Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Dengue memiliki spektrum klinis yang luas, sering dengan pemburukan
yang sulit diprediksi. Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakitnya, yaitu
fase demam, fase kritis, dan fase penyembuhan. Sebagian besar pasien akan
sembuh tanpa melalui fase klinis yang berat, sementara sebagian kecil yang lain
akan melalui fase kritis, ditandai dengan kebocoran plasma, dengan atau tanpa
perdarahan. Untuk penyakit dengan spektrum kinis yang luas, sebenarnya
tatalaksana Dengue relatif sederhana, murah, dan sangat efektif, asal dilakukan
dengan tepat. Kuncinya adalah diagnosis yang cepat, kemudian segera,
memberikan pengobatan sesuai dengan fase perjalanan penyakit. Oleh karena
itu, semua praktisi kesehatan harus dapat mendiagnosis dan menangani
penyakit ini dengan benar.
Chikunguya sering didiagnosa hanya berdasarkan kriteria klinis saja
yaitu demam kurang dari 7 hari dan sakit persendian yang hebat, baik
pemeriksaan rumple leed negative atau positif. Diagnosa chikungunya dengan
kriteria seperti itu sering ditegakkan oleh karena pemeriksaan trombosit masih
lebih dari 100.000 mm3. Hal demikian dapat terjadi oleh karena sosialisasi
kriteria infeksi dengue tahun 2009 belum diterapkan (masih berdasarkan
kriteria tahun 1997). Dpekes RI pun menolelir diagnosa chikungunya seperti
tersebut di atas (kasus tersangka chikungunya). Kasus tersangka chikungunya
menjadi lebih kuat lagi, bila didaerah tersebut pernah terjadi endemic
chikungunya (kasus probable chikungunya).
Padahal berdasarkan fakta yang ada, banyak daerah yang dianggap
endemik itu ternyata pemeriksaan serologi chikungunya tidak dilakukan atau
kalau dilakukan presentasinya kecil sekali. Sebagai contoh, pada tahun 2001
sampai 2003 terjadi epidemic atau KLB pada 24 daerah di Indonesia. Ternyata
dari 24 daerah tersebut, 13 daerah tidak dilakukan pemeriksaan serologi sama
sekali, 1 daerah pemeriksaan serologinya tidak dapat dipakai (tidak sesuai
standar). Yogyakarta yang diklaim menderita chikungunya 1031 orang, ternyata
pemeriksaan serologinya hanya dilakukan pada 23 orang. Dari 23 orang
tersebut hanya 70% yang serologinya positif. Jawa timur yang diklaim
menderita chikungunya 654 orang, ternyata pemeriksaan serologinya hanya
dilakukan pada 20 orang. Dari 20 orang tersebut yang postif serologinya hanya
25% saja. Dengan data-data diatas, epidemic chikungunya tidak cukup kuat
untuk dijadikan dasar diagnose.
Diagnosis leptospirosis pula seringkali terlewatkan sebab gejala klinis
penyakit ini tidak spesifik dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosis tanpa uji
laboratorium. Dalam dekade belakangan ini, kejadian luar biasa leptospirosis di
beberapa negara, seperti Asia, Amerika Selatan dan Tengah, serta Amerika
Serikat menjadikan penyakit ini termasuk dalam the emerging infectious
diseases.
Diagnosis morbili pula perlu dibedakan dengan diagnosis dengue,
chikunguya dan leptospirosis, karena kadangkala diagnosis sulit ditegakkan
akibat adanya kesamaan tanda dan gejala pada morbili dengan diagnosis lain.
Tanda dan gejala morbili yang diketahui ada tiga stadium: (1) stadium masa
tunas sekitar 10-12 hari, (2) stadium prodromal dengan gejala pilek dan batuk
yang meningkat dan ditemukan eritem pada mukosa pipi (bercak Koplik),
faring dan peradangan mukosa konjungtiva, dan (3) stadium akhir dengan
keluarnya ruam mulai dari belakang telinga menyebar ke muka, badan,
lengandan kaki.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Demam Berdarah Dengue


II.1.1 Etiologi
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan
virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses)
yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan
mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu ; DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi
salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang
bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat
kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap
serotipe lain tersebut.
II.1.2 Epidemiologi
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti
yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat
itu infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit
demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai
demam sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi
menghilang dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan
nyeri kepala.
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai
faktor antara lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi
virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis
setempat. Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan
kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32°C) dengan kelembaban yang
tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di
Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat,
maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di
Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat
terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap
tahun.
II.1.3 Patogenesis
Keberadaan viremia adalah dasar dari terjadinya penyakit DBD.
Viremia akan mengakibatkan aktifitas komplemen, badai sitokin, apoptosis,
dimana semuanya itu selanjutnya akan mengakibatkan kerusakan jaringan,
perdarahan dan kebocoran plasma. Kemampuan virus itu sendiri (tergantung
strain) untuk merusak sel dan penghancuran komplek imun menambah
keparahan penyakit. Viremia akan terjadi ketika tubuh tidak berhasil
membentuk antibodi spesifik atau antibodi neutralizing. Seseorang dapat
menjadi kebal seumur hidup, jika memiliki antibodi spesifik terhadap suatu
strain virus Dengue. Tetapi antibodi spesifik itu tidak dapat memberikan
kekebalan terhadap strain lain dari virus Dengue. Replikasi virus Dengue terjadi
dalam sel targetnya (monosit, makrofage, dan sel Kupfer). Replikasi virus
dalam sel targetnya akan terjadi bila antibodi non-neutralizing terbentuk.
