Vitamin d3 Pada Sistem Imun Penderita TB
Vitamin d3 Pada Sistem Imun Penderita TB
2007
DAFTAR ISI
4.5. Metabolisme Vit D dan Ekspresi VDR pada Sel Sistem Imun ... 19
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri
organisme penyebab dan respon imun pejamu. Penularan melalui inhalasi droplet yang
akan mencapai alveoli, di mana bakteri akan mengalami fagositosis oleh makrofag
alveoler. 30% individu yang terpajan akan mengalami infeksi di mana 90% akan menjadi
Sistem imun seluler yang melibatkan makrofag dan sel limfosit T memainkan
peranan penting pada kejadian infeksi TB. Makrofag akan mengenali lipoprotein
dan IL-18 yang merangsang pertumbuhan limfosit T CD8+ untuk melepaskan interferon
(IFN) gamma. IFN gamma penting untuk mekanisme aktifasi mikrobisid dan akan
oil), ekstrak phyllanti niruri, dan vitamin D3. Vitamin D3 berperan dalam mengaktifasi
tuberkulosis. Penelitian oleh Selvaraj dkk di India tahun 2003, membuktikan bahwa
lebih kuat pada kelompok yang mendapat vitamin D dibandingkan kelompok plasebo.
Amin dkk di Jakarta tahun 2005 membuktikan efektifitas penambahan vitamin D 3 pada
perbaikan gejala klinis, konversi bakteri sputum, dan perbaikan lesi radiologik yang lebih
Tinjauan pustaka ini akan membahas peran vitamin D3 dalam sistem imun penderita
TUBERKULOSIS PARU
2.1. Diagnosis(3-6)
Tuberkulosis (TB) paru adalah infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh kuman
laboratorium penunjang.
Keluhan dan gejala klinis bervariasi berupa gejala respiratorik batuk, batuk darah,
nyeri dada, sesak nafas, mengi.Gejala umum berupa penurunan berat adan, demam,
berkeringat, rasa lelah dan lemah, nafsu makan menurun. Temuan pada pemeriksaan fisik
sangat tergantung pada luas kelainan struktural paru. Pada lesi minimal dapat normal.
Kelainan dapat berupa bentuk dada yang asimetris, pergerakan dada yang ertinggal,
peningkatan stem fremitus, redup pada perkusi, suara nafas bronkial,amforik, vesikuler
yang melemah, ronki basah. Dapat pula ditemukan tanda-tanda penarikan paru,
Thoracic Society (ATS) dibagi menjadi tiga kelompok yaitu lesi minimal, lesi sedang,
Ziehl-Neelsen dimana sputum diambil sebanyak tiga kali dengan sensitifitas sebesar
35%. Dengan metode biakan konvensional atau metode radiometrik sensitifitas sebesar
Amplification , dan metode Polymerase Chain Reaction. Pada saat ini pengukuran kadar
2.2. Penatalaksanaan(3-6,12-14)
berdasarkan kategori penderita. Jenis OAT yang digunakan adalah OAT lini pertama
yaitu Isoniazid, Rifampisin, Etambutol, Pirazinamid, dan Streptomisin, serta OAT lini
Amikasin, Viomisin dan Tiasetazon. Obat lainnya yang digunakan adalah golongan
Tuberkulosis ditularkan melalui inhalasi droplet dari orang yang terinfeksi saat
batuk, bersin, atau berbicara. Droplet akan mencapai alveoli dimana bakteri akan
dimakan oleh makrofag alveolar, dimana kejadian ini adalah satu serial interaksi antara
pejamu dan patogen. Tigapuluh persen individu yang terekspos akan mengalami infeksi
dimana 90 % dari individu yang terinfeksi tadi akan mengalami infeksi laten, dan 10 %
penyakit infeksi adalah hasil keseimbangan antara respons imun pejamu dan virulensi
agen penyebab(1-6).
