Anda di halaman 1dari 46

Materi Kuliah 1

AGAMA DAN KEBEBASAN BERAGAMA

1.1. AGAMA

1.1.1. Arti Kata Agama.


Kata Agama berasal dari bahasa Sansekerta, dari akar kata ‘gam’ = pergi; dan awalan ‘a’ = tidak;
maka secara harafiah, agama berarti ‘yang tetap’ atau ‘ yang tidak berubah’.
Dalam bahasa Kawi kuno, ‘agama’ dipakai untuk kitab hukum, kebiasaan keagamaan dan moral.
Di kemudian hari diartikan sebagai adat, upacara, panadangan hidup dan kepercayaan. Dalam
bahasa Arab, agama disebut ‘din’ = apa yang disayaratkan Allah dengan perantaraan nabi-nabi-
Nya, berupa perintah dan larangan, serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan di
akhirat. Kata ‘din’ menekankan segi yuridis. Dalam bahasa Sanksekerta, ‘dharma’ = ‘yang tetap’,
‘yang tak tergoyahkan’.

1.1.2. Apa itu Agama.

1.1.2.1. Deskripsi Umum Agama: Ungkapan hubungan manusia dengan Yang Ilahi atau ‘yang
melampaui manusia’ (transenden), ‘yang keramat/suci, kudus’. Kepada Yang Ilah, Yang Suci
itu manusia merasa kurang pantas, sama sekali tergantung, takut atau takwa karena sifatnya
yang dasyat (tremendum). Terhadap Yang Ilahi, atau Yang Suci itu manusia sekaligus merasa
terpesona, tertarik karena sifat-Nya yang mempesonakan (fascinosum) Namun lebih dari itu,
manusia mengalami ketergantungan kepada Yang Ilahi. Penganut dari masing-masing agama
menyebut-Nya dengan nama yang berbeda-beda. Misalnya: Allah, Tuhan, Sang Hyang Ada,
Tuhan Yang Maha Esa, Roh Tertinggi, Zat Yang Mutlak; dalam bentuk majemuk, disebut
Dewa-dewa atau dewa-dewi, ilah-ilah, dan sebagainya. Pengalaman akan yang kudus, Yang
Ilahi itu disebut dengan iman atau kepercayaan.

1.1.2.2. Deskripsi Agama dari Segi Moral.


Agama adalah kewajiban moral yang mendorong setiap manusia untuk menghormati Tuhan
sebagai pencipta dan Penguasa Tertinggi. Karena wahyu dari Yang Tertinggi inilah manusia
memberi jawaban yang tepat, yatu iman, dalam iman atau kepercayaan, manusia menerima
sabda Tuhan dan tunduk kepada-Nya dalam tindakan atau perbuatan.

1.1.2.3. Pengertian Agama Khusus atau Agama Katolik: Agama Katolik adalah ungkapan hubungan
manusia yang beriman kepada Allah, melalui Yesus Kristus, dalam Gereja Katolik yang kudus.
Ungkapan itui dilakukan karena manusia percaya bahwa Yang Kudus yang telah terlebih
dahulu mengambil prakarsa untuk mengasihi manusia, seperti tertulis oleh Yohanes: ”Kita
mengasih karena Allah lebih dahulu mengasihi kita” (! Yohanes 4:19). Karena itu Gereja
Katolik memahami agama sebagai ungkapan kasih manusiakepada Allah yang telah terlebih
dhulu mengasihi manusia. Oleh Allah, kasih itu dinyatakan dengan menciptakan manusia,
dengan memberikan kehidupan kepada manusia, dengan mengampuni dosa-dosa manusia,
dan lebih dari itu Allah memperbolehkan manusia mengenal siapa Dia. Karena manusia
dikasihi oleh Allah, maka kasih yang sama dijadikan dasar hubungan manusia yang satu
dengan yang lainnya. Maka agama juga merupakan ungkapan kasih manusia kepada
sesamanya, sehingga Matius menulis: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan
dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Danhukum yang
kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat
22:37-38).

1.2. MACAM-MACAM AGAMA DAN FUNGSI AGAMA.

1.2.1. Macam-macam Agama.

Jika ditinjau dari segi pendirinya dan bobot ajarannya, maka agama dapat dibedakan menjadi
dua macam, yakni:
a) Agama Kodrati/Alamiah.

1|Page
Pendirinya adalah manusia biasa, yang mecari penciptanya, yakni Tuhan, dan mau
memantapkan relasi dengan-Nya. Isi ajarannya berbobot manusiawi, demi kebaikan
manusia. Oleh karena itu, kebenaran-kebenaran yang diajarkannya dan yang dipercaya
bersifat kodrati, dapat ditangkap oleh budi manusia, sehingga dapa memberikan umpan
balik berupa berbudi pekerti luhur, mengusahakan ketentraman dan kesejahteraan
masyarakat. Hal ini jelas tampak dalam agama kebatinan.
b) Agama Wahyu
Pencipta Agama Wahyu adalah Allah sendiri yang memperkenalkan diri-Nya, kehendak-
Nya kepada manusia. Maka Tuhan, dalam Agama Wahyu ini, Allah yang mencari manusia.
Dengan demikian isi ajaran Agama Wahyu jauh berbeda dengan Agama Kodrati/Alamiah.
Dalam Agama Wahyu terdapat ajaran yang kebenarannya berbobot manusiawi dan ada
pula yang berbobot ilahi/adikodrati/supranatural. Sebagai contoh, Agama Kristen, di satu
sisi, mengajarkan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengalaman-pengalaman
hidup keagamaan yang dapat ditangkap dengan pencaindra, yang bisa dipahami oleh budi
manusia. Di sisi lain juga mengajarkan misteri-misteri ilahi yang mengatasi dunia
adikodrati. Misalnya: ajaran tentang Tritunggal Yang Mahakudus, Misteri Inkarnasi,
Sakramen-sakramen Gereja. Hal-hal ini seringkali sulit dipahami manusia, tetapi semua ini
disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Dengan demikian yang Allah menuntut dari
manusia adalah iman. Ini berarti manusia wajib mengakui semua itu sebagai benar,
menerimanya, menghayatinya, dan menyerahkan diri secara total penuh kehendak bebas
pada Allah pewahyu hal-hal tersebut melalui Sabda/Firman-Nya yang pasti benar.

1.2.2. Fungsi Agama.

Setiap pendiri agama yang mendirikan agama tentu mempunyai maksud dan tujuan demi
kepentingan para penganutnya dan umat manusia pada umumnya. Jadi agama-agama yang ada di
dunia tentu mempunyai fungsi, antara lain:

1.2.2.1. Fungsi Liberatif = Pembebasan

Dari pengalaman manusia dalam hidup beragama kita ketahui baik dalam agama kodrati
maupun dalam agama adikodrati, kedua-duanya memberikan pembebasan kepada para
penganutnya, meskipun cara dan hasilnya berbeda-beda. Kenyataan tersebut didasarkan atas
sendi-sendi dasar masing-masing agama, misalnya:
a) Agama kodrati/alamiah mengetengahkan tiga macam kesadaran kepada para penganutnya
bahwa:
 Keselamatan setiap manusia adalah nilai tertinggi.
 Setiap manusia terbelenggu oleh kekuatan-kekuatan jahat dalam dirinya dan dari luar
dirinya.
 Manusia harus dibebaskan dari belenggu-belenggu itu agar dapat berkembang sebagai
manusia yang bermartabat dan berbudi luhur.
Tugas pertama dan utama agama adalah memberi atau mengusahakan pembebasan dengan
sarananya: memiliki pengertian yang tepat dan benar tentang sebab musabab kejahatan,
menempu jalan tertentu untuk pengolahan kesempurnaan yang harus terpenuhi.
b) Agama wahyu yang mendasari diri pada beberapa butir sebagai pedoman dan penentu arah iman
kepercayaannya dalam/tentang hal ikhwal manusia, yaitu:
 Keselamatan manusia adalah nilai tertinggi yang adalah rencana Allah sendiri.
 Manusia terbelenggu oleh kekuatan dosa, akibat ulah manusia sendiri.
 Dengan dan oleh kekuatan sendiri manusia tidak akan mampu secara mutlak
membebaskan diri dari dosa dan berdamai dengan Tuhan.
 Pembebasan manusia dikerjakan oleh Allah sendiri yang penuh belas kasih dalam diri
Putra Tunggal-Nya Yesus Kristus, Allah dan manusia.

2|Page
 Buah pembebasan Kristus adalah penghapusan dosa dan rehabilitasi /pemugaran/
pembenaran manusia yang sempurna adalah manusia yang mau dan ikhlas mengikuti
ajaran dan teladan Tuhan Yesus Kristus. Sedangkan agama wahyu non Kristen
mengajarkan bahwa pembebasan itu datangnya dari Allah. Syaratnya manuia harus taat
dan setia kepada-Nya.

1.2.2.2. Fungsi Edukatif Umat Manusia

Agama-agama juga berfungsi untuk mendidik para penganutnya agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan, melalui pengajaran agama. Materinya adalah isi iman yakni kebenaran-
kebenaran yang harus diimani agar dapat hidup baik dan benar di hadapan Tuhan dan sesama.

1.2.2.3. Fungsi Integratif = Mempersatukan

Sejarah dunia dan sejarah para bangsa terus menerus mencatat bahwa umat manusia ini dari zaman
ke zaman lebih sering tercerai berai dari pada bersatu padu. Permusuhan dan peperangan antar suku
bangsa terus terjadi. Padahal kita kini hidup dalam era globalisasi dan komunikasi, sehingga dunia
semakin kecil, mesti kita harus semakin merasa bersatu sebagai saudara. Sumber perpecahan ini
adalah dosa dunia (Kej. 3:1).

Persatuan dan kesatuan adalah dambaan setiap insan dan semua umat manusia, bila ini tercapai,
umat manusia dapat mengalamai indahnya hidup dalam suasana yang rukun, damai, dan bahagia.
Usaha-usaha untuk mewujudkan kerukunan, damai sejahtera, dan bahagia sedang dan akan terus
diupayakan baik antar suku, agama, ras dan juga antar bangsa. Namun demikian peperangan,
perselisihan, ketegangan terus saja dialami. Bagaimana pun juga para pemimpin bangsa dan agama
terus-menerus mengupayakan hal ini.

Demi memperjelas fungsi ini, kita ambil contoh fungsi agama Kristen. Agama Kristen memiliki
keunikan tersendiri, yakni:
a) Dasar Utama Integrasi
Dasar utama dan pertama bagi agama Kristen untuk mengintegrasikan umat manusia
adalah ajaran pokok dan utama agamanya adalah: Iman dan Cinta Kasih. Menurut Agama
Katolik, iman adalah kepercayaan kepada Allah, dalam dan melalui Yesus Kristus, yang sungguh-
sunguh Allah dan sungguh-sungguh manusia, yang diakui/diimani sebagai Tuhan dan Juruselamat
umat manusia. Dalam iman atau keyakinan yang khas ini, Agama Katolik mendasarkan diri pada
kesatuan dengan Allah dan menjadikannya sebagai dasar kesatuan dan persatuan umat/bangsa
manusia yang berbeda-beda. Dengan demikian, umat Kristiani di seluruh dunia dapat hidup
berdampingan dengan umat dari agama lain yang mengakui Tuhan Yang Mahaesa. Gerakan yang
terkenal untuk integrasi ini, sejak Konsili Vatikan II sudah dicanangkan dalam gerakan ekumene.
Demikian juga rasa persatuan dan kesatuan umat Kristiani khususnya dengan sesama umat
manusia dari agama manapun dan dari bangsa manapun sudah terungkap jelas dalam artikel
Gaudium et Spes artikel I, Konstitusi Pastoral, yang menyatakan: “Kegembiraan dan harapan,
duka dan kecemasan manusia dewasa ini, terutama yang miskin dan terlantar, adalah
kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan murid-murid Kristus pula.” Dengan demikian,
menjadi jelas bahwa setiap orang Kristiani seyogyanya menjadi solider dengan siapa saja dari
suku dan agama manapun, terutama dengan mereka yang miskin dan terlantar.

3|Page
Kasih sejati dijadikan dasar untuk menjalin persatuan dan kesatuan. Kasih sejati tidak
pernah memberi ruang untuk pertikaian dan permusuhan yang pada gilirannya akan menjadi
sebab perpecahan.
b) Hasil integrasi
Untuk mencegah terjadinya perpecahan atau peperangan antar suku, agama, dan antar bangsa,
maka setiap agama perlu mewajibkan diri mengupayakan langkah-langkah berikut:
 Mengadakan introspeksi ke dalam
 Meningkatkan semangat ekumenis
 Mengadakan dialog secara jujur antar agama

1.2.2.4. Fungsi Kritis-Profetis

Beriman dalam agama apa saja, bukan hanya soal hati, tetapi juga soal pikiran/akal budi. Orang
yang percaya adalah orang yang bersikap kritis terhadap isi kebenaran yang diwartakan dalam ajaran
agamanya dan terhadap dirinya sendiri serta kelompoknya. Kristis terhadap isi kebenaran agama berarti
harus bisa menyaring sari dari ajaran agama, apakah itu sungguh berasal dari Tuhan atau dari manusia?
Dan setelah orang menerima ajaran agamanya, ia harus bertanya apakah ia sungguh-sungguh memahami
isi ajarannya? Bersikap kritis itu perlu agar orang jangan sampai percaya akan sesuatu yang tidak benar
atau tersesat. Bersikap kritis terhadap agama juga perlu agar orang mampu mempertanggungjawabkan
apa yang ia percaya atau imani. Bagi orang Kristen, Ia pada akhirnya percaya akan Allah yang telah
menyatakan dirinya lewat perkataan-Nya, lewat perbuatan-Nya dan lewat karya-Nya. Allah yang telah
menyatakan diri-Nya melalui Yesus Kristus Putra-Nya.
Bersikap kritis hendaknya bernada profetis. Maksudnya orang tidak hanya mempercayai apa yang
harus dipercaya sebagai benar dan tepat, tetapi yang benar dan tepat dalam iman itu juga benar-benar
nyata dihayati dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi maupun secara bersama-
sama/bermasyarakat. Seringkali kebenaran-kebenaran Allah terbatas dalam ajaran setiap agama hanya
sebatas pemahaman akal budi tanpa penghayatan dan perwujudannya dalam kehidupan konkrit-nyata.
Kata profetis berasal dari kata Latin yakni: Propheta artinya Nabi, dari bahasa Inggris: Prophet
artinya Nabi. Profetis erat kaitannya dengan sifat, karakter kenabian. Nabi adalah juru bicara Allah, yang
tidak hanya mampu mengerti dan mampu mengkomunikasikan pesan Allah kepada umat manusia, tetapi
berani dan mampu mengoreksi, mengeritik bila ada penyimpangan, penyalagunaan kedudukan/jabatan
di tengah umat, dan mampu meramalkan akibat-akibatnya, sehingga pada akhirnya orang mau
memperbaiki tingkah lakunya dan bertobat. Semua itu dilakukan seorang nabi demi keselamatan dan
kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu kurang seimbang bila hanya menjadi orang
beragama yang kritis saja atau profetis saja, tetapi kedua-duanya, yakni: kritis dan profetis.

1.2.2.5. Fungsi Sosial

Setiap agama, melalui ajaran dan petunjuknya berupaya mendidik, menuntun umat agar
hidupnya sesuai/selaras dengan kehendak Allah yang diimaninya. Seorang Katolik diharapkan melalui cara
hidup dan tingkah lakunya, ia bisa dikenal sebagai seorang Katolik dan juga dikenal sebagai orang baik
(berperilaku baik) di tengah masyarakat. Seringkali terjadi orang hanya ingin dikenal sebagai orang baik
tetapi tidak ingin dikenal sebagai orang Katolik atau sebaliknya, ingin dikenal sebagai orang Katolik tetapi
tidak dibarengi dengan tingkah laku yang baik.
Fungsi sosial agama ini hendaknya sudah dimulai sejak dini, mulai dari keluarga. Keluarga adalah
pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Orangtua hendaknya menjadi teladan memberi contoh
hidup yang baik bagi anak-anaknya. Selain keluarga/orangtua, lembaga keagamaan, para tokoh agama

4|Page
juga seyogyanya menjadi panutan, teladan bagi umatnya. Orangtua dan tokoh agama mempunyai
kewajiban moral dalam menanamkan nilai-nilai Kristiani bagi generasi muda atau umatnya. Dengan
demikian agama-agama, khususnya agama Katolik dapat memiliki daya ikat dan daya pikat bagi umatnya
di zaman ini.

1.3. KEBEBASAN BERAGAMA.

Pada hakikatnya, manusia memiliki dalam dirinya sendiri tiga kemampuan dasar yakni:
kemampuan berpikir/akal budi, kemampuan berkehendak bebas, dan kemampuan untuk bertindak.
Dengan tiga kemampuan dasariah ini manusia baik secara pribadi, maupun secara bersama-sama
mencari dan menemukan makna hidupnya, semakin memberi arti, nilai dan makna konkret bagi
adanya dan keberadaanya dalam kehidupan di dunia ini. Dengan demikian, harus dikatakan bahwa
manusia mempunyai kebebasan memilih dan melaksanakan pilihannya, khususnya yang berkaitan
dengan kehidupan agamanya. Seseorang bisa memutuskan berdasarkan kehendaknya yang bebas,
baik secara fisik maupun secara moral, tanpa dipaksakan oleh siapapun. Paksaan secara fisik berupa
ancaman, kekerasan, siksaan, merusak bangunan rumah atau rumah ibadah. Sedangkan paksaan
secara moral seperti bujukan secara terus menerus, memberi bantuan dengan mengharapkan
pamrih, sehingga sukar untuk ditolak, mempersulit seseorang dalam meniti karir, ejekan, sindiran,
dll.

Sehubungan dengan Kebebasan Beragama, topik-topik yang akan dibicarakan :


1. Dasar-dasar Kebebasan Beragama.
2. Tinjau Etis Larangan Penyebaran Agama.
3. Syarat-syarat Bagi Kerukunan dan Perdamaian Menurut Konsili Vatikan II.

1.3.1. Dasar-dasar Kebebasan Beragama.


Dasar-dasar kebebasan beragama adalah:

a. Kodrat Manusia Sendiri.

Kodrat manusia adalah kenyataan manusia sendiri, yakni manusia yang memiliki
akal budi dan kehendak bebas. Martabat manusia ini bukanlah buatan manusia tetapi
merupakan anugerah dari Tuhan sendiri. Jadi, memang beralasan jika orang mengatakan
bahwa kebebasan beragama itu berasal dari Tuhan sendiri. Maka perlu ditandaskan
bahwa hak atas kebebasan beragama tidak pertama-tama didasarkan pada keadaan
subyektif pribadi, melainkan pada kodrat pribadi manusia itu sendiri. Oleh karena itu
hak atas kebebasan beragama identik dengan hak atas kekebalan baik dalam diri
manusia secara pribadi maupun dalam diri sesama. Dengan demikian, pelaksanaan hak
dan kewajiban keagamaaan tidak dapat dihalang-halangi baik langsung maupun tidak
langsung, sejauh pelaksanaannya tidak mengganggu ketertiban umum atau ketenangan
masyarakat setempat.

b. Saripati Agama.

Sari pati agama adalah Iman dan Kasih. Iman tidak dapat dipaksakan dan
tidak dapat memaksa. Demikian halnya juga dengan kasih. Ia tidak dapat memaksakan
dan tidak dapat dipaksa. Iman dan kasih hanya akan berkembang atas dasar keikhlasan
yang tulus dan murni dari segala tekanan dan paksaan. Iman dan kasih yang dipaksakan
akan kehilangan maknanya, atau keasliannya yang khas pribadi, atau pemerkosaan hak
asasi pribadi. Dengan demikian, agama yang dipaksakan akan membuat agama itu
menjadi semacam alat atau adat-istiadat yang dianut oleh banyak orang sehingga dapat
mengakibatkan hilangnya hakekat agama itu sendiri. Agama yang benar selalu menuntut
keikhlasan hati nurani manusia. Bdk 2 Tim 1:17 “Bukannya Roh ketakutan yang kita
terima dari Allah, melainkan Roh kekuatan hati, cinta kasih dan penguasaan diri.”
Dengan kata lain, dalam kebijaksanaan-Nya yang mengatur, memimpin,
bahkan mengikutsertakan manusia dalam hukum-Nya sedemikian rupa sehingga

5|Page
manusia mampu mengenal kebenaran yang tak berubah dan berkewajiban bahkan
berhak untuk mencari kebenaran Allah di dalam agama yang dipilih dan diautnya demi
pembentukan hati nuraninya. Secara tepat dan benar sebagai jawaban atau persetujuan
pribadinya.

c. Dokumen-dokumen Kebebasan Beragama.

Dalam kuliah ini hanya disinggung beberapa dokumen saja agar kebebasan
beragama yang dimaksud lebih dipahami dan disadari serta dilaksanakan secara murni
dan konsekuen. Dokumen-dokumen itu adalah:

1) Dokumen International.

Deklarasi hak-hak asasi manusia (Declaration of human rights),10


Desember 1948, khususnya pasal 18 dan 19, berbunyi: “Setiap orang
berhak atas kebebasan pikiran, keinsafan batin dan agama, dlam hal ini
termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaannya dan kebebasan
untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara
mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan menempatinya, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum
maupun yang tersendiri.”

2) Deklarasi Kebebasan Beragama.

Konsili Vatikan II 7 Desember 1965, memperdalam dasar kebebasan


beragama menurut Wahyu Ilahi dan menyatakan: “Kepada Allah yang
mewahyukan harus diberi “ketaatan iman” (Bdk Rom 16:26; Rom 1:5; 2
Kor 10:5-6). Dengannya mansia secara bebas menyerahkan seluruh
dirinya kepada Allah sambil mempersembahkan “ketaatan akal budi dan
kehendak sepenuhnya kepada Allah Pewahyu” dan menyetujuinya denga
rela Wahyu yang diberikan-Nya. Supaya iman ini ada perlulah uluran
tangan dan bantuan rahmat Allah serta pertolongan batin Roh Kudus, yang
menggerakkan dan mengarahkan hati kepada Allah, membuka mata budi
serta memberikan “kepada semua orang kenikmatan dalam menyetujui
dan mengimani kebenaran.” Agar pemahaman Wahyu menjadi semakain
mendalam, Roh Kudus yang sama menyempurnakan iman terus-menerus
melalui anugerah-anugerah-Nya.” (Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu
Ilahi, Art. No. 5).
Konsili Vatikan II, 1965, dalam dokumen ini menjelaskan bahwa salah satu
pokok terpenting dari ajaran Katolik adalah bahwa manusia dalam iman
harus memberi jawaban kepada Allah Pewahyu dengan rela. Karena itu tak
seorang pun boleh memakasa atau dipaksa untuk memeluk agama atau
keyakinannya, karena itu bertentangan dengan kehendak bebas manusia
itu sendiri.
Konsili Vatikan II, 1965 dalam “Deklarasi Tentang Kebebasan Beragama,
Art. No. 2, menyatakan bahwa hak atas kebebaan beragama, sesungguhnya
berdasarkan martabat pribadi manusia sendiri, sebgaimana diketahui baik
dari sabda Allah yang diwahyukan maupun dari akal budi sendiri. Hak
pribadi manusia atas kebebasan beragama ini harus dikaui di dalam tata
hukum negara sedemikian rupa, sehingga ia menjadi hak kewargaan.
Sesuai dengan martabatnya, maka semua manusia yang merupakan
pribadi yakni yang dikaruniai akal budi dan kehendak bebas dan karena itu
diberi tangungjawab pribadi, didorong oleh kodratnya sendiri serta
diharuskan oleh kewajiban moral, untuk mencari kebenaran terutama
kebenaran yang menyangkut agama. Mereka harus juga mengikuti
kebenaran yang diketahuinya dan menata seluruh hidupnya sesuai dengan
tuntutan-tuntutan kebenaran.
6|Page
Dalam Dokumen yang sama art. No. 11, dikatakan: “Allah memanggil
manusia untuk mengabdi-Nya dalam roh dan kebenaran, karena itu
mereka terikat dalam hati nuraninya tetapi tidak dipaksa. Karena Allah
memperhitungkan martabat pribadi manusia yang telah Ia ciptakan dan
yang harus dibimbing oleh pertimbangannya sendiri serta harus
menikmati kebebasan. Hal ini nampak sangat jelas dalam Yesus Kristus,
dalam Siapa Allah menyatakan diri-Nya dan jalan-jalan-Nya secara
sempurna. Karena Kristus Yang adalah Guru dan Tuhan kita, Yang lembut
dan rendah hati, telah memikat dan mengundang murid-murid-Nya
dengan sabar.”

