Laporan Portofolio Dokship Post Herpetic Neuralgia
Laporan Portofolio Dokship Post Herpetic Neuralgia
Oleh:
dr. Ayyub Erdiyanto
Pembimbing:
dr. Satmoko Nugroho, Sp.S
Pendamping:
dr. Sofie Giantari
dr.Yuliawaty Soetio
B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama : nyeri pada dada kanan dan punggung kanan
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada sebelah kanan di bawah payudara,
menjalar sampai bagian bawah ketiak kanan dan punggung sebelah kanan. Nyeri ini
sudah dirasakan pasien sejak 6 bulan SMRS. Nyeri terasa tajam, seperti ditusuk-tusuk,
hilang timbul. Terjadi beberapa kali dalam sehari. Pasien terkadang juga mengeluh
terasa nyeri pada bagian tersebut saat sedang digaruk, bergesekan dengan pakaian,
tapi hal itu jarang terjadi. Nyeri yang dirasakan pasien juga bisa terjadi kapan saja dan
tidak dipengaruhi aktivitas atau gerakan. Demam (-), sesak (-). Pusing (-). Pasien
sering mengeluh susah tidur karena sering nyeri di malam hari.
3. Riwayat penyakit dahulu:
Riwayat jatuh/trauma (-), riwayat penyakit paru-paru/batuk lama (-),
riwayat diare berkepanjangan (-). riwayat terkena penyakit kulit di lokasi nyeri 5
bulan yang lalu. Penyakit kulit berbentuk plentingan merah-merah, berair, terasa gatal
dan nyeri. Sejak saat terkena penyakit kulit hingga sekarang, nyeri tidak pernah
hilang.
4. Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama.
5. Riwayat pengobatan
Sejak saat sakit kulit sampai sekarang, pasien berobat ke bidan 4 kali. Penyakit
kulit menghilang, namun nyeri tetap ada. Pasien sering mengkonsumsi
dexametasone tablet dan asam mefenamat (beli sendiri di toko). Lalu pasien
berobat ke PKM maron, dan di rujuk ke poli saraf RS Waluyo Jati
4. Thorax
1. Kulit :
lesi (-)
2. pemeriksaan neurologi :
fungsi motorik : atrofi otot (-), hipertrofi otot (-), tonus dbn, kekuatan
otot 5 di semua extremitas
fungsi sensorik :
Dextra Sinistra
2. Paru-paru
Inspeksi : gerak dada D = S
Palpasi :
FR N N
N N
N N
Perkusi :
S S
S S
Auskultasi : S S
SN Ves Ves RH - - WH - -
Ves Ves - - - -
Ves Ves - - - -
3. Jantung : S1S2 tunggal,
murmur (-), gallop (-)
5. Abdomen :
Cembung, bising usus (+)N, timpani, soepel, nyeri tekan (-)
6. Genitalia : dalam batas normal
7. Ekstrimitas : akral hangat, kering, CRT < 2 detik, edema (-/-), deformitas (-)
D. DIAGNOSIS/ASSESMENT
Post Herpetik Neuralgia
E. PLANNING
Planning terapi :
1. Terapi medikamentosa :
PDA 2x1
Depakote 250 mg 2x1
Sohobion 1x1
2. Terapi nonmedikamentosa
TENS
Planning monitoring :
Keluhan
Vital sign
Planning edukasi :
Menjelaskan tentang perjalanan penyakit pasien, rencana tatalaksana dan komplikasi
yang mungkin muncul.
Menjelaskan bahwa pengobatan akan berlangsung lama serta prognosa dari penyakit
pasien
Menjelaskan bahwa kepatuhan pengobatan ke dokter menunjang keberhasilan
pengobatan.
NEURALGIA PASCA HERPETIKA
Definisi
Neuralgia ini dikarakteristikan sebagai nyeri seperti terbakar, teriris atau nyeri
yang menetap setelah onset ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster).2
Epidemiologi
Sebagian besar insidens herpes zoster dan neuralgia paska herpetika didapatkan
data dari Eropa dan Amerika Serikat. Sedangkan belum didapatkan angka insiden di Asia,
Pada penderita herpes zoster hampir 100 persen pasien mengalami nyeri, dan 10-
70 persennya mengalami neuralgia pasca herpetika. Nyeri lebih dari 1 tahun pada
penderita berusia lebih dari 70 tahun dilaporkan mencapai 48%. Anak antara usia 5 dan 9
tahun mengambil 50% dari semua kasus, kebanyakan kasus lain timbul antara usia 1 dan
4 tahun serta 10 dan 14 tahun. Sekitar 10% diatas usia 15 tahun. Pada penderita HIV atau
dengan leukemia dilaprkan 50-100 kali lebih banyak dibandingkan dengan kelompok
Etiologi
Virus zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi
manusia.Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari sebuah
icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid. Di tengahnya terdapat DNA
untai ganda. Virus varicella zoster memiliki diameter sekitar 180-200 nm.1,3
1
Analisis endonuklease terbatas atas DNA virus pasien varicella yang kemudian
Gambar 7.
