CHOLANGITIS
MALIKUS SALEH
NIM : 201620461011108
Gambar 3. CT scan yang menunjukkan dilatasi duktus biliaris (panah hitam) dan
dilatasi duktus pankreatikus (panah putih), dimana keduanya terisi oleh musin.
4. ERCP
Endoskopik merupakan selang kecil yang mudah digerakkan yang menggunakan
lensa atau kaca untuk melihat bagaian dari traktus gastro intestinal. Endoscope Retrograde
Cholangiopancreotography (ERCP) dapat lebih akurat menentukan penyebab dan letak
sumbatan serta keuntungannya juga dapat mengobati penyebab obstruksi dengan
mengeluarkan batu dan melebarkan peyempitan.
5. Skintigrafi
Skintigrafi bilier digunakan untuk melihat sistem bilier termasuk fungsi hati dan
kandung empedu serta diagnosa beberapa penyakit dengan sensitifitas dan spesifitas sekita
90% sampai 97%. Meskipun test ini paling bagus untuk melihat duktus empedu dan
duktus sistikus, namun skintigrafi bilier tidak dapat mengidentifikasi batu saluran empedu
atau hanya dapat memberikan informasi sesuai dengan letak anatominya. Agent yang
digunakan untuk melakukan test skintigrafi adalah derivat asam iminodiasetik dengan
99m
label Tc.
6. Kolesistografi oral
Metode ini dapat digunakan untuk melihat kerja dari sistem bilier melalui prinsip
kerja yang sama dengan skintigrafi tapi dapat memberikan informasi yang lebih jelas.
Pasien diberi pil kontras oral selama 12-16 jam sebelum dilakukan tes. Kemudian kontras
tadi diabsorbsi oleh usus kecil, lalu dibersihkan oleh hepar dan di ekskresi ke dalam
empedu dan dikirim ke kandung empedu.
7. Kolangiografi
Biasanya diindikasikan ada suatu saat dalam penatalaksanaan pasien dengan
kolangitis. Pada sebagian besar kasus, kolangiografi dilakukan untuk menentukan patologi
biliaris dan penyebab obstruksi saluran empedu sebelum terapi definitif. Jadi,
kolangiografi jarang diperlukan pada awal perjalanan kolangitis dan dengan demikian
harus ditunda sampai menghilangnya sepsi. Kekecualian utama adalah pasien yang datang
dengan kolangitis supuratif, yang tidak berespon terhadap antibiotik saja. Pada kasus
tersebut, kolangiografi segera mungkin diperlukan untuk menegakkan drainase biliaris.
Kolangiografi retrograd endoskopik ataupun kolangiografi transhepatik perkutan dapat
digunakan untuk menentukan anatomi atau patologi billiaris. Tetapi, kedua teknik tersebut
dapat menyebabkan kolangitis pada sekitar 5 persen pasien. Dengan demikian
perlindungan antibiotik yang tepat harus diberikan sebelum instrumentasi pada semua
kasus.
G. KOMPLIKASI
1. Abses hati piogenik
Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini pada anak dan
dewasa muda terjadi akibat komplikasi apendisitis, dan pada orang tua sebagai komplikasi
penyakit saluran empedu seperti kolangitis. Infeksi pada saluran empedu intrahepatik
menyebabkan kolangitis yang menimbulkan kolangiolitis dengan akibat abses multiple.
2. Bakteremia, sepsis bakteri gram negatif
Bakteremia adalah terdapatnya bakteri di dalam aliran darah (25-40%). Komplikasi
bakteremia pada kolangitis dapat terjadi oleh karena etiologi utama penyebab terjadinya
kolangitis adalah infeksi bakteri. Demam merupakan keluhan utama sekitar 10-15%.
3. Peritonitis sistem bilier
Kebocoran empedu dalam ruang peritoneal menyebabkan iritasi dan peritonitis. Jika
empedu terkena infeksi, maka akan menyebabkan peritonitis dan sepsis yang mempunyai
resiko tinggi yang sangat fatal.
4. Kerusakan duktus empedu
Duktus empedu dapat dengan mudah rusak pada tindakan kolesistektomi atau pada
eksplorasi duktus empedu yang tidak sesuai dengan anatominya. Kesalahan yang sangat
fatal adalah tidak mengetahui cara melakukan transeksi atau ligasi pada duktus.
