Anda di halaman 1dari 12

Menu utama

Skip to content

 DIVISI
 Dokumentasi
 LINK yg di IKUTI
 Sejarah HMSC
 Struktur Organisasi

Patient Safety – Paradigma Baru


Layanan Medis
Dipublikasi pada Januari 19, 2012 oleh a♪♪u aKima

2 Votes

Pendahuluan
Utamakan keselamatan “safety first” dewasa ini telah menjadi issue global termasuk juga untuk
pelayanan dirumah sakit. Saat ini terdapat lima issue penting yang berkaitan dengan pelayanan
medis di rumah sakit. Kelima issue itu adalah keselamatan pasien “patient safety”, keselamatan
para pekerja atau petugas kesehatan baik medis maupun paramedis dan karyawan lain,
keselamatan bangunan dan semua peralatan rumah sakit, keselamatan lingkungan dan
keselamatan “bisnis” rumah sakit yang bagi rumah sakit swasta tentunya sangat terkait dengan
kelangsungan hidup rumah sakit dan kesejahteraan seluruh karyawannya. Kelima aspek
keselamatan tersebut sangatlah penting untuk dilaksanakan di setiap rumah sakit. Namun harus
diakui fokus utama kegiatan di institusi rumah sakit adalah pelayanan medis. Oleh karena itu
dapat dipahami mengapa patient safety menjadi prioritas utama untuk dilaksanakan, hal tersebut
terkait dengan mutu layanan dan citra rumah sakit.
Institute Of Medicine di USA pada tahun 2000 menerbitkan laporan yang mencengangkan
masyarakat global: “TO ERR IS HUMAN”, Building a Safer Health System. Laporan tersebut
mempublikasikan hasil riset di rumah sakit pada negara bagian Utah, Colorado dan New York.
Di Utah dan Colorado ditemukan insidens adverse event sebesar 2,9%, dimana 6,6% diantaranya
meninggal. Sedangkan di New York, adverse event didapatkan sebesar 3,7% dengan angka
kematian 13,6%. Kumulatif angka kematian akibat adverse event pada pasien rawat inap di
seluruh USA, berkisar antara 44.000 – 98.000 pertahun dari 33,6 juta jiwa pasien rawat inap.
Pada tahun 2004, WHO mempublikasikan hasil riset pada rumah sakit di USA, Inggris, Denmark
dan Australia, ditemukan adverse event dengan rentang antara 3,2% – 16,6%. Berbagai
kekerapan diatas cukup mencengangkan bagi pemerhati masalah kesehatan, tetapi mungkin
belum menyentuh bagi sebagian lain. Akan tetapi dengan data tersebut beberapa negara sudah
merasa perlu untuk segera mengembangkan dan menerapkan Sistem Keselamatan Pasien Rumah
Sakit (SKPRS).
Di Indonesia data mengenai adverse event & near miss apalagi sentinel event masih sangat
langka, tetapi yang pasti tuduhan malpraktik terhadap dokter dan atau rumah sakit makin lama
makin sering dijumpai. Berkaitan dengan hal diatas Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia
(PERSI) merasa perlu untuk membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS)
yang diresmikan pada 1 Juni 2005 di Jakarta. Gebrakan PERSI disambut baik oleh Depkes, maka
gayung pun bersambut dengan diresmikannya pencanangan Gerakan Keselamatan Pasien Rumah
Sakit oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada 21 Agustus 2005 di Jakarta.
Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir tumbuh demikian
pesatnya, peningkatan diatas juga disertai dengan peningkatan rerata tingkat ilmu pengetahuan
dan sosial ekonomi masyarakat. Perubahan faktor-faktor tersebut secara tidak langsung akan
meningkatkan needs & demands masayarakat dalam mencari layanan medis yang bermutu, aman
dan terjangkau. Dalam menyikapi perubahan-perubahan diatas diperlukan kesiapan yang baik
dari seluruh tenaga medis, paramedis serta semua unit pendukung di rumah sakit, bentuk respons
yang tidak siap, tidak sigap dan tidak adekwat dapat berpotensi menimbulkan berbagai macam
permasalahan. Berbagai masalah yang timbul biasanya terjadi akibat kelalaian dalam upaya
penanganan yang akhirnya akan berujung pada munculnya adverse event.
Konsep dari pelayanan medis pada dasarnya adalah segala upaya yang dilakukan untuk
menyembuhkan dan atau menyelamatkan atau mengurangi penderitaan pasien dari penyakit atau
kelainan yang dideritanya. Dalam melakukan upaya tersebut diatas, terdapat kaidah dasar yang
harus selalu diingat ”Primum, Non Nocere” atau “First, do no harm” (Hiprocrates).
Peningkatan mutu pelayananan medis (medical services) dirumah sakit merupakan faktor penting
dalam pengembangan layanan rumah sakit (hospital services), layanan medis adalah indikator
penting kinerja layanan rumah sakit. Mutu layanan medis merupakan bagian yang tak
terpisahkan dengan keselamatan pasien, secara matematis mutu medical services berbanding
terbalik dengan insidens medical error, oleh karena itu peningkatan mutu medical services akan
dapat menurunkan insidens medical error di rumah sakit.
Menurut Institute of Medicine (1999), Medical error didefinisikan sebagai ”The failure of a
planned action to be completed as intended or the use of a wrong plan to achieve an aim “
Menurut derinisi lain, Medical error is an inaccurate or incomplete diagnosis and or treatment
of a disease; injury; syndrome; behavior; infection or other ailment.
Sedangkan menurut Bhasale et al (1998) mendefinisikan medical error sebagai “ an unintended
event . . . that could have harmed or did harm a patient.”
Pemahaman definisi diatas menggambarkan bahwa medical error adalah : Suatu kekeliruan /
kesalahan yang terjadi saat melakukan suatu prosedur medis (upaya menegakkan diagnosis atau
terapi terhadap suatu penyakit, infeksi, cidera, syndrome atau kelainan medis lain) yang
dilakukan secara tidak tepat atau tidak lengkap atau tidak sesuai dengan rencana (SOP), atau
menggunakan metoda yang salah (sudah tidak dipakai lagi/ditinggalkan), dan dapat
membahayakan bagi pasien. Dengan definisi seperti diatas sudah dapat diperkirakan akan banyak
sekali medical error yang dilakukan oleh dokter dalam melakukan tugasnya sehari-hari. Analisa
lebih lanjut ternyata banyak medical error itu muncul karena tekanan ataupun situasi yang ada
diluar kewenangan tenaga medis fungsional, situasi atau keadaan tersebut terus menerus terjadi
tanpa ada pembenahan atau upaya perbaikan dan sering tidak disadari (latency error). Contoh
dari latency error adalah suprastructure error, structure error, management error, technical
error, dan masih banyak lagi ”error” yang berperan sebagai “confounding factor” yang ikut
memicu munculnya medical error. Sedangkan active error adalalah medical error yang benar-
benar dilakukan oleh dokter karena pekerjaannya dan posisinya berada pada titik paling depan
dari task force layanan medis.

