari
cara pemberian adrenalin pada penatalaksanaan syok anafilaktik.
Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler
dan pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebihg cepat
dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Pasien dengan alergi berat
dianjurkan untuk pemberian sendiri injeksi intramuskuler adrenalin.

13
Volume injeksi adrenalin 1:1000 (1mg/ml) untuk injeksi intramuskuler
pada syok anafilaksis.Pada saat pasien tampak sangat kesakitan dan
benar-benar diragukan kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi
intramuskuler, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi intravena
lambat dengan dosis 500mcg (5ml dari pengenceran injeksi adrenalin
1:10000) diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika
respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis
10mcg/kgBB (0,1ml/kgBB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000
dengan injeksi intravena lambat selama beberapa menit.
d) Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau
deksametason 5 – 10 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk
mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik.

e) Jika laring atau bronkospasme menyebabkan hipoksi, pemberian O 2 3 – 5


ltr / menit harus dilakukan. Pada keadaan yang amat ekstrim tindakan
trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.

f) Apabila terjadi henti jantung, dapat dilakukan tahapan resusitasi jantung


paru, yaitu :
1) Airway (penilaian jalan napas)
Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan sama
sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher
diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas,
yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan,
dan buka mulut.
2) Breathing support
Segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-
tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung.
Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.
Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain
ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas
dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus

14
segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea,
krikotirotomi, atau trakeotomi.
3) Circulation support
Bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar. Penilaian A, B, C
ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar
yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung
paru.
g) Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur i.v untuk
koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular
sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian
cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta
mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan
kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas
keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya peningkatan
permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan
larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan
kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20 – 40% dari volume plasma.
Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah
yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu
dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga
bisa melepaskan histamin.
h) Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok
anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam
perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di
tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan
fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh
dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan
kaki lebih tinggi dari jantung.

i) Apabila syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan,


tetapi harus diawasi / diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam.

15
Sedangkan penderita yang telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 2 –
3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi.
11. Pencegahan
Penderita yang pernah mengalami reaksi anafilaksis mempuyai
resiko untuk memperoleh reksi yang sama bila terpajan oleh pencetus yang
sama. Penderita ini harus dikenali, diberikan peringatan dan bila perlu diberi
tanda peringatan pada ikat pinggang atau dompetnya. Kadang-kadang
kepada penderita diberikan bekal suntikan adrenalin yang harus dibawa
kemanapun ia pergi. Hal ini terutama bila pencetus tersebut sering timbul
tidak terduga seperti sengatan tawon atau anafilaksis idiopatik.
Pederita asma dan jantung bila mendapat serangan anafilaksis bisa
jauh lebih berat, oleh karena itu pada setia penderita asma atau jantung
harus memperoleh pengobatan yang optimal. Penderita yang mempunyai
resiko anafilaksis dianjurkan untuk tidak memakai obat-obat penyekat beta
karena bila terjadi reaksi anafilaksis pengobatannya sulit.
Pada beberapa keadaan dilaporkan adanya tindakan pencegahan
untuk menghindari reaksi anafilaksis. Greenberger, dkk memberikan
prednison dan antihistamin sebelum memberikan media kontras
pemeriksaan radiologi kepada penderita yang mempunyai resiko. Tindakan
desensitisasi jangka pendek dengan penisilin, untuk desensitisasi jangka
panjang diberikan kepada penderita yang alergi terhadap sengatan tawon.
Oleh karena itu rekasi anafilaksis terutama disebabkan oleh obat-
obatan. Beberapa petunjuk ini mungkin dapat bermanfaat mencegah
terjadinya anakfilaksis :
a) Sebelum memberikan obat :
1) Adakah indikasi memberikan obat
2) Adakah riwayat alergi obat sebelumnya
3) Apakah pasien mempunyai resiko alergi obat
4) Apakah obat tersebut perlu diuji di kulit terlebih dahulu
5) Adakah pengobatan pencegahan untuk mengurangi reaksi
alergi
b) Sewaktu minum obat (6 cara memberikan obat) :
1) Kalau mungkin obat diberikan secara oral
2) Hindari pemakaian intermiten
3) Sesudah memberikan suntikan pasien harus selalu
diobservasi
4) Beri tahu pasien kemungkinan rekasi yang terjadi
5) Sediakan obat/alat untuk mengatasi keadaan darurat

16
6) Bila mungkin lakukan uji provokasi atau desensitisasi
c) Sesudah minum obat :
1) Kenali tanda dini reaksi alergi obat
2) Hentikan obat bia terjadi reaksi
3) Tindakan imunisasi sangat dianjurkan
4) Bila terjadi reaki berikan penjelasan dasar kepada pasien agar
kejadian tersebut tidak terulang kembali

17
BAB III

KESIMPULAN

Telah diketahui bahwa banyak orang yang memiliki kadar 25(OH)D


inadekuat, terutama pada pasien SLE yang memiliki faktor risiko tambahan
terjadi defisiensi dikarenakan SLE itu sendiri. Bukti – bukti yang ada
menunjukkan bahwa vitamin D berperan penting dalam patogenesis dan
progresivitas autoimun. vitamin D ini merupakan suatu hal yang aman
dilakukan, murah, dan dapat mudah didapatkan karena vitamin D efektif
diberikan sebagai intervensi untuk supresi penyakit (disease-supressing)
pada pasien SLE.

18
DAFTAR PUSTAKA

SoarJ, Puhmprey R, Cant A, 2008. Emergency treatment of anaphylactic


reactions . Guidelines for healthcareproviders.

Sampson HA, Leung DY, 2004. Anaphylaxis. Nelson textbook ofpediatric. Edisi
ke 18. Philadelphia, hal 983-5

19

Anda mungkin juga menyukai