Infeksi Dengue berulang dari strain virus Dengue yang berlainan akan lebih
memudahkan terjadinya antibodi non-neutralizing. Namun demikian infeksi
Dengue yang pertama kalipun atau tanpa infeksi berulang dapat juga
menyebabkan terjadinya viremia. Hal ini disebabkan adanya antibodi non-
neutralizing dari ibunya. Tetapi infeksi Dengue berulang dari tipe yang lain
atau infeksi sekunder terjadi lebih mudah dan menimbulkan gejala yang lebih
berat ketimbang infeksi primer. Status nutrisi seorang pasien juga dapat
memperburuk penyakit DBD.
Dari kesimpulan di atas, terlihat bahwa dasar untuk terjadinya penyakit
DBD dan menjadi beratnya penyakit DBD adalah tergantung dari viremia. Di
lain pihak timbul lagi teori yang dikatakan oleh T.Mudwal. Dia mengatakan
bahwa karena terlalu sensitiflah (hipersensitifitas) seseorang dapat terkena
DBD. Dimana reaksi hipersensitifitas yang bertanggung jawab adalah reaksi
hipersensitifitas tipe III/reaksi hipersensitifitas komplek imun.
Sehat atau sakitnya individu seperti kita ketahui adalah interaksi antara
sistim kekebalan manusia dengan lingkungan dan agen (kuman/virus/antigen).
Supaya manusia tetap sehat maka kekebalan atau sistim imunitas harus baik,
lingkungannya harus mendukung sistim imunitas itu supaya tetap baik dan
antigen serta seluruh faktor yang mendukung antigen tersebut harus ditiadakan.
Tetapi selain dari teori klasik tentang terjadinya sakit pada manusia seperti yang
diterangkan di atas, manusia dapat pula menjadi sakit, apabila sistim
kekebalannya terlalu reaktif (hipersensitif). Dimana pada keadaan seperti itu
sistim imun memberikan reaksi yang berlebihan terhadap agen/mikroorganisme
terterntu. Jadi bukan kurangnya sistim imun yang menjadikan seseorang sakit,
melainkan kesalahan dalam merespon agen yang masuk dalam tubuh itulah
yang menjadi dasar terjadinya sakit.
Berdasar bacaan-bacaan patogenesis dan patofisiologis infeksi Dengue
seperti yang telah ditulis di atas, maka prinsipnya ada 3 teori tentang
patogenesis dan patofisiologi tersebut.
1. Teori keganasan virus
Virulensi virus adalah penyebab dari segala-galanya. Virus dianggap ganas bila
dia mampu untuk bereplikasi, merangsang apoptosis dan keluarnya sitokin
serta meningkatkan aktivitas komplemen. Dimana semuanya itu selanjutnya
akan mengakibatkan kerusakan jaringan. Dengan dasar ini timbullah teori
bahwa virus Dengue yang ganas untuk Indonesia, virus Dengue tipe 3, Thailand
tipe 2, Mexico, Puerto Rico, dan El Salvador adalah tipe 4. Pemberian cairan
dan observasi ketat merupakan terapi utama pada pasien yang terkena DBD
berdasar teori ini.
2. Teori keganasan virus yang dikombinasi dengan kesalahan respon sistem
imun pada saat virus Dengue masuk kedalam tubuh (Teori Halstead).
Tubuh berhasil mengatasi infeksi Dengue yang dianggap terganas sekalipun,
asalkan tidak terbentuk antibodi non neutralizing. Antibodi non neutralizing,
baru terbentuk bila tubuh terinfeksi virus Dengue dari serotipe yang berbeda
(Secondary Heterologous Infection Theory). Jadi secara tidak langsung pada
teori ini tidak ada istilah virus Dengue yang ganas atau tidak ganas. Semua
virus Dengue adalah ganas apabila dia berhasil masuk dalam sel targetnya,
bereplikasi dan bertambah kekuatannya di sel target tersebut untuk kemudian
masuk lagi kedalam darah. .Antibodi non neutralizing memacu masuknya virus
kedalam sel target tersebut. Jadi berdasar teori ini, apa bila seseorang terinfeksi
satu macam virus saja yang dianggap terganas sekalipun, baik 1 kali atau terus
menerus, orang tersebut tidak akan pernah sakit DBD (terjadi kekebalan seumur
hidup terhadap virus itu saja/terbentuk antibodi neutralizing seumur hidup
terhadap virus itu saja). Walaupun demikian, kekebalan terhadap 1 virus itu
juga sekaligus menjadi pemicu terbentuknya antibodi non neutralizing bila
tubuh kemasukan virus Dengue dari tipe yang lain. Teori inilah yang sekarang
banyak dipakai di seluruh dunia. Terapi utama pada seorang yang terkena DBD
berdasarkan teori ini adalah sama dengan teori keganasan virus yaitu pemberian
cairan dan observasi ketat.
3. Kesalahan respon imunitas individulah sebagai dasar utama terjadinya
sakit DBD (Teori Hipersensitifitas tipe III T. Mudwal / www.dhf-
revolutionafankelijkheid.net)
T. Mudwal menyatakan teori ini berdasakan :
a. Tidak semua orang atau ras akan terkena DBD.
