Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PORTOFOLIO DOKTER INTERNSHIP

POST HERPETIK NEURALGIA (PHN)

Oleh:
dr. Ayyub Erdiyanto
Pembimbing:
dr. Satmoko Nugroho, Sp.S
Pendamping:
dr. Sofie Giantari
dr.Yuliawaty Soetio

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


BADAN PPSDM KESEHATAN
2014
A. DATA PRIBADI
Nama : Ny.S
No registrasi : 20.13.65
Umur : 64 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Tiris

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama : nyeri pada dada kanan dan punggung kanan
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada sebelah kanan di bawah payudara,
menjalar sampai bagian bawah ketiak kanan dan punggung sebelah kanan. Nyeri ini
sudah dirasakan pasien sejak 6 bulan SMRS. Nyeri terasa tajam, seperti ditusuk-tusuk,
hilang timbul. Terjadi beberapa kali dalam sehari. Pasien terkadang juga mengeluh
terasa nyeri pada bagian tersebut saat sedang digaruk, bergesekan dengan pakaian,
tapi hal itu jarang terjadi. Nyeri yang dirasakan pasien juga bisa terjadi kapan saja dan
tidak dipengaruhi aktivitas atau gerakan. Demam (-), sesak (-). Pusing (-). Pasien
sering mengeluh susah tidur karena sering nyeri di malam hari.
3. Riwayat penyakit dahulu:
Riwayat jatuh/trauma (-), riwayat penyakit paru-paru/batuk lama (-),
riwayat diare berkepanjangan (-). riwayat terkena penyakit kulit di lokasi nyeri 5
bulan yang lalu. Penyakit kulit berbentuk plentingan merah-merah, berair, terasa gatal
dan nyeri. Sejak saat terkena penyakit kulit hingga sekarang, nyeri tidak pernah
hilang.
4. Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama.
5. Riwayat pengobatan
Sejak saat sakit kulit sampai sekarang, pasien berobat ke bidan 4 kali. Penyakit
kulit menghilang, namun nyeri tetap ada. Pasien sering mengkonsumsi
dexametasone tablet dan asam mefenamat (beli sendiri di toko). Lalu pasien
berobat ke PKM maron, dan di rujuk ke poli saraf RS Waluyo Jati

C. PEMERIKSAAN FISIK (15/5/2013)


1. Keadaan umum
1. Kesadaran : compos mentis
2. Pucat : (-)
3. Ikterus : (-)
4. Dispnoe : (-)
5. Sianosis : (-)
2. Tanda Vital
1. Tekanan darah : 130/80 mmHg
2. Temperatur : 36,8º C
3. Nadi : 88x/menit, teratur, kuat
4. Napas : 20x/menit
3. Kepala leher
1. Rambut : hitam
2. Bentuk kepala : bulat, moonface (+)
3. Mata : anemis (-), ikterus (-), tanda radang (-), gangguan neurologis (-), pupil
3mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
4. Hidung : deformitas (-)
5. Mulut-tenggorok : faring hiperemi (-), caries gigi (-)
6. Leher : trakea di tengah, vena jugularis tidak melebar, pembesaran kelenjar
limfe (-), thyroid dalam batas normal

4. Thorax
1. Kulit :
 lesi (-)
2. pemeriksaan neurologi :
 fungsi motorik : atrofi otot (-), hipertrofi otot (-), tonus dbn, kekuatan
otot 5 di semua extremitas

 fungsi sensorik :

Dextra Sinistra

Nyeri (+++) ↑ di segmen (+) N diseluruh


torakalis 4 dan 5 dinding dada
dextra

Suhu Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Getar Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Raba halus (+) normal, nyeri (-) (+) normal


di daerah segmen
torakalis 4 dan 5
dextra

2. Paru-paru
Inspeksi : gerak dada D = S
Palpasi :

FR N N

N N

N N
Perkusi :
S S

S S
Auskultasi : S S
SN Ves Ves RH - - WH - -

Ves Ves - - - -

Ves Ves - - - -
3. Jantung : S1S2 tunggal,
murmur (-), gallop (-)

5. Abdomen :
Cembung, bising usus (+)N, timpani, soepel, nyeri tekan (-)
6. Genitalia : dalam batas normal
7. Ekstrimitas : akral hangat, kering, CRT < 2 detik, edema (-/-), deformitas (-)

