Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN KASUS

SMF/BAGIAN RADIOLOGI

Atresia Ani Post Colostomy disertai Ileus


Obstruksi, VSD dan Sindroma Down

Oleh
Yudith Megumi Rebhung, S. Ked
1208017021

Pembimbing : dr. Elsye R. F. Thene, Sp. Rad

SMF ILMU RADIOLOGI


Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana Kupang
RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang
2017

1
BAB 1
PENDAHULUAN

Malformasi anorektal (MAR) memiliki banyak variasi yang mencakup anus


imperforata, atresia atau stenosis anorektal, anus ektopik dan atresia rektal.
Insiden malformasi anorektal adalah 1 dari 4000 sampai dengan 5000 kelahiran
hidup1.
MAR sering disertai kelainan kongenital lain seperti: VACTERL (Vertebral
abnormalities, Anal atresia, Cardiac abnormalities, Tracheoesophageal fistula
and/or Esophageal atresia, Renal agenesis and dysplasia, and Limb defects)
terjadi pada 45% pasien, OEIS (Omphalocele, Bladder exstrophy, Imperforate
anus and Sacral anomalies) terjadi pada 5% pasien, dan Sindroma Down terdapat
pada 2-8% pasien2.
Etiologi malformasi anorektal belum diketahui, namun keadaan ini berasal
dari kegagalan penurunan dan pemisahan hindgut dan traktus genitourinaria
selama trimester kedua2.
MAR sendiri diklasifikasikan menjadi letak tinggi atau letak rendah
bergantung pada lokasi tempat berakhirnya rektum terhadap puborectalis sling.
Pada MAR letak tinggi, kolon berakhir pada atau di atas puborectalis sling dan
sling biasanya hipoplasia atau bahkan tidak ada. Hal ini menyebabkan fungsinya
tidak adekuat2.
Pasien laki-laki biasanya memiliki fistula antara anorektum yang atresia
dengan uretra posterior. Fistula ke kandung kemih atau ke uretra anterior juga
dapat terjadi walaupun jarang, sementara pasien perempuan dapat memiliki
fistula dari anorektum yang atresia dengan vagina atau vestibulum2.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 MALFORMASI ANOREKTAL (ATRESIA ANI)


A. Embriologi
Usus terbentuk pada minggu keempat fase embrio hingga bulan ke enam fase
fetus. Usus terbentuk pada awal kehidupan disebut primitive gut, yang terdiri atas
3 bagian yaitu foregut, midgut, dan hindgut. Foregut akan berdiferensiasi
menjadi faring, esophagus, gaster, duodenum, liver, pancreas, dan apparatus
biliaris. Midgut akan menjadi usus halus, sekum, appendiks, kolon asendens, dan
duapertiga proksimal kolon transversum sedangkan hindgut akan menjadi
sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens, sigmoid, rektum, bagian
proksimal kanalis ani dari sistem ani dan bagian dari sistem urogenital. Hindgut
merupakan kelanjutan midgut sampai membran kloaka, dimana membran ini
terdiri dari endoderm kloaka dan ectoderm anal pit.
Pada minggu kelima masa gestasi, kloaka embrionik merupakan kantung
endodermal yang berasal dari dorsal hindgut dan allaotis di ventral.Kloaka
(Gambar 1-A) dipisahkan dari luar oleh membrana kloaka (proktodeum), yang
menempati permukaan ventral embrio diantara ekor dan body stalk.Pada minggu
ke-enam masa gestasi, septum mesoderm membagi kloaka menjadi sinus
urogenital ventral dan rektum dorsal (Gambar 1-C).Septum mesodermik ini
bergabung dengan membrana kloaka pada minggu ke-tujuh masa gestasi dan
membentuk badan perineum.Membrana kloaka dibagi membrana urogenital
ventral yang lebih besar dan membrana anal dorsal yang lebih kecil. Di bagian
luar, membran anal menjadi tertarik masuk ke dalam dan membentuk anal
dimple (lubang anus).
Pada minggu ke-delapan membran anal mengalami ruptur fisiologis, sampai
tak bersisa.Rektum dan kanalis analis bagian proksimal tumbuh dari lapisan
endoderm dan diperdarahi oleh arteri mesenterika inferior, sedangkan kanalis

3
analis bagian distal tumbuh dari lapisan ektoderm dan diperdarahi oleh cabang
arteri iliaka interna.
Pada kedua bagian membran anal, mesoderm somatik membentuk sepasang
tuberkulus anal. Tuberkulus-tuberkulus ini bergabung di bagian dorsal menjadi
struktur seperti tapal kuda. Pada minggu ke-sepuluh, ujung ventral struktur
tersebut bergabung dengan badan perineum. Otot lurik pada struktur yang seperti
tapal kuda ini, nantinya akan menjadi bagian superfisial sfingter anal eksternal.
Sfingter anal akan terbentuk pada lokasi yang seharusnya meskipun pada ujung
rektum tidak membuka, atau terbuka membentuk saluran ke lokasi lain.

Gambar 2.1 Perkembangan anus dan rektum pada minggu ke-lima sampai ke-sepuluh masa gestasi.A.
Closing Plate (Proktodeum memisahkan kloaka dari daerah luar). Septum urorektal (panah) menuju ke bawah
untuk membagi kloaka.B. Kloaka hampir terpisah menjadi rektum dorsal sinus urogenital ventral. Tailgut
menghilang.C. Penggabungan septum urorektal dengan closing plate untuk membentuk badan perineum. D.
Closing plate mengalami ruptur fisiologis. E. Selesainya prosespemisahan antara rektum dengan sinus
urogenital oleh badan perineum. (Modifikasi dari Skandalakis JE, Gray SW. Embryology for Surgeons (2nd
ed). Baltimore: Williams & Wilkins, 1994)

B. Anatomi
Kanalis analis berukuran panjang kurang lebih 3 sentimeter.Sumbunya
mengarah ke ventokranial yaitu ke arah umbilikus dan membentuk sudut yang
nyata ke dorsal dengan rektum dalam keadaan istirahat.Pada saat defekasi sudut

4
ini menjadi lebih besar. Batas atas kanalis anus disebut garis anorektum, garis
mukokutan, linea pektinatum, atau linea dentatum.Di daearah ini terdapat kripta
anus dan muara kelenjar anus antara kolumna rektum.Lekukan antar-sfingter
sirkuler dapat diraba di dalam kanalis analis sewaktu melakukan colik dubur, dan
menunjukkan batas antara sfingter intern dan sfingter ekstern (garis Hilton).
Cincin sfingter anus melingkari kanalis analis dan terdiri dari sfingter intern
dan sfingter ekstern. Sisi posterior dan lateral cincin ini terbentuk dari fusi
sfingter intern, otot longitudinal, bagian tengah otot levator (puborektalis), dan
komponen otot sfingter eksternus. Otot sfingter internus terdiri atas serabut otot
polos, sedangkan otot sfingter eksternus terdiri atas serabut otot lurik3.

Gambar 2.2 Anatomi Rectum-Anus

C. Defenisi dan Epidemiologi


Atresia ani atau anus imperforata atau malformasi anorektal adalah suatu
kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak sempurna, termasuk didalamnya
agenesis ani, agenesis rekti dan atresia rekti. Insiden malformasi anorektal
adalah 1 dari 4000 sampai dengan 5000 kelahiran hidup. Insiden malformasi
anorektal di Eropa antar daerah bervariasi antara 1,14 sampai dengan 5,96 per
10.000 orang dan dapat berubah-ubah setiap tahunnya.

5
Pada banyak penelitian dilaporkan malformasi anorektal lebih banyak terjadi
pada laki-laki dibandingkan perempuan. Hasil penelitian yang dilakukan di RS
Sardjito oleh Pratomo tahun 1998-2003 melaporkan perbandingan antara pasien
malformasi anorektal laki-laki dan perempuan adalah 21 : 19.4 Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan W di RSUD Arifin Achmad, jumlah
kasus malformasi anorektal periode 2007-2009 sebanyak 93 kasus, diperkirakan
terdapat 34 kasus malformasi anorektal setiap tahun. Pasien malformasi anorektal
terbanyak adalah laki-laki dengan perbandingan 23 : 14 kasus1.

D. Etiologi
Etiologi malformasi anorektal belum diketahui, namun keadaan ini berasal
dari kegagalan penurunan dan pemisahan hindgut dan traktus genitourinaria
selama trimester kedua2.