Berapa besar kekerapan & magnifikasi medical error ?


Di USA, negara dengan teknologi kedokteran dan sistem rekam medik yang jauh lebih maju dari
Indonesia mencatat, 1 diantara 200 pasien yang berobat ke RS berisiko mendapatkan medical
error, bandingkan dengan risiko akibat human error dalam bidang penerbangan yang hanya
sebesar 1 banding 2.000.000. Publikasi dari the Institute of Medicine seperti yang sudah
dikemukakan sebelumnya menyebutkan bahwa, di USA setiap tahunnya sekitar 48.000 hingga
98.000 pasien meninggal dunia akibat medical error serta menyebabkan cidera lebih dari 1 juta
pasien pertahun. Angka tersebut sangat mencengangkan bila dibandingkan dengan angka
kematian akibat AIDS (16.500/tahun) atau angka kematian akibat maraknya penggunaan senjata
api di USA (32.000/ tahun).
Masih di USA, sekitar seperempat pasien ICU yang tergolong sakit gawat dan terpaksa
menggunakan ventilator seringkali mengalami ventilator associated pneumonia (VAP), Dalam
pengamatan lanjut ternyata kekerapan VAP diatas memberikan kontribusi sebesar 60% untuk
kematian akibat hospital acquired infection. Disamping itu akibat VAP ini pasien terpaksa harus
dirawat rata-rata lebih lama 6 hari dengan biaya terapi yang meningkat hingga US$ 40.000 per
pasien (Weber et al, 2002).