DBD terutama mengenai Asia Tenggara dan Pasifik Barat (betapa pun
saat ini, DBD telah menyerang hampir 100 negara di dunia dan macam-macam
ras). Pengamatannya selama 20 tahun terhadap pasien-pasien DBD,
menunjukan etnis Arab, Cina, kulit putih, sangat jarang terkena DBD, bahkan
pada saat KLB sekalipun. Begitu juga pengamatannya pada saat bekerja di
RSCM, Caltec Pasifik Riau dan bekerja pada saat ini, merupakan dasar untuk
menyatakan itu selain kenyataan yang ada di atas dunia ini seperti yang
dituliskan di jurnal-jurnal.
b. Imunitas buruk, gejala klinis justru ringan
Apabila kita memakai patokan bahwa DBD berat, adalah seseorang
dengan riwayat panas ≤7 hari, adanya syok, sesak napas, hepatosplenomegali,
perdarahan hebat/DIC dan trombosit ≤20.000/mm3, maka hal-hal tersebut
banyak terjadi pada orang dengan gizi baik yang secara perhitungan kasar,
mempunyai sistem imunitas baik ketimbang seseorang dengan gizi buruk atau
orang dengan usia > 60 tahun, dimana secara perhitungan kasar sistem
imunitasnya buruk. Sulit sekali seorang pasien HIV yang jelas-jelas mempunyai
imunitas yang buruk untuk terkena penyakit DBD. Penyakit DBD hanya bisa
mengenai passien HIV bila CD4 masih diatas 200 cel/mm3, atau sistem
imunitasnya masih lumayan baik.
c. Telah terbukti adanya penyebaran komplek imun pada jaringan tubuh.
Ruangjirachuporn mengatakan bahwa 80% dari 80 anak yang menderita
DBD, didapatkan komplek imun pada banyak jaringan tubuhnya. Kerusakan
jaringan tubuh yang luas akibat DBD misalnya kerusakan
endotel,hati,ginjal,sumsum tulang,pankreas,mata,jantung, jaringan saraf, otak,
dsb, telah pernah dilaporkan.Karena itu T.Mudwal mengatakan penghancuran
terhadap komplek imun itulah sebagai dasar kehancuran jaringan (bukan oleh
keganasan virus itu sendiri). Sehingga dengan dasar itu kita tidak dapat
menyatakan bahwa ditemukannya virus pada biopsi jaringan orang yang telah
meninggal karena DBD, menunjukkan bahwa kemampuan virus itulah yang
membuat kerusakan.
d. Secara teoritis,viremia dari virus Dengue tidak menimbulkan badai sitokin.
Viremia pada infeksi Dengue, terjadi pada hari ke-0 atau ke-1 dari panas
(NS-I antigen bisa positif sampai dengan 100%). Tetapi justru pada saat
viremia itu gejala klinik yang terjadi ringan. Gejala klinik baru berat, setelah
antibodi terbentuk (terbentuk ikatan komplek imun/antigen-antibodi komplek).
Secara teoritispun reaksi tubuh terhadap virus, tanpa terikat antibodi lebih
ringan ketimbang virus yang telah terikat antibodi. Karena reaksi tersebut tidak
mengaktivasi komplemen C1,C2,C4(34,35,36). Sehingga tidak mungkin terjadi
badai sitokin apabila virus tidak berikatan dengan antibodi. Badai sitokin pasti
terjadi bila terjadi komplek imun dan komplek imun tersebut terdapat dalam
jumlah banyak dan menyebar ke seluruh tubuh. Point no.d ini memperkuat lagi
point no.c.
e. Adanya antibodi non-neutralizing dan limfosit plasma biru adalah tanda yang
jelas dari hipersensitifitas.
Sama seperti Halstead, antibodi yang terbentuk tidak mampu
membentuk antibodi neutralizing (terbentuk antibodi non neutralizing) . Tapi T.
Mudwal tidak mengatakan itu sebagai antibodi non neutralizing. T. Mudwal
mengatakan itu adalah Ig G/ IgM imperfect (karena secara imunologis,
imunoglobulin kita adalah IgA, IgE, IgD, IgM, IgG). Terbentuknya Ig G / IgM
imperfect oleh karena sensitifnya tubuh terhadap antigen Dengue, sehingga sel
plasma yang belum cukup umur untuk membuat antibodi, ikut-ikutan membuat
antibodi. Akibat Ig G/ IgM yang tidak terbentuk sempurna, virus berhasil
melepaskan diri dari ikatan Ig G/IgM tersebut dan masuk pada sel targetnya.
Jadi pada Ig G/IgM imperfect tidak terjadi pemacuan terhadap virus untuk
masuk pada sel targetnya, seperti yang dikemukakan Halstead. Ikatan antigen
dan antibodi tetap terjadi, tetapi ikatannya lemah. Adanya hipersensitifitas ini
dibuktikan lagi dengan ditemukannya sel-sel limposit plasma biru (LPB) pada
pasien DBD..Hanya DBD lah yang dapat menyebabkan terlihatnya sel-sel LPB
dalam waktu akut (< 7 hari masa sakit). Bahkan ada penelitian yang
mengatakan, LPB ini terdapat pada 98 % pasien DBD (37). Pada orang sehat
LPB tidak terlihat sama sekali (nol %).
f. Terbuktinya pemberian kortikosteroid dosis immunosupressif pada pasien
DBD.
Fakta lain yang membuktikan bahwa hipersensitifitaslah sebagai
penyebab terjadinya penyakit DBD adalah berhasilnya pemberian obat untuk
menekan hipersensitifitas itu (kortikosteroid dosis immunosupressif) seperti
yang dilakukan Waly et al (FK UI 1997) (12), Hendarsih et al (38) (FK
UNPAD 2004), dan Futrakul et al (Thailand 1987) (39).
Kegagalan pemberian steroid dikarenakan pemberiannya dilakukan
setelah 4 hari sakit atau memberikan steroid dengan kekuatan lemah
(hidrokortison) dan tidak dalam dosis yang besar (immunosupressif).