Dengan demikian, dokumen-dokumen di atas menyumbangkan hal penting


untuk kebebasan beragama, karena mau menghilangkan pandangan kolot
tentang kebebasan beragama di dalam Gereja Katolik sendiri dan
menghilangkan tindakan-tindakan masa lampau yang menyalahi prinsip
kebebasan terhadap golongan non Kristen.

3) Dokumen Nasional.

Untuk mendapatkan masukan-masukan bagi kita mengenai dasar-dasar


kebebasan beragama, selain kedua dokumen di atas, maka dokumen
nasional akan memperkuat argumentasi pernyataan kita tentang
kebebasan beragama, lewat ketiga masukannya, yakni:

 Undang-undang dasar 1945, pasal 29, secara tegas mengakui


kebebasan beragama, dengan merumuskan: (1) Negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya atau
kepercayaannya itu. Itulah landasan konstitusi di negara kita.
 Keputusan atau penetapan: (1) Tap MPRS Juni 1966, No. 27, dengan
tegas menyatakan: a. Semua agama yang diakui pemerintah diberi
kesempatan yang sama, b. Untuk toleransi atas dasar hal-hak asasi
manusia, setiap mahasiswa bebas memilih agama menurut
keyakinan atau keinginannya. (2) Tap MPR No. 11/MPR/1978,
tentag P4 (EKAPRASETYA PANCAKARSA) secara jelas mengatur
sikap-sikap hormat-menghormati dan bekerjasama antar
pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda,
sehingga selalu dapat dibina kerukunan hidup di antara semua
umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

1.3.2. Tinjauan Etis Larangan Penyebaran Agama.


Tinjauan etis pada bagian ini berkaitan dengan adanya larangan penyiaran agama kepada
orang atau golongan yang telah memeluk suatu agama. Sebab persoalannya adalah: apakah
larangan tersebut sebagai prinsip dapat dibenarkan, sebagai kode etik yang baik?
a. Dasar pertimbangannya.
Jawaban terhadap persoalan di atas, membutuhkan jawaban-jawaban berbobot dan etis,
sebab persoalannya sangat peka, berhubungan dengan hak azasi dan kebebasan
manusiawi kita. Adapun pertimbangan-pertimbangan yang digunakan adalah:

1) Prinsip kebebasan beragama.


Kiranya cukup jelas apa yang diuraikan di atas tentang hal ini, yakni prinsip
kebebasan beragama itu erat berhubungan dengan kodrat manusia sebagai makluk
ciptaan Tuhan.

2) Pesan universal dari agama sendiri.

Agama-agama universal merasa mendapat mandat dari pendirinya untuk


menyebarkan agama kepada semua orang dari suku, agama, ras, dan kebudayaan
7|Page
apapun. Agama Kristen, misalnya: Agama ini merasa mendapat mandat dari
pendirinya, yaitu Yesus Kristus, lewat sabda-Nya: “Pergilah ke seluruh dunia,
maklumkanlah Injil kepada seluruh makluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan
diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum” (Mrk 16:15-16). Di teks
Injil yang lain, Yesus mengatakan: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga
dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah
mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan
segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah Aku menyertai
engkau sampai kepada akhir zaman” (Mat 28:18-20). Di sini jelas bahwa sasaran
penyiaran/penyeberan agama Kristen adalah para bangsa di seluruh dunia, tanpa
pandang dan mempersoalkan siapa yang menjadi sasarannya, apa agamanya. Dengan
demikian agama Islam yang merasa dirinya mendapatkan perintah untuk melakukan
da’wah, seperti yang tercantum dalam surat SABA, XXXIV:28 “Dan kami tidak
mengutus engkau (Muhammad) melainkan kepada semua umat manusia sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanykan manusia
tidak mengetahui.” Para ahli tafsir Islam menyadari bahwa nabi Muhammad diutus
untuk segenap bangsa dan bahwa agama Islam dikirim untuk seluruh dunia sampai
akhir zaman. Jadi dapatlah disimpulkan bahwa di mana ada perintah universal di situ
ada hak dan kewajiban universal pula, yaitu mengajarkan agamanya kepada semua
orang dari segala bangsa dan dari segala zaman, di segala tempat di dunia ini.

Dalam hubungan dengan ini dapat dipertanyakan lebih lanjut: Apa yang dapat
dibatasi dan apa yang tida dapat dibatasi dari hak penyebaran agama? Yang dapat
dibatasi adalah: terbatas pada cara-cara menyampaikan ajaran agama, yakni cara-
cara yang bertentangan dengan martabat manusia yang adil dan beradab. Oleh
karena itu harus dihilangkan cara-cara yang tidak pantas untuk mewartakan
kebenaran, misalnya intimidasi, tekanan-tekanan dari dan terhadap kelompok
tertentu, merusak tempat atau gedung ibadah agama lain, menarik atau membujuk
calon pengikut dengan memberi jabatan atau hadiah berupa materi. Dan yang tidak
dapat dibatasi adalah: sasaran dari penyebaran itu. Sasarannya adalah semua
manusia. Jadi golongan yang telah memeluk agama lain termasuk juga sasaran dari
hak penyebaran agama. Melarang penyebaran agama berarti menentang perintah
dan pemberian mandat/amanat sendiri.

3) Fakta historis penyiaran agama masa lampau.

Berdasarkan hak azasi dan mandat universal dari agama-agama, maka sejarah
membuktikan bahwa agama yang universal tidak membatasi misi atau da’wah
kepada bangsa dan untuk bangsa tertentu saja. Hanya caranya harus santun, terpuji
dan menjunjung tinggi martabat manusia. Hal ini dapat dibuktikan antara lain:

 Pewarta-pewarta Kristen Yahudi abada pertama sudah mulai menyiarkan


Injil Yesus Kristus kepada para bangsa di luar Palestina. Pertama-tama
kepada bangsa Yahudi sendiri yang sudah beragama Yahudi. Juga
disampaikan kepada bangsa yang bukan Yahudi yang sudah memeluk agama-
agama tradisional mereka. Hal ini bisa kita baca dalam Kisah Para Rasul.
Dengan demikian menjadijelas bagi kita orang Kristen bahwa Kisah Para
Rasul adalah buku sejarah perkebangan Gereja purba. Di dalamnya kita dapat
menemukan laporan-laporan atau data nama-nama bangsa atau negara yang
telah mempunyai agama sendiri tetapi yang justru menjadi sasaran
penyebaran agama Kristen purba, di Timur Tengah, Asia Kecil, Yunani dan
Romawi. Dan selanjutnya sampai abad XX ini, para misionaris dari perlbagai
bangsa dan negara yang telah dikristenkan melanjutkan karya pewartaan
Injil kepada penganut-penganut agama Hindu, Konfusius, bahkan penganut
agama Islam. Dan banyak dari mereka yang telah menjadi Kristen.

8|Page
 Demikain pula dengan perkembangan agama Islam, pola penyebarannya pun
hampir sama dengan agama Kristen. Agama Islam initelah disebarkan kepada
pemeluk agama Mazdaisme, yang telah memiliki Kitab Suci, yang disebut
Zoroaster sekitar th. 600 SM. Akibatnya agama tersebut hilang dari tanah
asalnya yakni Persia. Kemudian para muballig Islam juga mulai berda’wah
kepada golongan-golongan Kristen di Asia Kecil, Afrika Utara, ke barat bahkan
sampai Spanyol, dengan pusatnya di Kordobha. Kemudian di bagian timur,
muballig Islam mulai berda’wah kepada pemeluk agama-agama di Balkan,
India, Pakistan, yang umumnya beragama Hindu., bahkan sampai juga ke
kepulauan Nusantara yang beragama Hinda dn Budha. Pada abad XX
diperbolehkan melakukan propaganda dan mendirikan mesjid di kota-kota
besar: di Tokyo, yang memelk agama Shinto, di Roma, pusat agama Ktolik, di
Paris, Berlin, Belanda, London, New York, Woshington, dll.

b. Tanggapan atas larangan tersebut


Larangan penyebaran agama dari Departemen Agama RI tidak disetujui oleh semua
pihak, khusus DGI dan MAWI (sekarang PGI dan KWI).Kedua lembaga ini telah meminta
akan keputusan itu dicabut dari pemberlakuannya, sebab pembatasan kebebasan
penyiaran agama bertentangan dengan kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD
1945.

1.3.3. Syarat-syarat Bagi Kerukunan dan Perdamaian Menurut Konsili Vatikan II.
Mengingat Konsili Vatikan II adalah suatu konsili ekumenis, maka apapun yang menjadi
keputusan-keputusannya mestinya menyangkut semua pihak yang terlibat di dalamnya,
terutama tugas perutusan Gereja di dunia, di tengah para bangsa yang hidup di tengah aneka
perubahan dan kemajuan, maka Konsili Vatikan II merumuskan sikap-sikapnya sekaligus
syarat-syarat bagi praksis misionnya dalam sebuah deklarasi terhadap agama-agama non-
Kristen, antara lain:

a. Menghormati Agama Lain

Ini berarti agama Katolik mengisyaratkan bahwa ia tidak membuang apapun yang suci
dan benar yang terdapat dalam agama lian. Gereja Katolik secara jujur menghormati
peraturan-peraturan dan ajaran-ajaran agama lain sebab tidak jarang ajaran-ajaran dari
agama lain itu memancarkan suatu sinar kebenaran dari Yang Ilahi yang menerangi
semua manusia (Nostra Etatae No. 2).

b. Persaudaraan Universal

Konsili Vatikan II yang ekumenis itu secar jelas menyatakan keinginannya untuk
membina persaudaraan universal yang bersih dari diskriminasi untuk mewujudkan
sikap yang damai, sebab: kita tidak dapat dengan jujur menyerukan Tuhan Bapa segala
sesuatu, apabila kita menolak untuk memperlakukan orang-orang tertentu sebagai
saudara karena mereka diciptakan menurut citra Tuhan. Hubungan manusia dengan
Allah, manusia dengan sesamanya, dengan saudara-saudara, berpautan sedemikian erat,
sehingga Allah sendiri menyatakan: “Yang tidak mencintai, tidak mengenal Tuhan” (1 Yoh
4:8).
Oleh karena itu Gereja mengutuk setiap bentuk diskriminasi dan gangguan terhadap
orang lain berdasarkan SARA. Karena itu bertentangan dengan semangat Kristus (NA. No.
5)

c. Pengetahuan Yang Benar Mengenai Agama Lain

Dari apa yang dikatakan/dinyatakan oleh Knsili Vatikan II di atas, kiranya dapat
disimpulkan bahwa setiap pemeluk agama tertentu mempunyai hak dan kewajiban
untuk mengetahui ajaran-ajaran agama lain secara benar dan tepat. Untuk itu dibutuhkan
informasi yang benar dan tepat dari pihak instansi agama lain secara kompeten. Tentu
saja harus ada pembicaraan atau kesepakatan terlebih dahulu.
9|Page
Hal ini sudah dibicarakan dalam dialog Muslim-Kristen di Cordova dengan dua tema yang
dibicarakan bersama yakni: “The presentation of Islam by and for Christian in such
manner that the Muslems would recognize their faith and would feel justice was done to
it.” “The presentation of the Christianity by and for Muslems in such manner that the
Christian would recognize their faith and would feel that justice was done to it.”
Di samping memupuk sikap saling menghormati antar pemeluk agama, juga diambil kesepakatan
untuk saling melupakan sikap permusuhan dari masa lampau dan bersama-sama mencari bentuk
dan cara kerjasama untuk mencapai kerukunan dan perdamaian dunia. Sebab hak-hak pribadi
manusia atas agama atas dasar yang bebas itu adalah hak yang tak digugatkan yang diabdikan pada
penataan masyarakat secara yuridis. Karena itu, agar hubungan-hubungan damai dan kesatuan hati
antar umat manusia dipugar dan diperkokoh dituntut bahwa di mana-mana di dunia ini, kebebasan
beragama di beri benteng perlindungan hukum yang efektable dan respektable terhadap kewajiban
dan hak tertinggi manausia untuk melaksanakan kehidupan agama dalam masyarakat dengan bebas.

*****************************

Materi Kuliah 2
EMPAT INJIL TENTANG YESUS KRISTUS

2.1. NAMA

2.1.1. NAMA PERJANJIAN BARU

Bagian kedua dari Alkitab umat Kristen disebut “Perjanjan Baru”. Doeloe disebut “Wasiat Baru”,
sekarang nama itu hampir tidak dipakai lagi. Nama “Perjanjian Baru” itu dibuat sejalan dengan Kitab
Suci umat Israel dan umat Kristen. Kitab Suci umat Israel oleh Paulus disebut “Perjanjian Lama”.
“Tetapi pikiran mereka telah menjadi tumpul, sebab sampai pada hari ini selubung itu masih tetap
menyelubungi mereka, jika mereka membaca perjanjian lama itu tanpa disingkapkan, karena hanya
Kristus saja yang dapat menyingkapkannya” (2Kor 3:14).

Dengan “Perjanjian Lama” diperlawankan dengan “Perjanjian Baru”, yakni bagian Alkitab yang
khusus bagi umat Kristen. Nama “Perjanjian Baru” menunjuk kepada isi seluruh kitab bagian kedua
Alkitab umat Kristen. Isinya memang “Perjanjian Baru”. “Demikian juga dibuat-Nya dengn cawan
sesudah makan; Ia berkata: “Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi
kamu” (Luk 22:20); “Demikian juga Ia mengambil cawan, sesudah makan, lalu berkata: “Cawan ini
adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku; perbuatlah ini, setiap kali kamu
meminumnya, menjadi peringatan akan Aku” (1Kor 11:25); “Sebab Ia menegor mereka ketika Ia
berkata: “Sesungguhnya akan datang waktunya”, demikianlah firman Tuhan, “Aku akan mengadakan
perjanjian baru dengan kaum Israel dan dengan kaum Yehuda” (Ibr 8:8); “Ketika itu Ia adalah
Pengantara dari suatu perjanjian yang baru, supaya mereka yang telah terpanggil dapat menerima
bagian kekal yang dijanjikan, sebab Ia telah mati untuk menebus pelanggaran-pelanggaran yang telah
dilakukan selama perjanjian yang pertama” (Ibr 9:15).

Dengan istilah “perjanjian” dimaksudkan hubungan khusus yang terjalin antara Allah dan umat
manusia. “Perjanjian Baru” berarti perjanjian yang oleh Allah diikat dengan umat manusia melalui
Yesus Kristus. Jadi hubungan khusus itu dijalin oleh Allah melalui manusia Yesus Kristus. Perjanjian
Baru itu tidak akan batal dari pihak Allah dan dari pihak umat manusia. Karena itu perjanjian ini juga
disebut “perjanjian kekal”, sebab hubungan Allah dengan umat manusia dalam diri Yesus Kristus itu
tidak pernah akan putus.

Di mana letak perbedaan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru? Perbedaannya terletak dalam
perjanjian itu sendiri. Perjanjian Lama berisi perjanjian antara Allah dengan umat Israel. Perjanjian
Lama diikat atau dimeteraikan dengan darah anak domba. Isi perjanjiannya: Yahwe adalah Allah
umat Israel dan Israel adalah umat Allah. Perjanjian lama besifat eksklusif karena Allah mengadakan
10 | P a g e
perjanjian dengan bangsa tertentu, yakni bangsa Israel. Perjanjian ini bisa batal jika umat Israel tidak
setia.
Perjanjian Baru adalah perjanjian antara Allah dengan umat manusia melalui Yesus Kristus.
Perjanjian Baru diikat atau dimeteraikan dengan darah Yesus. Isi perjanjian: Allah adalah Allah umat
mausia, dan umat manusia adalah umat Allah.

Perjanjian Baru bersifat universal, karena Allah mengadakan perjanjian dengan (seluruh) umat
manusia. Perjanjian Baru tidak dapat batal karena dasar perjanjian adalah kesetiaan Allah dalam diri
Yesus Kristus.

2.1.2. INJIL

Injil merupakan turunan kata Arab yang berarti kabar gembira. Dalam bahasa Yunani: euaggelion;
dalam bahasa Latin: evangelium.
Kabar gembira apa? Dalam Perjanjian Lama, misalnya Yes 52:7 “Betapa indahnya kelihatan dari
puncak bukit-bukit kedatangan pembawa berita, yang mengabarkan berita damai dan memberitakan
kabar baik, yang mengabarkan berita selamat dan berkata kepada Sion: ‘Allahmu itu Raja!”; Yes 61:1
“Roh Tuhan Allah ada padaku, oleh karena Tuhan telah mengurapi aku; Ia telah megutus aku untuk
menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara dan merawat orang-orang yang remuk hati,
untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang
terkurung kelepasan dari penjara”.

Sabda Allah tentang pembebasan, keselamatan dan kesejahteraan itu disebut kabar gembira. Dalam
Perjanjian Baru, bila kita baca cerita tentang mujizat: orang sakit disembuhkan, orang lumpuh
berjalan, orang buta melihat, orang yang lapar dan haus dikenyangkan, dan bahkan orang mati
dihidupkan kembali. Semua ini adalah kabar gembira yang bersumber dari Tuhan Yesus.

Kata Arab “Injil” diturunkan dari kata Yunai “euaggelion”, yang dilatinkan menjadi “evangelium”.
Kata ini diambil alih oleh hampir semua bahasa modern. Hanya bahasa Inggris menyimpang. Orang
Inggris menyebut “Injil” ini: “gospel”. Kata Inggris itu aslinya adalah “godspell” sebenarnya berati:
kisah mengenai atau dari seorang ilahi. Adapun kata majemuk “euaggelion” pada dasarnya berarti
kabar (aggelion) yang baik (eu) atau upah, balas jasa kepada orang yang membawa kabar baik itu.
Kata Yunani ini dalam bahasa Yunani di luar Alkitab dipakai juga (jarang) dengan arti: kabar baik
dari atau tentag seorang dewa, khususnya kabar baik dari atau tentang raja/kaisar yang didewakan.

2.1.3. INJIL-INJIL SINOPTIK

Yang dimaksudkan dengan Injil-Injil Sinoptik adalah Injil: Matius, Markus dan Lukas. Mengapa ketiga
kitab ini disebut Injil-Injil Sinoptik? Kata Sinoptik diturunkan dari bahasa Yunani “sinopsis” yang
berarti seklias pandang. Kata itu terdiri dari kata: sin = sama atau bersama dan optik = pandang atau
melihat. Sinoptik berarti “yang dilihat bersama” atau “pandangan yang sama”. Injil Matius, Markus
dan Lukas disebut injil sinoptik karena ketiga kitab injil ini mengupas kehidupan dan karya Yesus
dengan cara yang serupa/sama, dan kesamaan itu mudah dilihat, bila teks-teksnya yang bertema
sama disusun menjadi tiga kolom yang sejajar dan dipandang serentak. Yang menarik ialah bahwa
bukan hanya temanya yang sama, melainkan ciri-ciri sastranya sangat serupa satu sama lain. Istilah
“sinopsis” dan “sinoptik” ini di kalangan para ahli Kitab Suci sudah populer sejak tahun 1776 Mas.

2.2. KEEMPAT INJIL ADALAH BUKU IMAN

2.2.1. MEMBACA KITAB-KITAB INJIL DENGAN TEPAT

Membaca Injil dengan baik/tepat, tidak boleh berhenti pada Yesus saja, melainkan melalui Yesus
sampai kepada Allah sendiri.
Cukup banyak dari kita berpendapat bahwa para rasul dan pengikut Yesus zaman doeloe pergi ke
mana-mana sambil berkotbah berdasarkan keempat Injil yang menceritakan hidup, dan karya,
sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus. Tentu saja pendapat semacam ini keliru, dan pendapat
seperti ini dampaknya sangat luas. Bisa saja terjadi bahwa kita yang berpendapat seperti ini akan
lebih mementingkan Kitab Injil atau Alkitab daripada Yesus Kristus yang diwartakan dalam Injil-Injil
11 | P a g e
itu. Kita yang berpendat keliru itu tentu saja akan membaca Injil secara salah. Salahnya hanya satu,
tetapi sangat fundamental. Kita berpendapat bahwa apa yang tertulis dalam keempat Injil itu
adalah laporan, bahkan semcam rekaman peristiwa dari kehidupan Yesus. Karena berpendapat
demikian, maka apa saja yang tertulis di dalamnya, kita baca sebagaimana tertulis saja, tanpa terlalu
memikirkan maksudnya. Dengan demikian, tentu saja kita terperangkap. Sebab apa saja yang konon
“dilaporkan” dalam keempat Injil sehubungan dengan Yesus, tidak pernah jelas dan rinci secara
tuntas.

Misalnya, Yesus masuk ke kota tertentu, tetapi tidak diceritakan kapan persisnya terjadi. Diceritakan
bahwa Yesus mengajar, tetapi kadang-kadang isi pengajarannya tidak diceritakan. Kadang-kadang
cerita yang satu tidak sepenuhnya sesuai dengan cerita lain yang serupa. Kadang-kadang dalam
peristiwa yang sama kata-kata Yesus dalam Injil yang satu berbeda dengan Injil yang lain. Nah, kalau
kita membaca Injil secara salah, kita akan lebih mementingkan apa yang tertulis di dalamnya
daripada apa yang mau dikatakan di dalamnya tentang Yesus.

Kita tentu akan bertanya, kalau demikian halnya, maka orang harus memiliki kepandaian khusus
untuk membaca Injil-Injil itu. Bisa saja demikian. Tetapi yang mau ditegaskan di sini adalah kitab-
kitab Injil itu bukan laporan atau rekaman mirip hasil rekaman atau shooting dari peristiwa
mengenai tokoh tertentu. Yesus yang diceritakan dalam keempat Injil itu adalah tokoh sejarah dan
isi kitab-kitab itu memang menceritakan tentang Yesus. Tetapi yag terpenting di dalamnya bukan
apa yang persisnya dikatakan atau dilakukan oleh Yesus, melainkan Yesus macam apa yang perlu
diterima dan diimani oleh kita yang mau bersatu dengan Allah melalui dan dalam Yesus itu. Jadi
keempat Injl itu bukan buku novel, melainkan buku iman. Lewat buku-buku itu kita diajak
menerima Yesus, semakin mengenalnya (bukan mengetahui riwayat hidupnya) dan semakin
membiarkan diri diresapi dengan sikap dan semangat Yesus. Dan Yesus yang diperkenalkan dalam
keempat Injil itu bukan hanya Yesus yang pernah hidup, berkarya, sengsara, dan wafat, melainkan
terutama Yesus yang sudah diimani oleh umat, terutama umat perdana sebagai Tuhan, Juru Selamat
dan Putra Allah.

Sekali lagi kita bisa saja bertanya: apakah orang-orang sederhana dapat membaca Injil dengan tepat?
Jangan-jangan uraian ini justru akan mematahkan semangat kita untuk membaca Injil. Apa saja bisa
terjadi. Mungkin saja beberapa dari kita setelah mendapat penjelasan ini akan kurang berminat
membaca Injil. Tetapi kita harus selalu membiasakan diri untuk membaca kitab-kitab Injil secara
tepat. Kitab-kitab itu bukan roman atau novel, melainkan buku iman. Dapat saja terjadi bahwa
seseorang mengetahui banyak bahkan tahu segala-galanya tentang Yesus, ia tidak bisa begitu saja
disebut “pengikut Yesus”. Seorang Pastor yang tahu banyak tentang Islam, atau pakar Islamologi,
tetapi ia tentu saja bukan seorang pengikut nabi Muhamad. Keahliannya dalam agama Islam tidak
serta merta menjadikannya seorang muslimin. Pengetahuan kita yang banyak tentang Yesus tidak
begitu saja mengantar kita kepada Allah. Jika kita sungguh-sungguh mau mengikuti Yesus,
seyogyanya kita menjadi seperti Dia bersatu seerat-eratnya dengan Allah, kita perlu memahami dan
mengenal Yesus secara sangat mendalam. Hal ini bisa kita capai dengan cara membaca Injil secara
tepat, yaitu bukan dengan mengetahui apa yang dikatakan atau dilakukan Yesus, melainkan
dengan merenungkan pesan ilahi yang dapat ditangkap lewat ucapan dan tindakan Yesus. Jika
seorang pemuda atau gadis tahu segala-galanya tentang seorang gadis atau seorang pemuda, tidak
serta merta membuatnya jatuh cinta dan menjadikannya istri atau suaminya.