berkembang biak di dalam makrofag. Selama infeksi primer makrofag yang terinfeksi
akan terbawa masuk sistem limfatik ke kelenjar limfe regional dan dapat tersebar ke
seluruh tubuh melalui aliran darah. Dapat terjadi penyebaran ekstra pulmonar dimana
infeksi menjadi dorman sampai saat reaktivasi atau infeksi menyebar aktif dan luas. Lima
persen individu dengan infeksi laten akan berkembang menjadi aktif dalam jangka waktu
dua tahun, dan lima persen lainnya akan berkembang pada satu waktu tertentu selama
hidup penderita(1-7).
Faktor genetik pejamu dapat menyebabkan infeksi aktif M TB. Gen-gen yang
telah diteliti berhubungan dengan kejadian infeksi aktif M TB adalah gen Human
Makrofag dan limfosit T sangat berperan penting dalam respon imun terhadap
memangsa bakteri dan menghasilkan sitokin, khususnya IL-12 dan IL-18 yang akan
CD4+ (helper T-cell) dan limfosit T CD8+ (cytotoxic T-cell). Ini akan berbentuk ekspansi
klonal dari limfosit T yang spesifik. Responnya berupa tipe Th1 dengan sel CD4+, IFN-γ,
dan IL-2 memainkan peranan penting. Respon imun selular terhadap mikobakteria
biasanya berkembang tiga sampai delapan minggu setelah terinfeksi. Pada saat yang sama
hipersensitivitas jaringan berkembang dan dapat terlihat melalui tes kulit yang bereaksi
jaringan berkurang sehingga terjadi respon inflamasi non spesifik dengan serbukan
sedikit leukosit polimorfonuklir dan monosit dan basil dalam jumlah besar tetapi tanpa
bentukan granuloma(1-7).
makrofag yang berperan sebagai sel efektor. CD4+ Th1 melepas sitokin IFN-γ yang
disebabkan oleh produk makrofag yang diaktifkan seperti enzim hidrolitik, oksigen
reaktif intermediat, oksida nitrat dan sitokin proinflamasi. Bila kondisi menguntungkan
DTH akan berakhir dengan hancurnya mikroorganisme oleh enzim lisosom dan produk
makrofag lainnya seperti peroksid radikal dan superoksid. Pada infeksi mikobakteria
kuman terlindung oleh kapsul lipid, sehingga terjadi DTH kronik yang merangsang
makrofag untuk melepas sitokin dan Growth factor (GF) yang dapat menimbulkan
granuloma. DTH merupakan reaksi fisiologis terhadap patogen yang sulit untuk
membentuk sel-sel epiteloid yang bersatu berupa sel datia dalam granuloma. Granuloma
ini dapat mendesak jaringan normal yang berakhir dalam perkijuan dan nekrosis.
Kerusakan tidak hanya disebabkan mikroorganisma yang masuk tetapi juga karena reaksi
DTH(1-7).
turunnya daya tahan tubuh yaitu suatu keadaan yang disebut cacat imuniti seluler. Mc
Murray dkk menemukan bahwa pada penderita TB paru terjadi penurunan reaksi
sintesis IFN-γ dan IL-12 dari subset Th1 dan tidak terlihat adanya perubahan sekresi IL-
4, IL-10, dan IL-13 dari subset Th2. Disimpulkan bahwa pada level sistemik dari limfosit
T infeksi TB berkembang bila terjadi penekanan pada Th1 dan tidak adanya perubahan
respon Th2. Hal serupa terlihat pula pada penelitian Lin Y et al (1990) yang
menyebutkan bahwa terjadinya penekanan respon Th1 yang kuat merupakan gambaran
terjadinya infeksi TB, tetapi peningkatan respon Th2 tidak terlihat pada sel-sel
pada penderita TB respon Th1 tidak ditingkatkan baik secara sistemik maupun lokal(1-7).
normal yang telah divaksinasi dengan BCG dengan mengkloning sel mononuklear perifer
yang dirangsang dengan antigen M TB inaktif, Heat shock protein 6 kDa dan peptida
sintetik. Ternyata sitokin yang diproduksi adalah tipe Th1 meliputi IL-2, IFN-γ, dan GM-
CSF. Diduga proteksi terhadap infeksi TB yang dilakukan sel T melalui sitokin yang
diproduksi terutama adalah IFN-γ untuk mengaktivasi makrofag yang terinfeksi M TB.