2
Virus Varisella zoster, virus ini menyebabkan penyakit varicella dan untuk reaktivasi
selanjutnya akan menyebabkan pnyakit zoster.Setelah infeksi primer, virus ini akan tetap
berada di dalam akar saraf sensorik untuk hidup. Setelah reaktivasi, virus bermigrasi ke saraf
sensoris pada kulit, menyebabkan ruam karakteristik dermatomal yang menyakitkan. Setelah
resolusi, banyak individu terus mengalami nyeri pada distribusi dari ruam (postherpetic
neuralgia).2
Faktor Resiko
usia, nyeri yang hebat pada fase akut herpes zoster dan beratnya ruam HZ. Dikatakan bahwa
ruam berat yang terjadi dalam 3 hari setelah onset herpes zoster, 72% penderitanya
mengalami neuralgia paska herpetika. Faktor resiko lain yang mempunyai peranan pula
dalam menimbulkan neuralgia paska herpetika adalah gangguan sistem kekebalan tubuh,
Patogenesis
Periode inkubasi virus Varisella zooster sekitar 14-16 hari setelah paparan awal. Setelah infeksi primer dilalui, virus ini bersarang di ganglia akar dorsal, hidup
3
The enveloped virus creates the chickenpox rash and can travel from the
skin to sensory nerves. Once in the sensory nerves, the virus moves to the
from the sensory ganglia back to the skin where it creates the shingles
rash.
Gambar 8.
Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisella
zoster yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan dalam pencegahan
pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan mekanisme tidak diketahui.
Hilangnya imunitas seluler terhadap virus dengan bertambahnya usia atau status
imunokompromis dihubungkan dengan reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan
di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan dan telah
mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini bereplikasi menyebabkan
pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang
dikenal dengan nama‘Lipschutz inclusion body. Pada ganglion kornu dorsalis terjadi proses
peradangan, nekrosis hemoragik, dan hilangnya sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf perifer
dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan dapat menimbulkan
demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis. Proses perjalanan virus ini
4
menyebabkan kerusakan pada saraf. Beberapa perubahan patologi yang dapat ditemukan
1. Reaksi inflamatorik pada beberapa unilateral ganglion sensorik di saraf spinal atau
saraf kranial sehingga terjadi nekrosis dengan atau tanpa tanda perdarahan.
2. Reaksi inflamatorik pada akar spinal dan saraf perifer beserta ganglionnya.
3. Gambaran poliomielitis yang mirip dengan akut anterior poliomielitis, yang dapat
dibedakan dengan lokalisasi segmental, unilateral dan keterlibatan ‘dorsal horn’, akar
dan ganglion.
4. Gambaran leptomeningitis ringan yang terbatas pada segmen spinal, kranial dan
5
Mekanisme nyeri
jaringan
Pada jenis I, pukulan, cubitan pada tubuh dan lain sebagainya akan menyebabkan
timbulnya persepsi nyeri. Bila stimulasi yang terjadi tidak menyebabkan terjadinya
lesi, maka rasa nyeri yang terjadi hanya dalam waktu singkat.
Pada jenis II, adalah jenis nyeri oleh karena terjadinya inflamasi jaringan atau dikenal
sebagai nyeri nosiseptif. Ciri khas dari inflamasi ialah terjadinya kalor, rubor, dolor
dan fungsiolaesa.