E. Klasifikasi
MAR diklasifikasikan menjadi letak tinggi atau letak rendah bergantung pada
lokasi tempat berakhirnya rektum terhadap puborectalis sling. Pada MAR letak
tinggi, kolon berakhir pada atau di atas puborectalis sling dan sling biasanya
hipoplasia atau bahkan tidak ada. Hal ini menyebabkan fungsinya tidak adekuat.
Terdapat berbagai klasifikasi, namun klasifikasi menurut Gans termasuk yang
cukup sederhana dan berguna :
Tabel 2.1 Klasifikasi Gans2
Anus ektopik Hindgut berakhir secara ektopik pada lokasi yang
abnormal (perineum, vestibulum, uretra, kandung
kemih, vagina, dan kloaka)
Anus imperforata Ujung terminal usus berakhir buntu dan tidak terdapat
pembukaan atau fistula
Atresia rektum Anus tetap ada dan terbuka, namun terdapat atresia

6
rektum. Tidak terdapat fistula
Stenosis anus atau rektum Atresia yang tidak sempurna dari anus atau rektum

F. Gambaran Klinis
- Memiliki gejala dan tanda obstruksi letak rendah
- Dapat disertai kelainan kongenital lain
- MAR letak rendah
o Biasanya terlihat perineal opening
o Pasien perempuan biasanya memiliki orifisium uretra dan vagina yang
terpisah
- MAR letak tinggi
o Tidak terlihat perineal opening
o Pasien laki-laki biasanya memiliki fistula antara anorektum yang
atresia dengan uretra posterior. Fistula ke kandung kemih atau ke uretra
anterior juga dapat terjadi walaupun jarang
o Pasien perempuan memiliki fistula dari anorektum yang atresia dengan
vagina atau vestibulum2
G. Diagnosa
1. Pemeriksaan khusus pada perempuan3
Neonatus perempuan perlu pemeriksaan khusus karena seringnya ditemukan
fistel ke vestibulum atau vagina (80 – 90%).
Kelompok I. Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina.
Evakuasi feses menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya cepat dilakukan
kolostomi. Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat di vulva. Umumnya
evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai
terhambat saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat
direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka
maka tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus genitalis, dan jalan

7
cerna. Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehungga perlu cepat
dilakukan kolostomi. Pada atresia rektum, anus tampak normal tetapi pada
pemeriksaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada
evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada
fistel dibuat invertogram. Jika udara lebih dari 1 cm dari kulit perlu segera
dilakukan kolostomi.
Kelompok II. Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan
tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu ada di
posteriornya. Kelainan ini umumnya menimbulkan obstipasi. Pada stenosis
anus, lubang anus terletak ditempat yang seharusnya tetapi sangat sempit.
Evakuasi feses tidak lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan tetapi
definitif. Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara kurang 1 cm dari
kulit, dapat segera dilakukan pembedahan definitif. Dalam hal ini evakuasi
tidak ada, sehingga perlu dilakukan kolostomi.
2. Pemeriksaan Khusus pada laki-laki3
Yang harus diperhatikan ialah adanya fistel atau kenormalan bentuk perineum
dan ada tidaknya butir mekonium di urin. Dari kedua hal tadi pada anak laki-
laki dapat dibuat kelompok dengan atau tanpa fistel urin dan fistel perineum.
Kelompok I. Jika ada fistel urin tampak mekonium keluar dari orifisium
eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria.
Cara praktis untuk menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter
urine. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak di uretra
karena fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung mekonium
berarti fistel ke vesika urinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar, penderita
memerlukan kolostomi segera. Pada atresia rektum tindakannya sama dengan
perempuan, harus dibuat kolostomi. Jika tidak ada fistel dan udara lebih dari 1
cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakuakan kolostomi.
Kelompok II. Fistel perineum sama pada wanita: lubangnnya terdapat
anterior dari letak anus normal. Pada membran anal biasanya tampak

8
bayangan mekonium dibawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya
dilakukan terapi definitif secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan
pada wanita, tindakan definitif harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara
kurang 1 cm dari kulit pada invertogram, perlu juga segera dilakukan
pertolongan bedah.
Tabel 2.2 Klasifikasi Wingspread3
Laki-laki
Kelompok I
Kelainan Tindakan
-Fistel Urin Kolostomi neonatus; operasi defenitif
-Atresia rektum pada usia 4-6 bulan
-Perineum datar
- Fistel datar
- Invertogram: udara >1cm dari kulit
Kelompok II
Kelainan Tindakan
-Fistel perineum Operasi langsung pada neonatus
-Membran anal
-Stenosis anus
-Fistel tidak ada
-Invertogram : udara <1 cm dari kulit
Perempuan
Kelompok I
Kelainan Tindakan
-Kloaka Kolostomi neonatus
-Fistel vagina
-Fistel anovestibuler atau
rektovestibuler
-Atresia rektum
-Fistel tidak ada
-Invertogram : udara >1 cm dari kulit
Kelompok II
Kelainan Tindakan
-Fistel perineum Operasi langsung pada neonatus
-Stenosis anus
-Fistel tidak ada
-Invertogram : udara <1 cm dari kulit

9
3. Gambaran Radiologi
Pemeriksaan biasanya dimulai dengan foto polos abdomen yang
memperlihatkan gambaran ileus obstruksi letak rendah. Pemeriksaan foto
polos juga dapat membantu dalam menentukan lokasi MAR. Gambaran udara
di dalam kandung kemih menandakan MAR letak tinggi dengan fistula
rektovesika atau rektouretra pada laki-laki.
Foto polos yang memperlihatkan mekonium intraluminal yang
terklasifikasi juga menandakan MAR letak tinggi karena mekonium akan
mengalami kalsifikasi jika berhubungan dengan urin
Pendekatan radiologi yang tradisional untuk menentukan lokasi MAR
adalah foto lateral dengan posisi bokong bayi menungging ke atas (knee chest
position) 24 jam setelah bayi lahir. Penanda diletakan pada anal dimple dan
jarak dari udara dalam rektum ke penanda diukur.
o Jarak > 1 cm : MAR letak tinggi
o Jarak < 1 cm : MAR letak rendah
Metode tradisional ini memiliki kelemahan karena udara dapat tidak mencapai
rektum bila :
o Bayi tidak diletakkan dalam waktu yang cukup lama pada posisi telungkup
o Ada mekonium yang menyumbat udara ke rektum
o Jika bayi menangis atau mengedan, rektum akan bergerak ke posisi yang
lebih rendah, sehingga MAR letak tinggi dapat diinterpretasi sebagai MAR
letak rendah.
Metode lain adalah dengan penarikan garis pubokoksigeal (ditarik dari
perbatasan sakrokoksigeal ke pertengahan tulang pubis). Jika udara berakhir di
atas garis ini maka disebut sebagai MAR letak tinggi.
Garis pubokoksigeal saat ini dianggap terlalu tinggi dan diganti oleh garis
M (berjalan melalui perbatasan 2/3 bagian atas dan 1/3 bagian bawah dari
tulang ischium. Garis ini lebih berkorelasi dengan otot puborektalis. Baik

10
metode dengan garis pubokoksigeal maupun dengan garis M memiliki
kelemahan yang sama dengan metode tradisional.
USG transperineal juga telah digunakan untuk mengukur jarak dari
rektum ke perineum, namun interpretasi memiliki permasalahan yang sama
dengan metode tradisional
o <10 mm : MAR letak rendah
o >10-15 mm : MAR letak tinggi
Penggunaan zat kontras berguna dalam menentukan lokasi fistula.
Pemeriksaan yang lebih dapat diandalkan adalah pemeriksaan CT yang
mungkin akan digantikan juga oleh pemeriksaan MRI. Kedua pencitraan ini
akan memperlihatkan secara langsung otot puborektalis dan lokasi dari
hindgut2.

H. Penatalaksanaan
Malformasi anorektal dieksplorasi melalui tindak bedah yang disebut diseksi
posterosagital atau plastik anorektal posterosagital.
Pada tindak bedah plastik anorektal posterolateral yang mulai dari os
koksigeus, kolostomi merupakan perlindungan sementara. Ada dua tempat
kolostomi yang dianjurkan dipakai pada neonatus dan bayi, yaitu
transversokolostomi dan sigmoidostomi. Bentuk kolostomi yang mudah dan
aman adalah stoma laras ganda. Pada pembedahan, harus diperhatikan preservasi
seluruh otot dasar panggul dan persarafannya.
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani
letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu
lalu penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal
pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan
prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982
memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero sagital
anorektoplasti, yaitu dengan 8 cara membelah muskulus sfingter eksternus

11
dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rektum dan
pemotongan fistel4.
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara
jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik
serta antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara tepat, harus
ditentukankan ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan dengan
berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG.
Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh karena
kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat,
keterbatasan pengetahuan anatomi, serta ketrampilan operator yang kurang
serta perawatan post operasi yang buruk4.
Dari berbagai klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada
letak ketinggian akhiran rektum dan ada tidaknya fistula4.

Leape (1987) menganjurkan pada4 :

a. Atresia letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi


atau TCD dahulu, setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan
definitif (PSARP)
b. Atresia letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana
sebelumnya dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk
identifikasi batas otot sfingter ani ekternus
c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion
d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan
Pena dimana dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi.
Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi dan
intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan
diversi. Operasi definitif setelah 4 – 8 minggu. Saat ini teknik yang paling
banyak dipakai adalah posterosagital anorektoplasti, baik minimal, limited
atau full postero sagital anorektoplasti4.

12
Gambar 2.2 Algoritma penatalaksanaan MAR pada neonatus laki-laki4

Dengan inspeksi perineum dapat ditentukan adanya malformasi anorektal


pada 95% kasus malformasi anorektal pada bayi perempuan. Prinsip
penatalaksanaan malformasi anorektal pada bayi perempuan hampir sama
dengan bayi laki-laki.