IL-4 oleh subset Th2 tetapi tidak diikuti dengan peningkatan proliferasi sel T. Profil
sitokin yang menuju arah Th2 terhadap antigen mikobakterial memegang peranan penting
terhadap terjadinya mekanisme resistensi dari defective host dalam infeksi TB(1-7).
BAB IV
VITAMIN D3
4.1. Introduksi
Sistem endokrin dari vitamin D adalah sistem biologik yang komplek dan paling
sensitif yang digunakan oleh golongan vertebrata untuk merasakan sinar matahari.
Hingga dua dekade yang lalu sistem endokrin vitamin D pada manusia hanya dikenal
untuk fungsi regulasi keseimbangan ion kalsium dan fosfor, dan untuk pembentukan serta
rumatan skeletal. Penemuan dari dua tahap aktifasi metabolisme vit D3 menjadi bentuk
VDR) menunjukkan hubungan penting dari interaksi antara metabolit vitamin D3 dengan
proses transkripsi dan aktifitas molekuler sel-sel target. Hal ini juga sekaligus
menunjukkan kerja biologik baru dari metabolit vitamin D3 yaitu efek terhadap regulasi
pertumbuhan dan differensiasi tipe-tipe sel. Bukti terbaru menunjukkan bahwa makrofag
reseptor inti vitamin D (VDR) terdapat pada sel-sel sistem imun, dimana hal ini
menguatkan dugaan fungsi imunologik baru dari sistem endokrin vitamin D(8-10).
4.2. Biosintesis dan degradasi 1α,25-(OH)2D3
matahari. Ada pengertian yang salah bahwa makanan yang difortifikasi dan vitamin
dan tidak cukup untuk mencegah pengeroposan tulang. Jumlah vitamin D yang
diperlukan untuk mencukupi fungsi imunologiknya belum diketahui, mungkin jauh lebih
besar daripada jumlah yang diperlukan untuk homeostasis ion mineral dan kebutuhan
tulang. Hanya vitamin D3 yang berasal dari pajanan sinar matahari yang dapat mencukupi
kebutuhan cadangan vitamin D3 (terutama pada otot dan jaringan adiposa) dan menyuplai
vitamin D untuk kebutuhan selanjutnya. Vitamin D yang berasal dari makanan dibawa ke
hepar melalui remnant kilomikron dimetabolisme secara cepat dan lengkap, sehingga
vitamin D bersumber dari makanan tadi tidak menetap dan tidak cukup untuk disimpan
sebagai cadangan(8-10).
Pajanan sinar matahari terhadap kulit merupakan langkah pertama biosintesis vitamin
D3. Foton ultraviolet B (UVB) (gelombang 290-320 nm) merusak ikatan ke- 9-10 dari 7-
menjadi vitamin D3. Intensitas radiasi sinar matahari yang tergantung pada musim dan
letak daerah pada garis lintang menentukan laju sintesis vitamin D pada kulit. Di kota
Boston ( letak 42oN) laju sintesis vitamin D pada kulit yang terpajan sinar matahari
tengah hari antara bulan November sampai Februari kurang bermakna, karena foton-
foton UVB tidak memiliki cukup energi untuk menjadi mediator reaksi fotolisis. Semakin
tinggi posisi pada garis lintang semakin lama periode kekurangan sintesis vitamin D,
sehingga kemungkinan insufisiensi vitamin D semakin tinggi. Laju sintesis pada kulit
juga menurun pada peningkatan pigmentasi kulit, penambahan usia, dan penggunaan
tabir surya(8-10).