Pada Jenis III, dikenal sebagai nyeri neuropatik. Lesi saraf tepi atau sentral akan
mengakibatkan hilangnya fungsi seluruh atau sebagian dari sistem saraf tersebut. Lesi
saraf menyebabkan perubahan fungsi neuron sensorik yang dalam keadaan normal
melalui perubahan molekuler, sehingga aktivitas sistem saraf aferen menjadi abnormal
1. aktivitas ektopik
6
2. sensitisasi nosiseptor
Allodinia adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal (secara normal
biasanya berupa sentuhan halus atau raba normal dirasakan normal, tetapi pada
adanya: 1,10,11
nyeri neuropatik hal ini berlangsung terus dikarenakan sumber impuls datang
inhibisi (hal ini diperkirakan oleh karena kematian sel-sel inhibisi) .Sehingga
merupakan tipe nyeri neuropatik akibat kerusakan pada saraf tepi dan perubahan
proses signal sistem saraf pusat. Aktivasi simpatis (sistem saraf otonom) yang intens
pada area kulit yang terlibat merupakan akibat dari proses inflamasi (peradangan) akut
7
yang menyebabkan vasokonstriksi (penciutan pembuluh darah), trombosis
dari saraf tersebut.10 Pasca cedera saraf, terjadi pelepasan impuls saraf tepi secara
spontan, ambang aktivasi yang rendah dan respon berlebih terhadap rangsangan.
Pertumbuhan akson (serat saraf) baru setelah cedera tersebut membentuk saraf baru
Aktivitas perifer (saraf tepi) yang berlebihan tersebut diduga sebagai pencetus
perubahan sifat saraf, sebagai akibatnya, terjadi respon sistem saraf pusat yang
berlebihan terhadap segala rangsang. Perubahan yang terjadi ini sangat kompleks
sehingga mungkin tidak dapat diatasi dengan satu jenis terapi saja.11
yang “dipertahankan” oleh sistem saraf otonom (simpatis) atau oleh hormon
katekolamin yang bersirkulasi. Nyeri neuropatik didiagnosis sebagai tipe SMP bila
pemberian obat bius lokal). Terdapat beragam nyeri neuropatik yang bisa mencakup
SMP ini, diantaranya phantom pain, complex regional pain syndrome, neuropati
metabolik, neuralgia dan herpes zoster sendiri. Namun bagaimana mekanisme SMP
terjadi, sampai sekarang masih belum dapat dijelaskan walau telah banyak hipotesis
diakibatkan dari perlukaan saraf perifer sehingga terjadi perubahan proses pengolahan
sinyal pada sistem saraf pusat. Saraf perifer yang sudah rusak memiliki ambang
juga mengalami perubahan kepekaan. Aktivitas saraf perifer yang berlebihan tersebut
8
menimbulkan perubahan berupa hipereksitabilitas kornu dorsalis sehingga pada
akhirnya menimbulkan respon sistem saraf pusat yang berlebihan terhadap semua
rangsang masukan/ sensorik. Perubahan ini berjalan dalam berbagai macam proses
Menurut Fields, terdapat dua tipe penilaian terhadap derajat dan luasnya
gangguan sensorik pada pasien neuralgia paska herpetika. Fase iritasi, dimana
gangguan sensorik (allodinia / hilangnya sensorik) terbatas pada lesi kulit dan fase
deaferentasi dimana gangguan sensorik meluas dari batas lesi kulit. Pada fase iritasi,
penggunaan terapi anastetik lokal intra dermal lebih berguna dibandingkan dengan
tipe deaferentasi.2,3
Pada otopsi pasien yang pernah mengalami herpes zoster dan neuralgia paska
herpetika ditemukan atrofi kornu dorsalis, sedangkan pada pasien yang mengalami
herpes zoster tetapi tidak mengalami neuralgia paska herpetika tidak ditemukan atrofi
kornu dorsalis.1
Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala prodromal rasa
terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit sesuai dengan dermatom
yang terkena. Biasanya keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala,
mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi
9
Gambar 10. Reaktivasi infeksi virus Varicella zoster
Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang ophtalmicus saraf
Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai gejala
10
konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal berlangsug 1 sampai 4 hari
sebelum kelainan kulit timbul. Fotofobia, banyak kelar air mata, kelopak mata
Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian
ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai erupsi herpetik
Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
11
Gambar 14. Herpes zoster brakialis sinistra.
Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
12
Gambar 16. Rash hipopigmentasi pada lesi postherpetik dermatome torakalis
Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
13
Gambar 18. Herpes zoster sakralis dekstra.
Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat
penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai
mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit
dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes zoster dapat dikurangi dengan pemberian
Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat sangat
rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri
yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood
sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka
panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum
timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti
rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia
yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/
14
tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/
normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus
- Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung <
4 minggu
- Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan
- Neuralgia paska herpetika: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit
atau 3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster. Nyeri digambarkan sebagai rasa
sentuhan ringan seperti pada pakaian atau seprei tempat tidur menimbulkan rasa nyeri
tajam yang sangat mengganggu pasien. Gangguan nyeri ini dapat menganggu pasien
dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi atau saat berpakaian atau saat
tidur. Keluhan sensorik lain yang dapat timbul berupa rasa baal daerah lesi, sensitif
Pemeriksaan Penunjang
15
4. Pleositosis ditemui pada 46% kasus, peningkatan protein 26% dan DNA VZV 22%
kasus.