Penelitian lain mengenai adverse event, dilakukan oleh The Harvard Medical Practice
melibatkan lebih dari 30.000 pasien yang dipilih secara random dari 51 rumah sakit di New York
pada tahun 1984 (Brennan et al, 1991), menyimpulkan terjadi adverse events pada 3,7% pasien
rawat inap yang akhirnya memerlukan perpanjangan lama hari rawat, atau menimbulkan
kecacatan pasien pasca perawatan. Analisis lebih lanjut dari riset diatas menunjukkan bahwa
lebih dari 58% adverse event tersebut sebetulnya dapat dicegah (preventable adverse events) dan
27,6% terjadi akibat kelalaian rumah sakit atau klinik (hospital / clinical negligence). Pada
follow up yang berikutnya menunjukkan bahwa, sebagian kecacatan akibat adverse event
tersebut pulih dalam waktu tidak lebih dari 6 bulan, namun 13,6% di antaranya akhirnya
meninggal dan 2,6% mengalami kecacatan permanen.
Dari berbagai laporan yang dicatat dalam survey diatas ternyata komplikasi akibat obat relatif
paling sering dilaporkan (19%), disusul oleh surgical site infection (14%) dan komplikasi akibat
masalah teknis selama tindakan operasi (13%) (Brennan et al,1991). Hasil temuan tersebut juga
dikuatkan oleh studi di Utah dan Colorado pada tahun 1992 yang melaporkan bahwa, adverse
event terjadi pada 2,9% pasien rawat inap. Studi ini dapat menunjukkan angka kelalaian klinik
yang lebih besar (29,2%) dengan adverse event yang dapat dicegah mendekati 53% (Thomas et
al, 1999).

Kemana biasanya suatu medical error berakhir ?

Biasanya medical error sering berakhir dengan munculnya tuntutan dari pasien ataupun
keluarganya, laporan dari National Health Services (NHS) di Inggris pada tahun 1998, jumlah
dana yang terkait dengan tuntutan pasien berjumlah £ 380 juta / tahun. Akhir-akhir ini tuntutan
hukum yang diajukan oleh pasien dan atau keluarganya kepada pihak rumah sakit dan atau
tenaga medis (dokter) menunjukkan peningkatan kekerapan. Tuntutan hukum tersebut dapat
berupa tuntutan pidana maupun perdata, dengan hampir selalu mendasarkan kepada teori hukum
kelalaian yang mengakibatkan timbulnya cidera berat ataupun kematian. Dalam bahasa sehari-
hari, perilaku yang dituntut adalah malpraktik tenaga medis (dokter). Definisi malpraktik
menurut World Medical Assocciation (WMA,1992) adalah :
” Medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of care for
treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the
patient, which is the direct cause of an injury to the patient.”
Definisi lain dari malpraktik adalah : Medical malpractice is professional negligence by act or
omission by a health care provider in which care provided deviates from accepted standards of
practice in the medical community and causes injury to the patient
Analisa hukum yang dapat disimpulkan dari definisi diatas bahwa malpraktik dapat terjadi
karena suatu tindakan medis yang dilakukan (commission & intentional), ataupun tidak
melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan (omission & intentional), memiliki unsur
kelalaian (negligence) dalam pelaksanaan, menyiratkan suatu kekurang-mahiran atau ketidak-
kompetenan yang tidak beralasan, menggunakan metoda yang melenceng (baku prosedur
operasional) dan mengakibatkan cidera pada pasien.