5. Perdarahan
Arteri hepatik dan arteri sistikus serta vaskularisasi hepar lainnya dapat mengalami trauma
dan perdarahan pada saat melakukan operasi. Perdarahan yang terjadi kadang susah untuk
dikontrol.
6. Kolangitis asendens dan infeksi lain
Kolangitis asendens adalah komplikasi yang terjadinya lambat pada pembedahan sistem
bilier yang merupakan anastomosis yang dibentuk antara duktus empedu dan usus besar
bagian asendens. Refluks pada bagian intestinal dapat berlanjut menjadi infeksi aktif
sehingga terjadi stagnan empedu pada sistem duktus yang menyebabkan drainase tidak
adekuat.
Komplikasi lain yang harus diperhatikan pada pembedahan sistem bilier adalah
abses subprenikus. Hal ini harus dijaga pada pasien yang mengalami demam beberapa
hari setelah operasi.
Komplikasi yang berhubungan dengan pemakaian kateter pada pasien yang diterapi
dengan perkutaneus atau drainase endoskopik adalah :
Perdarahan (intra-abdomen atau perkutaneus)
Sepsis
H. PENATALAKSANAAN
Jika diagnosis klinis kolangitis telah dibuat, penatalaksanaan awal adalah konservatif.
Keseimbangan cairan dan elektrolit harus dikoreksi dan perlindungan antiobiok dimulai.
Pasien yang sakit ringan dapat diterapi sebagai pasien rawat dengan antibiotik oral. Dengan
kolangitis supuratif dan syok septik mungkin memerlukan terapi di unit perawatan insentif
dengan monitoring invasif dan dukungan vasopresor.
Pemilihan awal perlindungan antibiotika empiris harus mencerminkan bakteriologi
yang diduga. Secara historis, kombinasi aminoglikosida dan penicillin telah dianjurkan.
Kombinasi ini adalah pilihan yang sangat baik untuk melawan basil gram negatif yang sering
ditemukan dan memberikan antivitas sinergistik melawan enterokokus. Penambahan
metronidazole atau clindamycin memberikan perlindungan antibakterial terhadap anaerob
bakteroides fragilis, jadi melengkapi perlindungan antibiotik. Perlindungan antibiotik jelas
diubah jika hasil biakan spesifik dan kepekaan telah tersedia.
Satu faktor yang seringkali dipertimbangkan dalam pemilihan antibiotik untuk terapi
kolangitis adalah konsentrasi obat yang terdapat dalam empedu. Secara teoritis antibiotik
saluran biliaris yang ideal harus merupakan antibiotik yang bukan saja mencakup organisme
yang ditemukan dengan infeksi saluran biliaris, tetapi juga yang dieksresikan dalam
konsentrasi tinggi ke dalam cairan empedu.
1. Dekompresi biliaris
Sebagian besar pasien (sekitar 70 persen) dengan kolangitis akut akan berespon
terhadap terapi antibiotik saja. Pada kasus tersebut demam menghilang dan tes fungsi hati
kembali ke normal seringkali dalam 24 sampai 48 jam. Jika pasien tidak menunjukkan
perbaikan atau malahan memburuk dalam 12 sampai 24 jam pertama, dekompresi biliaris
darurat harus dipertimbangkan. Pada sebagian besar kasus, dekompresi biliaris segera
paling baik dilakukan secara non operatif baik dengan jalur endoskopik maupun perkutan.
Yaitu :
a) Penanggulangan sfingterotomi endoskopik
Apabila setelah tindakan di atas keadaan umum tidak membaik atau malah semakin
buruk, dapat dilakukan sfingterotomi endoskopik, untuk pengaliran empedu dan nanah
serta membersihkan duktus koledokus dari batu. Kadang dipasang pipa nasobilier.
Apabila batu duktus koledokus besar, yaitu berdiameter lebih dari 2 cm, sfingterotomi
endoskopik mungkin tidak dapat mengeluarkan batu ini. Pada penderita ini mungkin
dianjurkan litotripsi terlebih dahulu.
b) Lisis batu
Disolusi batu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik mungkin berhasil pada
batu kolesterol. Terapi berhasil pada separuh penderita dengan pengobatan selama satu
sampai dua tahun. Lisis kontak melalui kateter perkutan kedalam kandung empedu
dengan metil eter berhasil setelah beberapa jam. Terapi ini merupakan terapi invasif
walaupun kerap disertai dengan penyulit.
ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy) adalah penghancuran batu saluran
empedu dengan menggunakan berbagai jenis lithotripter yang dilengkapi dengan
pencitraan flouroskopi sebelum prosedur, diperlukan sfingterotomi endoskopik dan
pemasangan kateter nasobiliaris untuk memasukkan material kontras. Terapi
dilanjutkan sampai terjadi penghancuran yang adekuat atau telah diberikan pelepasan
jumlah gelombang kejut yang maksimum.
c) PTBD ( Percutaneous Transhepatik Biliar Drainage)
Pengaliran bilier transhepatik biasanya bersifat darurat dan sementara sebagai salah
satu alternatif untuk mengatasi sepsis pada kolangitis berat, atau mengurangi ikterus
berat pada obstruksi saluran empedu distal karena keganasan. Pada pasien dengan pipa
T pada saluran empedu dapat juga dimasukkan koledokoskop dari luar untuk membantu
mengambil batu intrahepatik.
2. Adapun pembedahan-pembe dahan yang dilakukan
a) Kolesistektomi Terbuka
Karl Legenbach dari Jerman telah melakukan kolesistektomi elektif yang pertama
pada tahun 1882. Lebih dari satu abad kolesistektomi terbuka dijadikan standar untuk
metode terapi pembedahan pada sistem empedu. Kolesistektomi membutuhkan
anestesi umum kemudian dilakukan irisan pada bagian anterior dinding abdomen
dengan panjang irisan 12 – 20 cm.
b) Tekhnik operasi untuk kolesistektomi terbuka
Tidak ada aturan yang kaku tentang jenis insisi yang terbaik. Insisi digaris tengah,
paramedian kanan, transversal dan insisi subkostal dapat dilakukan, tergantung pada
pilihan ahli bedah. Kriteria penting adalah pemaparan yang adekuat untuk diseksi serta
eksplorasi. Pilihannya adalah insisi subkostal kanan (Kocher) sebagai salah satu insisi
yang paling serba guna dalam diseksi kandung empedu dan saluran empedu.(3,12)
Keterangan gambar :
1. Tempat trokar
2. Fundus ditahan/dipegang dan cephalad diretraksi untuk mengekspos/mengenai kandung
empedu proksimal dan ligamentum hepotoduadenale. Selain itu bagian posterolateral
infundibulum di retraksi untuk dapat mengenai segitiga Calot
3. Segi tiga Calot dibuka dan leher kandungan empedu dan bagian duktus sistikus di
diseksi. Klip dipindahkan pada hubungan antara duktus sistikus dengan kandungan
empedu
4. Pembukaan kecil dibuat didalam duktus sistikus dan kateter kolangiogram di insersi
5. Duktus sistikus dan arteri sistikus dibagi
6. Gambar intraoperatif yang menunjukkan bagian lateral infundibulum kandungan
empedu, nampak segitiga Calot yang sudah didiseksi begitu juga dengan arteri sistikus
e) Eksplorasi koledokus; laparoskopi eksplorasi duktus empedu
Umumnya, batu duktus empedu dideteksi intraoperatif dengan kolangiografi
intraoperatif atau ultrasonografi dan dilakukan dengan cara laparoskopi eksplorasi
koledokus yang merupakan bagian dari tekhnik kolesistetomi laparoskopi. Pasien dengan
batu duktus empedu dideteksi sebelum operasi, biasanya dengan klirens endoskopik.
Namun, kurang berhasil sehingga batu di duktus harus dilakukan dengan kolesistektomi.
Jika batu pada duktus empedu kecil, mungkin dapat dibilas ke dalam duodenum
dengan mengalirkan saline melalui kateter kolangiografi setelah sfingter Oddi
direlaksasikan dengan glukagon. Jika irigasi (pengaliran) tidak berhasil, dapat dilakukan
pemasangan kateter balon melalui duktus sistikus dan turun ke duktus empedu.
Gambar 8 laparoskopi eksplorasi duktus empedu. Laparoskopi eksplorasi koledokus.