13
Gambar 2.3 Algoritma penatalaksanaan MAR pada neonatus perempuan4
Anoplasty4
PSARP adalah metode yang ideal dalam penatalaksanaan kelainan anorektal.
Jika bayi tumbuh dengan baik, operasi definitif dapat dilakukan pada usia 3 bulan.
Kontrindikasi dari PSARP adalah tidak adanya kolon. Pada kasus fistula rektovesikal,
selain PSARP, laparotomi atau laparoskopi diperlukan untuk menemukan
memobilisasi rektum bagian distal. Demikian juga pada pasien kloaka persisten
dengan saluran kloaka lebih dari 3 cm.

Penatalaksanaan Post-operatif4
Perawatan Pasca Operasi PSARP
a. Antibiotik intra vena diberikan selama 3 hari, salep antibiotik diberikan
selama 8- 10 hari
b. 2 minggu pasca operasi dilakukan anal dilatasi dengan heger dilatation, 2 kali
sehari dan tiap minggu dilakukan anal dilatasi dengan anal dilator yang
dinaikan sampai mencapai ukuran yang sesuai dengan umurnya. Businasi

14
dihentikan bila busi nomor 13-14 mudah masuk. Kalibrasi anus tercapai dan
orang tua mengatakan mudah mengejakan serta tidak ada rasa nyeri bila
dilakukan 2 kali sehari selama 3-4 minggu merupakan indikasi tutup
kolostomi, secara bertahap frekuensi diturunkan.
Pada kasus fistula rektouretral, kateter foley dipasang hingga 5-7 hari. Sedangkan
pada kasus kloaka persisten, kateter foley dipasang hingga 10-14 hari. Drainase
suprapubik diindikasikan ada pasien persisten kloaka dengan saluran lebih dari 3 cm.
Antibiotik intravena diberikan selama 2-3 hari, dan antibiotik topikal berupa salep
dapat digunakan pada luka.
Dilatasi anus dimulai 2 minggu setelah operasi. Untuk pertama kali dilakukan
oleh ahli bedah, kemudian dilatasi dua kali sehari dilakukan oleh petugas kesehatan
ataupun keluarga. Setiap minggu lebar dilator ditambah 1 mm tercapai ukuran yang
diinginkan. Dilatasi harus dilanjutkan dua kali sehari sampai dilator dapat lewat
dengan mudah. Kemudian dilatasi dilakukan sekali sehari selama sebulan diikuti
dengan dua kali seminggu pada bulan berikutnya, sekali seminggu dalam 1 bulan
kemudian dan terakhir sekali sebulan selama tiga bulan. Setelah ukuran yang
diinginkan tercapai, dilakukan penutupan kolostomi.
Setelah dilakukan penutupan kolostomi, eritema popok sering terjadi karena
kulit perineum bayi tidak pernah kontak dengan feses sebelumnya. Salep tipikal yang
mengandung vitamin A, D, aloe, neomycin dan desitin dapat digunakan untuk
mengobati eritema popok ini.

Kolostomi
Kolostomi merupakan kolokutaneostomi yang disebut juga anus preternaturalis
yang dibuat untuk sementara atau menetap. Kolostomi sementara dibuat, misalnya
pada penderita gawat perut dengan peritonitis yang telah dilakukan reseksi sebagian
kolon. Pada keadaan demikian, membebani anastomosis baru dengan pasase feses
merupakan tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, untuk
pengamanan anastomosis, aliran feses dialihkan sementara melalui kolostomi dua

15
stoma yang biasanya disebut stoma laras ganda. Dengan cara Hartmann, pembuatan
anastomosis ditunda sampai radang di perut telah reda.
Kolostomi tetap dibuat pada reseksi rektoanal abdominoperineal menurut
Quenu-Miles berupa anus preternaturalis sejati. Esofagostomi, gastrotomi,
yeyunostomi, dan sekostomi biasanya merupakan stoma sementara. Ielostomi dan
kolostomi sering berupa stoma tetap.
Indikasi kolostomi ialah untuk mendekompresi usus pada obstruksi, membuat
stoma sementara pada bedah reseksi usus akibat radang atau perforasi, dan sebagai
anus pascareseksi usus distal untuk melindungi anastomosis distal. Kolostomi dapat
berupa stoma kait (loop colostoma) atau stoma ujung (end colostoma).
Pada colostoma sigmoid, biasanya pola defekasi sama dengan semula. Banyak
penderita mengadakan pembilasan sekali sehari sehingga mereka tidak terganggu
oleh pengeluaran feses dari stomanya. Kolostoma pada kolon transversum
mengeluarkan isi usus beberapa kali sehari karena isi kolon transversum tidak padat
sehingga lebih sulit diatur.
Anus preternaturalis sering menjadi penyulit. Hernia parastoma dapat berisi
kolon, omentum, atau usus halus yang sering terjadi pada orang gemuk. Prolaps,
stenosis, nekrosis, dan retraksi merupakan komplikasi teknik yang kurang sempurna.
Kadang terjadi infeksi dinding perut dan iritasi kulit akibat rangsang sisa pencernaan.
Terapis enterostoma merupakan ahli yang khusus bertugas merawat dan
membimbing penderita dan keluarganya untuk menghadapi hidup dengan anus
preternaturalis3.
I. Penentuan waktu operasi elektif pada bayi/anak
Dalam menentukan waktu optimum untuk operasi elektif pada anak harus
dipertimbangkan 2 hal :
1. Umur yang optimal
Untuk menentukan umur yang tepat, harus diperhatikan sifat kelainan yang
bersangkutan, yaitu :
a. Kelainan tersebut mempunyai potensi yang berbahaya

16
b. Kelainan dapat sembuh spontan
c. Kemungkinan penyembuhan dengan tindakan konservatif dan operasi
baru dilakukan bila tindakan tersebut gagal
d. Menunggu sampai pertumbuhan organ tersebut cukup matang, sehingga
operasi kelak akan mencapai nilai kosmetik dan fungsionil yang
maksimal
2. Keadaan anak yang optimal
a. Keadaan gizi anak
b. Adakah infeksi akut, misalnya rinitis akut, leukositosis atau demam
c. Kemungkinan anak masih dalam masa inkubasi suatu infeksi (di rumah
penderita anak lain sakit morbili)
d. Kadar hemoglobin dan adakah kelainan sistim pembekuan darah
e. Lingkungan penderita : ketegangan dalam keluarga, perceraian atau
kematian

Disamping pertimbangan di atas sehingga operasi harus menunggu umur dan


waktu tertentu, terdapat pula faktor-faktor yang mengharuskan rencana operasi
dipercepat, yaitu :

1. Kapasitas penyembuhan dan adaptasi pada usia muda akan lebih baik dan
sempurna daripada usia tua
2. Rangsang untuk tumbuh, lebih besar pada usia yang lebih muda
3. Menghindarkan kelainan psikologis anak, dengan lebih cepat memperbaiki
kelainan yang terdapat pada anak, yaitu sebelum anak banyak bergaul dengan
anak yang lain
4. Menghindarkan trauma psikis yang besar pada orang tua penderita5.
J. Prognosis
Prognosis bergantung dari fungsi klinis. Dengan khusus, dinilai pengendalian
defekasi, pencemaran pakaian dalam, sensibilitas rektum dan kekuatan kontraksi
otot sfingter pada colok dubur.

17
Fungsi kontinensia tidak hanya bergantung pada kekuatan sfingter atau
sensibilitasnya, tetapi juga bergantung pada usia serta kooperasi dan keadaan
mental penderita3.

2.2 HAMBATAN PASASE USUS

A. Etiologi

Hambatan pasase usus dapat disebabkan oleh obstruksi lumen usus atau oleh
gangguan peristalsis. Obstruksi usus juga disebut obstruksi mekanik apabila
disebabkan oleh strangulasi, invaginasi, atau sumbatan di dalam lumen usus. Ileus
dinamik dapat disebabkan oleh kelebihan dinamik seperti spasme. Ileus adinamik
dapat disebabkan oleh paralisis, seperti pada peritonitis umum.

Pada obstruksi, harus dibedakan antara obstruksi sederhana dan obstruksi


strangulasi. Obstruksi sederhana ialah obstruksi yang tidak disertai terjepitnya
pembuluh darah. Pada strangulasi, ada pembuluh darah yang terjepit sehingga
terjadi iskemia yang akan menyebabkan nekrosis atau gangren. Pada gangren,
dijumpai gejalan umum yang berat akibat toksin dari jaringan gangren. Jadi,
strangulasi memperlihatkan kombinasi antara gejala obstruksi dan gejala sistemik
akibat adanya toksin dan sepsis.

Obstruksi usus yang disebabkan oleh hernia, invaginasi, adhesi, dan volvulus
mungkin sekali disertai strangulasi, sedangkan obstruksi oleh tumor atau askaris
adalah obstruksi sederhana yang jarang menyebabkan strangulasi3.

B. Gambaran klinis

Obstruksi usus halus merupakan obstruksi saluran cerna tinggi, artinya disertai
dengan pengeluaran banyak cairan dan elektrolit, baik di dalam lumen usus bagian
oral dari obstruksi maupun oleh muntah. Keadaan umum akan memburuk dalam
waktu relatif singkat.