Di Indonesia analisa pada jenis pidana yang paling sering dituntutkan kepada profesi dokter
adalah pidana kelalaian yang mengakibatkan luka (pasal 360 KUHP), atau luka berat atau mati
(pasal 359 KUHP), yang dikualifikasikan dengan pemberatan ancaman pidananya bila dilakukan
dalam rangka melakukan pekerjaannya (pasal 361 KUHP).Sedangkan gugatan perdata dalam
bentuk ganti rugi dapat diajukan dengan mendasarkan kepada salah satu dari 3 teori di bawah ini,
yaitu : 1. Terdapat unsur kelalaian, 2. Adanya perbuatan melanggar hukum, dan 3. Wanprestasi
hasil kerja (outcome).
Bentuk-bentuk kelalaian di atas biasanya sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips and
lapses), namun pada kelalaian harus memenuhi unsur kelalaian dalam hukum – khususnya
adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian. Suatu tuntutan perdata
dalam hal ini sengketa antara pihak dokter dan atau rumah sakit berhadapan dengan pasien dan
atau keluarga atau kuasanya, dapat diselesaikan melalui dua cara, yaitu cara litigasi dan cara non
litigasi (Tabel 2).
Di Indonesia data tentang jumlah kumulatif dana yang dikeluarkan pada proses peradilan antara
dokter dan atau rumah sakit, berhadapan dengan pasien dan atau keluarganya masih tersebar dan
belum terdokumentasi dengan baik, serta belum ada yang melakukan pencatatan secara khusus.
Kemungkinan lain adalah banyak masalah tersebut yang diselesaikan secara non litigasi, atau
pasien dan keluarganya pasrah karena menganggap keadaan tersebut sudah menjadi nasib
“suratan takdir” mereka. Akan tetapi secara jelas terjadi peningkatan tuduhan “malpraktek” di
beberapa kota besar yang cukup signifikan (Tabel 2 & 3).

Mengapa masyarakat & dokter memerlukan penerapan Patient Safety dalam setiap
layanan medis ?
Gambaran awam mengenai “Rumah Sakit” adalah suatu institusi dimana terdapat ribuan macam
obat, ratusan jenis test diagnostik dan prosedur medis, berbagai alat dengan teknologi yang tak
diketahui masih laik atau tidak, bermacam jenis tenaga profesi dan non profesi. Keberagaman
dan rutinitas pelayanan dalam bentuk berbagai tindakan medis yang dilakukan, apabila tidak
dikelola dengan baik dapat menimbulkan adverse event.
Perlu disadari bahwa layanan medis adalah suatu sistem yang kompleks dimana terjadi hubungan
antar komponen yang ketat (complex and tightly coupled), khususnya di ruang gawat darurat,
ruang bedah dan ruang rawat intensif. Sistem tersebut ditandai dengan spesialisasi dan
interdependensi sehingga satu komponen dapat berinteraksi dengan banyak komponen lain dapat
dengan cara yang tak terduga atau tak terlihat. Semakin kompleks dan ketat suatu sistem, akan
semakin mudah terjadi kecelakaan (prone to accident), oleh karena itu layanan medis terutama di
unit-unit diatas harus dilakukan dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi.

Dampak dari medical error sangat beragam, mulai dari yang ringan dan sifatnya reversible
hingga yang berat berupa kecacatan menetap atau bahkan kematian. Sebagian penderita terpaksa
harus dirawat di rumah sakit lebih lama (prolonged hospitalization) yang akhirnya berdampak
pada peningkatan biaya perawatan yang jauh lebih besar. Classen melaporkan bahwa untuk
mengatasi masalah medical error pada 2,4% pasien yang masuk ke rumah sakit selain diperlukan
biaya ekstra sebesar US$ 2262 (hampir Rp 23 juta) per pasien juga diperlukan perpanjangan
lama hari rawat rata-rata 2 hari.
Hasil yang hampir sama juga dilaporkan melalui The Harvard study of Adverse Drug Events.
Dalam temuannya terbukti bahwa biaya yang harus dikeluarkan per pasien akibat adanya
medical error adalah sekitar US $ 2595 (lebih dari Rp 25 juta) dengan perpanjangan masa rawat
di rumah sakit rata-rata 2,2 hari. Namun demikian jika dilakukan analisis lebih rinci maka untuk
kasus-kasus yang sifatnya bisa dicegah (preventable) biaya ekstra yang harus dikeluarkan hampir
2 kalinya, yaitu US $ 4685 (hampir Rp 50 juta) sedangkan perpanjangan masa rawat inap rata-
rata 4.6 hari. Perkiraan lebih lanjut menunjukkan bahwa untuk rumah sakit pendidikan dengan
700 tempat tidur maka rata-rata biaya yang harus dikeluarkan per tahun untuk mengatasi medical
error adalah sekitar US 5,6 juta (sekitar Rp 56 milyar rupiah)
Bila ditilik lebih dalam, maka kekarapan medical error akan memberikan gambaran berupa
gunung es “iceberg fenomenon“, artinya hanya kasus-kasus yang serius dan mengancam jiwa
(life threatening), dan menarik perhatian publik yang akan tampak di permukaan, sedangkan
kasus-kasus yang sifatnya ringan sampai sedang umumnya tidak terdeteksi, tidak dicatat,
ataupun tidak dilaporkan (apalagi yang gejalanya hilang dengan penghentian pemberian terapi
yang dicurigai sebagai penyebab efek samping).
Kaidah keselamatan pasien atau patient safety sama bukan berarti harus tidak ada risiko sama
sekali (zero risk) agar suatu tindakan medis dapat dilakukan. Safety disini berarti menjunjung
tinggi prinsip bahwa risiko tersebut haruslah dalam kategori acceptable pada situasi dan kondisi
saat itu (evidence based ), sebagai patokan Pada umumnya risiko yang dapat diterima adalah
risiko yang sangat kecil, baik probabilitas terjadinya maupun derajat keparahannya, sehingga
dapat diantisipasi dan dikendalikan. Suatu risiko dapat saja cukup besar tetapi harus tetap
diambil oleh karena tindakan tersebut adalah satu-satunya cara penyembuhan atau
penyelamatannya. Jenis risiko lain yang juga cukup besar tetapi masih acceptable, yaitu risiko
yang tidak terduga dan tak dapat diprediksi sebelumnya (unforeseeable).
Seorang dokter yang melihat adanya risiko pada tindakan medis yang akan dilakukannya, ia
wajib berupaya menghilangkannya (eliminasi) atau setidaknya menguranginya (reduksi). Tetapi
apabila secara teknis medis hal tersebut tak dapat dilakukan dengan tepat dan sempurna maka
wajib baginya menginformasikan risiko tersebut secara jelas kepada pasien dan atau
keluarganya, dan memberi peluang bagi pasien untuk menentukan pilihannya (informed
consent). Persetujuan pasien atas kemungkinan terjadinya risiko mengakibatkan terbebasnya
dokter dari tanggungjawab apabila risiko tersebut benar terjadi sepanjang dokter tsb telah
melakukan tindakan medisnya sesuai dengan standar dan telah melakukan upaya untuk
mencegah timbulnya dan atau mengurangi kemungkinan timbulnya risiko, dengan kata lain
dokter telah berupaya maksimal untuk mengantisipasi dan mengendalikan timbulnya risiko
”anticipate & controlling risk” – ( Management Risiko).
Berkaitan dengan gambaran diatas, dan juga kecenderungan yang muncul di masyarakat pada
saat ini, maka pelaksanaan Program Keselamatan Pasien Rumah Sakit sudah harus diterapkan.
Oleh karena itu sangat diperlukan acuan yang jelas dan kemauan yang kuat dari seluruh
komponen yang ada di rumah sakit untuk melaksanakan tersebut secara utuh.

Apa yang dimaksud dengan keselamatan pasien rumah sakit ?


…Pelayanan Keselamatan Pasien bukan suatu pilihan. Itu adalah hak setiap pasien yang
mempercayakan dirinya dilayani oleh Rumah Sakit……. (Sir Liam Donaldson,Chair of World
Alliance for Patient Safety, Forward Programme, 2006-2007 )
Menurut Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS), Keselamatan Pasien Rumah
Sakit, adalah:
Suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman, sistem tersebut meliputi:
Assessment risiko, identifikasi dan pengelolaan hal2 yang berhubungan dengan risiko pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjut penanganan
serta implementasi solusi untuk mereduksi timbulnya risiko. Sistem tersebut diharapkan dapat
mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh melaksanakan suatu tindakan (commision)
atau tidak melaksanakan suatu tindakan yang seharusnya dilakukan (ommision)
Sejak awal tahun 1990 Institusi rumah sakit selalu meningkatkan mutu pada 3 (tiga) elemen yaitu
struktur, proses dan outcome dengan bermacam-macam konsep dasar, program regulasi yang
diterapkan terutama pada rumah sakit pemerintah, misalnya: Penerapan Standar Pelayanan
Rumah Sakit, Quality Assurance, Total Quality Management, Countinus Quality Improvement,
Perizinan, Akreditasi Rumah Sakit, Crendentialing, Audit Medis, Indikator Klinis, Clinical
Governance, ISO, dan lain sebagainya. Meskipun program-program tersebut telah dapat
meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit baik pada aspek struktur, proses maupun outcome.
Namun masih saja terjadi adverse event yang tidak jarang berakhir dengan tuntutan hukum. Oleh
sebab itu perlu penerapan program lain yang lebih mengena langsung pada hubungan dokter-
pasien untuk lebih memperbaiki proses pelayanan.

Program tersebut diatas kemudian lebih dikenal dengan istilah Keselamatan Pasien Rumah Sakit
(Patient Safety) (KPRS). Diharapkan dengan meningkatnya keselamatan pasien rumah sakit,
maka kepercayaan masyarakat terhadap layanan rumah sakit dapat lebih meningkat. Selain itu
meningkatnya fokus perhatian pada keselamatan pasien akan dapat mengurangi kekerapan
adverse event. Karena telah diketahui sebelumnya adverse event selain dapat berdampak
terhadap peningkatan biaya pelayanan medis juga bisa membawa rumah sakit ke arena ataupun
“budaya” saling menyalahkan blaming culture, menimbulkan konflik antara dokter/petugas
kesehatan dan pasien, menimbulkan sengketa medis, menimbulkan tuntutan dan proses hukum
atas tuduhan malpraktek dsb.
KPRS dan mutu pelayanan mempunyai efek sinergik dalam upaya mengurangi munculnya
proses litigasi di Rumah sakit, peningkatan mutu pelayanan saja tanpa disertai dengan penerapan
KPRS akan sulit dan lambat dalam mengatasi masalah maraknya tuntutan malpraktik, serta
sangat sulit dalam mengubah budaya saling menyalahkan blaming culture menjadi budaya
keselamatan safety culture (Tabel. 5).
KPRS bertujuan untuk : 1. Terciptanya “Budaya” keselamatan pasien di rumah sakit, 2.
Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat, 3. Menurunnya adverse
event di rumah sakit, 4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan adverse event.
Proses pembelajaran untuk menguasai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memang tidak
cukup hanya dengan niat saja, tetapi juga harus disertai kemauan dan upaya nyata. Ilmu
Kedokteran adalah ilmu empiris yang masih menyisakan banyak pertanyaan yang masih belum
terjawab, upaya untuk mencari jawaban adalah tugas tenaga medis sebagai ilmuwan sekaligus
insan yang memiliki ilmu dan keterampilan, dan diberi wewenang serta kewajiban oleh
Pemerintah untuk membantu menyembuhkan pasien, melalui upaya yang terbaik sesuai dengan
baku mutu Ilmu Kedokteran yang merujuk pada evidence based dan berpedoman pada UU,
Peraturan yang berlaku, Etika profesi, Keselamatan Pasien dan masih banyak lagi koridor aturan
yang harus diperhatikan termasuk juga hati nurani.

Tentang iklan-iklan ini

Share this:

 Twitter
 Facebook

Terkait

Langkah Rumah Sakit Mencapai Pelayanan Standar Internasionaldalam "Kesehatan"


SAAT INI 2 RUMAH SAKIT BERSTANDAR INTERNASIONALdalam "Rumah Sakit"

Dilintasi Pemudik, RSUD dan Puskesmas di Bekasi Tetap Bukadalam "Kesehatan"

Categories: Kesehatan | 1 Komentar

Navigasi pos

← Older post
Newer post →

One thought on “Patient Safety – Paradigma Baru Layanan Medis”

1.

Januari 20, 2012

Erina Pertiana

Tk. Infonya…

Balas

Tinggalkan Balasan di HMSC untuk pengembangan web blog ini

 ARTIKEL
 Health Policy
 PERSI
 SIAKAD UH
 SIM UNHAS
 FLOWCHART☻
Penghuni HMSC & DPO + alumnus

1. ♂ a♪♪u akima 08'

 ♀ aas utari 08"


 ♀ agnes akima 08"
 ♀ darma akima 08"
 ♀ Nur Hikmah 08"
 ♀ Taya 08"

Materi Kuliah MRS

1. Akuntansi RS
2. Bisnis Kewirausahaan RS
3. Manajemen Keperawatan
4. SIM RS
5. Perilaku Organisasi
6. Perilaku Konsumen
7. MSDM RS
8. Manajemen Strategik RS
9. Manajemen Pemasaran
10. Manajemen Mutu
11. Manajemen Pelayanan Puskesmas
12. Manajemen Logistik RS
13. Manajemen Keuangan RS

 agoesfajary

 annajumriani

 atarishine

 azulfaidahputridelima

 ekamars2010

 a♪♪u aKima

 setiawnaris
 whiwhiek

Januari 2012
S S R K J S M
« Des Apr »
1
2 3 4 5 6 7 8
9 10 11 12 13 14 15
16 17 18 19 20 21 22
23 24 25 26 27 28 29
30 31

ospital anagement tudent ommunity

Pos-pos Terbaru

 14 rumah sakit pengguna vaksin palsu dan bidan yang terindikasi


 Dilintasi Pemudik, RSUD dan Puskesmas di Bekasi Tetap Buka
 PENUNGGAK PREMI BPJS DIDENDA 2,5 PERSEN
 Yogyakarta Atur Promosi Kesehatan Melalui Tempat Ibadah
 Lagi, Ditemukan Kasus Pasien Meninggal akibat Obat Bius

Arsip

 Juli 2016
 Juni 2016
 Mei 2016
 April 2016
 Maret 2016
 Desember 2015
 November 2015
 Oktober 2015
 Juni 2015
 Mei 2015
 April 2015
 Maret 2015
 September 2014
 Agustus 2014
 Juli 2014
 Juni 2014
 Februari 2014
 November 2013
 Oktober 2013
 Januari 2013
 Desember 2012
 November 2012
 Mei 2012
 April 2012
 Januari 2012
 Desember 2011

Ikuti Blog melalui surat elektromik

Masukkan alamat surat elektronik Anda untuk mengikuti blog ini dan menerima pemberitahuan
tentang tulisan baru melalui surat elektronik.

Bergabunglah dengan 266 pengikut lainnya

Kategori

 Kesehatan
 Rumah Sakit
 Uncategorized

HMSC

HMSC

Hours & Info

3999 Mission Boulevard,


San Diego CA 92109
1-202-555-1212
Lunch: 11am - 2pm
Dinner: M-Th 5pm - 11pm, Fri-Sat:5pm - 1am
Blog di WordPress.com.

Ikuti

Ikuti “”

Kirimkan setiap pos baru ke Kotak Masuk Anda.

Bergabunglah dengan 266 pengikut lainnya

Buat situs dengan WordPress.com

Anda mungkin juga menyukai