LANDASAN TEORI
Siklus Rankine merupakan siklus ideal untuk sistem pusat listrik tenaga uap. Gambar
5 menunjukkan diagram untuk proses-proses yang terjadi pada siklus Rankine ideal sederhana
untuk teknologi subcritical boiler.
Critical point
Gambar 2.1. Diagram Alir dan Diagram T-s Siklus Rankine Ideal Sederhana
Sumber : Thermodynamics An Engineering Approach, Yunus A. Çengel
Analisis energi dari siklus Rankine sederhana tersebut menggunakan persamaan (Cengel &
Boles, 2007) :
6
(𝑞𝑖𝑛 − 𝑞𝑜𝑢𝑡) + (𝑤𝑖𝑛 − 𝑤𝑜𝑢𝑡) = ℎ𝑒 − ℎ𝑖 (2-1)
Persamaan tersebut merupakan penyederhanaan dari steady-flow energy equation per satuan
massa dengan menganggap bahwa perubahan energi kinetik dan potensial dari uap sangat kecil
dan dapat diabaikan.
Pada kondisi 1, air masuk ke pompa sebagai cairan jenuh yang kemudian dikompresi secara
isentropis hingga tekananya naik menjadi tekanan kerja boiler. Penambahan tekanan tersebut
menyebabkan volume spesifik dan temperatur air naik, seperti ditunjukkan pada diagram T-s
(gambar 5 kanan).
Pada kondisi 2, air masuk ke boiler masih dalam kondisi cair jenuh. Boiler merupakan tempat
berpindahnya kalor dari reaksi pembakaran boiler ke air, dimana air akan berubah fasanya dari
kondisi cair jenuh menjadi superheated vapor (uap jenuh). Kalor tersebut berasal dari reaksi
pembakaran bahan bakar yang biasanya berupa batu-bara, gas, minyak atau biomassa.
Pada kondisi 3, air keluar dari boiler dan menuju ke turbin dalam kondisi superheated. Pada
turbin, uap akan ber-ekspansi secara isentropis dan “menabrak” sudu-sudu turbin hingga
berputar sehingga menghasilkan kerja. Kerja tersebut dapat digunakan untuk membangkitkan
listrik dengan menghubungkannya dengan generator. Ketika berekspansi dan memutar turbin,
7
tekanan uap akan turun dan kondisi uap berubah dari uap jenuh menjadi fasa campuran (dengan
kualitas yang masih cukup tinggi).
Pada kondisi 4, uap masuk ke kondensor. Pada kondensor, terjadi pelepasan kalor dari uap
menuju ke media pendingin pada tekanan konstan. Pelepasan panas tersebut menyebabkan fasa
uap berubah menjadi air dengan kondisi cair jenuh. Air tersebut kemudian akan masuk kembali
ke pompa pada kondisi 1 dan melengkapi siklus.
Pada diagram T-s, kurva kondisi 2 – 3 merupakan daerah penambahan kalor ke air pada boiler
dan kurva kondisi titik 4 – 1 merupakan daerah pelepasan kalor pada kondensor. Selisih antara
keduanya (daerah yang dilingkupi kurva siklus) merupakan kerja bersih/netto yang dihasilkan
dari siklus. Efisiensi termal siklus Rankine adalah :
wnet
𝜂𝑡ℎ = = 1 − 𝑞𝑜𝑢𝑡 𝑞𝑖𝑛 (2-8)
qin
Dimana,
8
Efisiensi siklus rankine dapat ditingkatkan untuk menghasilkan kerja netto yang sama dengan
konsumsi bahan bakar yang lebih sedikit. Pada dasarnya teknik-teknik untuk meningkatkan
efisiensi siklur rankine adalah dengan memperluas daerah yang dilingkupi oleh kurva siklus
pada diagram T-s sehingga memperbesar selisih antara kurva pemasukkan kalor dengan kurva
pelepasan kalor. Efisiensi siklus rankine ditingkatkan dengan cara:
Menaikkan tekanan kerja boiler secara otomatis akan menaikkan temperatur rata-rata ada proses
perpindahan panas di boiler. Proses perpindahan panas pada tekanan tinggi akan melalui daerah
fasa uap campuran yang lebih sedikit, sehingga konsumsi bahan bakar untuk mencapai kondisi
uap yang diinginkan lebih sedikit. Oleh karena itu, efisiensi sistem akan lebih baik. Perlu
diperhatikan bahwa ketika tekanan dinaikkan, kualitas uap yang masuk ke kondensor berkurang
sehingga diperlukan proses superheating dan / atau reheating uap untuk mengatasinya.
Gambar 2.2. Pengaruh diturunkannya tekanan kondensor (a) dan pemanasan lanjut uap (b)
pada siklus Rankine ideal
Sumber : Thermodynamics An Engineering Approach, Yunus A. Çengel
9
(a) (b)
Gambar 2.3. Pengaruh penaikkan tekanan kerja boiler pada siklus Rankine (a) dan Siklus
Rankine Supercritical (b)
Sumber : Thermodynamics An Engineering Approach, Yunus A. Çengel
Berdasarkan tekanan kerjanya, boiler dapat dibagi menjadi subcritical, supercritical, dan Ultra-
supercritical boiler. Teknologi Subcritical boiler artinya perubahan fasa air menjadi uap jenuh
pada boiler terjadi di bawah titik kritis (critical point) pada diagram T-s. Critical point
merupakan titik dimana air pada kondisi cair jenuh akan berubah menjadi uap jenuh dalam
seketika pada tekanan 22,06 Mpa. Jika perubahan fasa air terjadi pada atau diatas critical point,
maka boiler tersebut disebut dengan Supercritical Boiler. Ultra-supercritical Boiler (USC)
bekerja pada tekanan yang lebih tinggi dari Supercritical Boiler. Efisiensi termal pada siklus
subcritical rata-rata sebesar 32 - 38%, siklus supercritical memiliki efisiensi 37-42%, dan siklus
Ultra-supercritical memiliki efisiensi 43 – 45% (www.nationalboilers.com)
Pada PLTU, ESP sangat penting sebagai unit kendali polusi material partikulat
(particulate matter, PM). Proses pembakaran batubara tidak hanya menghasilkan panas, tetapi
juga meghasilkan produk samping (by products) diantaranya gas buang, fly ash dan bottom ash.
10
Gas buang hasil pembakaran batubara mengandung SO2, NOx, CO2, dan O2. Saat gas buang
meninggalkan boiler, gas tersebut membawa debu / fly ash berupa material partikulat dengan
ukuran yang sangat kecil, yaitu 2,5µm hingga 10µm (PM2,5 dan PM10).
Jika dibuang ke atmosfer secara langsung, partikulat tersebut akan sangat berbahaya
bagi manusia, lingkungan, dan organisme yang hidup di sekitar PLTU bahkan di tempat yang
cukup jauh karena partikulat tersebut akan terbawa oleh angin. Oleh karena itu, partikulat
dihilangkan/dikurangi dengan menggunakan ESP.
Komponen utama dari ESP adalah distributing plate (pada inlet), transformer-rectifier
(TR), discharge electrode (DE), collecting plate / electrode (CE), rapping system, dan hopper.
a. Distributing plate yang terletak pada jalur masukkan (inlet) merupakan plat yang
berfungsi mengarahkan aliran gas agar merata pada ESP.
b. Transformer mengubah listrik masukkan AC tegangan rendah menjadi AC
tegangan tinggi. Rectifier mengubah listrik AC tegangan tinggi menjadi DC tegangan
tinggi
c. Discharge Electrode (DE) merupakan elektroda yang diberi tegangan DC tinggi
negatif dan merupakan tempat terjadinya korona. Pada DE terjadi pelepasan muatan
negatif yang akan ditangkap oleh partikulat dan menuju ke collecting electrode.
d. Collecting Electrode (CE) merupakan elektroda yang ditanahkan secara elektrik
(electrically grounded). CE merupakan tempat menempelnya partikulat bermuatan
negatif.
e. Rapping system merupakan sistem untuk melepaskan / merontokkan partikulat yang
menempel pada distributing plate, DE atau CE. Rapping system terdiri dari motor
penggerak dan hammer.
f. Hopper berfungsi untuk menangkap partikulat yang dilepaskan dari DE dan CE. Di
bawah hopper terdapat sistem transportasi partikulat / fly ash menuju ke tempat
penampungan (silo).
11
2.2.2. Cara Kerja
Perontokan/
Pengumpulan
Pelepasan Partikel Pengumpulan
Partikel di Collecting
oleh Rapper dari Partikel di Hopper
Electrode
Collecting Electrode
12
Produksi Ion
Korona merupakan terlepasnya sebagian muatan dari konduktor yang memiliki potensial
tertentu ke media sekitar konduktor (umumnya udara) sehingga menyebabkan udara tersebut
terionisasi. Pada intensitas yang cukup besar, korona dapat dilihat dengan mata telanjang
sebagai cahaya yang menyelimuti suatu konduktor. Pada DE, korona yang dihasilkan
merupakan korona negatif, udara di sekitar DE terionisasi dengan muatan negatif. Tegangan
ketika korona mulai terbentuk disebut dengan Corona onset voltage. Korona negatif digunakan
pada ESP karena memiliki corona onset voltage lebih kecil dan tegangan breakdown yang lebih
tinggi dari korona positif. Gambar berikut menunjukkan perbedaan karakteristik korona positif
dan negatif pada susunan elektroda konsentris oleh Townsend.
13
Gambar 2.6. Perbandingan karakteristik pelepasan muatan untuk korona positif dan
negatif pada elektroda tabung konsentris
Sumber : (Parker, 2003)
Pada saat korona terjadi, arus yang cukup kecil mengalir dari CE menuju DE (elektron megalir
dari DE ke CE) melalui udara. Apabila tegangan diperbesar dan melewati batas tegangan
tertentu, akan terjadi electric spark atau charge breakdown diantara DE dan CE. Spark tersebut
tidak diinginkan karena dapat menyebabkan trip pada TR dan apabila terjadi terus menerus
dapat menyebabkan kerusakan sistem kelistrikan ESP. Selain itu, spark juga dapat memicu
timbulnya gas ozone (O3).
14
Rӧenntgen pada tahun 1879 melakukan ekperimen korona dengan menggunakan elektroda
tajam dan elektroda datar/plat. Ditemukan bahwa tegangan tertentu harus diberikan untuk
mengawali mengalirnya arus korona antara elektroda. Corona onset voltage ini bergantung pada
ketajaman elektroda, tekanan gas, dan polaritas elektroda tajam tersebut. Investigasi lebih jauh
menghasilkan sebuah hubungan parabolik untuk arus korona negatif sebagai:
I = A V (V – M) (2-9)
Dimana I adalah arus korona, V adalah tegangan yang diberikan, A dan M adalah konstanta-
konstanta eksperimen. Namun, persamaan diatas tidak digunakan pada aplikasi praktis.
Operasi dari ESP dikendalikan dengan cara mengatur tegangan masukkan TR set menggunakan
Silicon Controlled Rectifier dengan konfigurasi counter-parallel sehingga dapat mengatur daya
AC (Knapik). Daya korona merupakan produk dari tegangan dan arus korona. Arus dibutuhkan
untuk memberikan muatan pada partikulat, sementara tegangan dibutuhkan untuk menghasilkan
medan listrik. (Patra & Sarangi)
Particle Charging
Saat gas yang membawa partikulat melewati daerah diantara DE dan CE, terjadi dua mekanisme
charging, yaitu penempelan ion (ion attachement) dan difusi ion. penempelan ion mendominasi
proses charging untuk partikel yang berukuran lebih besar dari 1 µm, sementara difusi ion
berperan untuk partikel yang lebih kecil dari 0,2 µm. Muatan negatif pada partikulat akan terus
bertambah hingga mencapai titik saturasi, atau disebut dengan muatan saturasi partikel, Q∞p
15
2
𝑄∞𝑝=pEd (2-10)
𝑃
Dimana p adalah konstanta dengan nilai 2 untuk partikulat konduktif dan antara 1 hingga 3
untuk partikulat non-konduktif.
Partikel dapat mencapai 90 persen muatan saturasinya dalam waktu kurang dari 0,1 detik.
Sehingga, dapat diasumsikan bahwa dengan waktu charging 3-5 detik, partikulat mencapai
muatan saturasi dengan cepat (Parker, 2003).
Migrasi Partikel
Partikulat yang bergerak pada medan listrik antara DE dan CE mengalami gaya momentum Fm,
gaya listrik Fe dan gaya seret / drag force Fd.
Dengan: Fm = m a,
Fm = Qp E
Fd = Re A Co
m dan a adalah massa dan percepatan partikulat, Re adalah bilangan Reynolds dan Co adalah
faktor koreksi Cunningham
16
Perbedaan muatan antara debu dengan CE (yang lebih positif) akan menyebabkan gaya
elektrostatis berdasarkan hukum Coulomb. Debu kemudian akan berpindah (migrate) ke CE
dengan kecepatan tertentu. Kecepatan dari debu untuk berpindah ke CE disebut dengan
migration velocity, Vmig (Parker, 2003).
E2dpCo
𝑉𝑚𝑖𝑔 (𝑡𝑒𝑜𝑟𝑖𝑡𝑖𝑠) = (2-11)
µ
Pengumpulan Partikel di CE
Saat debu menempel pada CE, elektron atau ion negatif akan mengalir menuju CE dan
membuat muatannya menjadi netral kembali. Saat sudah netral, elektroda hanya perlu dipukul
atau digetarkan oleh rapper agar debu tersebut jatuh dan terkumpul pada hopper. Kecepatan
perpindahan muatan negatif debu tergantung dari resistivitas listrik dari debu tersebut.
Efisiensi pengumpulan debu ESP adalah ukuran seberapa banyak jumlah debu yang
bisa dikumpulkan dibandingkan dengan jumlah masukkan. Semakin tinggi efisiensinya, debu
yang terkumpul di hopper akan semakin banyak, dan udara keluaran ESP lebih bersih. Sampai
saat ini, perancangan ESP untuk keperluan spesifik tidak dapat dilakukan dengan menggunakan
persamaan-persamaan dasar.
17
Perlu diperhatikan bahwa Vmig pada persamaan tersebut adalah migration velocity
efektif, berbeda dengan migration velocity teoritis pada persamaan 2-10. Keduanya tidak dapat
dihubungkan. Migration velocity efektif digunakan sebagai parameter performance dari
presipitator yang sudah ada dan didapatkan dari efisiensi yang terukur secara langsung.
Efisiensi ESP aktual dapat dihitung secara langsung dengan (ASME, 1991):
CdustESP,in
𝜂𝐸𝑆𝑃 = 1 − CdustESP,out (2-13)
Parameter yang dibutuhkan untuk menghitung efisiensi pengumpulan debu ESP secara
aktual adalah konsentrasi debu masukkan debu keluaran. Konsentrasi debu keluaran dan
efisiensi dari ESP dapat dijadikan indikator suatu ESP bekerja dengan baik atau tidak apabila
dibandingkan dengan spesifikasi desain awal. Perhitungan efisiensi secara aktual ini sangat
bergantung kepada pembacaan sensor, sehingga harus dipastikan atau diasumsikan bahwa
sensor bekerja dengan semestinya. Hal ini dapat diperbaiki dengan melakukan kalibrasi sensor
secara berkala.
18
2.3. Performance Test Code untuk ESP (ASME PTC 21-1991)
Standar pengujian kinerja ESP yang umum digunakan adalah American Society of
Mechanical Engineers Performance Test Code 21 tahun 1991 (ASME PTC 21-1991) untuk
Particulate Matter Collection Equipment. Peralatan penangkap partikulat yang dimaksud dapat
berupa salah satu atau gabungan dari teknologi: fabric filter, cyclone, ESP (wet or dry) scrubber,
trap dan teknologi sebagainya yang memiliki fungsi utama yang sama. Kinerja peralatan
pengumpul partikulat diukur dengan parameter:
f. Konsumsi daya
Untuk ESP, efisiensi pengumpulan debu merupakan fungsi dari berbagai faktor, diantaranya:
19
ESP dianggap sebagai komponen yang memiliki efisiensi yang konstan. Artinya bila
hal-hal lain sama dengan desain, maka ESP akan menghilangkan jumlah / persentase partikulat
yang konstan dari gas yang masuk. Untuk kasus-kasus tertentu dimana laju volume gas pada
masukkan dan keluaran ESP dianggap sama, efisiensi pengumpulan debu dapat dihitung
dengan:
Dimana Cv1 dan Cv2 masing masing adalah konsentrasi debu per volume gas di bagian
masukkan dan keluaran.
20
21