Pemberian steroid pada keadaan syok dan dari golongan hidrokortison tidak
memberikan efek apa-apa (40,41,42,43). Pada DSS resusitasi cairan adalah
yang paling utama ketimbang pemberian steroid. Kegagalan pemberian
kortikosteroid dosis tinggi (2 mg/kg BB/hr) pada demam < 5 hari (early stage of
dengue infection), seperti yang di laporkan oleh Fak. Kedokteran Oxford yang
bekerja sama dengan Fak. Kedokteran Ho Chi Min Vietnam (44) disebabkan
a. Kortikosteroid yang diberikan tidak mencapai dosis imunosupresif karena
maksimal pemberian hanya 60 mg. Dari penelitian Oxford pada 225 pasien itu
semuanya berumur 12-15 tahun. Bila Indonesia menjadi patokan maka rata-rata
berat badan anak Indonesia umur 12-15 tahun adalah 40 kg. Jadi seyogyanya
dosis yang diberikan pada kelompok yang mendapatkan high dose
metilprednisolon seharusnya adalah rata-rata 80 mg perhari. Jadi bila
metilprednisolon 2 mg/kg berat badan perhadi dianggap sebagai batas minimal
metilprednisolon itu berefek imunosupresif, maka itu berarti seluruh sample
penelitian itu(225 pasien), tidak diberikan dosis imunosupresif. Futrakul yang
penelitiannya tidak ikut di review oleh Zhang, mendapatkan hasil yang baik
dengan memberikan metilprednisolon 30 mg/kg berat badan perhari pada
pasien infeksi Dengue yang syok[45]. Saya sendiri selalu memberikan
metilprednisolon dosis tinggi pada pasien DBD dewasa 125 mg injeksi
metilprednisolon bila berat badan < 60 kg. dan 250 mg injeksi metilprednisolon
pada pasien dengan berat badan > 60 kg[29]. Bahkan pada pasien berat seperti
syok, saya memberikan 2×250 mg metilprednisolon injeksi atau kalau perlu
2×500 mg metilprednisolon injeksi.
Dengan tak tercapainya dosis imunosupresif pada penelitian Oxford tersebut,
maka logis apabila sel-sel Natural Killer atau limposit T tetap ada. Begitu
juga logis apabila tidak ada perbedaan bermakna pada jumlah sitokin pada
pasien yang mendapatkan metilprednisolon dosis tinggi, rendah atau yang
tidak mendapatkan.
b. Termasuk keberhasilan dari terapi kortikosteroid dosis tinggi, ialah apabila
naiknya trombosit untuk mencapai jumlah 100.000 lebih cepat ketimbang
pasien yang tidak diberikan kortikosteroid. Penelitian saya dan Hendarsih
adalah contohnya. Data tentang kecepatan naiknya jumlah trombosit menjadi
100.000 tidak ada pada penelitian Oxford dan review dari Zhang. Begitu juga
dengan fenomena-fenomena naik turunnya jumlah trombosit tidak ada pada
jurnal-jurnal tersebut. Pada penelitian saya fenomena turun naiknya jumlah
trombosit lebih sedikit pada pasien yang mendapatkan kortikosteroid dosis
tinggi ketimbang yang nonsteroid.
Dengan demikian dosis kortikosteroid imunosupresif sebenarnya bersifat
individual. Bila dengan dosis 1×125 mg injeksi metilprednisolon, jumlah
trombosit terus turun mungkin saja efek imunosupresifnya belum tercapai.
Dosis bisa di naikkan 2×125 mg dan seterusnya(Kontroversi Penelitian Tentang
Efek Kortikosteroid Pada Infeksi Dengue).
Ketakutan terhadap efek samping kortikosteroid tidak bisa menjadi alasan
untuk menolak teori Hipersensitifitas tipe III sebagai dasar patogenesis dan
patofisiologi dari DBD. Berdasarkan kepustakaan, pemberian kortikosteroid
dosis besar adalah aman selama tidak ada perdarahan gastrointestinal (47).
Walaupun demikian inhibitor pompa asam dan anti emesis dapat
dipertimbangkan dalam pemberian dosis tinggi kortikosteroid. T.Mudwal
menyarankan memberikan methyl prednisolon ≥1,5 mg/kgbb/hari sebagai dosis
immunosupressif.
g. Ditemukannya antibodi trombosit yang positif
Keyakinan bahwa teori hipersesitivitas tipe III sebagai dasar patogenesis
dan patofisiologi DBD bertambah kuat dengan ditemukannya reaksi auto imun
terhadap trombosit (antibodi trombosit positif). Ini dimungkinkan karena pada
manusia selalu ada limposit auto reaktif yang bisa menyebabkan terjadinya
reaksi auto imun (16,17,18,34,35). Tidak terjadinya reaksi auto imun pada
manusia disebabkan adanya mekanisme auto regulasi dari manusia. Imun
kompleks yang menempel pada trombosit atau jaringan merupakan suatu
rangsang yang kuat terhadap limposit auto reaktif untuk membuat reaksi auto
imun. Jatuhnya jumlah trombosit secara tajam dengan tiba-tiba dan kemudian
dengan cepat naik tinggi lagi secara tiba-tiba, kemungkinan disebabkan oleh
adanya antibodi trombosit yang positif. Antibodi trombosit yang terjadi secara
tiba-tiba, secara cepat akan menurunkan jumlah trombosit. Tapi mekanisme
homeostasis imunoregulator dengan cepat meng-counter itu, sehingga antibodi
trombosit menjadi negatif kembali dan trombosit naik tinggi lagi secara tiba-
tiba.
Tidak naiknya jumlah trombosit pada pemberian tranfusi trombosit
pasien DBD terutama juga disebabkan adanya antibodi trombosit tersebut.
Sebab pada keadaan trombositopenia, sumsum tulang sebenarnya mampu
membuat trombosit sampai dengan 240.000 mm3 setiap hari. Yang ditakuti
ialah apabila antibodi trombosit ini gagal di counter oleh mekanisme
homeostasis imunoregulator (terjadinya trombositopenia seumur hidup/ITP).