D. DIAGNOSIS/ASSESMENT
Post Herpetik Neuralgia

E. PLANNING
Planning terapi :
1. Terapi medikamentosa :
PDA 2x1
Depakote 250 mg 2x1
Sohobion 1x1
2. Terapi nonmedikamentosa
TENS

Planning monitoring :
 Keluhan
 Vital sign

Planning edukasi :
 Menjelaskan tentang perjalanan penyakit pasien, rencana tatalaksana dan komplikasi
yang mungkin muncul.
 Menjelaskan bahwa pengobatan akan berlangsung lama serta prognosa dari penyakit
pasien
 Menjelaskan bahwa kepatuhan pengobatan ke dokter menunjang keberhasilan
pengobatan.
NEURALGIA PASCA HERPETIKA

Definisi

Neuralgia ini dikarakteristikan sebagai nyeri seperti terbakar, teriris atau nyeri

disetetik yang bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat sampai tahunan.

Dworkin, 1994, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri neuropatik

yang menetap setelah onset ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster).2

Epidemiologi

Sebagian besar insidens herpes zoster dan neuralgia paska herpetika didapatkan

data dari Eropa dan Amerika Serikat. Sedangkan belum didapatkan angka insiden di Asia,

Australia dan Amerika Selatan.2

Pada penderita herpes zoster hampir 100 persen pasien mengalami nyeri, dan 10-

70 persennya mengalami neuralgia pasca herpetika. Nyeri lebih dari 1 tahun pada

penderita berusia lebih dari 70 tahun dilaporkan mencapai 48%. Anak antara usia 5 dan 9

tahun mengambil 50% dari semua kasus, kebanyakan kasus lain timbul antara usia 1 dan

4 tahun serta 10 dan 14 tahun. Sekitar 10% diatas usia 15 tahun. Pada penderita HIV atau

dengan leukemia dilaprkan 50-100 kali lebih banyak dibandingkan dengan kelompok

sehat usia sama.1,2

Etiologi

Virus zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi

manusia.Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari sebuah

icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid. Di tengahnya terdapat DNA

untai ganda. Virus varicella zoster memiliki diameter sekitar 180-200 nm.1,3

1
Analisis endonuklease terbatas atas DNA virus pasien varicella yang kemudian

menderita herpes zoster membenarkan identitas molekul dua virus yang

bertanggung jawab untuk presentasi klinis yang berbeda ini.3

Gambar 7.

2
Virus Varisella zoster, virus ini menyebabkan penyakit varicella dan untuk reaktivasi

selanjutnya akan menyebabkan pnyakit zoster.Setelah infeksi primer, virus ini akan tetap

berada di dalam akar saraf sensorik untuk hidup. Setelah reaktivasi, virus bermigrasi ke saraf

sensoris pada kulit, menyebabkan ruam karakteristik dermatomal yang menyakitkan. Setelah

resolusi, banyak individu terus mengalami nyeri pada distribusi dari ruam (postherpetic

neuralgia).2

Faktor Resiko

Beberapa faktor resiko terjadinya neuralgia paska herpetika adalah meningkatnya

usia, nyeri yang hebat pada fase akut herpes zoster dan beratnya ruam HZ. Dikatakan bahwa

ruam berat yang terjadi dalam 3 hari setelah onset herpes zoster, 72% penderitanya

mengalami neuralgia paska herpetika. Faktor resiko lain yang mempunyai peranan pula

dalam menimbulkan neuralgia paska herpetika adalah gangguan sistem kekebalan tubuh,

pasien dengan penyakit keganasan (leukimia, limfoma), lama terjadinya ruam.1

Patogenesis

Periode inkubasi virus Varisella zooster sekitar 14-16 hari setelah paparan awal. Setelah infeksi primer dilalui, virus ini bersarang di ganglia akar dorsal, hidup

secara dorman selama bertahun-tahun.


8,9

3
The enveloped virus creates the chickenpox rash and can travel from the

skin to sensory nerves. Once in the sensory nerves, the virus moves to the

sensory ganglia where it becomes latent. If reactivated, the virus travels

from the sensory ganglia back to the skin where it creates the shingles

rash.

Gambar 8.

Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisella

zoster yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan dalam pencegahan

pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan mekanisme tidak diketahui.