Jadi yang perlu adalah membaca Injil dengan iman dan kasih, bukan hanya dengan otak yang haus
akan pengetahuan.

Mari kita membaca Kitab Suci dengan tepat, membaca dengan iman dan kasih, bukan hanya dengan
otak yang haus akan pengetahuan; tidak boleh berhenti pada Yesus saja, melainkan melalui Yesus
sampai kepada Allah sendiri.

2.2.2. KITAB-KITAB INJIL: TULISAN YANG BERLAPIS-LAPIS

Kita tentu mengenal kue lapis. Dinamakan kue lapis karena kue itu dibuat berlapis-lapis.

12 | P a g e
Kita-kitab Injil sesungguhnya juga dilihat sebagai tulisan yang berlapis-lapis. Lapis dasar atau
pertama adalah apa yang dikatakan/diajarkan dan apa yang dilakukan oleh Yesus. Itulah fakta. Itulah
sejarah.

Tetapi para penginjil tidak bermaksud memberikan suatu laporan terperinci tentang riwayat hidup
Yesus secara teratur dan menurut urutannya yang tepat. Para penginjil tidak mempunyai minat
“historis”. Seorang sejarawan ingin membawa pembaca yang membaca karyanya ke masa yang
lampau, sedang Injil mau mewartakan Yesus, yang dahulu pernah hidup, kepada jemaat yang
percaya. Bukan jemaat yang dibawa kepada Yesus dahulu, tetapi sebaliknya: Yesus dahulu dibawa
kepada jemaat sekarang.

Arah pandangan penulis Injil persis terbalik dari arah pandangan seorang sejarawan. Jadi lapisan
dasar atau pertama adalah fakta bahwa Yesus dulu mengajar, bergaul dengan orang berdosa, orang-
orang kecil, membuat mujizat.
Lapisan ini dalam kitab-kitab Injil boleh dikatakan lapisan yang paling rapuh. Bahwa Yesus pernah
lahir, hidup, berkata-kata, berkarya dan dibunuh, tidak diragukan seorang pun. Orang-orang
atheis/komunis pun mengakui keberadaan Yesus. Sebuah ensiklopedi yang dibuat oleh para pakar
atheis/komunis, di dalamnya dinyatakan dengan jelas bahwa Yesus itu adalah figur sejarah.

Tetapi yang kita hadapi dalam kitab-kitab Injil bukan fakta-fakta seadanya dulu, melainkan cerita
tentang fakta itu. Perlu kita sadari bahwa apa yang pernah disaksikan pada Yesus, akhirnya
diceritakan, diedarkan dalam bentuk lisan. Dengan sendirinya cerita itu mengalami berbagai
perkembangan. Tetapi cerita-cerita itu tidak berkembang seenaknya, sebab kebenarannya secara
terus-menerus dikontrol (bukan ketepatannya secara historis) oleh para saksi kehidupan Yesus
maupun oleh para penerus mereka. Sebagian cerita itu menjadi dasar bagi penyusunan kitab-kitab
Injil. Itulah lapis kedua.
Lapis ketiga adalah karya redaksional terhadap segala macam bahan lisan (yang sebagian sudah
ditulis juga); karya itu mencakup seleksi bahan, pengolahannya dan susunannya. Lapis keempat
berisi kehidupan dan beraneka macam gema hidup Kristen periode awal, atau masalah yang dialami
oleh umat di mana kitab Injil tertentu ditulis.
Misalnya Injil Matius lahir dalam lingkungan Yahudi. Maka dengan sendirinya, problematika Yahudi
menonjol di dalamnya.
Injil Lukas disusun di lingkungan umat Kristen yang berbudaya Yunani. Maka dengan sendirinya
lapisan yang keempat menggemakan masalah-masalah yang menyibukan umat Kristen berbudaya
Yunani.
Injil Markus di tulis di Roma, di tengah umat yang sebagian besar terdiri dari orang-orang bukan
Yahudi. Karena itu Markus harus menjelaskan beberapa istilah atau adat istiadat Yahudi yang tidak
diketahui oleh orang-orang bukan Yahudi (Mrk 7: 2st). Umat di Roma pada saat itu sedang
mengalami penganiayaan. Keadaan itu juga tampak berpengaruh pada tulisan Markus. Yesus
menurut Injil Markus adalah Anak Manusia yang bersengsara. Para pengikut Yesus hidup dalam
beraneka macam tantangan dan dipaksa untuk berani mengambil risiko. Keadaan seperti ini sesuai
dengan berita yang kita ketahui dari sejarah mengenai Gereja di Roma ketika Kaisar Nero berkuasa.
Injil Yohanes sering disebut Injil rohani karen merupakan kesaksian yang diberikan oleh orang atau
umat yang telah dibawa oleh Roh masuk dalam seluruh kebenaran.
Banyak hal yang dikatakan tentang Yesus dalam Injil sungguh-sungguh mengherankan.
Mengherankan karena pola pikir, tutur kata, sikap dan tindakan-Nya bertolak belakang dengan
pola pikir, tutur kata, sikap dan tindakan manusia pada saat itu. Justru di balik hal-hal yang
mengherankan – sebab tidak lazim itu – tersembunyilah Allah yang sebenarnya. Jadi pembaca Injil
jangan menyibukan diri dengan Yesus saja, melainkan terutama dengan Allah yang diwakili-Nya.
Kitab-kitab Injil bercerita tentang Yesus untuk mempertemukan manusia dengan Allah. Jika kitab-
kitab itu dibaca dengan cara yang demikian, maka banyak pertanyaan tentang ketepatan fakta
menjadi kurang relevan.
Kita tidak boleh berhenti pada kata-kata Yesus yang tertulis di dalam Injil, tetapi kata-kata itu harus
menghantar kita kepada iman bukan kepada pengetahuan.

2.3. KATA-KATA ASLI YESUS

13 | P a g e
Ada empat kitab Injil. Keempat Injil itu berbicara tentang Yesus, malah mengutip ucapan-ucapan
Yesus. Tetapi keempat Injil itu sedikit banyaknya berbeda satu sama lain. Jika demikian, apakah
dalam Injil-injil itu terdapat kata-kata asli Yesus atau semuanya yang tercantum di dalamnya sebagai
kata-kata Yesus tidak menjamin keasliannya lagi?

Matius 27:46 Markus 15:34


“Eli, Eli, lama sabakhtani?”, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?”,
artinya:Allah-Ku, Allah-Ku, yang berarti: Allah-Ku,
mengapa Engkau Allah-Ku Mengapa Engkau
meninggalkan Aku? meninggalkan Aku?

Lukas 23:46 Yohanes 19:30


“Ya Bapa, ke dalam “Sudah selesai”
tangan-Mu Kuserahkan
nyawa-Ku”.

Kata-kata Yesus dalam Injil Mat dan Mrk adalah kutipan Mzm 22:2 yang melatar belakangi seluruh
kisah sengsara. Mazmur itu adalah mazmur pengharapan, yang berisi ajakan dari orang yang
menderita kepada orang lain supaya tetap percaya pada Allah: ayat 24-25.

Keaslian kata-kata Yesus dalam keempat Injil dapat mengganggu para pembaca. Sejak zaman doeloe
masalah ini juga telah menyibukan para ahli Kitab Suci. Dengan segala kepandaian dan sarana ilmiah
yang mereka miliki, mereka pun ingin tahu sejauh manakah dalam Injil-injil masih tersimpan kata-
kata asli Yesus.
Para mahasiswa, termasuk saya juga sering mempertanyakan hal-hal semacam ini. Ada yang bahkan
menyesal bahwa pada zaman Yesus belum ada tape recorder atau video. Alangkah bagusnya dan
pasti menarik kalau kita bisa mendengar suara Yesus dan melihat bentuk tubuh serta wajah-Nya.
Tetapi sekarang, setelah sedikit lebih mengerti Kitab Suci, hal-hal seperti itu tentu saja tidak begitu
diperlukan lagi. Sebab iman kepada Yesus jauh lebih berharga daripada mendengar suara-Nya
atau melihat baik bentuk tubuh maupun wajah-Nya.

Patung atau gambar Yesus hanya sarana pengingat, tidak bermaksud menggambarkan atau
memperlihatkan wajah Yesus yang sebenarnya.
Namun sekali lagi, pertanyaan mengenai kata-kata asli Yesus dalam kitab-kitab Injil tetap menarik.
Yesus sendiri tidak pernah menulis buku. Yang kita miliki hanyalah sejumlah kitab singkat yang
ditulis orang lain tentang Yesus. Lagi pula antara masa kehidupan Yesus dan masa penulisan kitab
Injil pertama terbentang waktu k.l. 40 – 50 tahun. Nah selama sekian tahun itu ucapan-ucapan Yesus
memang diingat, diulang pada berbagai kesempatan, tetapi dengan sendirinya pula “dibentuk”
sesuai dengan kepentingan, kebutuhan, iman, bahkan pendapat umat Kristen pada masa itu.
Pendapat umum itu akhirnya ditambah lagi dengan pendapat para penyusun kitab-kitab Injil. Maka,
dengan terus terang harus dikatakan bahwa sangat sulit menentukan manakah ucapan Yesus yang
asli dan manakah ungkapan iman Gereja yang diperkenalkan dalam kitab-kitab Injil sebagai ucapan
Yesus.

Namun para ahli cukup yakin bahwa semua ucapan Yesus yang tercantum dalam kitab-kitab Injil,
yang isinya bertentangan dengan ajaran agama Yahudi pada zaman itu, bisa dilihat sebagai ucapan
asli Yesus. Misalnya ucapan-ucapan Yesus tentang perlunya berbuat baik pada hari sabat. Orang-
orang Yahudi yakin bahwa kalau seseorang belum menghadapi ajalnya, tetapi hanya sakit saja, maka
ia tidak boleh dibantu pada hari Sabat. Sabab hari itu suci karena itu pekerjaan apa pun dilarang pada
hari suci itu. Yesus menentang pandangan yang picik itu.
Berdasarkan patokan ini, para ahli menerima pula sebagai ucapan asli Yesus yang tercantum dalam
kitab-kitab Injil yang mencerminkan sikap-Nya yang khas. Misalnya Yesus suka bergaul dengan
kelompok-kelompok masyarakat yang dianggap pendosa, sehingga harus dijauhi. Yesus juga suka
bergaul atau bercakap-cakap dengan kelompok pemungut cukai, membela orang-orang yang
dikucilkan, yang cacat, yang terganggu secara psikis. Sulit dibayangkan bahwa kata-kata yang
diucapkan oleh Yesus kepada orang-orang semacam itu hanyalah ciptaan umat Kristen masa awal.
Justru karena orang-orang Yahudi tidak mau peduli terhadap orang-orang semacam itu.
14 | P a g e
2.4. TENTANG KEEMPAT INJIL

2.4.1. Injil Matius


• Ditulis oleh Matius. Matius itu dianggap sama dengan pemungut cukai, yang pertobatannya
diceritakan dalam Mat 9:9-13; Mrk 2:13 dst; Luk 5:27 dst., namanya “Lewi”. Selanjutnya tidak
diketahui apa-apa tentang Matius Lewi itu dengan pasti. Tetapi meskipun penulis Injil Matius
bukan rasul Matius, bekas pemungut cukai, namun jelas ia seorang Yahudi.
Hanya mengingat kehalusan bahasa yang ia gunakan, agaknya ia bukan seorang Yahudi yang
berasal dari Palestina. Ia menjadi dewasa di perantauan, di tengah orang Yahudi berbahasa
Yunani.
• Ditulis sekitar tahun 80 M (75/80). (Para ahli sudah memeras otak untuk menyusun suatu
urutan kronologis (dalam waktu). Tetapi tetap sulit dan hasilnya tidak pasti. Dalam kuliah ini
kami hanya menyajikan suatu daftar kronologis penulisan Injil yang boleh diterima, meskipun
tidak selalu pasti).
• Injil Matius ditujukan kepada jemaat Kristen Yahudi yang lari dari Palestina ke Siria, sebagian
besar tinggal di kota Atiokhia dan sekitarnya, di pantai Palestina.
• Matius mewartakan Yesus Sang Mesias yang dinantikan; yang membangun Kerajaan Allah
dan membawa hukum baru.
Matius dilambangkan sebagai manusia, karena ia mengawali Injilnya dengan memperkenalkan
Yesus:
• sebagai manusia keturunan Abraham dan Daud (Mt 1:17).
• sebgai utusan Allah yang mewartakan kabar gembira.

2.4.2. Injil Markus


a. Injil Markus ditulis oleh Yohanes Markus, anak Maria (Miryam), teman seperjalanan Paulus
dan Barnabas pada perjalanan I (Kis 12:12.25; 13:5.13; 15:37), ia adalah pembantu Petrus di
Roma (1Ptr 5:13).
b. Injil Markus ditulis sebelum tahun 70 M (65/75) di Roma.
c. Markus dilambangkan sebagai singa, karena Markus mengawali Injilnya dengan:
• suara yang mengaum-aum di padang gurun (Mrk 1:3) yang maksudnya menunjuk pada
Yohanes Pembabtis.
• padang gurun merupakan tempat tinggal binatang buas, termasuk singa.
• Jemaat Markus sebagian besar terdiri dari orang-orang bukan Yahudi.
• Markus mewartakan Yesus sebagai Mesias atau Kristus (Yang diurapi), yang menderita,
wafat dan bangkit. Jemaat di Roma ketika itu sedang mengalami penganiayaan. Situasi itu
nampak berpengaruh dalam tulisan Markus. Yesus menurut Injil Markus, adalah Anak
Manusia yang bersengsara. Beriman kepada Yesus Kristus semacam itu berarti orang dipaksa
untuk berani menanggung penderitaan atau risiko apapun. Keadaan seperti ini sesuai dengan
berita yang kita ketahui dari sejarah mengenai Gereja di Roma ketika Kaisar Nero berkuasa.

2.4.3. INJIL LUKAS

a. Ditulis oleh Lukas. Ia bukan seorang Yahudi. Ia seorang tabib (dokter) dari Antiokhia di Siria.
Ia adalah teman dan pengikut Paulus.
b. Ditulis sekitar tahun 80-85 M, di Yunani.
c. Diduga Lukas berkebangsaan Yunani dari kota Antiokhia di Siria.
d. d. Injilnya ditujukan kepada orang-orang Kristen bukan bangsa Yahudi.
e. e. Lukas menekankan Yesus sang Penyelamat orang-orang miskin, sakit dan berdosa.
f. f. Lukas juga menulis Kisah Para Rasul, yaitu kabar gembira yang ditujukan untuk orang
Kristen bukan Yahudi. Kisah Para Rasul merupakan lanjutan dari Injil Lukas.
g. Meskipun Injil Matius lebih banyak bab (28), dan Lukas lebih sedikit (24), tetapi jumlah kata
yang muncul di dalamnya lebih banyak dari Injil Matius. Jika dilihat dari sisi tebalnya, maka
Injil Lukas lebih tebal, hampir sama tebalnya dengan Kisah Para Rasul.
h. Teks orisinil Lukas: bab 9 ayat 51 sampai bab 19 ayat 27.

15 | P a g e
i. Lukas memulai Injilnya dengan sebuah pedahuluan yang menarik (Luk 1:1-4), untuk
menjelaskan mengapa ia menulis Injilnya, dan melanjutkan tulisan dengan buku II, yaitu
Kisah Para Rasul (lih. Kis 1:1-2) tentang lahir dan mulai berkembangnya Gereja di luar
Palestina.

Lukas dilambangkan dengan lembu, karena ia mengawal Injil dengan:


 Zakharia yang sedang mempersembahkan korban di Bait Allah.
 Zakaria tidak bisa berbicara seperti lembu (untuk sementara).
 Bait Allah juga tempat hewan-hewan korban dipersembahkan (termasuk lembu).

2.4.4. INJIL YOHANES

Yohanes dilambangkan sebagai burung Rajawali. Seperti Rajawali yang terbang tinggi, Yohanes
mau memperlihatkan:
• Keallahan atau keilahian Yesus sebagai “yang datang dari atas”.
• Anak Allah yang penuh kekuasaan.

a. Para ahli Kitab Suci agaknya sependapat bahwa Rasul Yohanes sendiri barangkali hanya
menyusun sebagian Injil saja. Sebagiannya ditulis oleh sekolompok muridnya.
b. Ditulis sekitar tahun 95 atau 100 M, di Efesus (Turki).
c. Yohanes memberi kesaksian keilahian Yesus Kristus, Tuhan yang dimuliakan di sisi Allah
Bapa.
d. Injil Yohanes berlainan dengan ketiga Injil Sinoptik. Mungkin Yohanes mengandaikan
pembaca injilnya sudah mengetahui ketiga injil sebelumnya, maka ia tidak perlu mengulang.
Injilnya mau “melengkapi” yang sudah ada.
e. Satu hal yang penting dalam Injil Yohanes adalah bahwa dalam Injil ini diceritakan kehidupan
Yesus di bumi. Tetapi Yesus itu ditampilkan sebagai pribadi yang sudah mulia, sebagai Tuhan.
Ia berbicara kepada orang-orang sesaman-Nya, namun sekaligus kepada pembaca Injil
Yohanes. Ini teknik penulisan yang khas bagi Injil Yohanes. Maka Injil Yohanes tidak terlalu
mudah untuk dibaca. Di dalamnya diperkenalkan Yesus yang seharusnya diimani, bukan
hanya Yesus historis. Karen itu Injil Yohanes seringkali disebut “Injil spiritual” atau “Injil
rohani”. Yang mampu menikmati Injil Yohanes adalah orang-orang yang rajin berdoa, yang
sudah berrelasi dengan Yesus secara akrab.

Lambang-lambang Injil itu sudah ada sejak abad keempat dan lambang-lambang yang dipakai
memang cocok dengan kekhasan masing-masing Injil. Perlu diketahui bahwa lambang-lambang itu
tidak ada hubungannya dengan keempat binatang sebagaimana digambarkan dalam Yeh 1:10 atau
Why 4:7

2.5. PENUTUP
Injil-injil berisikan sabda Yesus. Sabda atau kata-kata itu hanyalah tanda tentang sesuatu yang tidak
kelihatan. Kata-kata itu harus mengantar manusia kepada iman, bukan kepada pengetahuan.
Dan itulah indahnya Injil. Hanya ada satu Injil, meskipun ada beberapa kitab Injil. Injil itu kabar baik
mengenai Allah yang melalui Yesus ingin bersekutu dengan manusia, agar manusia bahagia
selamanya.
Karena itu, yang perlu adalah membaca Injil secara tepat, artinya: dengan iman dan kasih,
bukan hanya dengan otak yang haus akan pengetahuan; membaca Injil dengan baik, tidak
boleh berhenti pada Yesus saja, melainkan melalui Yesus sampai kepada Allah sendiri.

********************

Materi Kuliah 3
KRISTUS YANG BANGKIT DALAM KEHIDUPAN

3.1. Kebangkitan Kristus

16 | P a g e
Kerap kali kita mendapat kesan bahwa pengajaran agama Katolik lebih
menekankan hidup dan sengsara Kristus sebagai tebusan untuk dosa-dosa kita. Sekarang ini
tekanan bergesar pada kebangkitan Kristus sebagai pusat iman. Pergeseran ini terjadi antara lain
karena penylidikan mutakhir Perjanjian Baru menemukan bahwa kebangkitan menjadi awal
kisah penyelamatan.
Yesus disalibkan bersama dua orang penjahat. Ia yang di atas salib-Nya terpasang
tulisan INRI (Iesus Nazarenus Rex Iudiorum=Yesus Orang Nazaret Raja Orang Yahudi), kisah-
Nya masih berlanjut. Dia diberitakan sudah bangkit dari mata dan dialami lagi sebagai orang
yang hidup di antara kenalan-kenalan-Nya.
Pengalaman kebangkitan itu ternyata telah membuat orang-orang yang dekat
dengan-Nya itu mampu menafsir kembali semua pengalaman mereka ketika mereka masih
bersama-sama dengan Dia. Dalam Kisah Para Rasul 2:22-24, 32,36, Paulus mengatakan: “Hai
orang-orang Israel dengarkanlah perkataan ini: Yang aku maksudkan, ialah Yesus dari
Nazaret, seorang yang telah ditentukan Allah dan dinyatakan kepadamu dengan kekuatan-
kekuatan dan mujizat-mujizat dan tanda-tanda yang dilakukan oleh dengan perantaraan Dia di
tengah-tengah kamu seperti yang kamu tahu. Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan
rencana-Nya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh dengan tangan bangsa-bangsa durhaka.
Tetapi Allah membangkitkan Dia dengan melepaskan Dia dari sengsara maut karena tidak
mungkin Ia tetap berada dalam kuasa maut itu...
Yesus inilah yang dibangkitkan Allah, dan tentang hal itu kami semua adalah saksi. Jadi seluruh
kaum Israel harus tahu dengan pasti, bahwa Allah telah membuat Yesus yang kamu salibkan
itu menjadi Tuhan dan Kristus.”
Bahkan Paulus secara lebih jelas menyatakan bahwa kebangkitan itu merupakan pusat
dan halyang sangat penting bagi iman Kristen: “Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan ,
maka sia-sialah pemeritaan kami dan sia-sialah kepercayaan kamu.” (Kor 12:14).
Dengan pernyataan itu hilanglah kekaburan tentang hidup dan kematian Yesus.
Karena pengaruh kuat kebangkitan itu semua menjadi jelas. Untuk pertama kalinya para rasul
memandang tokoh Yesus dengan mantap dan pasti. Hubungan dengan Bapa Yang Mahakuasa
menjadi lebih jelas dari pada sebelumnya. Setelah kebangkitan Yesus para murid Yesus semakin
menjadi yakin bahwa Yesus itu adalah Kristus yang diurapi yang berasal dari Allah. Gelar
Kristus adalah gelar yang dipakai untuk memuni dan memuliakan Yesus dalam ibadat. Gelar itu
juga mau menunjukkan secara hakiki siapakah Yesus itu. Gelar itu meringkas apa artinya
menjadi Kristen, yaitu mengakui bahwa Yesus itu adalah Tuhan.
3.2. Berbagai macam tafsir dalam Perjanjian Baru

Yesus mewahyukan diri-Nya sebagai putera Allah. Ia mengalami bahwa Allah begitu
dekat dengan diri-Nya. Atas dasar itu hidup dan mati-Nya di dunia ditentukan. Ia dibunuh karena
mengaku diri sebagai putera Allah : ”Kami mempunyai hukum dan menurut hukum itu Ia harus
mati, sebab Ia menganggap diri-Nya sebagai Anak Allah” (Yoh 19:7). Yesus sendiri mengalami
bahwa Allah begitu dekat dengan Diri-Nya, Dia mengenal Allah dari dalam, Allah disadari
sebagai yang hidup di dalam Diri-Nya. Untuk kenyataan ini Ia mengajar para murid-Nya
menyapa Allah sebagai Bapa, Allah menjadi Bapa bagi Yesus dan dengan demikian juga
menjadi Bapa bagi semua orang.
Perjanjian Baru ditulis dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda. Karena itu
munculah wawasan teologi yang berbeda-beda pula dalam merumuskan siapakah Yesus.
Memang, semuanya tidak lepas dari pengalaman Paskah karena pengalaman itu menjadi dasar
setip pengalaman dan pewartaan tentang Kristus. Pengalaman kebangkitan Yesus membuat
para murid-Nya, orang-orang-Nya semakin diteguhkan dalam menerima pewartaan Yesus,
bahwa Allah hidup di dalam diri-Nya.
Sejak peristiwa kebangkitan, Gereja senantiasa bergulat untuk mencari ungkapan
yang semakin tepat untuk pengalaman dengan Yesus itu, ungkapan yang semakin mengena dan
semakin berbicara di dalam lingkungan yang menerima pewartaannya; Dia diberi berbagai
gelar, diberi berbagai sebutan diuraikan dalam rumusan-rumusan dogma supaya pengalaman
bersatu dengan Allah itu juga semakin dapat dimengerti.
Budaya yang melatarbelakangi Perjanjian Baru sangatlah kaya, begitu kaya sehingga
tidak muda memahami bagaimana tepatnya pengalaman akan Yesus itu dihayati dan
17 | P a g e
diungkapkan. Tetapi kerinduan manusia untuk mengerti imannya – meskipun terkadang
menghasilkan penyederhanaan yang kerap memiskinkan - juga merupakan salah satu
pergulatan orang beriman itu. Secara garis besar kami mencoba menguraikan bagaimana
pengalaman dengan Kristus yang bangkit itu diungkapkan dalam berapa jemaat.

