Anda di halaman 1dari 2

Pemerkosaan TKI Terulang Lagi

Oleh : Khofifah Indar Parawansa

Kekerasan kembali menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Dalam sepekan, dua
kasus TKI mengalami tindak perkosaan di Malaysia mencuat ke publik. Kasus pertama menimpa TKI
dengan inisial SM. Ia diperkosa oleh tiga polisi diraja Malaysia di sebuah kantor polisi kawasan Penang.
Kasus perkosaan kedua menimpa TKI berusia 16 tahun asal Aceh yang diperkosa majikan laki-
lakinya, D. Tak hanya itu, dia disekap dan disiksa majikan perempuannya, N. Perempuan itu memang
adalah pembantu rumah tangga. Namun tidak ada alasan pembenaran untuk merendahkan perempuan.
Kasus yang menimpa SM mengambarkan betapa kejam tindakan yang dilakukan tiga anggota Polisi
Diraja Malaysia. Mereka tidak menjalankan tugasnya dengan baik, tapi malah memperkosa perempuan
asal Indonesia dengan dalih melakukan pemeriksaan data kependudukan. Apalagi tindakan itu dilakukan
di dalam pos polisi.
Sedangkan kasus yang menimpa TKI asal Aceh menunjukkan betapa perempuan yang bekerja di
luar negeri sangat rentan menjadi korban kekerasan oleh majikan. Kasus serupa sebelumnya telah kerap
terjadi, baik terhadap TKI yang bekerja di Malaysia maupun di negara-negara lainnya.
Dalam dua kasus terbaru ini, para pelaku terkesan menganggap TKI sebagai budak. Dan, kekerasan
seksual itu sungguh merendahkan martabat bangsa. Indonesia sudah sepantasnya menyampaikan protes
keras terhadap perlakuan tidak manusiawi tersebut, karena martabat bangsa memang harus ditegakkan.
Dua kasus pemerkosaan itu tidak bisa hanya dilihat sebagai kasus kriminal saja. Ini merupakan
akumulasi dari tindakan negatif sebagian masyarakat Malaysia terhadap yang merendahkan warga negara
Indonesia. Ini masalah serius. Karena itu, pemerintah Indonesia harus menunjukkan kepeduliannya
terhadap masalah yang dihadapi TKI.
Muslimat NU menyesalkan perlakuan polisi Malaysia yang telah memperkosa TKI. Terkait kasus
tersebut, Muslimat NU berpandangan, ada beberapa hal penting yang harus dilakukan pemerintah
Indonesia agar kasus serupa tak berulang kali terjadi.
Pertama, terus meningkatkan perlindungan TKI/TKW. Sebab kejadian ini bukanlah yang pertama
menimpa TKI di luar negeri. Malaysia dengan sekitar 2 juta pekerja migran menempati peringkat kelima
dalam data kekerasan TKI dengan 2.476 kasus. Peringkat pertama Arab Saudi dengan 22.035 kasus.
Sejumlah kalangan tahun lalu sempat menentang pencabutan moratorium pengiriman TKI ke Malaysia.
Alasan yang diungkapkan Malaysia, bahwa jumlah kasus penganiayaan terhadap TKI hanya 0,05 persen.
Padahal pelanggaran hak asasi manusia yang tidak bisa diukur dengan angka.
Tingginya angka kasus kekerasan seksual dan perkosaan itu selama ini belum diimbangi dengan
ketersediaan layanan yang sesuai standar pemenuhan hak-hak dasar korban. Padahal korban kekerasan
seksual dan perkosaan, memerlukan penanganan khusus.
Diakui atau tidak, selama ini memang terkesan ada pembiaran terhadap kasus-kasus kekerasan
terhadap TKI. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja di Luar Negeri hanya menitikberatkan regulasi penempatan, bukan perlindungan. Seharusnya para
pekerja migran tidak dilepas begitu saja ke dalam yuridiksi internasional tanpa pengawasan dan
perlindungan. Minimnya pendidikan dan pengetahuan TKI memicu para majikan untuk bertindak
semena-mena.
Kedua, Memorandum of Understanding (MoU) perlu ditinjau kembali. Perlu segera dilakukan
bilateral agreement antara Indonesia-Malaysia soal TKI yang lebih menjamin hak-hak dasar, dan
keselamatan TKI. Kalau hanya MoU, tentu isi perjanjian Indonesia-Malaysia belum mengatur secara
detail dan menyeluruh persoalan TKI.
Sejak moratorium pengiriman TKI ke Malaysia dicabut pada 1 Desember tahun lalu, Indonesia
kembali mengirimkan tenaga kerjanya ke negeri jiran. Kembalinya mereka ke negeri jiran kali ini disertai
persyaratan yang lebih ketat. Misalnya upah sekarang harus ditransfer langsung ke rekening TKI,
dokumen boleh dipegang TKI, ada libur sehari dalam seminggu, dan TKI bisa ambil uang ekstra sebesar
29 Ringgit jika dia tidak mengambil libur itu.
Namun, dengan MoU itu bukan berarti persoalan TKI di Malaysia selesai. Harus jelas bagaimana
mekanisme kontrol terhadap MoU tersebut. Harus jelas pula sanksinya, jika majikan tidak menjalankan
MoU ini. Di sisi lain, pemerintah Malaysia juga harus bertanggung jawab atas nasib TKI di negeri mereka
jika menghadapi masalah.
Ketiga, pemerintah Indonesia hendaknya mendesak pemerintah Malaysia agar terbuka dalam
memproses hukum kepada 3 polisi yang melakukan perkosaan. Di sisi lain, pemerintah Indonesia tak
cukup mengirim nota protes keras. Pendampingan terhadap korban harus dilakukan untuk memastikan
proses hukum para pelaku dijalankan dengan sungguh-sungguh oleh aparat penegak hukum di Malaysia.
Keempat, kepada calon TKW diharapkan mempertimbangan lebih matang saat akan memutuskan
menjadi TKW di luar negeri, mengingat seringnya muncul berbagai kasus kekerasan terhadap TKI.
Namun diakui, warga Indonesia pasti akan terus melirik bekerja di luar negeri untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, selama di dalam negeri masih minim pekerjaan yang menjanjikan kesejahteraan.
Kelima, kasus kekerasan terhadap TKI sesungguhnya menjadi peringatan dan pengingat terhadap
pemerintah, bahwa langkah-langkah strategis perlu dilakukan untuk membuka lapangan pekerjaan
sebanyak-banyaknya di dalam negeri dengan mengembangkan ekonomi kreatif. Banyak Kementerian
yang bisa ditugasi untuk mengembangkan ekonomi kreatif ini. Asalkan mau bekerja dengan benar,
pemerintah rasanya bisa “mencegah” warga Indonesia bekerja di luar negeri.**

Anda mungkin juga menyukai