Hilangnya imunitas seluler terhadap virus dengan bertambahnya usia atau status

imunokompromis dihubungkan dengan reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan

di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan dan telah

mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini bereplikasi menyebabkan

pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang

dikenal dengan nama‘Lipschutz inclusion body. Pada ganglion kornu dorsalis terjadi proses

peradangan, nekrosis hemoragik, dan hilangnya sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf perifer

dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan dapat menimbulkan

demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis. Proses perjalanan virus ini

4
menyebabkan kerusakan pada saraf. Beberapa perubahan patologi yang dapat ditemukan

pada infeksi virus varisella zoster:9

1. Reaksi inflamatorik pada beberapa unilateral ganglion sensorik di saraf spinal atau

saraf kranial sehingga terjadi nekrosis dengan atau tanpa tanda perdarahan.

2. Reaksi inflamatorik pada akar spinal dan saraf perifer beserta ganglionnya.

3. Gambaran poliomielitis yang mirip dengan akut anterior poliomielitis, yang dapat

dibedakan dengan lokalisasi segmental, unilateral dan keterlibatan ‘dorsal horn’, akar

dan ganglion.

4. Gambaran leptomeningitis ringan yang terbatas pada segmen spinal, kranial dan

akar saraf yang terlibat.

Gambar 9. Infeksi yang dilakukan oleh virus Varissela zooster

5
Mekanisme nyeri

Proses terjadinya nyeri secara umum dapat dibagi menjadi 3 jenis:

1. Proses stimulasi singkat10

2. Proses stimulasi yang berkepanjangan sehingga menyebabkan lesi atau inflamasi

jaringan

3. Proses yang terjadi akibat lesi dari sistem saraf

Pada jenis I, pukulan, cubitan pada tubuh dan lain sebagainya akan menyebabkan

timbulnya persepsi nyeri. Bila stimulasi yang terjadi tidak menyebabkan terjadinya

lesi, maka rasa nyeri yang terjadi hanya dalam waktu singkat.

Pada jenis II, adalah jenis nyeri oleh karena terjadinya inflamasi jaringan atau dikenal

sebagai nyeri nosiseptif. Ciri khas dari inflamasi ialah terjadinya kalor, rubor, dolor

dan fungsiolaesa.

Pada Jenis III, dikenal sebagai nyeri neuropatik. Lesi saraf tepi atau sentral akan

mengakibatkan hilangnya fungsi seluruh atau sebagian dari sistem saraf tersebut. Lesi

saraf menyebabkan perubahan fungsi neuron sensorik yang dalam keadaan normal

dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya.

Gangguan yang terjadi dapat berupa gangguan keseimbangan neuron sensorik,

melalui perubahan molekuler, sehingga aktivitas sistem saraf aferen menjadi abnormal

(mekanisme perifer) yang selanjutnya menyebabkan gangguan nosiseptif sentral

(sensitisasi sentral). 4 mekanisme penyebab timbulnya aktivitas abnormal sistem saraf

aferen akibat lesi, yaitu:10

1. aktivitas ektopik

6
2. sensitisasi nosiseptor

3. interaksi abnormal antar serabut saraf

4. hipersensitifitas terhadap katekolamin

Allodinia adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal (secara normal

semestinya tidak menimbulkan nyeri). Impuls yang dijalarkan serabut Aß yang

biasanya berupa sentuhan halus atau raba normal dirasakan normal, tetapi pada

allodinia dirasakan sebagai nyeri. Mekanisme terjadinya allodinia disebabkan oleh

adanya: 1,10,11

1. sensitisasi sentral, dimana terjadinya peningkatan jumlah potensial aksi

sebagai respon terhadap stimuli noksius dan penurunan nilai ambang

rangsan sehingga stimuli non noksius mampu menimbulkan rasa nyeri.

2. perubahan serabut Aß dimana serabut ini mengeluarkan substansia P. Pada

nyeri neuropatik hal ini berlangsung terus dikarenakan sumber impuls datang

dari perifer berupa ectopic discharge

3. hilangnya kontrol inhibisi. Neurotransmitter inhibisi seperti GABA atau

glycin berfungsi untuk mempertahankan potensial membran mendekati

potensial istirahat. Tetapi pada nyeri neuropatik terdapat penurunan aktivitas

inhibisi (hal ini diperkirakan oleh karena kematian sel-sel inhibisi) .Sehingga

terjadi eksitasi berlebihan.