3.2.1. Jemaat Palestina :


Jemaat Palestina adalah jemat yang paling dekat dengan kehidupan, sengsara, wafat
dan kebangkitan Kristus. Dalam jemaat ini terdapat kesadaran yang kuat bahwa Kristus akan
segera datang kembali. Ia akan datang kembali dalam kekuasaan dan kemuliaan. Dan Ia akan
mengadili orang-orang yang hidup dan yang mati. Kedatangan-Nya kembali merupakan
jaminan bahwa semua yang Ia katakan dan Ia lakukan selama hidup di dunia ini benar adanya.
Atas pertanyaan siapakah Yesus? Jemaat Palestina memberikan jawaban : Dia adalah Kristus
(Kis 3:20)atau Mesiah yang artinya : Yang diurapi, Anak Allah (Luk 1:32), yang akan datang
kembali pada akhir zaman. Gelar Putra Allah merupakan gelar yang menyatakan kedekatan
Yesus dengan Allah.
Dalam Perjanjian Lama banyak orang memperoleh gelar anak Allah (Kel 4:22-23;
Hos 11:1; Yes 1:2; Yer 3:19). Pada mulanya gelar itu memiliki makna dekatnya seseorang
dengan Allah, baru kemudian pada waktu orang beriman hidup di dalam kebudayaan Yunani,
gelar itu menunjukkan bahwa yang menyandang gelar itu memiliki sifat ilahi.

3.2.2. Jemaat Yahudi-Yunani :


Jemaat ini adalah orang-orang Yahudi yang berbahasa Yuani yang bertobat dan
menjadi pengikut Yesus. Bagi jemaat Yunani, kedatangan Yesus tidak segera dialami. Maka
terjadi pergeseran perhatian dari kedatangan Yesus kembali di masa yang akan datang ke
keadaan Yesus sekarang sebagai yang dimuliakan. Yesus adalah Tuhan (Kyrios) dan Kristus
(Kis 2:36) karena sekarang Dia sudah dimuliakan di sebelah kanan Allah. Gelar Tuhan itu
kemudian menjadi pusat pengakuan iman. Dalam mempergunakan gelar Tuhan, mereka yang
berbahasa Yunani lebih memperjelas kedudukan ilahi Yesus karena istilah itu merupakan istilah
yang dipergunakan dalam Perjanjian Lama yang berbahasa Yunani untuk menterjemahkan
istilah Yahudi yang artinya sama dengan Yahwe. Dengan demikian gelar-gelar yang diberikan
oleh jemaat Palestina lebih dapat dimengerti di bawah terang gelar baru yang menekankan
pemuliaan Yesus: Kristus Putra Allah, Putra Mansia (Kis 2:36);11:7; Rom 1:3-4). Kemudian
jemaat Yahudi-Yunani menerapkan gelar ini juga untuk kehidupan Yesus selama masih di
dunia.

3.2.3. Jemaat Yunani bukan Yahudi :


Perkembangan selanjutnya, Gereja masuk ke dalam budaya campuran antara budaya
Yunani dan bukan Yahudi. Dengan demikian cara berpikir yang terdapat dalam budaya itu juga
mempengaruhi Gereja. Hal ini terjadi karena pewartaan Paulus dan aliran teologi Yohanes.
Gereja menggunakan alam pikiran Yunani untuk pewartaannya. Ungkapan klasik mengenai hal
itu tercantum di dalam surat Paulus kepada jemaat di Filipi 2:5-11. 5Hendaklah kamu dalam
hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,
6
yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai
milik yang harus dipertahankan, 7melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan
mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. 8Dan dalam keadaan
sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di
kayu salib. 9Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya
nama di atas segala nama, 10supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit
dan yang ada di atas bumi dan yang di bawah bumi, 11dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus
adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah Bapa!” Dalam teks ini terlihat jelas kosmologi Yunani
yang memiliki tiga tingkat : langit, yang di atas bumi, dan yang dibawah bumi (ayat 10). Sesuai
dengan itu maka ada tiga macam keberadaan Yesus: sebelum lahir (ayat 6), menjadi daging
dalam penjelmaan (ayat 7-8) dan pemuliaan-Nya setelah hidup di dunia (9-11). Bentuk yang
mirip dengan ini dapat ditemukan dalam surat rasul Paulus kepada jemaat di Kolose 1:15-20
dan pembukaan Injil Yohanes 1:1-7, 14.

18 | P a g e
Siapakah Yesus? Jawaban atas pertanyaan ini menjadi sangat lengkap pada zaman
budaya campuran Yunani-bukan Yahudi ini: kehidupan Yesus di dunia ini sesungguhnya
merupakan kehidupan yang mulia, nampaknya saja terselubung. Dalam Injil sinoptik (Injil
Matius, Markus dan Lukas) hal ini nampak dalam kisah kanak-kanak Yesus, dalam kisah
pembaptisan Yohanes dan dalam pemuliaan Yesus di gunung (Luk 1:5; 2:52; 3:21-22; 9:28-36).
Yohaneslah yang secara penuh mengembangkan pemahaman tentang Kristus sebagai yang
datang dari atas, dari Allah kepada manusia. Gelar Putra Manusia dimengerti sebagai : “Dia
yang turun dari sorga” (Yoh 3:13), dan ketika Dia naik ke sorga, Dia kembali ke tempat semula
(Yoh 6:62). Gelar Putra Allah memperoleh makna yang lebih berbobot daripada ketika
dipergunakan dalam Perjanjian Lama dan gelar Tuhan menjadi gelar utama. Maka di dalam
Gereja yang berletar belakang budaya Yunani bukan Yahudi bahkan sampai sekarang, diperoleh
pengertian bahwa di dalam diri Yesus yang bangkit dan dimuliakan itu Allah nampak jelas
sebagai Tuhan atas semesta alam, karena di dalam kebangkitan itu orang mengalami Allah
sebagai yang berkuasa atas maut.
Kebangkitan Kristus itu dimengerti sebagai peristiwa yang menyelamatkan. Yesus
sudah mati sebagai orang hukuman. Di mata orang di sekitar-Nya, Dia gagal, tetapi Allah
membangkitkan Dia pada hari ketiga setelah wafat-Nya. Dengan demikian benarlah apa yang
telah Ia katakan. Injil Yohanes mencatat: “Jawab Yesus kepada mereka: “Rombak Bait Allah
ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.” Lalu kata orang Yahudi kepada-
Nya: “Empat puluh enam tahun orang mendirikan Bait Allah ini dan Enkau dapat
membangunnya dalam tiga hari?” Tetapi yang dimaksudkan-Nya dengan Bait Allah ialah
tubuh-Nya sendiri.” (Yoh 2:19-21).
Apa yang sesungguhnya terjadi pada hari ketiga sesudah Yesus wafat? Bagi kita orang
Kristen, jawabannya adalah: kebangkitan Yesus! Tetapi pada saat peristiwa itu terjadi, tidak ada
seorang saksi mata yang berada di sana. Tetapi ada sesuatu terjadi: kubur kosong, banyak orang
mengaku melihat-Nya kembali dan mengalami perubahan.
Apakah itu sebuah peristiwa sejarah? Ya, itu sebuah peristiwa sejarah, tetapi bukan
dalam arti peristiwa sejarah yang didokumentasikan melalui foto atau direkam peristiwanya.
Disebut peristiwa yang bersejarah karena banyak orang mengalami perjumpaan dengan-Nya
dan mengalami perubahan yang luar biasa. Para rasul, Maria Magdalena, dua orang murid dari
Emaus, rasul Paulus, mereka semua telah mengalami perjumpaan dengan Yesus yang bangkit,
dan hidup mereka sungguh-sungguh diubah oleh Dia. Karena para murid Yesus hidup dalam
sejarah maka, maka kebangkitan Yesus masuk ke dalam sejarah. Kebangkitan bagi Yesus
merupakan peristiwa yang mengatasi sejarah, tetapi bagi para murid kebangkitan itu menjadi
sebuah peristiwa sejarah, peristiwa sejarah itu masuk ke dalam pengalaman para murid, dan
pengalaman itu merupakan pengalaman yang mengubah diri mereka, mereka mengalami sebuah
pembaharuan diri.

3.3. Manusia Memiliki Tiga Kemampuan Dasar dan Tiga Hubungan Dasar.
Manusia yang direnungkan dalam kuliah ini adalah manusia yang mempunyai kemampuan
dasar dan hubungan dasar. Mempunyai yang dimaksudkan di sini adalah mempunyai secara
mendasar. Terdapat pengertian yang berbeda yang terkandung dalam kata ‘mempunyai’. Si Budi
mempunyai buku dan si Budi mempunyai otak.
Dalam kalimat pertama, seandainya Budi tidak memiliki buku, dia tetap disebut Budi. Tetapi
dalam kalimat kedua, Si Budi mempunyai otak, pengertian ‘mempunyai’ menyangkut diri Budi
secara mendasar. Budi tidak akan disebut manusia jika ia tidak mempunyai otak. Budi tidak
dapat menjalani hidup sebagai manusia. Dalam pengertian seperti terkandung dalam kelimat
kedua itulah kata ‘mempunyai’ dipergunkan dalam uraian ini.

3.3.1. Manusia mempunyai tiga kemampuan dasar:

Bila di sini dipergunakan istilah manusia, maka manusia yang dimaksudkan adalah
manusia yang mempunyai kemampuan dasar. Kemampuan dasar itu adalah kemampuan
untuk berpikir, berkehendak, dan bertindak.
Kemampuan berpikir:

19 | P a g e
Manusia mempunyai pikiran, memiliki kemampuan yang memungkinkan dia mampu
mengerti, mampu bertanya dan mencari jawaban; dengan pikirannya manusia mencari
kebenaran. Kemampuan ini juga disebut sebagai kemampuan untuk mengerti, memahami,
menerangkan atau menguraikan alasan-alasan, kemampuan memiliah-milah dan
membeda-bedakan, disebut juga kemampuan akal budi.
Kemampuan untuk berkehendak:
Manusia mempunyai kehendak, dia mampu menginginkan dan berkemauan. Dengan
kemampuan ini dia menginginkan kebaikan. Dia dapat menerima dan menolak, dia dapat
mencintai dan membenci, dia dapat tersentuh dan terharu, dia dapat mengambil keputusan,
termasuk keputusan mengenai dirinya sendiri. Dengan kemampuan ini manusia dapat
mengembangkan perasaan, keinginannya, budi pekertinya, dan semua yang menyangkut
hatinya.
Kemampuan untuk bertindak:
Manusia mempunyai kemampuan untuk bertindak. Dan dia berusaha agar tindakannya
didasarkan atas pikirannya yang benar dan kehendaknya yang baik. Tindakan yang
didasarkan atas pikiran yang benar dan kehendak yang baik itu disebut tindakan yang
bijaksana.

3.3.2. Manusia mempunyai empat hubungan dasar:

Selain memiliki tiga kemampuan dasar, manusia juga memiliki empat hubungan dasar.
Ketiga hubungan dasar itu adalah:
Hubungan manusia dengan dirinya sendiri:
Manusia dapat berpikir tentang dirinya sendiri, dapat mengenal dirinya sendiri, dapat
mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, dan pada akhirnya menentukan dirinya sendiri
menjadi seperti apa ia pada akhirnya. Semua ini dapat terjadi karena manusia mempunyai
hubungan dengan dirinya sendiri.
Hubungan manusia dengan sesamanya:
Manusia juga dapat memiliki hubungan dengan orang lain yang memiliki kesamaan
dengan dirinya. Melalui hubungan dengan sesamanya ini manusia dapat berinteraksi
dengan sesamanya. Dalam berinteraksi dengan sesamanya manusia menyadari bahwa
dirinya baru memiliki arti jika berada dan membangun relasi dengan sesamanya. Ia
menyadari bahwa manusia tanpa manusia lain bukan manusia.
Manusia mempunyai hubungan dengan dunia:
Manusia juga mempunyai hubungan dengan dunia di mana ia hidup dan berada. Dalam
hubungan dengan dunia, manusia menyadari bahwa dirinya dan dunia adalah ciptaan.
Tetapi serentak manusia juga menyadari bahwa dirinya mengatasi ciptaan/dunia. Dia
adalah ciptaan, tetapi ia memiliki martabat yang lebih luhur dari ciptaan yang lain. Manusia
menyadari bahwa ia diciptakan secitra dengan Allah. Karena itu kepada manusia Tuhan
memberi kuasa untuk menjaga dan melestarikan dunia/alam ciptaan.
Manusia mempunyai hubungan dengan Yang Ilahi:
Dalam diri manusia selalu ada kerinduan untuk mencari dan berjumpa dengan Yang Ilahi.
Di saat manusia mencari dan ingin berjumpa dengan Tuhan, ternyata, Allah sudah terlebih
dahulu mencari dan berjumpa dengan manusia dalam diri Yesus Kristus. Terhadap Yang
Ilahi itu menusia merasa sangat bergantung kepada-Nya. Terhadap Yang Ilahi manusia
ingin menyerahkan diri seutuhnya, ingin membangun relasi melalui doa.

3.4. Iman Akan Kristus Yang Bangkit Mengubah Manusia.

Bila manusia beriman, apakah peranan iman itu dalam kehidupannya? Apa pengaruh iman
terhadap kemampuan dasarnya dan terhadap hubungan dasarnya?
3.4.1. Iman dan Kamampuan Dasar Manusia.

Manusia mempunyai kemampuan untuk berpikir. Kemampuan itu dipergunakan


untuk mencari kebenaran. Bila manusia beriman, dia tidak hanya pencari kebenaran. Sang
Kebenaran, Allah sendiri, datang kepada manusia untuk memenuhi kerinduan manusia
20 | P a g e
akan kebenaran itu. Dia datang dalam diri Yesus Kristus yang mengatakan: “Akulah jalan
dan kebenaran dan hidup” /Ego sum via, veritas et vita (Yoh 14:6). Dengan demikian
manusia pencari kebenaran tidak sia-sia mencari, Sang Kebenaran yang dicari itu telah
terlebih dahulu mencari manusia, Dia datang dalam wujud manusia.
Sang Kebenaran itu ketika bertemu dengan manusia, Ia mengundang manusia
dengan berkata: “Ikutilah Aku” (Mat 4:19; Mrk 1:17; 2:14; Luk 5:27; Yoh 1:43). Maka
orang-orang yang percaya itu mengambil keputusan untuk mengikuti Dia. Pengambilan
keputusan untuk mengikuti Dia dilakukan karena manusia mempunyai kemampuan
berkehendak.
Bila manusia telah mnerima-Nya sebagai Sang Kebenaran yang dicarinya,
kemudian telah pula mengambil keputusan untuk mengikuti Dia, maka manusia akan
menata tingkah lakunya sesuai dengan kehendak Sang Kebanran sejati itu, karena Dia
berkata: “Aku berkata kepadamu: sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan
melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang
lebih besar daripada itu.” (Yoh 14:12).
Demikianlah beriman berarti berubah. Dia tidak hanya pencari kebenaran, tetapi
pencari yang mendapatkan Siapa yang dicari. Dia tidak hanya menghendaki yang baik,
tetapi menerima Sang Kebenaran itu sebagai yang baik dan karena dia dengan kemampuan
berkehendaknya mengambil keputusan untuk mengikutinya dan karenanya dengan
kemampuannya untuk bertindak dia melakukan apa yang diperintahkan oleh Sang
Kebenaran itu.
3.4.2. Iman akan Kebangkitan dan Hubungan Dasar Manusia.

3.4.2.1. Perubahan pada Hubungan Manusia dengan Yang Ilahi.


Sang Kebenaran yang diterima manusia itu mengajar manusia tentang kehidupan, karena
itu Dia juga dipanggil sebagai Sang Guru (Yoh 3:2). Salah satu hal yang penting yang Ia
katakan adalah bahwa Dia mengajar manusia untuk menyapa Allah sebagai Bapa. Dengan
demikian, Allah tidak hanya menjadi Yang Ilahi, atau Hakim, atau Pencipta saja, Dia Yang
Mahagung itu rela dihubungi sebagai Bapa bagi manusia. Maka Dia mengajarkan kepada
manusia doa Bapa kami (Mat 6:9; Luk 11:2-4). Hubungan manusia dengan Allah itu
layaknya hubungan antara seorang anak dengan bapa yang baik juga merupakan kerinduan
manusia, sehingga Yohanes menulis: “Tuhan, tunjukkan Bapa itu kepada kami, itu sudah
cukup bagi kami.” (Yoh 14:8).
Dengan menyapa Allah sebagai Bapanya, manusia pun berubah. Ia menjadi manusia yang
baru, menjadi anak Allah. Keadaan baru sebagai anak Allah itu menyangkut seluruh diri
manusia, sehingga manusia dapat dikatakan menjadi seorang ahli waris, yang menerima
harta milik Allah: “Dan karena kamu adalah anak, maka Allah telah menyuruh Roh Anak-
Nya ke dalam hati kita, yang berseru: ya Abba, ya Bapa!” Jadi kamu bukan lagi hamba,
melainkan anak; jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah.”
(Gal 4:6). Itulah perubahan dalam hubungan manusia dengan Yang Ilahi. Allah menjadi
Bapa.
3.4.2.2. Perubahan pada hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
Hubungan manusia dengan dirnya juga berubah. Dia tidak hanya memandang dirinya
sebagai ciptaan atau sebagai hamba, dia tidak melihat dirinya sebagai budak, dia adalah
anak Allah. Dia memiliki harga diri baru. Kesadaran ini adalah dasar penghormatan
manusia. Dapat dikatakan bahwa Allah menghormati manusia, manusia tidak dibiarkan
menjadi hamba, tetapi diangkat menjadi anak-Nya. Penghormatan yang diberikan oleh
Allah inilah yang menjadi dasar bahwa manusia diundang untuk menghormati dirinya
sendiri dan sesamanya. Manusia memiliki nilai dalam dirinya sendiri dan itu adalah nilai
ilahi. Karena beriman, manusia memiliki nilai ilahi. Bila manusia menerima Allah sebagai
yang mencintai manusia, dia akan mengormati manusia.
3.4.2.3. Perubahan pada hubungan manusia dengan sesama.

21 | P a g e
Yesus yang bangkit telah mengajarkan kepada manusia untuk menyapa Allah sebagai
Bapa. Allah adalah Bapa kita dan karena itu kita adalah saudara satu sama lain. Dalam
hidupnya manusia memberi makna pada kesebersamaan dengan manusia yang lain, bahwa
dirinya baru berarti dan menjadi manusia seutuhnya jika ada manusia lain. Proses untuk
menjadi manusia yang baik, menjadi anak Allah hanya dapat terjadi dalam kasih
persaudaraan. Jadi dengan beriman kepada Kristus yang bangkit, manusia dipanggil untuk
melihat diri dan sesamanya secara baru, yakni dirinya adalah saudara dari sesamanya, dan
sesama adalah saudara. Sesama tidak lagi dilihat sebagai musuh, tetapi sebagai teman
seperjalanan menuju rumah Bapa.
3.4.2.4. Perubahan pada hubungan manusia dengan dunia.
Sebelum iman disadari sebagai daya yang mengubah manusia, manusia memandang
dirinya hanya sebagai ciptaan. Tetapi dengan menyadari dirinya yang baru, manusia tidak
hanya menjadi ciptaan. Dia adalah anak Allah, anak dari Sang Pencipta, dan Sang Pencipta
adalah Bapanya. Manusia dipanggil untuk ikut serta dalam proses penciptaan selanjutnya.
Dunia ini diserahkan kepada manusia agar manusia ikut menciptakannya, mengelolanya,
melestarikannya, dan menjaga keutuhannya sehinga menjadi tempat yang pantas dihuni
oleh manusia. Karena itu manusia tidak boleh diam saja melihat bumi yang semakin
gersang, tercemar dan menjadi rusak. Maka setiap pekerjaan manusia yang ditujukan untuk
melestarikan alam, menyuburkan tanah, menghijaukan hutan merupakan wujud partisipasi
aktif manusia dalam melaksanakan tugas yang diamanatkan oleh Bapa Sang Pencipta.
Sebelum Kristus lahir di dunia, Allah telah memerintahkan kepada manusia dengan
berkata: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukanlah itu,
berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung diudara dan atas segala binatang yang
merayap di bumi.” (Kej 1:28). Kedatangan Kristus memberi perintah baru, yaitu bahwa
manusia dipanggil untuk menjadikan bumi baru di mana Allah berkemah dan diam di
dalam bersama manusia.

3.5. Penutup.

Hidup ini dapat dijalani dengan optimis atau pesimis. (Optimis berasal dari kata latin optime, bentuk
superlatif dari bene yang berarti baik. Sedangkan pesimis adalah bentuk superlative dari kata male yang
berarti jahat. Dalam dunia ini manusia yang pesimis berpandangan bahwa hidup ini tidak bermakna, tanpa
tujuan, penuh penderitaan, menyedihkan dan sia-sia belaka. Orang optimis memandang bahwa hidup ini
baik, penuh arti syarat akan nilai-nilai kebijaksanaan. Kebangkitan Kristus adalah sumber dan dasar bagi
setiap sikap optimis. Kematian yang merupakan keadaan yang paling menyedihkan , dapat membuat
manusia melihat hidupnya penuh harapan. Dengan kebangkitan Kristus, hidup manusia tidak dilenyapkan
oleh kematian, tetapi kematian adalah jembatan menuju hidup yang baru, melalui kematian manusia yang
beriman akan Kristus boleh mengalami hidup baru penuh kebahagiaan.
Hidup ini berawal dan berakhir, tidak hanya berputar-putar saja. Karena itu Yesus Kristus sendiri berkata:
“Aku adalah Alfa dan Omega, firman Tuhan Allah yang ada, yang sudah ada dan yang akan datang” (Why
1:8; 21:6; 22:13).
Sikap optimis memungkinkan manusia untuk berpendangan, berharap, dan berusaha agar hari ini lebih baik
dari hari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini. Atas dasar pandangan ini, orang yang bersikap
sikap optimis selalu berusaha untuk menaikan mutu hidupnya sendiri maupun mutu hidup sesama.
*************************

Materi Kuliah 4
KESELAMATAN

4.1. Tiga Cara Berpikir Tentang Keselamatan.

22 | P a g e
Terdapat tiga cara berpikir tentang keselamatan, yakni keselamatan yang berpusat pada Gereja atau
Eklesiosentris, kesalamatan yang berpusat pada Kristus atau Kristosentris dan keselamatan yang berpusat
pada Allah atau teosentris.

4.1.1. Keselamatan yang Berpusat pada Gereja/Eklesiosentris.

Rumusan pertama adalah rumusan cara berpikir yang mengatakan bahwa keselamatan itu diberikan
kepada umat manusia, melalui Yesus Kristus, dan keselamatan itu terjadi dalam salah satu Gereja saja. Cara
berpikir seperti ini disebut cara berpikir yang Eklesiosentris. Ecclesia = Gereja, centrum = pusat.
Cara berpikir Eklesiosentris: Cara berpikir yang memandang Kristus sebagai satu-satunya jalan
menuju Bapa: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa,
kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14:6). Hal yang pokok dalam cara berpikir ini adalah melihat Kristus dalam
bentuk Gereja, yaitu orang-orang yang percaya kepada Kristus. Teks Kitab Suci yang menunjukkan hal ini
ada dalam Kisah Para Rasul, tentang pertobatan Paulus. Ketika Paulus rebah ke tanah terdengarlah suara
yang berkata kepadanya: “Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiayah Aku?” Saulus menjawab:
“Siapakah Engkau Tuhan?” Jawaban yang diperoleh oleh Paulus adalah: “Akulah Yesus yang kauaniayah
itu...” (Kis 9:5-6). Saat itu Saulus sedang menganiayah orang-orang yang percaya kepada Yesus, yang
dalam Kisah Para Rasul disebut dengan istilah murid-murid Tuhan. Di sini Yesus menyamakan diri-Nya
dengan mereka yang menjadi murid-Nya. Murid-murid Tuhan itu sekarang terhimpun di dalam Gereja.
Maka bilamana orang mau mengikuti Yesus, ia harus masuk ke dalam Gereja.
Di sini dapat dilihat bahwa Yesus mewujudkan diri-Nya dalam bentuk Gereja, yaitu persekutuan
orang-orang yang percaya kepada Yesus sebagai Penyelamat mereka. Gereja itu jemaat yang didirikan oleh
Yesus dengan mengatakan kepada Petrus: “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan
mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu Kuberikan kunci kerajaan
Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan
terlepas di sorga.” (Mat 16:19). Kepada orang-orang yang percaya kepada-Nya, Ia berkata: “Pergilah ke
seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan
diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum.” (Mrk 16:15). Cara berpikir tentang
keselamatan yang Ekleosentris memandang Gereja sebagai unsur yang menentukan.