3.8. Terapi
Secara umum terapi yang dapat kita lakukan terhadap kasus penderita dengan
neuralgia paska herpetika dibagi menjadi dua jenis, yaitu terapi farmakologis dan
Tiga hal yang perlu menjadi perhatian khusus dalam upaya terapi NPH adalah:
(1) memberi analgesia, (2) mengurangi depresi dan kecemasan dan (3) mengurangi
insomnia. Strategi terapi selalu difokuskan pada pencegahan, mengingat sekali NPH
terjadi maka akan sangat sulit dilakukan terapi. Sejumlah modalitas terapi perlu
terhadap terapi (usia lanjut, efek samping dan komplikasi-komplikasi terapi yang bisa
terjadi). Obat-obatan harus dipertimbangkan dengan dosis minimal yang efektif serta
Terapi farmakologis:
16
Analgesik
baik. Tramadol telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik. Bekerja
serotonin. Pada sebuah penelitian, jika dosis dititrasi hingga maksimum 400 mg/hari
dibagi dalam 4 dosis, tramadol terbukti lebih efektif dibanding plasebo dalam
pengobatan NPH. Namun, efek pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan terjadinya
amnesia pada orang tua. Hal yang harus diperhatikan bahwa pemberian opiat kuat
lebih baik dikhususkan pada kasus nyeri yang berat atau refrakter oleh karena efek
yang lebih baik dibandingkan plasebo dalam meredakan nyeri, allodinia, gangguan
tidur, dan kecacatan. Dosis yang digunakan maksimal 60 mg/hari pada NPH.1,2
Anti epilepsi
gated sodium channel dan kanal kalsium, 2) meningkatkan efek inhibisi GABA, dan
kalsium pada kanal kalsium, sehingga terjadi hambatan. Karena bekerja secara sentral,
lamotrigine bekerja pada akson terminal dengan memblokade kanal sodium, sehingga
terjadi hambatan.1
17
Pregabalin bekerja menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti
herpetika, neuropati diabetikorum dan pasien dengan nyeri CNS oleh karena trauma
medulla spinalis. Didapatkan pula hasil perbaikan dalam hal tidur dan ansietas.1
Anti depressan
(pengambilan kembali) norepinefrin dan serotonin. Obat ini dapat mengurangi nyeri
melalui jalur inhibisi saraf spinal yang terlibat dalam persepsi nyeri. Pada beberapa uji
reuptake saraf baik norepinefrin maupun serotonin. TCA telah terbukti efektif dalam
Efek samping TCA berupa sedasi, konfusi, konstipasi, dan efek kardiovaskular
seperti blok konduksi, takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini juga dapat
18
ortostatik. Anti depressan yang biasa digunakan untuk kasus neuralgia pot herpetika
Terapi topikal
ektopik spontan. Obat ini bekerja lebih baik jika kerusakan pada neuron hanya terjadi
sebagian, fungsi nosiseptor tetap ada, dan adanya jumlah kanal sodium yang berlebih.
merupakan obat yang sering diteliti dengan hasil yang baik dalam mengobati nyeri
neuropatik. Sebuah studi menunjukkan efek yang baik dengan penggunaan lidocaine
patch 5% untuk pengobatan NPH. Obat ini ditempatkan pada daerah simtomatik
selama 12 jam dan dilepas untuk 12 jam kemudian. Obat ini dapat digunakan selama
bertahun-tahun dan dipakai sebagai pilihan terapi tambahan pada pasien orang tua.1
capsaicin sampai saat ini adalah satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk neuralgia
paska herpetika. Capsaicin berefek pada neuron sensorik serat C (C-fiber). Telah
yang menginisiasi nyeri. Dengan dosis tinggi, capsaicin mendesensitisasi neuron ini.