Nyeri yang berhubungan dengan zoster akut dan neuralgia postherpetik

merupakan tipe nyeri neuropatik akibat kerusakan pada saraf tepi dan perubahan

proses signal sistem saraf pusat. Aktivasi simpatis (sistem saraf otonom) yang intens

pada area kulit yang terlibat merupakan akibat dari proses inflamasi (peradangan) akut

7
yang menyebabkan vasokonstriksi (penciutan pembuluh darah), trombosis

intravaskuler (penyumbatan pembuluh darah) dan iskemia (kukurangan aliran darah)

dari saraf tersebut.10 Pasca cedera saraf, terjadi pelepasan impuls saraf tepi secara

spontan, ambang aktivasi yang rendah dan respon berlebih terhadap rangsangan.

Pertumbuhan akson (serat saraf) baru setelah cedera tersebut membentuk saraf baru

yang justru memiliki kecenderungan memprovokasi pelepasan impuls berlebih.

Aktivitas perifer (saraf tepi) yang berlebihan tersebut diduga sebagai pencetus

perubahan sifat saraf, sebagai akibatnya, terjadi respon sistem saraf pusat yang

berlebihan terhadap segala rangsang. Perubahan yang terjadi ini sangat kompleks

sehingga mungkin tidak dapat diatasi dengan satu jenis terapi saja.11

Sympathetically Maintained Pain (SMP). SMP didefinisikan sebagai nyeri

yang “dipertahankan” oleh sistem saraf otonom (simpatis) atau oleh hormon

katekolamin yang bersirkulasi. Nyeri neuropatik didiagnosis sebagai tipe SMP bila

ditemukan respon positif terhadap suatu simpatolisis (blok simpatis, tindakan

pemberian obat bius lokal). Terdapat beragam nyeri neuropatik yang bisa mencakup

SMP ini, diantaranya phantom pain, complex regional pain syndrome, neuropati

metabolik, neuralgia dan herpes zoster sendiri. Namun bagaimana mekanisme SMP

terjadi, sampai sekarang masih belum dapat dijelaskan walau telah banyak hipotesis

yang dilontarkan oleh para ahli.1,2

Nyeri pada neuralgia paska herpetika merupakan nyeri neuropatik yang

diakibatkan dari perlukaan saraf perifer sehingga terjadi perubahan proses pengolahan

sinyal pada sistem saraf pusat. Saraf perifer yang sudah rusak memiliki ambang

aktivasi yang lebih rendah sehingga menunjukkan respon berlebihan terhadap

stimulus. Regenerasi akson setelah perlukaan menimbulkan percabangan saraf yang

juga mengalami perubahan kepekaan. Aktivitas saraf perifer yang berlebihan tersebut

8
menimbulkan perubahan berupa hipereksitabilitas kornu dorsalis sehingga pada

akhirnya menimbulkan respon sistem saraf pusat yang berlebihan terhadap semua

rangsang masukan/ sensorik. Perubahan ini berjalan dalam berbagai macam proses

sehingga dapat dimengerti bila pendekatan terapeutik neuralgia paska herpetika

memerlukan beberapa macam pendekatan pula.1,2

Menurut Fields, terdapat dua tipe penilaian terhadap derajat dan luasnya

gangguan sensorik pada pasien neuralgia paska herpetika. Fase iritasi, dimana

gangguan sensorik (allodinia / hilangnya sensorik) terbatas pada lesi kulit dan fase

deaferentasi dimana gangguan sensorik meluas dari batas lesi kulit. Pada fase iritasi,

penggunaan terapi anastetik lokal intra dermal lebih berguna dibandingkan dengan

tipe deaferentasi.2,3

Pada otopsi pasien yang pernah mengalami herpes zoster dan neuralgia paska

herpetika ditemukan atrofi kornu dorsalis, sedangkan pada pasien yang mengalami

herpes zoster tetapi tidak mengalami neuralgia paska herpetika tidak ditemukan atrofi

kornu dorsalis.1

Manifestasi Klinis [4]

Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala prodromal rasa

terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit sesuai dengan dermatom

yang terkena. Biasanya keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala,

mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi

makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat

berubah bentuk menjadi lesi vesikular.12,13

9
Gambar 10. Reaktivasi infeksi virus Varicella zoster

Gambar 11. perjalanan infeksi oleh virus Varicella zooster

Menurut lokasi lesinya, herpes zoster dibagi menjadi :

1. Herpes zoster oftalmikus

Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai

bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang ophtalmicus saraf

trigeminus (N.V), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai gejala

10
konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal berlangsug 1 sampai 4 hari

sebelum kelainan kulit timbul. Fotofobia, banyak kelar air mata, kelopak mata

Gambar 12. Herpes zoster oftalmikus sinistra.