Allah

Yesus Kristus

Gereja

4.1.2. Keselamatan yang Berpusat pada Kristus/Kristosentris.

Rumusan kedua adalah rumusan cara berpikir yang berpusat pada Kristus. Cara berpikir ini
disebut cara berpikir Kristosentris: Christus = Kristus, centrum = pusat. Allah menyelamatkan manusia
melalui Yesus Kristus dan keselamatan itu terjadi di dalam setiap kebersamaan yang mengakui Yesus
sebagai Penyelamatnya.

Allah

Yesus Kristus
 
Gereja   Gereja
Gereja    Gereja
Gereja Gereja Gereja

4.1.3. Keselamatan yang Berpusat pada Allah/Teosentris.


Rumusan ketiga, Cara berpikir teosentris : cara berpikir tentang keselamatan yang berpusat pada
Allah. Teosentris terdiri dari kata Theos = Allah, Centrum = pusat. Allah menyelamatkan semua manusia
dan keselamatan ini disampaikan kepada manusia melalui Tokoh-tokoh keselamatan di dalam jemaat
mereka masing-masing.
23 | P a g e
Nabi Musa  Allah  Tokoh Agama
 
Yesus Tokoh Agama

Naskah Kitab Suci yang dapat kita gunakan sebagai rujukan untuk masing-masing cara berpikir.
Cara berpikir eklesiosentris : cara berpikir ini memandang Kristus sebagai satu-satunya jalan menuju Bapa
: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa kalau tidak
melalui Aku.” (Yoh 14:6). Hal yang pokok dalam cara berpikir ini adalah melihat Kristus dalam
bentuk Gereja, yaitu orang-orang yang percaya kepadaNya. Teks Kitab Suci yang menunjukkan hal
ini adalah kisah pertobatan Paulus. Ketika Paulus rebah ke tanah terdengarlah suara yang berkata kepadanya
: “Saulus, Saulus mengapa engkau menganiaya Aku?” Saulus menjawab : Siapakah engkau Tuhan?”
Jawaban yang diperoleh Paulus adalah : “Akulah Yesus yang engkau aniaya itu…” Sualus sedang
mengniaya orang yang menjadi pengikutNya yang dalam Kisah Para Rasul disebut Murid-murid Tuhan. Di
sini Yesus menyamakan diriNya dengan mereka yang menjadi muridNya. Murid-murid Tuhan itu sekarang
terhimpun di dalam Gereja. Maka bilamana orang mau mengikuti Yesus, maka dia harus masuk ke dalam
Gereja. Gereja adalah persekutuan orang-orang yang percaya Kristus sebagai Penyelamat mereka. Gereja
itu jemaat yang didirikan oleh Yesus dengan mengatakan kepada Petrus : “Engkau adalah Petrus dan di
atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaatKu dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu
Kuberikan kunci Kerjaan Sorga. Apa yang kau ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kau
lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.” (Mat 16:18-19).
Kadang-kadang cara berpikir ini memberi kesan tertutup, bahwa Kristus hanya ada di dalam satu
Gereja saja, bahwa untuk diselamatkan, seseorang harus masuk ke dalam salah satu Gereja, karena Kristus
mengatakan : “Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia
menceraiberaikan.” (Mat 12:30).
Cara berpikir yang Kristosentris berpendapat bahwa Gereja tidak merupakan unsur yang
menentukan untuk keselamatan seseorang. Kristuslah penentu bagi keselamatan seseorang. Maka
untuk selamat orang harus percaya kepada Kristus. Tetapi pada saat yang sama orang yang menerima
Kristus itu harus mewartakan Kristus juga, sehingga seperti Paulus kita dapat berkata : “Celakalah aku jika
aku tidak mewartakan Injil.” (1 Kor 9:16). Dalam cara berpikir ini banyaknya Gereja tidak menjadi masalah
penting. Keprihatinan utama adalah bagaimana mewartakan Kristus.
Cara berpikir teosentris memandang Kristus sebagai pribadi yang terbuka, yang mengatakan :
“Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita.” (Mat 9:40) Tidak melawan Kristus merupakan
sesuatu yang menentukan keselamatan seseorang. Dalam hal ini orang Kristen dapat mengakui keselamatan
mereka yang tidak berada dalam Gereja Kristus, asal mereka tidak melawanNya. Di dalam cara berpikir
ini, naskah Yoh 14:6 (“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada
Bapa kalau tidak melalui Aku.”) merupakan naskah yang mempersatukan cara berpikir Kristosentris dan
cara berpikir eklesiosentris.
Tetapi apakah agama-agama bukan Kristen melawan Kristus? Di dalam Islam misalnya, Kristus
bahkan dihormati sebagai nabi. Gambaran Kristus sebagai pribadi yang terbuka ini memungkinkan
orang beriman untuk terbuka pula terhadap agama-agama bukan Kristen.
Siapakah Kristus? Siapakah Kristus bagi masing-masing cara berpikir? Di dalam cara berpikir
eklesiosentris dan kristosentris, Kristus mewujudkan diriNya di dalam Gereja dan persekutuan-persekutuan
yang mengakuiNya sebagai Penyelamat, di dalam cara berpikir teosentris, Kristus dipandang sebagai yang
menyamakan diri dengan mereka yang haus, lapar, telanjang, seperti yang dinyatakan di dalam Matius
25:31-46.
“Apabila Anak Manusia datang dalam kemulaanNya dan semua malaikat bersama-sama dengan
Dia, maka Ia akan bersemayam di atas takhta kemuliaanNya. Lalu semua bangsa akan
dikumpulkan di hadapanNya dan Ia akan memisahkan mereka seorang dari pada seorang, sama
seperti gembala memisahkan domba dan kambing, dan Ia akan menempatkan domba di sebelah
kananNya, dan kambing-kambing di sebelah kiriNya. Dan Raja itu akan berkata kepada mereka
yang di sebelah kananNya : Mari, hai kamu yang diberkati oleh BapaKu, terimalah Kerajaan yang
telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar kamu memberi Aku makan;
ketika Aku haus kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing kamu memberi Aku
tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat
Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. Maka orang-orang benar itu akan
menjawab Dia, katanya : Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi
24 | P a g e
Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum? Bilamanakah kami melihat Engkau
sebagai orang asing dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi
Engkau pakaian? Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau di dalam penjara dan kami
mengunjungi Engkau? Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling
hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku. Dan Ia akan berkata juga kepada mereka yang di
sebeah kiriNya : Enyalah dari hadapanKu, hamu orang-orang terkutuk, enyalah ke dalam api yang
kekal yang telah sedia untuk iblis dan malaikat-malaikatnya. Sebab ketika Aku lapar, kamu tidak
memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu tidak memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing,
kamu tidak memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu tidak memberi Aku pakaian;
ketika Aku sakit dan di dalam penjara, kamu tidak melawat Aku. Lalu mereka pun akan menjawab
Dia, katanya : Tuhan, bilamanakah kami melihat Engau lapar, atau haus, atau sebagai orang
asing, atau telanjang, atau sakit, atau di dalam penjara dan kami tidak melayani Engkau? Maka
Ia akan menjawab mereka : Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu
lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.
Dan mereka ini akan masuk ke tempat siksaan yang kekal, tetapi orang benar ke dalam hidup yang
kekal.”

Mari kita lihat apa ajaran Gereja Katolik yang dirumuskan dalam dokumen Konsili Vatikan II.

ORANG KATOLIK DISELAMATKAN DI DALAM GEREJA KATOLIK

“Kita percaya bahwa satu-satunya Agama yang benar itu berada di dalam Gereja Katolik dan
apostolic, yang oleh Tuhan Yesus diserahi tugas untuk menyebarluaskannya kepada semua orang,
ketika bersabda kepada para rasul : “Pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah
mereka dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, dan ajarkanlah mereka melakukan segala
sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.” (Mat 28:19-20). Adapun semua orang wajib
mencari kebenaran, terutama dalam apa yang menyangkut Allah dan GerejaNya. Sesudah mereka
mengenal kebenaran itu, mereka wajib memeluk dan mengamalkannya.” (Dignitatis Humanae
(Kebebasan Beragama) – Martabat Pribadi Manusia no. 1)

UNTUK DISELAMATKAN DIPERLUKAN GEREJA

Maka terutama kepada mereka yang beriman Katoliklah Konsili suci mengarahkan perhatiaannya.
Berdasarkan Kitab Suci dan Tradisi, Konsili mengajarkan bahwa Gereja yang sedang
mengembaran ini perlu keselamatan. Sebab hanya satulah pengentara dan jalan kebenaran, yakni
Kristus. Ia hadir di antara kita dalam tubuhNya, yakni Gereja yang dimasuki orang-orang melalui
babtis bagaikan pintunya. Oleh karenanya tidak dapat diselamatkan orang-orang itu, yang
walaupun tahu bahwa Gereja Katolik didirikan oleh Allah dengan perantraan Yesus Kristus,
sebagai sesuatu yang diperlukan, toh tidak mau masuk ke dalamnya atau tidak mau bertahan di
dalamnya. (Lumen Gentium (Gereja) – Terang Bangsa-Bangsa no. 14)

GEREJA ALLAH MENJADI KERINDUAN SEMUA ORANG BERIMAN

Tetapi hampir semua, kendati melalui aneka cara, mencita-citakan satu Gereja Allah yang
kelihatan, yang sungguh-sungguh bersifat universal, dan diutus ke seluruh dunia, supaya dunia
bertobat kepada Injil, dan dengan demikian diselamatkan demi kemuliaan Allah.

Maka, sambil mempertimbangkan itu semua dengan hati gembira, Konsili suci ini, karena sudah
menguraikan ajaran tentang Gereja , terdorong oleh keinginan untuk memulihkan kesatuan antara
semua murid Kristus, bermaksud menyajikan kepada segenap umat Katolik bantuan-bantuan,
upaya-upaya, dan cara-cara, untuk menolong mereka menanggapi panggilan serta rahmat ilahi
itu (Unitatis Redintegratio (Ekumene) – Pemulihan Kesatuan no. 1).
Oleh karena itu mereka memang dengan tepat menyandang nama Kristen, dan tepat pula oleh
putera-puteri Gereja Katolik diakui selaku saudara-saudari dalam Tuhan. (Unitatis Redintegratio
(Ekumene) – Pemulihan Kesatuan no. 3)

25 | P a g e
4.2. Sikap Gereja Terhadap Agama lain.
“Pada zaman kita bangsa manusia semakin erat bersatu dan hubungan-hubungan antara pelbagai
bangsa berkembang. Gereja mempertimbangkan dengan lebih cermat, manakah hubungannya dengan
agama-agama bukan kristiani. Dalam tugasnya mengembangkan kesatuan dan cintakasih antar manusia
bahkan antar bangsa, Gereja di sini terutama mempertimbangkan manakah hal-hal yang pada umumnya
terdapat pada bangsa manusia, dan yang mendorong semua untuk bersama-sama menghadapi situasi
sekarang.sebab semua bangsa merupakan satu masyarakat, mempunyai satu asal sabab Allah menghendaki
segenap umat manusia mendiami seluruh muka bumi (Kis 17:26). Semua juga mempunyai satu tujuan
akhir, yakni Allah yang penyelenggaraan-Nya, bukti-bukti kebaikan-Nya dan rencana penyelamatan-Nya
meliputi semua orang (Keb 8:1; Kis 14:17; Rom 2:6-7; 1 Tim 2:4) sampai para terpilih sampai di kota suci,
yang akan diterangi oleh kemuliaan Allah; di sana bangsa-bangsa akan berjalan dalam cahaya-Nya (Why
21:23 dst).
Dari pelbagai agama manusia mengharapkan jawaban tentang teka-teki keadaan manusiawi yang
tersembunyi, yang seperti di masa silam, begitu pula sekarang menyentuh hati manusia secara mendalam;
apakah baik dan apakah dosa itu? Dar manakah asal penderitaan dan manakah tujuannya? Manakah jalan
untuk memperoleh kebahagiaan sejati? Apakah arti maut, pengadilan dan pembalasan sesudah mati?
Akhirnya apakah misteri terakhir dan tak terperikan itu, yang merangkum keberadaan kita dan menjadi
asal serta tujuan kita? (Pada Zaman Kita, No. 1).
Secara jelas Gereja menunjukkan cara berpikirnya mengenai agama-agama bukan Kristen, yaitu
memandang apa yang sama pada manusia dan yang membawa kepada kebersamaan hidup. Kebersamaan
itu adalah bahwa manusia membentuk satu masyarakat dengan asal yang sama dan tujuan yang sama.
Manusia juga menghadapi satu rahasia yang sama, yaitu pertanyaan apa makna dan tujuan hidup manusia,
apa kebaikan dan dosa; apa asal mula tujua derita; mana jalan untuk mencapi kebahagiaan sejati; apa
kematian; apa pengadilan dan ganajaran sesudah maut; apa itu misteri terakhir dan tak terungkapkan yang
menyelimuti mansia, darinya manusia berasal dan kepadanya manusia menuju. Semua agama berada dalam
kesamaan untuk menanggapi misteri itu.

4.2.1. Sikap Gereja Katolik terhadap agama asli Hindu dan Budha

Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci.
Dengan sikap hormat yang tulus, Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-
kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan
diajarkannya sendiri, tetapi tak jarang toh memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua
orang. (Nostra Aetate – Pada zaman kita no. 2)
Sikap Gereja terhadap agama-agama asli, Hindu dan Budha : mereka disendirikan karena Allah di
dalam agama-agama itu digambarkan sebagai yag ilahi yang dicari oleh manusia. “Gereja Katolik tidak
menolak apa pun yang benar dan suci dalam agama-agama ini.” Lalu Gereja menyampaikan ajarannya
untuk berdialog dan kerja sama :
Maka Gereja mendorong para puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui
dialog dan kerjasama dengan penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang
iman, serta perihidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta kekayaan
rohani dan moral serta nilai-nilai sosio budaya, yang terdapat pada mereka. (Nostra Aetate –
Pada zaman kita no. 2)
4.2.2. Sikap Gereja Katolik terhadap Agama Islam
Dalam bersikap terhadap Islam, Gereja melihat persamaan dalam Allah yang sama, yang
mewahyukan diri. Allah yang wahyuNya ditaggapi dengan iman. Sebagai tokohnya adalah Abraham.
Kecuali itu orang beriman juga disatukan dalam diri Yesus, dalam diri Maria, dalam menantikan
pengadilan, dalam menantikan kebangkitan orang mati, dalam sembahyang, sedekah dan puasa.
Hal yang mempersatukan orang Katolik dan orang Islam adalah bahwa di dalam Islam, Kristus
tidak dilawan. Kristus sendiri mengatakan : “Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita (Mrk
9:40). Lebih jelas lagi dalam dokumen Konsili Vatikan II dikatakan :
“Namun rencana keselamatan juga merangkum mereka, yang mengakui Sang Pencipta, di antara
mereka terdapat terutama kaum Muslimin, yang menyatakan, bahwa mereka berpegang pada iman
Abraham, dan bersama kita bersujud menyembah Allah yang tunggal dan maharahim, yang akan
26 | P a g e
menghakimi manusia pada hari kiamat. Pun juga dari umat lain yang mencari Allah yang tak
mereka kenal dalam bayangan dan gambaran tidak jauhlah Allah karena Ia memberi semua
kehidupan dan nafas dan segalanya (lihat Kisah 17:25-28) dan sebagai Penyelamat menghendaki
keselamatan semua orang (lihat 1 Tim 2:4). Sebab mereka yang tanpa bersalah tidak mengenal
Injil suci serta GerejaNya, tetapi dengan tulus hati mencari Allah dan berkat pengaruh rahmat
berusaha melaksanakan kehendakNya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan
nyata dapat memperoleh keselamatan kekal. Penyelenggaraan ilahi juga tidak menolak memberi
bantuan yang diperlukan untuk keselamatan kepada mereka yang tanpa bersama belum sampai
pada pengetahuan yang jelas tentang Allah, namun berkat rahmat ilahi berusaha menempu hidup
yang benar. Sebab apa pun yang baik dan benar yang terdapat pada mereka, oleh Gereja
dipandang sebagai persiapan Injil, dan sebagai karunia Dia, yang menerangi setiap orang supaya
akhirnya memperoleh kehidupan.” (Lumen Gentium (Gereja) – Terang Bangsa-Bangsa, no.16).

4.2.3. Sikap Gereja Katolik terhadap Agama bukan Kristen Pada Umumnya

Tetapi kita tidak dapat menyerukan nama Allah Bapa semua orang, bila terhadap orang-orang
tertentu, yang diciptakan menurut citra kesamaan Allah, kita tidak mau bersikap sebagai saudara. Hubungan
manusia dengan Allah Bapa, dan hubungannya dengan sesama manusia saudaranya begitu erat, sehingga
Alkitab berkata : “Barangsiapa tidak mencintai, ia tidak mengenal Allah.” (1 Yoh 4:8 (Nostra Aetate
(Sikap terhadap agama-agama lain) – Pada zaman kita no. 5).
Allah dipercaya dan diimani sebagai Bapa, maka sebagai akibat yang jelas adalah bahwa sesama menjadi
saudara.
4.3. Paham Keselamatan dalam Gereja Katolik
Tuhan meciptakan manusia agar manusia mengalami cintaNya. Ketika manusia jatuh ke dalam
dosa, Allah mengirim putraNya ke dunia untuk menyelamatkan manusia. Ketika manusia percaya kepada
Kristus dan masuk ke dalam GerejaNya, manusia masih saja berdosa. Tetapi Allah selalu menginginkan
agar manusia selamat, maka di dalam Gereja disediakan kesempatan untuk bertobat.
Keselamatan dimengerti secara utuh, mencakup pribadi manusia secara menyeluruh, tetapi juga manusia
secara keseluruhan, meskipun terjadinya melalui perjalanan sejarah.
Bagaimana Keselamatan itu dimengerti?
1) Keselamatan dipandang dari segi waktu : Keselamatan itu adalah keselamatan kekal yang dimulai
pada masa kini. Kurang lengkaplah jika orang beriman berpendapat bahwa keselamatan itu adalah
keselamatan kekal yang akan diperoleh sesudah mati. Pengakuan akan adanya hidup kekal menjadi
dasar untuk mengusahakan, mengarahkan dan membantuk kehidupan kini sedemikian sehingga
dapat menjadi persiapan untuk kehidupan kekal. Bila ditanya : “Keselamatan itu kini atau nanti?”
Jawabannya adalah : “Keselamatan itu nanti yang dimulai sejak kini”, atau “Keselamatan itu adalah
kini menuju ke nanti.”
2) Keselamatan dipandang dari segi tempat : Bila ditanya : “Keselamatan itu terjadi di dunia ini atau
di sorga?” Jawabannya adalah : “Keselamatan itu dimulai dari dunia ini dan dilanjutkan di sorga.”
Atau “Keselamatan itu adalah keselamatan di sorga yang dimulai di dunia ini.” Maka usaha manusia
untuk mencari keselamatan di dunia ini menjadi lengkap bila diarahkan ke sorga, tidak hanya
berhenti di dunia saja.
3) Keselamatan dipandang dari kebebasan dan tanggung jawab manusia : Bila ditanya :
“Keselamatan itu adalah anugerah atau semata-mata karena hasil usaha manusia?” Jawabannya
adalah : “Keselamatan adalah anugerah Allah yang diberikan dengan leluasa kepada manusia, tetapi
sekaligus manusia dipanggil untuk mengusahakan anugerah itu dengan bebas agar menghasilkan
buah.” Kurang lengkaplah bila ada yang berpendapat bahwa keselamatan itu adalah anugerah dari
Tuhan semata tanpa usaha dari pihak manusia. Memang keselamatan itu diberikan oleh Tuhan bukan
karena hasil usaha manusia, tetapi manusia yang memperoleh keselamatan itu diundang untuk
menjadikan kekuatan untuk bertindak, kekuatan untuk membawa keselamatan itu kepada sesamanya.
4) Keselamatan dipandang dari segi hakekatnya : Keselamatan itu adalah keselamatan rohani yang
mewujud dalam jasmani manusia” atau “Keselamatan jasmani yang menjadi wujud dalam
keselamatan rohani. Keselamatan utuh adalah keselamatan yang mengusahakan kedua-duanya.
27 | P a g e
5) Keselamatan di pandang dari segi baik-buruk : “Apakah keselamatan itu hanya untuk orang baik
saja? Keselamatan itu sesunguhnya adalah kebaikan yang mengubah kejahatan. Keselamatan itu
untuk orang berdosa agar dia menjadi benar di hadapan Allah dan sesamanya. Pendosa yang
menerima keselamatan akan berusaha mengubah hidupnya, dia akan bertobat dan kembali kepada
Allah. Dia tidak dibuang, melainkan ditebus, dirangkul, dan bila orang itu menjadi lebih baik,
semakin ia dipanggil untuk mengampuni orang lain seperti ia telah diampuni oleh Allah. Pengertian
keselamatan di sini berkembang dari “Yang berdosa dihukum dan yang baik dibari ganjaran” menjadi
“Yang berdosa diampuni dan yang baik diperintahkan untuk membawa buah kebaikan.”
6) Keselamatan itu untuk siapa? Untuk orang-orang terentu sajakah? Untuk orang pilihan saja?
Keselamatan itu untuk semua orang, dimulai dengan kelompok tertentu bahkan dimulai dengan
pribadi tertentu untuk semua orang. Artinya orang atau kelompok yang percaya bahwa Allah telah
menyelamatkan itu dengan tetap memperhatikan kebebasan, mengusahakan keselamatan bagi orang
lain.
Keselamatan itu adalah hasil iman : “…. Imanmu telah menyelamatkan engkau.” (Luk 17:19) “Sebab
karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu
bukan hasil pekerjaanmu, jangan ada orang yang memegahkan diri” (Ef 2:8-10) Tetapi setelah
menerimanya, manusia dipanggil untuk mengerjakannya. “Hai saudara-saudaraku yang terkasih, kamu
senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu….” (bdk Fil 2:12)
Keselamatan tidak dimngerti dalam rangka pertanyaan atau …. atau …. : sekarang atau nanti, jasmani atau
rohani, rahmat atau usaha manusia, tetapi baik …. maupun ….. Keselamatan itu baik sekarang maupun
nanti, keselamatan itu baik jasmani maupun rohani, dst.
Keselamatan itu juga menjadi daya gerak manusia beriman untuk mengusahakan agar dunia jasmani yang
bersifat sementara ini dapat menjadi persiapan dan awal kehidupan yang kekal. Itu dilakukan antara lain
dengan mengusahakan agar dunia ini diolah sedemikian rupa sehingga menjadi semakin pantas dihuni oleh
anak-anak Allah.
Pengertian keselamatan itu memungkinkan manusia untuk mengubah sikap dalam berusaha, dia tidak lagi
melakukan usahanya agar diselamatkan, tetapi karena percaya bahwa keselamatan telah diberikan padanya,
maka sebagai ucapan syukur dia mau berusaha, menjalankan hidup ini dengan penuh rasa terima kasih
kepada Allah. Maka puncak ungkapan imannya berbentuk Doa Syukur Agung, yang dipanjatkan di dalam
perayaan Ekaristi. Allah telah memberikan diriNya melalui Yesus Kristus PutraNya. Manausia berterima
kasih, bersyukur atas anugerah itu dan karenanya manusia dipanggil untuk menjadi anugerah bagi sesama.
4.4. Penutup/Menetukan Sikap
Cara berpikir itu bergerak di sekitar kemampuan manusia untuk menggunakan pikirannya. Tetapi
manusia tidak hanya berpikir, dia juga berkemampuan untuk berkehendak dan bertindak. Untuk melakukan
tindakan, dia melakukan pilihan-pilihan. Cara berpikir ini masih perlu diolah lagi. Bagaimana cara
menggunakan cara berpikir ini? Terdapat beberapa kemungkinan.
Pertama : Orang memilih hanya satu cara berpikir, dan menggunakannya sebagai satu-satunya cara
berpikir. Misalnya orang hanya memilih cara berpikir eklesiosentris saja. Dia berpendapat bahwa hanya
anggota Gereja Katolik saja yang akan diselamatkan, dan orang yang berasal dari agama lain atau Gereja
yang lain pasti tidak selamat. Atau orang hanya menggunakan cara berpikir kristosentris saja, dia tidak
menganggap penting Gerejanya sendiri, dia mengikuti kegiatan berbagai Gereja. Dia mungkin dibaptis di
Gereja Katolik, berhari Natal di Gereja Kristen Evengelis (GKE), pemberkatan nikah di Gerja Protestan
Indonesia Bagian Barat (GPIB), dan pada hari minggu dia lebih berminat mengikuti kebaktian di Gereja
Pentakosta. Atau bisa juga orang hanya menggunakan cara berpikir teosentris saja. Gereja-Gereja tidak lagi
dianggap penting. Dia berpendapat bahwa Gereja-gereja tidak penting. Dia berpendapat bahwa semua
agama sama saja. Dia akan mengikuti ibadat di semua agama. Gerejanya sendiri tidak lagi dianggap
penting. Tokoh agamanya tidak dipercaya sebagai yang utama.
Inilah yang disebut dengan cara berpikir dengan matra tunggal (monodimensional).
Kedua : Orang memilih masing-masing cara berpikir sesuai dengan keadaan yang dihadapi. Cara berpikir
eklesiosentris dipergunakan ketika dia berada di tengah-tengah umat segerejanya. Dia akan mendidik anak-
anaknya secara Katolik, dia akan mengajak anggota keluarganya beribadat di gereja Katolik, dia akan
mengembangkan kepribadiannya secara Katolik, dsb. Tetapi bila dia berada di kalangan orang Kristen yang

28 | P a g e
berbeda Gereja, dia akan menggunakan cara berpikir kristosentris. Dia akan lebih bersikap terbuka terhadap
umat dari Gereja Kristen lainnya. Dia akan berpendapat bahwa semua umat Kristen, baik Katolik maupun
umat Protestan akan diselamatkan jika hidupnya layak di hadapan Tuhan. Persatuannya dengan Kristus dan
di dalam Kristus akan mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang muncul karena perbedaan Gereja. Cara
berpikir kristosentris ini dikembangkan dalam sikap ekumene. Demikian pula jika dia bertemu dengan
orang-orang dari agama lain, dia berpendapat bahwa saudara-saudara dari agama lainpun dapat
memperoleh keselamatan; bahwa agama-agama yang bukan Kristen pun adalah sarana untuk memperoleh
keselamatan. Agama-agama lain pun mengajarkan hal-hal yang benar dan baik, meskipun dia sendiri
percaya bahwa dia diselamatkan melalui Yesus Kristus di dalam Gereja Katolik. Singkatnya dalam
perjumpaannya dengan sesama yang bukan Kristen dia menggunakan cara berpikir teosentris. Persatuan
dengan dan dalam Allah yang satu dan sama mengatasi perbedaan yang muncul. Dari cara berpikir
teosentris ini dikembangkan sikap dialog. Manusia yang menderita mempersatukan orang Katolik dengan
orang beragama lain karena orang yang menderita itu adalah Kistus sendiri
Cara yang kedua ini orang dari Gereja lain atau agama lain tanpa kehilangan identitas diri. Identitas Katolik
yang jelas pada cara berpikir pertama digabungkan dengan keterbukaan terhadap Gerja yang lain atau
agama lain dari cara berpikir yang kedua dan ketiga.
Penggunaan cara berpikir seperti ini disebut penggunaan dengan matra ganda (multi dimensional).