Pada suatu uji klinik acak terkendali melibatkan 143 pasien neuralgia paska herpetika,
dilaporkan setelah pengobatan selama 4 minggu, 21% nyeri berkurang pada kelompok
kontrol (p<0.05). Tetapi sayangnya capsaicin mempunyai efek sensasi rasa terbakar
yang sering tidak bisa ditoleransi pemakainya ( 1/3 pasien pada uji klinik ini).1,2,3
19
Akupunktur
Terdapat beberapa penelitian mengenai terapi akupunktur untuk kasus neuralgia paska
tidak terlalu banyak dan terapi tersebut dikombinasi pula dengan terapi farmakologis.1
komplit pada beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi penggunaan TENS-pun
Perlu diingat, NPH sendiri merupakan komplikasi dari herpes zoster. Jika
herpes zoster dapat dicegah, tentunya NPH dapat dihindari. Untuk mencegah herpes
Jika penderita telah menderita herpes zoster, terapi sedini dan seagresif
serius dan sulit untuk diatasi. Terapi tersebut mencakup pemberian anti virus yang
Dari beberapa laporan penelitian didapatkan efektifitas yang cukup baik pada
20
mengurangi nyeri dan eritema, mencegah timbulnya lesi baru dan menyembuhkan
Komplikasi
Neuralgia Pasca Herpetik (NPH) sendiri merupakan salah satu komplikasi dari herpes
zoster. Yang perlu diperhatikan, NPH tidak berakibat fatal, walaupun penderita merasa nyeri
Tidak ada komplikasi secara fisik dari NPH. Tetapi tentunya secara sosial NPH sangat
mengganggu bagi penderitanya. Nyeri yang dirasakan oleh penderita sangatlah berat
sehingga penderita selalu merasa takut telah terjadi sesuatu yang parah pada tubuhnya. Disini
pentingnya penjelasan bagi penderita, karena ketakutan malah memperburuk nyeri yang
dirasa.1,2
Prognosis
menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu fungsi
sensorik.1,2
mungkin terjadi, namun selama pasien mempunyai daya tahan tubuh baik kemungkinan
21
KESIMPULAN
22
oleh rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan
hiperalgesia. yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia
yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti
terkena/ tersetrum listrik.
Tiga hal yang perlu menjadi perhatian khusus dalam upaya terapi NPH adalah:
(1) memberi analgesia, (2) mengurangi depresi dan kecemasan dan (3)
mengurangi insomnia. Strategi terapi selalu difokuskan pada pencegahan,
mengingat sekali NPH terjadi maka akan sangat sulit dilakukan terapi.
Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak
menyebabkan kematian. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena
setelah terapi didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik
seperti biasa. Prognosis ad sanactionam dubia ad bonam karena risiko
berulangnya HZ masih mungkin terjadi, namun selama pasien mempunyai
daya tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.
DAFTAR PUSTAKA
3. Mardjono, Mahar, Sidarta, Priguna. Neurologi Klinis Dasar. Penerbit Dian Rakyat.
Jakarta: 2004. Hal 21-26.
4. Duus, Peter. Diagnosis Topik Neurologi. EGC. Edisi 2. Jakarta. Hal 29, 44 Snell, S,
Richard.Neuroanatomi Klinik. EGC. Edisi 2. Jakarta. Hal 365-383.
5. Lumbantobing, S.M. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Balai Penerbit
FKUI : 2000. Hal 115-131.
23
6.
Snell RS. Neuroanatomi Klinik : Pendahuluan dan Susunan Saraf Pusat. 5th Ed.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2007. p. 1-16.
7. Sherwood L. Human Physiology : The Central Nervous System. 7th ed. Canada:
Brooks/ColeCengangeLearning:2010.p.176-79.availablefrom
http://www.cumc.columbia.edu/publications/invivo/Vol1_no7_apr15_02/varicella.hl
8. Canadian Paediatric Society. Chickenpox. 2009. Retrived April 6, 2009 available from
http://www.cps.ca/caringforkids/immunization/ChickenpoxFacts.htm.
9. University of Maryland Medical Center. 2009 Chicken pox and Shingles. Retrived
April 6, 2009 available
from:http://www.umm.edu/patiented/articles/how_serious_chickenpox_shingles_0000
82_4.htm
11. Singer, T Seymour. 2004. Placebo-induced changes in fMRI in the anticipation and
experience of pain. Science, 303, 1162-1167. Journal weblink:
http://www.sciencemag.org/
12. Silverthorn. Human Physiology : Homeostatis and Control. 5th Ed. San Fransisco:
Pearson;2010. p.449-57. The Fuctional Imaging Lab in London:
http://www.fil.ion.ucl.ac.uk/
13. Djuanda Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.Jakarta.2005.Harrison.PrinciplesofInternalMedicine.Avilablefrom:
http://www.consumersresearchcncl.org/Healthcare/Dermatologists/derma_chapter2.ht
ml
24