2. Herpes zoster fasialis

Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian

ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai erupsi herpetik

unilateral pada kulit.13

Gambar 13. Herpes zoster fasialis dekstra.

3. Herpes zoster brakialis

Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai

pleksus brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.13

11
Gambar 14. Herpes zoster brakialis sinistra.

1. Herpes zoster torakalis

Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai

pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.13

Gambar 15. Herpes zoster torakalis sinistra.

12
Gambar 16. Rash hipopigmentasi pada lesi postherpetik dermatome torakalis

5. Herpes zoster lumbalis

Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai

pleksus lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.13

Gambar 17. Herpes zooster lumbal dekstra

6. Herpes zoster sakralis

Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai

pleksus sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.13

13
Gambar 18. Herpes zoster sakralis dekstra.

Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat

sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu

penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai

mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit

kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu. Intensitas dan durasi

dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes zoster dapat dikurangi dengan pemberian

acyclovir (5x800mg/hari) atau dengan famciclovir atau valacyclovir.12.13

Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat sangat

mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh

rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri

yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood

sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka

panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum

timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti

rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia

yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/

14
tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/

normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus

bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.1,2,13

Dworkin membagi neuralgia paska herpetika ke dalam tiga fase:1

- Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung <

4 minggu

- Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan

- Neuralgia paska herpetika: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit

atau 3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster. Nyeri digambarkan sebagai rasa

seperti terbakar, teiris tajam, rasa tertusuk-tusuk, rasa tersetrum di sepanjang

dermatom yang terkena/ terlibat. Didapatkan pula gangguan allodinia dimana

sentuhan ringan seperti pada pakaian atau seprei tempat tidur menimbulkan rasa nyeri

tajam yang sangat mengganggu pasien. Gangguan nyeri ini dapat menganggu pasien

dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi atau saat berpakaian atau saat

tidur. Keluhan sensorik lain yang dapat timbul berupa rasa baal daerah lesi, sensitif

terhadap perubahan temperatur. 13

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu:8,21,25,27

1. Pemeriksaan neurologis pada nervus trigeminus dan pemeriksaan neurologis lainnya.

2. Elektromiografi (EMG) untuk melihat aktivitas elektrik pada nervus

3. Cairan cerebrospinal (CSF) abnormal dlm 61% kasus

15
4. Pleositosis ditemui pada 46% kasus, peningkatan protein 26% dan DNA VZV 22%

kasus.

5. Smear vesikel dan PCR untuk konfirmasi infeksi.

6. Kultur viral atau pewarnaan immunofluorescence bisa digunakan untuk membedakan

herpes simpleks dengan herpes zoster

7. Mengukur antibodi terhadap herpes zoster. Peningkatan 4 kali lipat mendukung

diagnosis herpes zoster subklinis.

3.8. Terapi

Tatalaksana terapi neuralgia paska herpetika

Secara umum terapi yang dapat kita lakukan terhadap kasus penderita dengan

neuralgia paska herpetika dibagi menjadi dua jenis, yaitu terapi farmakologis dan

terapi non farmakologis.1

Tiga hal yang perlu menjadi perhatian khusus dalam upaya terapi NPH adalah:

(1) memberi analgesia, (2) mengurangi depresi dan kecemasan dan (3) mengurangi

insomnia. Strategi terapi selalu difokuskan pada pencegahan, mengingat sekali NPH

terjadi maka akan sangat sulit dilakukan terapi. Sejumlah modalitas terapi perlu

dipertimbangkan dengan arif dan bijaksana, mengingat beragam variasi pasien

terhadap terapi (usia lanjut, efek samping dan komplikasi-komplikasi terapi yang bisa

terjadi). Obat-obatan harus dipertimbangkan dengan dosis minimal yang efektif serta

follow-up perjalanan nyeri pasien. Kombinasi obat-obatan tetap perlu

dipertimbangkan dengan mengevaluasi keuntungan dan kerugiannya.1

Terapi farmakologis:

16
Analgesik

Analgesik non opioid seperti NSAID dan parasetamol mempunyai efek

analgesik perifer maupun sentral walaupun efektifitasnya kecil terhadap nyeri

neuropatik. Sedangkan penggunaan analgesik opioid memberikan efektifitas lebih

baik. Tramadol telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik. Bekerja

sebagai agonis mu-opioid yang juga menghambat reuptake norepinefrin dan

serotonin. Pada sebuah penelitian, jika dosis dititrasi hingga maksimum 400 mg/hari

dibagi dalam 4 dosis, tramadol terbukti lebih efektif dibanding plasebo dalam

pengobatan NPH. Namun, efek pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan terjadinya

amnesia pada orang tua. Hal yang harus diperhatikan bahwa pemberian opiat kuat

lebih baik dikhususkan pada kasus nyeri yang berat atau refrakter oleh karena efek

toleransi dan takifilaksisnya. Oxycodone berdasarkan penelitian menunjukkan efek

yang lebih baik dibandingkan plasebo dalam meredakan nyeri, allodinia, gangguan

tidur, dan kecacatan. Dosis yang digunakan maksimal 60 mg/hari pada NPH.1,2

Anti epilepsi

Mekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan 1) memodulasi voltage-

gated sodium channel dan kanal kalsium, 2) meningkatkan efek inhibisi GABA, dan

3) menghambat transmisi glutaminergik yang bersifat eksitatorik.1

Gabapentin bekerja pada akson terminal dengan memodulasi masuknya

kalsium pada kanal kalsium, sehingga terjadi hambatan. Karena bekerja secara sentral,

gabapentin dapat menyebabkan kelelahan, konfusi, dan somnolen. Karbamazepin,

lamotrigine bekerja pada akson terminal dengan memblokade kanal sodium, sehingga

terjadi hambatan.1

17
Pregabalin bekerja menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti

halnya gabapentin, pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun berikatan

dengan subunit dari voltage-gated calcium channel , sehingga mengurangi influks

kalsium dan pelepasan neurotransmiter (glutamat, substance P, dan calcitonin gene-

related peptide) pada primary afferent nerve terminals. Dikatakan pemberian

pregabalin mempunyai efektivitas analgesik baik pada kasus neuralgia paska

herpetika, neuropati diabetikorum dan pasien dengan nyeri CNS oleh karena trauma

medulla spinalis. Didapatkan pula hasil perbaikan dalam hal tidur dan ansietas.1

Anti depressan

Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus neuralgia

paska herpetika. Obat golongan ini mempunyai mekanisme memblok reuptake

(pengambilan kembali) norepinefrin dan serotonin. Obat ini dapat mengurangi nyeri

melalui jalur inhibisi saraf spinal yang terlibat dalam persepsi nyeri. Pada beberapa uji

klinik obat antidepressan trisiklik amitriptilin, dilaporkan 47-67% oasien mengalami

pengurangan nyeri tingkat sedang hingga sangat baik. Amitriptilin menurunkan

reuptake saraf baik norepinefrin maupun serotonin. TCA telah terbukti efektif dalam

pengobatan nyeri neuropatik dibanding SSRI (selective serotonine reuptake inhibitor )

seperti fluoxetine, paroxetine, sertraline, dan citalopram. Alasannya mungkin

dikarenakan TCA menghambat reuptake baik serotonin maupun norepinefrin,

sedangkan SSRI hanya menghambat reuptake serotonin.1,2

Efek samping TCA berupa sedasi, konfusi, konstipasi, dan efek kardiovaskular

seperti blok konduksi, takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini juga dapat

meningkatkan berat badan, menurunkan ambang rangsang kejang, dan hipotensi

18
ortostatik. Anti depressan yang biasa digunakan untuk kasus neuralgia pot herpetika

adalah amitriptilin, nortriptiline, imipramine, desipramine dan lainnya.1

Terapi topikal

Anestesi lokal memodifikasi konduksi aksonal dengan menghambat voltage-

gated sodium channels. Inaktivasi menyebabkan hambatan terhadap terjadinya impuls

ektopik spontan. Obat ini bekerja lebih baik jika kerusakan pada neuron hanya terjadi

sebagian, fungsi nosiseptor tetap ada, dan adanya jumlah kanal sodium yang berlebih.