*****************************

Materi Kuliah 5
KEUTAMAAN IMAN KRISTIANI

Kalau kita berbicara tentang iman, sebenarnya kita berbicara tentang dua hal yang sering
kali kita gabungkan begitu saia. Pertama isi iman yang diyakini. Kedua iman sebagai keyakinan
subyek atau keyakinan pribadi seseorang. Iman bercorak pribadi, subyektif, dan khas dimiliki oleh
setiap orang. Iman ini melekat erat pada diri setiap manusia. Keyakinan subyektif ini dimiliki oleh
setiap orang beragama.
Kepercayaan atau atau keyakinan adalah hal yang sangat fundamental untuk manusia.
Manusia hanya bisa tenang kalau dibiarkan hidup sesuai dengan keyakinannya itu. Sebaliknyanya
orang yang dihalangi dalam hal keyakinan pribadinya akan merasa sungguh tertekan. Oleh karen
itu, keyakinan pribadi termasuk hak asasi yang dilindungi oleh hukum nasional dan internasional.
Melindungi hak asasi dalam hal keyakinan berarti melindungi martabat manusia.
Keyakinan seseorang berasal dari pengetahuan dan pengalaman hidupnya. Karena
pengetahuan manusia berkembang dan pengalaman hidupnya bertambah, bisa jadi, kekuarangan
pengetahuan dan pengalaman membuat keyakinan seseorang keliru. Keyakinan itu terbukti keliru
karena ia sendiri menjadi lebih tahu dan sadar bahwa keyakinannya selama ini adalah keliru. Atau,
orang lain yang lebih tahu menilai orang itu bahwa dia keliru. Namun, sejauh orang itu memiliki
keyakinan yang berasal dari semua pengetahuan dan pengalamannya, dan sungguh yakin akan
kebenaran suara hatinya, ia punya kewajban moral untuk mengikuti suara hati itu. John Henry
Newman (1801-1890) mengatakan bahwa mengikuti suara hati, meskipun mungkin suara hati itu
keliru, adalah jalan untuk mencapai kebenaran. Ia juga mengatakan, “kodrat saya merasa terarah
kepada suara hati seperti kepada seseorang. Bila saya menaatinya, saya measakan kepuasan. Bila
saya melawannya, ada rasa pedih di hati, sama seperti perasaan yang muncul ketika saya
menyenangkan atau melawan seorang teman yang baik.Suatu gema dari suara; suatu suara dari
seseorang. Manusia harus selalu mengikuti suara hatinya”.
Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II Gaudium et Spes no. 16, menjelaskan martabat hati
nurani demikian, “Tidak jarang terjadi bahwa hati nurani tersesat karena ketidaktahuan yang tak
teratasi, tanpa kehilangan martabatnya.” Dalam konteks iman kepercayaan, kekeliruan sering
terjadi. Kelompok yang satu menganggap kelompok yang lain sesat karena kelompok yang lain
itu dianggap kurang memiliki pengetahuan yang benar tentang isi ajaran agamanya. Tetapi,

29 | P a g e
kelompok yang dianggap sesat itu tidak mau kalah dan tetap berkanjang dalam keyakinannya
karena apa yang diyakininya itulah yang ia tahu dan ia anggap benar. Sampai kemudian berkat
dialog yang terbuka, lalu ia menjadi sadar bahwa sealam ini ia keliru.

1. Rasul Paulus Pernah Keliru, Namun Ia Tidak Berdusta.

Dalam Kitab Suci, Kisah Para Rasul 9:1-18 diberi judul “Saulus Bertobat”. Dalam kalender
liturgi Gereja Katolik, tanggal 25 Januari juga dirayakan bertobatnya Rasul. Muncul pertanyaan:
Apa arti bertobat untuk rasul Paulus? Bertobat biasanya dimengerti sebagai berbalik dari perbuatan
yang jahat kepada perbuatan yang baik. Orang yang bertobat mengubah tingkah lakunya yang
tidak baik. Misalnya, dari penjudi, pemabuk, penipu, pencuri, tidak percaya kepada Tuhan, dan
tidak pernah berdoa, menjadi orang yang bukan hanya tidak pernah melakukan perbuatan-
perbuatan itu lagi, melainkan rajin beribadah, takwa kepada Tuhan, dan berbuat amal kasih. Dalam
peristiwa Paulus, tidak terjadi perubahan itu. Satu-satunya yang terjadi adalah perpindahan dari
Yudaisme kepada Kekeristenan. Sebagai orang Yahudi, Paulus adalah seorang yang taat. Dalam
Filipi 3:5-6, ia memberikan kesaksian dirinya pada waktu masih dalam agama Yahudi, “Aku
disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang
pendirian terhadap hukum Taurat aku tidak bercacat”.
Jadi, Saulus sebagai pendukung agama Yahudi adalah seorang yang taat dan sangat
beribadah. Justru karena dia seorang Yahudi yang baik maka ia terdorong untuk melenyapkan
semua pengikut Kristus yang dianggapnya sesat. Di sini kita melihat seorang Saulus yang jujur. Ia
tidak punya hati yang jahat. Ia yakin bahwa kekristenan itu sesat dan agama Yahudi adalah agama
yang benar. Dalam keyakinannya itulah ia dijatuhkan dari kudanya dalam perjalanan menuju ke
Damsyik untuk mengejar orang-orang Kristen (Kis 9:1-18). Kemudian ia sadar bahwa para
pengikut Yesus yang disebut orang-orang Kristen itu ternyata benar. Ia melihat dengan cakrawala
baru. Ia percaya kepada Yesus Kristus yang ia jumpai di depan pintu gerbang Damsyik itu.
Pengalaman spiritual Paulus itu dilukiskan dalam Kis 9:17-19. Setelah Paulus melihat kebenaran
dalam diri Yesus Kristus, kemegahannya dalam agama Yahudi sebagai keturunan Israel dan orang
Farisi dianggapnya rugi. Ia mengatakan: “Apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku,
sekarang kuanggap rugi karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku lebih mulia daripada
semuanya” (Flp 3:7-8a). Saulus adalah contoh orang yang keliru in bona fide (dengan hati yang
tulus). Pada saat ia yakin bahwa orang Kristen itu sesat, ia berusaha mengejar dan membinasakan
mereka. Namun pada saat ia tahu bahwa agama Kristen itu benar, ia menjadi rasul yang paling
bersemangat mewartakan Injil. Paulus adalah contoh seorang beriman yang secara konsekuen
bertindak sesuai pa yang diyakininya.

2. Abraham Seorang Beriman

Abraham adalah tokoh iman yang sangat penting dalam tradisi iman agama-agama besar
dunia, seperti Yahudi, Kristen dan Islam. Iman Abraham menjadi model dan inspirasi bagi banyak
umat beriman. Kalau dari versi Alkitab Kristen, keteladanan iman Abraham itu antara lain tampak
dalam beberapa tindakan yang dilakukannya.
Pertama, ia dipanggil oleh Tuhan dari kampung halamannya di Ur Kasdim menuju tanah
terjanji dalam usianya yang sudah lanjut. Sebagai orang tua, ia tentu ingin tinggal di kampung
halamannya, ia tidak mau meninggalkan segala kemapanannya, dan bahkan ingin mati dan
dikuburkan di kampung halamannya. Abraham melawan kecenderungan itu, dan lebih memilih
taat kepada Tuhan (Kej 12:1-4).
Briman berarti berani meninggalkan kemapanan dan siap sedia untuk berpindah, berubah,
mentransformasikan diri, dan mengubah arah hidup. Beriman berarti rela meninggalkan atau
melawan segala kemapanan dan rasa puas diri. Kita belum menjadi yang seharusnya. Kita adlah
manusia yang sedang dalam proses menjadi: menjadi lebih baik, lebih berkualitas, dan menjadi
lebih beriman. Abraham telah mengajarkan kepada kita untuk terus berjalan dalam iman.
30 | P a g e
Kedua, peristiwa perpisahan antara Abraham dengan Lot, di mana Abraham membiarkan
Lot terlebih dahulu memilih ke daerah mana ia akan berjalan. Dan daerah yang tidak dipilih oleh
Lot itulah yang menjadi bagian dari Abraham (Kej 13:8-12). Lot tentu saja memilih bagiannya
yang terbaik (Kej 13:10). Di sinilah tampak kualitas iman Abraham yang menyerahkan semuanya
ke dalam penyelenggaraan Tuhan. Abraham tidak iri hati, ia dengan tulus hati menerima sisa
wilayah yang tidak dipilih oleh Lot. Kita tahu akhir dari cerita tentang Abraham dan Lot ini.
Daerah yang dilih oleh Lot dengan perhitungan manusiawi yang menguntungkan itu ternyata
akhirnya mejadi Sodom dan Gomora yang dimakan api (Kej 19:1-29). Lot kemudian diselamatkan
dari bencana itu karena Allah ingat akan Abraham.

2.1. Iman Abraham Diuji

Tuhan telah berjanji kepada Abraham untuk memberikan kepadanya keturunan yang
banyak seperti pasir di laut dan bintang di langit. Sebagai tanda awal dari pemenuhan janji Tuhan
itu, dalam usianya yang sudah tua, sementara Sara istrinya sudah mati haid (Kej 18:11), ia
mendapat kasih karunia dari Allah, seorang anak laki-laki, yang kemudian diberi nama Ishak (Kej
21:3). Pada saat Abraham sedang menikmati berkat janji Allah yang telah menjadi kenyataan itu,
hati Abraham membuncah dengan syukur. Ia semakin yakin bahwa iman orang jujur akan
menikmati kasih karunia Tuhan. Namun, Tuhan bermaksud menguji iman Abraham. Allah ingin
melihat kedalaman iman Abraham. Bila ia lulus ujian itu, ia akan menjadi berkat bagi sekalian
bangsa dan menjadi bapa kaum beriman. Maka datanglah firman Tuhan kepada Abraham bagaikan
petir di siang bolong, “Abraham, ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni
Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai kurban bakaran pada
salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu (Kej 22:1-19).
Ada pendapat yang mengatakan bahwa secara antropologis dan sosiologis, kisah Abraham
yang akan mengurbankan anaknya itu mungkin merupakan suatu informasi berharga bahwa
rupanya, pada bangsa-bangsa primitif zaman dulu, ada kebiasaan untuk mengorbankan anak
dengan cara disembelih dan dibakar untuk dipersembahkan kepada dewa-dewi. Dilihat dari segi
fenomena munculnya pengalaman keagamaan, kisah Abraham itu memang mungkin memiliki
landasan historis tentang kebiasaan bangsa primitif untuk beribadah dengan cara mengurbankan
anak-anak. Dengan kisah Abraham tersebut, kebiasaan mempersembahkan kurban anak-anak itu
justru ingin diakhiri dengan kisah bahwa Allah melarang persembahan anak, dan diganti dengan
kurban binatang. Kalau demikian, secara etik dan moral, kisah Abraham merupakan pengajaran
yang sangat baik untuk melarang dikurbankannya lagi anak.

2.2. Refleksi Teologis atas iman Abraham


Kalau kita membaca kisah pencobaan iman Abraham dalam Kitab Kejadian 22:1-19, kita mendapat
kesan bahwa semuanya berjalan dengan tenang dalam suasana rohani. Kisah pencobaan itu tidak terasa
berat dan menakutkan karena kita sudah mengetahui bahwa cerita itu berakhir bahagia. Abraham
akhirnya tidak jadi mengorbankan anaknya Ishak, dan Tuhan memberkati kesetiaan Abraham. Tetapi jika
kita bertanya lebih lanjut: Bagaimana sesungguhnya peristiwa itu terjadi? Apakah yang sesungguhnya
dialami oleh Abraham? Bagaimana ia mendengar suara Tuhan yang menyuruhnya untuk membunuh atau
mengorbankan anaknya Ishak? Lewat semak belukar? Lewat mimpi? Lewat suara hati? Bagaimana ia yakin
bahwa suara itu adalah suara Tuhan dan bukan suara setan? Bagaimana Abraham menilai permintaan
Tuhan yang tidak masuk akal itu? Bagaimana Abraham bergumul dalam hatinya sampai kahirnya ia
memutuskan untuk mengorbankan Ishak putra yang dikasihinya? Bagaimana gambaran Abraham tentang
Tuhan yang meminta kurban ananya itu?
Untuk memahami betapa sulitnya pergumulan Abraham, SØren Kierkegaard, seorang filsuf
Denmark mengajukan tiga pertanyaan berikut ini dan ia berusaha menjawabnya sendiri.

31 | P a g e
2.2.1. Apakah Membunuh Atas Perintah Tuhan Dapat Dibenarkan?

Apakah secara moral dapat dibenarkan orang melakukan tindakan yang melawan hukum moral
universal bila ia melakukan apa yang diperintahkan oleh Tuhan? Apakah membunuh (bahkan anak
kesayangannya sendiri) dapat dibenarkan hanya karena tindakan itu diperintahkan oleh Tuhan? Apakah
Tuhan dapat memerintahkan hal seperti itu? Kenyataannya, Kejadian 22:2 dengan jelas menulis perintah
Tuhan itu. Adakah kemungkinan untuk membatalkan kebenaran etis moral dan dengan sengaja
melanggarnya dalam suatu kasus tertentu? Apakah dalam kasus di mana Abraham diperintahkan oleh
Tuhan untuk membunuh Ishak ini terdapat suatu pembatalan hukum moral universal yang mengajarkan
bahwa membunuh manusia itu tidak boleh? SØren Kierkegaard mengatakan bahwa Tuhan yang Mahabaik
itu tentu tidak mungkin memerintahkan hal-hal yang tidak rasional. Tuhan yang Mahabaik itu tentu saja
tidak memerintah untuk membunuh. Abaraham pasti salah dengar. Maklum, Abraham sudah tua,
mungkin juga pikun.
SØren Kierkegaard tidak dapat memahami perintah Tuhan kepada Abraham untuk melakukan
pembunuhan dan membatalkan hukum moral universal yang akan mempertarukan nama baik Tuhan
sebagai “yang tidak dapat diduga”.
SØren Kierkegaard sebagai seorang filsuf religius, dalam suasana hati yang gelisah, mencoba
memahami situasi Abraham. SØren Kierkegaard mencoba merekonstruksi kejadiannya menurut
pemikirannya sebagai berikut:
“Pada waktu pagi, Abraham bangun dari tidurnya, ia memasang pelana keledainya dan
meninggalkan tendanya (Kej 22:3). Ishak ia bawa serta dan juga bujangnya, dan Sara memperhatikan
mereka dari balik jendela tenda, sampai mereka menuruni lembah dan tak kelihatan lagi. Mereka berjalan
membisu sampai tiga hari. Pada pagi hari keempat, Abraham tidak pernah mengucap sepatah kata pun.
Namun ia mengangkat mukanya, dan melihat puncak bukit Moria di kejauhan sana. Ia meninggalkan
kedua bujangnya dan pergi menjauh ke puncak bukit itu bersama dengan Ishak anaknya. Dalam hatihnya,
Abaraham mengatakan: “Saya akan memberitahu apa sesungguhnya tujuan kami ke puncak bukit ini.”
Abaraham menunjukkan wajah yang penuh kebapaan dan berbicara dengan kata-kata yang memberi
peneguhan. Namun Ishak tidak dapat mengerti kata-kata sang ayah itu. Mereka terus berjlan menuju
puncak bukit. Ishak berjalan di samping sang ayah sambil memberikan nasehat yang menguatkan hati.
Namun, Ishak tidak mengerti semua yang dikatakan sang ayah.
Sesampai di puncak bukit, Abraham berbalik kepada Ishak dengan wajah yang ganas. Ia
menangkap leher Ishak anaknya dan membantingnya ke tanah, dan berkata: “Hai anak bodoh, apakah
engkau mengira bahwa aku adalah ayahmu? Bukan, saya seorang penyembah berhala. Apakah engkau
mengira ini adalah perintah Tuhan? Bukan, ini adalah keinginan saya sendiri.” Ishak gemetar ketakutan,
lalu berteriak: Oh Tuhan di surga, kasihanilah aku, Allah Abraham, kasihanilah aku. Jika saya tidak punya
ayah di bumi, biarlah Engkau menjadi Bapaku.”
Sejenak kemudian, Abraham berkata dengan suara lembut, “Oh Tuhan di surga, terima kasih.
Setelah semuanya ini, adalah lebih baik bagi dia untuk meganggap saya sebagai monster, daripada ia
akan kehilangan iman kepadamu.
Lihatlah kebesaran hati Abraham. Tetaplah kedalaman imannya.Ia rela mengurbankan dirinya
berhadapan dengan perintah Tuhan yang tidak dapat dimenerti oleh Ishak putranya, dan oleh dirinya
sendiri. Abraham rela dan sebaiknya Ishak, putranya menganggap dirinya monster, daripada Ishak
menganggap Tuhan sebagai monster. Lebih baik dirinya dianggap monster, daripada Ishak tidak lagi
percaya kepada Tuhan. Iman Abraham bergumul keras dan menyembunyikan apa yang sesungguhnya
terjadi. Ia tak mampu berkata apa-apa berhadapan dengan perintah Tuhan itu. Dalam kasus Abraham ini,
hukum moral universal tidak berlaku. Sebaliknya, pengalaman personal Abraham berlaku universal. Itu
menjadi model pengalaman iman dari manusia sesudahnya. Iman adalah ketaatan yang berani untuk
32 | P a g e
percaya penuh kepada penyelenggaraan Tuhan. Ketika Ishak bertanya kepada Abraham, “Bapa, di sini
sudah ada api dan kayu, tetapi di manakah anak domba untuk kurban bakaran itu?” (Kej 22:7). Bagaimana
perasaan hati Abraham berhadapan dengan pertanyaan itu? Bagaimana kalau kita berada di posisi
Abraham? Tuhan telah menempatkan Abraham dalam suasana hati yang sungguh menderita. Namun
Abraham tetap teguh dan tabah. Ia berjalan terus ke gunung Moria dan menjawab pertanyaan Ishak:
“Allah akan menyediakan anak domba untuk kurban bakaran bagi-Nya anakku” (Kej 22:8). Abraham tentu
tidak mengatakan hal ini dengan hati yang tenang. Ia mengatakannya dengan perasaan yang galau, sakit
dan menangis di dalam hatinya sebagai seorang bapak yang sungguh mengasihi anaknya.
Dalam kepahitan hatinya, Abraham tetappercaya kepada penyelenggaraan Tuhan, yang akan
menyediakan anak domba itu. Untuk kita memang sudah jelas bahwa Tuhan memeng menyediakan anak
domba yang tersangkut dalam belukar (Kej 22:13). Tetapi untuk Abraham tentu lain situasinya, karena ia
belum tahu bahwa Tuhan akan menyediakan anak domba pengganti itu. Pada akhir cerita itu kita tahu
bahwa Abraham memang sungguh melaksanakan perintah Tuhan itu, meskipun ia akhirnya tidak jadi
membunuh Ishak anaknya. Karena ketaatan Abraham itulah, Allah bersumpah demi dirinya sendiri, untuk
memberikan berkat kepada Abraham secara berlimpah-limpah (Kej 22:16-18).
Menurut Kierkegaard, kisah Abraham ini mengandung pembatalan prinsip etika bahwa tujuan
yang baik tidak menghalalkan cara yang jahat. Dengan tindakan iman itu, Abraham menjadi bapa kaum
beriman.

2.2.2. Mengapa Abraham Tidak Memberitahu Sara?


Pencobaan iman bagi Abraham terasa lebih berat lagi karena perintah Tuhan itu tidak
disampaikan secara langusung dari langit (misalnya melalui pengeras suara) sehingga bisa didengar oleh
Sara istri Abraham dan Eleasar bujangnya dan bahkan oleh Ishak sendiri. Perintah Tuhan itu diterima
Abraham di dalam hatinya, dan ia mendapat tambahan beban moral, apakah ia harus menyampaiakan
hal itu kepada istrinya, anaknya sendiri dan kepada bujangnya, atau ia menyimpannya sendiri dalam suatu
dilema yang membuatnya hampir gila. Memang Tuhan tidak pernah berbicara secara langsung dan
obyektip terdengar suara-Nya oleh banyak orang. Ketika Tuhan menyatakan kehendaknya melalui para
nabi, hal itu kita sebut pewahyuan dari Tuhan.
Dapatkah kita mengatakan bahwa Abraham mendengar di dalam suara hatinya sendiri perintah
Tuhan untuk membunuh Ishak? Kita juga ingin tahu bagaimana suara hatinya berbisik untuk memberikan
nasehat kepada Abraham untuk memberitahukan masalah yang dihadapinya itu kepada istrinya, anaknya,
dan bujangnya, atau tidak boleh mengatakannya sama sekali. Dari kisah kita tahu bahwa Abraham
menyimpan perintah Tuhan itu di dalam hatinya, dan karena itu ia harus bermain sandiwara di hadapan
sitrinya Sara. Ia membawa pergi Ishak anaknya tanpa berpamitan dengan Sara istrinya, dan ia juga tidak
mengatakan bahwa anaknya itu tidak akan kembali lagi. Anak itu akan dibunuhnya sesuai perintah Tuhan.
Bagaimana reaksi Sara, bujangnya, dan bahkan Ishak sendiri, seandainya mereka tahu hal itu. Dari lain
pihak, kiranya tidak mungkin bagi Abraham untuk mengatakan “rahasia” itu kepad mereka semua.
Abraham bahkan bergumul dengan dirinya sendiri, apakah ia akan menuruti perintah Tuhan itu atau
tidak? Menurut SØren Kierkegaard, Abraham sudah masuk dalam relasi dengan Tuhan secara personal
dan penuh misteri. Kalau ia tidak menuruti perintah Tuhan, ia akan berdosa. Meskipun kalau ia melawan
perintah Tuhan, secara moral ia menjadi orang baik karena tidak jadi membunuh Ishak. Inilah dilema dan
paradox yang diamali oleh Abraham. Ia dimasukan dalam ujian iman besar, bahwa yang paling pokok
adalah relasi personal dengan Tuhan. Relasi personal itu menuntut pengorbanan yang sangat besar.
Diperlukan penyerahan diri yang sangat total.