Penyebaran Komplek Imun dan Penghancurannya Menurut T.Mudwal
Karena sel target dari virus Dengue adalah sel tentara kita (monosit,
makrofag dan sel kupfer) maka kompleks imun yang terbentuk, baik antara Ig
G/IgM perfect dengan antigen dan sebagian kecil Ig G/IgM imperfect dengan
antigen gagal dihancurkan oleh sel tentara kita sehingga menyebar keseluruh
tubuh (dinding kapiler, trombosit, susmsum tulang, hati, limpa, otak, jantung,
mata, dan sebagainya). Kembalinya sel tentara kita pada fungsi yang normal
atau datangnya .sel-sel tentara dari markasnya di sumsum tulang yang normal
menyebabkan kehancuran dari kompleks-kompleks imun tersebut. Derajat
beratnya DBD tergantung dari lokasi dan banyaknya kompleks imun yang
hancur. Dengan alasan point a sampai dengan f seperti yang telah dituliskan
diatas,maka T.Mudwal mengatakan bahwa hipersensitifitas individulah sebagai
penyebabnya.Karena kehancuran yang terjadi disebabkan
pembentukkan,penyebaran dan penghancuran komplek imun,maka reaksi
hipersensitifitas yang terjadi adalah reaksi hipersensitifitas tipe III atau reaksi
komplek imun. Dengan dasar itu bukan viremialah atau keganasan viruslah
yang ditakuti, tetapi penyebaran komplek imun ke seluruh jaringan tubuh itulah
yang harusnya ditakuti (rapid spread of immune complexes are more dangerous
than malignancy of Dengue viral).
Adanya kompleks-kompleks imun yang banyak ini dapat memicu
kekacauan dalam sistem pengaturan kekebalan tubuh kita. Sehingga dapat
terjadi sel-sel tubuh yang seharusnya tidak dihancurkan, menjadi ikut
dihancurkan. Pada tingkat tertinggi, reaksi autoimun ini dapat terjadi pada
banyak organ atau terjadi SLE. Apabila mekanisme self tolerance dapat
mengontrol ini, maka reaksi autoimun selesai atau orang tersebut menjadi
normal. Tetapi bila tidak, maka reaksi autoimun dapat terjadi seumur hidup
seperti ITP, SLE, chronic hepatits autoimumune, rheumathoid arthrithis, dsb
(34,35,36). Pengetahuan tentang teori ini akan menjawab bahwa penyebab
Evan syndrome atau HELLP syndrome kemungkinan adalah infeksi virus
Dengue juga. Silakan menyebutkan sindrom, bila gangguan itu terjadi di
Amerika, Eropa, atau Australia. Tetapi bagi negeri yang hiperendemis Dengue
seperti Indonesia, semua gangguan itu sangat mungkin disebabkan oleh infeksi
Dengue. Hal lain yang perlu diingat adalah kesembuhan pada organ-organ yang
rusak post infeksi Denguepun mungkin bisa terjadi tidak sempurna. Adanya
anemia aplastik, stroke, gangguan penglihatan akibat retina yang rusak dsb,
mungkin saja terjadi.
Berdasar keterangan di atas reaksi DBD hebat baru akan terjadi bila
antigen yang masuk jumlahnya banyak, antibodi imperfect yang terbentuk
banyak, makrofag yang invalid akibat terinfeksi Dengue banyak serta lokasi
dan banyaknya kompleks imun yang dihancurkan. Infeksi virus dalam jumlah
kecil dari satu macam virus saja biasanya tidak menimbulkan reaksi
Hipersensitifitas tipe III. Atau bisa juga memberikan reaksi tetapi biasanya
ringan (demam, sakit kepala, pegal linu, gangguan penglihatan dsb). Walaupun
demikian bisa juga memberikan reaksi yang berat bila seperti yang
dikemukakan di atas, antigen yang masuk sangat banyak atau bersifat super
antigen. Atau individu tersebut terlalu sensitif sehingga antibodi IgM imperfect
yang terbentuk sangat banyak atau terjadi mutasi genetik baik dari virus itu
maupun individunya. Perbedaan teori T. Mudwal dan Haslstead, bila Halstead
mengatakan bahwa infeksi satu macam virus yang pertama kali akan
mengakibatkan kekebalan seumur hidup maka T. Mudwal mengatakan tidak.
Tidak ada kekebalan seumur hidup pada orang hipersensitif. Reaksi yang terjadi
tergatung seperti apa yang telah diterangkan di atas. Hal ini lah sebagai dasar
dari T. Mudwal untuk mengatakan kenapa infeksi primer dapat memberikan
gejala klinis. Suatu hal yang sulit untuk dijawab Halstead. Sehingga keluar lagi
teori antibodi dependent enhancement untuk menerangkan kenapa infeksi
primer dapat menyebabkan gejala klinik. Dimana berdasarkan teori ini
terjadinya sakit pada infeksi primer, karena orang tersebut mendapatkan
antibodi non neutralizing dari ibunya. Sehingga bila terjadi infeksi virus
Dengue dari tipe yang berbeda seperti apa yang telah mengenai ibunya
terjadilah penyakit DBD. Sedangkan menurut T. Mudwal anak 0 – 4 bulan
memang akan mendapatkan antibodi dari ibunya sesuai dengan virus Dengue
yang telah mengenai ibunya. Tetapi setelah itu karena genetiknya sendiri.
Terbentuklah IgM yang sensitif. Setelah enam bulan terbentuklah IgG yang
sensitif. Jadi antibodi terhadap virus Dengue yang diterima anak dari ibunya itu,
hanya bertahan sekitar 6-9 bulan. Untuk kemudian sakitnya anak itu karena
DBD disebabkan sensitifnya IgM dan IgG anak itu sendiri. Sensitifitas adalah
diturunkan atau genetik.