18
Pada anamnesis obstruksi tinggi, sering dapat ditemukan penyebab, misalnya
berupa adhesi dalam perut karena pernah dioperasi atau terdapat hernia. Pada
pemeriksaan, ditemukan tanda dan gejala yang bergantung pada tahap
perkmbangan obstruksi.

Gejala umum yang timbul berupa syok, oliguria dan gangguan elektrolit.
Selanjutnya ditemukan meteorisme dan kelebihan cairan di usus serta
hiperperistalsis berkala berupa kolik yang disertai mual dan muntah. Kolik terlihat
pada inspeksi perut sebagai gerakan usus atau kejang usus, dan auskultasi sewaktu
serangan kolik menunjukkan terjadinya hiperperistalsis yang terdengar jelas
sebagai bunyi nada tinggi. Penderita tampak gelisah dan menggeliat sewaktu kolik,
dan setelah satu dua kali defekasi tidak ada lagi flatus atau defekasi.

Pemeriksaan laboratorium umumnya tidak dapat dijadikan pedoman untuk


menegakkan diagnosa. Pada foto polos roentgen perut, tampak kelok-kelok usus
halus yang melebar, mengandung cairan dan banyak udara sehingga memberi
gambaran batas-cairan (fluid level) yang jelas3.

Tabel 2.3 Penyebab Obstruksi Tinggi pada Bayi3

Hernia inkarserata
Hipertrofi pilorus
Invaginasi ileosekal
Adhesi
Askariasis
Kelainan rotasi bawaan
Atresia atau stenosis bawaan
Lain-lain :
- Pankreas anulare
- Divertikulum meckel
C. Penyebab Obstruksi Usus

1. Adhesi

19
Ileus akibat adhesi umumnya tidak disertai strangulasi. Adhesi umumnya
berasal dari rangsangan peritoneum akibat peritonitis setempat atau umum,
atau pascaoperasi. Adhesi dapat berupa perlengketan dalam bentuk tunggal
maupun multipel, dan dapat setempat maupun luas. Sering juga ditemukan
adhesi yang berbentuk pita. Pada operasi, perlengketan dilepaskan, dan pita
dipotong agar pasase usus pulih kembali.
Adhesi yang kambuh mungkin akan menjadi masalah besar. Setelah berulang
tiga kali, resiko kambuhnya menjadi 50%. Pada kasus seperti ini, diadakan
pendekatan konservatif karena walaupun pembedahan akan memperbaiki
pasase, obstruksi kemungkinan besar akan kambuh lagi dalam waktu singkat.
2. Hernia Inkarserata
Obstruksi akibat hernia inkarserata pada anak dapat dikelola secara
konservatif dengan posisi tidur Trendelenburg. Jika percobaan reduksi gaya
berat ini tidak berhasil dalam waktu 8 jam, harus dilakukan herniotomi segera.
3. Askariasis
Kebanyakan cacing askaris hidup di usus halus bagian yeyenum, jumlahnya
biasanya mencapai puluhan hingga ratusan ekor. Obstruksi dapat terjadi di
berbagai tempat di usus halus, tetapi biasanya di ileum terminal yang
lumennya paling sempit. Cacing menyebabkan terjadinya kontraksi lokal
dinding usus yang disertai dengan reaksi radang stempat yang tampak di
permukaan peritoneum.

Tabel 2.4 Obstruksi Askariasis

Parsial Lengkap
Penyebab Massa terdiri atas Massa terdiri atas cacing yang
gumpalan cacing yang mati dan makanan; tidak dapat
dikompresi oleh spasme dilalui oleh gas dan cairan
usus; masih dapat dilalui
oleh gas dan cairan
Keadaan Umum Baik Sakit berat

20
Nyeri Kolik hilang timbul ‘kolik Kolik terus-menerus
cacing’
Muntah Pada permulaan Terus-menerus
Pemeriksaan Perut Massa di perut berubah Gembung; peristalsis kelihatan;
tempat; bentuk dan massa sukar diraba; mungkin
gerakan seperti cacing; nyeri setempat jelas
nyeri sedikit
Foto Roentgen Cacing mungkin kelihatan; Gambaran obstruksi dengan
sedikit gambaran obstruksi batas cairan banyak; cacing
dengan batas cair jarang kelihatan

4. Invaginasi
Invaginasi atau intususepsi sering ditemukan pada anak dan agak jarang pada
orang muda dan dewasa. Invaginasi pada anak biasanya bersifat idiopatik
karena tidak diketahui penyebabnya. Kebanyakan ditemukan pada kelompok
umur 2-12 bulan, dan lebih banyak pada anak lelaki. Serangan rinitis atau
infeksi saluran napas sering kali mendahului terjadinya invaginasi. Invaginasi
umumnya berupa intususepsi ileosekal yang masuk dan naik ke kolon
asendens serta mungkin terus sampai keluar dari rektum. Invaginasi dapat
mengakibatkan nekrosis iskemik pada bagian usus yang masuk dengan
komplikasi perforasi dan peritonitis.
Anamnesis memberikan gambaran yang cukup mencurigakan bila bayi
yang sehat dan eutrofis sekonyong-konyong mendapat serangan nyeri perut.
Anak tampak gelisah dan tidak dapat ditenangkan, sedangkan di antara
serangan biasanya anak tidur tenang karena sudah capai sekali.
Serangan klasik terdiri atas nyeri perut, gelisah sewaktu serangan
kolik, biasanya keluar lendir campur darah (‘red currant jelly’, selai kismis
merah) per anum yang berasal dari intususeptum yang tertekan, terbendung,
atau mungkin sudah mengalami strangulasi. Anak biasanya muntah sewaktu
serangan, dan pada pemeriksaan perut dapat teraba massa yang biasanya
memanjang dengan batas jelas seperti sosis.

21
Bila invaginasi disertai strangulasi, harus diingat kemungkinan
terjadinya peritonitis setelah perforasi. Invaginatum yang masuk jauh dapat
ditemukan pada pemeriksaan colok dubur. Ujung invaginatum teraba seperti
porsio uterus pada pemeriksaan vaginal sehingga dinamai ‘pseudoporsio’ atau
porsio semu. Jarang ditemukan invaginatum yang sampai keluar dari rektum.
Keadaan tersebut harus dibedakan dari prolapsus mukosa rektum; pada
invaginasi, didapatkan invaginatum bebas dari dinding anus, sedangkan
prolapsus berhubungan secara sirkuler dengan dinding anus.
Pada inspeksi, sukar sekali membedakan antara prolapsus rektum dan
invaginasi. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan jari di sekitar
penonjolan untuk menentukan ada tidaknya celah terbuka.
Diagnosis invaginasi dapat diduga atas pemeriksaan fisik, dan
dipastikan dengan pemeriksaan Roentgen melalui pemberian enema barium.
Sumbatan oleh invaginatum biasanya tampak jelas pada foto.
Pengelolaan reposisi hidrostatik dapat dikerjakan sekaligus sewaktu
diagnosis Roentgen tersebut ditegakkan, asalkan keadaan umum mengizinkan,
tidak ada gejala dan tanda rangsangan peritoneum, anak tidak toksik, dan
tidak terdapat obstruksi tinggi. Tekanan hidrostatik tidak boleh melewati satu
meter air dan tidak boleh dilakukan pengurutan atau penekanan manual di
perut sewaktu dilakukan reposisi hidrostatik ini. Pengelolaan dikatakan
berhasil jika barium kelihatan masuk ileum. Reposisi pneumostatik dengan
tekanan udara makin sering digunakan karena lebih aman dan hasilnya lebih
baik daripada reposisi dengan enema barium.
Jika reposisi konservatif ini tidak berhasil, terpaksa diadakan reposisi
operatif. Sewaktu operasi, dicoba dilakukan reposisi manual dengan
mendorong invaginatum dari oral ke arah sudut ileosekal: Dorongan
dilakukan dengan hati-hati tanpa tarikan dari bagian proksimal.
Invaginasi pada orang muda atau orang dewasa jarang sekali bersifat
idiopatik. Umumnya, ujung invaginatum pada orang dewasa merupakan polip