Dibutuhkan dua langkah aktivasi enzimatik untuk menghasilkan bentuk biologik aktif
hormon vitamin D (1α,25-(OH)2D3). Tiga enzim hidroksilase yang terlibat dalam aktifasi
Protein = DBP) yang dikoding oleh lokus Gc (komponen grup spesifik a2-globulin
25 vitamin D3. Kemudian vitamin D3 yang dibawa ke hepar secara cepat diubah menjadi
25-hidroksivitamin D3 (25-(OH)D3(8-10).
dalam sirkulasi.
25-(OH)D3 adalah bentuk metabolit vitamin D yang paling banyak, yang menggambarkan
jumlah vitamin D pada hepar yang berasal dari diet , kulit, dan cadangan. 25-(OH)D3
dalam darah juga mempunyai masa paruh yang relatif lama sekitar 15-30 hari dan kadar
tertingginya ada pada saat awal musim gugur dan terendah saat awal musim semi(8-9).
berlangsung di ginjal, sama halnya pada jaringan lain seperti usus dan tulang. Inaktifasi
pelipatan rantai samping kepada alkohol C-23, dan terakhir oksidasi dalam bentuk asam
kalsitroik. Gen CYP24A1 yang mengkoding 24-OHase telah berhasil di klon dari tikus
percobaan. Tikus percobaan yang tidak memiliki gen CYP24A1 ini memiliki kadar
sistemik, sehingga variasi kadar 1α,25-(OH)2D3 dalam darah sangat kecil. Pada hewan
kelenjar paratiroid akan membaca bila kadar kalsium serum rendah dan akan melepaskan
hormon paratiroid. Hormon paratiroid akan berikatan dengan reseptornya pada sel ginjal
dan akan memulai kaskade sinyal c AMP yang menstimulasi transkripsi gen CYP27B1
yang akan dibaca sebagai empat elemen responsif c AMP pada promoter. Transkripsi gen
dan meningkatkan kadar kalsium serum. Peningkatan kadar 1α,25-(OH)2D3 serum akan
mengaktifkan jalur umpan balik VDR yang akan menekan transkripsi gen CYP27B1 dan
menstimulasi gen transkripsi CYP24A1. Hal ini akan menyebabkan perlambatan sintesis
bertingkat dengan elemen AP-1, AP-2<, Sp1, dan NF-κB, hal ini menyiratkan bahwa
pengaturannya sangat komplek dan kemungkinan berbeda-beda pada tipe-tipe sel yang
berbeda(8-10).
VDR adalah anggota dari superfamili reseptor inti hormon-hormon steroid. VDR
sebagai suatu ligan regulator transkripsi yang teraktifasi. VDR tampak sebagai struktur
yang moduler yang mempunyai terminal N DNAyang berikatan dan berhubungan dengan
suatu daerah yang fleksibel terhadap ligan terminal C yang termasuk dimerisasi
responsive elements (VDRE) pada promoter gen responsif dari 1α,25-(OH)2D3 . VDRE
terdiri dari dua bagian tengah heksamer yang tersusun sebagai pengulangan langdung
dipisahkan oleh tiga pasangan basa acak. Gen CYP24A1mempunyai dua VDRE dalam
promoternya. Protein inti dari VDR yang berikatan dengan DNA disusundi dalam
bentuk dua modul nukleasi zinc. Bagian tengah heliks yang dibentuk oleh residu pada sisi
terminal C dari jari zinc yang pertama secara langsung ke dalam lekukan utama dari
