Anda di halaman 1dari 16

“PENYULUHAN TENTANG PENCEGAHAN DIFTERI DI

PUSKESMAS AMBACANG PADANG


TAHUN 2018 “

PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN ANAK

Oleh :
KELOMPOK U’17

Syurpa Wahyuni 1741313022


Joniza Lestari 1741312048
Fini Marta Vertysi 1741312026
Uci Sriwahyuni 1741312049
Raudhatin Jinan 1741312056
Hayati Umar 1741312057
Suci Khairiyah 1741312059
Nurul Arvina 1741312065
Puti Kulindam Suto 1741312070
Ririn Ajeng Kartiningsih 1741312080

FAKLUTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2018
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

Pokok Bahasan : Pendidikan Kesehatan


Sub Pokok Bahasan : Pencegahan Penyakit Difteri Pada Anak
Sasaran : Pengunjung Puskesmas Ambacang (minimal 10 orang)
Hari/tanggal : Kamis / 4 Januari 2018
Waktu : 08.00- 08.30 WIB
Tempat : Ruang tunggu Puskesmas Ambacang lt. 1

I. Latar Belakang
Penyakit menular masih menjadi masalah kesehatan yang besar di
hampir semua negara berkembang yang memiliki angka kesakitan dan
kematian yang relatif tinggi dalam waktu yang cepat. Penyakit menular
adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme atau toxinnya yang
ditularkan oleh reservoir kepada manusia yang rentan. Salah satu penyakit
menular yang dapat mengakibatkan kematian adalah penyakit difteri.
(Hidayat, 2010).
Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae.
Penyebaran bakteri ini dapat terjadi dengan mudah, terutama bagi orang
yang tidak mendapatkan vaksin difteri. Kuman difteri disebarkan oleh
menghirup cairan dari mulut atau hidung orang yang terinfeksi, dari jari-jari
atau handuk yang terkontaminasi, dan dari susu yang terkontaminasi
penderita. Gejala yang muncul ialah sakit tenggorokan, demam, sulit
bernapas dan menelan, mengeluarkan lendir dari mulut dan hidung, dan
sangat lemah. Kelenjar getah bening di leher membesar dan terasa sakit.
Lapisan(membran) tebal terbentuk menutupi belakang kerongkongan atau
jika dibuangkan menutup saluran pernapasan dan menyebabkan kekurangan
oksigen dalam darah. Bakteri difteri akan menghasilkan racun yang akan
membunuh sel-sel sehat dalam tenggorokan, sehingga akhirnya menjadi sel
mati. Sel-sel yang mati inilah yang akan membentuk membran (lapisan
tipis) abu-abu pada tenggorokan. Di samping itu, racun yang dihasilkan juga
berpotensi menyebar dalam aliran darah dan merusak jantung, ginjal, serta
sistem saraf.
Data Kementerian Kesehatan menujukkan sampai dengan November
2017, ada 95 kabupaten dan kota dari 20 provinsi yang melaporkan kasus
difteri. Secara keseluruhan terdapat 622 kasus, 32 diantaranya meninggal
dunia. Sementara pada kurun waktu Oktober hingga November 2017, ada
11 Provinsi yang melaporkan terjadinya KLB difteri, antara lain di Sumatra
Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan
Timur, Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur (BBC,
2017). Sumatra Barat menjadi salah satu daerah terdampak wabah (KLB/
Kejadian Luar Biasa) penyakit difteri di Indonesia. Menurut catatan Dinas
Kesehatan Provinsi Sumatra Barat sepanjang Januari-November 2017
terdapat 23 pasien suspect (terduga) difteri yang tersebar di 10
kabupaten/kota. Dari seluruh 23 terduga difteri, dua pasien di antaranya
dinyatakan positif, sedangkan 21 pasien lainnya dinyatakan negatif difteri
(Republika,2017).
Langkah pencegahan paling efektif untuk penyakit ini adalah dengan
vaksin. Pencegahan difteri tergabung dalam vaksin DTP. Vaksin ini
meliputi difteri, tetanus, dan pertusis atau batuk rejan. Vaksin DTP termasuk
dalam imunisasi wajib bagi anak-anak di Indonesia. Pemberian vaksin ini
dilakukan 5 kali pada saat anak berusia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan, satu
setengah tahun, dan lima tahun.
Oleh karena terjadinya KLB difteri di Indonesia dan Kota Padang
menjadi salah satu kota yang terkena dampaknya, maka kelompok tertarik
untuk melakukan penyuluhan mengenai penyakit difteri dan
penanggulanggannya sehingga dapat menigkatkan pengetahuan dan
kewaspadaan masyarakat tentang penyakit difteri.
II. Tujuan Instruksional Umum
Setelah mendapatkan penyuluhan diharapkan peserta mendapat
pengetahuan tambahan mengenai difteri dan mengetahui cara menangani
serta mencegah penyakit difteri.

III. Tujuan Instruksional Khusus


Seluruh peserta memahami tentang :
a. Memahami defenisi difteri
b. Memahami penyebab dan penularan difteri
c. Memahami tanda dan gejala difteri
d. Memahami komplikasi
e. Memahami pencegahan difteri
f. Memahami pengobatan penyakit difteri
g. Peserta mampu memahami tentang pentingnya imunisasi difteri
IV. Materi
(terlampir)

V. Metode Penyuluhan
Metode yang digunakan dalam penyuluhan ini adalah ceramah, yaitu
pemateri menyampaikan materi penyuluhan tentang pencegahan penyakit
difteri serta diakhir penyuluhan disediakan waktu untuk tanya-jawab
antara peserta dan pemateri.

VI. Media dan Alat Peraga


Media dan alat peraga yang digunakan dalam penyuluhan ini adalah :
1. Slide Presentation Power Point
2. Laptop
3. Infocus
4. Leaflet
5. Video
VII. Setting Tempat

Peserta duduk di ruang tunggu puskesmas ambacang Padang.

Keterangan :

= peserta

= moderator =bserver,
= penyaji

A. PENGORGANISASIAN
1. Moderator :Raudhatin Jinan, S.Kep
2. Penyaji : Fini Marta Vertisia, S.Kep
3. Notulen : Uci Sriwahyuni, S.Kep

4. Fasilitator :Syurpa Wahyuni, S.Kep..


:Suchi Khairiyah, S. Kep.
: Nurul Arvina, S.Kep
: Joniza Lestari, S. Kep
: fini marta vertisia, S.Kep
: Ririn Ajeng K, S.Kep

5. Observer :Puti Kulindam Suto, S. Kep.

B. URAIAN TUGAS
1. Moderator
a. Menyampaikan salam pembuka.
b. Memperkenalkan anggota kelompok.
c. Menyampaikan kontrak waktu.
d. Menyampaikan tujuan dari penyuluhan.
e. Menyampaikan mekanisme penyuluhan.
f. Membuka sesi tanya jawab.
g. Mengevaluasi pemahaman peserta dengan bertanya kembali.
h. Memberikan reward pada peserta yang bisa menjawab pertanyaan
penyaji.
i. Menyimpulkan materi penyuluhan.

2. Penyaji
a. Menggali pengetahuan dan pengalaman dari peserta tentang materi
penyuluhan.
b. Menyampaikan materi penyuluhan.
c. Melakukan umpan balik terhadap materi yang telah disampaikan.
3. Fasilitator
a. Mengundang atau mengajak peserta untuk mengikuti penyuluhan.
b. Memotivasi peserta untuk fokus pada penyampaian penyuluhan.
c. Memotivasi peserta untuk mengajukan pertanyaan.
d. Membantu penyaji dalam menjawab pertanyaan.
4. Observer
a. Mengobservasi jalannya penyuluhan.
b. Mengevaluasi tugas dari masing-masing peran.

VIII. KEGIATAN PENYULUHAN


No Tahapan waktu Kegiatan pembelajaran Kegiatan peserta
1 Pembukaan 1. Mengucapkan salam 1. Menjawab salam
(5 menit) 2. Memperkenalkan diri 2. Mendengarkan dan
3. Kontrak waktu memperhatikan
4. Menjelaskan 3. Menyetujui
tujuan pembelajaran 4. Mendengarkan dan
5. Menjelaskan topik memperhatikan
yang akan diberikan 5. Mendengarkan dan
memperhatikan
2 Kegiatan Inti 1. Menjelaskan 1. Mendengarkan dan
( 15 menit ) pengertian memperhatikan
penyakit difteri
2. Menjelaskan 2. Mendengarkan dan
bagaimana tanda memperhatikan
dan gejala
penyakit difteri 3. Mendengarkan dan
3. Menjelaskan memperhatikan
bagaimana 4. Mendengarkan dan
pencegahan mempraktikkan.
penyakit difteri
4. Menjelaskan
pengobatan dn
komplikasi
penyakit difteri
5. Menjelaskan
bagaimana
imunisasi untuk
pencegahan
penyakit difteri

3 Penutup 1. Mengevaluasi 1. Menjawab pertanyaan


10 menit kemampuan peserta
tentang pengertian
dan perawatan,tanda 2. Mendengarkan
dan gejala,
pemgobatan dan 3. Mendengarkan dan
pencegahan penyakit menjawab salam
difteri
2. Kesimpulan dari
pembelajaran yang
diberikan
3. Salam penutup

C. KRITERIAEVALUASI
1. Evaluasi Struktur
a. Kesiapan SAP dan materi.
b. Kesiapan media : Infocus, PPT dan leaflet.
c. Peserta hadir di tempat penyuluhan tepat waktu.
d. Penyelenggaraan penyuluhan dilaksanakan di Ruang Tunggu
Puskesmas Ambacang Padang Tahun 2018
e. Pengorganisasian penyelenggaraan penyuluhan dilakukan
sebelumnya.
2. Evaluasi Proses
a. Fase dimulai sesuai dengan waktu yang direncanakan.
b. Peserta antusias terhadap materi penyuluhan.
c. Peserta mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan secara
benar.
d. Suasana penyuluhan tertib.
e. Tidak ada peserta yang meninggalkan tempat penyuluhan.
f. Jumlah hadir dalam penyuluhan minimal 10 orang peserta.
3. Evaluasi Hasil
Peserta dapat:
a. Menjelaskan pengertian penyakit difteri
b. Menjelaskan penyebab difteri
c. Menjelaskan tanda dan gejala penyakit difteri
d. Menjelaskan cara pencegahan penyakit difteri
e. Menjelaskan pengobatan pada penyakit difteri
f. Menjelaskan imunisasi yang berkaitan dengan difteri
LAMPIRAN MATERI
DIFTERI

A. Difteri

Difteri merupakan penyakit infeksi yang dapat menyerang pada saluran


napas bagian atas disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae yang
bersifat gram positif, polimorf, dan tidak membentuk spora. Penyakit ini
mudah menyerang anak-anak melalui udara atau pada alat yang
terkontaminasi (Hidayat, 2010).
Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh
kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan yang diserang
terutama traktus respiratorius bagian atas dan ditandai dengan terbentuknya
pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan
gejala umum dan lokal. (Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 2007).

B. Penyebab difteri

Difteri disebabkan bakteri Corynebacterium diphtheriae. Penyebaran


bakteri ini dapat terjadi dengan mudah, terutama bagi orang yang tidak
mendapatkan vaksin difteri. Ada sejumlah cara penularan yang perlu
diwaspadai, seperti:
 Terhirup percikan ludah penderita di udara saat penderita bersin atau
batuk. Ini merupakan cara penularan difteri yang paling umum.
 Barang-barang yang sudah terkontaminasi oleh bakteri, contohnya
mainan atau handuk.

 Sentuhan langsung pada luka borok (ulkus) akibat difteri di kulit


penderita. Penularan ini umumnya terjadi pada penderita yang tinggal di
lingkungan yang padat penduduk dan kebersihannya tidak terjaga.

Bakteri difteri akan menghasilkan racun yang akan membunuh sel-sel


sehat dalam tenggorokan, sehingga akhirnya menjadi sel mati. Sel-sel yang
mati inilah yang akan membentuk membran (lapisan tipis) abu-abu pada
tenggorokan. Di samping itu, racun yang dihasilkan juga berpotensi
menyebar dalam aliran darah dan merusak jantung, ginjal, serta sistem saraf.
Terkadang, difteri bisa jadi tidak menunjukkan gejala apapun sehingga
penderitanya tidak menyadari bahwa dirinya terinfeksi. Apabila tidak
menjalani pengobatan dengan tepat, mereka berpotensi menularkan penyakit
ini kepada orang di sekitarnya, terutama mereka yang belum mendapatkan
imunisasi.
C. Tanda dan Gejala Difteri

Difteri umumnya memiliki masa inkubasi atau rentang waktu sejak


bakteri masuk ke tubuh sampai gejala muncul 2 hingga 5 hari. Gejala-gejala
dari penyakit ini meliputi:
 Terbentuknya lapisan tipis berwarna abu-abu yang menutupi
tenggorokan dan amandel.
 Demam dan menggigil.
 Sakit tenggorokan dan suara serak.
 Sulit bernapas atau napas yang cepat.
 Pembengkakan kelenjar limfe pada leher.
 Lemas dan lelah.
 Pilek. Awalnya cair, tapi lama-kelamaan menjadi kental dan terkadang
bercampur darah.
 Difteri juga terkadang dapat menyerang kulit dan menyebabkan luka
seperti borok (ulkus). Ulkus tersebut akan sembuh dalam beberapa bulan,
tapi biasanya akan meninggalkan bekas pada kulit.

D. Pengobatan Difteri

Untuk menegakkan diagnosis difteri, awalnya dokter akan menanyakan


beberapa hal seputar gejala yang dialami pasien. Dokter juga dapat
mengambil sampel dari lendir di tenggorokan, hidung, atau ulkus di kulit
untuk diperiksa di laboratorium. Apabila seseorang diduga kuat tertular
difteri, dokter akan segera memulai pengobatan, bahkan sebelum ada hasil
laboratorium. Dokter akan menganjurkannya untuk menjalani perawatan
dalam ruang isolasi di rumah sakit. Lalu langkah pengobatan akan dilakukan
dengan 2 jenis obat, yaitu antibiotik dan antitoksin.
Antibiotik akan diberikan untuk membunuh bakteri dan menyembuhkan
infeksi. Dosis penggunaan antibiotik tergantung pada tingkat keparahan
gejala dan lama pasien menderita difteri. Sebagian besar penderita dapat
keluar dari ruang isolasi setelah mengonsumsi antibiotik selama 2 hari.
Tetapi sangat penting bagi mereka untuk tetap menyelesaikan konsumsi
antibiotik sesuai anjuran dokter, yaitu selama 2 minggu. Penderita kemudian
akan menjalani pemeriksaan laboratorium untuk melihat ada tidaknya bakteri
difteri dalam aliran darah. Jika bakteri difteri masih ditemukan dalam tubuh
pasien, dokter akan melanjutkan penggunaan antibiotik selama 10 hari.
Sementara itu, pemberian antitoksin berfungsi untuk menetralisasi toksin
atau racun difteri yang menyebar dalam tubuh. Sebelum memberikan
antitoksin, dokter akan mengecek apakah pasien memiliki alergi terhadap
obat tersebut atau tidak. Apabila terjadi reaksi alergi, dokter akan
memberikan antitoksin dengan dosis rendah dan perlahan-lahan
meningkatkannya sambil melihat perkembangan kondisi pasien. Bagi
penderita yang mengalami kesulitan bernapas karena hambatan membran
abu-abu dalam tenggorokan, dokter akan menganjurkan proses pengangkatan
membran. Sedangkan penderita difteri dengan gejala ulkus pada kulit
dianjurkan untuk membersihkan bisul dengan sabun dan air secara seksama.
Selain penderita, orang-orang yang berada di dekatnya juga disarankan
untuk memeriksakan diri ke dokter karena penyakit ini sangat mudah
menular. Misalnya, keluarga yang tinggal serumah atau petugas medis yang
menangani pasien difteri. Dokter akan menyarankan mereka untuk menjalani
tes dan memberikan antibiotik. Terkadang vaksin difteri juga kembali
diberikan jika dibutuhkan. Hal ini dilakukan guna meningkatkan proteksi
terhadap penyakit ini.

E. Komplikasi Difteri

Pengobatan difteri harus segera dilakukan untuk mencegah penyebaran


sekaligus komplikasi yang serius, terutama pada penderita anak-anak.
Diperkirakan 1 dari 5 penderita balita dan lansia di atas 40 tahun meninggal
dunia akibat komplikasi difteri. Jika tidak diobati dengan cepat dan tepat,
toksin dari bakteri difteri dapat memicu beberapa komplikasi yang
berpotensi mengancam jiwa. Beberapa di antaranya meliputi:
 Masalah pernapasan. Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi
bakteri difteri akan membentuk membran abu-abu yang dapat
menghambat pernapasan. Partikel-partikel membran juga dapat luruh dan
masuk ke paru-paru. Hal ini berpotensi memicu reaksi peradangan pada
paru-paru sehingga fungsinya akan menurun secara drastis dan
menyebabkan gagal napas.
 Kerusakan jantung. Selain paru-paru, toksin difteri berpotensi masuk ke
jantung dan menyebabkan peradangan otot jantung atau miokarditis.
Komplikasi ini dapat menyebabkan masalah, seperti detak jantung yang
tidak teratur, gagal jantung, dan kematian mendadak.
 Kerusakan saraf. Toksin dapat menyebabkan penderita mengalami
masalah sulit menelan, masalah saluran kemih, paralisis atau
kelumpuhan pada diafragma, serta pembengkakan saraf tangan dan kaki.
Paralisis pada diafragma akan membuat pasien tidak bisa bernapas
sehingga membutuhkan alat bantu pernapasan atau respirator. Paralisis
diagfragma dapat terjadi secara tiba-tiba pada awal muncul gejala atau
berminggu-minggu setelah infeksi sembuh. Karena itu, penderita difteri
anak-anak yang mengalami komplikasi umumnya dianjurkan untuk tetap
di rumah sakit hingga 1,5 bulan.
 Difteri hipertoksik. Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat
parah. Selain gejala yang sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik
akan memicu pendarahan yang parah dan gagal ginjal.

F. Pencegahan Difteri dengan Vaksinasi

Langkah pencegahan paling efektif untuk penyakit ini adalah dengan


vaksin. Pencegahan difteri tergabung dalam vaksin DTP. Vaksin ini meliputi
difteri, tetanus, dan pertusis atau batuk rejan.
Vaksin DTP termasuk dalam imunisasi wajib bagi anak-anak di
Indonesia. Pemberian vaksin ini dilakukan 5 kali pada saat anak berusia 2
bulan, 3 bulan, 4 bulan, satu setengah tahun, dan lima tahun. Selanjutnya
dapat diberikan booster dengan vaksin sejenis (Tdap/Td) pada usia 10 tahun
dan 18 tahun. Vaksin Td dapat diulangi setiap 10 tahun untuk memberikan
perlindungan yang optimal. Apabila imunisasi DTP terlambat diberikan,
imunisasi kejaran yang diberikan tidak akan mengulang dari awal. Bagi anak
di bawah usia 7 tahun yang belum melakukan imunisasi DTP atau
melakukan imunisasi yang tidak lengkap, masih dapat diberikan imunisasi
kejaran dengan jadwal sesuai anjuran dokter anak Anda. Namun bagi mereka
yang sudah berusia 7 tahun dan belum lengkap melakukan vaksin DTP,
terdapat vaksin sejenis yang bernama Tdap untuk diberikan. Perlindungan
tersebut umumnya dapat melindungi anak terhadap difteri seumur hidup.
Pemberian Imunisasi
1. Imunisasi DPT
Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap
difteri, pertusis dan tetanus. Difteri adalah suatu infeksi bakteri yang
menyerang tenggorokan dan dapat menyebabkan komplikasi yang serius
atau fatal. Pertusis (batuk rejan) adalah inteksi bakteri pada saluran udara
yang ditandai dengan batuk hebat yang menetap serta bunyi pernafasan
yang melengking. Pertusis berlangsung selama beberapa minggu dan
dapat menyebabkan serangan batuk hebat sehingga anak tidak dapat
bernafas, makan atau minum. Pertusis juga dapat menimbulkan
komplikasi serius, seperti pneumonia, kejang dan kerusakan otak. Vaksin
DPT adalah vaksin 3-in-1 yang bisa diberikan kepada anak yang berumur
kurang dari 7 tahun.
Biasanya vaksin DPT terdapat dalam bentuk suntikan, yang
disuntikkan pada otot lengan atau paha. Imunisasi DPT diberikan
sebanyak 3 kali, yaitu pada saat anak berumur 2 bulan (DPT I), 3 bulan
(DPT II) dan 4 bulan (DPT III); selang waktu tidak kurang dari 4
minggu. Imunisasi DPT ulang diberikan 1 tahun setelah DPT III dan
pada usia prasekolah (5-6 tahun). Jika anak mengalami reaksi alergi
terhadap vaksin pertusis, maka sebaiknya diberikan DT, bukan DPT.
Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi awal, sebaiknya diberikan
booster vaksin Td pada usia 14-16 tahun kemudian setiap 10 tahun
(karena vaksin hanya memberikan perlindungan selama 10 tahun, setelah
10 tahun perlu diberikan booster).
Hampir 85% anak yang mendapatkan minimal 3 kali suntikan yang
mengandung vaksin difteri, akan memperoleh perlindungan terhadap
difteri selama 10 tahun. DPT sering menyebakan efek samping yang
ringan, seperti demam ringan atau nyeri di tempat penyuntikan selama
beberapa hari. Efek samping tersebut terjadi karena adanya komponen
pertusis di dalam vaksin. Pada kurang dari 1% penyuntikan, DPT
menyebabkan komplikasi berikut:
 demam tinggi (lebih dari 40,5º Celsius)
 kejang
 kejang demam (resiko lebih tinggi pada anak yang sebelumnya
pernah mengalami kejang atau terdapat riwayat kejang dalam
keluarganya)
 syok (kebiruan, pucat, lemah, tidak memberikan respon).
Jika anak sedang menderita sakit yang lebih serius dari pada flu ringan,
imunisasi DPT bisa ditunda sampai anak sehat. Jika anak pernah
mengalami kejang, penyakit otak atau perkembangannya abnormal,
penyuntikan DPT sering ditunda sampai kondisinya membaik atau
kejangnya bisa dikendalikan.
1-2 hari setelah mendapatkan suntikan DPT, mungkin akan terjadi
demam ringan, nyeri, kemerahan atau pembengkakan di tempat
penyuntikan. Untuk mengatasi nyeri dan menurunkan demam, bisa
diberikan asetaminofen (atau ibuprofen). Untuk mengurangi nyeri di
tempat penyuntikan juga bisa dilakukan kompres hangat atau lebih sering
menggerak-gerakkan lengan maupun tungkai yang bersangkutan.
2. Imunisasi DT
Imunisasi DT memberikan kekebalan aktif terhadap toksin yang
dihasilkan oleh kuman penyebab difteri dan tetanus. Vaksin DT dibuat
untuk keperluan khusus, misalnya pada anak yang tidak boleh atau tidak
perlu menerima imunisasi pertusis, tetapi masih perlu menerima
imunisasi difteri dan tetanus. Cara pemberian imunisasi dasar dan
ulangan sama dengan imunisasi DPT. Vaksin disuntikkan pada otot
lengan atau paha sebanyak 0,5 mL.
Vaksin ini tidak boleh diberikan kepada anak yang sedang sakit
berat atau menderita demam tinggi. Efek samping yang mungkin terjadi
adalah demam ringan dan pembengkakan lokal di tempat penyuntikan,
yang biasanya berlangsung selama 1-2 hari.
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, A. Aziz Alimul. (2010). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak.


Jakarta:Salemba Medika.
Staf Pengajar IKA FKUI. (2007). Ilmu Kesehatan Anak. Vol.2. Infomedika:
Jakarta
Sumarmo. (2002). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FKUI

Anda mungkin juga menyukai