2.2.3. Abraham Lulus Ujian

33 | P a g e
Kembali dari bukit Moria, Abraham dan Ishak disambut oleh Sara dengan sukacita. Sebagai ibu, Sara
mungkin mempunyai firasat buruk karena sesuatu yang buruk hampir menimpa putranya, dan ia tidak
berani menyampaikan hal itu kepada Abraham suaminya. Abraham membawa kembali Ishak putranya
dengan selamat dan menyerahkannya kepada Sara. Namun dari dalam batin Abraham, telah terjadi
sesuatu yang luar biasa. Ia telah lulus ujian iman dalam relasi personal dengan Allah. Hal itu tidak bisa
dijelaskan dengan norma moral universal. Secara moral Abraham adalah seorang pembunuh karena niat
dan kemauan sudah diputuskan dengan bulat. Ia sudah mengikat Ishak dan sudah mengayunkan pisau.
Tindakan Abraham untukmembunuh sudah lengkap. Bahwa tindakan itu tidak jadi dilakukan, bukan
karena Abraham membatalkannya, melainkan karena Tuhanlah yang melarangnya. Namun tindakan
Abraham itu tidak dinilai dengan norma moral universal dengan mengkonsepkan Tuhan sebagai pemberi
aturan baik atau buruk. Tindakan Abraham itu hanya bisa dimengerti dalam konteks relasi personal antara
Abraham dengan Tuhan yang melampaui segala penilaian moral baik atau buruk.. Ternyata Abraham tidak
disebut sebagai pembunuh atau calon pembunuh, melainkan sebagai dia yang setia kepada Allah. Dia
menjadi bapa kaum beriman. Dia menjadi panutan penganut agama Abraham yakni agama dengan
pengikut yang besar di dunia ini, yakni Yahudi, Kristen dan Islam.

3. Berteologi Tentang Iman


Dasar objektif dari iman adalah kebenaran yang diwahyukan Allah secara positip melalui sejarah
keselamatan yang termuat dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Inti pesan Perjnjian
Lama adalah memberi kesaksian tentang karya Allah demi kepentingan manusia, yakni inisiatif Allah
dalam karya penyelamatan. Kunci pemahaman pesan tersebut adalah peristiwa keluarnya bangsa Israel
dari Mesir dan Perjanjian Sinai. Seluru peristiwa lain dalam Perjanjian Lama dapat dibaca dalam cahaya
kedua peristiwa tersebut.
Inti pesan Perjanjian Baru adalah peristiwa Paskah, wafat dan kebangkitan Kristus. Paskah adalah
titik puncak bahkan dalam arti tertentu menjadi rangkuman akhir dalam seluruh karya keselamatan Allah
bagi manusia. Dalam Paskah, Gereja merayakan Perjanjian Baru yang definitif, yakni hidup Kristus yang
bangkit yang adalah Kerajaan Allah di mana setiap orang dipanggil untuk berpartisipasi dalam iman.
Iman Perjnjian Baru yang berlanjut dalam iman Gereja adalah iman yang berhadapan dengan
Yesus yang adalah pemenuhan wahyu diri Allah dan sekaligus “isi” iman kita.

3.1. Alasan untuk Beriman


Allah yang Mahakuasa telah berbicara melalui Kitab Suci Perjanjian dan Perjanjian Baru, melalui
sejarah Israel dan melalui pribadi Yesus Kristus. Allah berbicara dengan seluruh kemahakuasaanNya itu
adalah benar dan dapat dipercaya. Ada dua syarat jika kita mempercayai informasi seseorang. Pertama,
orang itu ahli sehingga dia bisa memberi informasi dengan benar. Kedua, orang itu jujur sehingga dia
dapat memberi informasi secara jujur. Kemahakuasaan Allah menjadi alasan atau motivasi yang kuat
untuk percaya bahwa Allah itu “ahli atau kompeten”. Tetapi Allah juga Mahabaik, yang dengan jujur
menyampaikan kebenaran yang tidak dapat sesat (Veritas Dei infallibilis).
Jadi motivasi yang mendorong iman subjektif untuk percaya kepada pewahyuan objektif adalah
Veritas dan Veracitas Dei (Allah kebenaran dan Allah kejujuran).

3.2. Iman sebagai Antisipasi Kehidupan Surgawi Bersama Allah


Iman membuat manusia mempunyai orientasi tertentu dalam hidup. Iman berorientasi untuk
kehidupan kekal bersama Allah. Kehidupan kekal itu adalah salah satu pokok kebenaran isi iman.
Kehidupan kekal bersama Allah itu adalah pertemuan srugwai dengan Allah “dari muka ke muka” (1Kor
13:12).

34 | P a g e
Katekismus Gereja Katolik no. 163 antara lain mengajarkan, “Iman membuat kita mengecap secara
antisipatif kebahagiaan melihat Tuhan sebagai akhir dari peziarahan kita. Kita kemudian melihat Tuhan
dari muka ke muka seperti Ia ada (1Yoh 3:2). Dengan demikian, iman sudah merupakan permulaan dari
kehidupan kekal. Sekarang ini, kita berjalan dalam iman dan belum dalam penglihatan (2Kor 5:7) dan kita
mengenal Allah seperti dalam suatu cermin, masih samar-samar ... belum sempurna (2Kor 13:12).”
Kata-kata yang dipilih oleh Kitab Suci, dan dikutip oleh katekismus, untuk menerangkan arti iman
sebagai antisipasi kehidupan surgawi di atas, memberi kesan kesinambungan kehidupan di dunia ini dan
di surga nanti. Dalam iman kita sudah mulai mengenal Allah sejak di dunia ini. Allah yang kita kenal dalam
iman itu adalah sungguh-sungguh Allah yang bertakhta dalam kerajaan surga. Soalnya caranya masih
samar-samar, seperti melihat dalam cemin, atau serba belum sempurna. Dunia ini adalah tempat di mana
Allah dapat dikenal. Allah yang di dunia ini kita kenal dengan iman adalah Allah yang sama dengan yang
berada dalam kerajaan surga.

3.3. Iman sebagai Anugerah Allah


Dalam tema “Iman sebagai anugerah Allah” ini, akan ditekankan pengaruh daya kuasa pewahyuan
Allah bagi timbulnya iman dalam hati seseorang. Anugerah Allah yang pertama dan yang terbesar adalah
bahwa Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dalam dan melalui pribadi Yesus Kristus. Melalui Yesus
Kristus, Allah membiarkan diri-Nya dikenal oleh manusia. Iman akan pewahyuan diri Allah ini terdiri dari
beberapa unsur:
a) Allah diandaikan ada.
b) Allah diandaikan berbicara.
c) Allah berbicara tentag diri-Nya sendiri.
d) Allah bahkan memeberikan diri-Nya sendiri.

Kita akan membahas lebih lanjut empat pokok ini:

a) Iman sudah mengandaikan bahwa Allah ada. Teologi tidak pernah mempersoalkan adanya Allah.
Teologi sebagai refleksi iman bertitik tolak dari kepercayaan akan adanya Allah. Seorang teolog
dengan sendirinya dalah seorang beriman, karena tanpa iman seseorang tidak mungkin
berteologi.
b) Teologi mengadaikan bahwa Allah yang ada itu berbicara. Allah bukan hanya ada tetapi juga
berbicara dan berkomunikasi dengan manusia. Allah yang berkomunikasi dengan manusia itu
tentu saja ada yang Allah sampaikan kepada manusia. Namun cara Allah berbicara atau
berkomunikasi tentu tidak sama dengan cara menusia berkomunikasi. Dalam surat kepada jemaat
di Ibrani, dikatakan, “Pada zman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara
kepada nenek moyang kita ... “ (Ibr 1:1). Allah berbicara dalam pelbagai cara, sedangkan manusia
hanya dengan satu cara yakni berbicara atau omong.
c) Isi pembicaraan Allah adaah tentang diri-Nya sendiri. Allah berbicara kepada manusia tentang diri-
Nya dan tentang rencana-Nya, yakni rencana untuk menyelamatkan manusia. Itulah tujuan Allah
berbicara kepada manusia dalam dan melalui Yesus Kristus, yakni mengundang manusia masuk
dalam persekutuan hidup dengan Allah atau menyelamatkan manusia (bdk Why 21:3-4).
d) Allah tidak hanya berbicara dengan manusia, tetapi Allah juga menyerahkan diri-Nya kepada
manusia. Hal ini terjadi melalui Yesus Kristus, Sang Sabda yang menjadi manusia, di dalam Roh
Kudus menuju Bapa. Inilah puncak pewahyuan Allah. Dan puncak penyerahan diri Allah terjadi
ketika Yesus Putra-Nya dengan rela menanggung derita dan mati di kayu salib untuk menebus
dosa-dosa manusia. Tetapi pada hari ketiga Ia dibangkitkan oleh Allah.
3.3.1. Allah Membantu Kita Memahami Pewahyuan

35 | P a g e
Iman adalah suatu anugerah dari Allah. Allah yang mulai berinisiatif dengan mewahyukan
diri dan membantu manusia untuk menerima wahyu itu. Iman sebagai anugerah berarti Allah Ikut
Serta dalam Penangkapan Pewahyuan Allah memampukan manusia untuk menangkap dan
mengerti pewahyuan Allah. Kebenaran ini memiliki landasan Kitab Suci (Biblis) dari jawaban Yesus
atas pengakuan Petrus, “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang
menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di Surga” (Mat 16:14).
Dengan akal budi, manusia juga bisa mengecek pelbagai tanda yang mendorong manusia
untuk sampai pada kesimpulan bahwa mempercayai pewahyuan Allah merupakan suatu hal yang
bisa dipertanggungjawabkan. Petrus bisa percaya karena dia sudah dalam posisi dekat dengan
Yesus secara fisik. Ia sudah hidup bersama degan Yesus dan melihat Dia secara langung. Petrus
harus percaya karena terlalu banyak tanda dan mujizat dan yang dilakukan oleh Yesus dan
disaksikan oleh Petrus. Namun “kemauan” Petrus untuk mengakui Yesus sebagai mesias
digerakkan oleh Allah. Hal itu jelas dari kata-kata Yesus sendiri “bukan manusia yang mengatakan
itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang ada di surga” (Mat 16:17).
3.3.2. Allah Ikut Serta dalam Penangkapan Pewahyuan Allah
Cara Allah memampukan manusia untuk menangkap pewahyuan adalah dengan
memberi rahmat kepada manusia dan Allah ikut serta; Allah bersama-sama dengan
manusia dan memampukan manusia. Rahmat itu tidak lain adalah Allah yang
memberikan diri-Nya. Rahmat yang memampukan itu adalah keikutsertaan Allah dalam
aktivitas manusia untuk menangkap pewahyuan.
Dalam pandangan iman kita, Allah Tritunggal selain sebagai kebenaran
pewahyuan yang harus kita terima, tetapi juga yang menyebabkan kita memiliki
pandangan iman akan Allah sebagai Tritunggal.

4. IMAN DAN KESELAMATAN


Pada bagian ini, akan dibahas hubungan antara iman dan keselamatan. Gagasan pokok dari
refleksi ini adalah iman merupakan sambutan tangan manusia untuk menerima uluran tangan Allah.
Keselamatan yang merupakan rencana Allah, yang berarti datang dari Allah, bisa sampai kepada manusia
karena disambut dengan iman. Tanpa iman, tawaran dari pihak Allah, yang tetap merupakan uluran
tangan yang secara obyektif sudah diberikan, tidak bisa dialami secara subyektif. Dalam arti ini, iman
dianggap sebagai unsur konstitutif yang turut andil dalam mewujudkan keselamatan. Iman turut
membentuk keselamatan. Keselamatan dialami secara subyektif berkat adanya iman. Dalam bagian ini
akan dibahas berturut-turut: iman sebagai inisiasi kehidupan baru dalam Kristus (dimensi kristosentris);
iman sebagai partisipasi dalam tubuh mistik Kristus (dimensi eklesial); dan ian sebagai unsur yang mutllak
perlu bagi keselamatan (dimensi personal).

4.1. Iman sebagai Inisiasi Kehidupan Baru dalam Kristus


Secara kelihatan, iman Kristen diungkapkan, ditandai, atau dirayakan dalam pembaptisan.
Pembaptisan adalah wujud nyata dari permulaan iman. Sesudah pembaptisan, seorang bayi atau seorang
dewasa memulai sejarah hidup dalam iman. Dalam rumusan pembaptisan, disebutkan: “Apa yang saudara
minta dari Gereja?” Dan kemudian dijawab: “Iman”. “Iman memberi apa kepada saudara?” Kemudian
dijawab: “Kehidupan yang kekal”. Iman yang dimulai lewat pembaptisan itu menjadi permulaan
keselamatan (initium salutis). Iman juga disebut sebagai awal, dasar, dan akar dari setiap pembenaran
(initium, fundamentum, et radix omnis iustificationis).
Kehidupan dalam iman yang sudah dimulai sejak pembaptisan itu bisa disebut inisiasi kehidupan
baru di dalam Kristus. Alasannya, apa yang diminta dengan iman itu dipenuhi dalam Kristus. Hidup kekal,
keselamatan, dan pembenaran yang dikaitkan dengan iman tersebut diberikan oleh Allah di dalam Yesus
36 | P a g e
Kristus. Kristus menjadi jalan masuk untuk memperoleh semuanya itu. Dari pihak manusia, iman menjadi
jalan masuk ke dalam kasih karunia Allah. Paulus mengungkapkan kebenaran ini dengan berkata: “Oleh
Kristus, kita beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini (Rm. 5:2). Yang dimaksudkan dengan
kasih karunia ini adalah pembenaran dan hidup damai sejahtera dengan Allah sebagaimana dijelaskan
oleh Paulus: “Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah
oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus” (Rm 5:1).

4.2. Iman sebagai Partisipasi dalam Tubuh Mistik Kristus


Tubuh mistik Kristus adalah Gereja. Dalam konteks ini, iman dimengerti sebagai partisipasi
seseorang yang sudah dibaptis dalam kehidupan Gereja. Dimensi eklesiologis atau sifat partisipatif dari
iman ini bisa dilihat dari beberapa segi:
a. Segi Sosialitas Manusia
Beriman atau tidak, manusia selalu berada bersama orang lain. Menjadi anggota Gereja atau
tidak, manusia pada hakekatnya bercorak sosial. Ketika ia percaya, ia percaya sebagai pribadi
yang berada bersama dengan orang lain yang mempunyai kepercayaan sama. Status baru
yang diperolehnya berkat permandian membuat orang itu ambil bagian dalam kebersamaan
dengan orang lain yang juga dipermandikan. Dimensi sosialitas manusia membuat manusia
tidak mungkin beriman secara personal dan tertutup. Iman personal itu terbuka dan bercorak
partisipatif.
b. Segi Eklesial Iman
Kalau dimensi sosialitas manusia saja sudah menyebabkan iman bercorak sosial, apalagi
dimensi eklesial. Bisa dikatakan bahwa sosialitas manusia adalah level kodrat, sedangkan segi
eklesial adalah level rahmat. Berdasarkan pemikiran teologis, rahmat mengandaikan kodrat.
Bisa disimpulkan bahwa segi eklesial dari iman ini ditopang juga oleh segi sosial manusia,
namun lebih tinggi levelnya. Artinya segi ekelsial dari iman memiliki landasan yang lebih jauh
daripada segi sosial manusia. Landasan yang lebih jauh itu adalah landasan teologis. Kalau
level sosial menunjuk pada manusia sejauh sebagai manusia, level eklesial menunjuk pada
manusia sejauh sebagai manusia beriman. Iman itulah yang membuat manusia masuk dalam
persekutuan eklesial.

4.3. Iman sebagai Unsur Yang Mutlak Perlu bagi Keselamatan


Iman mutlak perlu bagi keselamatan. Keselamatan bisa sampai pada pribadi manusia tertentu
bila diterima dengan iman. Tanpa iman keselamatan yang ditawarkan itu tidak bisa berhasil secara
otomatis. Kalau tanpa iman Tuhan Yang Mahakuasa itu bisa memberikan keselamatan kepada pribadi
manusia, tetapi teologi seperti itu menderita kekeliruan visi tentang Allah dan manusia. Dalam teologi
seperti itu, Tuhan digambarkan sebagai Tuhan yang memaksakan keselamatan-Nya, dan manusia
digambarkan sebagai yang dipaksa untuk menerima keselamatan. Keselamatan yang digambarkan
sebagai hal yang bisa dipaksakan bertentangan dengan arti keselamatan itu sendiri. Tuhan yang tukang
memakasakan kehendak-Nya itu bagaiakan seorang diktator, walaupun seorang diktator yang baik. Dan
manusia yang bisa dipaksa itu adalah robot, walaupun robot yang berakal budi dan berkehendak bebas.
Dalam Katekismus Gereja Katolik dikatakan: “Percaya kepada Yesus Kristus dan kepada Dia
yang telah mengutus-Nya demi keselamatan kita adalah perlu untuk bisa diselamatkan. ‘Siapa yang
percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya aka dihukum’” (Mrk 16:16).
“Barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak taat kepada
Anak, ia tidak akan melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di atasnya” (Yoh 3:36) “.... Setiap
orang yang melihat Anak dan percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal, dan supaya Aku
membangkitkannya pada akhir zaman” (Yoh 6:40). Dalam surat kepada jemaat di Roma, Paulus
37 | P a g e
mengatakan: “Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, bukan karena ia melakukan
hukum taurat” (Rm 3:28). “Sebab itu, kita yang dbenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera
dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus” (Rm 5:1).
Katerangan dari Katekismus Gereja Katolik, dan dari teks Kitab Suci di atas, menunjukkan
bahwa iman perlu bagi keselamatan. Iman itu sendiri merupakan hasil kerjasama rahmat Allah dan jawaba
N bebas manusia, keselamatan sebagai buah dari iman mengharuskan secara mutlak adanya iman. Maka,
harus dikatakan bahwa iman mutlak perlu bagi keselamatan.

5. HIDUP MENURUT IMAN


Ada dua sisi kehidupan manusia beriman yang harus dijalani secara seimbang. Sisi yang satu
ada ungkapan iman. Ungkapan iman bisa dalam bentuk: mengikuti peryaan Ekaristi, dan perayaan
sakramen lainnya, devosi kepada Sakraman Mahakudus, ziarah ke tempat-tempat tertentu, dll. Sisi kedua
adalah perwujudan iman. Iman harus diwujudkan dalam perbuatan konkrit: orangtua dengan penuh cinta
mendidik dan membesarkan anak, seorang dokter merawat pasien dan sabar dan tulus, seorang guru
dengan sabar dan tabah mengajar dan mendidik murid, dll. Ada relasi dalektik antara teologi tentang
iman dan pelaksanaan iman. Semakin orang memahami arti iman, diharapkan orang lebih menghayatinya
dalam hidup. Dan kalau orang berusaha untuk mempraktekannya, pemahaman akan arti iman juga
semakin jelas. Dalam bahasa Latin ada ungkap: “Credo ut intellegam” artinya saya percaya supaya saya
mengerti. Iman membuat orang lebih mengerti akan msteri, makna dan tujuan hidupnya. Tetapi
sebaliknya juga dikatakan: “Intellego ut credam” artinya saya mengerti supaya saya percaya.
Semakinoranag mengerti isi imannya, semakin ia percaya. Itulaah fungsi teologi, yakni membuat orang
semakin mengerti imannya. Setiap orang beragama ditunut untuk lebih mengerti isi ajaran agamanya
supaya ia bisa mempertanggungjawabkannya dan menghayatinya secara lebih sadar, bebas, dan penuh
syukur.

5.1. Kewajiban untuk Memperdalam Pengetahuan Iman


Supaya setiap orang Katolik mengerti isi ajaran imannya, ia perlu memperdalam
pengetahuan iman itu. Sering kali terjadi bahwa orang Katolik sangat hebat berkembang dalam bidang
ilmu pengetahuan: kedokteran, ekonomi, hukum dll., tetapi pengetahuan agama berhenti pada tahap ia
mengikuti pelajaran agama terakhir,yaitu ketika di SMP atau di SMA. Kemampuan intelektual dan analisis
rasionalnya sangat tajam, namun pemahaman tentang isi imannya terlalu sederhana. Kenyataan itu
membuat kita prihatin dan mencoba memperhatikan perkembangan pengetahuan iman umat.
Seorang sarjana di bidang kedokteran, ekonomi, hukum dll., perlu membaca buku-buku
teologi dan buku-buku bacan rohani lainnya yang berbobot untuk memperdalam imannya, dan bukan
hanya mengandalkan khotbah di gereja. Prinsip umum bahwa setiap orang beriman wajib memperdalam
pengetahuan imannya bisa diterapkan secara berbeda sesuai jenjang usia, level pendidikan dan posisi
sosial atau eklesial seseorang.

5.2. Kewajiban untuk Mengakui Iman secara Lahiriah


Setiap orang beriman perlu mengakui iman kepercayaannya secara formal dan lisan di
hadapan orang lain. Kitab Suci sudah memberi penegasan tentang hal ini: “Setiap orang yang mengakui
Aku di hadapan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku di surga. Tetapi barang siapa
menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku di surga” (Mat
10:32). Atau pada ayat lain dikatakan: “Jika kamu mengaku dengan mulutmu bahwa Yesus adalah Tuhan,
dan percaya dalam hatimu bahwa Allah telah membangkitkan-Nya dari antara orang mati, maka kamu
akan diselamatkan” (Rm 10:9).