inti terletak di antara jari-jari dua zinc. Ligan pengikat VDR mempunyai heliks yang
teraktifasi yang melaksanakan pengubahan utama atas ligan pengikat. Reposisi heliks
yang teraktifasi memberi jalan pada komplek VDR-RXR untuk mengambil protein
pengambilan holoenzim polimerase II RNA dan transkripsi gen. Sub domain VDR
(OH)2D3 dengan berbagai variasi dari proses-proses biologis. Fungsi klasik VDR adalah
regulasi konsentrasi kalsium dan fosfat darah dan metabolisme tulang melaui kontrol
Variasi allela dari kromosom 12 gen VDR banyak terjadi secara alamiah pada
manusia. Varian alamiah dapat dibedakan dari sensitifitas DNA terhadap restriksi
endonuklease FokI (VDRf), ApaI (VDRa), BsmI(VDRb), dan TaqI (VDRt) dengan sedikit
kasus pada presentasi tempat endonuklease. Pada orang Eropa dan Asia tiga bentuk
haplotip yang umum adalah pada akhir 3' polimorfisme yaitu baTL, BatS,dan bATL,
adanya sintesis 1α,25-(OH)2D3 ekstra renal. Hal ini membuktikan bahwa produksi
1α,25-(OH)2D3 lokal mungkin menandakan adanya fungsi regulator pada sel-sel sistem
imun. Enzim yang mengkatalisir sintesis dan degradasi 1α,25-(OH)2D3 pada sel ginjal
dan makrofag sarkoid adalah identik, tetapi berbeda secara bermakna dalam hal
bagaimana kadar enzim diregulai dan dalam hal produksi hormon. Enzim 1α,OHase pada
ginjal dan makrofag sarkoid mempunyai afinitas dan spesifisita yang sama terhadp
substrat 25 hidroksilase dan urutan cDNA yang identik. Tetapi sintesis 1α,25-(OH)2D3di
ginjal mengalami supresi sendiri sedangkan pada marofag sarkoid tidak. Perbedan
bermakna lainnya adalah dalam hal degradasi 1α,25-(OH)2D3. Pada ginjal 1α,25-(OH)2D3
hormon. Pada makrofag teraktifasi tidak terjadi hal seperti itu. Tikus percobaan yang
tidak memiliki CYP27B1 mengalami pembesaran kelenjar limfe dan penurunan jumlah
sel CD4+ dan CD8+. Hal ini tidak tampak pada manusia yang mengalami gangguan
fungsi VDR, sehingga tidak ada hubungan langsung antara gangguan fungsi VDR dengan
1α,25-(OH)2D3.
Hipotesis yang berkembang adalah bahwa 1α,25-(OH)2D3 yang diproduksi lokal mungkin
menunjukkan fungsi pengaturan sel-sel sistem imun pada tempat inflamasi. Sel limfosit
T perifer yang matang secara bermakna meningkatkan ekspresi VDR nya setelah
teraktifasi. Limfosit B teraktifasi melalui reseptor antigen sel B dan CD40 dengan adanya
IL-4. 1α,25-(OH)2D3 menginduksi ekspresi gen CYP24A1 mengkoding 24-OHase 1α,25-
mengekspresikan VDR dalam kadar yang tinggi dan gangguan 24-OHase mungkin
Tikus percobaan yang tidak memiliki VDR mengalami gangguan produksi faktor
promotif Th1 dan IL-18, penurunan proliferasi sel Th1, dan penurunan ekspresi signal
transducer and activation of transcription 4 (STAT 4) (suatu faktor transkripsi sel Th1).