22
atau tumor lain di usus halus. Invaginasi juga disebabkan oleh pencetus
seperti divertikulum Meckel yang terbalik masuk lumen usus, duplikasi usus,
kelainan vaskular, atau limfoma.
Gejalanya sama dengan gejala dan tanda obstruksi usus, bergantung
pada letak ujung invaginasi. Terapi reposisi hidrostatik umumnya tidak
mungkin dilakukan karena invaginasi pada golongan usia ini jarang
merupakan invaginasi ileosekal sehingga invaginatum tidak masuk ke dalam
kolon. Selain itu, penyebab yang berupa polip atau tumor lain tidak
dihilangkan.
5. Volvulus
Volvulus di usus halus agak jarang ditemukan. Pita kongenital atau adhesi
biasanya dikambinghitamkan, tetapi pada operasi sering tidak ditemukan.
Kebanyakan volvulus didapat di bagian ileum, didarahi arteri ileosekalis, dan
mudah mengalami strangulasi. Gambaran klinisnya merupakan gambaran
ileus obstruksi tinggi dengan atau tanpa gejala dan tanda strangulasi.
6. Radang Kronik
Setiap radang kronik, terutama morbus Crohn, dapat menyebabkan obstruksi
karena udem, hipertrofi dan fibrosis yang biasanya terjadi pada penyakit
kronik itu. Dengan tindakan konservatif yang antara lain terdiri atas pantang
makan dan disusul oleh diet khusus umumnya obstruksi mutlak dapat
dihindari. Jika diperlukan pembedahan, umumnya dapat dilakukan reseksi
bagian usus yang sakit. Selalu harus diingat bahwa ada kemungkinan besar
terjadi kekambuhan penyakit di sekitar anastomosis atau di tempat lain di
usus.
7. Tumor
Tumor usus halus agak jarang menyebabkan obstruksi usus, kecuali jika
menimbulkan invaginasi. Proses keganasan, terutama karsinoma ovarium dan
karsinoma kolon, dapat menyebabkan obstruksi usus. Obstruksi ini terutama
disebabkan oleh kumpulan metastasis di peritoneum atau di mesenterium

23
yang menekan usus. Bila pengelolaan konservatif tidak berhasil, dianjurkan
operasi sebagau tindakan paliatif.
8. Tumpukan sisa makanan
Obstruksi usus halus akibat bahan makanan dijumpai pada orang yang pernah
mengalami gasterektomi; obstruksi biasanya terjadi pada daerah anastomosis.
Obstruksi lain, yang jarang ditemukan, dapat terjadi setelah makan banyak
sekali buah-buahan yang mengandung banyak serat sehingga terjadi obstruksi
ileum terminal, seperti serat buah jeruk atau biji buah tertentu yang banyak
ditelan sekaligus. Keadaan yang luar biasa seperti demikian harus dibedakan
dari impaksi feses kering pada orang tua yang terjadi di kolon pada penderita
yang kurang gerak.
9. Kompresi duodenum oleh arteri
Arteri mesenterika superior dapat mengempa bagian ketiga duodenum (pars
horisontalis). Duodenum pars horisontalis terpancang retroperitoneal di muka
korpus vertebra, yaitu tempat duodenum dilintasi dari atas ke bawah oleh
arteri mesenterika superior yang, setelah bercabang dari aorta, masuk ke
mesenterium. Duodenum dapat terjepit dalam sudut antara arteria tersebut dan
aorta. Sudut tersebut berbeda besarnya antar individu, yaitu dengan rentang
20-70°. Pada keadaan hiperekstensi seperti terjadi pada pemasangan gips
tubuh, atau setelah trauma, kecelakaan berat, atau luka bakar luas, dan
keadaan imobilisasi lain yang menuntuk sikap baring terlentang, dapat
ditemukan obstruksi tinggi usus halus. Penderita menunjukkan retensi
lambung dengan muntahan yang mengandung empedu. Pada pemeriksaan
jasmani, perut tidak kembung, kecuali bagian ulu hati, dan tidak nyeri.
Diagnosis tidak sukar ditentukan, asal dipikirkan kemungkinan yang klasik
ini. Foto polos perut bagian atas menunjukkan dilatasi lambung dan
duodenum tanpa isis usus halus dan usus besar.
Penderita akan segera pulih setelah gangguan keseimbangan cairan,
elektrolit, dan asam-basa diperbaiki, dan hiperekstensi atau sikap baring

24
terlentang ditiadakan. Kempaan kronik karena kompresi duodenum di sudut
arteri ini, jarang sekali ditemukan dan jarang memerlukan tindak bedah.

D. Gambaran Radiologi

Pada pasien dengan hambatan pasase usus (ileus), baik jika pengambilan
foto abdomen 3 posisi yakni AP Supine, prone atau lateral, erect atau LLD.

- Pada Ileus Obstruksi letak rendah :


 Foto toraks tegak atau foto lateral dekubitus harus dilakukan bila dicurigai
terdapat perforasi.
 Pemeriksaan kontras akan membantu menggambarkan lokasi obstruksi
- Ileus obstruksi letak tinggi :
 Foto polos abdomen : membedakan usus halus dari usus besar.
 Pemeriksaan kontras: enema usus halus lebih sensitif dibandingkan
pemeriksaan follow trough
 CT : untuk menilai tingkat obstruksi dan ada tidaknya kelainan
ekstraluminal2.
- Gambaran radiologi intususepsi
 Foto polos abdomen : pada foto polos dapat ditemukan massa jaringan
lunak, terkadang dengan bukti adanya obstruksi usus proksimal
 Pemeriksaan kontras akan memperlihatkan gambaran coiled-spring (barium
yang terperangkap antara intussuseptum dengan intussusipien.
Penyempitan yang menyerupai paruh burung (beak-like narrowing) dapat
terlihat pada pemeriksaan antegrade.
 US adalah standar baku emas dan memiliki sensitivitas hampir 100%.
Tanda-tanda meliputi gambaran target atau bull’s eye pada scanning
transversal. Gambaran sandwich dapat terlihat pada scanning longitudinal.
Colour Doppler dapat digunakan untuk menilai suplai pembuluh darah.
 CT : adanya gambaran cincin konsentris yang multiple bersifat diagnostik2.

25
E. Diagnosa

Penentuan ada tidaknya obstruksi tinggi tidak sukar dilakukan asal cukup
sabar untuk menantikan timbulnya kolik sehingga terlihat gejala kolik yang khas.

Pada strangulasi, terdapat jepitan atau lilitan yang menyebabkan gangguan


peredaran darah sehingga terjadi iskemia, nekrosis atau gangren. Gangren
menyebabkan tanda toksis seperti yang terjadi pada sepsis, yaitu takikardia, syok
septik, dengan leukositosis3.

F. Tatalaksana

Obstruksi mekanis di usus dan jepitan atau lilitan harus dihilangkan segera
setelah keadaan umum diperbaiki. Tindakan umum sebelum dan sewaktu
pembedahan meliputi tatalaksana dehidrasi, perbaikan keseimbangan elektrolit,
dan dekompresi pipa lambung. Pada strangulasi, tidak ada waktu untuk
memperbaiki keadaan umum, sehingga strangulasi harus segera diatasi3.

2.3 VENTRIKULAR SEPTAL DEFECT (VSD)


A. Defenisi
Ventrikular Septal Defect (VSD) adalah keadaan dimana dinding pemisah
antara kedua ventrikel jantung tidak tertutup sempurna, akibatnya ialah darah
dari ventrikel kiri langsung mengalir ke ventrikel kanan dan sebaliknya5.

B. Epidemiologi
Secara umum prevalensi PJB yang tetap konstan masih diperdebatkan dan
terdapat perbedaan karakteristik pasien PJB padaanak dalam setiap penelitian.
Insidens PJB di dunia memiliki angka yang konstan, sekitar 8-10 dari 1000
kelahiran hidup. Malformasi dapat tidak terdeteksidengan mudah pada periode
neonatal, beberapa diantaranya terjadi modifikasi dan menghilang selama masa
bayi dan anak.

26
World health organization (WHO) berturut-turut melaporkan di antara
penyakit kardiovaskular, insidens PJB di Bangladesh (6%), India (15%), Burma
(6%), dan Srilangka (10%). Di Indonesia belum terdapat angka yang pasti,
namun penelitian di RS. Dr.Sutomopada tahun 2004-2006 sudah mendapatkan
angka kematian yang tinggi dari pasien PJB setiap tahunnya, berturut-turut
11,64%, 11,35%, dan 13,44%6.
C. Etiologi
Sebenarnya sulit sekali menentukan penyebab PJB secara tepat. Dapat
disimpulkan tiga kelompok factor etiologi PJB berikut :
- Faktor genetik (8%), umumnya merupakan bagian dari sindrom tertentu
- Faktor lingkungan/faktor eksterna (obat, virus, radiasi) yang terdapat
sebelum kehamilan 3 bulan (2%). Hipoksia pada waktu persalinan dapat
mengakibatkan tetap terbukanya ductus arteriosus pada bayi
- Interaksi dari faktor genetik dan faktor lingkungan (90%)6

D. Patofisologi
Defek sepum ventrikel dapat berupa defek di atas atau di bawah krista
supraventrikularis, di daerah katup trikuspidal, atau di daerah septum
muskulorum. Defek di atas krista supraventrikularis tidak bergejala karena arah
aliran pintas dan tekanannya normal. Defek septum ventrikel di bawah kista
supraventrikularis sering cepat menyebabkan sindrom Eisenmenger, yang kadang
bahkan sudah terjadi pada masa intrauterine sehingga bayi lahir sudah tidak
boleh menjalani operasi koreksi defek. Bila pada masa bayi sudah mulai tampak
tanda hipertensi pulmonal, dapat dilakukan tindak bedah paliatif berupa ligasi
sebagian arteri pulmonalis untuk mengurangi tekanan dalam arteri pulmonalis
yang tinggi ke arah paru.
Arah pintasan pada VSD adalah dari kiri-ke-kanan. Besarnya pintasan
bergantung pada ukuran defek dan resistensi pembuluh paru. VSD yang
berukuran kecil memiliki tahanan yang besar sehingga pintasan tidak bergantung

27
pada resistensi pembuluh paru. Sebaliknya, VSD yang besar memiliki tahanan
yang minimal sehingga besarnya pintasan bergantung pada resistensi pembuluh
paru; semakin rendah resistensi paru, semakin besar pintasannya. Pada neonates,
walaupun VSD besar, penurunan resistensi paru baru mencapai maksimal pada
usia 6 sampai 8 minggu sehingga gagal jantung baru akan terjadi pada usia
tersebut. Pada VSD yang berukuran sedang, ruang jantung dan pembuluh besar
dengan dua panah akan membesar sehingga terjadi pembesaran arteri pulmonalis,
atrium kiri, ventrikel kiri, serta peningkatan coracan pembuluh paru. Jadi pada
VSD, ventrikel kirilah yang menderita beban volume, bukan ventrikel kanan,
sehingga terjadi pembesaran ventrikel kiri. Pintasan VSD terjadi pada fase
sistolik ketika ventrikel kanan juga berkontraksi, sehingga darah tambahan
langsung dialirkan ke arteri pulmonalis, bukan menetap di ruang ventrikel kanan.
Oleh karena itu, tidak terjadi beban volume di ventrikel kanan, dan ukurannya
pun biasanya normal3.