Infeksi virus Dengue yang kedua kali dalam jumlah kecil dan virus yang
sama, bisa tidak terjadi reaksi tapi tidak terjadi kekebalan seumur hidup.
Meskipun demikian bila terjadi infeksi virus kedua kali dari virus tipe yang
berbeda walaupun dalam jumlah kecil lebih berbahaya ketimbang infeksi virus
yang sama dalam jumlah besar (sama seperti Teori Halstead). Hal ini karena
virus yang berbeda akan memberikan rangsang yang lebih kuat untuk terjadinya
kesalahan respon imun ketimbang virus yang sama. Tetapi bila terinfeksi lagi
oleh virus yang ketiga atau keempat (virus Dengue yang lain) maka reaksi yang
akan terjadi lebih ringan karena sebagian dari sifat-sifat virus tersebut telah
dikenal oleh sistem imunitas kita (karena sama-sama virus Dengue).

Skema 1.Patogenesis Plasma Leakage

Skema 2.Patofisiologi plasma leakage


Skema 3.Patofisiologi Trombositopenia

II.1.4 Diagnosis
A. Kriteria diagnosa DBD WHO tahun 1997
1. Adanya panas 2-7 hari.
2. Adanya manifestasi pendarahan, minimal bila dilakukan tes bendungan
dengan tensi meter (Rumple lead test), hasilnya positif yaitu di temukan
ptekhia > 10 pada diameter 2,8 cm pada lipatan siku atau lengan bawah
bagian depan.
3. Harus ada trombositopenia (trombosit < 100.000 /mm2)
4. Adanya kenaikan hematokrit > 20% beradasar standar umur, jenis
kelamin (Indonesia belum sepakat untuk masalah standar ini). Atau
kenaikan hematokrit ini di anggap 20% bila setalah di terapi cairan di
rumah sakit hematokrit nya turun 20% daripada sebelum diberikan
cairan.
B. Kriteria diagnosis WHO 2009

C. Kriteria Diagnosis Menurut WHO 2011


D. Diagnosis berdasar WHO 2009 dan T.Mudwal Theory
a. Harus dicurigai disebabkan oleh infeksi Dengue sampai dengan dapat
dibuktikan bukan oleh karena infeksi Dengue:
1) Pada daerah hiperendemis Dengue
2) Setiap pasien panas ≤7 hari
3) Setiap pasien syok hipovolemik
4) Setiap pasien dengan tes Torniquet/Rumpeleede positf
5) Setiap pasien dengan trombositopenia (<150.000)
b. Bila tes Torniquet (-) ulangi setiap 8 jam selama 2 hari berturut-turut
pada tangan yang berlainan. Atau dilihat kembali pada tempat yang
telah dilakukan tes torniquet apakah telah berubah menjadi positif
atau tidak.
c. Bila ditemukan adanya gambaran yang mencurigakan dari
laboratorium seperti jumlah trombosit telah mendekati 150.000/mm3
(<170.000 mm3), adanya gambaran pansitopenia, penurunan
trombosit secara signifikan (≥ 50.000), diff count limfosit ≤20%, diff
count monosit ≤3%, Hb >14gr% (pada orang Indonesia < 60 tahun),
Ht > 42 (orang Indonesia <60 tahun), limfosit plasma biru (LPB)
>4%, selalu ditanyakan adanya panas walaupun pasien datang dengan
keluhan utama bukan oleh karena panas. Bila panas tidak ditemukan,
tetapi kelainan laboratorium ditemukan, bahkan setelah diulang hasil
laboratorium masih seperti itu, infeksi Dengue dianggap sebagai
penyebabnya sampai dapat dibuktikan bukan.
d. Limfosit plasma biru (LPB) akan mencapai nilai tertinggi pada hari ke
empat pada infeksi Dengue sekunder dan hari ketujuh pada infeksi
Dengue primer, dan setelah itu akan terjadi penurunan nilai LPB. LPB
yang tidak menurun pada pemeriksaan berkala bukan disebabkan oleh
infeksi virus Dengue.
e. Kriteria WHO 2009 tentang cara diagnosis infeksi Dengue selalu
dijadikan panduan.
II.2 Chikungunya
Sering didiagnosa hanya berdasarkan kriteria klinis saja yaitu demam
kurang dari 7 hari dan sakit persendian yang hebat, baik pemeriksaan rumple
leed negative atau positif. Diagnosa chikungunya dengan kriteria seperti itu
sering ditegakkan oleh karena pemeriksaan trombosit masih lebih dari 100.000
mm3. Hal demikian dapat terjadi oleh karena sosialisasi kriteria infeksi dengue
tahun 2009 belum diterapkan (masih berdasarkan kriteria tahun 1997). Dpekes
RI pun menolelir diagnosa chikungunya seperti tersebut di atas (kasus
tersangka chikungunya). Kasus tersangka chikungunya menjadi lebih kuat lagi,
bila didaerah tersebut pernah terjadi endemic chikungunya (kasus probable
chikungunya).