Secara bersama-sama keadaan ini menunjukkan bahwa fungsi VDR sangat esensial untuk
perkembangan sel Th1. Pada tikus percobaan yang tidak memiliki VDR terjadi
Makrofag yang tidak mempunyai VDR memiliki respon fagositosis dan membunuh
yang normal, tetapi mengalami penurunan respon kemotaksis. Koreksi hipokalsemia pada
sejumlah vitamin D di bawah pengaruh IFN gamma. Interaksi antara pasangan dimer
TLR2/1 pada membran makrofag menceturskan upregulasi ekspresi dari VDR dan gen
berasal dari dinding sel M TB. Kondisi ini menyebabkan makrofag dapat memakai DBP
serum yang berikatan dengan 25-D pada cairan ekstraseluler untuk digunakan sebagai
substrat upregulasi CYP27B1 dan sintesis 1,25-D endogen. 1,25-D yang diproduksi pada
tempat tadi akan bebas berinteraksi dengan produk gen VDR yang sudah mengalami
upregulasi, berikatan dengan RXR dan mengtransaktifkan gen katelisidin. Dengan kata
lain interaksi tadi memulai suatu serial kejadian seluler yang memerlukan vitamin D
molekul defensin. Liu et al membuktikan bahwa defisiensi vitamin D pada serum akan
makrofag.
Defisiensi vitamin D berhubungan dengan insiden infeksi yang tinggi, di mana hal
terkuat adalah infeksi kronik mikobakteria. Kadar 25-OHase yang rendah berhubungan
berhubungan dengan lokus plimorfisme VDR dan jenis respon imun antimikobakterial
Alela VDRt yang kurang aktif berhubungan dengan respon Th1 terhadap antigen
tuberkulin pada penduduk di India. Alela ini mempunyai hubungan dengan rendahnya
Alela VDRf yang kurang aktif juga mempunyai resiko rendah terhadap infeksi kronik
hubungan antara genotip VDR dengan TB dan Hepatitis B serta infeksi M leprae banyak
terjadi pada subjek dengan kadar 25-(OH)D3 serum yang rendah dibandingkan subjek
dengan kadar yang normal. Pada kondisi ini resiko faktor genetik, fenotip VDR,
adalah melalui modulasi respon imun pejamu dengan menginduksi sekresi IL-10
Gambar 8. Upregulasi Sintesis Vitamin D3 oleh Makrofag pada Infeksi M TB(14)
Dosis harian yang direkomendasikan oleh The United states Dietary Reference
Intake dengan batas atas yang masih dapat ditoleransi pada pria berusia 25 tahun adalah
50mikrogram/hari, dosis ini setara dengan 2000 IU/hari. Dosis yang dianjurkan untuk
Efek samping yang paling sering adalah hiperkalsemia. Meskipun demikian banyak
penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan vitamin D dalam dosis besar dalam
pengobatan TB paru. Selvaraj et al. di India tahun 2003 mendapatkan bahwa vitamin D 3
kelompok yang mendapatkan vitamin D setelah enam minggu didapatkan bahwa imunitas
terhadap mikobakterium lebih kuat 20% dibanding kelompok plasebo, dan jumlah
Samara, Rusia Martineau et al pada tahun 2005 juga mendapatkan bahwa kejadian
berhubungan dengan kurangnya pajanan sinar matahari dan pola diet pada kelompok
dan polimorfisme gen VDR pada kelompok Asia Gujarat berhubungan dengan resiko
klinis dan konversi bakteri sputum, serta perbaikan gambaran lesi radiologis yang lebih
bahwa dosis besar vitamin D3 tidak menyebabkan efek samping yang nyata.
BAB V
RINGKASAN
1. Infeksi tuberkulosis merupakan hasil interaksi antara kuman penyebab dan pejamu.
Faktor pejamu yang dapat mempermudah infeksi TB adalah gangguan pada Human
2. Sistem imun seluler berperan penting dalam infeksi TB dengan melibatkan reaksi
hipersensitifitas tipe lambat, sel limfosit T helper subset Th1, dan sel makrofag.
defensin.