F. Manifestasi Klinis
Ventrikel septal defek yang kecil akan menimbulkan bising pansistolik yang
ringan pada intercostals ke 4 dan ke 5 kiri, foto toraks yang normal dan gambaran
elektrokardiogram right bundle branch. Tekanan intrakardial masih normal
dengan shunting left-to-right yang minimal. Ventrikel septal defek yang sedang
sampai besar menimbulkan murmur pansistolik yang keras dengan expiratory
splitting pada suara jantung kedua dan adanya pembesaran jantung kiri, akhirnya
bisa juga terjadi pembesaran jantung kanan. Saturasi oksigen pada ventrikel
kanan meningkat sebagai akibat adanya left-to-right shunt. Tekanan end diastolic
ventrikel kanan, tekanan arteri pulmonal dan tekanan end diastolic ventrikel kiri
juga meningkat.
Ventrikel septal defek yang sedang biasanya menyebabkan penurunan tahanan
vascular pulmonal, sedangkan VSD yang besar menyebabkan peningkatan
tahanan vaskuler pulmonal tersebut. Peningkatan tahanan vaskuler pulmonal

28
yang berlangsung lama menyebabkan shunting yang biridectional dan akhirnya
right-to-left shunt yang disertai dengan sianosis dan clubbing7.
G. Pemeriksaan penunjang dan Diagnosa
Bentuk kelainan anatomi yang mungkin terjadi, mulai dari kelainan sederhana
sampai dengan komplek menjadikan diagnosis kelainan jantung pada anak
seringkali sukar ditegakkan. Namun kita seharusnya sudah dapat menegakkan
diagnosis awal, hanya dengan melakukan pemeriksaan fisik yang teliti.
Pemeriksaan penunjang pertama dalam penentuan PJB adalah foto toraks dan
EKG (elektrokardiogram), diagnosis pasti ditegakkan menggunakan
ekokardiografi. Pada bayi dengan takipnea, tanda radiologi menunjukkan
kardiomegali, corakan pembuluh darah paru yang bertambah atau edema
interstisiel umumnya sudah terlihat, walaupun tanda-tanda khas barulah kemudian
terdapat. Problem pernapasan adalah masalah yang sering terlihat menyertai
problem jantung. Gambaran EKG pada PJB sering abnormal, tetapi kadang-
kadang hanya terdapat ventrikel kanan dominan yang umum ditemukan pada bayi
normal. Pada keadaan demikian diperlukan re-evaluasi dalam jangka waktu
pendek berulang kali6.

H. Penatalaksanaan
Bayi dengan VSD perlu dievaluasi secara periodik sebulan sekali selama
setahun mengingat besarnya aliran pirau dapat berubah akibat resistensi paru
yang menurun. Bila terjadi gagal jantung kongestif harus diberikan obat-obat anti
gagal jantung yaitu digitalis, diuretika dan vasodilator. Bila medikamentosa gagal
dan tetap terlihat gagal tumbuh kembang atau gagal jantung maka sebaiknya
dilakukan tindakan operasi penutupan VSD secepatnya sebelum terjadi penyakit
obstruktif vaskuler paru. Indikasi operasi penutupan VSD adalah bila rasio aliran
darah yang ke paru dan sistemik lebih dari 1,5. Operasi paliatif Pulmonary Artery
Banding (PAB) dengan tujuan mengurangi aliran ke paru hanya dilakukan pada

29
bayi dengan VSD multipel atau dengan berat badan yang belum mengijinkan
untuk tindakan operasi jantung terbuka8.

I. Prognosis
- VSD kecil (diameter kecil 1-5 mm, sedang 5-10 mm) : tidak membahayakan.
Dapat diharapkan hidup normal.
- VSD besar dan sangat besar (diameter defek lebih daripada setengah ostium
aorta : sebagian anak walaupun diberi pengobatan medis intensif tetap
meninggal juga. Sebagian lagi lambat laun akan berkembang menjadi
sindrom Eisenmenger yang pada umur muda juga akan meninggal. Bila
tindakan bedah dilakukan pada waktu yang tepat, penderita dapat mengecap
kehidupan normal5.

2.4 SINDROMA DOWN (MONGOLOID)

A. Defenisi

Sindrom Down adalah suatu kondisi dimana terdapat tambahan kromosom


pada kromosom 21 atau dikenal juga dengan istilah trisomi 21 yang menyebabkan
keterlambatan perkembangan fisik, ketidakmampuan belajar, penyakit jantung,
tanda awal alzeimer, dan leukimia.

B. Epidemiologi

Kelainan ini ditemukan di seluruh dunia, pada semua suku bangsa.


Diperkirakan angka kejadian 1,5 : 1.000 kelahiran dan terdapat 10% di antara
penderita retardasi mental5.

C. Etiologi

Kelainan kromosom terletak pada kromosom 21 dan 15, dengan


kemungkinan-kemungkinannya ialah :

30
1. Non disjunction sewaktu osteogenesis (trisomi)
2. Translokasi kromosom 21 dan 15
3. Postzygotic non disjunction (mosaicism)

Faktor-faktor yang memegang peranan dalam terjadinya kelainan kromosom ialah:

1. Umur ibu : biasanya pada ibu yang berumur lebih dari 30 tahun. Mungkin
karena suatu ketidak-seimbangan hormonal. Umur ayah tidak berpengaruh
2. Kelainan kehamilan
3. Kelainan endokrin pada ibu : pada usia tua dapat terjadi infertilitas relatif,
kelainan tiroid atau ovarium5.

D. Manifestasi Klinis

Anak dengan sindrom ini sangat mirip satu dengan yang lainnya, seakan-akan
kakak beradik. Retardasi mental sangat menonjol disamping juga terdapat retardasi
jasmani. Kemampuan berfikir dapat digolongkan pada idiot dan imbesil serta tidak
akan mampu melebihi seorang anak yang berumur 7 tahun. Mereka berbicara
dengan kalimat-kalimat yang sederhana, biasanya sangat tertarik pada musik dan
kelihatan sangat gembira. Wajah anak sangat khas. Kepala agak kecil dan
brakisefalik dengan daerah oksipital yang mendatar. Mukanya lebar, tulang pipi
tinggi, hidung pesek, mata letaknya berjauhan serta sipit miring ke atas dan
samping (seperti mongol). Iris mata menunjukkan bercak-bercak (bronsfield
spots). Lipatan epikantus jelas sekali. Telinga agak aneh, bibir tebal dan lidah
besar, kasar dan bercelah-celah (scrotal tongue). Pertumbuhan gigi-geligi sangat
terganggu.

Kulit halus dan longgar, tetapi warnanya normal. Di leher terdapat lipatan-
lipatan yang berlebihan.

Pada jari tangan tampak kelingking yang pendek dan membengkok ke dalam.
Pada pemeriksaan radiologis sering ditemukan falang tengah dan distal

31
rudimenter. Jarak antara jari I dan II, baik pada tangan maupun kaki agak besar.
Gambaran telapak tangan tampak tidak normal, yaitu terdapat satu garis besar
melintang (simian crease).

Alat kelamin biasanya kecil. Otot hipotonik dan pergerakan sendi-sendi


berlebihan. Kelainan jantung bawaan seperti defek septum ventrikel sering
ditemukan. Penyakit infeksi terutama saluran pernafasan sering mengenai anak
dengan kelainan ini. Angka kejadian leukimia tinggi. Pertumbuhan pada masa bayi
kadang-kadang baik, tetapi kemudian menjadi lambat5.

E. Penatalaksanaan

Tidak ada pengobatan khusus5.