Mekanisme lainnya adalah dengan memodifikasi aktivitas NMDA. Lidokain topikal

merupakan obat yang sering diteliti dengan hasil yang baik dalam mengobati nyeri

neuropatik. Sebuah studi menunjukkan efek yang baik dengan penggunaan lidocaine

patch 5% untuk pengobatan NPH. Obat ini ditempatkan pada daerah simtomatik

selama 12 jam dan dilepas untuk 12 jam kemudian. Obat ini dapat digunakan selama

bertahun-tahun dan dipakai sebagai pilihan terapi tambahan pada pasien orang tua.1

Penggunaan krim topikal seperti capsaicin cukup banyak dilaporkan. Krim

capsaicin sampai saat ini adalah satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk neuralgia

paska herpetika. Capsaicin berefek pada neuron sensorik serat C (C-fiber). Telah

diketahui bahwa neuron ini melepaskan neuropeptida inflamatorik seperti substansia P

yang menginisiasi nyeri. Dengan dosis tinggi, capsaicin mendesensitisasi neuron ini.

Pada suatu uji klinik acak terkendali melibatkan 143 pasien neuralgia paska herpetika,

dilaporkan setelah pengobatan selama 4 minggu, 21% nyeri berkurang pada kelompok

yang mendapat terapi capsaicin , sedangkan 6% nyeri berkurang pada kelompok

kontrol (p<0.05). Tetapi sayangnya capsaicin mempunyai efek sensasi rasa terbakar

yang sering tidak bisa ditoleransi pemakainya ( 1/3 pasien pada uji klinik ini).1,2,3

Terapi non farmakologis

19
Akupunktur

Akupunktur banyak digunakan sebagai terapi untuk menghilangkan nyeri.

Terdapat beberapa penelitian mengenai terapi akupunktur untuk kasus neuralgia paska

herpetika. Namun penelitian-penelitian tersebut masih menggunakan jumlah kasus

tidak terlalu banyak dan terapi tersebut dikombinasi pula dengan terapi farmakologis.1

TENS (stimulasi saraf elektris transkutan)

Penggunaan TENS dilaporkan dapat mengurangi nyeri secara parsial hingga

komplit pada beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi penggunaan TENS-pun

dianjurkan hanya sebagai terapi adjuvan/ tambahan disamping terapi farmakologis.1

Pencegahan neuralgia paska herpetika

Perlu diingat, NPH sendiri merupakan komplikasi dari herpes zoster. Jika

herpes zoster dapat dicegah, tentunya NPH dapat dihindari. Untuk mencegah herpes

zoster, dapat digunakan vaksin.2

Jika penderita telah menderita herpes zoster, terapi sedini dan seagresif

mungkin menunjukkan penurunan insidens terjadinya nyeri neuropatik yang sangat

serius dan sulit untuk diatasi. Terapi tersebut mencakup pemberian anti virus yang

terbukti menurunkan insidens NPH. Dianjurkan pula pemberian amitriptilin yang

dimulai dari dua hari setelah ruam muncul.1,13

Dari beberapa laporan penelitian didapatkan efektifitas yang cukup baik pada

penggunaan kortikosteroid dan antiviral dalam pencegahan timbulnya neuralgia paska

herpetika. Kortikosteroid berperanan dalam mengurangi inflamasi zoster dan

mencegah kerusakan saraf, sedangkan antiviral (asiklovir) mempunyai manfaat dalam

20
mengurangi nyeri dan eritema, mencegah timbulnya lesi baru dan menyembuhkan

kulit lebih cepat.13

Komplikasi

Neuralgia Pasca Herpetik (NPH) sendiri merupakan salah satu komplikasi dari herpes

zoster. Yang perlu diperhatikan, NPH tidak berakibat fatal, walaupun penderita merasa nyeri

yang dirasa berat sekali, ditambah dengan waktu yang panjang.1,2

Tidak ada komplikasi secara fisik dari NPH. Tetapi tentunya secara sosial NPH sangat

mengganggu bagi penderitanya. Nyeri yang dirasakan oleh penderita sangatlah berat

sehingga penderita selalu merasa takut telah terjadi sesuatu yang parah pada tubuhnya. Disini

pentingnya penjelasan bagi penderita, karena ketakutan malah memperburuk nyeri yang

dirasa.1,2

Prognosis

Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak

menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu fungsi

sensorik.1,2

Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi didapatkan perbaikan

nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa.1,2

Prognosis ad sanactionam dubia ad bonam karena risiko berulangnya HZ masih

mungkin terjadi, namun selama pasien mempunyai daya tahan tubuh baik kemungkinan

timbul kembali kecil.1,2

21
KESIMPULAN

 Nyeri yang berhubungan dengan zoster akut dan neuralgia postherpetik


merupakan tipe nyeri neuropatik akibat kerusakan pada saraf tepi dan
perubahan proses signal sistem saraf pusat
 Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala
prodromal rasa terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit
sesuai dengan dermatom yang terkena. Biasanya keluhan penderita disertai
dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian,
setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral
mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi
vesikular.
 Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat sangat
mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat

22
oleh rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan
hiperalgesia. yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia
yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti
terkena/ tersetrum listrik.
 Tiga hal yang perlu menjadi perhatian khusus dalam upaya terapi NPH adalah:
(1) memberi analgesia, (2) mengurangi depresi dan kecemasan dan (3)
mengurangi insomnia. Strategi terapi selalu difokuskan pada pencegahan,
mengingat sekali NPH terjadi maka akan sangat sulit dilakukan terapi.
 Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak
menyebabkan kematian. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena
setelah terapi didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik
seperti biasa. Prognosis ad sanactionam dubia ad bonam karena risiko
berulangnya HZ masih mungkin terjadi, namun selama pasien mempunyai
daya tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.

DAFTAR PUSTAKA

1. Noname. Neuralgia Paska Herpetika. Jakarta 2008 available from:


http://perdossijaya.org/perdossijaya/index.php?view=article&catid=43%3Apaper&id

2. Werdiningsih, Retno. Neuralgia Pasca Herpetik.Unifersitas Airlangga. RSU dr.


Soetomo, Surabaya 2004 16:3 available from:
http://asic.lib.unair.ac.id/journals/abstrak/Berkala%2016%203%202004%20%3B%20
Retno%20%3B%20Neuralgia%202.pdf

3. Mardjono, Mahar, Sidarta, Priguna. Neurologi Klinis Dasar. Penerbit Dian Rakyat.
Jakarta: 2004. Hal 21-26.

4. Duus, Peter. Diagnosis Topik Neurologi. EGC. Edisi 2. Jakarta. Hal 29, 44 Snell, S,
Richard.Neuroanatomi Klinik. EGC. Edisi 2. Jakarta. Hal 365-383.

5. Lumbantobing, S.M. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Balai Penerbit
FKUI : 2000. Hal 115-131.

23
6.
Snell RS. Neuroanatomi Klinik : Pendahuluan dan Susunan Saraf Pusat. 5th Ed.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2007. p. 1-16.

7. Sherwood L. Human Physiology : The Central Nervous System. 7th ed. Canada:
Brooks/ColeCengangeLearning:2010.p.176-79.availablefrom
http://www.cumc.columbia.edu/publications/invivo/Vol1_no7_apr15_02/varicella.hl

8. Canadian Paediatric Society. Chickenpox. 2009. Retrived April 6, 2009 available from
http://www.cps.ca/caringforkids/immunization/ChickenpoxFacts.htm.

9. University of Maryland Medical Center. 2009 Chicken pox and Shingles. Retrived
April 6, 2009 available
from:http://www.umm.edu/patiented/articles/how_serious_chickenpox_shingles_0000
82_4.htm

10. Garcia, E.2007. Gender differences in pressure pain threshold in a repeated


measures assessment. Psychology, Health and Medicine, 12, 567-579. Available
from: http://dx.doi.org/10.1080/13548500701203433

11. Singer, T Seymour. 2004. Placebo-induced changes in fMRI in the anticipation and
experience of pain. Science, 303, 1162-1167. Journal weblink:
http://www.sciencemag.org/
12. Silverthorn. Human Physiology : Homeostatis and Control. 5th Ed. San Fransisco:
Pearson;2010. p.449-57. The Fuctional Imaging Lab in London:
http://www.fil.ion.ucl.ac.uk/
13. Djuanda Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.Jakarta.2005.Harrison.PrinciplesofInternalMedicine.Avilablefrom:
http://www.consumersresearchcncl.org/Healthcare/Dermatologists/derma_chapter2.ht
ml

15. Vorvick, Linda J. 2010. Encyclopedia and displayimage. Department of Medicine,


Massachusetts General Hospital. available from
http://www.pennmedicine.org/encyclopedia/em_DisplayImage.aspx?
gcid=18069&ptid=2

24

Anda mungkin juga menyukai