Keterangan Gambar :
1. Keranjang transistik dengan menggunakan fluoroskopi
a) Keranjang digunakan sebagai tempat batu dan terbuka
b) Batu ditempatkan dikeranjang kemudian dipindahkan dari duktus sistikus
2. Koledoskopi transistik dan pemindahan batu
a) Keranjang dilewati oleh beberapa saluran pada skopik dan batu dapat dilihat
dibawahnya
b) Batu entrapped
c) Pernyataan dari koledoskopik
3. Koledoktomi dan pemindahan batu
a) Insisi kecil dibuat pada duktus empedu
b) Duktus empedu dibersihkan batunya dengan koledoskopik
c) Pemasangan T. Tube dibagi kiri duktus empedu yang berhubungan dengan dinding
abdomen untuk dekompersi empedu
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas
Cholangitis cukup jarang terjadi, biasanya terjadi bersamaan dengan penyakit lain yang
menimbulkan obstruksi billier dan bactibilia missal setelah prosedur ERCP, 1-3% pasien
mengalami cholangitis.
b. Keluhan utama pada penderita kolangitis, klien mengeluh nyeri perut kanan atas nyeri
tidak menjalar /menetap, nyeri pada saat menarik nafas dan nyeri seperti ditusuk tusuk
c. Riawayat penyakit :
1) Riwayat penyakit dahulu
Riwayat medis pasien mungkin dapat membantu contohnya riwayat dari keadaan
berikut dapat meningkatkan resiko cholangitis
Batu kandung empedu atau batu saluran empedu
Pasca cholecystectomy
Manipula endoskopik atau ERCP cholangiogram
Riwayat cholangitis sebelumnya
Riwayat HIV/AIDS: choalngitis yang berhubungan dengan aids memliki cirri edema
bilier ekstrahepatik ulserasi dan obstruksi bilier
2) Riwayat penyakit sekarang
Banyak pasien yang dating dengan ascending cholangitis tidak memiliki gejala klasik
tersebut. Sebagian besar pasien mengeluh nyeri abdomen kuadran lateral atas. Gejala
lain yang dapat terjadi meliputi: jaundice, demam, menggigil dan kekakuan, nyeri
abdomen tinja yang acholis.
3) Riwayat penyakit keluarga
Perlu dikaji apabila klien mempunyai penyakit keturunan seperti diabetes mellitus,
hipertensi, anemia.
d. Pemeriksaan fisik
1) System pernafasan
Inspeksi : dada tampak, pernafasan dangkal klien tampak gelisah
Palpasi : vocal vremitus teraba merata
Perkusi : sonor
Auskultasi : tidak terdapat suara tambahan (ronchi, wheezing)
2) System kardiovaskuler
Terdapat takikardi dan diaphoresis
3) System neurologi
Tidak terdapat gangguan pada system neurologi
4) Simtem pencernaan
Inspeksi : tampak ada distensi abdomen diperut kanan atas klien mengeluh mual
muntah
Auskultasi : peristaltic usus 5-12x / menit flatulensi
Perkusi : adanya pembengkakan di abdomen atas/ kuadran kanan atas nyeri tekan
epigastriu
5) System eliminasi
Warna urine lebih pekat dan warna feses seperti tanah liat
6) System integument
Terdapat ikterik/jaundice dengan kulit berkeringat dan gatal
7) System musculoskeletal
Terdapat kelemahan otot karena gangguan produksi ATP
2. Diagnose keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi
2. Hipertermia berhubungan dengan proses inflamasi infeksi bakteri
3. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan mual muntah
4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuat pertahanan sekunder (penurunan
hb, leukopenia, penekanan respon inflamasi)
5. ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan respon lokal saraf adanya penekanan
pada organ lain akibat inflamasi dan peningkatan kontraksi peristaltik
3. Intervensi Keperawatan
Luhulima, JW, dr, Prof. (2011). Abdomen, Anatomi II, Bagian Antomi FKUH, Makassar,
hal : 28-29
Piutz R, Pabst R, Atlas Anatomi Manusia, Edisi 20, EGC, Jakarta, (2008), hal : 144-145
Northon A, Jeffery, Balinger, Randal R, Chang EA, et al, Surgery Basic Science and Clinical
Evidence, Part I, New York, Sprinset Comp, (2012), p : 568-574