32
BAB 3
LAPORAN KASUS
(Anamnesis dan Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 5 April 2017)

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : By. Ny. F.A
Tanggal lahir : 25 Februari 2017
Umur : 1 bulan 11 hari
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Atambua
Tanggal masuk : 4 April 2017
No rekam medik : 461031

3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama : perut kembung sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang (Perjalanan Penyakit): Pasien rujukan RSPP
Betun dengan keluhan perut kembung sejak 1 hari SMRS. Menurut ibu pasien,
Sebelumnya pasien sempat muntah beberapa kali setiap diberi susu. Isi muntahan
berupa cairan berwarna kuning. Sebelumnya juga pasien bisa BAB dengan baik
melalui saluran buatan di bagian perutnya, namun sejak pasien kembung, hanya
lendir bercampur darah yang keluar dari lubang tersebut. Perut pasien juga
semakin membesar dan mengencang.
Riwayat Persalinan dan Pengobatan: Pasien lahir tanggal 25/02/2017 di RSPP
Betun secara spontan, cukup bulan. Saat lahir tidak langsung menangis dan
tampak sesak. BB lahir 3100 gram, tidak memiliki lubang di anus. Setelah
beberapa jam pasca persalinan, pasien langsung dirujuk ke RSUD Prof Dr. W. Z.
Johannes Kupang dan tanggal 27/2/2017 dilakukan tindakan operasi pembuatan
saluran di bagian perut dan dirawat di NICU selama 1 bulan. Kemudian pasien

33
dipulangkan ± 1 minggu yang lalu. Di rumah pasien BAB dan kentut dengan baik.
Saluran yang dibuat selalu dibersihkan menggunakan kapas dan air, kemudian
dikeringkan dan dioles salap.
Riwayat Penyakit lain : pasien juga didiagnosa sindroma Down dan penyakit
jantung bawaan. Sehingga pasien sering terlihat sesak dan tampak biru setiap kali
pasien menangis.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Tanda Vital :N : 120x/menit
RR: 40x/menit
T : 37 C
Berat badan : 3000 gr
Kulit : Pucat, turgor kulit kembali cepat, sianosis (-)
Kepala : Ubun-ubun tidak cekung
Wajah : Simetris, mongolisme
Mata :
 Edema palpebra (-/-)
 Sklera ikterik (-/-)
 Mata cekung (-/-)
 Air mata (-/-)
Telinga : Otorrhea (-/-)
Hidung : Rhinorrhea (-/-); napas cuping hidung (-), epistaksis (-), terpasang
NGT, cairan lambung (+) warna kuning ±100 cc
Mulut : Mukosa bibir pucat dan kering, labiopalatoskisis (-)

34
Thorax :
- Inspeksi :Pengembangan dada simetris (-); retraksi (+) substernal
minimal, deformitas dinding dada (-)
- Palpasi : Massa (-)
- Auskultasi Paru : Vesikuler/Vesikuler, Ronchi -/-, Wheezing -/-
- Auskultasi Jantung : BJ I,II reguler, gallop (-), murmur (+)
Intercostalis Sinistra 3-4
Abdomen :
- Inspeksi: Cembung, tampak kencang, venektasi (-), terdapat stoma di bagian
kiri bawah
- Auskultasi : bising usus (+) kesan menurun
- Palpasi : distensi (+), massa (-)
- Perkusi: timpani
Ekstremitas
• Akral dingin
• CRT <3 detik
• Deformitas : -
Genital :
• Perempuan, tidak terdapat anus, anal dimple (+)

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Pemeriksaan Laboratorium (04 April 2017)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hemoglobin 12,1 g/dL 9,0 – 16,6 N
Jumlah Eritrosit 4,04 10^6/uL 3,10-5,10 N
Hematokrit 36,8 % 30,0-54,0 N
MCV, MCH,
MCHC
MCV 91,1 fL 81,0-125,0 N

35
MCH 30,0 Pg 25,0-37,0 N
Jumlah Leukosit 13,16 10^3/ul 5,50-18,00 N
Hitung Jenis
Eosinofil 0,6 % 1,0-5,0 L
Basofil 0,1 % 0-1 N
Neutrofil 67,7 % 17,0-60,0 H
Limfosit 24,2 % 20,0-70,0 N
Monosit 7,4 % 1,0-11,0 N
Jumlah Trombosit 398 10^3/ul 229-553 N

B. Pemeriksaan Laboratorium (06 April 2017)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

KIMIA DARAH
Elektrolit
Natrium Darah 136 mmol/L 129-143 N
Kalium Darah 4,4 mmol/L 3,6-5,8 N
Klorida Darah 110 mmol/L 93-112 N

Calcium Ion 1,310 mmol/L 1,120-1,320 N

C. Foto Polos Radiologi: Abdomen 2 posisi

36
Abdomen distended.
Preperitoneal fat pad tidak jelas.
Tampak dilatasi beberapa segmen small intestine disertai penebalan mukosa dinding
usus tersebut, terutama terlihat di kuadran atas & midline abdomen. Tidak tampak
udara usus pada proyeksi colon.
Tampak multiple air-fluid level kecil.
Tidak tampak pneumoperitoneum.
Kalsifikasi (-).
Kesan :
Obstruksi usus pada level small intestine
Belum dapat menyingkirkan kemungkinan adanya peritonitis.

37
D. Pemeriksaan : Thorax AP & Knee-chest position

Thorax AP :
Cor terkesan membesar (posisi agak membungkuk).
Mediastinus superior melebar ec thymus
Corakan bronkovaskular kedua paru normal. Tidak tampak infiltrat pada kedua
paru.
Hilus kanan tampak normal. Sinus kostofrenik & diafragma normal.
Tulang-tulang intak.
Kesan : Pulmo dalam batas-batas normal. Thymus pada mediastinum superior

38
Foto knee-chest position :
Udara usus terjauh di bawah pubococcygeal line.
Kesan : Atresia ani letak rendah

3.5 Diagnosa
- Atresia ani post colostomy disertai ileus obstruksi
- VSD
- Down Sindrom

3.6 Penatalaksanaan
- Tatalaksana Anak :
o IVFD D5% 300 cc /24 jam
o Inj Cefotaxime 2 x 150 mg
o Asi on demand
- Tatalaksana Bedah :
o Decompresi dipertahankan
o Boleh MSS (Minum Basah Bibir)
o Rawat Colostomy

39
BAB 4

PEMBAHASAN

Seorang bayi perempuan usia 1 bulan 11 hari dibawa ke Rumah Sakit dengan
keluhan utama perut kembung sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya
pasien sempat muntah beberapa kali setiap diberi susu. Isi muntahan berupa cairan
berwarna kuning. Diketahui riwayat kelahiran pasien lahir secara spontan, cukup
bulan. Saat lahir tidak langsung menangis dan tampak sesak. BB lahir 3100 gram, dan
tidak memiliki lubang di anus. Setelah beberapa jam pasca persalinan, pasien
langsung dirujuk ke RSUD Prof Dr. W. Z. Johannes Kupang dan tanggal 27/2/2017
dilakukan tindakan operasi pembuatan saluran di bagian perut dan dirawat di NICU
selama 1 bulan. Kemudian pasien dipulangkan ± 1 minggu yang lalu. Sebelumnya
juga pasien bisa BAB dengan baik melalui saluran buatan di bagian perutnya, namun
sejak pasien kembung, hanya lendir bercampur darah yang keluar dari lubang
tersebut. Perut pasien juga semakin membesar dan mengencang. Pada pemeriksaan
fisik didapati BB saat ini 3000 gram, tampilan kulit yang pucat, pada pasien
terpasang NGT (cairan lambung warna kuning ±100 cc), pada pemeriksaan auskultasi
Jantung didapatkan BJ I,II reguler, gallop (-), murmur (+) Intercostalis Sinistra 3-4.
Pada pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen yang cembung, tampak kencang,
bising usus kesan menurun, dan pada perabaan didapatkan distensi, namun tidak
teraba massa.

Berdasarkan anamnesis serta pemeriksaan fisik, pasien didiagnosis dengan Ileus


(hambatan pasase usus) dimana keluhan dan manifestasi klinis pasien menyerupai
Ileus. Menurut teori yang ada pasien dengan Ileus akan mengeluhkan kembung, nyeri
perut, mual dan muntah, serta konstipasi. Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan
bising usus menurun atau menghilang, distensi abdomen, dan suara timpanik pada
perkusi abdomen.

40
Selain itu, sebelumnya pasien juga telah didiagnosis menderita penyakit
Ventrikular Septal Defect, dan Sindroma Down, dimana pemeriksaan fisik juga
mendukung diagnosa tersebut yakni didapatkan tampilan wajah mongolisme, dan
pada auskultasi Jantung didapatkan bunyi Jantung I,II reguler, gallop (-), dan
murmur pada Intercostalis Sinistra 3-4, dan kesan jantung yang membesar pada
pemeriksaan Roentgen Thorax posisi AP. Hasil pemeriksaan itu bersesuaian dengan
teori dimana pasien dengan Sindroma Down memiliki muka lebar, tulang pipi tinggi,
hidung pesek, mata letaknya berjauhan serta sipit miring ke atas dan samping (seperti
mongol). Mengenai teori VSD, dikatakan pada pemeriksaan fisik VSD kecil
didapatkan bising pansistolik yang ringan pada intercosta ke 4 dan ke 5 kiri, dan pada
VSD sedang-besar ada pembesaran jantung kiri, yang akhirnya bisa juga terjadi
pembesaran jantung kanan. Namun pada pembahasan kasus ini tidak akan dibahas
lebih lanjut mengenai VSD dan Sindroma Down.
Sebelumnya pasien telah melakukan pemeriksaan foto roentgen thorax dan knee-
chest position saat pasien berusia 1 hari. Foto knee-chest position dilakukan pada bayi
dengan atresia ani dengan tujuan mengetahui apakah atresia ani tersebut merupakan
letak rendah atau letak tinggi. Pada knee-chest position, bokong bayi diposisikan
menungging ke atas, penanda diletakkan pada anal dimple dan jarak dari udara dalam
rektum ke penanda diukur, jika jarak > 1 cm dikatakan MAR letak tinggi, sementara
jarak < 1 cm dikatakan MAR letak rendah. Metode lainnya adalah dengan penarikan
garis pubokoksigeal (ditarik dari perbatasan sakrokoksigeal ke pertengahan tulang
pubis). Jika udara berakhir di atas garis ini maka disebut sebagai MAR letak tinggi,
dan sebaliknya.
Pada foto knee-chest position didapatkan udara usus terjauh di bawah
pubococcygeal line, sehingga memberi kesan atresia ani letak rendah. Saat
menentukan diagnosa pasien dengan atresia ani, harus dipastikan dulu apakah
terdapat fistel atau tidak, setelah itu harus segera memastikan apakah pasien
menderita atresia ani letak tinggi atau letak rendah, hal itu penting untuk menentukan
tindakan selanjutnya, apakah pasien membutuhkan pemasangan colostomy, operasi

41
segera, ataukah dapat ditunda operasinya agar dapat dilakukan pemeriksaan lainnya
yang mungkin dapat membantu. Pada pasien Bayi Ny. FA, tidak terdapat fistel, dan
berdasarkan pemeriksaan foto roentgen knee-chest position didapatkan kesan atresia
ani letak rendah. Berdasarkan beberapa teori yang ada seharusnya pada pasien dapat
langsung dilakukan operasi (anoplasti-pembuatan lubang anus), dan tidak perlu lagi
dilakukan pemasangan colostomy dikarenakan letak rendah tersebut, namun
berdasarkan wawancara dengan salah satu dokter bedah, didapatkan alasan mengapa
pada kasus-kasus seperti bayi Ny. FA tidak langsung dilakukan anoplasti yakni
karena pasien belum memenuhi kriteria Rule of Ten yaitu ‘10 pounds, 10 weeks, and
10 points of Haemoglobin’, dimana dikhawatirkan jika dilakukan operasi pada pasien
ini akan terjadi perlambatan penyembuhan luka operasi yang diakibatkan oleh
immaturitasnya. Selain itu walaupun tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai
keterkaitan antara tidak dilakukannya operasi dengan VSD dan Sindroma Down yang
diderita pasien, namun keadaan itu juga menjadi suatu pertimbangan tersendiri dalam
pelaksanaan anoplasti.
Sebenarnya pada pasien dengan Ileus, ada baiknya jika dilakukan pengambilan
foto abdomen pada 3 posisi yakni AP supine, prone atau lateral, erect atau Left
Lateral Decubitus, namun pada pasien hanya dilakukan pemeriksaan foto roentgen
abdomen 2 posisi. Pada bacaan foto didapatkan kesan obstruksi usus pada level small
intestine, dan belum dapat menyingkirkan kemungkinan adanya peritonitis. Hasil
tersebut semakin mendukung diagnosis ileus obstruksi pada pasien. Ileus obstruksi
sendiri dibagi menjadi ileus obstruksi letak tinggi dan letak rendah, berdasarkan
gambaran foto polos abdomen diperkirakan ileus obstruksi yang diderita pasien
merupakan ileus obstruksi letak tinggi, dimana berdasarkan teori gambaran radiologi
pada ileus obstruksi letak tinggi selain adanya penebalan dinding usus juga terdapat
usus yang dilatasi dibagian sentral dengan air fluid level yang pendek-pendek serta
tidak tampaknya udara pada bagian distal usus yang terkena obstruksi.
Ada banyak kemungkinan yang dapat menyebabkan terjadinya ileus obstruksi
pada pasien walaupun telah dipasangkan colostomy, namun tidak dilakukan

42
pemeriksaan lebih jauh mengenai faktor pencetus terjadinya ileus obstruksi pada
pasien bayi Ny. FA. Secara umum, beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya
ileus pada bayi adalah adhesi (perlengketan), hernia inkarserata, obstruksi akibat
cacing askariasis, invaginasi, volvulus, kelainan kongenital, radang kronik, tumor,
serta tumpukan sisa makanan. Pada kasus pasien bayi dengan colostomy, namun
masih mengalami ileus obstruksi, salah satu penyebab yang paling mendekati adalah
pemberian makanan. Menurut teori, pemberian asi tidak memicu hal yang patologis,
namun begitu pasien diberi makanan padat maka kemungkinan terjadinya ileus
obstruksi akan meningkat.

Pada pasien bayi Ny. FA dilakukan perawatan colostomy dan perbaikan keadaan
umum pasien, selain itu dilakukan dekompresi pipa lambung. Pasien dipulangkan saat
keadaan umum membaik, dan keluhan ileus obstruksi tidak ditemui lagi.
Diperkirakan untuk tindakan operasi pembuatan anus akan dilakukan jika pasien
sudah memenuhi standar Rule of Ten.

Jika seorang bayi lahir dengan MAR, maka perlu segera dilakukan pemeriksaan
untuk mengetahui apakah ada kelaianan kogenital lain yang menyertai, seperti kasus
yang terjadi pada bayi Ny. FA yang lahir tidak hanya dengan atresia ani, namun juga
disertai VSD dan Sindroma Down, sebab ada teori yang mengatakan bahwa bayi
dengan MAR sering disertai kelainan kongenital lain seperti: VACTERL (Vertebral
abnormalities, Anal atresia, Cardiac abnormalities, Tracheoesophageal fistula and/or
Esophageal atresia, Renal agenesis and dysplasia, and Limb defects) yang terjadi
pada 45% pasien, OEIS (Omphalocele, Bladder exstrophy, Imperforate anus and
Sacral anomalies) yang terjadi pada 5% pasien, dan Sindroma Down yang terdapat
pada 2-8% pasien. Karena itulah penting untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan pada
bayi lahir dengan kelainan kongenital MAR agar dapat di rencanakan pemeriksaan
serta tatalaksana awal jika memang terdapat kelainan kongenital lain yang menyertai,
tergantung sifat kelainan, apakah bersifat harus segera ditangani, atau penanganannya
dapat ditunda.

43
BAB 5

KESIMPULAN

Telah dilaporkan pasien bayi perempuan Ny. FA 1 bulan 11 hari dengan


keluhan utama perut kembung sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Dari hasil
pemeriksaan fisik didapatkan perut cembung, tampak kencang dan terdapat stoma di
bagian kiri bawah, pada auskultasi didapatkan bising usus dengan kesan menurun,
distensi pada perabaan dan bunyi timpani pada perkusi, serta tidak terdapat anus pada
pemeriksaan. Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penujang
maka ditegakkan diagnosa yakni atresia ani post colostomy disertai ileus obstruksi.
Terdapat kelainan lain yang menyertai yakni Ventrikular Septal Defect dan Sindroma
Down, namun tidak dibahas lebih lanjut pada kasus ini. Pasien menerima perawatan
colostomy dan dipulangkan saat keadaan umum membaik dan keluhan ileus obstruksi
menghilang. Diperkirakan operasi anoplasty akan dilakukan apabila pasien telah
memenuhi kriteria Rule of Ten, yakni ‘10 pounds, 10 weeks, and 10 points of
Haemoglobin.’

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Putri GY, Wahid TOR, Masdar H. Angka Keberhasilan Posterosagital


Anorectoplasty (PSARP) yang Dinilai dari Skor KLOTZ pada Pasien
Malformasi Anorektal di bangsal Bedah RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau
Periode Januari 2009 – Desember 2014. Jom FK. 2014;1(2):1–8.
2. Soetikno R. Radiologi Emergensi. Bandung: PT Refika Aditama; 2011. 288-
292 p.
3. Sjamsuhidajat, de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. 3rd ed. Jakarta; 2010.
4. Faradilla N, Ked S, Damanik RR, Ked S, Mardhiya WR, Ked S. Anestesi Pada
Tindakan Posterosagital Anorektoplasti Pada Kasus Malformasi Anorektal.
DrsMed – FK UNRI. 2009;1–23.
5. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Indonesia. Buku
Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. 2nd ed. Jakarta: Infomedika Jakarta; 1985.
6. Inap R, Rsup A, Padang MD. Profil Penyakit Jantung Bawaan di Instalasi
Rawat Inap Anak RSUP Dr.M.Djamil Padang Januari 2008 – Februari 2011.
Sari Pediatr. 2012;14(3):152–7.
7. Nasution AH, Adam RH, Medan M. Anestesi pada Ventrikel Septal Defek.
Maj Kedokt Nusant. 2008;41(2):2–7.
8. Roebiono PS. Diagnosis dan tatalaksana penyakit jantung bawaan. Fak Kedokt
Univ Indones. 2012;1–7.

45

Anda mungkin juga menyukai