1. Hoal EG, Möller M: Host genetics and predisposition to tuberculosis. Curr Allergy
Clin Immunol 2004;17(4):160-165
2. Selvaraj P: Host genetics and tuberculosis susceptibility. Curr Sci 2004;86(1)115-121
3. Schluger NW: The pathogenesis of tuberculosis. The first one hundred(and twenty-
three) years. Am J Respir Cell Mol Biol 2005;32:251-256
4. Schluger NW: Recent advances in our understanding of human host responses to
tuberculosis. Respir Res 2001;2:157-163
5. Rook G. The pathophysiology of tuberculosis. Center for infectious disease and
international health windeyer institute university college london 2004
6. Rook GAW, Seah G, Ustianowski A: M. tuberculosis: immunology and vaccination.
Eur Respir J 2001;17:537-557
7. Van Crevel R, Ottenhoff THM, Van der Meer JWM: Innate immunity to
mycobacterium tuberculosis. Clin Microbiol Rev 2002;15(2):294-309
8. Jones G, Strugnell SA, DeLuca HF. Current understanding of the molecular actions of
vitamin D. Physiol Rev 1998;78(4):1193-1227
9. Hayes CE, Nashold FE, Spach KM et al. The immunological functions of the vitamin
D endocrine system. Cell Mol Biol 2003;49(2):1-19
10.Adams JS. Vitamin D as a defensin. J Musculoskelet Neuron Interact 2006;6(4):344-
346
11.Zmuda JM, Cauley JA, Ferrell RE. Molecular epidemiology of vitamin D receptor
gene variants. Epidemiol Rev 2000;22(2):203-217
12.Chandra G, Selvaraj P, Jawahar MS et al: Effect of vitamin D3 on phagocytic
Potential of macrophage with live mycobacterium tuberculosis and
lymphoproliferative response in pulmonary tuberculosis. J Clin Immunol
2004;24(3):249-257
13.Ustianowski A, Shaffer R, Wilkinson RJ et al: Prevalence and associations of vitamin
D deficiency in foreign-born persons with tuberculosis in london. J Infect
2005;50:432-437
14. Martineau AR, Honecker F, Wilkonson RJ et al: Vitamin D in the treatment of
pulmonary tuberculosis:a review. Center for health sciences, Barts and the london
school of medicine and dentistry United Kingdom 2006. pp 1-13
15. Cantorna MT, Zhu Y, Froicu M, et al : Vitamin D status, 1,25-dihydroxyvitamin D3,
and the immune system. Am J Clin Nutr 2004;80(suppl):1717S-20S
16. Lewis SJ, Baker I, Smith D: Meta-analysis of vitamin D receptor polymorphisms and
pulmonary tuberculosis risk. Int J Tuberc Lung Dis 2005;9(10):1174-1177
17. Overbergh L, Decallonne B, Valckx D et al: Identification and immune regulation of
25-hydroxyvitamin D-1-α-hydroxylase in murine macrophages. Clin Exp Immunol
2000;120:139-146
18. Bellamy R, Ruwende C, Corrah T et al: Tuberculosis and chronic hepatitis B virus
infection in africans and variation in the vitamin D receptor gene. J Infect Dis
1999:179:721-4
19. Haussler MR, Haussler CA, Dominguez CE et al: The nuclear vitamin D recept or
from clinical radioreceptor assay of the vitamin D hormone to genomics, proteomics
and a novel ligand. J Clin Ligand Assay 2002;25(2):221-228
20. Wilkinson RJ, Liewelyn M, Toossi Z et al: Influence of vitamin D deficiency and
vitamin D receptor polymorphisms on tuberculosis among gujarati asians in west
london: a case-control study. Lancet 2000;355:618-21
21. Rockett KA, Brookes R, Udalova I et al: 1,25-dihydroxyvitamin D3 induces nitric
oxide synthase and suppresses growth of mycobacterium tuberculosis in a human
macrophage-like cell line. Infect Immun 1998;66(11):5314-5321
22. Roth DE, Soto G, Arenas F: Association between vitamin D receptor gene
polymorphisms and response to treatment of pulmonary tuberculosis. JID
2004;190:920-7