Padahal berdasarkan fakta yang ada, banyak daerah yang dianggap
endemik itu ternyata pemeriksaan serologi chikungunya tidak dilakukan atau
kalau dilakukan presentasinya kecil sekali. Sebagai contoh, pada tahun 2001
sampai 2003 terjadi epidemic atau KLB pada 24 daerah di Indonesia. Ternyata
dari 24 daerah tersebut, 13 daerah tidak dilakukan pemeriksaan serologi sama
sekali, 1 daerah pemeriksaan serologinya tidak dapat dipakai (tidak sesuai
standar). Yogyakarta yang diklaim menderita chikungunya 1031 orang, ternyata
pemeriksaan serologinya hanya dilakukan pada 23 orang. Dari 23 orang
tersebut hanya 70% yang serologinya positif. Jawa timur yang diklaim
menderita chikungunya 654 orang, ternyata pemeriksaan serologinya hanya
dilakukan pada 20 orang. Dari 20 orang tersebut yang postif serologinya hanya
25% saja. Dengan data-data diatas, epidemic chikungunya tidak cukup kuat
untuk dijadikan dasar diagnosa.
Diagnosa chikungunya didasarkan atas kriteria-kriteria (modifikasi WHO
SEARO 2009)
- Kriteria klinis : demam mendadak > 38,5oC dan nyeri persendian hebat
(severe atralgia) dan atau dapat disertai ruam (rash).
- Kriteria epidemiologis : bertempat tinggal atau pernah berkunjung ke wilayah
yang sedang terjangkit chikungunya dengan sekurang-kurangnya 1 kasus
positif RDT/ pemeriksaan serologi lainnya, dalam kurun waktu 15 hari
sebelum timbulnya gejala (onset of symptoms).
- Kriteria laboratories : sekurang-kurangnya salah satu diantara pemeriksaan
berikut :
 Isolasi virus
 Terdeteksinya RNA virus dengan RT-PCR
 Terdeteksinya antibody IgM spesifik virus Chik pada sampel serum
 Peningkatan 4 kali lipat (four-fold) titer IgG pada pasangan sampel
yang diambil pada fase akut dan fase konvalense (internal sekurang-
kurangnya 2-3 minggu).
Berdasarkan kriteria di atas, diagnose demam chikungunya digolongkan
dalam 3 kategori yaitu :
1. Kasus tersangka : Penderita dengan kriteria klinis.
2. Kasus probable : Penderita dengan kriteria klinis + kriteria
epidemiologis.
3. Kasus confirm : Penderita dengan kriteria laboratorium.
Masa inkubasi intrinsik chikungunya rata-rata 3-7 hari (range 1-12 hari),
sedangkan masa inkubasi ekstrinsik berkisar 10 hari (WHO PAHO, 2011).
Inkubasi intrinsik adalah periode sejak seorang terinfeksi virus chik sampai
timbulnya gejala klinis. Inkubasi ekstrinsik adalah periode sejak nyamuk
terinfeksi chik sampai virus tersebut dapat menginfeksi orang lainnya melalui
gigitan nyamuk tersebut.

II.3 Leptospirosis
Masa inkubasi leptospirosis 5-14 hari (2-30 hari). Sulit untuk mengatakan acut
on differentiated fever (AUF) disebabkan oleh leptospira, sebab :
1. Leptospira baik pathogen atau non pathogen dapat hidup secara saprofit
pada manusia.
2. Berdasarkan penelitian MH Gasem dari 137 AUF, ternyata hanya 13
orang (9,5%) yang test serologi leptospiranya (+). Dan dari 13 orang itu,
hanya 9 orang yang jenis leptospira pathogennya secara serologi + /
PCR (6,5% dari 137 orang). Dan dari 9 orang itu dengan mikroskop
aglutinasi tes (MAT) yang merupakan standar emas leptospira hanya 5
orang yang leptospiranya terlihat + (3,6% dari 137 orang).
3. Peningkatan titer 4x lipat standar baku kedua setelah MAT.
Apabila kita mengatakan AUF disebabkan oleh leptospira, maka
kemungkinan benarnya Cuma 3,6 (MAT +). Itupun hanya dapat mengatakan
bahwa memang benar terlihat leptospira pada pasien tersebut. Perbandingan
pada pasien DBD (prof. sumarno) dari 226 orang dengan IH tes + ternyata
23,03% isolasi virusnya + dan dari adanya limfosit plasma biru yang lebih 10%
maka dari 69 orang atau 64 orangnya atau 92% LPB nya + (lebih 10%).
Leptospirosis harus disebabkan oleh leptospira yang pathogen
(imtrogaris) sedangkan yang non pathogen disebut leptospira bifleksa.
Leptospira pathogen yang paling berat menyebabkan sakit pada manusia adalah
leptospira ictrohemoragica yang vector utamanya adalah tikut dan penyakitnya
di sebut wail disease, leptospira pathogen lainnya yang sering menyerang
manusia adalah L.canicola (anjing) L.panoma (babi). Kejadian leptospira di
Indonesia 2,5%-16,45% rata-rata 7,1%. Angka kematian berkisar 3-54% umur
lebih 50 tahun kematian 56%. Karena sifatnya yang saprofit pemeriksaan
serologi IgM leptospira pathogen dapat +, dan IgM nya dapat bertahan
bertahun-tahun. Karena itu yang paling penting adalah peningkatan titer sampai
dengan 4x.
Gejala klinik leptospirosis sebagian besar (90%) adalah nonikterik dan
hanya 10% saja yang ikterik. Karena 90% non ikterik maka gejalanya hanya
seperti flu saja. Kalau kita mendiagnosa influenza itu akibat leptospira
penelitian MH. Gasem dapat menjadia acuan. Yang menarik adalah keberanian
WHO untuk menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara dengan angka
kejadian leptospira tertinggi di dunia dan peringkat ke-3 di dunia untuk
mortalitasnya, apa dasarnya? Selain tikus, sapi, kambing, domba, kuda, babi,
anjing dapat menjadi reservoir. Penularan dari manusia ke manusia sangat
jarang terjadi. Untuk mengetahui suatu ikterik dengan febris disebabkan
leptospira maka selain ikterik harus ada konjungtiva suffusion, nyeri betis,
demam minimal 5 hari dan adanya kontak. Keakuratan gejala klinik itu terbukti
mencapai 90% seperti yang diteliti FK Undip. Dari 45 orang pasien dengan
suspect leptospirosis berat maka MAT nya + 41 orang. Trombositopenia dan tes
bendungan yang + dapat juga terjadi pada leptospira, pemeriksaan culture sulit
dilakukan oleh karena hasilnya baru bisa didapatkan 2 minggu kemudian.
Pemeriksaan PRC mahal dan harus ada keahlian khusus. Bisa false + misalnya
karena kontaminasi dari leptospira pathogen dari tempat orang tersebut bekerja
atau false – karena adanya kotoran-kotoran yang menutupi DNA leptospira.
WHO 2009, 3 kriteria untuk mendiagnosa leptospira :
1. Kasus suspect
a. Adanya demam akut. Biasanya 7-10 hari dengan interval 2-30
hari
b. Adanya kontak. Kontak dengan air (banjir, sawah, sungai).
Kontak dengan binatang yang hidup ataupun mati (tikus, sapi,
anjing, babi, kambing, dll). Kontak dengan makan yang
mengandung leptospira (bukan oleh karena kita memakan
makanan itu).
2. Kasus probable
Kasus suspect + 2 dari gejala-gejala di bawah ini :
 Nyeri betis
 Ikterus
 Perdarahan (conjungtiva suffusion)
 Meningitis
 Anuria
 Aritmia jantung
 Bercak-bercak pada kulit
 Sesak nafas
 Batuk
 IgM +
3. Kasus konfirmasi
Kasus probable ditambah dengan salah satu dibawah ini :
1. MAT +
2. Kenaikan titer 4x dari awal, atau titer awal 320
3. PCR +

II.4 Morbili
Morbili adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh measles virus
dengan masa inkubasi 10-20 hari. Virus campak merupakan virus RNA
famili paramyxoviridae dengan genus Morbili virus. Sampai saat ini hanya
diketahui 1 tipe antigenik yang mirip dengan virus Parainfluenza dan Mumps.
Virus bisa ditemukan pada sekret nasofaring, darah dan urin paling tidak
selama masa prodromal hingga beberapa saat setelah ruam muncul. Virus
campak adalah organisme yang tidak memiliki daya tahan tinggi apabila berada
di luar tubuh manusia. Pada temperatur kamar selama 3-5 hari virus kehilangan
60% sifat infektifitasnya. Virus tetap aktif minimal 34 jam pada temperatur
kamar, 15 minggu di dalam pengawetan beku, minimal 4 minggu dalam
temperatur 35˚C, beberapa hari pada suhu 0˚C, dan tidak aktif pada pH rendah.
Measles, virus RNA beruntaitunggal negative yang berenvelope,
merupakananggota genus Morbili virus dari family Paramyxoviridae. Hanya
ada satu serotype. Virus ini mengkode enam protein struktural, termasuk dua
glikoprotein transmembran, fusi (F), dan hemaglutinin (H), yang memfasilitasi
perlekatan ke sel penjamu dan masuknya virus. Antibodi terhadap F dan H
bersifat memberikan perlindungan.
Morbili ditandai oleh 3 stadium, yaitu :
a. Stadium kataral : 4-5 hari dgn demam, malaise, batuk fotofobia,
konjungtivitis, dan coryza.
b. Stadium erupsi : 4-7 hari dengan coryza, da batuk-batuk bertambah.
Timbul eksantema di palatum durum dan palatum mole.
c. Stadium konvalensi : berupa meninggalkannya bekas yang berwarna
lebih tua yang lama kelamaan akan menghilang sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

1. Waly, T.M. 2015. Ringkasan Teori Hipersensitivitas Tipe III T.Mudwal


dan Penerapannya pada Demam Berdarah Dengue. Cirebon.
2. Waly Taufiq M, Vaksinasi DBD Untung Atau Rugi?? : Kongres Nasional
Perhimpunan Peneliti Penyakit Tropik & Infeksi Indonesia (PETRI)
XVIII. Aceh, Juni 14-16 2012;144-150
3. Waly Taufiq M, Again, Let’s Discuss about DHF Pathogenesis and
Pathophysiology(The Effect of Rapid Spread of Immune Complexes Vs
The Effect of Dengue Virus). www.dhf-revolutionafankelijkheid.net
4. WHO. Dengue hemorrhagic fever : Diagnosis, treatment, prevention and
control. Second addition, Geneva : WHO, 1997.
5. WHO. Dengue guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control.
A joint publication of the WHO and the special programme for research
and training in tropical disease, 2009
6. WHO. Dengue guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control.
A joint publication of the WHO and the special programme for research
and training in tropical disease, 2011
7. Widodo, Djoko, 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal: 1752-1753
8. Cindy, Andri Thewidya, Emon Winardi, Maisie M.E Johan. Naskah
lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2011
;364-365
9. Dussart P, Labeau B, Lagathu G, Louis P, Nunes M R T, Rodrigues S G,
Storck-Hermann C, Cesaire R, Morvan J, Flamand M, and Baril L.
Evaluation of an enzyme immunoassay for detection of dengue virus NS1
antigen in human serum. Clinical and vaccine immunology, November
2006 ; 1185-1189.
10. Fauci et all. 2008. Leptospirosis. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 17th edition. United States of America : McGraw-Hill’s.
11. Suharto, Soewandojo E, Hadi U, Nasronudin .2007. Leptospirosis. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya : Airlangga University Press. Hal :
307-309.
12. Zein U. 2009. Leptosirosis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5.
Jakarta : Interna Publishing. Hal : 2087, 2808-2810.

Anda mungkin juga menyukai