38 | P a g e
Kewajiban yang masih terlalu umum untuk mengakui iman kepercayaan itu bisa
dikelompokan dalam beberapa kasus.
1) Pada kesempatan pengakuan iman yang pertama waktu permandian. Upacara permandian
sendiri merupakan wujud pengakuan iman secara eksplisit dan menjadi pintu masuk ke dalam
kehidupan iman Kristen. Dalam permandian bayi, upacara permandian itu menjadi
pernyataan eksplisit iman orang tuanya.
2) Bila kehormatan Allah dan keselamatan sesama menuntutnya. Orang harus menyatakan
imannya secara lahiriah bila “sikap diamnya” bisa ditafsirkan sebagai penyangkalan akan
imannya. Kalau si A mengatakan bahwa si B bukan Katolik, pada hal si B orang Katolik, tetapi
si B diam saja, orang-orang akan mengira si B bukan orang Katolik.
3) Dalam situasi di mana sikap diam akan menjadi batu sandungan bagi saudara-saudara seiman,
melemahkan iman mereka, bahkan membuat mereka murtad. Misalnya seorang pemimpin
umat Katolik di tempat yang mayoritas penduduknya beragama lain perlu mengakui imannya
secara eksplisit (dengan membuat tanda salib atau dengan kata-kata) supaya man saudara-
saudara seiman dikuatkan. Apalagi seorang pemimpin uma itu adalah seorang imam.
4) Pada ksempatan pengangkatan jabatan-jabatan tertentu seperti diatur dalam Hukum Kanonik
kanon 833:
 Semua peserta Konsili Ekumenis atau partikular, sinode uskup dan sinode keuskupan,
yang hadir di sana dengan hak suara baik yang bersifat ikt menentukan atau yang
bersifat konsultatif.
 Mereka yang diangkat untuk martabat Kardinal.
 Semua yang diangkat untuk jabatan Uskup, Administrator Diosesan, Vikaris Jenderal,
Vikaris Episkopal dan VikarisYudisial, Pastor Paroki, Rektor, Dosen Teologi dan filsafat
di Seminari Tngggi, yang ditahbisakan menjadi Diakon.
 Para pemimpin pemimpin Tarekat Religius.
5) Kesempatan lain adalah ketika pengangkatan jabatan sipil. Orang Katolik yang dilantik untuk
menjadi pejabat publik juga disumpah berdasarkan iman kepercayaannya oleh seorang imam
atau rohaniawan atau yang mewakilinya. Pada kesempatan itu, pejabat Katolik yang
disumpah menyatakan di hadapan publik bahwa ia Katolik. Bagi pejabat yang Katolik,
pengakuan iman ini menjadi tantang dan kewajiban untuk menjalankan jabatannya sesuai
dengan semangat iman Katolik.
Dalam kesempatan pengagkatan jabatan sipil, pejabat Katolik dan Kristen Protestan tidak
mengatakan: “Saya bersumpah”, tetapi mengatakan: “Saya berjanji”. Tetapi Gereja Katolik
mengajarkan bahwa dalam situasi tertentu, seorang Katolik bisa bersumpah, terlebih jika ada
hukum lain (hukum negara) yang mewajibkannya.
Pertanyaannya: Mengapa dalam situasi tertentu, terlebih jika ada hukum lain yang
mewajibkannya, seorang Katolik boleh bersumpah? Apakah hal ini tidak melanggar perintah
Yesus Kristus yang bersabda: “Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah, baik
demi langit karena langit adalah takhta Allah, maupun demi bumi karena bumi adalah
tumpuan kakinya, atau demi Yerusalem, karena Yerusalem adalah kota Raja Besar ...” (Mat
5:34-35) atau teks lain: “Tetapi yang terutama, saudara-saudara, janganlah kamu bersumpah
baik demi langat maupun demi bumi atau demi sesuatu yang lain. Jika ya, hendaklah kamu
katakan ya, jika tidak hendaklah kamu katakan tidak, supaya kamu jangan kena hukuman”
(Yak 5:12).
Jawaban Gereja: Menafsir Alkitab bukanlah soal yang mudah. Dalam menafsir suatu ayat, bisa
terjadi perbedaan pendapat. Yang menjadi persoalan ialah kapan suatu ayat harus kita tafsir

39 | P a g e
apa adanya (secara hurufiah) dan kapan tidak. Tujuan uraian mengenaisumpah ini hanyalah
menunjukkan bahwa larangan bersumpah bukan larangan keras yang tidak bole ditawar-
tawar. Apa alasannya? Ada dua alasan.
 Alasan pertama: suatu ayat harus kita tafsir sesuai dengan konteksnya. Mat 5:34-35
berada dalam konteks kumpulan sabda Yesus di atas bukit. Dalam bagian iniYesus
mengajakan prinsip-prnsip hidup keagamaan kepada para pengikut-Nya. Dan untuk
menandaskan ajaran-ajaran-Nya itu, Yesus kadang-kadang memakai bahasa
hyperbolisme (yaitu gaya bahasa yang melebih-lebihkan). Oleh karena itu kita tidak
boleh terlalu terpaku pada bunyi ayat itu, tetapi berusaha melihat maksud ucapan
Yesus yang sebenarnya. Konteksnya adalah bahwa pada waktu itu dan juga sampai
sekarang, orang sedemikian mudah mengucapkan sumpah. Bersumpah untuk
menjadi seorang pejabat yang jujur dan bertanggungjawab, tetapi pada akhirnya
menjadi pejabat yang korup. Orang bahkan bisa bersumpah untuk menutupi
kesalahan atau ketidakjujurannya. Misalnya orang mengatakan: “Demi Tuhan, saya
tidak melakukan hal itu”, pada hal sesungguhnya ia melakukan. Jadi bila kita
bersumpah, berarti kita memanggil Allah sebagai saksi bahwa apa yang kita ucapkan
itu benar adanya. Itulah hakekat sumpah.
Kita lihat contoh yang lain. Dalam Mat 5:6 Yesus bersabda, “Jika engkau berdoa,
masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintumu dan berdoalah kepada Bapamu yang
ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat tempat yang tersembunyi
akan membalasnya kepadamu.” Apakah ini berarti kita tidak boleh berdoa di depan
umum? Tentu tidak. Ucapan Yesus ini sebenarnya mau mengecam praktek orang
menafik yang suka menonjolkan diri dalam hal doa. Dalam Mat 5:38, Yesus
mengatakan: “Siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi
kirimu.” Tetapi Yesus sendiri ketika ditampar oleh penjaga rumah Hanas, Yesus tidak
memberi pipi-Nya yang lain? Yesus malah mengajukan protes, “Jikalau kata-Ku ii
salah, buktikan kesalahannya, tetapi jikalau kata-Ku itu benar, mengapa engkau
menampar Aku. Jadi tujuan Yesus menguacapkan kata-kata itu pada Mat 5:38
sebenarnya hanya bertujuan mengajarkan agar orang tidak boleh membalas dendam
satu sama lain. Apa lagi kalau balas demdamnya itu melebihi apa yang telah dilakukan
orang terhadap diri kita. Orang hanya menyakiti hati kita, namun sering terjadi kita
membalas dengan membunuh orang tersebut. Jadi koneksnya adalah agar kita tidak
membalas dendam tetapi bersedia mengampuni dengan tulus. Juga bisa dilihat di Mat
5:29-30, menenai memotong tangan atau mencungkil mata. Apakah Yesus benar-
benar memerintah agar kita memeotong tangan, atau mencungkil mata kalau
anggota tubuh kita itu menyesatkan atau membinsakan kita? Tentu tidak. Dalam
semangat yang sama kita perlu menafsir ucapan Yesus mengenai sumpah. Yang fokus
pembicaraan Yesus bukanlah sumpah sebagai sumpah sendiri, melain kejujuran dan
kebenaran kata-kata seorang Katolik. Jika seorang Katolik mengatakan “ya”,
hendaknya artinya “ya” dan jika berkata “tidak”, hendaknya itu berarti “tidak.” Jadi
sumpah itu sebenarnya tidak perlu atau berlebih-lebihan.
Maka dalam pengangkatan sumpah, seorang pejabat publik yang beragama Kristen
Protestan atau Katolik, ia hanya mengatakan: “Saya berjanji.”
 Kedua, dalam surat-suratnya, Paulus sering mengucapkan kalimat-kalimat yang pada
hakekatnya adalah sumpah; supah itu pada hakekatnya adalah memanggil Allah (atau
sesuatu yang lain) sebagai saksi bahwa ucapannya itu bisa dipercaya kebenarannya.

40 | P a g e
Baiklah kita lihat ucapan-ucpan Paulus ini: 2 Kor 1:18, “Tetapi aku memanggil Allah
sebagai saksiku – Ia mengenal aku – bahwa sebabnya aku tidak datang ke Korintus
ialah untuk menyayangkan kamu.” 2 Kor 11:11, “Apakah karena aku tidak mengasihi
kamu? Allah mengetahuinya.” 2 Kor 11:30-31, “Jika aku harus bermegah, maka aku
akan bermegah atas kelemahanku. Allah, yaitu Bapa dari Yesus, Tuhan kita, yang
terpuji sampai selama-lamanya, tahu bahwa aku tidak berdusta. 1 Tes 2:5,
Karenakami tidak pernah bermulut manis- halitu kamu ketahui – dan tidak pernah
mempunyai maksud loba yang tersembunyi – Allah adalah saksi.

Jadi sekali lagi, idealnya kita tidak perlu bersumpah. Tetapi dalam situasi tertentu,
kita bisa saja bersumpah, terutama jika ada hukum lain (hukum negara) yang
mewajibkannya.
6) Dalam kasus penerimaan orang-orang ke dalam Gereja Katolik. Mereka yang dipermandikan
di Gereja lain, tetapi permandian mereka diakui oleh Gereja Katolik, maka ketika mereka
diterima ke dalam Gereja Katolik, mereka wajib mengucapkan syahadat para rasul.
Atau orang Katolik yang pindah agama dan kemudian kembali lagi ke Gereja Katolik, ia bisa
diampuni dan diterima kembali dalam pangkuan Gereja asal ia bertobat dan mengaku
dosanya. Prinsipnya Gereja menerima kembali anak yang hilang jika ia bertobat dan kembali
kepada Allah dalam Gereja Katolik.

5.3. Kewajiban untuk Mewartakan Iman

Iman perlu diwartakan. Iman tidak untuk disimpan bagi diri sendiri, melainkan untuk
diwartakan kepada orang lain. Sebagai anggota Gereja, orang Katolik yang menjalankan kewajiban
untuk mewartakan iman pada saat yang sama ambil bagian karya misoner Gereja.
Bagi kaum awam, kewajiban untuk mewartakan iman berdasar pada keanggotaan
mereka dalam Gereja Universal. Kaumawam menjalan kewajiban-kewajiban tersebut dengan cara
yang khas sebagai awam yang bergerak di bidang keduiniawian, misalnya dalam bidang politik,
ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan dan seni, dan alat-alat komunikasi lainnya.
Di samping itu aspek penting lainnya dalam tugas pewartaan iman adalah penghayatan
hidup berkeluarga, pendidikan anak-anak dan remaja dalam hal kasih, pekerjaan dalam profesi
tertentu, misalnya dokter, guru, hakim, pengacara, dll.
Kewajiban untuk mewartakan iman berarti melaksanakan perintah Yesus, “... pergilah,
jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh
Kudus, , dan ajarilah mereka melakukan segala-sesuatu yang telah Kperintahkan kepadamu. Dan
ketahuilah, Aku akan menyertai kamu sampai kepada akhir zaman” (Mat 28:20).

Materi Kuliah 6
GEREJA KRISTUS

A. ARTI KATA GEREJA


Gereja berasal dari bahasa Portugis, dari kata igreja. Kata igreja berasal dari bahasa
Yunani, dari kata ‘kyriake’ yang brarti rumah Tuhan atau kerluarga Tuhan. Dari kata ‘kyriake’
dibentuklah istilah ’Kerk’ (Belanda), ‘Kirche’ (Jerman), dan ‘Church’ (Inggris). Istilah Latin yang
dipakai untuk Gereja adalah ‘ecclesia yang berarti ‘kumpulan’ (ekklein = berkumpul). Kata
ecclesia pada mulanya dikenakan pada umat Kristen purba di Yerusalem. Dalam perkembangan
selanjutnya istilah ini dipakai untuk umat Kristen seluruh dunia.

41 | P a g e
B. PENGERTIAN GEREJA
Gereja didefinisikan sebagai persekutuan semua orang yang percaya kepada Kristus.
Melalui Sakramen Baptis, seseorang diterima secara resmi menjadi anggota Gereja. Gereja Katolik
adalah semua orang beriman yang percaya kepada Kristus, di bawah pimpinan Paus di Roma,
sebagai wakil Kristus yang kelihatan.
C. EKSISTENSI DAN TUGAS GEREJA
C. 1. Dasar Eksistensi Gereja.
Dasar eksistensi Gereja adalah Kristus sendiri. Dalam hidup dan karya-Nya, Kristus telah
meletakkan dasar-dasar yang meliputi: ajaran, teladan, pimpinan, dan penugasan. Landasan positif
penugasan Yesus dapat kita baca dalam Injil Matius: “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang
ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan
Kuberikan kunci Kerajaan Surga. Apa yang kau ikat di dunia ini akan terikat di surga dan apa yang
kau lepaskan di dunia ini akan terlepas di surga” (Mat 16:18-19).
C.2. Tugas Gereja
Tugas Gereja meliputi tugas pokok: Sebagai nabi, Gereja bertugas mewartakan sabda
Tuhan (kerygma); sebagai imam, Gereja bertugas meberikan rahmat (penebusan), menguduskan
umat, dan sebagai raja, Gereja bertugas menggembalakan, membimbing umat (pastoral).
C.3. Pelaksanaan Fungsi
Gereja melaksanakan tiga tugas di atas berdasarkan perutusan (mission) dari Kristus.
Perutusan dari Yesus dapat kita baca dalam Injil Matius: “Karena itu pergilah, jadikan semua
bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus, dan ajarlah
mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat 28:19-20).
C.4. Zaman Gereja Zaman Roh Kudus
Pelaksanaan tugas Gereja, meskipun Kristus tidak kelihatan lagi, namun pelaksanaan tugas
tersebut mendapat jaminan dari Roh Kudus. Pada hari Pentakosta, Roh Kudus yang dijanjikan oleh
Kristus turun ke atas Gereja melalui para rasul. “Roh Kebenaran” itu membimbing Gereja dari
zaman ke zaman, termasuk zaman sekarang ini. Karena itu zaman Gereja juga disebut zaman Roh
Kudus.
D. GEREJA TUBUH MISTIK KRISTUS DAN SAKRAMEN KESELAMATAN
D.1. Gereja Tubuh Mistik Kristus
Kata mistik dipahami sebagai pengalaman rohani dan batiniah di mana manusia berjumpa,
berkomunikasi, dan bersatu dengan Allah. Pengalaman ini terjadi karena karunia dan kemurahan
Allah kepada setiap insan yang membuka hati bagi Allah.Tubuh Mistik Kristus adalah sebutan
untuk Gereja atau persekutuan seluruh umat beriman. Istilah Tubuh Kristus berasal dari Paulus
yang menyamakan jemaat dengan Tubuh Kristus. Kristus adalah kepala Gereja, dan kita adalah
anggotanya.
Ungkapan Gereja tubuh mistik Kristus didasarkan atas Kitab Suci dari surat pertama rasul
Paulus kepada jemaat di Korintus: “Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing
adalah anggotanya” (1 Kor 12:27). Dasar pikirannya sebagai berikut: Kristus adalah pengantara
tunggal yang menghubungkan manusia dengan Allah. Hal ini mengandung implikasi berikut:
manausia yang mau bertemu dengan Allah Bapa (dan mendapat keselamatan kekal) harus melalui
Kristus sebagai jalan satu-satunya. Maka Kristus mesti menjadi titik pertemuan antara manusia
dengan Allah. Selama Kristus secara fisik berada di Palestina, terjadi penyembuhan berkat kontak
42 | P a g e
dengan tubuh-Nya. Siapa saja yang menyentuh tubuh-Nya mengalami kesembuhan (keselamatan)
jiwa-raga.
Sekarang Kristus tidak ada lagi di dunia. Hal ini menimbulkan kesulitan. Namun demikian
saat ini kontak dengan Kristus sebagai syarat mutlak untuk mencapai keselamatan dimungkinkan
melalui kontak dengan tubuh mistik Kristus, yakni Gereja. Konkritnya umat Allah dapat
membangun relasi dengan Kristus melalui penerimaan sakramen-sakramen. Menerima Sakramen
Baptis merupakan kontak pertama dengan Kristus dan sakramen-sakramen yang lain. Kontak
dengan Kristus secara terus menerus dari hari ke hari dapat terjadi melalui Sakramen Ekaristi
Kudus. Karena itu Ekarisi Kudus adalah sakramen dari segala sakramen. Ekaristi menjadi pusat
dan puncak kehidupan umat Katolik.

D.2. Gereja Sakramen Keselamatan


Sakramen adalah tanda dan sarana rahmat Allah yang menyelamatkan. Fungsi sakramen adalah
menyucikan dan menyelamatkan manusia. Penyucian dan penyelamatan terjadi berkat rahmat yang
mengalir dari sakramen itu sendiri. Sesungguhnya Kristus sendiri adalah sumber rahmat itu sendiri. Karena
itu Konsili Vatikan II menyatakan bahwa Kristus adalah sakramen dasar untuk keselamatan dunia. Karena
itu Gereja sebagai Sakramen Keselamatan mengalirkan rahmat ilahi dari sumber utamanya demi
keselamatan dunia.
Pada saat Yesus disalibkan, lambung-Nya ditikam dengan tombak, dan mengalirlah darah dan air
yang melambangkan ketujuh sakramen Gereja.Pnerimaan sakramen-sakramen, pembagian rahmat
penebusan Kristus dilaksanakan oleh Gereja dalam suatu perayaan yang disebut liturgi.

E. MODEL-MODEL GEREJA

MODEL PERSEKUTUAN
MODEL LEMBAGA MODEL SAKRAMEN MODEL PEWARTA MODEL PELAYAN
MISTIK
Gereja digambarkan Persaudaraan Gereja menjadi Gambaran ini Gambaran pelayan
sebagai lembaga menjadi perwujudan lahir bersumber pada yg melayani dunia;
Negara. keprihatinan utama, kenyataan ilahi yg gamabaran seorang bukan yg melayani
Kehidupannya hubungan antar batin. Bentuk lahir utusan raja yg dari luar. Melayani
adalah kehidupan pribadi sangat itulah rahmat yg mewartakan berita dunia khususnya
masyarakat politik. penting, baik Nampak. di lapangan umum. dalam
Hampir segalanya hubungan vertikal Keprihatinan memperjuangkan
ditata dengan dengan Allah utamanya adalah Sabda yg kebebasan, keadilan
hukum dan maupun hubungan bagaimana menjadi diwartakan dan dan perdamaian.
kekuasaan untuk horizontal dengan perwujudan yg didengar dgn iman
menyampaikan sesama. Diakui mendekati itulah yg Sangat terbuka
ajaran Kristus, adanya hubungan yg kenyataannya yg membentuk Gereja. terhadap masalah-
menguduskan tidak Nampak ilahi dan batin itu. masalah di luar
dengan rahmat dan dengan mata. Gambaran ini lembaga Gereja
atas namanya Bagi Gereja ini, bersifat sendiri. Gereja tidak
sendiri memerintah Pengakuan atau Rahmat Allah juga konggregasional ingin menjadi
anggota- ikatan batin yg tidak bekerja di luar batas (menekankan penentu, melainkan
anggotanya. Bentuk nampak membuat lembaga Gereja. pentingnya jemaat). subyek yg
lahir memegang Gereja bersifat Masing-masing mengamati apa yg
peranan terlalu terbuka. Dapat Gereja ini bersifat jemaat merupakan dibutuhkan oleh
penting. mengembangkan dinamik, tidak statis sebuah Gereja yg dunia.
sifat-sifat dalam berusaha lengkap.
Sangat menekankan demokratis. mempersatukan yg
hirarki, berpusat tak Nampak dengan
pada kaum klerik, yg Nampak.
suasananya yuridis,
bersifat triumfalis
dan individualistis.

PANDANGAN TENTANG AKHIR ZAMAN & PANDANGAN TENTANG GEREJA YANG BENAR
MENURUT MASING-MASING MODEL

43 | P a g e
MODEL PERSEKUTUAN MODEL
MODEL LEMBAGA MODEL SAKRAMEN MODEL PELAYAN
MISTIK PEWARTA
Kristus Hubungan Akhir zaman Bagi Gereja tidak begitu
meninggalkan manusia dgn menjadi salah Gereja ini member perhatian
warisan ajaran, Kristus yg tak lain satu ukuran zaman kepada akhir zaman.
pelayanan dan adalah penting akhir Keprihatinan
sakramen. keselamatan
hadirnya Gereja sudah utamanya adalah
Pandagan Tentang Akhir Zaman

dimulai di bumi
dan di dunia. Gereja dekat.Ger keterlibatannya dalam
disempurnakan di baru berarti bila eja ini dunia masa kini.
surga pada akhir benar-benar membantu
zaman. menjadi manusia
ungkapan menyiapk
Kerajaan Allah an diri
pd. akhir zaman untuk
itu. menyongs
Gereja harus ong akhir
selalu berusaha zaman dgn
menjadi tanda sabda
kenyataan kepada
Kerajaan Allah manusia.
pd akhir zaman
Percaya bahwa Gerejanar yg Sebuah jemaat Yang Pengertian Gereja yg
Gereja inilah satu- benar itu satu, menjadi benar benar benaritu satu, kudus,
satunya yg benar. tetapi tidak dalam bila di dalam adalah katolik, dan apostolic,
Bila orang mau arti lahir. jemaat itu Injil. bukan semata-mata
diselamatkan, Kebenaran
diwujudkan Gereja yg dilihat sebagai tanda
maka harus masuk dipandang sebagai
ke dalamnya. mutu yg ada di kehadiran benar yg Nampak melainkan
Maka keprihatinan dalam jemaat. Kristus adalah sebagai mutu
sehingga orang Gereja yg kehidupan bersama.
Pandagan tentang Gereja yang benar

umum adalah Dalam masing-


besarnya jumlah masing jemaat yg mewartak Gereja itu benar bila di
anggota dan terdapat menerimanya an Injil, dalamnya dihayati
luasnya wilayah. kebenaran yg menjadi bagaimana persaudaraan yg
Gereja harus masih selalu terus bersatu. pun juga menyatukan.
menampakkan berkembang Setiap jemaat keadaan Persaudaraan itu
warisan para menuju dalam ukuran Gereja itu kudus karena
Rasul kepenuhan.
tertentu benar, merupakan hadiah dari
yaitu sejauh Allah, dengan
menjadi demikian menyatukan
Sakramen pula manusia dengan
Kristus atau Tuhan. Kesatuan ini
tanda kehadirn membuat manusia
Yesus Kristus. bekerja sama untuk
melanjutkan apa yg
sudah dimulai oleh
Yesus, yaitu
mewujudkan Kerajaan
Allah.

KEKUATAN DAN KELEMAHAN MASING-MASING MODEL

MODEL
MODEL LEMBAGA PERSEKUTUAN MODEL SAKRAMEN MODEL PEWARTA MODEL PELAYAN
MISTIK

44 | P a g e
Menghasilkan Memiliki Rahmat Allah Mempunyai dasar Menaggapi
dokumen-dokumen yg dasar alkita- diakui tidak alkitabiah yg kenyataan
jelas. Dengan mene- biah, berda- hanya pada Ge- berhubungan dgn bahwa Gereja
kankan unsur sarkan tradisi reja yg nampak para nabi sendiri mem-
kesinambungan dgn Katolik, yaitu
saja. Mendo- Perjanjian La-ma butuhkan
perkara-perkara yg rahmat
asli, maka mampu memberi rong orang un- & Paulus. tindakan
menjamin hu-bungan peluang pada tuk menjaga Memberikan untuk
antara masa kini yg tak prakarsa nama baik Ge- identitas bagi berpaling ke
menentu dan masa spontan, reja di masya- Gereja sete-mpat, luar agar tidak
Kekuatan

lampau yg dihargai memperkem- rakat. Memberi mem-beri motivasi mandul


secara agama. bangkan motivasi untuk untuk mela-kukan karena
Memberi identitas yg hubungan setia kepada peng-utusan. terisolasi.
jelas bagi persekutuan. antar pribadi. Gereja, Memperkem-
sekaligus bangkan hidup
member ruang rohani ygrcorak yg
untuk kritik. dapat member arti
kepada kelemahan
manusia. Berani
dalam mewartakan
Kristus.
Sangat kaku dalam Hubungan Tidak Karena terlalu me- Identitas tdk
mempertahankan antara Gereja memperhatikan nekan pada sabda, jelas. Tidak
bentuk Gereja yg lahir & rohani dasar-dasar kurang aktif di begitu jelas
nampak. Kutiban Kitab tdk selalu alkitabiah. dalam karya. penekanan
Suci dipergunakan jelas,
Terkadang Tidak begitu bahwa Yesus
untuk mengesahkan manakah yg
bentuk Gereja yg hakiki. terlalu memperhatikan taat kepada
sedang dihayatinya. Terlalu memperhatikan kesinambungan. Allah dan
Penekanan pada mengrohani- bentuk lahir, Tidak jelas di bukan kepada
ketaatan menjadikan kan Gereja yg lupa akan ke- mana letak kuasa dunia.
Kitab Suci sebagai Nampak. nyataan ba- mengajar. Karena Pelayanan
kitab hkum. Lamban Penekan tinnya. terlalu menekanka itujuga
untuk perubahan. perasaan Sakramentalis- kesaksian, sebetulnya
Kelemahan

Tidak memberi kelompok me dapat men- kegiatan kurang juga


peluang untuk dgn mudah jadi sempit diperhatikan. diperuntuk-
tumbuhnya kreativitas. member
sehingga tidak kan bagi
Sulit bekerja sama kesan
denganGereja-Gereja tertutup. member orang Kristen
lain. kesempatan dan mencakup
untuk karya- pelayanan
karya sacramental
pewartaan di bukan
luar Gereja pelayana
sendiri. kebutuhan
duniawi
semata bagi
orang-orang
di luar Gereja
resmi.

45 | P a g e
46 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai